Anda di halaman 1dari 27

TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

BAGIAN ILMU KESEHATAN GIGI DAN MULUT

Oleh :
Janeva Septiana Sihombing
04084821517076

Pembimbing :
drg. Billy Sujatmiko, SpKG

RUMAH SAKIT DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
TAHUN 2016

1. Kedalaman karies
Menurut ICDAS (International Caries Detection and Assessment System), karies
terbagi atas 6, yaitu :
D1 : dalam keadaan gigi kering, terlihat lesi putih pada permukaan gigi.
D2 : dalam keadaan gigi basah, terlihat adanya lesi putih pada permukaan gigi.
D3 : terdapat lesi minimal pada permukaan email gigi.
D4 : lesi lebih dalam, tampak bayangan gelap denti atau lesi sudah mencapai bagian
Dentino Enamel Junction (DEJ).
D5 : lesi telah mencapai dentin.
D6 : lesi telah mencapai pulpa

2. White spot
White spot lession adalah proses awal terjadinya lubang gigi namun pada fase ini
permukaan gigi masih utuh. Bercak putih (White spot) timbul akibat pelepasan ion
kalsium dan fosfat dari email gigi yang disebut dengan demineralisasi. Biasanya white
spot terbentuk di bagian gigi yang dekat dengan perbatasan gusi. Proses ini bisa
dihentikan

dengan

penyebabnya.

pembersihan

yang

tepat

dan

penghentian

faktor-faktor

3. Progresifitas karies
Lesi email awal di dapat saat level PH pada permukaan gigi lebih rendah
sehingga tidak dapat diimbangi dengan remineralisasi, tetapi tidak cukup rendah
untuk menghambat proses remineralisasi pada daerah permukaan email. Ion asam
berpenetrasi dalam menuju porus lapisan prisma yang dapat menyebabkan
demineralisasi subpermukaan. Permukaan gigi dapat tetap utuh karena adanya
remineralisasi di permukaan yang disebabkan peningkatan level ion fluoride, ion
Ca2+ dan HPO 42+, dan juga saliva. Yang termasuk karakteristik klinis lesi email
awal adalah kehilangan translusensi

normal

dari

email

yang

memberikan

penampakan putih kapur, terlebih lagi pada saat dehidrasi, selain itu juga terdapat
lapisan permukaan yang rentan rusak pada saat probing, khusunya pada pit dan
fissura. Termasuk pula didalamnya,
pada

adanya

peningkatan porusitas,

khususnya

subpermukaan sehingga terdapat peningkatan potensial terjadinya noda dan

adanya penurunan densitas pada bagian sub permukaan, yang dapat di deteksi dengan
radiograf atau dengan transluminasi. Ukuran lesi sub permukaan dapat berkembang
sehingga dentin dibawahnya terlibat dan terdemineralisasi lalu kemudian lesi
interproksimal dapat terdeteksi oleh radiograf. Walau begitu, selagi permukaan gigi
menyatu, lesi masih dapat dikatakan reversible.
Dalam mengatasi lesi email dini, secara idealnya adalah berusaha
mengembalikan densitas email, tetapi pada realitanya hanya terdapat sebagian
perbaikan pada densitas permukaan. Walaupun demikian, remineralisasi sebagian
pada lesi awal menjadikan email tersebut lebih resisten terhadap demineralisasi asam
daripada email normal dan secara fisik lebih kuat. Sehingga lebih bauk bagi pasien

untuk tetap menjada oral hygiene daripada langsung memperbaiki gigi dan
mengabaikan usaha remineralisasi. Jika ketidakseimbangan remineralisasi atau
demineralisasi berlanjut, maka permukaan lesi awal akan runtuh dengan adanya
pelarutan apatit atau fraktur kristal yang lemah, sehingga menghasilkan kavitas.
Bakteri plak akan memenuhi kavitas dan membuat proses remineralisasi semakin sulit
dan kurang efektif sehingga kompleks dentin-pulpa akan menjadi aktif. Pulpa akan
menghasilkan respon segera terhadap invasi asam pada tubuli paling luar. Akan
terdapat mineralisasi pada kanal lateral yang menggabungan tubuli dentin sehingga
menghasilkan lapisan translusen. Hal
dapat diungkapkan

ini

tidak

terlihat

secara

klinis

tetapi

secara radiograf dan dapat dilihat apabila seluruh dentin yang

terdemineralisasi diangkat pada saat preparasi kavitas. Hal ini sebenarnya adalah
suatu reaksi pertahanan dari pulpa yang membuktikan pulpa dan dentin merupakan
satu kesatuan organ dan memiliki

