Anda di halaman 1dari 33

INTERTROOP ENCOUNTER

Disusun untuk memenuhi mata kuliah Primatologi


Dosen Pengampu:
Prof. Dr. Erri Noviar Megantara

Disusun oleh:

Syarah Nurul Silvianty


140410130068

PROGRAM STUDI SARJANA BIOLOGI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS PADJADJARAN
SUMEDANG
2016

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmaanirraahiim
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat serta
karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Intertroop Encounter .
Makalah ini dapat memberikan informasi mengenai upaya konservasi primata yang saat ini
semakin berkurang jumlahnya dengan mengenali interaksi sosial primata di dalam suatu
kelompok serta bagaimana konflik yang biasa terjadi dalam kelompok primata tersebut.
Penulis juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalahini terdapat kekurangan
dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, penulis berharap adanya kritik, saran dan usulan
demi perbaikan makalah

yang telah penulis buat, mengingat tidak ada sesuatu yang

sempurna tanpa saran yang membangun. Semoga usulan penelitian ini dapat bermanfaat
khususnya bagi penulis dan umumnya untuk pembacanya.

Jatinangor, September 2016

Penulis

DAFTAR ISI
1

KATA PENGANTAR.................................................................................................... i
BAB I...................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN....................................................................................................... 1
1.1

Latar Belakang............................................................................................. 1

1.2

Identifikasi Masalah...................................................................................... 2

1.3

Tujuan........................................................................................................ 2

BAB II..................................................................................................................... 3
POKOK DAN SUBPOKOK BAHASAN..........................................................................3
2.1 Konsep Pembentukan Kelompok..........................................................................3
2.2 Alasan Primata Berkelompok.............................................................................. 3
2.3 Kerugian Dalam Berkelompok.............................................................................4
2.4 Struktur Kelompok............................................................................................ 5
2.5 Intertroop Encounter Pada Primata......................................................................9
BAB III.................................................................................................................. 11
HASIL DAN PEMBAHASAN..................................................................................... 11
3.1

Perbedaan Jenis Kelamin Dalam Reaksi Interaksi Inter-Group...........................11

3.2

Interaksi Sosial Primata............................................................................... 13

3.2.1 Interaksi Kompetitif (Antagonistik)..................................................................13


3.2.2 Interaksi Kooperatif...................................................................................... 14
3.3

Intertroop Encounter pada Macaca fuscata......................................................16

3.4

Intertroop Encounter pada Hanuman Langur (Presbytis entellus)........................17

3.5

Intertroop Encounter pada Savannah Babon (Papio Cynocephalusursinus)........18

BAB III.................................................................................................................. 20
KESIMPULAN........................................................................................................ 20
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................. 21

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki sebutan Surga di Bumi karena
memiliki mega-biodiversitas yang sangat beranekaragam , salah satunya memiliki
keanekaragaman jenis primata (non-human primate) yang tinggi. Dari 233 jenis primata yang
ada di dunia (Goodman et al.,1998), lebih dari 40 jenis (17,17%) diantaranya ada di Indonesia
30% diantaranya adalah endemik (Mc Neely et al., 1990). Dilihat dari ukuran tubuh dari jenis
primata yang ditemukan sangat beranekaragam yaitu mulai dari primata yang memiliki
ukuran tubuh terbesar yaitu spesies Gorila hingga primata yang memiliki ukuran tubuh
terkecil yaitu pada spesies Tarsius. Selain itu juga dilihat dari habitatnya yang berbeda-beda
sehingga primata dapat beradaptasi sesuai dengan lingkungannya.
Habitat yang ada saat ini sangat mengkhawatirkan karena banyak sekali habitat dari
hewan jenis primata ini yang terganggu akibat ulah manusia. Oleh karena itu jenis primata
yang ada saat ini semakin berkurang akibat tempat hidup yang rusak. Sehingga upaya-upaya
pelestarian harus dilakukan baik secara in-situ (di habitat alaminya) maupun ex-situ (di luar
habitat alaminya). Upaya konservasi ex-situ diantaranya melalui penangkaran, kebun
binatang dan taman safari, sedangkan secara in-situ melalui penetapan kawasan-kawasan
konservasi dimana terdapat habitat primata di dalamnya. Pada habitatnya primata melakukan
berbagai hal seperti mahluk hidup lainnya. Berbeda dengan manusia ada beberapa ciri khas
yang dilakukan oleh primata saat berinteraksi.

Terbentuknya struktur sosial pada primata diawali dari individu jenis tersebut dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebutuhan ini diantaranya adalah kebutuhan dasar, yang
meliputi makan, minum, bereproduksi, bergerak, bermain dan aktivitas sosial lainnya.
Dalam individu pada jenis yang sama akan memiliki kebutuhan yang sama dan cara untuk
mendapatkannya pun relatif sama sehingga untuk memenuhi kebutuhan tersebut satu individu
primata memerlukan interaksi dengan individu yang lainnya. Hal inilah yang menjadi faktor
terjadinya hubungan antara individu tersebut dan berlanjut antar beberapa individu yang lebih
1

banyak. Hubungan tersebut akan menghasilkan suatu aturan sosial dan akan membentuk
struktur sosial dengan kebiasaan yang diterapkan dalam kelompok tersebut.
Individu-individu dari setiap kelompok primata melakukan aktivitasnya dalam suatu
daerah jelajah yang ukurannya bervariasi. Kompetisi untuk memenuhi kebutuhan hidup
antara kelompok-kelompok primata lebih sering terjadi di daerah yang sempit akan tetapi
dihuni oleh kepadatan populasi yang tidak seimbang. Kompetisi ini mengakibatkan kelompok
primata tertentu mencari wilayah yang lebih layak bagi mereka sehingga terjadi pertemuan
antar kelompok yang disebut Encounter. Ketika daerah jelajah terjadi tumpang tindih antara
satu kelompok dengan lainnya, maka akan terjadi interaksi antara satu kelompok dengan
kelompok lainnya yang disebut dengan Intertroop. Interaksi intertroop pada primata terutama
telah dijelaskan dengan menerapkan perebutan sumber daya vital seperti pasangan dan
makanan (Cheney, 1987).

1.2 Identifikasi Masalah


a. Apa konsep pembentukan kelompok pada primata.
b. Apa yang dimaksud dengan Intertroop Encounter pada primata.
c. Apa saja tipe interaksi sosial yang dilakukan oleh primata.

1.3 Tujuan
a. Untuk mengetahui konsep pembentukan kelompok pada hewan jenis primata.
b. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan Intertroop Encounter pada primata.
c. Untuk mengetahui tipe interaksi soaial yang dilakukan oleh hewan jenis primata.

