Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PRAKTIKUM BFFK

SIMULASI MODEL IN VITRO FARMAKOKINETIK OBAT SETELAH


PEMBERIAN SECARA INTRAVENA

KELOMPOK 2D
GERALDI

1113102000037

RAMAZA RIZKA

1113102000076

LUTHFIA WIKHDATUL A.

1113102000019

SABILAH VISA

1113102000018

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
OKTOBER/2016
BAB I

PENDAHULUAN
1.1.

Latar belakang

Aktivitas serta toksisitas suatu obat tergantung pada lama keberadaan dan perubahan
zat aktif di dalam tubuh. Aktivitas ini dipengaruhi oleh berbagai macam faktor. Nasib obat di
dalam tubuh dikenal dengan istilah farmakokinetika. Fase farmakokinetik ini merupakan salah
satu unsur penting yang menentukan profil keberadaan zat aktif pada tingkat biofase dan
selanjutnya menentukan aktivitas terapeutik obat. Fase farmakokinetika terdiri dari absorpsi,
distribusi, metabolism, dan ekskresi.
Farmakokinetika obat dapat diilustrasikan dalam model yang dikenal dengan istilah
model farmakokinetika atau kompartemen. Model farmakokinetik sendiri dapat memberikan
penafsiran yang lebih teliti tentang hubungan kadar obat dalam plasma dan respons
farmakologik. Salah satu model kompartemen yang biasa digunakan untuk perhitungan
farmakokinetika adalah model kompartemen satu terbuka.

1.2.

Tujuan
Dapat menjelaskan proses farmakokinetika obat di dalam tubuh setelah pemrian secara

bolus intravena dengan simulasi model in vitro farmakokinetik obat.


Mampu memplot data kadar obat dalam fungsi waktu pada skala semilogaritmik
Mampu menentukan berbagai parameter farmakokinetik

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Injeksi Intravena

a. Pengertian
Pemberian obat dengan cara memasukkan obat ke dalam pembuluh darah vena
dengan menggunakan spuit. Sedangkan pembuluh darah vena adalah pembuluh
darah yang menghantarkan darah balik ke jantung.
b. Kegunaan Injeksi Intravena
1. Digunakan pada pasien yang dalam keadaan darurat, agar obat yang diberikan
dapat menimbulkan efek langsung. Contoh pada pasien epilepsi atau kejang-kejang
2. Digunakan pada pasien yang tidak dapat diberi obat melalui oral, contoh pada
pasien terus menerus muntah
3. Digunakan pada pasien yang tidak diperbolehkan memasukkan obat apapun
melalui mulutnya
c. Indikasi Obat Intravena
Pemberian obat intra vena bermanfaat untuk beberapa alasan :
1) Jaminan bahwa konsentrasi obat yang efektif dicapai dengan cepat.
2) Mengontrol permulaan konsentrasi puncak obat dalam serum.
3) Produksi efek biologis bila obat tidak dapat diabsorbsi melalui rute oral.
4) Pemberian obat kepada pasien yang tidak dapat meminum obat.
d. Kontra Indikasi Obat Intravena
1. IV sangat berbahaya karena reaksinya terlalu cepat.
2. Menimbulkan kecemasan.
3. infeksi di pemasangan infus.
4. Daerah lengan bawah pada pasien gagal ginjal, karena lokasi ini akan digunakan
untuk pemasangan fistula arteri-vena (A-V shunt) pada tindakan hemodialisis (cuci
darah).

e.