kemampuan

yang

sama

dalam

proses

penyembuhan. Sekali demineralisasi berlanjut dari email menuju dentin dan bakteri
menjadi permanen di dalam kavitas, mereka akan menerobos ke dalam dentin yang
lebih dalam dengan sendirinya. Demineralisasi masih dapat dikontrol dengan diet
substrat tetapi bakteri juga akan memproduksi asam untuk melarutkan hidroksapatit
pada dentin yang lebih dalam. Tekstur dan warna dentin akan berubah
seiring perkembangan lesi. Tekstur akan berubah karena demineralisasi dan warna
akan bertambah gelap akibat produk bakteri atau noda dari makanan dan minuman.
Pada lesi kronik, perubahan warna akan lebih terlihat dan tekstur dasar kavitas akan
lebih lunak. Proses karies akan terus berlanjut, mencapai pulpa dan menimbulkan
infeksi pulpa sehingga terjadi kematian pulpa atau nekrosis dan selanjutnya
menjadi abses. Secara radiografis, gambaran abses gigi permanen akan tampak
disekitar periapikal sedangkan pada gigi susu, abses kronik berupa kerusakan interradikular, terutama terlihat di daerah bifurkasi. Secara klinis infeksi telah menyebar ke
jaringan lunak didaerah bukal berupa parulis atau abses ginggival berupa eksudat,
yang akan pecah dan meninggalkan saluran fistel. Infeksi kronis yang terjadi pada
gigi susu pada

saat pembentukan

aktif dari

mahkota gigi permanen erupsi

dengan efek hipoplasia atau hipokalsifikasi email. Hal ini sering dijumpai pada gigi
premolar.
Kesimpulan Tahapan Proses Karies
a. Small Pit
Mikroorganisme mulai menyerang bagian gigi yang rentan, yaitu pit.
b. Bluish WhiteArea

Dentin lebih lunak email sehingga mikroorganisme akan menyerang dentino


enamel junction yang akan menimbulkan warna keputihan pada email.
c. Open Cavity
Jika pennyerangan mikroorganisme terus berlanjut, maka akan terlihat kavitas
besar warna coklat muda.
d. Pulpitis
Pulpa mulai diserang sehingga menimbulakn infeksi.
e. Apical abscess
Pulpa sudah mati dan pulpitis mulai merambah ke ligament periodontal

4. ICD-10
Chapter XI
Diseases of the digestive system
(K00-K93)
Diseases of oral cavity, salivary glands and jaws
(K00-K14)
K00 Disorders of tooth development and eruption
Excl.: embedded and impacted teeth (K01.-)
K00.0 Anodontia
Hypodontia
Oligodontia
K00.1 Supernumerary teeth
Distomolar
Fourth molar
Mesiodens
Paramolar
Supplementary teeth
K00.2 Abnormalities of size and form of teeth

Concrescence
Fusion

of teeth

Gemination
Dens:

evaginatus

in dente

invaginatus

Enamel pearls
Macrodontia
Microdontia
Peg-shaped [conical] teeth
Taurodontism
Tuberculum paramolare
Excl.: tuberculum Carabelli, which is regarded as a normal variation and should not be
coded
K00.3 Mottled teeth
Dental fluorosis
Mottling of enamel
Nonfluoride enamel opacities
Excl.: deposits [accretions] on teeth (K03.6)
K00.4 Disturbances in tooth formation
Aplasia and hypoplasia of cementum
Dilaceration of tooth
Enamel hypoplasia (neonatal)(postnatal)(prenatal)
Regional odontodysplasia
Turner tooth
Excl.:

Hutchinson teeth and mulberry molars in congenital syphilis (A50.5)


mottled teeth (K00.3)

K00.5 Hereditary disturbances in tooth structure, not elsewhere classified

Amelogenesis
Dentinogenesis
Odontogenesis
Dentinal dysplasia
Shell teeth

imperfecta

K00.6 Disturbances in tooth eruption


Dentia praecox

Natal
Neonatal

tooth

Premature:

eruption of tooth

shedding of primary [deciduous] tooth

Retained [persistent] primary tooth


K00.7 Teething syndrome
K00.8 Other disorders of tooth development
Colour changes during tooth formation
Intrinsic staining of teeth NOS
K00.9 Disorder of tooth development, unspecified
Disorder of odontogenesis NOS

K01 Embedded and impacted teeth


Excl.: embedded and impacted teeth with abnormal position of such teeth or adjacent teeth
(K07.3)
K01.0 Embedded teeth
An embedded tooth is a tooth that has failed to erupt without obstruction by another
tooth.
K01.1 Impacted teeth
An impacted tooth is a tooth that has failed to erupt because of obstruction by another
tooth.

K02 Dental caries


K02.0 Caries limited to enamel
White spot lesions [initial caries]
K02.1 Caries of dentine
K02.2 Caries of cementum

K02.3 Arrested dental caries


K02.4 Odontoclasia
Infantile melanodontia
Melanodontoclasia
K02.5 Caries with pulp exposure
K02.8 Other dental caries
K02.9 Dental caries, unspecified

K03 Other diseases of hard tissues of teeth


Excl.: bruxism (F45.8)
dental caries (K02.-)
teeth-grinding NOS (F45.8)
K03.0 Excessive attrition of teeth

Wear:
approximal
occlusal

of teeth

K03.1 Abrasion of teeth

Abrasion:
dentifrice
habitual
occupational
ritual
traditional
Wedge defect NOS
K03.2 Erosion of teeth
Erosion of teeth:

NOS

of teeth

due to:
o

diet

drugs and medicaments

persistent vomiting

idiopathic

occupational

K03.3 Pathological resorption of teeth


Internal granuloma of pulp
Resorption of teeth (external)
K03.4 Hypercementosis
Cementation hyperplasia
K03.5 Ankylosis of teeth
K03.6 Deposits [accretions] on teeth
Dental calculus:

subgingival

supragingival

Deposits [accretions] on teeth:

betel

black

green

materia alba

orange

tobacco

Staining of teeth:

NOS

extrinsic NOS

K03.7 Posteruptive colour changes of dental hard tissues


Excl.: deposits [accretions] on teeth (K03.6)
K03.8 Other specified diseases of hard tissues of teeth
Irradiated enamel
Sensitive dentine
Use additional external cause code (Chapter XX), if desired, to identify radiation, if
radiation-induced.
K03.9 Disease of hard tissues of teeth, unspecified

K04 Diseases of pulp and periapical tissues


K04.0 Pulpitis
Pulpitis:

NOS

acute

chronic (hyperplastic)(ulcerative)

irreversible

reversible

K04.1 Necrosis of pulp


Pulpal gangrene
K04.2 Pulp degeneration
Denticles
Pulpal:

calcifications

stones

K04.3 Abnormal hard tissue formation in pulp


Secondary or irregular dentine
K04.4 Acute apical periodontitis of pulpal origin

Acute apical periodontitis NOS


K04.5 Chronic apical periodontitis
Apical or periapical granuloma
Apical periodontitis NOS
K04.6 Periapical abscess with sinus

Dental
Dentoalveolar

abscess with sinus

K04.7 Periapical abscess without sinus

Dental
Dentoalveolar
Periapical

abscess NOS

K04.8 Radicular cyst


Cyst:

apical (periodontal)

periapical

residual radicular
Excl.: lateral periodontal cyst (K09.0)

K04.9 Other and unspecified diseases of pulp and periapical tissues

K05 Gingivitis and periodontal diseases


K05.0 Acute gingivitis
Excl.: acute necrotizing ulcerative gingivitis (A69.1)
herpesviral [herpes simplex] gingivostomatitis (B00.2)
K05.1 Chronic gingivitis
Gingivitis (chronic):

NOS

desquamative

hyperplastic

simple marginal

ulcerative

K05.2 Acute periodontitis


Acute pericoronitis
Parodontal abscess
Periodontal abscess
Excl.: acute apical periodontitis (K04.4)
periapical abscess (K04.7)
periapical abscess with sinus (K04.6)
K05.3 Chronic periodontitis
Chronic pericoronitis
Periodontitis:

NOS

complex

simplex

K05.4 Periodontosis
Juvenile periodontosis
K05.5 Other periodontal diseases
K05.6 Periodontal disease, unspecified

K06 Other disorders of gingiva and edentulous alveolar ridge

Excl.: atrophy of edentulous alveolar ridge (K08.2)


gingivitis:

NOS (K05.1)

acute (K05.0)

chronic (K05.1)

K06.0 Gingival recession


Gingival recession (generalized)(localized)(postinfective)(post-operative)
K06.1 Gingival enlargement
Gingival fibromatosis
K06.2 Gingival and edentulous alveolar ridge lesions associated with trauma
Irritative hyperplasia of edentulous ridge [denture hyperplasia]
Use additional external cause code (Chapter XX), if desired, to identify cause.
K06.8 Other specified disorders of gingiva and edentulous alveolar ridge
Fibrous epulis
Flabby ridge
Giant cell epulis
Peripheral giant cell granuloma
Pyogenic granuloma of gingiva
K06.9 Disorder of gingiva and edentulous alveolar ridge, unspecified

K07 Dentofacial anomalies [including malocclusion]


Excl.: hemifacial atrophy or hypertrophy (Q67.4)
unilateral condylar hyperplasia or hypoplasia (K10.8)
K07.0 Major anomalies of jaw size
Hyperplasia, hypoplasia:

mandibular

maxillary

Macrognathism (mandibular)(maxillary)
Micrognathism (mandibular)(maxillary)
Excl.: acromegaly (E22.0)

Robin syndrome (Q87.0)


K07.1 Anomalies of jaw-cranial base relationship
Asymmetry of jaw
Prognathism (mandibular)(maxillary)
Retrognathism (mandibular)(maxillary)
K07.2 Anomalies of dental arch relationship
Crossbite (anterior)(posterior)
Disto-occlusion
Mesio-occlusion
Midline deviation of dental arch
Openbite (anterior)(posterior)
Overbite (excessive):

deep

horizontal

vertical

Overjet
Posterior lingual occlusion of mandibular teeth
K07.3 Anomalies of tooth position

Crowding
Diastema
Displacement
Rotation
Spacing, abnormal
Transposition

of tooth or teeth

Impacted or embedded teeth with abnormal position of such teeth or adjacent teeth
Excl.: embedded and impacted teeth without abnormal position (K01.-)
K07.4 Malocclusion, unspecified
K07.5 Dentofacial functional abnormalities
Abnormal jaw closure
Malocclusion due to:

abnormal swallowing

mouth breathing

tongue, lip or finger habits


Excl.: bruxism (F45.8)

teeth-grinding NOS (F45.8)


K07.6 Temporomandibular joint disorders
Costen complex or syndrome
Derangement of temporomandibular joint
Snapping jaw
Temporomandibular joint-pain-dysfunction syndrome
Excl.: current temporomandibular joint:

dislocation (S03.0)

strain (S03.4)

