Anda di halaman 1dari 5

Contoh Kritik Artikel Jurnal

By globalmanagement on July 22, 2009


oleh : S. Assery
Tulisan kritik jurnal ini dilakukan dengan argumentasi dari berbagai jurnal lain yang dijadikan
sandaran pembahasan dalam penulisan kritik ini. Disamping itu juga akan dijadikan dasar
perbendaharaan jurnal ilmiah dalam rangka penulisan proposal penelitian untuk disertasi yang
sedang disusun penulis.
1. Perumusan Masalah Penelitian
Peneliti mengutip beberapa pendapat (reserach gap) yang mengkaitkan penelitian bertema
Management Control System (MSC). Seperti pendapat Simons (1995) yang memberikan
penjelasan bahwa esensi Management Control System adalah untuk mengelola tensi antara
inovasi kreatif dan pencapaian tujuan di satu sisi, dengan menyeimbangkan antara control dan
flexibility di sisi lain. Dan telah terjadi perubahan peran sistem pengendalian manajemen (the
role of MCS) yang semula sebagai formal control dan feedback system (Anthony 1965;
Hoftstede, 1978), kini bergerser menjadi pendukung utama dalam perubahan organisasi,
pembelajaran organisasi, dan inovasi (Atkinson et al., 1997; Kloot, 1997, dan Simons, 1990).
Performance Management System (PMS) merupakan salah satu aspek MCS, memerlukan pilihan
antara Control ataukah Flexibility, keduanya merupakan dua nilai yang saling bersaing yang
perlu dipertimbangkan sebagai atributes (dimensi) dalam organizational culture (Quinn, 1998).
Peneliti tidak menjelaskan secara detail, apa latar belakang memilih Nature of PMS sebagai topik
penelitian. Walaupun menurut peneliti bahwa PMS merupakan salah satu aspek MCS, namun dari
pendahuluan yang disajikan tidak memenuhi kedalaman research gap, karena lebih banyak
menjelaskan tentang MCS secara menyeluruh.
2. Tujuan Penelitian
Peneliti memfokuskan pada peran control/flexibility dilemma, karena isu ini dianggap berkaitan
dengan sistem pengendalian manajemen dan masih menjadi jantung perdebatan dalam akuntansi
manajemen. Yaitu bahwa di satu sisi tipe rasional hirarkis organisasi didasarkan pada nilai
pengendalian (value of control) sementara di sisi lain tipe pengembangan kelompok menerapkan
fleksibilitas (value of flexibility).
3. Kerangka Pemikiran Teoritis dan Empiris
Menurut peneliti, Cultural types assosiated with control values. Adapun Control values ini
mengacu pada predictability, stability, formality, rigidity, conformity. Orientasinya adalah
efisiensi dan profit. Penekanannya pada perencanan, produktifitas dan kejelasan tujuan. Secara

umum, tipe kultur yang berkaitan dengan control values adalah ketatnya pengendalian
operasional, jalur komunikasi formal yang tinggi, dan aliran informasi yang terbatas.
Menurut peneliti, Cultural types assosiated with flexibility values. Adapun Flexibility values ini
mengacu pada spontanitas, perubahan, keterbukaan, adaptabilitas, dan responsive. Orientasinya
pertumbuhan, kreatifitas, dan inovasi. Kohesi, kerja tim, pemberdayaan, dan komitmen. Secara
umum, tipe kultur yang berkaitan dengan flexibility values adalah pengendalian informal, jalur
komunikasi yang bebas terbuka, dan informasi yang mengalir bebas di dalam organisasi.
Peneliti menyajikan Theoritical Model yang memperlihatkan pengaruh Control/Flexibility
sebagai nilai yang mendasari digunakanya PMS dan Diversity of Measurement.
Peneliti memperluas model yang pernah digunakan oleh Bhimani (2003) tentang design and use
of control system dengan menambahkan variabel organizational culture (embedded).
Peneliti menyatakan perlunya menguji tambahan variable ini dengan menyetujui pendapat
Chaterjee et al. (1992) bahwa culture mempengaruhi semua aspek interaksi organisasi seperti
halnya aktivitas-aktivitas yang terjadi pada level menajemen tingkat atas.
Peneliti juga menyetujui pendapat Rousseau (1990) bahwa Control System adalah material
artifacts atau pattern behaviour yang dipengaruhi oleh struktur nilai dasar yang memberi makna
pada organisasi.
Peneliti menganggap bahwa sebagai bagian dari praktek pengendalian dan aktivitas organisasi,
maka the use of PMS dan diversity measurement juga dipengaruhi oleh organizational culture.
Peneliti menganggap bahwa performance assessment merupakan tindakan founded on values,
maka atribut-atribut PMS juga harus merefleksikan aspek organizational culture.
Peneliti menganggap adanya moderating effects of PMS use antara control/flexibility values
dengan diversity of measurement.
Secara spesifik, model menunjukkan pengaruh nilai dalam penggunaan sistem penilaian kinerja
para manajer tingkat atas yang selanjutnya mempengaruhi perbedaan dalam cara pengukuran.
Dengan kata lain, nilai control/flexibility akan mempengaruhi sistem penilaian kinerja yang
digunakan, baik pengukuran keuangan maupun non-keuangan.
Dari keterangan diatas tampak kelemahan model teoritik yang diajukan peneliti yang merupakan
replikasi dan pengembangan dari penelitian Bhimani (2003) dengan menambahkan variabel
organizational culture. Bhimani sendiri menyatakan bahwa etos kerja yang mempengaruhi
persepsi suksesnya suatu sstem penilaian kinerja. Hal ini menunjukkan dalam penelitian tersebut
Bhimani sudah memasukkan unsur organizational culture dalam salah satu dimensinya yaitu etos
kerja.