Tempat Injeksi Intravena


1. Pada lengan
- Vena mediana cubiti/vena sefalika
- Vena basilica
2. Pada tungkai
- Vena saphenous
3. Pada leher
- Vena jugularis
4. Pada kepala
- Vena frontalis

- Vena temporalis
5. Pada mata kaki
- Vena dorsal pedis
f. Macam-Macam Injeksi Intravena
1. Pemberian obat melalui intravena (secara langsung)
Cara pemberian obat melalui vena secara langsung, diantaranya vena mediana
cubiti/cephalika (lengan), vena saphenosus (tungkai), vena jugularis (leher), vena
frontalis/temporalis(kepala), yang bertujuan agar reaksi cepat dan langsung masuk
pada pembuluh darah
2. Pemberian obat melalui intravena (secara tidak langsung)
Merupakan cara pemberian obat dengan menambahkan atau memasukkan obat ke
dalam media (wadah atau selang), yang bertujuan untuk meminimalkan efek
samping dan mempertahankan kadar terapeutik dalam darah.
2.2.

Farmakokinetik
Farmakokinetik atau kinetika obat adalah nasib obat dalam tubuh atau efek

tubuh terhadap obat. Farmakokinetik mencakup 4 proses, yaitu proses absorpsi (A),
distribusi (D), metabolisme (M), dan ekskresi (E). Metabolisme atau biotransformasi
dan ekskresi bentuk utuh atau bentuk aktif merupakan proses eliminasi obat
(Gunawan, 2009).
1. Absorpsi
Absorpsi merupakan proses masuknya obat dari tempat pemberian ke dalam
darah. Bergantung pada cara pemberiannya, tempat pemberian obat adalah saluran
cerna (mulut sampai rektum), kulit, paru, otot, dan lain-lain. Yang terpenting adalah
cara pemberian obat per oral, dengan cara ini tempat absorpsi utama adalah usus
halus karena memiliki permukaan absorpsi yang sangat luas, yakni 200 meter
persegi (panjang 280 cm, diameter 4 cm, disertai dengan vili dan mikrovili )
(Gunawan, 2009).
Absorpsi obat meliputi proses obat dari saat dimasukkan ke dalam tubuh,
melalui jalurnya hingga masuk ke dalam sirkulasi sistemik. Pada level seluler, obat
diabsorpsi melalui beberapa metode, terutama transport aktif dan transport pasif.

Gambar 1. Proses Absorbsi Obat


1.1 Metode absorpsi
Transport pasif
Transport pasif tidak memerlukan energi, sebab hanya dengan proses difusi
obat dapat berpindah dari daerah dengan kadar konsentrasi tinggi ke daerah
dengan konsentrasi rendah. Transport aktif terjadi selama molekul-molekul kecil
dapat berdifusi sepanjang membrane dan berhenti bila konsentrasi pada kedua sisi
membrane seimbang.
Transport Aktif
Transport aktif membutuhkan energy untuk menggerakkan obat dari daerah
dengan konsentrasi obat rendah ke daerah dengan konsentrasi obat tinggi
1.2 Kecepatan Absorpsi
Apabila pembatas antara obat aktif dan sirkulasi sitemik hanya sedikit sel.
Absorpsi terjadi cepat dan obat segera mencapai level pengobatan dalam tubuh.
Detik s/d menit: SL, IV, inhalasi
Lebih lambat: oral, IM, topical kulit, lapisan intestinal, otot
Lambat sekali, berjam-jam / berhari-hari: per rektal/ sustained frelease.
Faktor yang mempengaruhi kecepatan Absorpsi

a. Diperlambat oleh nyeri dan stress\


Nyeri dan stress mengurangi aliran darah, mengurangi pergerakan saluran cerna,
retensi gaster
b. Makanan tinggi lemak
Makanan tinggi lemak dan padat akan menghambat pengosongan lambung dan
memperlambat waktu absorpsi obat
c. Faktor bentuk obat
Absorpsi dipengaruhi formulasi obat: tablet, kapsul, cairan, sustained release, dll)
d. Kombinasi dengan obat lain
Interaksi satu obat dengan obat lain dapat meningkatkan atau memperlambat
tergantung jenis obat
Obat yang diserap oleh usus halus ditransport ke hepar sebelum beredar ke
seluruh tubuh. Hepar memetabolisme banyak obat sebelum masuk ke sirkulasi. Hal ini
yang disebut dengan efek first-pass. Metabolisme hepar dapat menyebabkan obat
menjadi inaktif sehingga menurunkan jumlah obat yang sampai ke sirkulasi sistemik,
jadi dosis obat yang diberikan harus banyak.
1.3 Faktor yang mempengaruhi penyerapan

