Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Pembimbing :
Dr. Bambang.S, Sp. Rad
Dr. Lina
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2006
LEMBAR PENGESAHAN
: Radiologi
: Maret 2006
dr. Lina
BAB I
PENDAHULUAN
(1)
Cedera kepala merupakan masalah yang sering ditemukan dan umumnya terjadi pada
pria atau wanita, dengan penyebab utama kecelakaan lalu lintas (sekitar 49%)
maupun jatuh dari ketinggian. KLL sendiri sering mengakibatkan fraktur multipel,
26% di antaranya menderita perdarahan intrakranial.
(2)
dan kerugian akibat hilangnya jam kerja, maupun biaya yang diperlukan untuk
pengobatan dan rehabilitasi penderita maka cedera kepala merupakan problem
kesehatan masyarakat yang memerlukan perhatin lebih. (2)
Insidensi cedera kepala di banyak negara berkembang berkisar antara 200300/100.000 populasi/tahun.
(2)
tahunnya diperkirakan mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah tersebut, 10% penderita
meninggal sebelum sampai rumah sakit. Dari yang sampai di rumah sakit, 80-90 %
dikelompokkan sebagai cedera kepala ringan, 5-10% termasuk cedera kepala sedang
dan < 5 % sisanya termasuk cedera kepala berat. (2)
Cedera pada kepala dapat melibatkan seluruh struktur
lapisan,
mulai
dari
lapisan
kulit
kepala,
tulang
tengkorak,
yaitu cedera yang timbul sebagai akibat langsung dari dan terjadi
segera sesudah peristiwa trauma, dan cedera sekunder yaitu
cedera penyulit yang memperberat kondisi yang sudah ada pada
cedera primer. Cedera primer, antara lain berupa laserasi kulit
kepala,
fraktur
impresi
tengkorak,
hematom
intrakranial,
(2)
Di satu pihak memang hanya sebagian saja kasus cedera kepala yang datang
ke rumah sakit berlanjut menjadi hematom, tetapi di lain pihak frekuensi hematom
ini terdapat pada 75% kasus yang datang sadar dan keluar meninggal. Hematom intra
kranial dikelompokkan menjadi hematom yang terletak di luar duramater yaitu :
hematom epidural, dan di dalam duramater yaitu: hematom subdural dan hematom
intra serebral, di mana masing-masing dapat terjadi sendiri maupun bersamaan. (2)
CT scanning merupakan prosedur pilihan dalam mengevaluasi pasien cedera
kepala dan kemungkinan memperbaiki secara jelas outcome pasien dengan cedera
kepala. Hasil-hasil gambar CT scan yang berupa penampang-penampang kepala
tidak akan pernah dapat diperoleh dengan demikian jelas dan bagus pada foto
rontgen biasa. Di sinilah letaknya keuntungan besar yang terutama diperoleh bagi
ahli bedah saraf dan ahli saraf, pada trauma kepala dengan cepat dapat diketahui
adanya hematoma epidural atau subdural tanpa perlu memberikan suntikan kontras
terlebih dahulu. Lain dengan hal sebelumnya di mana berbagai persiapan yang
memakan waktu harus dilalui dan diperlukan penyuntikan kontras, sebelum dibuat
foto Rontgen, walaupun pada kasus-kasus tertentu diperlukan penyuntikan kontras
untuk membantu ke arah diagnosa. (4)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Anatomi Kepala (2,4,5)
Bagian terluar dari kepala adalah kulit kepala (scalp) yang terdiri atas
skin/kulit, connective tissue/jaringan penyambung, aponeurosis atau galea
aponeurotika (jaringan ikat yang berhubungan langsung dengan tengkorak),
loose alveolar tissue atau jaringan penunjang longgar dan perikranium. Galea
aponeurotika, suatu jaringan fibrosa, padat, dapat digerakkan dengan bebas,
yang membantu menyerap kekuatan trauma eksternal. Terdapat jaringan longgar
yang memisahkan galea aponeurotika dari perikranium dan merupakan tempat
yang biasa terjadinya perdarahan subgaleal (hematoma subgaleal). Kulit kepala
memiliki banyak pembuluh darah sehingga bila terjadi perdarahan akibat
laserasi kulit kepala akan menyebabkan kehilangan darah terutama pada anakanak atau penderita dewasa yang cukup lama terperangkap sehingga
membutuhkan waktu lama untuk mengeluarkan.tak memiliki pelindung
terhadap cedera. Rambut, kulit dan tulang yang membungkus otak akan
memberi perlindungan sehingga tidak mudah terkena cedera.
Tengkorak yang terdiri dari calvaria dan basis cranii, merupakan ruangan
keras yang tidak memungkinkan perluasan isi intrakranial. Tulang sebenarnya
terdiri dari 2 dinding atau tabula, yang dipisahkan oleh tulang berongga.
