Anda di halaman 1dari 25

SEORANG PRIA DENGAN PERDARAHAN EPIDURAL,

PERDARAHAN SUBARACHNOID FRAKTUR LINIER


PARIETAL DEKSTRA DAN FRAKTUR KLAVIKULA
DEKSTRA
Diajukan untuk melengkapi syarat kepaniteraan senior Bagian Radiologi
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro
Disusun oleh :
Fitria Nanda S.
G6A 000 076
Caecilia Nancy S.
G6A 000 036
Pipin Ardhianto
G6A 000 154
Sukma Imawati
G6A 000 181
Yanuar Iman S.
G6A 000 204

Pembimbing :
Dr. Bambang.S, Sp. Rad
Dr. Lina

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG

2006
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan kasus besar dengan :


Judul

: Seorang Pria dengan Perdarahan Epidural, Perdarahan

Subrachnoid, Fraktur linier parietal dekstra dan Fraktur klavikula Dekstra.


Bagian

: Radiologi

Pembimbing : dr. Bambang S, Sp. Rad


dr. Lina
Diajukan

: Maret 2006

Semarang, Maret 2006


Pembimbing

dr. Lina

dr. Bambang S, Sp. Rad

BAB I
PENDAHULUAN

Cedera kepala merupakan penyebab kematian tertinggi pada


kelompok usia produktif yaitu antara 15-44 tahun. Di negara
berkembang seperti Indonesia, seiring dengan kemajuan teknologi
dan pembangunan, frekuensinya cenderung semakin meningkat.

(1)

Cedera kepala merupakan masalah yang sering ditemukan dan umumnya terjadi pada
pria atau wanita, dengan penyebab utama kecelakaan lalu lintas (sekitar 49%)
maupun jatuh dari ketinggian. KLL sendiri sering mengakibatkan fraktur multipel,
26% di antaranya menderita perdarahan intrakranial.

(2)

Melihat banyaknya korban

dan kerugian akibat hilangnya jam kerja, maupun biaya yang diperlukan untuk
pengobatan dan rehabilitasi penderita maka cedera kepala merupakan problem
kesehatan masyarakat yang memerlukan perhatin lebih. (2)
Insidensi cedera kepala di banyak negara berkembang berkisar antara 200300/100.000 populasi/tahun.

(2)

Di Amerika serikat kejadian cedera kepala setiap

tahunnya diperkirakan mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah tersebut, 10% penderita
meninggal sebelum sampai rumah sakit. Dari yang sampai di rumah sakit, 80-90 %
dikelompokkan sebagai cedera kepala ringan, 5-10% termasuk cedera kepala sedang
dan < 5 % sisanya termasuk cedera kepala berat. (2)
Cedera pada kepala dapat melibatkan seluruh struktur
lapisan,

mulai

dari

lapisan

kulit

kepala,

tulang

tengkorak,

duramater, arachnoid, piamater, vaskuler otak, sampai jaringan


otaknya sendiri, baik luka tertutup maupun terbuka. Akibat yang
timbul setelah trauma ini dapat dipisahkan menjadi cedera primer,

yaitu cedera yang timbul sebagai akibat langsung dari dan terjadi
segera sesudah peristiwa trauma, dan cedera sekunder yaitu
cedera penyulit yang memperberat kondisi yang sudah ada pada
cedera primer. Cedera primer, antara lain berupa laserasi kulit
kepala,

fraktur

impresi

tengkorak,

hematom

intrakranial,

memar/kontusi jaringan otak, dan cedera difus pada akson.


Sedangkan cedera sekunder, antara lain peninggian tekanan
intrakranial, hipotensi sistemik, dan hipoksia-hipoksemi.

(2)

Di satu pihak memang hanya sebagian saja kasus cedera kepala yang datang
ke rumah sakit berlanjut menjadi hematom, tetapi di lain pihak frekuensi hematom
ini terdapat pada 75% kasus yang datang sadar dan keluar meninggal. Hematom intra
kranial dikelompokkan menjadi hematom yang terletak di luar duramater yaitu :
hematom epidural, dan di dalam duramater yaitu: hematom subdural dan hematom
intra serebral, di mana masing-masing dapat terjadi sendiri maupun bersamaan. (2)
CT scanning merupakan prosedur pilihan dalam mengevaluasi pasien cedera
kepala dan kemungkinan memperbaiki secara jelas outcome pasien dengan cedera
kepala. Hasil-hasil gambar CT scan yang berupa penampang-penampang kepala
tidak akan pernah dapat diperoleh dengan demikian jelas dan bagus pada foto
rontgen biasa. Di sinilah letaknya keuntungan besar yang terutama diperoleh bagi
ahli bedah saraf dan ahli saraf, pada trauma kepala dengan cepat dapat diketahui
adanya hematoma epidural atau subdural tanpa perlu memberikan suntikan kontras
terlebih dahulu. Lain dengan hal sebelumnya di mana berbagai persiapan yang
memakan waktu harus dilalui dan diperlukan penyuntikan kontras, sebelum dibuat
foto Rontgen, walaupun pada kasus-kasus tertentu diperlukan penyuntikan kontras
untuk membantu ke arah diagnosa. (4)