Aliran darah ke tempat absorpsi


Total luas permukaan yang tersedia sebagai tempat absorpsi
Waktu kontak permukaan absorpsi

2. Distribusi
Distribusi obat adalah proses obat dihantarkan dari sirkulasi sistemik ke jaringan dan
cairan tubuh. Distribusi obat yang telah diabsorpsi tergantung beberapa faktor:
Aliran darah
Setelah obat sampai ke aliran darah, segera terdistribusi ke organ berdasarkan
jumlah aliran darahnya. Organ dengan aliran darah terbesar adalah Jantung, Hepar,

Ginjal. Sedangkan distribusi ke organ lain seperti kulit, lemak dan otot lebih lambat.
Permeabilitas kapiler
Ikatan protein
Obat yang beredar di seluruh tubuh dan berkontak dengan protein dapat terikat
atau bebas. Obat yang terikat protein tidak aktif dan tidak dapat bekerja. Hanya obat
bebas yang dapat memberikan efek. Obat dikatakan berikatan protein tinggi bila >80%
obat terikat protein
3. Metabolisme

Metabolisme/biotransformasi obat adalah proses tubuh merubah komposisi obat


sehingga menjadi lebih larut air untuk dapat dibuang keluar tubuh. Obat dapat
dimetabolisme melalui beberapa cara:
a. Menjadi metabolit inaktif kemudian diekskresikan;
b. Menjadi metabolit aktif, memiliki kerja farmakologi tersendiri dfan bisa
dimetabolisme lanjutan.
Beberapa obat diberikan dalam bentuk tidak aktif kemudian setelah dimetabolisme
baru menjadi aktif (prodrugs). Metabolisme obat terutama terjadi di hati, yakni di
membran endoplasmic reticulum (mikrosom) dan di cytosol. Tempat metabolisme yang
lain (ekstrahepatik) adalah : dinding usus, ginjal, paru, darah, otak, dan kulit, juga di
lumen kolon (oleh flora usus).
Tujuan metabolisme obat adalah mengubah obat yang nonpolar (larut lemak) menjadi
polar (larut air) agar dapat diekskresi melalui ginjal atau empedu. Dengan perubahan ini
obat aktif umunya diubah menjadi inaktif, tapi sebagian berubah menjadi lebih aktif,
kurang aktif, atau menjadi toksik.
Faktor-faktor yang mempengaruhi metabolisme:

Kondisi Khusus
Beberapa penyakit tertentu dapat mengurangi metabolisme, al. penyakit hepar seperti

sirosis.
Pengaruh Gen
Perbedaan gen individual menyebabkan beberapa orang dapat memetabolisme obat

dengan cepat, sementara yang lain lambat.


Pengaruh Lingkungan
Lingkungan juga dapat mempengaruhi metabolisme, contohnya: Rokok, Keadaan

stress, Penyakit lama, Operasi, Cedera.


Usia
Perubahan umur dapat mempengaruhi metabolisme, bayi vs dewasa vs orang tua.

4. Ekskresi
Ekskresi obat artinya eliminasi/pembuangan obat dari tubuh. Sebagian besar obat
dibuang dari tubuh oleh ginjal dan melalui urin. Obat jugadapat dibuang melalui paruparu, eksokrin (keringat, ludah, payudara), kulit dan taraktusintestinal.

