Anda di halaman 1dari 19

I.

IDENTITAS PASIEN

Nama Pasien
No. Rekam Medis
Jenis Kelamin
Tanggal Lahir
Umur
Alamat
Agama
Pendidikan
Sts. Perkawinan
Ruang Rawat
Tanggal Masuk
II.

: Tn. A. M
: 0000324483
: Laki-laki
: 12 Juni 1987
: 29 Th
: Menteng Tenggulun, Jakarta Pusat
: Islam
: SMP
: Lajang
: Wijaya Kusuma
: 30 Mei 2016

ANAMNESIS

Anamnesis secara Auto Anamnesis pada tanggal 30 Mei 2016


Keluhan Utama :
Pasien mengeluhkan sesak yang dirasakan sejak 1 minggu SMRS, dan dirasakan
memberat sejak 1 hari SMRS.
Keluhan Tambahan :
Dada terasa panas,
Nyeri ulu hati,
Batuk,
Tenggorokan terasa gatal,
Pusing.
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang dengan keluhan sesak nafas yang dirasakan sejak 1 minggu
sebelum masuk Rumah Sakit, dan dirasakan memberat sejak 1 hari sebelum masuk
Rumah Sakit. Sesak dirasakan hilang timbul. Sesak dirasakan memberat jika berjalan
seperti jalan ke toilet dan beraktivitas, dan meringankan jika dalam keadaan istirahat dan
duduk.
Pasien juga mengeluhkan dada terasa panas, batuk (+), tenggorokan terasa gatal
(+), pusing (+), lemas (+), mual (+), nyeri ulu hati (+), muntah (-), nyeri dada (-). Pasien
mengatakan nafsu makan meningkat, BAB dan BAK lancar.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat pengobatan TB Paru
Riwayat Hipertensi disangkal
Riwayat Diabetes Melitus disangkal
Riwayat Alergi disangkal
Riwayat Asma disangkal
Riwayat Keluarga :

Riwayat penyakit paru dalam keluarga disangkal


Riwayat Hipertensi
Riwayat Alergi
Riwayat Asma
Riwayat DM disangkal
Riwayat Kebiasaan :
Riwayat merokok 1 bungkus/hari
Riwayat mengkonsumsi alcohol disangkal.
Riwayat Kesehatan Lingkungan :
Adanya penderita batuk lama/berdarah disangkal
Adanya penderita yang menjalani pengobatan paru disangal
III.
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Tampak Sakit Sedang
Kesadaran
: Compos Mentis
GCS
: E4 M6 V5
Gizi
: Baik
Tanda Vital :
TD
: 110/70 mmHg
Nadi
: 65 x/menit
Suhu
: 36,4oC
Pernapasan: 20 x/menit
Status Generalis :
Kepala : Normocephal
Mata :
- Conjungtiva anemis -/- Sklera ikterik -/ Telinga dalam batas normal
Hidung dalam batas normal
Gigi dalam batas normal
Mulut dalam batas normal
Leher : Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening, tidak ada deviasi trakea,
peningkatan JVP tidak ditemukan.
Thorax :
Paru :
- Inspeksi : Gerak dada simetris, tidak ditemukan ketinggalan nafas,
tidak ada hematoma, tidak ada pelebaran vena, tidak ada retraksi
-

dinding dada.
Palpasi : Trakea tidak deviasi, fremitus vocal dan fremitus taktil

pada hemitoraks kanan dan kiri teraba simetris.


Perkusi : Terdengar sonor pada kedua lapang paru.
Auskultasi : Vesikuler +/+, wheezing -/-, ronkhi -/-

Jantung : BJ I dan BJ II, regular, murmur (-), gallop (-)


- Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
- Palpasi : Iktus kordis teraba
- Perkusi :
Batas Kanan Atas : SIC II Linea Parasternalis Dextra
Batas Kanan Bawah : SIC IV Linea Parasternalis Dextra
Batas Kiri Atas : SIC II Linea Parasternalis Sinistra
Batas Kiri Bawah : SIC V Linea Midclavicularis Sinistra
- Auskultasi : Bunyi Jantung I dan II regular, Murmur (-), Gallop (-).
Abdomen :
Inspeksi : Bentuk abdomen simetris, tidak ada hematoma, tidak ada

pelebaran vena, tidak ada sikatrik.


Auskultasi : Bising Usus (+) normal
Palpasi : Supel, Nyeri tekan dan nyeri lepas ditemukan (+), Hepar dan

Lien tidak teraba membesar.


