Anda di halaman 1dari 10

Latar Belakang

Secara umum diketahui bahwa gizi merupakan salah satu factor penting dalam system imun
seseorang. Penelitian epidemiologis dan klinis menunjukkan bahwa kekurangan gizi
menghambat respons imunitas dan meningkatkan risiko penyakit infeksi. rbagai penelitian
yang dilakukan selama kurun waktu 35 tahun yang lalu membuktikan bahwa gangguan
imunitas adalah suatu faktor antara (intermediate factor) kaitan gizi dengan penyakit infeksi
(Chandra, 1997).
Sebagai contoh, kekurangan energi- protein (KEP) berkaitan dengan gangguan imunitas
berperantara sel (cell-mediated immunity), fungsi fagosit, sistem komplemen, sekresi
antibodi imunoglobulin A, dan produksi Sitokin (cytokines). Kekurangan zat gizi tunggal,
seperti seng, selenium, besi, tembaga, vitamin A, vitamin C, vitamin E, vitamin B6, dan asam
folat juga dapat memperburuk respons imunitas. Selain itu, kelebihan zat gizi atau obesitas
juga menurunkan imunitas (Chandra, 1997).
Gangguan pada berbagai aspek imunitas, termasuk fagositosis, respons proliferasi sel ke
mitogen, serta produksi T- Lymphocyte dan sitokin telah ditemukan pada kondisi kekurangan
gizi (Chandra and Kumari, 1994; Chandra, 1990; Kulkarni Et al. 1994). Sampai saat ini,
mekanisme yang melaluinya kekurangan gizi mengakibatkan gangguan fungsi imunitas
masih terus mendapat perhatian serius para ahli gizi, imunolog, ahli biologi, dan ahli di
bidang lain yang terkait.
Beberapa penelitian baik pada tikus maupun manusia telah menghasilkan informasi penting
berkenan hubungan antara susu terfermentasi dengan imunitas. Pemberian susu terfermentasi
dapat mendorong pembentukan antiobodi dan respons imunitas seluler pada orang sehat.
Fungsi imunitas yang paling dipengaruhi adalah imunitas berperantara sel dan aktivitas
sitokin (Solis-Pereira et al., 1997).
Walaupun ada bukti bahwa kekurangan gizi dapat mempengaruhi patogen (Levander, 1997),
akan tetapi, pada umumnya dampak kekurangan gizi pada penyakit infeksi dikaitkan dengan
menurunnya fungsi imunitas tubuh. Kekurangan energi-protein, misalnya, antara lain,
menyebabkan penurunan pada proliferasi limposit, produksi sitokin, dan respons antibodi
terhadap vaksin (Lesourd, 1997).

1. Gizi dan Sistem Imun


Istilah gizi berasal dari bahasa Arab giza yang berarti zat makanan, dalam bahasa Inggris
dikenal dengan istilah nutrition yang berarti bahan makanan atau zat gizi atau sering diartikan
sebagai ilmu gizi. Pengertian lebih luas bahwa gizi diartikan sebagai proses organisme
menggunakan makanan yang dikonsumsi secara normal melalui proses pencernaan,
penyerapan, transportasi, penyimpanan, metabolisme, dan pengeluaran zat gizi untuk
mempertahankan kehidupan, pertumbuhan dan fungsi normal organ tubuh serta untuk
menghasilkan tenaga. (Djoko Pekik Irianto, 2006:2).
I Dewa Nyoman Suparisa dkk (2002: 17-18) Menjelaskan bahwa gizi adalah suatu proses
organisme menggunakan makanan yang dikonsumsi secara normal melalui proses degesti,
absorpsi, transportasi. Penyimpanan, metabolisme dan pengeluaran zat yang tidak digunakan
untuk mempertahankan kehidupan, pertumbuhan, dan fungsi normal dari organ-organ serta
menghasilkan energi.
System imun merupakan suatu usaha atau mekanisme yang dilakukan oleh tubuh dalam
mengeliminasi benda asing yang berpotensi bahaya terhadap tubuh. Benda asing yang
dimaksud dapat berupa sel kanker, sel tumor maupun agen penginfeksi seperti cacing, fungi,
protozoa, bakteri dan virus. Meskipun system imun memiliki kemampuan untuk melawan
berbagai invasi dari benda asing tersebut, namun kerja dari system imun sendiri sangat
dipengaruhi oleh beberapa hal, diantaranya adalah zat gizi.
Zat gizi memiliki kemapuan dalam memelihara dan meningkatkan system imun. Muis (2001)
menyatakan bahwa zat gizi mikro memiliki peranan penting dalam proses imunologi,
sehingga adanya defesiensi zat gizi mikro akan berpengaruh terhadap respon imun. System
imun juga memerlukan antioksidan yang dapat berperan dalam produksi serta menjaga
keseimbangan sel imun (hematopises). Dengan kata lain tubuh memerlukan nutrisi penting
dalam jumlah yang cukup agar system imun dapat bekerja secara optimal.
2. Penyebab
3. Klasifikasi
A. Klasifikasi Imunitas
Respon imun terhadap benda asing secara garis besar dibagi dalam dua
sistem utama, yaitu innate / non spesifik/bawaan dan adaptif/acquired atau
imunitas spesifik. Imunitas adaptif akan bekerja apabila imunitas bawaan (innate)
tidak dapat meniadakan infeksi dalam waktu dekat/pendek. Selanjutnya, pada saat