Organ terpenting untuk ekskresi obat adalah ginjal. Obat diekskresi melalui ginjal
dalam bentuk utuh maupun bentuk metabolitnya. Ekskresi dalam bentuk utuh atau bentuk
aktif merupakan cara eliminasi obat melui ginjal. Ekskresi melalui ginjal melibatkan 3
proses, yakni filtrasi glomerulus, sekresi aktif di tubulus. Fungsi ginjal mengalami
kematangan pada usia 6-12 bulan, dan setelah dewasa menurun 1% per tahun. Ekskresi
obat yang kedua penting adalah melalui empedu ke dalam usus dan keluar bersama feses.
Ekskresi melalui paru terutama untuk eliminasi gas anastetik umum (Gunawan, 2009).

2.3.
Model Farmakokinetika
Model
farmakokinetika
adalah

suatu

hubungan

matemik

yang

menggambarkan perubahan konsentrasi terhadap waktu dalam sistem yang


diperiksa. Dari model farmakokinetik dapat diperkirakan kadar obat dalam plasma,
jaringan, dan urin pada berbagai pengaturan dosis serta pengaturan dosis optimum
untuk setiap penderita secara individual. Memperkirakan kemingkinan akumulasi obat
dan / atau metabolit-metabolitnya, menghubungkan konsentrasi obat dengan aktivitas
farmakologi dan toksikologi serta menjelaskan interaksi obat. Model kompartemen
didasarkan atas anggapan linear, yang menggunakan persamaan diferensial linear.
Kompartemen model merupakan gambaran kinetik yang mengkarakterisasi laju
absorpsi, disposisi dan eliminasi dari suatu obat di dalam tubuh.
a. Model Kompartemen-Satu Terbuka
Pemberian Obat Secara Intravena
Jika suatu obat diberikan dalam bentuk injeksi intravena cpat (IV bolus), seluruh
dosis obat masuk tubuh dengan segera. Oleh karena itu, laju absorpsi obat di berikan
dalam perhitungan. Dalam banyak hal, obat tersebut didistribusikan ke semua jaringan
di dalam tubuh melalui system sirkulasi dan secara cepat berkesetimbangan di dalam
tubuh. Model farmakokinetik yang paling sedrhana untuk menggambarkan pelarutan
obat dalam suatu volume tubuh di berikan dalam gambar berikut.

Gambar 2. Model satu kompartemen


Model kompartemen satu terbuka menganggap bahwa berbagai perubahan obat
dalam plasma mncerminkan perubahan yang sebanding dengan kadar obat dalam
jaringan. Tetapi, model ini tidak menganggap bahwa konsentrasi obat dalam tiap
jaringan tersebut adalah sama pada berbagai waktu . disamping itu Db jga tidak dapat
di tentukan secara langsung , tetapi dapat ditentukan konsentrasi obatnya dengan
menggunakan cuplikan cairan tubuh (seperti darah). Volume distribusi , Vd adalah
volume dalam tubuh dimana obat terlarut .
Volume Distribusi
Volume distribusi menyatakan suatu factor yang harus di perhitungkan dalam
memperkirakan jumlah obat dalam tubuh dari konsentrasi obat yang di temukan dalam
kompartemen cuplikan. Volume distribusi juga dapat dianggap sebagai volume (Vd)
dimana obat pelarut. Db= Vd Cp
Untuk sebagian besar obat dianggap bahwa obat bersetimbangan secara tepat dalam
tubuh. Tiap jaringan dapat mengandung suatu konsentrasi obat yang berbeda
sehubungan dengan perbedaan afinitas obat terhadap jaringan tersebut. Oleh karena
harga volume distribusi tidak mengandung suatu arti fisiologik yang sebenarnya dari
pengertian anatomic, maka digunakan istilah apparent volume distribution, yang untuk
selanjutnya disebut volume distribusi.
Jumlah obat dalam tubuh tidak dapat ditentukan secara langsung, tetapi suatu
cuplikan darah dapat diambil pada jarak waktu secara berkala dan dianalisis
konsentrasi obat tersebut. Vd berguna untuk mengaitkan kosentrasi obat dalam plasma
(Cp) dan jumlah obat dalam tubuh (DB), seperti dalam persamaaan berikut:
Db= Vd Cp
Kt
log DB =
+log D0B
Dengan subtitusi persamaan diatas ke dalam persamaan
2.3
Dimana :
DB =obat dalam tubuh pada waktu t
D0B =obat dalam tubuh pada t=0
Diperoleh suatu pernyataan yang sama. Yang disdasarkan pada konsentrasi obat dalam
plasma, untuk penurunan obat dalam plasma yang mengikuti order ke satu.