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Anatomi Kepala (2,4,5)
Bagian terluar dari kepala adalah kulit kepala (scalp) yang terdiri atas
skin/kulit, connective tissue/jaringan penyambung, aponeurosis atau galea
aponeurotika (jaringan ikat yang berhubungan langsung dengan tengkorak),
loose alveolar tissue atau jaringan penunjang longgar dan perikranium. Galea
aponeurotika, suatu jaringan fibrosa, padat, dapat digerakkan dengan bebas,
yang membantu menyerap kekuatan trauma eksternal. Terdapat jaringan longgar
yang memisahkan galea aponeurotika dari perikranium dan merupakan tempat
yang biasa terjadinya perdarahan subgaleal (hematoma subgaleal). Kulit kepala
memiliki banyak pembuluh darah sehingga bila terjadi perdarahan akibat
laserasi kulit kepala akan menyebabkan kehilangan darah terutama pada anakanak atau penderita dewasa yang cukup lama terperangkap sehingga
membutuhkan waktu lama untuk mengeluarkan.tak memiliki pelindung
terhadap cedera. Rambut, kulit dan tulang yang membungkus otak akan
memberi perlindungan sehingga tidak mudah terkena cedera.
Tengkorak yang terdiri dari calvaria dan basis cranii, merupakan ruangan
keras yang tidak memungkinkan perluasan isi intrakranial. Tulang sebenarnya
terdiri dari 2 dinding atau tabula, yang dipisahkan oleh tulang berongga.
Dinding luar disebut tabula eksterna dan dinding bagian dalam disebut tabula
interna. Struktur demikian memungkinkan suatu kekuatan dan isolasi yang

besar, dengan bobot yang lebih ringan. Tabula interna mengandung alur-alur
yang berisikan arteria meningea anterior, media dan posterior. Apabila fraktur
tulang tengkorak menyebabkan terkoyaknya salah satu dari arteria-arteria ini
akan mengakibatkan perdarahan arterial yang tertimbun dalam ruang epidural,
sehingga menimbulkan akibat yang fatal kecuali bila segera ditemukan dan
ditangani dengan segera.
Lapisan meninges terdiri dari duramater, arachnoid dan piamater.
Duramater adalah selaput keras terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang melekat
erat pda tabula interna, semitranslusen dan tidak elastis. Fungsinya melindungi
otak, menutupi sinus-sinus vena, membentuk periosteum tabula interna.
Dibawah duramater terdapat lapisan arachnoid, yang terdiri dari membran halus,
fibrosa dan elastis. Membran ini tidak melekat pada duramater, sehingga
terdapat ruangan potensial yang disebut ruangan subdural, normalnya ruang
tersebut hanya terisi sedikit cairan. Pada ruangan subdural sering dijumpai
perdarahan subdural akibat robekan dari bridging veins yaitu pembuluh vena
yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis
tengah. Perdarahan ruang subdural dapat menyebar dengan bebas, dan hanya
terbatas oleh sawar falks serebri dan tentorium. Vena-vena otak yang melewati
ruangan ini hanya mempunyai sedikit jaringan penyokong dan oleh karena itu
mudah sekali cedera dan robek pada trauma kepala.
Di bawah arachnoid terdapat lapisan piamater yang melekat erat pada
permukaan korteks serebri. Diantara arachnoid dan piamater terdapat ruang
subarachnoid. Cairan serebrospinal bersirkulasi dalam ruang subarachnoid. Bila
terjadi perdarahan subarachnoid maka darah bebas akan berada dalam ruang ini.
Perdarahan ini biasanya disebabkan oleh pecahnya aneurisma intra kranial atau
akibat cedera kepala. Piamater adalah suatu membran halus yang kaya
pembuluh darah halus. Piamater merupakan satu-satunya lapisan meninges yang
masuk ke dalam semua sulkus dan membungkus girus.
Otak manusia terdiri atas serebrum, serebelum, dan batang otak.
Serebrum dibagi atas hemisfer kanan dan kiri yang dipisahkan falks cerebri.
Hemisfer otak yang mengandung pusat bicara disebut hemisfer dominan. Lobus
frontalis berkaitan dengan fungsi emosi, motorik, pusat ekspresi bicara
(hemisfer kiri) Lobus parietalis berkaitan dengan fungsi sensoris dan orientasi
ruang. Lobus temporalis mengatur fungsi memori tertentu. Lobus oksipitalis
berfungsi dalam penglihatan.
2. Cedera Kepala
Klasifikasi cedera kepala (5)
I. Berdasarkan mekanisme cedera kepala

a. trauma tumpul disebabkan oleh :