serangan kedua benda asing ke dalam tubuh, sel B dan T memori akan membantu
sistem imun beraksi lebih cepat. Imunitas bawaan (innate)/non spesifik terdiri
dari garis pertahanan epitel, komponen seluler (makrofag, lekosit
polimorfonuklear, natural killer (NK) dan dendritic cell (DCs)) dan komponen
non-seluler dengan molekul marker/pendeteksi (CRP/C-reactive protein, serum
amiloid protein, complement). Dalam bekerja, baik imunitas bawaan maupun
imunitas adaptif tidak dapat dipisah-pisahkan, namun saling melengkapi.
Kekebalan nonspesifik (Kekebalan bawaan)
Kekebalan nonspesifik merupakan potensi yang terdapat dari dalam
tubuh sendiri. Kekebalan ini ada sejak manusia dilahirkan. Meliputi:
1) Perlindungan Permukaan
Apabila ada kuman masuk ke dalam tubuh, ada sistem
pertahanan luar pada bagian kulit yang akan menghalangi dan
mematikan kuman tersebut sehingga kuman tidak dapat masuk ke
dalam tubuh. Apabila kuman masih dapat lolos dan menembus kulit,
maka akan dijerat oleh lendir yang dihasilkan oleh bagian membran
mukosa. Perlindungan yang diberikan oleh kulit dan membran mukosa,
antara lain sebagai berikut :
Kulit selalu mengelupas secara periodik dan menghasilkan minyak
yang bersifat asam yang dapat membunuh kuman. Kulit yang utuh
merupakan pertahanan terluar untuk mencegah masuknya bibit
penyakit ke dalam tubuh. Dalam kulit manusia normal selalu terdapat
bakteri Stophyloccis pyogenes. Selama kulit tidak mengelupas oleh
luka atau lecet maka bakteri ini tidak akan menimbulkan penyakit.
Kelenjar air mata mengeluarkan lisosim yang dapat menghancurkan
bibit penyakit yang menempel pada mata.
Keasaman pada vagina dan urin akan menghambat pertumbuhan bibit
penyakit tertentu.
Lambung memproduksi asam lambung (HCl) untuk membunuh
kuman-kuman yang masuk pada makanan.
Gerakan peristaltik pada usus mendorong bibit penyakit yang ada di
dalam usus segera keluar bersama feses.
Gerak rambat getar, pengeluaran lendir pada saluran pernapasan dan
refleks batuk dapat mencegah masuknya bibit penyakit dari debu ke
dalam paru-paru.
2) Pertahanan dengan Cara Menimbulkan Peradangan (Inflamatori)
Mikroorganisme yang telah berhasil melewati pertahanan di
bagian permukaan organ dapat menginfeksi sel-sel dalam organ. Tubuh
akan melakukan perlindungan dan pertahanan dengan memberi tanda
secara kimiawi yaitu dengan cara sel terinfeksi mengeluarkan senyawa
kimia histamin dan prostaglandin. Senyawa kimia ini akan
menyebabkan pelebaran pada pembuluh darah di daerah yang
terinfeksi. Hal ini akan menaikkan aliran darah ke daerah yang terkena
infeksi. Akibatnya daerah terinfeksi menjadi berwarna kemerahan dan
terasa lebih hangat.
Apabila kulit mengalami luka akan terjadi peradangan yang
ditandai dengan memar, nyeri, bengkak, dan meningkatnya suhu tubuh.