Dinding luar disebut tabula eksterna dan dinding bagian dalam disebut tabula
interna. Struktur demikian memungkinkan suatu kekuatan dan isolasi yang
besar, dengan bobot yang lebih ringan. Tabula interna mengandung alur-alur
yang berisikan arteria meningea anterior, media dan posterior. Apabila fraktur
tulang tengkorak menyebabkan terkoyaknya salah satu dari arteria-arteria ini
akan mengakibatkan perdarahan arterial yang tertimbun dalam ruang epidural,
sehingga menimbulkan akibat yang fatal kecuali bila segera ditemukan dan
ditangani dengan segera.
Lapisan meninges terdiri dari duramater, arachnoid dan piamater.
Duramater adalah selaput keras terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang melekat
erat pda tabula interna, semitranslusen dan tidak elastis. Fungsinya melindungi
otak, menutupi sinus-sinus vena, membentuk periosteum tabula interna.
Dibawah duramater terdapat lapisan arachnoid, yang terdiri dari membran halus,
fibrosa dan elastis. Membran ini tidak melekat pada duramater, sehingga
terdapat ruangan potensial yang disebut ruangan subdural, normalnya ruang
tersebut hanya terisi sedikit cairan. Pada ruangan subdural sering dijumpai
perdarahan subdural akibat robekan dari bridging veins yaitu pembuluh vena
yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis
tengah. Perdarahan ruang subdural dapat menyebar dengan bebas, dan hanya
terbatas oleh sawar falks serebri dan tentorium. Vena-vena otak yang melewati
ruangan ini hanya mempunyai sedikit jaringan penyokong dan oleh karena itu
mudah sekali cedera dan robek pada trauma kepala.
Di bawah arachnoid terdapat lapisan piamater yang melekat erat pada
permukaan korteks serebri. Diantara arachnoid dan piamater terdapat ruang
subarachnoid. Cairan serebrospinal bersirkulasi dalam ruang subarachnoid. Bila
terjadi perdarahan subarachnoid maka darah bebas akan berada dalam ruang ini.
Perdarahan ini biasanya disebabkan oleh pecahnya aneurisma intra kranial atau
akibat cedera kepala. Piamater adalah suatu membran halus yang kaya
pembuluh darah halus. Piamater merupakan satu-satunya lapisan meninges yang
masuk ke dalam semua sulkus dan membungkus girus.
Otak manusia terdiri atas serebrum, serebelum, dan batang otak.
Serebrum dibagi atas hemisfer kanan dan kiri yang dipisahkan falks cerebri.
Hemisfer otak yang mengandung pusat bicara disebut hemisfer dominan. Lobus
frontalis berkaitan dengan fungsi emosi, motorik, pusat ekspresi bicara
(hemisfer kiri) Lobus parietalis berkaitan dengan fungsi sensoris dan orientasi
ruang. Lobus temporalis mengatur fungsi memori tertentu. Lobus oksipitalis
berfungsi dalam penglihatan.
2. Cedera Kepala
Klasifikasi cedera kepala (5)
I. Berdasarkan mekanisme cedera kepala
Fraktura tengkorak basal sulit tampak pada foto sinar-x polos dan biasanya
perlu CT Scan dengan teknik jendela tulang (bone window) untuk memperlihatkan
garis frakturnya. Adanya tanda klinis fraktura tengkorak basal yaitu racoon eyes
sign, rhinorrhea, otorhea, dan battle sign mempertinggi indeks kemungkinan dan
membantu identifikasinya. Sebagai pegangan umum, depressed fragmen lebih dari
ketebalan tengkorak memerlukan operasi elevasi. Sedangkan
fraktura tengkorak
Lesi intrakranial dapat diklasifikasikan sebagai fokal atau difusa, walau kedua
bentuk cedera ini sering terjadi bersamaan. Lesi fokal termasuk hematoma epidural,
hematoma subdural, dan kontusi (hematoma intraserebral). Pasien pada kelompok
cedera otak difusa, secara umum menunjukkan CT Scan normal namun klinis
neurologis penderita sangat buruk bahkan dapat dalam keadaan koma dalam.
I. Lesi Fokal
a. Hematoma Epidural.
Hematoma epidural terletak di luar dura, namun masih di dalam
tengkorak. Paling sering terletak di regio temporal atau temporo-parietal dan
sering terjadi akibat robeknya arteri meningeal media akibat retaknya tulang
tengkorak. Hematoma epidural biasanya dianggap berasal dari arterial, namun
mungkin juga sekunder dari perdarahan vena pada sepertiga kasus. Kadangkadang hematom epidural mungkin akibat robeknya sinus vena, terutama di
regio parieto-oksipital atau fossa posterior. Walau hematoma epidural relatif
tidak terlalu sering (0.5% dari keseluruhan atau 9% dari pasien koma cedera
kepala), harus selalu diingat saat menegakkan diagnosis dan melakukan
tindakan segera. Bila ditindak segera, prognosis biasanya baik karena cedera
otak di sekitarnya biasanya masih terbatas. Outcome langsung bergantung
pada status pasien sebelum operasi. Mortalitas dari hematoma epidural sekitar
0% pada pasien tidak koma, dan 20% pada pasien koma dalam. (1,2,5) Penderita
dengan epidural hematom dapat menunjukkan adanya Lucid Interval dimana
penderita yang semula mampu bicara lalu tiba-tiba meninggal (talk and die)
b. Hematoma Subdural.