K07.8 Other dentofacial anomalies


K07.9 Dentofacial anomaly, unspecified

K08 Other disorders of teeth and supporting structures


K08.0 Exfoliation of teeth due to systemic causes
K08.1 Loss of teeth due to accident, extraction or local periodontal disease
K08.2 Atrophy of edentulous alveolar ridge
K08.3 Retained dental root
K08.8 Other specified disorders of teeth and supporting structures
Alveolar (process) cleft
Enlargement of alveolar ridge NOS
Irregular alveolar process
Toothache NOS
K08.9 Disorder of teeth and supporting structures, unspecified

5. Innervasi gigi
Nervus sensori pada rahang dan gigi berasal dari cabang nervus cranial ke-V atau
nervus trigeminal pada maksila dan mandibula. Persarafan pada daerah orofacial,

selain saraf trigeminal meliputi saraf cranial lainnya, seperti saraf cranial ke-VII, keXI, ke-XII.
Nervus Maksila
Cabang maksila nervus trigeminus mempersarafi gigi-gigi pada maksila, palatum, dan
gingiva di maksila. Selanjutnya cabang maksila nervus trigeminus ini akan bercabang
lagi menjadi nervus alveolaris superior. Nervus alveolaris superior ini kemudian akan
bercabang lagi menjadi tiga, yaitu nervus alveolaris superior anterior, nervus
alveolaris superior medii, dan nervus alveolaris superior posterior. Nervus alveolaris
superior anterior mempersarafi gingiva dan gigi anterior, nervus alveolaris superior
medii mempersarafi gingiva dan gigi premolar serta gigi molar I bagian medial,
nervus alveolaris superior posterior mempersarafi gingiva dan gigi molar I bagian
distal serta molar II dan molar III.
Nervus Mandibula
Cabang awal yang menuju ke mandibula adalah nervus alveolar inferior. Nervus
alveolaris inferior terus berjalan melalui rongga pada mandibula di bawah akar gigi
molar sampai ke tingkat foramen mental. Cabang pada gigi ini tidaklah merupakan
sebuah cabang besar, tapi merupakan dua atau tiga cabang yang lebih besar yang
membentuk plexus dimana cabang pada inferior ini memasuki tiap akar gigi.
Selain cabang tersebut, ada juga cabang lain yang berkonstribusi pada persarafan
mandibula. Nervus buccal, meskipun distribusi utamanya pada mukosa pipi, saraf ini
juga memiliki cabang yang biasanya di distribusikan ke area kecil pada gingiva buccal
di area molar pertama. Namun, dalam beberapa kasus, distribusi ini memanjang dari
caninus sampai ke molar ketiga. Nervus lingualis, karena terletak di dasar mulut, dan
memiliki cabang mukosa pada beberapa area mukosa lidah dan gingiva. Nervus
mylohyoid, terkadang dapat melanjutkan perjalanannya pada permukaan bawah otot
mylohyoid dan memasuki mandibula melalui foramen kecil pada kedua sisi midline.
Pada beberapa individu, nervus ini berkontribusi pada persarafan dari insisivus sentral
dan ligament periodontal.

Bagaimana sensasi nyeri pada gigi


Nyeri odontogenik adalah nyeri yang berasal dari pulpa gigi atau jaringan
periodonsium. Nyeri periodonsium merupakan nyeri dalam somatik. Penyebab nyeri
ini bervariasi, antara lain inflamasi atau trauma oklusi, impaksi gigi, akibat tindakan
profilaksis, perawatan endodonsia, ortodonsia, preparasi mahkota, kontur gigi yang
tidak tepat, atau trauma pembedahan. Dapat pula disebabkan penyebaran inflamasi
pulpa melalui foramen apikalis.
Proses rangsangan yang menimbulkan nyeri bersifat destruktif terhadap
jaringan yang dilengkapi dengan serabut saraf penghantar impuls nyeri. Serabut saraf
ini disebut juga serabut nyeri, sedangkan jaringan tersebut disebut jaringan peka nyeri.
Reseptor untuk stimulus nyeri disebut nosiseptor. Nosiseptor adalah ujung saraf tidak
bermielin A delta dan ujung saraf C bermielin. Distribusi nosiseptor bervariasi di
seluruh tubuh dengan jumlah terbesar terdapat di kulit. Pada kasus nyeri odontogenik
pulpa gigi merupakan salah satu jaringan tubuh yang sangat banyak mendapat inervasi
saraf. Nosiseptor yang terangsang oleh stimulus yang potensial dapat menimbulkan
kerusakan jaringan. Stimulus ini disebut sebagai stimulus noksius. Selanjutnya
stimulus noksius ditransmisikan ke sistem syaraf pusat, yang kemudian menimbulkan
emosi dan perasaan tidak menyenanggan sehingga timbul rasa nyeri.
6. Karies dentin
Merupakan karies yang sudah mencapai bagian dentin (tulang gigi) atau bagian
pertengahan antara permukaan gigi dan kamar pulpa. Gigi biasanya terasa sakit bila

terkena rangsangan dingin, makanan asam dan manis. Ditandai dengan adanya rasa
sakit apabila tertimbun sisa makanan. Apabila sisa makanan disingkirkan maka rasa
sakit akan berkurang.