log C p =

Kt
+log C0p
2.3

Dimana:
C p =konsentrasi obat dalam plasma pada waktu t
C0p =konsentrasi obat dalam plasma pada t=0
3. Orde Reaksi
Orde reaksi menunjukkan cara bagaimana konsentrasi obat atau pereaksi
mempengaruhi laju suatu reaksi kimia. Orde reaksi ditentukan oleh kemungkinan
suatu unit yang terjadi pada populasi tertentu. Dalam farmakokinetika hanya orde
reaksi 0 dan orde reaksi 1 yang penting.
a. Reaksi Orde Nol
Bila jumlah obat A berkurang dalam suatu jarak waktu yang tetap t, maka laju
hilangnya obat A dinyatakan sebagai :
dA/dt = - Ko
Ko adalah tetapan laju reaksi orde nol dan dinyatakan dalam satuan massa/waktu
(misal : mg/menit). Integrasi persamaan diatas menghasilkan persamaan berikut
A = - Ko.t + Ao
Ao adalah jumlah obat A pada t = 0, maka dari persamaan tersebut dapat dibuat suatu
grafik hubungan antara A terhadap t yang menghasilkan suatu garis lurus.
b. Reaksi Orde Satu
Bila jumlah obat A berkurang dengan laju uang sebanding dengan jumlah obat A
tersisa, maka laju hilangnya obat A dinyatakan sebagai :
dA/dt = -Ka
Ka adalah tetapan laju reaksi orde satu dan dinyatakan dalam satuan waktu -1 (misal
:jam-1). Integrasi dari persamaan diatas menghasilkan persamaan sebagai berikut :
ln A = - Kt + ln Ao
Dapat pula dinyatakan sebagai berikut :
A = Ao . e Kt . Bila ln = 2.3 log, maka persamaannya menjadi : Log A = - Kt / 2,3 +
log Ao, yang mana dari persamaan ini, grafik hubungan log A terhadap t menghasilkan
garis lurus.

Gambar 3. Grafik Orde Reaksi


4. Parameter Farmakokinetika

Parameter Farmakokinetika adalah besaran yang diturunkan secara matematis dari


model yang berdasarkan hasil pengukuran kadar obat utuh atau metabolitnya dalam
darah, urin, atau cairan hayati lainnya. Parameter farmakokinetika berfungsi untuk
memperoleh gambaran yang dapat dipergunakan dalam mengkaji kinetika absorpsi,
distribusi, dan eliminasi obat didalam tubuh. Parameter farmakokinetika dibagi
menjadi tiga yaitu :
a. Parameter Primer
Parameter faramakokinetik primer adalah parameter farmakokinetik yang
harganya di pengaruhi oleh perubahan salah satu atau lebih ubahan fisiologi yang
terkait. Yang termasuk parameter ini yaitu :
Tetapan kecepatan absorbsi (Ka)
Tetapan kecepatan absorbsi menggambarkan kecepatan absorbsi, yaitu
masuknya obat ke dalam sirkulasi sistemik dari absorbsinya (saluran cerna

pada pemberian oral, jaringan otot pada pemberian intramuskular).