- kecepatan tinggi : kecelakaan lalu lintas
- kecepatan rendah : jatuh, pukulan benda tumpul
b. trauma tembus disebabkan oleh :
- trauma oleh peluru
- tusukan benda tajam
Cedera kepala berdasarkan mekanisme dikelompokkan menjadi cedera kepala
tumpul dan penetrans. Pengelompokkan ini digunakan untuk keperluan deskriptif,
karena pengelolaan keduanya sedikit berbeda. Untuk kegunaan klinis istilah cedera
kepala tupul biasanya dihubungkan dengan kecelakaan kendaraan, jatuh, dan
pukulan, dan cedera kepala penetrans lebih sering dikaitkan dengan luka tembak dan
luka tusuk.
II. Berdasarkan beratnya cedera kepala :
Cedera kepala berdasarkan berat ringannya dinilai dengan Glasgow coma
scale (GCS). Jennet dan Teasdale menentukan koma sebagai ketidakmampuan untuk
menuruti perintah, tidak dapat mengeluarkan suara, dan tidak dapat membuka mata.
Pasien yang bisa membuka mata secara spontan, dapat mengikuti perintah serta
mempunyai orientasi, mempunyai skor total 15. Sedangkan pasien yang flaksid dan
tidak bisa membuka mata sama sekali atau berbicara mempunyai skor minium yaitu
3. Untuk kegunaan praktis, skor total GCS 8 atau kurang menjadi definisi yang sudah
umum diterima sebagai pasien koma.Klasifikasinya sebagai berikut :
a. nilai GCS 14-15
: cedera kepala ringan
b. nilai GCS 9-13
: cedera kepala sedang
c. nilai GCS < 9
: cedera kepala berat
Pasien dengan cedera kepala ringan tanpa komplikasi intrakranial pada CT
Scan jelas lebih baik. Hal penting dalam penilaian GCS adalah menggunakan nilai
respon motorik pada sisi yang terbaik, namun dicatat respon pada kedua sisinya.
Tanpa mempedulikan nilai GCS, pasien digolongkan sebagai penderita cedera kepala
berat bila :
1. Pupil tak ekual
2. Pemeriksaan motor tak ekual
3. Cedera kepala terbuka dengan bocornya CSS atau adanya jaringan otak yang
terbuka.
4. Perburukan neurologik.
5. Fraktura tengkorak depressed

III. Berdasarkan Morfologi cedera kepala


Secara morfologi, cedera kepala mungkin secara umum digolongkan ke dalam
dua kelompok utama, yaitu fraktura tengkorak dan lesi intrakranial.
1. Fraktura Tengkorak
Dapat tampak pada :
a. tulang atap tengkorak / kalvaria :
-

Bentuk fraktur linear atau stelata.

Segmen fraktur depressed atau non depressed

Fraktur terbuka atau tertutup

b. Tulang dasar tengkorak / Basis cranii :


-

dengan / tanpa kebocoran LCS

dengan / tanpa paresis N.VII

Fraktura tengkorak basal sulit tampak pada foto sinar-x polos dan biasanya
perlu CT Scan dengan teknik jendela tulang (bone window) untuk memperlihatkan
garis frakturnya. Adanya tanda klinis fraktura tengkorak basal yaitu racoon eyes
sign, rhinorrhea, otorhea, dan battle sign mempertinggi indeks kemungkinan dan
membantu identifikasinya. Sebagai pegangan umum, depressed fragmen lebih dari
ketebalan tengkorak memerlukan operasi elevasi. Sedangkan

fraktura tengkorak

terbuka atau compound yang mengakibatkan hubungan langsung antara laserasi


scalp dan permukaan serebral karena duranya robek, maka fraktura ini memerlukan
operasi perbaikan segera.
Frekuensi fraktura tengkorak bervariasi, lebih banyak fraktura ditemukan bila
penelitian dilakukan pada populasi yang lebih banyak mempunyai cedera berat.
Fraktura kalvaria linear mempertinggi resiko hematoma intrakranial sebesar 400 kali
pada pasien yang sadar dan 20 kali pada pasien yang tidak sadar. Untuk alasan ini,
adanya fraktura tengkorak mengharuskan pasien untuk dirawat di rumah sakit untuk
pengamatan, tidak peduli sebagaimanapun baiknya pasien tersebut tampak.(1,2,5)
2 Lesi Intrakranial

Lesi intrakranial dapat diklasifikasikan sebagai fokal atau difusa, walau kedua
bentuk cedera ini sering terjadi bersamaan. Lesi fokal termasuk hematoma epidural,
hematoma subdural, dan kontusi (hematoma intraserebral). Pasien pada kelompok
cedera otak difusa, secara umum menunjukkan CT Scan normal namun klinis
neurologis penderita sangat buruk bahkan dapat dalam keadaan koma dalam.
I. Lesi Fokal
a. Hematoma Epidural.
Hematoma epidural terletak di luar dura, namun masih di dalam
tengkorak. Paling sering terletak di regio temporal atau temporo-parietal dan
sering terjadi akibat robeknya arteri meningeal media akibat retaknya tulang
tengkorak. Hematoma epidural biasanya dianggap berasal dari arterial, namun
mungkin juga sekunder dari perdarahan vena pada sepertiga kasus. Kadangkadang hematom epidural mungkin akibat robeknya sinus vena, terutama di
regio parieto-oksipital atau fossa posterior. Walau hematoma epidural relatif
tidak terlalu sering (0.5% dari keseluruhan atau 9% dari pasien koma cedera
kepala), harus selalu diingat saat menegakkan diagnosis dan melakukan
tindakan segera. Bila ditindak segera, prognosis biasanya baik karena cedera
otak di sekitarnya biasanya masih terbatas. Outcome langsung bergantung
pada status pasien sebelum operasi. Mortalitas dari hematoma epidural sekitar
0% pada pasien tidak koma, dan 20% pada pasien koma dalam. (1,2,5) Penderita
dengan epidural hematom dapat menunjukkan adanya Lucid Interval dimana
penderita yang semula mampu bicara lalu tiba-tiba meninggal (talk and die)
b. Hematoma Subdural.
Lebih sering dari hematoma epidural, ditemukan sekitar 30%
penderita dengan cedera kepala berat. Terjadi paling sering akibat robeknya
vena bridging antara korteks serebral dan sinus draining. Namun ia juga
dapat berkaitan dengan laserasi permukaan atau substansi otak. Fraktura otak
mungkin ada atau tidak. Selain itu, kerusakan otak yang mendasari hematoma
subdural akuta biasanya sangat lebih berat dan prognosisnya lebih buruk dari
hematoma epidural. Mortalitas umumnya 60%, namun mungkin diperkecil
oleh tindakan operasi yang sangat segera dan pengelolaan medis agresif. (1,2,5)