Perkusi : Terdengar suara timpani diseluruh lapang abdomen.
Ekstremitas : Akral hangat, Capillary refill time <2, edema tidak ditemukan.
IV.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
Tanggal: 30 Mei 2016
JENIS
PEMERIKSAAN
HEMATOLOGI
RUTIN
Hemoglobin
Jumlah Leukosit
Jumlah Hematokrit
Jumlah Trombosit
HITUNG JENIS
Basofil
Eosinofil
Batang
Segmen
Limfosit
Monosit
Laju Endap Darah
KIMIA DARAH
FUNGSI HATI
SGOT/ASAT
SGPT/ALAT
USG

NILAI
HASIL

REFERENSI

SATUAN

13.1 *
9
40
215

13.2 17.3
3.8 10.6
40 52
150 440

g/dL
ribu/L
%
ribu/L

0*
3
2
58
35
2
20 *

<1
<3
<6
50 70
20 40
28
< 10

%
%
%
%
%
%
mm/jam

23
17

< 37
< 42

U/L
U/L

CATATAN

V.

RESUME

Tn. A, 29 tahun, datang dengan keluhan sesak sejak 1 minggu yang lalu dan dirasakan
memberat sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Sesak nafas dirasakan hilang timbul, terasa
berat jika melakukan aktivitas, dan meringankan dengan istirahat. Selain sesak, pasien juga
mengeluhkan batuk, tenggorokan terasa gatal, lemas, pusing, nyeri ulu hati dan mual tetapi tidak
muntah. Pasien pernah menjalani pengobatan TB paru beberapa tahun yang lalu, dan
menjalaninya hingga tuntas. Pasien memiliki riwayat merokok, 1 hari menghabiskan 1
bungkus rokok. Ayah pasien memiliki riwayat hipertensi.
Pada pemeriksaan fisik, didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran compos
mentis, GCS 15, TD 110/70 mmHg, Nadi 65 x/menit, Pernafasan 20 x/menit, Suhu 36.4 0C.
Kepala, mata, paru, jantung, abdomen dan ekstremitas dalam batas normal.

VI.
DIAGNOSIS
Pleuritis TB
Dyspepsia
VII. TATALAKSANA
Terapi awal yang diberikan di Rumah Sakit :
IVFD RL 1 kolf/12 jam
Rifampisin 1 x 600 mg
INH 1 x 300 mg
Etambutol 1 x 1500 mg
Pirazinamide 1 x 1000 mg
Curcuma 2 x 1
Streptomysin 1 x 1 g (IM)
Terapi tambahan :
Ambroxol 3 x 30 mg
Cefoperazone 2 x 1 gr
Ranitidine 2 x 1 tablet
Omeprazole 2 x 20 mg capsul
Cefixime 2 x 200 mg

TINJAUAN PUSTAKA
PLEURITIS TB
A. Definisi
Pleuritis atau radang pleura (Pleurisy/Pleurisis/Pleuritic chest pain) adalah suatu
peradangan pada pleura (selaput yang menyelubungi permukaan paru-paru) yang
mengakibatkan rasa nyeri saat menarik napas maupun mengeluarkan napas. Biasanya
rasa nyeri dirasakan semakin bertambah saat menarik nafas dalam atupun saat batuk.
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium
Tuberculosis. TB diklasifikasikan menjadi TB paru dan TB ekstra paru. TB paru adalah
tuberculosis yang menyerang jaringan paru, sedangkan TB ekstra paru adalah
tuberculosis yang menyerang organ selain paru seperti pleura, kelenjar getah bening,
tulang, kulit, usus, ginjal, otak, dan lain-lain.
Pleuritis TB merupakan infeksi pada pleura akibat tuberculosis. Penyakit ini
kebanyakan terjadi sebagai komplikasi TB paru melalui focus subpleura yang robek atau
melalui aliran getah bening. Sebab lain dapat juga dari perkijuan ke arah saluran getah
bening yang menuju rongga pleura, iga, atau kolumna vertebralis. Dapat juga secara
hematogen dan menimbulkan efusi pleura bilateral. Rupturnya focus subpleural dari
jaringan nekrosis perkijuan dapat menimbulkan cairan efusi karena tuberkuloprotein yang
ada didalamnya masuk ke rongga pleura, menimbulkan reaksi hipersensitivitas tipe
lambat.
Pleuritis dapat berlangsung secara akut, subakut, atau kronis, dengan ditandai
perubahan pola pernafasan yang intensitasnya tergantung pada berat proses radang. Pada
yang berlangsung akut, pasien mengalami kesakitan saat bernafas hingga pernafasan
menjadi dangkal, cepat, serta bersifat abdominal. Pada yang berlangsung subakut, proses
radang biasanya diikuti dengan empyema serta mengakibatkan kolaps sebagian paruparu, hingga pernafasan akan mengalami kesulitan (dyspnea). Sedangkan yang
berlangsung kronis, pada waktu istirahat tidak tampak adanya perubahan pada proses
pernafasan karena telah terjadi kompensasi.
B. Etiologi
1. Infeksi Virus
Infeksi virus merupakan penyebab paling sering terjadi pleuritic. Virus yang diketahui
sering menyebabkan terjadinya pleuritic adalah virus influenza, parainfluenza,