BAB II
POKOK DAN SUBPOKOK BAHASAN

2.1 Konsep Pembentukan Kelompok


Terbentuknya struktur sosial pada satwa diawali dari individu satwa dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya. Kebutuhan tersebut diantaranya adalah kebutuhan dasar, yang meliputi
makan, minum, bereproduksi, bergerak, bermain dll. Dalam individu pada jenis yang sama
akan memiliki kebutuhan yang sama dan cara untuk mendapatkan relatif sama. Sehingga
dalam memenuhi kebutuhan tersebut satu individu satwa memerlukan interaksi dengan
individu yang lainnya sehingga terjadilah hubungan antara individu tersebut dan berlanjut
antar beberapa individu yang lebih banyak. Hubungan tersebut akan menghasilkan suatu
aturan sosial dan akan membentuk struktur sosial dengan kebiasaan yang diterapkan dalam
kelompok tersebut (McFarland, 1999).
2.2

Alasan Primata Berkelompok

Seperti halnya satwa liar lainnya, primata secara alami memiliki naluri yang kuat.
Selain itu dengan didukung oleh kecerdasannya, primata memiliki strategi untuk mampu
bertahan hidup secara efisien. Salah satu strategi yang digunakan adalah dengan hidup secara
berkelompok. Terdapat beberapa alasan primata hidup secara kelompok diantaranya adalah
untuk:

1. Mempertahankan sumber daya

Mempertahankan sumberdaya, terutama sumber pakan adalah aspek yang penting


sehingga banyak satwa hidup secara berkelompok (McFarland, 1999), termasuk jenis
primata. Suzuki et al. (1998) memperkirakan betina hidup dalam kelompok besar
dalam hubungan kekerabatan bertujuan untuk mempertahankan sumber makanan.
Sehingga betina yang berada dalam suatu kelompok akan dapat meningkatkan
aksesnya terhadap makanan terutama saat mereka bersama dengan bayinya. Selain itu,

dalam keberhasilan bereproduksi, betina sangat dipengaruhi oleh akses terhadap


makanan daripada jantan. Hal itu ditunjukkan pada jenis Macaca fuscata, dimana
angka kelahiran akan tinggi setelah terjadi musim buah tahunan yang baik
dibandingkan setelah musim buah yang tidak bagus (Suzuki et al., 1998).

2. Perlindungan dari pemangsaan

Hidup dalam kelompok adalah salah satu strategi untuk mengurangi tekanan
lingkungan seperti predator dan persaingan makanan (van Schaik, et al., 1983).
Primata yang hidup dalam kelompok akan lebih mampu bertahan dari predator
dibandingkan yang hidup soliter. Umumnya kewaspadaan terhadap predator akan
meningkat jika hewan hidup dalam kelompok, sedangkan pada primata kemampuan
deteksi keberadaan pemangsa secara cepat, sangat berperan penting dalam kehidupan
kelompok (van Schaik, et al., 1983).

3. Efisien dalam Foraging

Hidup berkelompok menyebabkan akses terhadap sumber daya akan semakin besar.
Dengan berkelompok, dalam mencari sumber makanan akan lebih cepat ditemukan
dan lebih efisien dibandingkan dengan soliter. Seperti dalam McFarland (1999) yang
menyatakan bahwa salah satu faktor yang menyebabkan primata hidup secara
berkelompok adalah agar lebih efisien dalam mencari makan (foraging).

4. Kepastian keberhasilan reproduksi

Dalam kelompok yang di dalamnya terdiri dari jantan dan betina akan lebih menjamin
4

akses terhadap pasangan secara reguler, jika dibandingkan dengan yang hidup soliter.
Pada hewan yang soliter pada saat musim kawin atau betina sedang estrous, harus
terlebih dahulu mencari pasangannya sebelum perkawinan terjadi.

2.3 Kerugian Dalam Berkelompok

Hidup berkelompok bagi primata memberikan beberapa keuntungan (benefit). Namun


dalam kehidupan tentunya terdapat keuntungan dan diikuti dengan adanya konsekuensi (cost)
yang harus dihadapi. Adapun kerugian yang dialami jika jenis primata memilih hidup dalam
kelompok diantaranya adalah:

d. Kompetisi antar kelompok

Kehidupan berkelompok menyebabkan terjadinya kompetisi antar kelompok


terutama dalam hal mendapatkan sumber makanan dan tempat tidur yang baik.
Kondisi tersebut dapat mengakibatkan terjadinya agonistik dan perebutan sumber
daya antar kelompok. Walaupun pada beberapa jenis primata dapat berbagi pohon
tidur yang sama antar kelompok, seperti pada bekantan (Matsuda et al., 2010).
Sedangkan kompetisi untuk mendapatkan makanan secara alami dapat terjadi di
dalam maupun antar kelompok yang disebabkan oleh penyebaran sumber daya
(Kappeler & van Schaik, 2002).

e. Kompetisi dalam kelompok

Persaingan dalam kelompok terutama dalam hal makanan dan pasangan kawin.
Pada kelompok yang besar akan meningkatkan persaingan antar individu
(McFarland, 1999) karena selalu berdekatan dengan individu lain dalam kelompok.
Menurut Korstjens & Dunbar (2007) faktor pembatas utama dalam kelompok
primata frugivorous adalah persaingan sumber pakan antar individu, seperti pada
5

Piliocolobus yang akan meningkatkan pergerakannya jika persaingan pakan dalam


kelompok makin besar. Persaingan dalam kelompok tersebut akhirnya membentuk
struktur sosial, dimana yang lebih kuat (dominan) akan memiliki peluang yang
lebih besar untuk mendapatkan sumber daya (makanan, reproduksi dll.)
dibandingkan dengan yang submassive.

f. Penyakit menular

Pada kehidupan berkelompok, satwa lebih besar peluangnya untuk terjangkit


penyakit dan parasit, hal itu berkaitan dengan dekatnya hubungan dan tingkat
interaksi antar individu dalam kelompok. Menurut Morand & Poulin (1998)
kecepatan penyebaran parasit pada mamalia berkaitan dengan kepadatannya
individunya, dimana intensitas serangan parasit lebih besar terjadi pada satwa yang
hidup berkelompok daripada yang hidup soliter.

2.4 Struktur Kelompok

Secara mendasar terdapat tiga tipe struktur kelompok yaitu: Bertetangga dan soliter,
Hidup berpasangan dan hidup secara berkelompok (Kappeler & van Schaik, 2002).

1. Bertetangga dan soliter

Pada struktur sosial ini betina soliter kadang bersama keturunannya, sedangkan jantan
soliter dengan home range tumpang tindih dengan beberapa home range betina
(Gambar 1.). Jantan berpoligami dengan beberapa betina dalam home rangenya dan
bersama hanya pada saat kawin. Kelompok ini seperti pada jenis orangutn.