c. Kontusi dan hematoma intraserebral


Kontusi hampir selalu berkaitan dengan hematoma subdural akut.
Kontusi dapat terjadi pada setiap tempat termasuk serebelum dan batang otak,
namun mayoritas terjadi pada lobus frontal dan tempor ral. Perbedaan antara
kontusi dan hematoma intraserebral traumatika tetap tidak jelas batasannya.
Lesi jenis salt and pepper klasik jelas suatu kontusi, dan hematoma yang
besar jelas bukan. (1,2,5)
d. Perdarahan subarachnoid.
Ekstravasasi darah pada ruang subarachnoida, kebanyakan terjadi
secara spontan yaitu karena ruptur aneurisma arteri otak atau arteriovenous
malformation / AVM , selain itu dapat juga disebabkan trauma pada basis
cranii. Ekstravasasi darah tersebut menyebabkan efek pada fungsi otak secara
lokal maupun menyeluruh. Faktor yang berhubungan dengan terbentuknya
aneurisma antara lain aterosklerosis, hipertensi, dan stress hemodinamik.
Aneurisma terjadi pada percabangan arteri otak yang besar pada
sirkulus Willisi. Kemungkinan terjadinya ruptur berhubungan dengan adanya
tekanan pada dinding aneurisma. Jika aneurisma pecah, darah mengalami
extravasasi ke ruang subarahnoid dan menyebar dengan cepat melalui cairan
serebrospinal. Extravasasi yang terjadi dapat menyebabkan peningkatan
tekanan intrakranial.
Pembagian perdarahan subarachnoid berdasarkan klinis, GCS, dan
gambaran pada CT scan. Dari gambaran CT scan dibedakan menjadi :

Grup 1 tidak terlihat gambaran darah pada CT scan

Grup 2 tampak gambaran darah difus pada ruang subarahnoid, tanpa


bekuan, lapisan darah tidak lebih dari 1 mm.

Grup 3 Bekuan lokal dan atau lapisan darah lebih besar dari 1 mm

Grup 4 Difus atau tidak tampak darah, tapi tampak bekuan pada
intraserebral atau intraventrikular. (6)

II. Cedera difusa (2,7)

Cedera otak difusa membentuk kerusakan otak berat progresif yang


berkelanjutan, disebabkan oleh meningkatnya jumlah cedera akselerasi-deselerasi
otak. Pada bentuk murni, cedera otak difusa adalah jenis cedera kepala yang paling
sering.
a. Konkusi Ringan.
Konkusi ringan cedera dimana kesadaran tidak terganggu namun
terdapat suatu tingkat disfungsi neurologis temporer. Cedera ini sering terjadi
dan karena derajatnya ringan, sering tidak dibawa ke pusat medik. Bentuk
paling ringan konkusi berakibat konfusi dan disorientasi tanpa amnesia.
Sindrom ini biasanya pulih sempurna dan tanpa disertai adanya sekuele
mayor.
b. Konkusi Serebral Klasik.
Konkusi serebral klasik adalah keadaan pasca trauma dengan akibat
hilangnya kesadaran. Keadaan ini selalu disertai suatu tingkat amnesia
retrograd dan post traumatika, dan lamanya amnesia post traumatika adalah
pengukur yang baik terhadap beratnya cedera. Hilangnya kesadaran adalah
sementara dan dapat pulih. Menurut definisi yang tidak terlalu ketat, pasien
kembali sadar sempurna dalam 6 jam, walau biasanya sangat awal.
Kebanyakan pasien setelah konkusi serebral klasik tidak mempunyai sekuele
kecuali amnesia atas kejadian yang berkaitan dengan cedera, namun beberapa
pasien mempunyai defisit neurologis yang berjalan lama, walau kadangkadang sangat ringan.
c. Cedera Aksonal Difusa (CAD)
Cedera aksonal difusa (Diffuse Axonal Injury, DAI) adalah istilah
untuk menjelaskan koma pasca traumatika yang lama yang tidak dikarenakan
lesi massa atau kerusakan iskemik. Kehilangan kesadaran sejak saat cedera
berlanjut diluar enam jam.
Fenomena ini dapat dipisahkan menjadi kategori ringan, sedang dan berat :
1. CAD ringan