coxackievirus, respiratory synctyal virus, mups cytomegalovirus, adenovirus, dan


virus Ebstein-barr.
2. Infeksi Bakteri Piogenik
Permukaan pleura dapat ditempeli oleh bakteri yang berasal dari jaringan parenkim
paru dan menjalar secara hematogen. Bakteri penyebab dapat merupakan bakteri
aerob maupun anaerob, seperti Streptococcus pneumonia, Staphylococcus aureus,
Pseudomonas, Hemophillus, E.Coli, Pseudomonas, Bakteriodes, Fusobakterium, dan
lain-lain. Insiden tertinggi yang terjadi di rumah sakit (infeksi nosocomial) biasanya
disebabkan oleh Meticillin Resistant Staphylococcus Aureus (MRSA), yaitu jenis
bakteri yang telah resisten terhadap antibiotic dan merupakan penyebab umum dari
pleuritic yang disebabkan oleh bakteri.
3. Tuberkulosis
Merupakan infeksi primer dari bakteri Mycobacterium Tuberculosis. Bakteri ini
adalah kuman berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4 mm dan tebal 0,3-0,6
mm. Bakteri ini tahan terhadap asam dikarenakan kandungan asam lemak (lipid) di
dindingnya. Bakteri ini dapat hidup pada udara kering maupun dingin. Hal ini karena
kuman berada dalam sifat dormant yang suatu saat kuman dapat bangkit kembali dan
aktif kembali.
Bakteri ini hidup sebagai parasite intraseluler didalam sitoplasma makrofag.
Makrofag yang semula memfagositasi justru disenanginya karena mengandung
banyak lipid. Sifat lain kuman ini adalah aerob, yang artinya bakteri ini lebih
menyenangi jaringan yang tinggi kandungan oksigennya. Dalam hal ini tekanan
oksigen bagian apical paru-paru lebih tinggi daripada bagian lain. Sehingga bagian
apeks ini merupakan predileksi penyakit tuberculosis.
4. Inhalasi bahan kimia atau zat beracun
Paparan terhadap beberapa agen pembersih seperti ammonia.
5. Collagen Vascular Disease
Misalnya Lupus, Rhematoid Arthritis
6. Kanker
Contohnya seperti penyebaran dari kanker paru-paru atau kanker payudara ke pleura.
7. Tumor Pleura
Mesothelioma atau sarcoma
8. Trauma
Patah tulang rusuk atau iritasi dari rongga dada yang digunakan untuk mengalirkan
udara atau cairan dari rongga pleura di dada.
9. Pneumotoraks
Udara di dalam rongga pleura, terjadi secara spontan atau dari trauma.

C. Klasifikasi
Pleuritis terbagi menjadi 2 :
1. Pleuritis Kering (Fibrinosa/Sicca)
Penyebabnya :
Trauma dinding dada
Penyakit primer pada paru :
TB paru
Rheumatoid artritis
Pneumonia
SLE
Infark paru
Abses paru
Kanker bronkus
2. Pleuritis Basah (Efusi Pleura)
Berdasarkan jenis cairannya, efusi pleura terbagi menjadi :
a. Eksudat
Terjadi jika factor local yang mempengaruhi pembentukkan penyerapan cairan
pleura mengalami perubahan. Efusi pleura tipe transudatif dibedakan dengan
eksudatif dengan pengukuran kadar laktat dehydrogenase (LDH) dan protein di
dalam cairan pleura.
b. Transudat
Terjadi pada peningkatan tekanan vena pulmonalis, misalnya pada gagal jantung
kongestif, dan dapat juga terjadi pada hipoproteinemia, seperti pada penyakit hati
dan ginjal. Penimbunan transudate dalam rongga pleura disebut hidrotoraks.
D. Patofisiologi
Reaksi hipersensitivitas terhadap M. Tuberculosis memegang peranan penting
dalam terjadinya dan banyaknya cairan pleura. Protein tuberculin atau antigen M.
Tuberculosis menimbulkan reaksi hipersensitivitas tipe lambat yang merangsang sel
limfosit T melepaskan sejumlah limfokin yang menyebabkan perubahan permeabilitas
pembuluh darah pleura.
Pada orang normal, cairan di rongga pleura sebanyak 1-20 ml. Cairan di rongga
pleura jumlahnya tetap karena ada keseimbangan antara produksi oleh pleura visceralis
dan absorbsi oleh pleura parietalis. Keadaan ini dapat dipertahankan karena adanya
keseimbangan tekanan hidrostatik pleura parietalis sebesar 9 cmH 2O dan tekanan koloid
pleura visceralis sebesar 10 cmH2O. Tekanan dalam rongga paru lebih rendah dari

