PENDAHULUAN
Medical
Travel
Journal
pada
tahun
2008
telah
pasien Medan dan sekitarnya, banyak yang berobat keluar negeri terutama ke
negara tetangga Malaysia dan Singapura (Rohman, 2010).
Pasien yang berasal dari Sumatera Utara yang berobat ke luar negeri pada
tahun 2011 adalah 5.000 orang tiap bulannya ( Seputar Indonesia, 2011). Jika
dilihat dari jumlah penduduk di Sumatera Utara yang memiliki masalah kesehatan
pada tahun 2010 yaitu berjumlah 615.590 jiwa (Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia, 2011), maka persentase warga Sumatera Utara yang berobat ke luar
negeri adalah 0,97 persen per tahunnya dari total penduduk yang memiliki
masalah kesehatan di Sumatera Utara. Selanjutnya, dari 100 pasien di Sumatera
Utara yang berobat ke luar negeri, 70 persen pasien diantaranya hanya melakukan
check up dan sisanya penanganan pengobatan khusus atau spesialistik (Beritasore,
2011).
Dari sisi biaya, pasien mengeluarkan biaya setiap kali berobat ke luar
negeri sebesar 9 juta hingga 11 juta rupiah (MBA, 2011). Sehingga berdasarkan
jumlah pasien dan biaya yang dikeluarkan oleh pasien yang berobat ke luar
negeri, maka dapat diperkirakan besarnya biaya kesehatan yang ke luar untuk
institusi medis di luar negeri yaitu kira-kira 600 miliyar rupiah pertahun.
Ahmed (2005) menyatakan beberapa faktor yang bisa mempengaruhi
pasien dalam mencari dan menggunakan pelayanan medis, diantaranya yaitu; jauh
dan dekatnya lokasi sarana pengobatan dari tempat tinggal pasien, etnik, usia, dan
tingkat pendidikan. Sehubungan dengan pendapat Kusmawan (2011) yang
menyatakan bahwa pasien cenderung memilih lokasi pengobatan yang dekat dari
tempat tinggal untuk mengatasi masalah kesehatannya terlebih jika pasien dalam
kasus darurat. Begitu juga Cockroft, Milne, dan Anderson (2004) menyatakan
bahwa biaya juga menjadi faktor yang menentukan pilihan pasien dalam mencari
dan menggunakan pelayanan medis. Jika didasarkan pada pandangan Cockroft,
Milne, dan Anderson (2004), Kusmawan (2011), dan Ahmed (2005) bisa
diperkirakan bahwa pasien akan memilih berobat di Indonesia dari pada di luar
negeri. Hal ini karena, kedekatan lokasi dan biaya yang diperkirakan oleh pasien
lebih murah dan tidak memerlukan biaya tambahan, seperti; biaya tiket dan
akomodasi (Sulistyanto, 2010).
Hal ini juga dikuatkan oleh pandangan mengenai kompetensi dokter
Indonesia, seperti yang dinyatakan oleh Prof. Dr. CH. B. Lumenta yang
merupakan Pimpinan Bedah Saraf Universitas Dusseldorf di Jerman bahwa
sumber daya manusia kedokteran di Indonesia tidak kalah dari luar negeri seperti
dalam bedah saraf. Sejumlah dokter di Indonesia sudah mampu mengobati pasien
dengan tingkat resiko kematian paling rendah meskipun belum didukung oleh
peralatan yang memadai dan dengan biaya yang relatif murah (RIMAnews, 2010).
Berdasarkan faktor kedekatan, biaya, dan kompetensi SDM bidang medis
maka fenomena pasien di Indonesia yang berobat ke luar negeri adalah sesuatu
yang memunculkan tanda tanya. Terlebih, jika pasien berobat ke luar negeri maka
ada beberapa hal lain seperti adanya biaya tambahan akomodasi perjalanan selain
biaya
pengobatan
(Sulistyanto,
2010).
Selain
itu,
pasien
juga
harus
kepada pasien tidak maksimal karena dokter tidak fokus dan bahkan terlambat
dalam menangani pasien yang disebabkan oleh faktor situasional seperti macet
(Medan Bisnis, 2011). Hal serupa juga dinyatakan oleh Kartono Mohamad selaku
Mantan Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia bahwa sikap
dokter belum menempatkan kepentingan pasien sebagai prioritas yang utama.
Selain itu, kemampuan dokter dalam berkomunikasi serta kesediaan dokter dalam
memberi penjelasan kepada pasien ataupun keluarga pasien masih lemah
(Kompas, 2009). Sehingga, menurut pakar ilmu kedokteran komunitas yaitu Dr.
dr. Herqutanto, MPH, MARS bahwa masalah komunikasi dokter di Indonesia
menjadi pemicu banyaknya pasien untuk berobat ke luar negeri. (Pramudiarja,
2011).
Disisi lain, rasio jumlah dokter di Indonesia dan jumlah penduduk pada
tahun 2007 adalah 1:6.000. Hal ini jauh lebih besar dari Singapura (1:700) dan
Amerika Serikat (1:500) (Pribakti, 2008). Jika di Sumatera Utara, jumlah dokter
yang tersebar diseluruh kawasan Sumatera Utara pada tahun 2011 yaitu berjumlah
4006 orang, dengan rincian: dokter spesialis berjumlah 855 orang, dokter umum
berjumlah 2.405 orang, dan dokter gigi berjumlah 746 orang (Alamudi, 2012).
Sedangkan jumlah penduduk yang memiliki masalah kesehatan di Sumatera Utara
pada tahun 2010 adalah 615.590 orang (Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia, 2011). Maka bisa diperkirakan rasio dari jumlah dokter dan jumlah
penduduk di Sumatera Utara yang memiliki masalah kesehatan adalah (1:154).
Hal ini berarti bahwa setiap 1 orang dokter menangani 154 orang pasien.
menjelaskan
bahwa
kepercayaan
adalah
faktor
penting
yang