CAD ini relatif jarang dan dibatasi pada kelompok dengan koma yang
berakhir dalam 6-24 jam, dan pasien mulai dapat mengikuti perintah
setelah 24 jam.
2. CAD sedang
CAD ini dibatasi pada koma yang berakhir lebih dari 24 jam tanpa tandatanda batang otak yang menonjol. Ini bentuk CAD yang paling sering dan
merupakan 45% dari semua pasien dengan CAD.
3. CAD berat
CAD ini biasanya terjadi pada kecelakaan kendaraan dan merupakan
bentuk yang paling mematikan. Merupakan 36% dari semua pasien
dengan CAD. Pasien menampakkan koma dalam dan menetap untuk
waktu yang lama. Sering menunjukkan tanda dekortikasi atau deserebrasi
dan sering dengan cacat berat yang menetap bila penderita tidak
meninggal. Pasien sering menunjukkan disfungsi otonom seperti
hipertensi, hiperhidrosis dan hiperpireksia, serta sebelumnya tampak
mempunyai cedera batang otak primer.
3.

CT SCAN PADA CEDERA KEPALA


A. Indikasi
CT scanning merupakan prosedur pilihan dalam mengevaluasi pasien cedera

kepala dan kemungkinan memperbaiki secara jelas outcome pasien dengan cedera
kepala. Dianjurkan sekali bahwa CT scan emergensi harus dilakukan sesegera
mungkin (dalam setengah jam) setelah pasien dengan cedera kepala berat datang.
Rumah Sakit harus memiliki teknisi CT yang siap 24 jam atau mudah dicari dalam
keadaan darurat. Dianjurkan CT scan ulang bila terjadi perubahan status klinis pasien
atau terjadi peningkatan TIK yang tak dapat dijelaskan. Selanjutnya temuan CT scan
dinilai untuk bila perlu dilakukan monitoring TIK.(5) Penelitian di Kanada
menetapkan bahwa indikasi CT Scan pada CKR berpatokan pada 5 faktor risiko
tinggi, yaitu pasien CKR yang tingkat SKG-nya tidak mencapai 15 dalam 2 jam,
dugaan adanya fraktur terbuka, terdapat tanda dari fraktur basis kranium
(haemotympanum, racoon eyes, otorrhoea/ rhinorrhoea, battles sign ), muntah lebih

dari 2 kali, atau usia lebih dari 65 tahun serta adanya faktor risiko sedang seperti
amnesia dan mekanisme cedera yang berat. (2)
B. Tehnik
Segera setelah status pulmoner distabilkan, pasien didorong ke kamar CT.
Pada saat ini, kamar operasi diperingatkan akan kemungkinan dilakukannya
kraniotomi, dan bila perlu persiapan lain diambil untuk memastikan kesiapan pasien
untuk operasi. Ini termasuk penentuan golongan serta x-matching darah serta
menghubungi keluarga yang bertanggung jawab atas izin operasi. Biasanya pasien ke
kamar CT sudah dalam keadaan intubasi dan dengan ventilasi mekanik. Tidak
bijaksana untuk bersikap pasif pada saat ini, dan diharuskan melakukan pengamatan
yang berulang dari tanda vital dan reaksi pupil. Bila CT scan menampakkan adanya
lesi massa operabel, pasien didorong ke kamar operasi. Manipulasi jendela scanner
selama scanning kadang-kadang diperlukan untuk melihat hematoma yang relatif
isodens. (1,2,5)
C. Interpretasi
70% CT scan pasien mempunyai kelainan: lesi densitas rendah 10%, lesi non
operatif densitas tinggi 19%, lesi densitas tinggi yang harus dioperasi 41%
(Narayan). Lesi densitas rendah, bila tampak pada tiadanya lesi densitas tinggi,
diinterpretasikan sebagai edema atau infarksi. Lesi densitas tinggi non operatif adalah
kontusio atau hematoma yang menyebabkan pergeseran garis tengah kurang dari 5
mm. Lesi densitas tinggi (hematoma epidural, subdural, intraserebral) dianggap
memerlukan tindakan operasi dekompresi bila menyebabkan pergeseran garis tengah
5 mm atau lebih.

Dengan kata lain, dasar pemikiran ditekankan pada derajat

pergeseran garis tengah dalam menentukan pasien mana yang harus dioperasi.
Pergeseran garis tengah yang bermakna pada pasien cedera kepala sudah dibuktikan
ada kaitannya dengan tingkat kesadaran. Densitas CT scan diukur dengan skala yang
mula-mula diperkenalkan oleh Hounsfield dan selanjutnya dimodifikasi dengan
faktor dua. Pada skala ini, koefisien absorbsi air (Nomor Hounsfield, atau H) adalah

0, udara -1000, dan tulang +1000. Nomor H untuk struktur intrakranial sebagai
berikut:
Udara -1000

Lemak -100

Air 0

LCS 4-10

Substansi putih 22-36

Substansi Kelabu 32-46

Darah yang ekstravasasi 50-90

Tulang atau kalsifikasi 800-1000

Pada CT scan, edema tampak sebagai zona densitas rendah dengan nilai penguatan
berkisar antara 16 dan 24 H, bila dibandingkan dengan nilai substansi putih 22
hingga 36H. Berkaitan dengan densitas rendah ini, efek lesi massa terhadap ventrikel
berdekatan mungkin bisa disaksikan, menunjukkan adanya kompresi, distorsi, dan
pergeseran sistem ventrikular.