Cl (Klirens)
Klirens adalah volume darah yang dibersihkan dari kandungan obat persatuan

waktu.
Volume distribusi (Vd)
Volume distribusi adalah volume yang menunjukkan distribusi obat. Vd adalah
volume perkiraan (apparent) obat terlarut dan terdistribusi dalam tubuh.

Semakin nilainya semakin luas distribusinya.


b. Parameter Sekunder
Parameter faramakokinetika sekunder adalah parameter farmakokinetik yang
harganya tergantung pada harga parameter farmakokinetik primer. Dan yang
termasuk yaitu :
Waktu paro eliminasi (t1/2)
Waktu paro adalah waktu yang dibutuhkan untuk mengubah jumlah obat di
dalam tubuh menjadi seperdua selama eliminasi (atau selama infus yang
Konstan)
Tetapan kecepatan eliminasi (Kel)
Kecepatan eliminasi adalah fraksi obat yang ada pada suatu waktu yang akan
tereliminasi

dalam

satu

satuan

waktu. Tetapan

kecepatan

eliminasi

menunjukkan laju penurunan kadar obat setelah proses kinetik mencapai


keseimbangan.
c. Parameter Turunan
Waktu mencapai kadar puncak ( tmaks )

Nilai ini menunjukkan kapan kadar obat dalam sirkulasi sistemik mencapai
puncak.
Kadar puncak (Cp mak)
Kadar puncak adalah kadar tertinggi yang terukur dalam darah atau serum atau
plasma. Nilai ini merupakan hasil dari proses absorbsi, distribusi dan eliminasi
dengan pengertian bahwa pada saat kadar mencapai puncak proses-proses
tersebut berada dalam keadaan seimbang.
Luas daerah di bawah kurva kadar obat dalam sirkulasi sistemik vs waktu (AUC)
Nilai ini menggambarkan derajad absorbsi, yakni berapa banyak obat
diabsorbsi dari sejumlah dosis yang diberikan. Area dibawah kurva konsentrasi
obat-waktu (AUC) berguna sebagai ukuran dari jumlah total obat yang utuh
tidak berubah yang mencapai sirkulasi sistemik.

5. Parasetamol Injeksi

Gambar 4. Stuktur Kimia


Penggunaan parasetamol IV menjadi populer pada neonates dan anak-anak.
Populasi farmakokinetik telah menyelidiki manfaat Prodrug (Propasetamol) IV pada
neonates

setelah pemberian tunggal atau dosis berulang. Parasetamol merupakan

analgesik yang efektif dan menarik bagi bayi baru lahir dan anak-anak terutama pada
mereka yang tidak bias mengkonsumsi oral. Ia bekerja sebagai alternatif atau sebagai
suplemen untuk analgesik opioid yang paling penting pada pasien yang rentan
terhadap efek samping opioid. Selain itu, parasetamol IVmemberikan hasil yang sama
seperti ditawarkan oleh Propasetamol.

Palmer dkk mempelajari formulasi parasetamol IV, clearance dan efek pada tes
fungsi hati di lima puluh neonatus. Dalam penelitian ini, neonatus menerima rata-rata
15 dosis sesuai dengan usia kehamilan (28-32 minggu = 10 mg / kg, 32-36 minggu =
12,5 mg / kg dan 36 minggu = 15 mg / kg) selama rata-rata 4 hari bersama dengan
pengukuran harian konsentrasi serum parasetamol dan tes fungsi hati. Mereka
menemukan bahwa parasetamol IV memilki parameter menyerupai orang-orang
dengan pemberian Propasetamol. Tidak ada efek hepatotoksisitas yang signifikan yang
dilaporkan pada pasien mereka kecuali satu pasien yang Alanin Aminotransferase
meningkat tiga kali lipat. Peneliti dalam penelitian ini menyarankan dosis yang lebih
rendah dari parasetamol IV pada pasien yang memiliki hiperbilirubinemia tak
terkonjugasi. Penelitian ini merujuk pada usia kehamilan berbasis rejimen dosis pada
pengaplikasian parasetamol IVdi unit neonatal.
Demikian pula, penelitian yang dilakukan Wilson dkk dilakukan secara acakn
metode double blind pada kelompok control placebo pada