Gambar 1. Skema struktur kelompok sosial bertetangga dan soliter

2. Hidup berpasangan (Monogamus)

Pada kelompok monogamus terdapat satu jantan dewasa, satu betina dewasa dan
dengan atau tanpa keturunan mereka (Gambar 2). Pada sistem monogamus sepasang
hewan tersebut diikuti oleh anak-anak mereka saja sampai menginjak remaja. Seperti
pada kelompok gibbon (Hylobates lar dan Hylobates syndactylus) yang terdiri dari
satu jantan dewasa, satu betina dewasa dan tanpa atau dengan satu sampai empat anak
(van Schaik, 1983).

Gambar 2. Skema struktur kelompok sosial berpasangan (monogamus)

3. Hidup secara berkelompok

a. Multi-male multi-female

Bentuk kelompok ini yang paling umum pada primata, dimana dalam satu
kelompok terdapat banyak jantan dan banyak betina (Gambar 3). Bentuk kelompok
sosial seperti ini terjadi pada satwa Macaca mullata. Selain itu pada jenis Monyet
dunia Baru bentuk kelompok sosialnya umumnya juga multi-male multi-female,
seperti

Lemur catta, Lemur fulvus, Lemur coronatus, Lemur macaco (Freed, 1999).

Gambar 3. Skema struktur kelompok sosial multi-male multi-female

b. Harem

Pada kelompok ini terdapat satu jantan dewasa dan beberapa betina dengan
beberapa keturunannya (Gambar 4). Pada kelompok ini terjadi pada jenis bekantan
(Nasalis larvatus) dimana dalam satu kelompok terdapat satu jantan dewasa,
beberapa betina dan anak, walaupun pada jantan yang menginjak remaja akan
keluar dari kelompoknya dan bergabung dengan kelompok yang terdiri dari jantanjantan remaja (Murai et al., 2007).

Gambar 4. Skema struktur kelompok sosial harem

c. Polyandrus

Dalam kelompok ini terdiri dari satu betina dan beberapa jantan serta keturunan
mereka (Gambar 5). Seperti pada kelompok jenis Saguinus fuscicollis yang terdiri
dari dua jantan dewasa, satu betina dewasa, dimana jantan memiliki peranan yang
paling besar dalam pemeliharaan bayi dibandingkan betina dewasa dan remaja
(Goldizen, 1987).

Gambar 5. Skema struktur kelompok sosial polyandrus

d. Clan

Sistem sosial clan, sekelompok individu dari jenis yang sama disatukan oleh
kekerabatan aktual atau keturunan. Bahkan jika pola garis keturunan yang
sebenarnya tidak diketahui, anggota clan tetap dapat mengenali anggota atau atau
leluhurnya terdahulu. Pada satwa primata sistem clan ada pada jenis Baboon
(Papio hamadryas hamadryas), pada jenis ini kelompok paling besar disebut
Troops (terdiri dari beberapa ratus individu), tipe troops ini terdisi dari satu atau
lebih bands (unis sosial yang stabil yang bergerak bersama selama sehari), bands
adalah gabungan dari beberapa one-male units (OMUs) yang masing-masih terdiri
dari seekor jantan dewasa, beberapa betina dewasa, anak-anak dan kadang-kadang
diikuti oleh beberapa jantan (Schreier & Swedell, 2009).
10

Gambar 6. Skema struktur kelompok sosial clan

e. Fusion fision

Terjadi pada Chimpanze, meskipun hidup dalam kelompok yang mengikat kuat
(community) dimana semua anggota kelompok mengetahui tiap individu dan
mempertahankan home rangenya dan secara rutin memecah menjadi kelompok
kecil yang berubah-ubah ukuran dan komposisinya (Lehmann et al., 2007). Pada
Chimpanze betina berada dalam range bersama anak yang masih bergantung pada
induk, sedangkan jantan bergerombol di pinggir dan berperan dalam berpatroli
(Fruth, 1999).

11

Gambar 7. Skema struktur kelompok sosial fusion fision

2.5 Intertroop Encounter Pada Primata

Individu-individu dari setiap kelompok primata melakukan aktivitasnya dalam suatu


daerah jelajah yang ukurannya bervariasi. Kompetisi untuk memenuhi kebutuhan hidup
antara kelompok-kelompok primata lebih sering terjadi di daerah yang sempit akan tetapi
dihuni oleh kepadatan populasi yang tidak seimbang. Kompetisi ini mengakibatkan kelompok
primata tertentu mencari wilayah yang lebih layak bagi mereka sehingga terjadi pertemuan
antar kelompok yang disebut Encounter. Ketika daerah jelajah terjadi tumpang tindih antara
satu kelompok dengan lainnya, maka akan terjadi interaksi antara satu kelompok dengan
kelompok lainnya yang disebut dengan Intertroop. Interaksi intertroop pada primata terutama
telah dijelaskan dengan menerapkan perebutan sumber daya vital seperti pasangan dan
makanan (Cheney, 1987).

Sejumlah studi tentang berbagai spesies primat digunakan untuk memahami dan
menjelaskan pola-pola interaksi dari inter-group. Hal tersebut diamati melalui partisipasi
diferensial jenis kelamin pada interaksi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, ketika
betina terlibat dalam pertemuan atau interaksi inter-group, hal ini diyakini untuk pertahanan
sumber makanan ( misalnya colobus polykomos polykomos, korstjens et al.2005 ) sedangkan
ketika laki-laki yang terlibat, tampaknya terutama diarahkan ke pertahanan terhadap betina
( misalnya Presbytis pileata). Jantan biasanya akan berekasi terhadap tetangga dan akan
membentuk permusuhan terhadap betina atau mempertahankan sumber daya alam. Namun,
agresi intergroup oleh para pejantan yang paling parah adalah dalam mempertahankan betina
yang juga bisa menyebabkan perlindungan sumber daya alam yang ada di dalam home range
mereka.

Kebanyakan primata non-manusia (monyet, kera, dll.) tinggal dengan dibatasi suatu
daerah atau yang sering dikenal dengan home-ranges pada jangka waktu yang lama. Ukuran
dari home-ranges ini ditentukan oleh persyaratan makanan dari spesies secara umum, dari
12

grup atau kelompok primata tersebut, serta pola distribusi dari sumber makanan di daerah
tersebut ( Oates, 1987). Ukuran home-range sering dikatakan sebanding dengan ukuran
kelompok itu sendiri. Home-ranges biasanya langsung terkait dengan distribusi makanan
serta sumber daya dan dari fungsi serta ukuran dari group primata itu sendiri, di antara
banyak spesies primata, banyak juga yang aktif membela wilayah tersebut terhadap kelompok
lain melalui interaksi agresif ( cheney 1987 ). Walaupun demikian, diantara jenis-jenis
primata, terdapat perbedaan yang mendasar dalam interaksi inter-group. Beberapa spesies
memiliki home range yang sangat luas dan tumpang tindih terhadap home-range kelompok
lain namun tidak melakukan pertahanan yang sangat intensif (contoh: Cercocebus albigena).
Tetapi pada spesies lain yang memiliki area yang sempit, mereka dengan aktif dan agresif
mempertahankan wilayah tersebut dari kelompok tetangga (contoh: Cercopithecus aethiops)
(Cheney, 1987).