Edema mungkin fokal, multifokal

atau difusa.

Dengan edema serebral difusa, mungkin sulit untuk memastikan densitas yang lebih
rendah karena tidak ada area otak normal sebagai pembandingnya. Pada setiap kasus
dengan kompresi ventrikular bilateral, yang mungkin sangat hebat hingga berakibat
sistem ventrikular tidak dapat disaksikan, terutama pada anak-anak. Diperdebatkan
apakah gambaran pembengkakan otak difusa disebabkan oleh edema atau bendungan
vaskular.

Walau nomor penguatan bisa diharapkan untuk membedakan kedua

keadaan hal tersebut tetap rumit karena adanya perubahan lemak otak setelah cedera.
(1)

Kontusi serebral tampak sebagai area hiperdens yang tak homogen yang
tersebar diantara area densitas rendah, dengan nilai penguatan berkisar antara 50
hingga 60 HU. Tampilan CT akibat area perdarahan kecil multiple dalam substansi
otak, berhubungan dengan area edema. Tepinya biasanya susah ditentukan. Efek
massa sering tampak, walau mungkin minimal. Tergantung luasnya perdarahan,
derajat edema, dan perjalanan waktu, kontusi mungkin tampak menjadi predominan
dens atau lusen. Outcome pasien yang menunjukkan baik lesi densitas rendah atau
lesi densitas tinggi non operatif (kontusi) adalah sangat serupa, perkiraan selanjutnya
menunjukkan bahwa secara keseluruhan morfologisnya berhubungan erat. (2).
Hematoma epidural pada CT scan tampak sebagai area hiperdens berbatas
tegas, bentuk bikonveks atau lentikuler ada perlekatan erat antara duramater dengan
tabula interna sehingga hematom ini menjadi terbatas dan mendesak ventrikel ke sisi

kontralateral.

Gambaran ini biasanya disertai dengan fraktur tulang tengkorak.

Lokasi yang paling terkena adalah daerah temporal, frontal, atau fossa posterior. (1,7,8)
Hematoma subdural pada CT scan pula tampak sebagai area hiperdens tipis
merata, berbentuk semiluner atau bulan sabit diantara tabula dan parenkim otak. Ini
disebabkan robekan vena-vena didaerah kortek serebri atau bridging vein karena
trauma (1,7,8).
Walau tidak selalu mungkin membedakan antara hematoma subdural dan
epidural pada CT scan, yang terakhir ini khas dengan bentuk bikonveks atau
lentikular karena perlekatan yang erat antara dura dengan tabula interna mencegah
hematoma mengalami penyebaran. Hematoma subdural yang khas cenderung lebih
difus dibanding hematoma epidural dan memiliki tepi dalam yang konkaf yang
mengikuti permukaan otak.
Perbedaan antara lesi akuta, subakuta dan kronik agak tidak pasti. Namun dari
penelitian diklasifikasikan akuta bila simtomatik untuk 0 hingga 7 hari, subakuta bila
simtomatik dalam 7 hingga 22 hari dan kronik bila simtomatik lebih dari 20 hari,
100% kelompok akuta mempunyai lesi hiperdens, 70% kelompok subakuta memiliki
lesi isodens dan 76% kelompok kronik memiliki lesi hipodens. Hilangnya sulci
serebral diatas konveksitas dan distorsi ventrikel ipsilateral mungkin merupakan
tanda adanya hematoma isodens. Selalu, derajat pergeseran garis tengah merupakan
kriteria utama dimana perencanaan operasi evakuasi ditentukan.
Hematoma intraserebral traumatika biasanya berlokasi di lobus frontal dan
temporal anterior, walau bisa terjadi dimana saja. Kebanyakan hematoma terbentuk
segera setelah cedera, namun lesi tertunda bukannya tidak jarang, biasanya terbentuk
dalam minggu pertama. Adalah lesi densitas tinggi dengan nilai penguatan antara 70
hingga 90 H dan biasanya dikelilingi zona densitas rendah karena edema. Hematoma
traumatika lebih sering multipel dibanding hematoma akibat sebab lain. Perdarahan
intraventrikular semula dipercaya mempunyai prognosis yang buruk secara uniform.
Ini tidak lagi dianggap benar setelah berkembangnya CT scanning.

Ia sering

bersamaan dengan perdarahan parenkimal. Darah menjadi isodens relatif cepat dan
sering menghilang sempurna dalam seminggu.

Ventrikulostomi diletakkan di

ventrikel yang kurang berdarah dan tube besar (No. 8 French) digunakan saat
perdarahan intraventrikular tampak pada CT.
BAB III
LAPORAN KASUS

A. Identitas Penderita
Nama

: Tn. Heri Widianto

Umur

: 22 tahun

Pekerjaan

: Mahasiswa

Alamat

: Purwodadi

MRS

: 25 Februari 2006, pukul 04.00 WIB

No CM

: 5295485

B. Daftar Masalah
No
1.

Tanggal
Masalah Aktif
Epidural Hematom di lobus25-02-2006
parietal dekstra

2.

Perdarahan

Subarachnoid25-02-2006

Infratentorial
3.