7. Hiperemia pulpa
Hiperemi pulpa merupakan lanjutan dari iritasi pulpa. Hyperemi pulpa adalah
suatu keadaan dimana lapisan dentin mengalami kerusakan, terjadi sirkulasi
darah bertambah karena terjadi pelebaran pembuluh darah halus di dalam pulpa. Pulpa
terdiri dari saluran pembuluh darah halus, pembuluh syaraf, dan saluran lymphe.
Hiperemi pulpa ada dua tipe:
Arteri (aktif), jika terjadi peningkatan peredaran darah arteri.
Vena (pasif), jika terjadi pengurangan peredaran darah vena.
Jadi, hiperemi pulpa merupakan penanda bahwa pulpa tidak dapat dibebani iritasi lagi
untuk dapat bertahan sebagai suatu pulpa yang tetap sehat.
Hiperemi pula dapat disebabkan oleh:
a. Trauma, seperti oklusi traumatik, syok termal sewaktu preparasi kavitas,
dehidrasi akibat penggunaan alkohol atau kloroform, syok galvanik, iritasi
terhadap dentin yang terbuka di sekitar leher gigi.
b. Kimiawi, seperti makanan yang asam atau manis, iritasi terhadap bahan
tumpatan silikat atau akrilik, bahan sterilisasi dentin (fenol, H2O2,
alkohol, kloroform).
c. Bakteri yang dapat menyebar melalui lesi karies atau tubulus dentin ke pulpa,
jadi dalam hal ini sebelum bakterinya masuk ke jaringan pulpa, tetapi baru
toksin bakteri.
Gejala-gejala:
Terasa lain jika terkena makanan/ minuman manis, asam panas dan dingin.
Makanan / minuman dingin lebih ngilu daripada makanan / minuman panas
Kadang-kadang sakit kalau kemasukan makanan

Pemeriksaan objektif:
Terlihat karies media atau propunda
Bila di tes dengan chlor etil terasa ngilu
Di test dengan sonde kadang terasa ngilu, kadang tidak
Perkusi tidak apa-apa
Terapi:
Bila ada karies media ditambal sesuai indikasinya, bila mahkota cukup baik.
Bila karies profunda dilakukan pulpa capping, bila mahkotanya baik
8. Pulpitis
a. Reversible
Pulpitis reversible merupakan proses inflamasi ringan yang apabila penyebabnya
dihilangkan maka inflamasi menghilang dan pulpa akan kembali normal. Faktorfaktor yang menyebabkan pulpitis reversible, antara lain stimulus ringan atau
sebentar seperti karies insipient, erosi servikal, atau atrisi oklusal, sebagian
besar prosedur operatif, kuretase periodontium yang dalam dan fraktur email
yang menyebabkan tubulus dentin terbuka.
Gejala pulpitis reversible ada yang simtomatik dan asimtomatik.
Simtomatik: rasa sakit tajam yang hanya sebentar, disebabkan
oleh

makanan, minuman dan udara dingin. Tidak timbul secara spontan

dan tidak berlanjut bila penyebabnya ditiadakan.


Asimtomatik: dapat disebabkan oleh karies yang baru mulai dan normal
kembali setelah karies dihilangkan dan gigi direstorasi dengan baik.

Proses patologinya yaitu pulpitis reversible dapat berkisar dari hiperemia ke


perubahan inflamasi ringan sampai sedang terbatas pada daerah dimana tubuli
dentin terlibat, seperti misalnya karies dentin. Secara mikroskopis, terlihat dentin
reparatif, gangguan lapisan odontoblas, pembesaran pembuluh darah, ekstravasasi
cairan edema dan adanya sel inflamasi kronis yang secara imunologis
kompeten.

Meskipun

sel inflamasi kronis menonjol, dapat dilihat juga sel

inflamasi akut.
b. Irreversible
Pulpitis irreversible

merupakan

inflamasi

parah

yang

tidak

akan

bisa

pulih walaupun penyebabnya dihilangkan dan lambat atau cepat pulpa akan
menjadi nekrosis. Pulpa irreversible ini seringkali merupakan akibat atau
perkembangan

dari

pulpa reversible. Dapat pula disebabkan oleh kerusakan

pulpa yang parah akibat pengambilan dentin yang luas selama prosedur operatif,

trauma atau pergerakan gigi dalam perawatan ortodontic yang menyebabkan


terganggunya aliran darah pulpa.
Gejala pada tingkat awal yaitu suatu paroksisme (serangan hebat) rasa sakit yang
dapat disebabkan oleh :
- Perubahan suhu yang drastis (terutama dingin)
- Makanan manis atau asam
- Tekanan makanan ke dalam kavitas atau pengisapan oleh lidah atau pipi.
Gambaran rasa sakitnya adalah menusuk, tajam menusuk atau menyentaknyentak. Patologinya yaitu

disebabkan oleh suatu stimulus berbahaya yang

berlangsung lama seperti karies. Bila karies menembus dentin dapat menyebabkan
respon inflamasi kronis. Venula pascakapiler menjadi padat dan mempengaruhi
sirkulasi di dalam pulpa, serta dapat mengakibatkan nekrosis. Daerah nekrotik ini
menarik leukosit PMN dengan kemotaktik dan memulai reaksi inflamasi akut.
Terjadi fagositosis oleh PMN pada daerah nekrosis. Setelah itu PMN yang masa
hidupnya pendek, mati dan melepaskan enzim lisosomal. Enzim ini menyebabkan
lisis beberapa stroma