13

BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

Interaksi intertroop atau interaksi inter-group pada primata terutama biasanya terjadi
karena adanya perebutan sumber daya vital seperti pasangan dan makanan. Namun interkasi
inter-group ini juga dapat disebabkan adanya tumpang tindih home-range satu kelompok
dengan kelompok lainnya. Beberapa studi menyatakan bahwa terdapat perbedaan reaksi
terhadap interaksi inter-group dari adanya perbedaan jenis kelamin.

3.1

Perbedaan Jenis Kelamin Dalam Reaksi Interaksi Inter-Group

Sejumlah studi tentang berbagai spesies primata menjelaskan pola-pola interaksi dari
inter-group. Hal tersebut dapat diamati melalui partisipasi diferensial jenis kelamin pada
interaksi. Beberapa studi mengatakan bahwa, ketika betina dalam suatu jenis primata terlibat
dalam pertemuan atau interaksi inter-group, hal tersebut disebabkan adanya pertahanan
terhadap sumber daya makanan (food resource), sedangkan hal tersebut sedikit berbeda
dengan ketika jantan yang terlibat dalam interaksi intergroup tersebut. Tampaknya pada
jantan dari beberapa spesies primata yang terlibat akan interaksi inter-group ini terutama
14

diarahkan ke pertahanan terhadap betina.

Ketersediaan makanan akan sangat mempengaruhi reproduksi sang betina, hal itu juga
pada gilirannya akan mempengaruhi keberhasilan reproduksi para pejantan. Salah satu kunci
primata betina untuk mendukung keturunannya sehat adalah makanan. Hal ini disebabkan,
primata betina adalah primata dengan tanggung jawab yang besar dalam merawat
keturunannya. Dengan demikian, hilangnya akses ke sumber daya penting seperti pangan,
yang dihasilkan dari sebuah kelompok primata yang dominan pada suatu daerah, bisa
berpotensi mempengaruhi reproduksi pejantan dan betina ( Van schaik, 1983 ).

Kerugian dari kesempatan kawin di lain pihak, mempengaruhi sebagian besar jantan.
Hal ini disebabkan, spesies betina memiliki batas terhadap keturunan yang dapat mereka
tanggung. Tidak seperti laki-laki yang dapat meningkatkan reproduksi mereka dengan
meningkatan jumlah perkawinan mereka dengan berbagai betina, sehingga pertemuan antara
kelompok (Intergroup Encounter) dihasilkan dari konflik atas kesempatan untuk bertemu
dengan pasangan betina lain. Sebaliknya, pejantan yang berasosiasi dengan para betina akan
menyebabkan atau menarik mundur para pejantan penyusup atau akan menjauhkan para
betina dari pejantan penysup (Jantan diluar kelompok) yang berusaha untuk kawin dengan
betina tersebut (Cheney, 1987). Sehingga pertahanan betina oleh pejantan akan turut
membantu dalam pengamanan makanan dan sumber daya penting lainnya.

Pada hipotesis akan Pertahanan Spesies Betina memperkirakan bahwa dalam


menghadapi agresi inter-group pada spesies jantan, keberadaan betina akan meningkatkan
jarak antara kelompok. Karena pejantan dengan tingkat yang tinggi memiliki akses besar
terhadap menerima seksual perempuan. Para penjantan dengan tingat yang lebih tinggi yang
akan menjadi paling aktif dalam membela betina estrus dari extra-group jantan (nunn &
lewis, et al 2001 dalam Kitchen et al. , 2004). Pada monyet capuchin, para pejantan akan
lebih toleran ke pejantan lain bila tidak ada betina yang bisa dikawinkan.

a. Intertroop Encounter Terhadap Home Range

15

Kewaspadaan suatu penduduk jantan dalam suatu kelompok primata sangat berkaitan
erat atau berasosiasi terhadap pertahanan wilayah jelajah dan adanya Intertroop Encounter.
Seperti contoh pada Langur, para pejantan dan betina dewasa biasanya akan memanjat pohon
untuk melihat daerah sekitar dan juga perbatasan kelompok mereka. Adanya pertemuan suatu
kelompok (Intertroop Encounter) tidak hanya terjadi karena adanya akses ke makanan
tertentu namun juga karena untuk pertahanan suatu jarak atau range (Rajpurohit, 2005).

Menurut Takahata et al., (2005) dalam penelitiannya adanya Intertroop Encounter suatu
kelompok terhadap wilayah kelompok primata lainnya disebabkan adanya sumber air utama
dan juga sumber pakan yang berlimpah. Setiap kelompok melakukan tumpang tindih dan
terjadi pertemuan antar kelompok secara aktif atas semakin bertambahnya populasi.
Bertambahnya populasi ini akan mengakibatkan semakin meningkatnya jarak atas Home
range kelompok tersebut, hal ini mengakibatkan bertambahnya jumlah group tetangga yang
daerah jelajahnya menjadi tumpang tindih dengan kelompok tersebut. Pertemuan antar
kelompok akan semakin banyak terjadi sehingga dapat menyebabkan hilangnya suatu
kelompok ataupun perpindahan betina ke grup yang lain. Ukuran suatu kelompok akan
memberikan keuntungan bila terjadi intertroop encounter yang mengakibatkan adanya
kompetisi antar grup, namun hal itu dapat mengurangi kesuksesan dalam reproduksi para
betina dan menyebabkan perpindahan betina ke grup lainnya (Takahata et al., 2005).

3.2

Interaksi Sosial Primata

Interaksi sosial dibedakan menjadi dua tipe dasar yaitu kompetitif (antagonistik) dan
kooperatif (positif atau afiliatif). Beberapa penelitian tentang interaksi sosial antaranggota
kelompok pada satwa primata, antara lain: dominansi pada monyet Jepang (M. fuscata)
16

(Chaffin et al.1995), hubungan dominansi betina dewasa pada monyet Jepang di alam
(Nakamichi et al. 1995), hubungan proksimitas pada monyet Jepang (Nakamichi 1996),
dominansi pada monyet Assam (M. assamensis ) Bernstein dan Cooper 1999), menelisik,
ikatan sosial, dan agonistik pada monyet Rhesus (M. mullata) (Matheson dan Bernstein
2000), dan hubungan kekeluargaan dan dominansi betina pada sooty mangabey (Cercocebus
atys) (Range dan Noe 2002).