41 anak-anak untuk

mengetahui efikasi dan tolerabilitas dosis tunggal Propasetamol IV. Pada pasien
dengan suhu tubuh 38,5 C hingga 41 C menerima 30 mg / kg IV Propasetamol (20
pasien) dan plasebo (21 pasien), diberikan selama 15 menit melalui infus. Suhu tubuh
diukur di awal, setelah 15 menit, satu jam dan selanjutnya selama enam jam. Hasil
pertama adalah pengurangan suhu tubuh pada saat evaluasi di berbagai periode. Dalam
kelompok Propasetamol IV, 10% diperlukan penyelamatan dosis sedangkan pada
kelompok plasebo ,52,4% anak-anak memerlukan obat penyelamatan. Mereka
mengamati bahwa khasiat Propasetamol IV secara signifikan lebih besar daripada
plasebo. Selain itu, baik Propasetamol IV dan placebo sama-sama ditoleransi. Pada
penelitian ini tidak mengomentari perbandingan Propasetamol IV dengan obat
antipiretik lainnya.
Bayi

baru Anak-anak

lahir,

bayi, kg dan < 33 kg)

balita
anak-anak
Dosis

dan

(>10 Anakanak,remaja

Remaja

dan

dewasa

(>50

dewasa (>33 kg kg)


dan <50 kg)

(<10 kg)
Sekali infus Sekali infus 15 Sekali infus 15 Sekali infus 1 g

pemberian

7,5

mg/kg mg/kg (1,5 ml/kg)

Dosis

(0,75 ml/kg)
30 mg/kg

60

mg/kg

mg/kg

(1,5 (100 ml)

ml/kg)
(6 60 mg/kg

maksimu

ml/kg)

melebihi 2 g (200 melebihi

(6 Tidak lebih dari

tidak ml/kg) dan tidak 4 g (400 ml)


3

ml)
(300 ml)
Tabel 1. Rekomendasi MHRA untuk dosis pemberian perfalgan(R) (preparasi
parasetamol IV)
a. Keamanan
Injeksi parasetamol IV dipercaya memilki efek terapeutik terbaik dengan efek
hepatotoksi yang rendah. Meskipun memilki efek toksisitas yang rendah pada
dosis terapi, tetapi harus juga diperhatikan bahwa memberikan terapi pada pasien
yang menggunakan parasetamol IV harus melalui persiapan yang baik. Kerusakan
hati telah dilaporkan terjadi pada anak-anak yang mengkonsumsi prasetamol yang
lama dengan jumlah dengan jumlah dosis sesuai dengan dosis terapi. Hepatotoksis
terjadi oleh karena adanya ketidakseimbangan antara produk metabolik reaktif ( Nacetyl p-benzoquinone imine) dan kurangnya jumlah glutathion 31. Pada anak-anak
(umur kurang dari 2 tahun), resiko hepatotoksis telah diidentifikasi pada pemberian
parasetamol IV dengan dosis lebih dari 90 mg/kg/hari.
Selain itu, untuk menghindari toksisitas dari injeksi parasetamol IV maka
pemberiannya harus dilakukan di rumah sakit. Pemberian parasetamol IV memiliki
kontraindikasi pada beberapa kondisi diantaranya insufisiensi hepar, peminum
alkohol yang kronik, malnutrisi dan dehidrasi yang kronik. Namun demikian,
penelitian terbaru menunjukan bahwa injeksi parasetamol IV sesuai dengan dosis
terapi tidak memberikan kerugian pada pasien dengan gangguan fungsi hati. Selain
itu juga, tidak ada data yang signifikan mengenai hepatotoksitas pada pasien
sirosis, hal ini mungkin disebabkan karena kompensasi fungi hati dan hasil
metabolit dengan toksisitas yang rendah. Dengan kata lain, parasetamol IV tidak
menjadi kontraindikasi pada pasien dengan gangguan fungsi hati jika dosis yang
diberikan tidak melebihi dosis terapi yang sesuai.