tekanan atmosfer, mencegah kolaps paru-paru. Ada 3 faktor yang mempertahankan


tekanan negative yang normal ini :
1. Jaringan elastis paru-paru yang memberikan kekuatan kontinyu yang
cenderung untuk menarik paru-paru menjauh dari dinding toraks.
2. Kekuatan osmotic yang terdapat di seluruh membrane pleura, cairan dalam
keadaan normal akan bergerak dari kapiler di dalam pleura parietalis ke ruang
pleura dan kemudian diserap kembali melalui pleura visceralis.
3. Kekuatan pompa limfatik.
Pleuritis TB kebanyakan terjadi sebagai komplikasi TB paru melalui focus
subpleura yang robek atau melalui aliran getah bening. Sebab lain juga bias karena
robeknya perkijuan ke saluran getah bening yang menuju rongga pleura, iga atau
kolumna vertebralis. Dapat juga terjadi secara hematogen dan menimbulkan efusi pleura
bilateral. Pada efusi eksudat (pleuritic eksudative tuberculosis) terjadi apabila ada proses
peradangan yang menyebabkan permeabilitas kapiler pembuluh darah pleura meningkat
sehingga sel mesotelial berubah menjadi bulat dan kuboid dan terjadi pengeluaran cairan
kedalam rongga pleura.
Perkembangan pleuritis TB mencapai puncak pada akhir minggu ketiga. Dalam
waktu 3 minggu cairan pleura dapat mencapai setinggi sela iga 5 atau 4, tetapi dapat pula
mencapai sela iga 2 atau lebih tinggi.
Efusi yang terjadi pada pleuritic TB berupa efusi pleura eksudatif. Eksudat
merupakan cairan yang terbantuk melalui membrane kapiler yang permeabelnya
abnormal dan berisi protein berkonsentrasi tinggi. Protein yang terdapat dalam cairan
pleura kebanyakan berasal dari kelenjar getah bening. Kegagalan aliran protein getah
bening pada pleuritis TB akan menyebabkan peningkatan konsentrasi protein cairan
pleura, sehingga menimbulkan eksudat.
E. Manifestasi Klinis
Pleuritis TB biasanya bermanifestasi sebagai penyakit demam akut disertai batuk
nonproduktif, dan nyeri dada tanpa peningkatan leukosit darah tepi. Penurunan berat
badan dan malaise bisa dijumpai, demikian juga menggigil. Sebagian besar efusi pleura
TB bersifat unilateral, lebih sering di sisi kanan. Jumlah cairan efusi bervariasi dari
sedikit hingga banyak, meliputi setengah dari hemitoraks. Jumlah maupun lokasi
terjadinya efusi tidak mempengaruhi prognosis.

Pleuritis TB kebanyakan terjadi sebagai komplikasi TB paru. Gejala utama pasien TB


paru adalah berupa gejala respiratorik dan gejala sistemik.
Gejala respiratorik
Batuk
Batuk 2 minggu. Gejala batuk timbul paling dini dan merupakan gangguan
yang paling sering dikeluhkan. Awalnya bersifat non produktif kemudian

berdahak bercampur darah bila sudah ada kerusakan jaringan.


Batuk darah
Darah yang dikeluarkan dalam dahak bervariasi, mungkin tampak berupa
garis atau bercak-bercak darah, gumpalan darah atau darah segar dalam
jumlah sangat banyak. Batuk darah terjadi karena pecahnya pembuluh darah.
Berat ringannya batuk darah tergantung dari besar kecilnya pembuluh darah

yang pecah.
Sesak nafas
Gejala ini ditemukan bila kerusakan parenkim paru sudah luas atau ditemukan
pada penyakit yang sudah lanjut, yang infiltrasinya sudah meliputi setengah

bagian paru-paru.
Nyeri dada
Gejala ini agak jarang ditemukan. Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang
sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritic. Terjadinya gesekan
kedua pleura sewaktu pasien menarik atau melepaskan nafasnya.