Penelitian tentang tingkah laku sosial jantan dan hierarki dominansi pada monyet
hitam Sulawesidi CA Tangkoko-Batuangus telah dilakukan pada tahun 1994 selama enam
minggu (Reed et al.1997) pada suatu kelompok besar (97 individu). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa dominansi pada jantan berbentuk linear dan transitif di antara enam
jantan dewasa. Frekuensi dan intensitas agresi di antara jantan berkorelasi kuat dengan jarak
peringkat. Jantan dari seluruh peringkat secara signifikan menunjukkan pula tingkat
agresivitas yang lebih tinggi terhadap betina yang secara seksual reseptif daripada terhadap
betina pada fase yang lain. Kesimpulan hasil penelitian menunjukkan bahwa jantan monyet
hitam Sulawesi mempunyai organisasi sosial yang sama dengan pada spesies Macaca lainnya
(Reed et al.1997).

3.2.1 Interaksi Kompetitif (Antagonistik)

Jika hewan hidup dalam kelompok yang stabil, pesaing superior secara konsisten unggul
terhadap pesaing inferior (Collinge 1993). Pasangan individu tersebut mempunyai hubungan
dominansi. Hubungan dominansi dapat diukur melalui hasil perkelahian dalam pertemuan
agresif antara dua individu atau arah sikap mengancam atau tunduk. Agresi mencakup agresi
ringan (mengancam dengan membuka mulut, mengancam dengan suara, menerjang) dan
agresi berat (mengusir, menendang, mencakar, menggigit) (Perry 1996).
3.2.2 Interaksi Kooperatif
a. Rekonsiliasi (Reuni)
17

Selama dua dekade terakhir, penelitian tentang manajemen konflik pada hewan yang
hidupnya berkelompok terfokus pada reuni pascakonflik atau rekonsiliasi. Individu-ividvidu
yang bertengkar segera melakukan tingkah laku afiliasi setelah konflik agresif (de Wall 2000;
Aureli 2002). Kejadian lain pada pascakonflik adalah terdapatnya koaliasi pihak ketiga
pascakonflik yang didefinisikan sebagai kontak afiliatif pascakonflik antara individu-individu
yang bertengkar dan individu-individu di sekitarnya (Call et al. 2002).

Rekonsiliasi pada satwa primata, suatu interaksi afiliatif pascakonflik di antara


individu yang bertengkar mempunyai dua fungsi: (1) untuk memperbaiki kerusakan
hubungan karena agresi, dan (2) untuk mereduksi ketidakpastian pascakonflik dan tekanan
pada individu tersebut (Kutsukake dan Castles 2001). Hipotesis terintegrasi untuk rekonsiliasi
terkait dengan fungsi tersebut melalui argumentasi bahwa kerusakan hubungan karena agresi
akan menyebabkan tekanan yang tinggi,sehingga menimbulkan usaha untuk berekonsiliasi
untuk menurunkan tekanan tersebut (Kutsukake dan Castles 2001).

Beberapa hipotesis telah diajukan oleh beberapa ahli tingkah laku. Beberapa studi
mengindikasikan bahwa rekonsiliasi berfungsi untuk memperbaiki kerusakan hubungan
sosial karena agresi (hipotesis perbaikan hubungan) (Kutsukake dan Castles 2000). Sebagai
contoh, rekonsiliasi akan mengurangi kemungkinan korban agresi mengalami serangan
berikutnya yang dilakukan oleh penyerangpertama atau individu lain, serta meningkatkan
toleransi untuk sumber pakan (Kutsukake dan Castles 2000).

Pada kenyataannya agresi tidak selalu diikuti oleh rekonsiliasi. Beberapa peneliti
berusaha menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya rekonsiliasi. Mereka
mengemukakan bahwa kualitas hubungan individu yang bertengkar merupakan faktor
penting untuk menentukan terjadinya rekonsiliasi. Rekonsiliasi sering terjadi mengikuti
agresi di antara individu yang bertengkar. Individu-individu tersebut mempunyai hubungan
dengan nilai biologis yang tinggi, suatu fungsi keuntungan kebugaran yang dapat dihasilkan
dari hubungan tersebut (hipotesis nilai hubungan) (Kutsukake dan Castles 2000).

Fungsi rekonsiliasi yang lain berperan untuk mereduksi tekanan pascakonflik. Pada
satwa primata terdapat tingkah laku arah diri/TADseperti menggaruk, menelisik diri, dan
menguap berkaitan dengan situasi tertekan (Cord dan Thurnheer 1993). Sebagai contoh,
18

proksimitas oleh individu yang dominan dapat meningkatkan laju TAD pada monyet ekor
panjang dan olive baboon (Papio anubis), sedangkan menelisik silang dapat mereduksi TAD
dan detak jantung pada tertelisik. Oleh karena itu, proksimitas dalam rekonsiliasi
menyebabkan reduksi ketidakpastian dan menurunkan kondisi tertekan (Cord dan Thurnheer
1993).

Aureli (1997) mengajukan hipotesis terintegrasi untuk rekonsiliasi. Beberapa studi


menunjukkan bahwa agresivitas tidak hanya berpengaruh pada korban, pada penyerang juga
akan meningkatkan TAD. Ini membuktikan bahwa kondisi tertekan pascakonflik tidak
terbatas pada korban, tetapi juga dialami oleh penyerang. Sebagaimana terjadi pada korban,
pada penyerang juga terjadi penurunan laju TAD pada rekonsiliasi (Aureli 1997).

Tidak semua spesies satwa primata menunjukkan terjadinya afiliasi pascakonflik.


Pada

sebagian besar spesies Cercopithecineyang hidup dalam kelompok sosial kompleks, mereka
membentuk afiliasi (Call et al.2002). Pada red-bellied tamarin (Saguinus labiatus), agresi
yang terjadi tidak merusak hubungan antaranggota kelompok,sehingga rekonsiliasi
tidakdiperlukan (Schaffner dan Caine 2002).

b. Aliansi atau Koalisi

Konflik di antara dua individu hewan sering kali diinterpretasikan sebagai kompetisi
terhadap sumber yang terbatas (Widdig et al.2000). Hasil interaksi agresif pada masyarakat
primata sering kali dipengaruhi oleh intervensi pihak ketiga (Collinge 1993). Aliansi dibentuk

saat satu individu luar membantu dalam bertahan atau menyerang. Pada monyet, baboon, dan
chimpanzee, seekor individu yang sedang konflik dapat melihat sekilas ke individu lain untuk

19

membantu melawan pihak musuh. Frekuensi aliansi bergantung pada struktur sosial spesies
yang bersangkutan dan faktor terkait lainnya, seperti umur, kondisi reproduksi, dan hubungan
individual. Terdapat beberapa tipe aliasi tergantung pada hasilnya. Aliansi spesifik sumber
ditemukan pada baboon savana di alam bebas (Collinge 1993).