Jika luka ini menyebabkan pembuluh darah robek maka mastosit akan
menghasilkan bradikinindan histamin. Bradikinin dan histamin ini
akan merangsang ujung saraf sehingga pembuluh darah dapat semakin
melebar dan bersifat permeabel.
Kenaikan permeabilitas kapiler darah menyebabkan neutrofil
berpindah dari darah ke cairan luar sel. Neutrofil ini akan menyerang
bakteri yang menginfeksi sel. Selanjutnya, neutrofil dan monosit
berkumpul di tempat yang terluka dan mendesak hingga menembus
dinding kapiler. Setelah itu, neutrofil mulai memakan bakteri dan
monosit berubah menjadi makrofag (sel yang berukuran besar).
Makrofag berfungsi fagositosis dan merangsang pembentukan jenis sel
darah putih yang lain.
3) Pertahanan Menggunakan Protein Pelindung
Jenis protein ini mampu menghasilkan respons kekebalan, di
antaranya adalah komplemen. Komplemen ini dapat melekat pada
bakteri penginfeksi. Setelah itu, komplemen menyerang membran
bakteri dengan membentuk lubang pada dinding sel dan membran
plasmanya. Hal ini menyebabkan ion-ion Ca+ keluar dari sel bakteri,
sedangkan cairan serta garam-garam dari luar sel bakteri akan masuk
ke dalam tubuh bakteri. Masuknya cairan dan garam ini menyebabkan
sel bakteri hancur.
Kekebalan Spesifik (Kekebalan adaptif)
Kekebalan spesifik mampu mengenali dan mengingat patogen spesifik.
Pertahanan ini dilakukan oleh antibodi dan antitoksin yang dapat menahan
serangan bibit penyakit, baik sel mikronya maupun toksin yang dihasilkan oleh
bibit penyakit tersebut. Daya kerja zat anti ini sangat spesifik, misalnya
antibodi untuk menahan Mycobacterium tuberculosistidak dapat menahan
serangan Bacillus anthracis. Antitoksin tetanus juga dapat digunakan untuk
mencegah serangan dipteri. Pertahanan spesifik dalam kehidupan sehari-hari
disebut sebagai kekebalan tubuh (imunitas).
Berdasarkan cara memperolehnya, kekebalan (imunitas) dibedakan
menjadi dua, yaitu :
1. Kekebalan aktif
Kekebalan aktif merupakan jenis kekebalan yang dapat dibuat oleh
tubuh dengan sendirinya karena respon tubuh terhadap suatu antigen (benda
asing) yang masuk ke dalam tubuh. Jenis kekebalan ini akan bertahan lama,
bahkan dapat bertahan seumur hidup. Jenis kekebalan ini ada pula yang
sengaja dibuat dengan tujuan agar tubuh dapat membuat antibodi untuk
melawan dan menghasilkan kekebalan yang baru. Misalnya, dengan
memasukkan antigen (benda asing) berupa vaksin ke dalam tubuh. Vaksin ini
berupa bibit penyakit atau virus yang sudah dilemahkan.
2. Kekebalan pasif
Kekebalan pasif berbeda dari kekebalan aktif. Pada kekebalan pasif, tubuh seseorang
langsung menerima antibodi yang sudah jadi sehingga tidak perlu membuatnya
sendiri. Salah satu contoh kekebalan pasif yaitu pemberian air susu ibu (ASI)
pada bayi. Pemberian ASI ini selain bertujuan untuk memberikan makanan
yang terbaik bagi anaknya juga untuk memberikan kekebalan pada bayinya.
Berdasarkan penelitian diketahui bahwa air susu ibu yang baru menyusui