BAB III
METODOLOGI

3.1 Alat dan Bahan


3.1.1 Alat

Gelas beaker
Vial
Pompa peristaltic
Syringe
Labu ukur
Cawan porselen
Timbangan analitik
Spektrofotometer

3.2.1 Bahan
NaOH 0,1 N
Parasetamol
Aquadest
3.2 Cara Kerja
1.
2.
3.
4.

Disiapkan alat dan bahan


Dibuat larutan NaOH 0,1 N sebanyak 1L didalam labu 000 ml
Diambil 2 gelas beaker ( untuk kelompok 1 dan 2 )
Diambil sebanyak 200 ml NaOH dan dimasukkan kedalam masing-masing
gelas beaker (A : Kelompok 1 dan 2, B : Kelompok 3dan 4)

5. Sebanyak 5 ml larutan Parasetamol dimasukkan kedalam gelas beaker A, dan 4


ml kedalam gelas beaker B
6. Diambil cuplikan sebanyak 5 ml pada tiap-tiap gelas beaker pada rentang
waktu 5,10,15,20,25,30,35,40,45 dan 50 menit
7. Setiap cuplikan yang diambil digantikan dengan NaOH sebanyak yang volume
yang dicuplik
8. Ditentukan kada obat dalam cuplikan dengan spektrofotometri
9. Dibuat kurva kadar obat terhadap waktu dari data yang telah digunakan dan
dihasilkan
10. Dihitung harga CO, K, Vd, Cl dan t1/2

LAMPIRAN CARA KERJA

Daftar Pustaka

Almatsier, Sunita, 2004. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia.


Carbopol 934 Formulation, Chem. Pharm. Bull. 4:1, 171-174, (1998)

Carbopol

934

Formulation, Chem. Pharm. Bull. 46:1.


Dorland, W., 2006. Kamus Kedokteran Dorland. Jakarta: EGC
Gunawan, Gan Sulistia. 2009. Farmakologi dan Terapi edisi 5. Jakarta: Departemen
Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Indrawati , Teti, Agoes Goeswin, Yulinah Elin dan Cahyati Yeyet. Jurnal Matematika dan
Sains Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Departemen
Farmasi FMIPA ITB
Katzung, Bertram G, (2004), Basic & clinical pharmacology, 9th Edition, Lange Medical
Books/Mcgraw-Hill: New York, Hal : 6, 152 (e-book version of the text).
Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Buku ajar patologi .7 Buku Kedokteran EGC, 2007, Vol. 2.
Jakarta : EGC
Nakanishi, T., Kaiho, F., & Hayashi , M.1998 ,Improvement of Drug Release Rate from
Nakanishi, T., Kaiho, F., & Hayashi , M.1998 ,Improvement of Drug Release Rate from
Pearce, Evelyn C, 2006, Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis, Jakarta : PT Gramedia
Pustaka Utama
Palmers Y , Termote B, Verswijvel G, Gelin G,. Neonatal hypoglycemic brain injury.
JBR-TR. 2008;91:116-7.
Sherwood Lauralee, 2001 ; Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem (Human Physiology: From
cells

to systems) ; Edisi II, Jakarta : EGC

Wibowo, D dan Paryana, W. 2009. Anatomi Tubuh Manusia. Yogyakarta: Graha Ilmu
Wilson TG, Kornman KS. Fundamentals of Periodontics, Second Edition. Hong
Kong: Quintesence Publishing Co Inc, 2003: 491-3.
Yuniastuti, A., 2008. Gizi dan Kesehatan. Cetakan I,Yogyakarta : Graha Ilmu.

Anda mungkin juga menyukai