Jantan tua dan jantan peringkat rendah sering membentuk koalisi untuk mengusir
hewan dominan yang sedang kopulasi dengan betina estrus. Koalisi ini bersifat resiprok
terhadap kesempatan untuk kawin. Pada masyarakat banyak jantan-banyak betina,
misalnyapada monyet Jepang dan monyet Rhesus, betina membentuk matrilineal yang besar
bekerja sama dalam interaksi agonistik. Pada spesies dengan jantan tetap berada dalam
kelompok kelahirannya (filopatri),seperti chimpanzee dan monyet colobus merah, jantanjantan yang berkerabat bekerja sama melawan individu dominan atau untuk berkompetisi
dalam akses terhadap betina estrus. Aliansi antara jantan dan betina terjadi terutama pada saat
musim kawin dalam konteks pasangan kawin. Istilah aliansi xenofobik menunjukkan bahwa
seluruh anggota kelompok bersama-sama mempertahankan teritorialnya dari kelompok lain
(Collinge 1993).

Berdasarkan fungsinya, terdapat dua penjelasan: (1) intervensi dapat bersifat altruistik
atau (2) menguntungkan salah satu pihak saja (Widdig et al.2000). Tingkah laku altruistik
berkaitan dengan pengeluaranoleh pemberi/altruist (misalnya waktu, energi, resiko luka, dan
pembalasan) dan keuntungan bagi penerima/resipien (misalnya akses terhadap sumber yang

terbatas dan kurangnya perlukaan dalam perkelahian) (Widdig et al.2000). Pembentukan


koalisi dapat dijelaskan melalui tiga teori, yaitu seleksi sanak, altruisme resiprok, dan
kooperasi (Widdig et al.2000).

Teori seleksi sanak memprediksi bahwa individu-individu yang mendukung kerabat


akan meningkatkan kebugaran secara tidak langsung karena mereka membagi gennya dengan
resipien. Seleksi diharapkan memberikan keuntungan di antara sanak, individu-individu yang
berkerabat dekat, pengeluaran/ongkosyang rendah oleh altruist, dan keuntungan yang besar
pada penerima. Terdapat bukti bahwa seleksi ini terjadi pada satwa primata (misalnya
M.fuscata, M. radiata, dan Papio cynocephalus) meskipun pemencaran jantan dapat

20

mengurangi ketersediaan sanak. Sebagai contoh, monyet Rhesus jantan lebih suka bergabung
dengan jantan saudaranya yang lebih tua dan membentuk koalisi (Widdig et al.2000).

3.3

Intertroop Encounter pada Macaca fuscata

Macaca merupakan primata dunia lama yang terkenal dengan keanekaragamannya


dalam morfologi, behaviour, demografi, organisasi sosial serta habitat. Perilaku agonistik
antara kera Jepang terjadi di berbagai tingakatan selama aktivitas dari kelompok yang
berbeda. Satu studi telah menunjukkan bahwa tingkat tinggi dari agresi sering bertepatan
dengan waktu makan, hal tersebut menunjukkan bahwa pertemuan agonistik berperan dalam
persaingan untuk sumber daya ( Clark 1978).

Fenomena ini diilustrasikan dengan contoh dari pertemuan antar kelompok . Ketika dua
pasukan memenuhi atau berbagi sumber daya yang sama, perilaku mereka tersebut
didasarkan pada dominasi kelompok ( Minnesota Zoo, 2003) . Dengan demikian, ada potensi
untuk perilaku agresif. Dua kelompok, Shiga C dan pasukan Shiga B, telah diamati untuk
berbagi porsi berkisar daerah teritorial mereka selama musim gugur dan musim semi. Karena
makanan yang paling berlimpah ada selama musim ini, dua kelompok dapat dengan mudah
berbagi sumber daya yang sama tanpa konflik yang signifikan. Sebaliknya , peningkatan
tingkat perilaku agonistik antar kelompok telah diamati antara kelompok-kelompok terserbut
terjadi saat terjadinya kelangkaan sumber daya atau pangan ( Wada, 1980 ).

Demikian pula, kelompok minortas Macaca kadang-kadang telah meningkatkan tingkat


agresi karena wilayah mereka

yang lebih kecil dari kisaran alami mereka. Misalnya,

kelompok Oregon disimpan di ruang ha ( Alexander & Bowers 1968, seperti dikutip dalam
Clark 1978 ). Wilayah yang dekat membuat ketua kelompok (alfamale) terlibat dalam banyak
tindakan karakteristik, seperti mengarahkan perpindahan kelompok, melindungi anggota dari
predator, dan pertemuan antar kelompok. Akibatnya, anggota kelompok yang tidak berperan
sekitar pejantan membentuk kelompok-kelompok kecil untuk bermain, mencari makan, dan
perawatan (Alexander dan Bowers 1968, seperti dikutip dalam Clark 1978). Karena adanya
kelompok sosial baru tadi, anggota kelompok menjadi sangat agresif dan tidak terkontrol
21

dengan baik oleh alpha male ( Clark 1978). Sebaliknya, jika wilayah kelompok tidak terbatas,
mungkin mengalami penurunan dalam konflik antar kelompok karena cukup persediaan
makanan dan perlindungan dari predator. Akibatnya, alpha male mungkin kembali berperan
mengendalikan konflik kelompok.

Musim kawin adalah waktu lain agresi puncak pasukan kera Jepang. Peneliti
mengatakan bahwa peningkatan kadar testosteron pada jantan selama musim kawin
berkorelasi dengan aktivitas agresif yang tinggi ( Nigi, 1980 seperti dikutip dalam Enomoto,
1981). Mengejar, memukul, dan menendang serta menggigit adalah contoh perilaku agonistik
yang dapat terjadi antara individu dari sepasang kawin (Enomoto, 1981). Satu studi telah
menunjukkan bahwa selama musim kawin, jantan mengejar betina, dan vokalisasi atau
komunikasi yang berhubungan dengan mengguncang-guncangkan pohon meningkat. Selama
musim non- kawin , hubungan antara tingkatan dominansi dan perilaku jantan mengejar
betina tidak terlalu kuat saat masa non-kawin (Enomoto 1981).

3.4

Intertroop Encounter pada Hanuman Langur (Presbytis entellus)

Pada kelompok lutung, bagaimanapun juga, jantan penetap selalu agresif terhadap
jantan migran potensial. Jantan tersebut melukai dan kadang-kadang bahkan membunuh para
imigran potensial (Mohnot, 1974 dalam Rajpurohit, 2005) menyimpulkan adanya perbedaan
regional yang cukup besar dalam hubungan antar kelompok dan agresi antar kelompok dalam
wilayah distribusi Presbytis entellus.