mengandung antibodi yang baik untuk bayi sehingga bayi memiliki kekebalan
terhadap penyakit tertentu. Kekebalan pasif ini sifatnya sementara sehingga
dalam jangka waktu tertentu antibodi tersebut akan hilang dari dalam tubuh.
B. Klasifikasi Status Gizi
Klasifikasi status gizi digunakan untuk memilahmilah nilai status gizi sedangkan
garis pembatas (cut off points)digunakan untuk membedah(indikator) nilai status
gizi. Klasifikasi status gizi bermacam macam :
1. Klasifikasi dengan satu indeks antropometri, yaitu B/U, T/U, LLA/U, dan
LLA/T untuk gizi kurang ; serta B/T untuk seluruh spektrum keadaan gizi.
2. Klasifikasi dengan gabungan indeks antropometri, yaitu menurut Waterloo
( B/T dan B/U ) dan WHO ( B/T, B/U, dan T/U ).
3. Klasifikasi dengan gabungan indeks antropometri dengan pemeriksaan fisis
dan/ atau laboratorium, yaitu tatacara klasifikasi menurut Wellcome Trust
Party (B/U, edema) dan menurut Mc Larren (B/U, edema, serum protein).
4. Klasifikasi dengan indeks antropometri dalam bentuk rasio dan pangkat/
akar, yaitu indeks massa tubuh ( BMS = Body Mass Index) rasio berat (kg)
terhadap tinggi (m) pangkat dua.(Arif mansjoer, Dkk : 576 577, 2000).
A. Klasifikasi Gomez (1956)
Baku yang digunakan oleh gomez adalah baku rujukan Harvard. Indek yang
digunakan adalah berat badan menurut umur (BB/ U). Sebagai baku patokan
digunakan persentil 50. Gomez mengklasifikasikan status gizi atau KEP Yaitu normal,
ringan,sedang dan berat. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel
Tabel 2.1
Klasifikasi KEP menurut Gomez
Kategori
BB/ U (%)
(Derajat KEP)
0 = Normal
< 90 %
1 = Ringan
89 75 %
2 = Sedang
74 60 %
3 = < 60 %
Berat
(Sumber Gibson Rosalind. S, 1990. Principle Of Nutritional Assessment,Oxford
University
Press, New York)

B. Klasifikasi kualitatif Menurut Wellcome Trust


Yang mana sangat mudah tidak memerlukan pemeriksaan klinis maupun
laboratorium. Penetuan dapat dilakukan oleh tenaga medis setelah diberi latihan
yang cukup. Dapat dilihat pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2
Menurut Wellcome Trust Klasifikasi Status Gizi
Berat
Badan Edema
(%)
Tidak ada
Ada
> 60 %
Gizi Kurang
Kwashiorkor
< 60 %
Marasmus
Marasmus

Kwashiorkor
(Sumber, Solihin Pudjiadi, 1997. Ilmu Gizi Klinis pada Anak, Fk UI. Jakarta)
C. Klasifikasi menurut Waterlow
Waterlow membedakan antara penyakit KEP yang terjadi akut dan kronis. Beliau
berpendapat bawa depisit Berat badan terhadap tinggi badan mencerminkan gangguan
gizi yang akut dan menyebabkan keadaan Wasting (kurus kering). Depisit tinggi
menurut umur merupakan akibat kekurangan gizi yang berlangsung sangat lama.
Akibat yang ditimbulkan adalah anak menjadi pendek stunting untuk umurnya. Dapat
dilihat pada Tabel 2. 3.

Tabel 2.3

Klasifikasi menurut Waterlow


Kategori Stunting
Wasting
(Tinggi
menurut (Berat
menurut
umur)
tinggi)
0
>95 %
>90 %
1
90 80 %
90 -80 %
2
80 70 %
80 70 %
3
< 70 %
< 70 %
(Sumber, Solihin Pudjiadi, 1996. Ilmu Gizi klinis pada Anak. Jakarta)
D. Klasifikasi menurut Jelliffe
Indek yang digunakan adalah berat badan menurut umur. Pengkategorian adalah I, II,
III, IV. Dapat dilihat pada tabel 2.4.
Tabel 2.4
Klasifikasi KEP
Kategori
BB? U (%)
KEP I
90 80
KEPII
80 70
KEP II
70 60
KEP IV
< 60
(Sumber, Rekso dikusumo, 1996. Penilain Status Gizi secara antropometri. Jakarta)

E. Klasifikasi Bengoa
Ada 3 kategori yaitu KEP I, II, dan III. Indek yang digunakan adalah berat badan
menurut umur. Dapat dilihat pada Tabel 2.5.
Tabel 2.5
Klasifikasi KEP
Kategori BB/ U (%)
KEP I
90 -76

KEP II
KEP III

75 -61
Semua penderita dengan
edema
(Sumber, Rekso dikusumo,1996. Penilaian Status Gizi secara Antropometri.
Jakarta)
F. Klasifikasi menurut Rekomendasi Lokakarya Antropometri, 1975 serta
Puslitbang Gizi, 1978
Dalam rekomendasi tersebut digunakan lima macam indeks yaitu : BB/ U, TB/ U,
LLA/ U, BB/ TB dan LLA/ TB. Dapat dilihat pada tabel 2.6.