pulpa dan bersama debris seluler PMN yang mati

membentuk eksudat purulen (nanah). Reaksi ini menghasilkan mikroabses


(pulpitis akut). Pulpa memproteksi dengan membatasi daerah mikroabses dengan
jaringan penghubung fibrus. Di pusat abses tidak dijumpai mikroorganisme karena
aktivitas fagositik PMN. Bila proses karies berlanjut dan menembus pulpa akan
terjadi

ulserasi (pulpitis ulseratif kronis) yang cairannya keluar

melalui

pembukaan karies ke dalam kavitas mulut dan mengurangi tekanan


intrapulpal dan rasa sakit. Secara histologis terlihat suatu daerah
fibroblas yang berproliferasi membentuk dinding lesi, dimana mungkin
terdapat

massa

mengapur. Daerah di luar abses atau ulserasi mungkin normal

atau mungkin mengalami perubahan inflamatori.

9. Nekrosa pulpa

Nekrosis pulpa adalah matinya pulpa, dapat sebagian atau seluruhnya, tergantung
pada seluruh atau sebagian yang terlibat. Disebabkan oleh bakteri, trauma dan iritasi.
Nekrosis, meskipun suatu inflamasi dapat juga terjadi setelah jejas
traumatik

yang pulpanya rusak sebelum terjadi reaksi inflamasi. Nekrosis ada dua

jenis yaitu koagulasi dan likuifaksi (pengentalan dan pencairan). Pada jenis koagulasi,
bagian jaringan yang dapat larut mengendap atau diubah menjadi bahan solid.
Pengejuan adalah suatu bentuk nekrosis koagulasi yang jaringannya berubah menjadi
masa seperti keju, yang terdiri atas protein yang mengental, lemak dan air. Nekrosis
likuefaksi terjadi bila enzim proteolitik mengubah jaringan menjadi massa yang
melunak, suatu cairan atau debris amorfus. Pulpa terkurung oleh dinding yang kaku,
tidak mempunyai sirkulasi daerah kolateral, dan venul serta
akibat
menjadi

meningkatnya
nekrosis

tekanan

likuifaksi.

jaringan
Jika

sehingga

eksudat

yang

limfatiknya

pulpitis irreversible
dihasilkan

kolaps
akan

selama pulpitis

irreversible diserap atau didrainase melalui kavitas karies atau daerah pulpa yang
tebuka ke dalam rongga mulut, proses nekrosis akan tertunda; pulpa di daerah akar
akan tetap vital dalam jangka waktu yang cukup lama. Sebaliknya, tertutup atau
ditutupnya pulpa yang terinflamasi mengakibatkan proses nekrosis pulpa yang cepat
dan total serta timbulnya patosis periapikal.
Gejala umum nekrosis pulpa :
- Tidak ada gejala rasa sakit
- Diskolorisasi gigi
- Sangat sedikit/ tidak ada perubahan radiografik. Penampilan mahkota yang buram
atau opak hanya disebabkan karena translusensi normal yang jelek, tetapi kadangkadang gigi mengalami perubahan warna keabu-abuan atau kecoklat-coklatan yang
nyata dan dapat kehilangan kecemerlangan dan kilauan yang biasa dipunyai. Adanya
pulpa nekrotik mungkin ditemukan secara kebetulan, karena gigi macam itu adalah
asimtomatik dan radiograf adalah nondiagnosis.
- Mungkin memiliki perubahan-perubahan radiografik defenitif seperti
pelebaran jaringan periodontal yang sangat nyata adalah kehilangan lamina dura
- Lesi radiolusen yang berukuran kecil hingga besar disekitar apeks dari salah satu
atau beberapa gigi, tergantung pada kelompok gigi.
- Gigi dengan nekrosis sebagian dapat bereaksi terhadap perubahan termal, karena
adanya serabut saraf vital yang melalui jaringan inflamasi di dekatnya.
Keluhan subjektif :
- Gigi berlubang, kadang-kadang sakit bila kena rangsangan panas
- Bau mulut (halitosis)
- Gigi berubah warna.
Pemeriksaan objektif :

- Gigi berubah warna, menjadi abu-abu kehitam-hitaman


- Terdapat lubang gigi yang dalam
- Sondenasi, perkusi dan palpasi tidak sakit
- Biasanya tidak bereaksi terhadap tes elektrik dan termal. Kecuali pada nekrosis
tipe liquifaktif.
- Bila sudah ada peradangan jaringan periodontium, perkusi, palpasi dan sondenasi
sakit.
Patologinya yaitu jaringan pulpa nekrotik, debris selular dan mikroorganisme
mungkin terlihat di dalam kavitas pulpa. Jaringan periapikal mungkin
normal atau menunjukkan sedikit inflamasi yang dijumpai pada ligamen periodontal.
Pulpa nekrosis dapat terjadi dari lanjutan pulpitis irreversible

