Anafilaksis
Anafilaksis
Kriteria Diagnosis
Secara harafiah, anafilaksis berasal dari kata ana yang berarti balik dan phylaxis
yang berarti perlindungan. Dalam hal ini respons imun yang seharusnya melindungi
(prophylaxis) justru merusak jaringan, dengan kata lain kebalikan dari pada
melindungi (anti-phylaxis atau anaphylaxis).
Manifestasi klinik:
1) Gejala Prodomal
Lesu, lemah, rasa tak enak yang sukar dilukiskan, rasa tak enak di
perut dan dada, rasa gatal di hidung dan palatum
2) Sistem Respirasi
a. Hidung
b. Laring
c. Lidah
: edema
d. Bronkus
e. Sianosis
f. Respiration arrest
3) Sistem Kardiovaskuler
a. Chest pain
b. Pingsan, sinkop, palpitasi, takikardi, hipotensi sampai syok, aritmia
c. Kelainan EKG : gelombang T datar, terbalik, atau tanda-tanda infark
miokard
4) Sistem Gastro Intestinal
Mata
SSP
: Kejang, gelisah
Diagnosis Banding
Beberapa keadaan yang menyerupai reaksi anafilaksis yaitu reaksi anafilaksis
yaitu reaksi vasovagal, infark miokard akut, reaksi hipoglikemik, reaksi histerik atau
angiodema herediter
1. Reakasi vasovagal sering dijumpai setelah pasien mendapat suntikan. Pasien
tampak mau pingsan, pucat, dan berkeringat. Dibandingkan dengan reaksi
anafilaksis, pada reaksi vasovagal nadinya lambat dan tidak terjadi sianosis.
Meskipun tekanan darahnya turun, tetapi masih mudah diukur dan biasanya tidak
terlalu rendah seperti pada anafilaksis.
2. Pada infark miokard akut gejala yang menonjol adalah nyeri dada, dengan atau
tanpa penjalaran. Gejala tersebut sering diikuti rasa sesak, tetapi tidak nampak
tanda-tanda obstruksi saluran nafas, maupun kelainan kulit. Pemeriksaan
elektrokardiografi dan enzimatik akan membantu diagnosis infark miokard akut.
3. Reaksi hipoglikemik dapat disebabkan oleh pemakaian oabt antidiabetes atau obat
lain. Pasien tampak lemah, pucat, berkeringat sampai tak sadar. Tekanan darah
kadang-kadang turun, tetapi tidak dijumpai tanda-tanda obstruksi saluran nafas
maupun kelainan kulit. Pemeriksaan kadar gula darah dan pemberian terapi
glukosa menyokong diagnosis reaksi hipoglikemik.
4. Pada reaksi histerik tidak dijumpai tanda-tanda gagal nafas, hipotensi ataupun
sianosis. Pasien kadang-kadang pingsan meskipun hanya sementara. Penilaian
tanda-tanda vital dan status neurologik dengan cepat membedakan keadaan ini
dengan reaksi anafilaktik. Sering pasien mengeluh paraestesia.
5. Sindroma angioderma neurotik herediter merupakan salah satu keadaan yang
menyeruapi anafilaksis. Sindrom ini ditandai dengan angiodema saluran nafas
bagian atas dan sering dijumpai kolik abdomen. Tidak dijumpai kelainan kulit atau
kolaps vaskuler. Adanya riwayat keluarga yang mempunyai sindroma ini disertai
penurunan inhibitor CI esterase mendukung adanya sindroma angiodema neurotik
herediter.
6. Sindroma karsinoid menyerupai anafilaksis idiopatik. Sindroma ini ditandai
dengan adanya gejala gastrointestinal, spasme bronkus dan rasa panas di sekitar
kulit. Tetapi tidak dijumpai adanya urtikaria atau angiodema. Pemeriksaan
laboratorium menunjukkan serotonin darah meninggi serta kadar histamin dan 5
hidroksi indol asam asetat dalam urin meninggi.