Gejala respiratori ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala yang
cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang pasien terdiagnosis pada saat medical
check up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka pasien mungkin
tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi bronkus, dan
selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak ke luar.
Gejala sistemik
Keringat malam
Demam
Penurunan berat badan
Nafsu makan menurun
Malaise
Gejala tuberculosis ekstra paru
Gejala tuberculosis ekstra paru tergantung dari organ yang terlibat, misalnya pada
limfadenitis tuberculosis akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari

kelenjar getah bening, pada meningitis tuberculosis akan terlihat gejala meningitis,
sementara pada pleuritic tuberculosis terdapat gejala sesak nafas dan kadang nyeri
dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan.
Pasien dengan pleuritis, umumnya mengeluh nyeri disekitar dada atau yang sering
disebut nyeri pleuritik. Terutama dirasakan pada akhir inspirasi dan bertambah berat
dengan adanya pergerakan nafas dalam, batuk keras, bersin sehingga penderita berusaha
menahan nafas untuk menahan nyerinya. Nyeri dirasakan didaerah axilla dan menjalar
sepanjang nervus intercostalis, kadang dijumpai sesak nafas ringan.
Pada efusi pleura, penderita umumnya mengeluhkan sesak nafas, dan kadang
disertai batuk produktif dan nyeri dada.
F. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis riwayat penyakit. Pada umumnya gejala-gejala
penyakit TB juga dapat ditemukan pada penderita pleuritis TB. Gejala yang sering terjadi
pada pleuritic TB adalah :
Nyeri dada : ini adalah yang paling umum. Rasa sakit bersifat tajam seperti
ditusuk, tetapi juga bisa menjadi tumpul atau seperti rasa terbakar. Rasa sakit akan
bertambah ketika pasien menarik nafas dalam, batuk, atau bergerak. Oleh karena

itu pasien akan bernafas pendek atau berbaring disisi yang sakit.
Batuk : umumnya pasien mengalami batuk kering, tetapi dapat juga batuk

berdahak atau berdarah jika disertai lesi di paru.


Sesak nafas : sesak nafas yang terkait dengan pleuritic TB tergantung banyaknya
cairan yang terakumulasi pada rogga pleura. Umumnya gejala sesak nafas akan
dirasakan pasien seperti rasa berat didada dan pasien akan mengambil posisi tidur
miring kearah lesi dan sesak nafas dapat ditoleransi oleh pasien karena akumulasi

cairan pleura mencapai kadar yang massif dalam waktu sekitar 3 minggu.
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik TB pleuritic dapat bervariasi apabila volume efusi
pleura > 300 ml akan didapatkan tanda-tanda adanya penurunan resonasi pada
perkusi, penurunan fremitus taktil, dan friction rub.
Pemeriksaan pertama terhadap keadaan umum pasien-pasien TB mungkin
ditemukan konjungtiva mata dan kulit yang anemis atau pucat karena anemia,
subfebris, badan kurus (berat badan menurun).
Pada pleuritis, penderita sering tampak sakit, nyeri ketuk pada perkusi, suara
nafas menurun dan terdengar bising gesek pleura.

Bila tuberculosis mengenai pleura, sering terbentuk efusi pleura, maka paru-paru
yang sakit akan terlihat tertinggal saat pernafasan, perkusi memberikan suara
pekak, auskultasi memberikan suara nafas yang lemah sampai menghilang.
Pemeriksaan Penunjang
Pada daerah-daerah dimana frekuensi tuberculosis paru tinggi dan terutama pada
pasien usia muda, sehingga besar efusi pleura karena pleuritic TB. Permulaan
pleuritic TB terlihat sebagai efusi.
Pemeriksaan penunjang pada pleuritis TB adalah sebagai berikut :
Foto Thorax
Tampak permukaan cairan yang terdapat dalam rongga pleura dan
membentuk bayangan seperti kurva, dengan permukaan daerah lateral
lebih tinggi daripada medial. Cairan dalam pleura bisa juga tidak
membentuk kurva, karena terperangkap atau terlokalisasi, keadaan ini
sering terdapat pada daerah bawah paru-paru yang berbatassan dengan

permukaan atas diafragma.