10. Iritasi pulpa


Iritasi pulpa adalah suatu keadaan dimana lapisan enamel gigi mengalami
kerusakan sampai batas dentino enamel junction
Gejala-gejala:
- Kadang-kadang ngilu bila makan/ minum dingin,manis,asam dan bila sikat gigi
- Rasa ngilu akan hilang bila rangsangan dihilangkan
Pemeriksaan objektif:
- Terlihat karies yang kecil
- Dengan sonde : tidak memberi reaksi, tetapi kadang-kadang terasa sedikit
- Tes thermis : dengan chlor etil terasa ngilu, bila rangsang dihilangkan biasanya rasa
ngilu juga hilang
Terapi: diberi tumpatan sesuai indikasinya
11. Trepanasi
Trepanasi merupakan bentuk tindakan bedah setiap terapi abses periodontal untuk
mengeluarkan nanah dan gas gangrene yang terbentuk. Tujuan trepanasi adalah
menciptakan drainase melalui saluran akar atau melalui tulang untuk mengalirkan
secret luka serta untuk mengurangi rasa sakit. Jika timbul abses alveolar akut berarti

infeksi telah meluas dari saluran akar melalui periodontal apikalis sampai ke dalam
tulang periapeks. Perasaan sangat nyeri terutama bila ditekn pada keadaan ini untuk
menghilangkannya perlu segera dilakukan drainase atau trepanasi.
Untuk itu dapat dipakai dua Cara:
- Trepanasi melalui saluran akar.
- Trepanasi di daerah apeks akar.
Trepanasi melalui saluran akar
Usaha awal untuk memperoleh drainase adalah membuka saluran akar
lebar-lebar sampai melewati foramen apikalis dan saluran akar dibiarkan
terbuka beberapa hari supaya sekret dapat mengalir ke luan Ke dalam
kavum pulpa dimasukkan kapas yang longgar agar sisa makanan Lidak
menutup jalan drainase. Setiap hzui kapas diganti dan saluran dibersihkan
dengan larutan garam fisiologis utau NaCl 5% bila sekret pus tidak ada
lagi. Dalam hal ini, Schroeder (1981) menganjurkan terapi altematif, yaitu
pemberian preparat antibiotik dan kortikosteroid (pasta Ledermix), dan
menutup saluran dengan oksida seng engenol. Setelah rasa sakit berkurang
dan drainase telah berhenti, saluran akar dipreparasi dengan sempuma dan
diisi dengan bahan pengisi saluran akar.
Trepanasi Melalui Tulang
Trepanasi ini dikenal dengan nama fistulasi apikal.
Teknik:
1, Berikan anatesi lokal.
2. lnsisi (dalam benmk semalumr panjangnya kara-kara 20 mm) sekitar
daerah batas mukogingival di mana terletak apeks, dilakukan dengan
bantuan foto rontgen.
3. Pengambilan tulang alveolar langsung di atas apeks dan nanah mengalir
keluar.
4. Kuretase dengan kuret secara hatbhati pada apeks dan irigasi dengan
larutan garam fisiologis.
5. Lakukan penjahikan
6. Memasukkan sebuah pita kasa ke bawah selaput lendir.
7. Pemberian analgetik dan antibiotik
12. Cellulitis (phlegmon) mandibula
Phlegmon atau Ludwig's angina adalah suatu penyakit kegawatdaruratan,
yaitu terjadinya penyebaran infeksi secara difus progresif dengan cepat yang
menyebabkan timbulnya infeksi dan tumpukan nanah pada daerah rahang bawah
kanan dan kiri (submandibula) dan dagu (submental) serta bawah lidah (sublingual),
yang dapat berlanjut menyebabkan gangguan jalan nafas dengan gejala berupa
perasaan tercekik dan sulit untuk bernafas secara cepat (mirip dengan pada saat
terjadinya serangan jantung yang biasa dikenal dengan angina pectoris). Sedangkan

Ludwig's angina sendiri berasal dari nama seorang ahli bedah Jerman yaitu Wilhem
Von Ludwig yang pertama melaporkan kasus tersebut.
Phlegmon adalah infeksi akut yang disebabkan oleh kuman Streptokokus yang
menginfeksi lapisan dalam dasar mulut yang ditandai dengan pembengkakan yang
dapat menutup saluran nafas. Phlegmon berawal dari infeksi pada gigi (odontogenik),
90% kasus diakibatkan oleh odontogenik, dan 95% kasus melibatkan submandibula
bilateral dan gangguan jalan nafas merupakan komplikasi yang berbahaya dan
seringkali merenggut nyawa. Angka kematian sebelum dikenalnya antibiotik
mencapai angka 50% dari seluruh kasus yang dilaporkan, sejalan dengan
perkembangan antibiotika, perawatan bedah yang baik, serta tindakan yang cepat dan
tepat, maka saat ini angka kematian (mortalitas) hanya 8%.
Kata angina pada Ludwig's angina dihubungkan dengan sensasi tercekik
akibat obstruksi saluran nafas secara mendadak. Penyakit ini merupakan infeksi yang
berasal dari gigi akibat perjalaran pus dari abses periapikal.
Gambaran klinis dari penyakit ini ditandai dengan adanya selulitis yang
mekuas dan menyebabkan pembengkakan pada dasar mulit, lidah dan regio
submandibula sehingga dapat menyebabkan obstruksi jalan napas, penyebaran infeksi
ke jaringan leher yang lebih dalam ataupun menyebabkan mediastenitis yang
berpotens fatal. Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan lebih daro 95% pasien dnegan
pembengkakan submandibular bilateral dan pembengkakan dasar mulut yang
menyebabkan lidah terangkat. Gejala lainnya adalah edem jaringan leher depan di atas
tulang hyoid yang memberikan gambaran seperti bulls neck. Demam, takikardi,
takipneu, dan dapat pula disertai dnegan agitasi. Bengkak dan nyeri pada dasar mulut
dan leher, sulit menelan, nyeri menelan, berliur, trismus, dan nyeri gigi. Hoarseness,
stridor, distress pernapasan, sianosis dan postur tubuh mengendus (postur tubuh yang
menandai pasien dengan kompensasi obstruksi saluran napas atas, yakni postur tubuh
tegak dengan leher menjulur ke depan dan dagu terangkat seperti orang sedang
mengendus) adalah tanda0tanda ancaman obstruksi jalan napas. Selain itu, gejala
disfonia juga muncul akibat edema plika vokalis, tand aini merupakan tanda bahaya
bagi klinisi oleh karena potensi sumbatan jalan napas.
Terapi phlegmon:
- Penilaian jalan napas, apabila ada tanda-tanda obstruksi jalan napas maka segera
lakukan pembebasan jalan napas dengan oro atau nasotrakeal intubasi dengan