B. Fisiologi
1. Mekanisme Pengaturan Aliran Darah
Pengendalian aliran darah lokal dapat dibagi dalam 2 fase : (1) pengaturan
akut (2) pengaturan jangka panjang.
Pengaturan akut dicapai melalui perubahan cepat pada vasodilatasi atau
vasokontriksi arteriol, metaarteriol, dan sfingter prekapiler setempat, yang terjadi
dalam waktu beberapa detik sampai beberapa menit agar dapat dengan cepat
mempertahankan aliran darah jaringan setempat yang memadai.
Namun, pengaturan jangka panjang , berarti perubahan aliran yang lambat dan
terkontrol selama berhari-hari, berminggu-minggu, atau bahkan berbulan-bulan.
Perubahan ini terjadi sebagai akibat dari peningkatan atau penurunan ukuran dan
jumlah pembuluh darah yang memenuhi kebutuhan jaringan.
Pada reaksi anafilaktik, efek yang dihasilkan dari pengeluaran mediator pada
reaksi sensitivitas tipe I ini dapat mempengaruhi pengaturan tekanan darah yang
termasuk pengaturan jangka akut sebagai mekanisme kompensasi dari system
sirkulasi.
2. Teori Vasodilator bagi Pengaturan Akut Aliran Darah Lokal
Sebagian dari berbagai zat vasodilator yang telah dikemukakan adalah
adenosine, histamine, ion kalium, karbon dioksida, senyawa fosfat adenosine, dan
sejumlah besar hydrogen.
4. Patofisiologi
Anafilaksis disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas Gell dan Coombs tipe 1.
Reaksi tipe 1 disebut juga reaksi cepat atau reaksi alergi, timbul segera setelah tubuh
terpajan dengan alergen. Pajanan dengan antigen akan mengaktifkan sel Th2 yang
merangsang sel B berkembang menjadi sel plasma yang memproduksi Imunoglobulin
E (IgE) alergen spesifik. IgE mempunyai kecenderungan yang kuat untuk melekat
pada sel Mast dan basofil yang memiliki reseptor untuk fraksi Fc dari IgE (Fce-R1).
Pada pajanan yang kedua dengan alergen akan menimbulkan ikatan silang (crosslinking) antara antigen dan IgE spesifik yang diikat oleh sel Mast. Ikatan ini akan
menimbulkan influks ion kalsium ke dalam sel dan menyebabkan penurunan kadar
adenosin monofosfat siklik (cAMP) intraselular yang menimbulkan degranulasi sel
Mast. Hal ini akan menyebabkan pengeluaran mediator farmakologis aktif (amin
vasoaktif) dari sel Mast dan Basofil yakni histamin, heparin, leukotrin, ECF
(Eosinophil Cemotacting Factor) dan berbagai sitokin seperti interleukin dan TNF-.
2.3). Sel Mast dapat diaktifkan dan melepas mediator atas pengaruh PAF (Platelet
Activating Factor), C3a, C5a, PGF2 fosfolipase, kimotripsin dan sengatan serangga.
Bahan seperti adrenalin, -stimultan, PGE1, PGE2 dan ketoifen menghambat
degranulasi, sedangkan berbagai faktor non imun seperti latihan jasmani, tekanan,
trauma, panas dan dingin dapat pula mengaktifkan dan menyebabkan degranualsi sel
Mast.
Pelepasan mediator amin vasoaktif melalui degranulasi sel Mast tersebut dapat
menimbulkan kontraksi otot polos, meningkatkan permeabilitas vaskular dan
vasodilatasi, serta kerusakan jaringan dan anafilaksis. Pelepasan amin vasoaktif ke
dalam sirkulasi darah dapat menyebabkan vasodilatasi luas di seluruh tubuh dan
peningkatan permeabilitas kapiler, sehingga menyebabkan kehilangan plasma dalam
sirkulasi dalam jumlah yang besar. Hal ini dapat menyebabkan pasien jatuh dalam
keadaan syok yang mengancam jiwa karena perfusi dan oksigenasi jaringan menjadi
tidak adekuat.
5. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium diperlukan karena sangat membantu menentukan
diagnosis, memantau keadaan awal, dan beberapa pemeriksaan digunakan untuk
lain
yang
lebih
bermakna
yaitu
IgE
spesifik
dengan
6. Penatalaksanaan
Anafilaksis merupakan salah satu kegawatdaruratan di bidang medis.
Pendekatan yang sistematis dalam menangani anafilaksis sangatlah penting.
Penanggulangan syok dimulai dengan tindakan umum yang bertujuan untuk
memperbaiki perfusi jaringan, memperbaiki oksigenasi tubuh, dan mempertahankan
suhu tubuh. Tindakan ini tidak bergantung pada penyebab syok. Diagnosis harus
segera ditegakkan sehingga dapat diberikan pengobatan kausal. Berikut adalah
pendekatan sistematis dalam tatalaksana anafilaksis menurut WAO (Word Allergy
Organization), 2011 :
1. Menilai kondisi pasien dengan cepat
2. Jika memungkinkan, menyingkirkan pajanan alergen dari tubuh pasien (melepas
IV line dari obat yang dimasukkan, menghentikan injeksi obat)
3. Menilai Airway, Breathing, Circulation, Status Kesadaran, kondisi kulit dan
mengestimasi berat badan pasien
4. Memanggil bantuan
lakukan CPR
8. Jika pasien sudah stabil, lakukan monitoring tekanan darah, denyut nadi,
respiratory rate dan oksigenasi pasien.
7. Komplikasi
Reaksi anafilaksis dapat menyebabkan terjadinya acute respiratory distress dan
circulatory collapse. Obstruksi pada pada saluran pernapasan bagian atas dapat
disebabkan oleh edema laring dan pharing. Pada saluran pernapasan bagian bawah
disebabkan oleh bronkospasme dengan kontraksi dari otot-otot pernapasan,
vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler. Henti jantung mungkin
disebabkan karena terhentinya pernafasan. Efek langsung dari mediator kimia pada
blocker dan ACE Inhibitor, serta interval waktu dari mulai terpajan oleh alergen
sampai penanganan reaksi anafilaksis dengan injeksi adrenalin.
BHP:
Beneficence: Dokter mampu mendiagnosis pasien dengan reaksi anafilaktik dari
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang lain.
Autonomy: Informed consent diberikan kepada pasien, dan mencakup penjelasan
mengenai penyakit pasien yang berhubungan dengan reaksi imun terhadap obat dan
bagaimana sebaiknya pasien dihindarkan dengan faktor pencetus timbulnya reaksi
anafilaktik.
Nonmaleficence: Dokter mampu menghindarkan pasien dari komplikasi yang dapat
terjadi melalui penatalaksanaan yang adekuat sesuai rekomendasi WAO.
Justice: Dokter memberikan pelayanan kesehatan secara proporsional sesuai dengan
penyakit pasien, dan memperhatikan aspek sosial, ekonomi, serta budaya pasien.
Daftar Pustaka
1. Mescher, A. L.Histologi Dasar Junqueira: Teks & Atlas. Jakarta: ECG, 2011
2. Martini, F. H, Nath, J. L. Fundamental of Anatomy & Physiology 8th Ed.
USA: Pearson, 2009
3. Setiati, Siti dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi VI. Jakarta: Universitas
Indonesia. 2014; Bab 43 Kegawatdaruratan Medik, hal 4130.
4. Simons, Estelle. World Allergy Organization Guidelines for the Assessment
and Management of Anaphylaxis. World Allergy Organization Journal, 2011
http://www.waojournal.org/content/4/2/13
Cited
on
24