Demikian pula argumen yang digunakan peneliti bersandar pada pendapat Chaterjee et al. (1992)
dan Rousseau (1990) yang menyatakan bahwa culture mempengaruhi semua aspek interaksi
organisasi seperti halnya aktivitas-aktivitas yang terjadi pada level menajemen tingkat atas dan
bahwa Control System adalah material artifacts atau pattern behaviour yang dipengaruhi oleh
struktur nilai dasar yang memberi makna pada organisasi.
Tentunya berbeda kedua pendapat diatas, pendapat pertama menyatakan culture sebagai nilai
yang mempengaruhi organisasi (Chaterjee et al., 1992), sedangkan pendapat kedua menyatakan
culture sebagai nilai yang mendasari organisasi (Rousseau, 1990). Dengan adanya perbedaan
kedua pendapat tersebut seharusnya berakibat dalam mendudukkan posisi variabel
organizational culture dalam suatu model. Namun oleh peneliti dianggap sebagai suatu
penafsiran yang sama.
Bila kita perhatikan dalam Appendix A, maka instrument kuesioner yang digunakan oleh peneliti
meliputi 3 kelompok variabel : 1. organizational culture, 2. the use of PMS, dan 3. diversity of
measurement. (p.98-100)
Peneliti tidak menjelaskan argumen teoritis yang kuat bagaimana cara memperoleh 4 dimensi
atau indikator organizational culture sehingga menjadi Institutional Characteristic, Institutional
Leader, Institutional Cohesion, dan Institutional Emphases.
Peneliti sebaiknya dapat menambahkan suatu konsep yang mengkaitkan antara organisasi dan
institusi misalnya konsep dari Richard Scott (2001) yang terdiri dari regulative pillars,
normative pillars, dan culture-cognitive pillars. Atau peneliti sebaiknya juga dapat memasukkan
konsep Denison (2004) tentang dimensi-dimensi organizational culture yang terdiri dari
involment, consistency, adaptability, dan mission.
Adapun mengenai PMS use oleh peneliti diturunkan menjadi 4 dimensi/indikator Monitoring,
Attention-Focusing, Strategic-Decision Making, dan Legitimation. Akan lebih lengkap bila
peneliti juga dapat menghubugkan konsep pengendalian manajemen yang merupakan proses ini
interaksi antarindividu, yang tidak dapat digambarkan dengan cara mekanis. Para manajer
memiliki tujuan pribadi dan juga tujuan organisasi. Masalah pengendalian utama adalah
bagaimana mempengaruhi mereka untuk bertindak demi pencapaian tujuan pribadi mereka
dengan cara sedemikian rupa sehingga sekaligus juga membantu pencapaian tujuan organisasi.
Keselarasan tujuan (goal congruence) berarti, sejauh hal tersebut dimungkinkan, tujuan seorang
anggota organisasi seharusnya konsisten dengan tujuan organisasi itu sendiri. Sistem
pengendalian manajemen seharusnya dirancang dan dioperasikan dengan prinsip keselarasan
tujuan dalam pikiran setiap anggota organisasi.
Sedangkan Diversity of Measurement peneliti menggunakan balanced score card system yang
memiliki 4 atribut/dimensi yaitu Financial, Customer, Internal Business Process, dan Innovation
and Learning yang digunakan Kaplan dan Norton (1992, 1996).
Bila kita perhatikan model yang diajukan peneliti, maka ada beberapa kelemahan yang
menyulitkan pengambilan kesimpulan. Seperti pemakanan tanda (+) dan (-) yang memberikan
arti bila Dominant Culture Type nya (+) maka berhubungan dengan Nature of PMS nya (+), bila