Di sekitar Jodhpur, semua kelompok lutung biseksual dan beberapa gerombolan jantan
memiliki satu atau lebih lubang sumber air permanen (alam atau buatan manusia) dalam
homerange mereka, tetapi kebanyakan lubang tersebut kering selama musim panas.
Perpindahan untuk sumber daya air dan interaksi antar kelompok (intertroop interaction)
terkait lubang sumber air (perilaku territotial) juga menunjukkan bahwa air adalah faktor
yang membatasi aktivitas seperti makan dan bergerak dari lutung. Pada lutung, perilaku
waspada digunakan untuk mempertahanan sumber daya yang terbatas. Batas (termasuk
homerange yang tumpang tindih) dari wilayah jelajah yang berubah. Pelanggaran batas sering
22

menyebabkan lutung menjadi agresif, yang mengakibatkan perjumpaan antar kelompok


(intertroop encounters).

Perjumpaan antar kelompok (intertroop encounter) tidak hanya spesifik mengenai akses
ke sumber pangan, tapi pertahanan untuk seluruh homerange. Ketika suatu kelompok
mempertahankan seluruh atau sebagian dari homerange mereka, sebagian besar interaksi
antar kelompok (intertroop encounter) ditandai dengan agresi ketimbang saling menghindar.
Cheney (1986) dalam Rajpurohit, (2005) melaporkan hasil yang sama untuk kera, howlers
merah, dan Kapucin. Sebaliknya, menurut Sugiyama (1968) untuk kera bonnet dilaporkan
agresi antar kelompok (intertroop aggression) relatif sedikit, bahkan suatu kelompok berada
di dekat satu sama lain. Diantara penelitian tentang lutung di lokasi penelitian yang berbeda,
Cheney (1987) dalam Rajpurohit (2005), telah menemukan korelasi antara kepadatan
penduduk dan ukuran homerange, serta antara tingkat perjumpaan antar kelompok dan
frekuensi perjumpaan yang aggresif. Perjumpaan ini juga dipengaruhi oleh faktor-faktor
kompleks lainnya, seperti distribusi dan ketersediaan pangan, komposisi demografis dan
individu dalam kelompok.

3.5

Intertroop Encounter pada Savannah Babon (Papio Cynocephalusursinus)

Tidak seperti jenis female-bonded spesies lain betina babon savannah (Papio
cynocephalus) jarang terlihat agresif ke arah anggota kelompok lain. Alhasil, sejauh mana
betina berperan dalam hasil pertemuan inter-group di spesies ini tidak diketahui. Sebaliknya,
jantan dari babon ini sering merespons terhadap keberadaan kelompok lain dengan panggilan
keras, mengejar, dan bahkan serangan fisik individu jantan pada kelompok sendiri dan
kelompok yang berlawanan (Kitchen et al., 2004). Data dari studi terdahulu telah
membuktikan peranan jantan dari babon chacma terhadap hipotesis bahwa kebiasaan spesies
jantan saat adanya intergroup encounter adalah mempertahankan sang betina dibandingkan
pertahanan terhadap sumber daya (Kitchen et al., 2004).

Pada hipotesis akan Pertahanan Spesies Betina memperkirakan bahwa dalam


menghadapi agresi inter-group pada spesies jantan, keberadaan betina akan meningkatkan
23

jarak antara kelompok. Karena pejantan dengan tingkat yang tinggi memiliki akses besar
terhadap menerima seksual perempuan. Para penjantan dengan tingat yang lebih tinggi yang
akan menjadi paling aktif dalam membela betina estrus dari extra-group jantan (nunn &
lewis, et al 2001 dalam Kitchen et al. , 2004).

Kelompok babon memiliki kebiasaan untuk tidak mempertahankan daerah teritorinya


dan memiliki daerah jelajah yang tumpang tinggi dengan kelompok lain. Meskipun demikian,
intergroup encounter dapat dipengaruhi oleh daerah pertemuan terhadap kelompok rival.
Prediksi penelitian Kitchen et al., (2004) ini adalah bahwa spesies jantan akan lebih agresif
dan sangat jarang untuk mundur atau menyerah pada daerah home range mereka yang sering
tumpang tindih dengan kelompok lain dan akan tidak lebih agresif serta lebih menyukai
untuk mundur pada daerah yang jarang mereka lewati atau bukan daerah jelajah mereka.

Hamilton (1976) dalam Kitchen et al,. (2004) mengemukakan bahwa babon chacma
sangat bergantung dengan dominansi group mereka. Adanya respon dari jantan terhadap
jantan lain akibat adanya inter-group dominance yang ditentukan dengan jumlah jantan pada
grup tersebut. Dalam kasus ini dapat disimpulkan bahwa, grup dengan ukuran yang lebih
besar akan mendominasi grup yang lebih kecil. Sehingga saat grup kecil bertemu dengan
grup yang lebih besar, grup kecil tersebut akan mundur saat terjadi Intergroop encounter.

Pada savannah babon dari hasil penelitian Kitchen et al. (2004) didapatkan hasil bahwa
spesies babon savanah betina akan mundur dan menuju inti dalam grup tersebut saat terjadi
pertemuan intergrup dengan kelompok lain, sedangkan para spesies jantan akan menuju
daerah pinggir atau daerah yang paling dekat dengan grup tetangga. Pada beberapa kasus
Pertemuan intertroop, Para spesies jantan juga bisanya akan mengejar para pejantan lain dari
kelompok lain maupun kelompok sendiri untuk menjaga kelompoknya dan juga para betina
kelompoknya. Adanya betin estrus akan menambah jumlah intergroup enconter. Didapatkan
data dari penelitian Kitchen et al. (2004), bahwa terdapat 93 pertemuaan antara grup C dari
savannah babon dengan grup lain pada saat setidaknya terdapat satu betina estrus dalam
kelompok dan hanya ditemukan 17 kali pertemuan intergrup saat tidak ada betina yang estrus
dalam kelompok. Namun lokasi dari terjadinya intertroop encounter tidak mempengaruhi
sifat agresif dari pejantan.

24

BAB III
KESIMPULAN

1. Konsep terbentuknya struktur sosial pada satwa diawali dari individu satwa dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebutuhan tersebut diantaranya adalah kebutuhan
dasar, yang meliputi makan, minum, bereproduksi, bergerak, bermain dll.
2. Interaksi intertroop atau interaksi inter-group pada primata terutama biasanya terjadi
karena adanya perebutan sumber daya vital seperti pasangan dan makanan. Namun
interkasi inter-group ini juga dapat disebabkan adanya tumpang tindih home-range
satu kelompok dengan kelompok lainnya.
3. Interaksi sosial dibedakan menjadi dua tipe dasar yaitu kompetitif (antagonistik) dan
kooperatif (positif atau afiliatif).