Analisis Cairan Pleura
a. Warna Cairan
Biasanya cairan pleura berwarna agak kekuning-kuningan (serosussantokrom). Pleuritis TB terlihat sebagai efusi yang sero-santokrom.
Bila kemerah-merahan bisa terjadi trauma, infark paru, keganasan, dan
adanya kebocoran aneurisma aorta. Bila kuning kehijauan dan agak
purulent, maka menunjukkan empyema. Bila merah cokelat, maka
menunjukkan adanya abses karena amoeba.
b. Biokimia
- Transudat Eksudat
Secara biokimia, efusi pleura terbagi atas transudat dan eksudat
yang perbedaannya dapat dilihat pada table berikut :
Keterangan
Transudat
Kadar
protein < 3

Eksudat
>3

dalam efusi (g/dL)


Rasio protein dalam <0,5

>0,5

efusi

dengan

protein serum
Kadar LDH dalam < 200

>200

efusi (I.U)
Rasio LDH dalam < 0,6

>0,6

efusi dengan LDH

serum
Berat jenis cairan
<1,016
>1,016
Rivalta
-/+
+
Glukosa
Kadar glukosa < 30 mg/100 cc : Pleuritis rheumatoid
Kadar glukosa > 60 mg/100 cc : Tuberculosis, keganasan, atau

empyema.
Enzim
Kadar ADA (Adenosin diaminase) > 50 IU, oleh karena

tuberculosis.
pH
Jika pada analisis pleura didapatkan pH rendah, PCO 2 tinggi

biasanya disebabkan tuberculosis.


c. Sitologi
Pemeriksaan sitologi terhadap cairan pleura amat penting untuk
diagnostic penyakit pleura, terutama bila ditemukan sel-sel patoligis
atau dominasi sel-sel tertentu, seperti :
- Sel Neutrofil, menunjukkan adanya infeksi akut.
- Sel Limfosit, menunjukkan adanya infeksi kronik seperti pleuritic
-

tuberkulosa atau limfoma maligna.


Sel Mesosel, bila jumlahnya meningkat maka menunjukkan adanya

infark paru dan biasanya juga banyak ditemukan eritrosit.


- Sel-sel besara dengan banyak inti, pada artritis remathoid.
- Sel L.E, pada lupus eritematosus sistemik
- Sel maligna, pada paru atau metastasis
d. Bakteriologi
Biasanya cairan pleura steril, tetapi kadang-kadang dapat mengandung
mikroorganisme, apalagi bila cairannya purulent (menunjukkan
empyema). Efusi purulent bisa mengandung kuman-kuman aerob
maupun anaerob.
Jenis kuman yang sering ditemukan dalam cairan pleura adalah
Pneumococcus, E.Colli, Klebsiella, Pseudomonas, dan Enterobacter.
Pleuritis tuberculosis, biakan cairan terhadap kuman tahan asam dapat
menunjukkan positif 20-30 %.
e. Biopsi Pleura
Pemeriksaan histopatologis atau beberapa contoh jaringan pleura dapat
menunjukkan 50 70 % diagnosis kasus-kasus pleuritis tuberculosis

dan tumor pleura. Bila ternyata hasil biopsi tidak memuaskan, dapat
dilakukan biopsi ulang.
Komplikasi biopsi adalah pneumotoraks, hemotoraks, penyebaran
infeksi atau pada tumor pada dinding dada.
Diagnosis utama pleuritis tuberculosis berdasarkan adanya kuman
tuberculosis dalam cairan efusi (biakan) atau dengan biopsy dan terutama pada
pasien usia muda, sebagian besar efusi pleura adalah karena pleuritis TB
walaupun tidak ditemukan adanya granuloma pada biopsi jaringan pleura.
G. Diagnosis Banding
Jantung
Pajanan
GIT
Hematologi/onkolog
i
Genetik
Infeksi

Inflamasi
Renal
Rematologi

Post cardiac injury syndrome, post myocardial infraction


syndrome (dresslers syndrome), post pericardiotomy
syndrome.
Asbestosis
Inflamatory bowel disease (IBS)
Keganasan, penyakit sickle sel
Familial Mediterranean fever
Viral (adenovirus, coxsackie virus, cytomegalovirus, EpsteinBarr virus, influenza, mumps, parainfluenza, respiratory
syncytial virus)
Bacterial (Mediterranean spotted fever)
Parasit (amebiasis, paragonimiasis)
Reaksi eosinophil pleuritis
Chronic renal failure (CRF), renal capsular hematoma
Lupus pleuritic, rheumatoid pleuritic, sjogrens syndrome

H. Penatalaksanaan
Sesuai dengan panduan yang dikeluarkan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia
tahun 2011, pengobatan pleuritic TB dimasukkan pada kategori pengobatan TB pada
keadaan khusus dan menggunakan panduan pengobatan 2 bulan fase intensif dengan obat
rifampisin, isoniazid, pirazinamid, dan etambutol, dilanjutkan 4 bulan fase lanjutan
dengan rifampisin dan isoniazid.
Penatalaksanaan pleuritic TB terdiri dari :
1. Obat
Pengobatan dengan obat-obatan antituberkulosis RHZES memakan waktu 6 12
bulan. Dosis dan cara pemberian obat seperti pada pengobatan tuberculosis paru.
Pengobatan ini mengakibatkan cairan efusi dapat diserap kembali, tetapi untuk
menghilangkan eksudat dengan cepat dapat dilakukan torakosintesis.