Dominant Culture Type nya (-) maka berhubungan dengan Nature of PMS nya (-). Namun dari
Nature of PMS ke Diversity Measurement tidak ada tanda (+) atau (-) di dalam Diversity of
Measurement.
Tampak adanya penggabungan dua analisis, yang pertama menggunakan anova dan kedua
menggunakan SEM. Bagi sebagian peneliti biasanya memisahkan kedua model tersebutdalam 2
model terpisah, sehingga dapat dikeahui dengan mudah analisis menggunakan anova, dan mana
yang analisis menggunakan SEM.
4. Hipotesis
Di satu sisi, flexibility value diharapkan berhubungan dengan (i) an attention-focusing use of
PMS (hypothesis 2), (ii) a strategic decision-making use of PMS (hypothesis 3), and (iii) the
diversity of measurement (hypothesis 9) dibandingkan control value.
Demikian pula control value diharapkan berhubungan dengan (i) a monitoring use of PMS
(hypothesis 1), and (ii) a legitimization use of PMS (hypothesis 4) dibandingkan flexibility
values.
Dan terakhir, a strategic decision-making dan an attention-focusing yang digunakan dalam
system pengukuran kinerja diharapkan berhubungan dengan semakin besarnya diversity of
measurement (hypothesis 6 and 7), sedangkan a monitoring dan legitimization yang digunakan
dalam system pengukuran kinerja diharapkan berhubungan dengan semakin kecilnya diversity of
measurement (hypothesis 5 and 8).
5. Metode Riset
Target populasi sebanyak 2.175 terpilih 1.692 perusahaan manufaktur di Canada yang tercatat
pada tahun 2002 dalam database Scott_s dengan SIC codes 2139. Dalam penelitian ini,
perusahaan adalah yang memiliki entitas terpisah atau sub unit dari sebuah perusahaan besar,
yang memiliki struktur organisasi yang jelas dan strategi yang memungkinkan diterapkannya
PMS secara formal.Perusahaan-perusahaan tersebut dipilih berdasarkan criteria sebagai berikut:
(i) penjualan tahunan sedikitnya $20 juta (dollar Canada); dan (ii) sedikitnya memperkerjakan
150 karyawan.
Data dikumpulkan dengan kuesioner terstruktur (dwibahasa, Prancis dan Inggris) yang ditujukan
kepada manajemen level atas (the highest member of the _corporate_ top management team for
autonomous entity) atau kepada kepala cabang (or _local_ top management team for subunit).
Dalam Implementasinya, survei terdiri dari empat langkah: (i) pre-notification; (ii) initial
mailing; (iii) first follow up dan, (iv) second follow up. Setelah diteliti jawaban yang masuk,
maka diperoleh sebanyak 383 kuesioner atau sebesar 24% (response rate).
Menurut hemat saya, kelemahan dari penelitian ini adalah adanya 2 bias Pertama terjadi Bias
Proksi Yang Tidak Tepat dan Kedua terjadi Bias Seleksi Sample. Pertama adalah Bias Proksi
Tidak Tepat. Pemilihan proksi yang tidak tepat dapat mengakibatkan sample menjadi bias.
Kepala Cabang belum memiliki karakteristik sebagai Top Management. Kedua adalah Bias

Seleksi Sample, sehingga sample tidak mewakili populasinya. Dengan adanya dua kelompok
responden, yaitu kelompok kantor pusat (autonomy) dan kelompok kator cabang (unit)
menjadikan bias seleksi sample. Kepala Cabang/Kepala Unit tidak bisa disebut Top
Management, seperti yang telah didefinisikan sendiri oleh peneliti.
7. Pembahasan Hasil Penelitian
Seperti yang dikemukakan peneliti di awal pembahasan, bahwa tujuan penelitiian ini adalah
menyajikan pemahaman yang lebih baik hubungan antara organizational culture dan system
pengukuran kinerja (PMS) yang dibangun oleh manajemen level atas.
Namun peneliti kurang mampu membangun hubungan yang meyakinkan antar konsep tersebut
dan membuat model yang tidak standar, sehingga menunjukkan lemahnya hubungan antar
konsep-model-analisis-hasil-kesimpulan.
Sekian.
DAFTAR PUSTAKA
Henri, Jean-Francois. (2006). Organizational Culture and Performance Management System.
Accounting Organization and Society. 2006. 31, p77-103.

Anda mungkin juga menyukai