Fraktur linear parietal dekstra 25-02-2006


Fraktur

4.

clavicula

dekstra

tertutup non komplikata

25-02-2006

No

Masalah Pasif Tanggal

C. Data Dasar
Data Subjektif
Data dari alloanamnesis dan catatan medik tanggal 25 Februari 2006 pukul
08.30 WIB

Keluhan Utama : tidak sadar setelah kecelakaan lalu lintas

Onset

Riwayat Penyakit Sekarang

: 12 jam sebelum masuk RS

12 jam sebelum masuk rumah sakit saat penderita mengendarai sepeda


motor dengan kecepatan tinggi, tiba-tiba penderita menabrak mobil di
depannya. Penderita tidak memakai helm dan jatuh dengan kepala
membentur aspal. Penderita tidak sadar, tidak muntah, tidak kejang,
kemudian dibawa ke RS Purwodadi. Lalu penderita dirujuk ke RSDK.

Riwayat Penyakit Dahulu


-

Riwayat darah tinggi disangkal

Riwayat kencing manis disangkal

Riwayat penyakit jantung disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada anggota keluarga yang sakit seperti ini

Tidak ada anggota keluarga yang menderita darah tinggi

Tidak ada anggota keluarga yang menderita kencing manis

Riwayat Sosial Ekonomi


Penderita adalah seorang mahasiswa, belum menikah. Biaya
pengobatan ditanggung orang tua.
Kesan : Sosial Ekonomi kurang.

Pemeriksaan Fisik (tanggal 25 Februari 2006)


Keadaan umum

: lemah

Kesadaran

: sopor, GCS E2M5V2

Tanda vital : Tensi

: 110/70 mmHg

Nadi

: 80 x/menit

RR

: 20 x/menit

Suhu

: 37,2 C (axilla)

Kepala

: Mesosefal, tampak luka tertutup kasa

Mata

: Konjungtiva palpebra anemis - / -, sklera ikterik - / Pupil isokor 3 mm/3 mm, reflek cahaya +/+, jejas hematom
parietal 5 cm

Telinga

: Discharge (-)

Hidung

: Nafas cuping hidung (-), nafas kusmaul (-), epistaksis (-),


rhinore (-)

Mulut

: Perdarahan gusi (-), Bibir sianosis (-), atrofi papil lidah (-)

Tenggorokan : T1-1, faring hiperemis (-)


Leher

: Trakea di tengah, pembesaran nnll (-), kaku kuduk (-)

Dada
Paru

Depan

Belakang

Inspeksi

simetris statis dinamis

simetris statis dinamis

Palpasi

stem fremitus dextra=sinistra

stem fremitus dextra=sinistra

Perkusi

sonor seluruh lap. paru

sonor seluruh lap. paru

Auskultasi

SD: vesikuler, ST : (-)

SD: vesikuler, ST: (-)

Jantung
I

: IC tak tampak

Pa

: IC teraba di SIC V, 2 cm medial linea medioclaviculare


sinistra, tak melebar, tak kuat angkat

Pe

: konfigurasi jantung dalam batas normal

: Suara jantung I-II murni ,bising (-) gallop (-),

Abdomen

: datar , venektasi (-)

: Bising usus (+) Normal

Pe

: Tympani, pekak sisi (+) Normal, pekak alih (-)

Pa

: Supel, hepar tidak teraba, lien tidak teraba

Ekstremitas

superior

inferior

Oedem

-/-

+/-

Akral dingin

-/-

-/-

Sianosis

-/-

-/-

Clubbing

-/-

-/-

Cap. Refill

<2

<2

Gerak

+/+

+/+

Tonus

N/N

N/N

Kekuatan

Motorik

sulit dinilai

sulit dinilai

Refleks Fisiologis:

+N

+N

Refleks Patologis :

-/-

-/-

Klonus

-/-

-/-

Genitalia

: laki-laki dalam batas normal

Regio parietal dekstra :


I

: tampak hematom 5 cm, fluktuasi (+)

Pa

: nyeri tekan (+), krepitasi (-)

Regio clavicula dekstra :


I

: tampak jejas (+), hematom (+), perdarahan spontan (-),


luka robek (-), deformitas (-)

Pa

: nyeri tekan (+), nyeri sumbu (+), krepitasi (-)

Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium Darah :
Tanggal 25 Februari 2006
Hb

: 12.4 gr%

Ht

: 37 %

Eritrosit

: 3.890.000 /mm3

MCV
MCH

: 95 fl
: 32 pg

MCHC

: 33.6 %

Lekosit

: 15.600 / mm3

Trombosit

: 256.000/mm3

GDS

: 176 gr/dl

Ur

: 27 mg/dL

Kr

: 1.07 mg/dL

Na

: 134 mEq/L

: 4.3 mEq/L

Cl

: 104 mEq/L

Ca

: 2.33 mEq/L

b. X-foto Cervical AP/Lateral (25 Februari 2006)

- Alignment baik
-

Struktur tulang baik

- Tak tampak diskontinuitas tulang


- Tak tampak listesis
- Tak tampak soft tissue swelling
Kesan : tak tampak fraktur os cervical
c. X-foto Thorax AP (25 Februari 2006)
Cor

: CTR tidak dinilai


.