Tabel 2.6 Klasifikasi KKP berdasarkan


menurut Puslitbang Gizi 1978
Kategor
BB/
TB/
i Gizi
U
U
Baik/
100 80
100 -95
Normal
Kurang < 80 60
< 95 85
Buruk
< 60
< 85

Lokakarya Antropometri Depkes 1974 dan


LLA/
U
100 85

BB/T
B
100 90

LLA/T
B
100 85

< 85 70
< 70

< 90 70
< 70

< 85 75
< 75

(Sumber, Djumadias Abunain,1990. Aplikasi Antropometri. Jakarta)


G. Klasifikasi Cara WHO
Pada dasarnya mengunakan 3 indek yaitu : BB/TB, BB/ U, dan TB/ U. Dapat dilihat
pada tabel 2.7.
Tabel 2.7 Intepretasi keadaan gizi berdasarkan 3 Indeks antropometri
B/T B/U
T/U Keadaan Gizi
N
R
T
Baik, pernah kurang gizi,
N
N
N
pendek
N
T
T
Baik, perawakan medium
R
R
T
Baik perawakan jangkung
R
R
N
Buruk/ kurang, jangkung
R
N
T
Buruk, perawakan medium
T
T
R
Kurang, perawakan jangkung
T
N
R
Lebih, kemungkinan obesitas
T
T
N
Lebih, pernak kurang gizi,
pendek
Lebih, tidak obesitas, medium
(Supariasa, 2001)

4. Hubungan Gizi dan Kwarsiorkor

Penyebab utama dari kwashiorkor adalah makanan yang sangat sedikit


mengandung protein (terutama protein hewani), kebiasaan memakan makanan berpati
terus-menerus, kebiasaan makan sayuran yang mengandung karbohidrat.
Penyebab kwashiorkor yang lain yaitu:
A. Adanya pemberian makanan yang buruk yang mungkin diberikan oleh ibu
karena alasan: miskin, kurang pengetahuan, dan adanya pendapat yang salah
tentang makanan.
B. Adanya infeksi, misalnya:
o Diare akan mengganggu penyerapan makanan.
o Infeksi pernapasan (termasuk TBC dan batuk rejan) yang menambah
kebutuhan tubuh akan protein dan dapat mempengaruhi nafsu makan.
C. Kekurangan ASI.
5. Pencegahan
Berikut akan diuraikan peranan zat gizi untuk mencegah terjadinya penyakit imunologis :
a. Vitamin A
Vitamin A mempunyai peranan penting di dalam pemeliharaan sel epitel. Sel epitel
merupakan salah satu jaringan tubuh yang terlibat di dalam fungsi imunitas nonspesifik. Imunitas non-spesifik melibatkan pertahanan fisik seperti kulit, selaput
lendir, silia saluran nafas.
Vitamin A selain mempunyai peranan penting pada imunitas non-spesifik, juga
berperan pada imunitas seluler. Dalam bekerja imunitas seluler melibatkan sel darah
putih baik mononuklear maupun polinuklear, serta sel NK (natural killer). Sel sel ini
berperan sebagai sel yang menangkap antigen, mengolah dan selanjutnya
mempresentasikan ke sel T, yang dikenal sebagai sel penyaji atau APC (antigen
presenting cell) dan selanjutnya memacu produksi sitokin dan pada akhirnya
meningkatkan produksi sel B dan antibodi.
b. Vitamin E
Vitamin E atau -tokoferol merupakan vitamin larut lemak. Vitamin ini banyak
terdapat dalam membran eritrosit dan lipoprotein plasma. Tokoferol terutama tokoferol telah diketahui sebagai antioksidan yang mampu mempertahankan integritas
membran sel. Peranan vitamin E sebagai antioksidan yang melindungi membran sel
secara langsung juga menjaga permeabilitas membran. Integritas membran sel ini
sangat mempengaruhi fungsi imunitas terutama sel-sel imun utamanya sel T helper
dalam berinteraksi dengan antigen presenting cell (APC).
c. Vitamin C