bantuan fiberoptik. Bila tidak berhasil dilakukan krikotiroidektomi atau


-

trakeostomi.
Antibiotik broad spectrum , first line: penisilin dosis tinggi IV. Terapi alternatif
lain: ampicillin 2-4 g/hari dosis terbagi. Bila alergi penisilin beri golongan
sefalosporin generasi ketiga ataupun golongan aminoglikosida seperti gentamicin
1-4 mg/kgbb atau amikacin 500mg/8jam. Metronidazole untuk mengeradikasi

bakteri anaerob.
Kortikosteroid untuk mengurangi edema saluran napas.
Tindakan bedah diindikasikan bila terdapat infeksi supuratif, pemasangan

drainase, kultur (cairan abses, darah, jaringan).


13. Ludwigs angina
Ludwigs angina adalah suatu penyakit kegawatdaruratan, yaitu terjadinya penyebaran
infeksi secara difus progresif dengan cepat yang menyebabkan timbulnya infeksi dan
tumpukan nanah pada daerah rahang bawah kanan dan kiri (submandibula) dan dagu
(submental) serta bawah lidah (sublingual), yang dapat berlanjut menyebabkan
gangguan jalan nafas dengan gejala berupa perasaan tercekik
dan sulit untuk bernafas secara cepat (mirip dengan pada saat terjadinya serangan
jantung yang biasa dikenal dengan angina pectoris).
14. Fistula chronic dentoalveolar abses
Abses dentoalveolar biasanya terbentuk melalui penyebaran dari lesi karies
gigi dan penyebaran dari bakteri atau pulpa melalui tubulus dentin. Respon pulpa
terhadap infeksi dapat berupa inflamasi akut yang mengenai seluruh pulpa yang
secara cepat menyebabkan nekrosis atau dapat berupa perkembangan dari abses
kronis yang terlokalisir dimana sebagian besar pulpanya dapat bertahan hidup.
Etiologi:
pulpitis
pasien dengan imunitas yang rendah
gingivitis
infeksi postrauma atau infeksi postoperatif
Penyebaran abses dentoalveolar dapat terjadi:
penyebaran secara langsung:
pada jaringan lunak superfisial
pada daerah sekitar wajah dengan resistensi yang rendah.
Pada bagian medulla dari tulang alveolar.
penyebaran secara tidak langsung
melalui jalur limfatik
melalui jalur hematogenik

Gambaran Klinis
Nyeri lokal yang berkembang dalam beberapa jam sampai beberapa hari gigi sensitif
terhadap panas dan dingin demam
ginggiva : berdarah, bengkak, panas, kemerahan
gigi : goyang, lunak, ekstrusi
pembengkakan kelenjar limfe di sekitar leher
infeksi yang lebih serius : trismus, disphagia, gangguan pernafasan
Diagnosis
Anamnesa : keluhan berupa nyeri pada saat mengunyah dan jika kontak dengan
panas atau dingin
Pemeriksaan fisik
Inspeksi dan palpasi : gusi merah dan bengkak
Perkusi : nyeri
Pemeriksaan laboratorium
Diperlukan jika ada komplikasi abses.
Diagnosis banding:
abses peritonsilar
ginggivostomatitis
parotiditis
selulitis wajah
neoplasma
Terapi
Tujuan dari terapi adalah menghilangkan infeksi, perbaikan gigi dan mencegah
komplikasi. Langkah-langkah yang dapat dilakukan, yaitu (2) :
mengeringkan pus
menghilangkan sumber infeksi
pemberian antibiotik, standar antibiotic yang sering digunakan adalah
phenoxymethylphenicillin (penicillin V) atau amoksisilin dosis tinggi, dan jika
pasien hipersensitif terhadap penisilin dapat digunakan eritromisin atau
metronidazol.
Prognosis
Prognosis baik karena abses dapat sembuh melalui terapi yang tepat. Preservasi gigi
memungkinkan untuk beberapa kasus.
Komplikasi
kehilangan gigi
penyebaran infeksi pada jaringan lunak (selulitis wajah, Ludwigs angina)
penyebaran infeksi pada tulang rahang (osteomyelitis mandibula atau maksila)

penyebaran infeksi pada daerah tubuh yang lain, menghasilkan abses serebral,
endokarditis, pneumonia, atau gangguan lainnya.

Anda mungkin juga menyukai