25

DAFTAR PUSTAKA

Cheney, D.L., R.M. Seyfard, B.B. Smuts & R.W. Wrangham. 1987. The study of primate
society. In: B.B. Smuts, D.L. Cheney, R.M. Seyfarth, R.W. Wrangham and T.T.
Struhsaker (eds) Primate Societies. The University of Chicago Press. Chicago and
London. Pp.1-8.

Clark, T. W. 1978. Agonistic Behavior in a Transplanted Troop of Japanese Macaques:


Arashiyama West. Primates, 1, 141-151.

Cooper, M.A., Aureli, F. and Singh, M. 2004. Between-group encounters among bonnet
macaques (Macaca radiata). Behavioral Ecology and Sociobiology 56: 217-227.

Enomoto, T. 1981. Male Aggression and the Sexual Behavior of Japanese Monkeys.
Primates, 1, 15-23.

Fashing, P. J. 2001. Male and female strategies during inter-group encounters in guerezas
(Colobus guereza): evidence for resource defence mediated through males and a
comparison with other primates. Behavioral Ecology and Sociobiology .50: 219230.

Freed, B.Z. 1999. An introduction to the ecology of daylight-active lemurs. In: The Nonmuman primates (eds) P. Dolhinow and A. Fuentes. Mayfield Publishing Company
Mountain View California. London-Toronto. Pp. 123-132
26

Fruth, B., G. Hohmann and W.C. McGrew. 1999. The Pan species. In: The Non-muman
primates (eds) P. Dolhinow and A. Fuentes. Mayfield Publishing Company
Mountain View California. London-Toronto. Pp. 64-76

Goldizen, A.W. 1987. Tamarins and marmosets: communal care offspring. In: B.B. Smuts,
D.L. Cheney, R.M. Seyfarth, R.W. Wrangham and T.T. Struhsaker (eds) Primate
Societies. The University of Chicago Press. Chicago and London. Pp. 34-43

Goodman, M., CA. Porter, J. Czelusniak, SL. Page, H. Schneider, J. Shoshani, G. Gunnell
& CP. Groves. 1998. Toward a phylogenetic classification of primates based on
DNA evidence complemented by fossil evidence. Molecular phylogenetics and
evolution. 9.

Kappeler, P. M., & C. P. van Schaik. 2002. Evolution of Primate Social Systems.
International Journal of Primatology, Vol. 23, No. 4.

Kitchen, D.M., Cheney, D.L. and Seyfarth, R.M. 2004. Factors mediating inter-group
encounters in savanna baboons (Papio cynocephalus ursinus). Behaviour .141: 197218.

Korstjens, A. H. & R. I. M. Dunbar. 2007. Time Constraints Limit Group Sizes and
Distribution in Red and Black-and-White Colobus. Int J Primatol. 28:551575.

Korstjens, A., Nijssen, E. and Noe, R. 2005. Inter-group relationships in western black-andwhite

colobus,

Colobus

polykomos

polykomos.

International

Journal

of

Primatology.26: 1267-1289.

Lehmann, J., A.H. Korstjens & R. I. M. Dunbar. 2007. Fissionfusion social systems as a
strategy for coping with ecological constraints: a primate case. Evol Ecol. 21:613
634 Liang-Wei Cui, Sheng Huo, Tai Zhong, Zuo-Fu Xiang, Wen Xiao, Rui-Chang
Quan. 2008. Social Organization of Black-and-White Snub-Nosed Monkeys
(Rhinopithecus bieti)

27

Matsuda, I., A. Tuuga & S. Higashi. 2010. Effects of water level on sleeping-site selection
and inter-roup association in proboscis monkeys: why do they sleep alone inland on
flooded days. Ecol Res. 25: 475482.

McFarland, D. 1999. Animal behavior, Psychobiology, ethology and evolution. Addison


Wesley Longman Limited. England.

Mc Neely, J.A., K.R. Miller, W.V. Reid, R.A. Mittermeier & T.B. Werner. 1990. Conserving
The Worlds Biological Diversity. IUCN, WRI, CI, WWF-US & The World Bank.
Gland. Switzerland.

Mehlman, P.T. and Parkhill, R.S. 1988. Inter-group interactions in wild Barbary macaques
(Macaca sylvanus), Ghomaran Rif Mountains, Morocco. American Journal of
Primatology.15: 31-44.

Morand, S. & R. Poulin. 1998. Density, body mass and parasite species richness of
terrestrial mammals. Evolutionary Ecology. 12, 717-727.

Murai T. 2004. Social behaviors of all-male proboscis monkeys when joined by females.
Ecol Res 19(4):451-4. van Schaik, C.P., M.A. van Noordwijk, B. Warsono & E.
Sutomono. 1983. Party Size and Early Detection of Predators in Sumatran Forest
Primates. Primates, 24(2): 211-221

Oates, F.J. 1987. Food distribution and foraging behaviour. In Primate societies (Smuts,
B.B., Wrangham, R.W., Cheney, D.L., Struhsaker, T.T. and Seyfarth, R.M. Eds.).
University of Chicago Press, Chicago, pp. 197-209. Oates, F.J. 1987. Food
distribution and foraging behaviour. In Primate societies (Smuts, B.B., Wrangham,
R.W., Cheney, D.L., Struhsaker, T.T. and Seyfarth, R.M. Eds.). University of
Chicago Press, Chicago, pp. 197-209.

Rajpurohit, D. S. 2005. Study the Dominance Hierarchy and Its Role in Social Organization
of Hanuman Langur. Thesis. University Jodhpur. India.

28

Schreier, A.L. & L. Swedell. 2009. The Fourth Level of Social Structure in a Multi-Level
Society: Ecological and Social Functions of Clans in Hamadryas Baboons. American
Journal of Primatology 71:948955

Suzuki, S., N. Noma & K. Izawa. 1998. Inter-annual Variation of Reproductive Parameters
and Fruit Availability in Two Populations of Japanese Macaques. Primates. 39(3):
313-324 van Noordwijk, M.A. & C.P. van Schaik. 1999. The Effects of Dominance
Rank and Group Size on Female Lifetime Reproductive Success in Wild Long-tailed
Macaques, Macaca fascicularis. Primates. 40(1): 105-130.

Takahata, Yukio; Koyama, N.; Ichino, S.; dan Miyamoto, N. 2005. Inter- and within-troop
competition of Female ring-tailed lemurs: a preliminary Report. African Study
Monographs Volume 26 No. 1
Van Schaik, C.P., M.A. van Noordwijk, B. Warsono & E. Sutomono. 1983. Party Size and
Early Detection of Predators in Sumatran Forest Primates. Primates, 24(2): 211-221.

Wada, K. 1980. Seasonal Home Range Use by Japanese Monkeys in the Snowy Shiga
Heights. Primates, 4, 468-483.

29

Anda mungkin juga menyukai