Peran vitamin C di dalam sistem imun terkait erat dengan peran vitamin C sebagai
antioksidan. Oleh karena vitamin C mudah mendonorkan elektronnya ke radikal
bebas maka sel-sel termasuk sel imun terlindung dari kerusakan yang disebabkan oleh
radikal bebas. Vitamin C juga mempunyai peran dalam sintesa kolagen untuk menjaga
kesehatan kulit. Kulit adalah salah satu jaringan tubuh yang berperan di dalam
imunitas non spesifk. Kulit yang utuh dan sehat dapat menjaga masuknya unsur
patogen ke dalam tubuh. Kulit merupakan barier pertama yang menjaga masuknya
benda asing sehingga mencegah terjadinya infeksi.
d. Selenium
Disebutkan dalam beberapa literatur bahwa selenium bekerjasama dengan vitamin E
dan berperan sebagai antioksidan. Kerjasama tersebut terjadi karena vitamin E
menjaga membran sel dari radikal bebas dengan melepas ion hidrogennya, sedangkan
selenium berperan dalam memecah peroksida menjadi ikatan yang tidak reaktif
sehingga tidak merusak asam lemak tidak jenuh yang banyak terdapat dalam
membran, membantu mempertahankan integritas membran dan melindungi DNA dari
kerusakan.
Kekurangan selenium yang berdampak pada imunitas sudah banyak dilaporkan oleh
beberapa peneliti. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa pada keadaan kekurangan
selenium akan terjadi penurunan titer IgG dan IgM, mengganggu kemotaksis neutrofil
dan produksi antibodi oleh limfosit, mengganggu dan meningkatkan CD4+ dan
menurunkan CD8+
e. Zink
Zinc mempunyai peran yang penting dalam sintesa asam nukleat. Asam nukleat
adalah senyawa yang esensial di dalam sel, sehingga keberadaan zinc mempunyai
peranan penting di dalam fungsi imunitas seluler.
f. Zat Besi
Keberadaan besi dalam dua bentuk ion ini menyebabkan besi berperan dalam proses
respirasi sel yaitu sebagai kofaktor bagi enzim-enzim yang terlibat dalam reaksi
oksidasi-reduksi. Antioksidan enzimatis bekerja dengan cara mencegah terbentuknya
senyawa radikal bebas baru.
Kekurangan besi akan berdampak pada reaksi imunitas berupa aktivitas neutrofil yang
menurun, dan sebagai konsekuensinya kemampuan untuk membunuh bakteri
intraseluler secara nyata menjadi terganggu.
Pengobatan

Pada stadium ringan penyakit imun dapat diobati dengan melakukan perbaikan gizi terutama
zat gizi protein yang berperan dalam perbaiakan system imun, namun dalam kasus yang berat
cenderung lebih kompleks karena maisng-masing penyakit harus diobati satu persatu.
Penderita sebaiknya dirawat di Rumah Sakit untuk mendapatkan perhatian medis.
Keseimpulan
Status gizi merupakan determinan penting bagi respons imunitas. Perbaikan pada fungsi
imunitas merupakan factor antara peran gizi pada pencegahan penyakit infeksi. Kecukupan
zat gizi terutama vitamin dan mineral sangat diperlukan dalam mempertahankan sistem
kekebalan tubuh yang optimal. Karena sebagian besar vitamin dan seluruh mineral tidak
dapat disintesa oleh tubuh, maka konsumsi makanan yang beragam dan seimbang sangat
diperlukan utamanya sumber vitamin mineral seperti buah, sayuran dan pangan hewani.
Beberapa vitamin dan mineral mempunyai peran sebagai antioksidan yang sangat
mempengaruhi kualitas hidup manusia diantaranya adalah vitamin A, vitamin E, vitamin C,
selenium, zat besi dan zinc. Zat gizi ini diperlukan dalam sistem pertahanan tubuh karena
perannya sebagai zat gizi antioksidan.
Referensi
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/18924/1/ikm-des2006-10%20%282%29.pdf
ejournal.persagi.org
http://kb.123sehat.com/lain/defisiensi-kekurangan-gizi/
eprints.uny.ac.id
ejournal.persagi.org

Anda mungkin juga menyukai