Umumnya cairan diresolusi dengan sempurna, tetapi kadang-kadang dapat diberikan


kortikosteroid secara sistematis (prednisone 1 mg/kgBB selama 2 minggu kemudian
dosis diturunkan secara perlahan).
2. Torakosintesis
Aspirasi cairan pleura (torakosintesis) berguna sebagai sarana untuk mendiagnosis
maupun terapeutik. Pelaksanaannya sebaiknya dilakukan pada pasien posisi duduk.
Aspirasi di lakukan pada bagian bawah paru, sela iga linea axillaris posterior dengan
menggunakan jarum abocath nomor 14 atau 16.
Pengeluaran cairan pleura sebaiknya tidak melebihi 1000-1500 cc setiap kali aspirasi.
Aspirasi sebaiknya dikerjakan berulang-ulang daripada 1 kali sekaligus yang dapat
menimbulkan pleura syok (hipotensi) atau edema paru akut. Komplikasi lain
torakosintesis adalah pneumotoraks (paling sering terjadi melalui jarum suntik),
hemotoraks (karena trauma pada pembuluh darah intercostalis) dan emboli udara
yang agak jarang terjadi.
Kategori pengobatan TB
a. Kategori I (2RHZE/4H3R3)
Panduan OAT ini diberikan untuk pasien baru :
Pasien baru TB paru BTA (+)
Pasien TB paru BTA (-) foto thorax (+)
Pasien TB ekstra paru
Tabel 1. Dosis untuk paduan OAT KDT untuk kategori 1
Berat Badan

Tahap intensif setiap hari


Tahap lanjutan 3 kali
selama 56 hari
seminggu selama 16 minggu
RHZE (150/75/400/275)
RH (150/150)
30 37 kg
2 tablet 4 KDT
2 tablet 2 KDT
38 54 kg
3 tablet 4 KDT
3 tablet 2 KDT
55 70 kg
4 tablet 4 KDT
4 tablet 2 KDT
5 tablet 4 KDT
5 tablet 2 KDT
71 kg
b. Kategori 2 (2HRZES/HRZE/5H3R3E3)
Panduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA (+) yang telah diobati sebelumnya :
Pasien kambuh
Pasien gagal
Pasien dengan pengobatan setelah putus obat (default)
Tabel 2. Dosis untuk paduan OAT KDT kategori 2
Berat Badan

Tahap intensif tiap hari

Tahap lanjutan 3 kali

RHZE

seminggu RH

30 37 kg

Selama 56 hari
2 Tab 4 KDT + 50 mg

(150/75/400/275) + S
Selam 28 hari
2 tab 4KDT

Streptomisin inj.

(150/150) + E (400)
Selama 20 minggu
2 tab 2 KDT + 2 tab
Etambutol

38 54 kg

3 tab 4KDT + 750

3 tab 4 KDT

3 tab 2KDT + 3 tab

55 70 kg

mg Streptomisin inj.
4 tab 4 KDT + 1000

4 tab 4 KDT

Etambutol
4 tab 2 KDT + 4 tab

71 kg

mg Streptomisin inj.
5 tab 4 KDT + 1000

5 tab 4 KDT

Etambutol
5 tab 2KDT + 5 tab

mg Streptomisin inj.

Etambutol

Efek Samping OAT


1. Isoniazid (INH)
Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping.
Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping. Oleh karena itu
pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan
selama pengobatan.
Efek samping dari INH diantaranya adalah kesemutan sampai dengan rasa
terbakar di kaki, gatal dan kemerahan pada kulit
2. Rifampisin
Efek samping ringan dapat terjadi seperti:
Sindrom flu berupa demam, menggigil, dan nyeri tulang.
Sindrom abdomen berupa sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah

kadang-kadang, diare.
Sindrom kulit seperti gatal-gatal kemerahan.

Efek samping berat juga dapat terjadi tetapi jarang :

Hepatitis imbas obat atau ikterik, bila terjadi hal tersebut OAT harus
dihentikan dulu dan penatalaksanaan sesuai dengan pedoman TB pada

keadaan khusus.
Purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal. Bila salah
satu dari gejala ini terjadi, rifampisin harus segera dihentikan dan jangan

diberikan lagi walaupun gejala sudah hilang.


Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak nafas

Rifampisin dapat menyebabkan warna merah pada air seni, keringat, air
mata dan air liur. Warna merah tersebut terjadi karena proses metabolism
obat dan tidak berbahaya. Hal ini harus diberitahukan kepada pasien agar
mereka mengerti dan tidak perlu khawatir.
3. Pirazinamid
Efek samping utama ialah hepatitis imbas obat (penatalaksanaan sesuai pedoman
TB pada keadaan khusus). Nyeri sendi juga dapat terjadi (beri aspirin), dan
kadang-kadang dapat menyebabkan serangan arthritis Gout, hal ini kemungkinan
disebabkan berkurangnya ekspirasi dan penimbunan asam urat. Kadang-kadang
terjadi reaksi demam, mual, kemerahan dan reaksi kulit yang lain.
4. Etambutol
Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa berkurangnya
ketajaman, buta warna untuk warna merah dan hijau. Meskipun demikian
keracunan okuler tersebut tergantung pada dosis yang dipakai, jarang sekali
terjadi bila dosisnya 15-25 mg/kgBB perhari atau 30 mg/kgBB yang diberikan 3
kali seminggu. Gangguan penglihatan akan kembali normal dalam beberapa
minggu setelah obat dihentikan. Sebaiknya etambutol tidak diberikan pada anak
karena resiko kerusakan okuler sulit untuk dideteksi.
5. Streptomisin
Efek samping utama adalah kerusakan syaraf kedelapan yang berkaitan dengan
keseimbangan dan pendengaran. Resiko efek samping tersebut akan meningkat
seiring dengan peningkatan dosis yang digunakan dan umur pasien. Resiko
tersebut akan meningkat pada pasien dengan gangguan fungsi ekskresi ginjal.
Gejala efek samping yang terlihat ialah telinga mendenging (tinnitus), pusing dan
kehilangan keseimbangan. Keadaan ini dapat dipulihkan bila obat segera
dihentikan atau dosisnya dikurangi 0,25 gr. Jika pengobatan diteruskan maka
kerusakan alat keseimbangan makin parah dan menetap.
Reaksi hipersensitivitas kadang terjadi berupa demam yang timbul tiba-tiba
disertai sakit kepala, muntah dan eritema pada kulit. Efek samping sementara dan
ringan jarang terjadi seperti kesemutan sekitar mulut dan telinga yang
mendenging dapat terjadi segera setelah suntikan. Bila reaksi ini mengganggu
maka dosis dapat dikurangi 0,25 gr.
Streptomisin dapat menembus sawar plasenta sehingga tidak boleh diberikan pada
perempuan hamil sebab dapat merusak syaraf pendengaran janin.

I. Komplikasi
Komplikasi berupa terjadinya fibrotoraks dan penebalan pleura yang menetap, selain itu
dapat muncul pleuritic kalkarea (kalsifikasi fibrotoraks) dengan atau tanpa deformitas
dinding dada, COPD dengan atau tanpa bronkietaksis, ekserbasi TB lambat dan fisula
internal maupun eksternal.
Komplikasi yang lain juga dapat terjadi tuberkulosa empyema. Pecahnya kavitas
parenkim ke ruang pleura dapat berkembang menjadi fistula bronkopleural dan
pyopneumotoraks.
J. Prognosis
Setengah dari kasus yang tidak diterapi akan berkembang menjadi bentuk tuberculosis
paru dan ekstra paru yang lebih berat dimana dapat berakibat pada kecacatan dan
kematian.
Umumnya efusi pada pleuritic TB primer tanpa diketahui dan proses penyembuhan
spontan sebnyak 90% kasus.

DAFTAR PUSTAKA
1. Amin Z. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi V. Jakarta: Interna
Publishing
2. Astowo, P. Efusi Pleura, Efusi Pleura Ganas, Empiema. Jakarta: Medical Faculty
University Of Indonesia
3. Corwin EJ. 2009. Buku Saku Patofisiologi Edisi Revisi 3. Jakarta: EGC
4. Handojo, I. 2000. Nilai Diagnostik Uji PAP-TB Pada Tuberkulosis di Luar Paru.
Laboratorium Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga RSUD Dr.
Sutomo, Surabaya.
5. Lorraine W, Sylvia A, Price, et al. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit, Edisi 6, Jilid 2. Jakarta: EGC
6. Mansjoer. 2009. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1 Edisi III. Jakarta: Media Aesculapius
7. PDPI. 2006. Tuberculosis, Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta:
PDPI
8. Slamet H, Abdul Mukty H. 2002. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya:
Universitas Airlangga.

Anda mungkin juga menyukai