Pulmo : corakan vaskuler dalam batas normal


Tidak tampak
Diafragma setinggi costa
Tampak diskontinuitas tulang klavikula kanan di tengah dengan aposisi dan
aligment baik
Kesan : Fraktur clavicula dextra tengah

d. CT Scan kepala tanpa kontras (29 Agustus 2005):


-

Sulkus kortikalis dan fisura Sylvii tidak menyempit

Sistem ventrikel lateral, III dan IV dalam batas normal

Tampak

lesi

hiperdens

dengan

bentuk

bikonvek

pada

temporoparietal kanan dan semiluner di daerah infratentorial


-

Tidak tampak midline shifting

Batang otak dan serebelum tak tampak kelainan

Pada bone window tampak diskontinuitas linear pada os temporal

Kesan :

regio

Perdarahan epidural di temporalis kanan


Perdarahan subarachnoid infratentorial
Fraktur linear os parietal kanan

D. Diagnosis
Perdarahan Epidural di lobus parietal dekstra
Perdarahan Subarachnoid Infratentorial
Fraktur linier parietal dekstra
Fraktur clavicula dekstra transversal non komplikata
Pengelolaan
Terapi medikamentosa
-

O2 10 L/menit masker

Infus Ringer Laktat 20 tetes/menit

Pasang DC dan NGT

Blocken position

Inj. Ceftriaxon 1 x 1 gr i.v

Inj. Toradol 3 x 30 mg i.v

Inj Ranitidin 2 x 1 ampul

P.o : phenytoin 1 x 200 mg

Pasang sand bag

Monitoring KU, tanda vital, GCS tiap 2 jam

BAB IV
PEMBAHASAN

Seorang laki-laki, 22 tahun, dirawat di RSDK dengan tidak sadar setelah


kecelakaan lalu lintas dengan cedera kepala sedang. 12 jam SMRS, penderita tidak
sadar setelah menabrak mobil saat mengendarai sepeda motor dengan kecepatan
tinggi tanpa memakai helm, jatuh dengan kepala membentur aspal, muntah (-).
Penderita dibawa ke RSU Purwodadi, kemudian dirujuk ke RSDK.
Penderita tiba di RSDK dengan kesadaran sopor (GCS E 2M5V2) dan pada
pemeriksaan fisik didapatkan hematom pada regio parietal dekstra, fluktuasi (+),
mata: pupil isokor 3mm/3mm, refleks cahaya +/+; ekstremitas superior: gerak +/
+ , refleks fisiologis +N/+N, refleks patologis -/-; ekstremitas inferior: gerak +/+ ,
refleks fisiologis +N/+N, reflek patologis -/-.
Pada pemeriksaan laboratorium darah didapatkan kesan lekositosis.
Pada pemeriksaan X-foto servical didapatkan kesan tak tampak fraktur os
servical. Pada pemeriksaan X-foto thorax didapatkan kesan : ...............................
Pada pemeriksaan CT Scan didapatkan kesan ............................................

Telah disebutkan sebelumnya bahwa Hematoma Epidural pada CT scan


tampak sebagai area hiperdens berbatas tegas, bentuk bikonveks atau lentikular,
karena perlekatan yang erat antara dura dengan tabula interna mencegah hematoma
mengalami penyebaran, berbeda dengan Hematoma subdural yang khas cenderung
menjadi lebih difus dibandingkan hematoma epidural dan memiliki tepi dalam yang
konkaf yang mengikuti permukaan otak. Jadi hasil CT Scan ini khas menggambarkan
lesi Epidural Hematoma seperti yang disebutkan di teori.

BAB V
KESIMPULAN

Seorang laki-laki usia 22 tahun dibawa ke RSDK dengan kesadaran sopor,


GCS E2M5V2. Pasien rujukan dari RSU Purwodadi dengan tidak sadar paska KLL,
telah dilakukan X foto thorax dan CT Scan kepala. Dari hasil CT scan didapatkan
diagnosa perdarahan epidural di lobus parietal dekstra, perdarahan subarachnoid
infratentorial, fraktur linier parietal dekstra, sedangkan dari foto thorax didapatkan
fraktur klavikula dekstra transversal.
Jadi dalam kasus ini, CT Scan diperlukan untuk menegakkan diagnosa
perdarahan epidural di lobus parietal dekstra, perdarahan subarachnoid infratentorial,
fraktur linier parietal dekstra

DAFTAR PUSTAKA

1. Saanin S. Cedera kepala. http://www.angelfire.com/nc/neurosurgery/kelola/html


2. Muttaqien Z. Panduan Kuliah Bedah Saraf. Semarang: SMF Bedah Saraf
Fakultas Kedokteran UNDIP, 2000..
3. Rasad S, Kartoleksono S, Ekayuda I. Radiologi Diagnostik Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta 2001: 374-383.
4. American College of Surgeons. Cedera Kepala. In Advanced Trauma Life
Support.1997 : 195-236.
5.

Todd

Newton.

Subarachnoid

Hemorrhage.

Available

from

URL

http://www.emedicine.com/med/topic2883.htm
6. Williams AL, Haughton VM. Cranial Computed Tomography A Comprehensive
Text. The Civ Mosby Company, ST Louis Toronto Princeton, 1985 : 49-54.
7.

Osborn AG, Blaser SI, Salzman KC. Pocket Radiologist. W.B. Saunders
Company, 2002 : 10-11.

Anda mungkin juga menyukai