Lebih sering dari hematoma epidural, ditemukan sekitar 30%
penderita dengan cedera kepala berat. Terjadi paling sering akibat robeknya
vena bridging antara korteks serebral dan sinus draining. Namun ia juga
dapat berkaitan dengan laserasi permukaan atau substansi otak. Fraktura otak
mungkin ada atau tidak. Selain itu, kerusakan otak yang mendasari hematoma
subdural akuta biasanya sangat lebih berat dan prognosisnya lebih buruk dari
hematoma epidural. Mortalitas umumnya 60%, namun mungkin diperkecil
oleh tindakan operasi yang sangat segera dan pengelolaan medis agresif. (1,2,5)
Grup 3 Bekuan lokal dan atau lapisan darah lebih besar dari 1 mm
Grup 4 Difus atau tidak tampak darah, tapi tampak bekuan pada
intraserebral atau intraventrikular. (6)
CAD ini relatif jarang dan dibatasi pada kelompok dengan koma yang
berakhir dalam 6-24 jam, dan pasien mulai dapat mengikuti perintah
setelah 24 jam.
2. CAD sedang
CAD ini dibatasi pada koma yang berakhir lebih dari 24 jam tanpa tandatanda batang otak yang menonjol. Ini bentuk CAD yang paling sering dan
merupakan 45% dari semua pasien dengan CAD.
3. CAD berat
CAD ini biasanya terjadi pada kecelakaan kendaraan dan merupakan
bentuk yang paling mematikan. Merupakan 36% dari semua pasien
dengan CAD. Pasien menampakkan koma dalam dan menetap untuk
waktu yang lama. Sering menunjukkan tanda dekortikasi atau deserebrasi
dan sering dengan cacat berat yang menetap bila penderita tidak
meninggal. Pasien sering menunjukkan disfungsi otonom seperti
hipertensi, hiperhidrosis dan hiperpireksia, serta sebelumnya tampak
mempunyai cedera batang otak primer.
3.
kepala dan kemungkinan memperbaiki secara jelas outcome pasien dengan cedera
kepala. Dianjurkan sekali bahwa CT scan emergensi harus dilakukan sesegera
mungkin (dalam setengah jam) setelah pasien dengan cedera kepala berat datang.
Rumah Sakit harus memiliki teknisi CT yang siap 24 jam atau mudah dicari dalam
keadaan darurat. Dianjurkan CT scan ulang bila terjadi perubahan status klinis pasien
atau terjadi peningkatan TIK yang tak dapat dijelaskan. Selanjutnya temuan CT scan
dinilai untuk bila perlu dilakukan monitoring TIK.(5) Penelitian di Kanada
menetapkan bahwa indikasi CT Scan pada CKR berpatokan pada 5 faktor risiko
tinggi, yaitu pasien CKR yang tingkat SKG-nya tidak mencapai 15 dalam 2 jam,
dugaan adanya fraktur terbuka, terdapat tanda dari fraktur basis kranium
(haemotympanum, racoon eyes, otorrhoea/ rhinorrhoea, battles sign ), muntah lebih
dari 2 kali, atau usia lebih dari 65 tahun serta adanya faktor risiko sedang seperti
amnesia dan mekanisme cedera yang berat. (2)
B. Tehnik
Segera setelah status pulmoner distabilkan, pasien didorong ke kamar CT.
Pada saat ini, kamar operasi diperingatkan akan kemungkinan dilakukannya
kraniotomi, dan bila perlu persiapan lain diambil untuk memastikan kesiapan pasien
untuk operasi. Ini termasuk penentuan golongan serta x-matching darah serta
menghubungi keluarga yang bertanggung jawab atas izin operasi. Biasanya pasien ke
kamar CT sudah dalam keadaan intubasi dan dengan ventilasi mekanik. Tidak
bijaksana untuk bersikap pasif pada saat ini, dan diharuskan melakukan pengamatan
yang berulang dari tanda vital dan reaksi pupil. Bila CT scan menampakkan adanya
lesi massa operabel, pasien didorong ke kamar operasi. Manipulasi jendela scanner
selama scanning kadang-kadang diperlukan untuk melihat hematoma yang relatif
isodens. (1,2,5)
C. Interpretasi
70% CT scan pasien mempunyai kelainan: lesi densitas rendah 10%, lesi non
operatif densitas tinggi 19%, lesi densitas tinggi yang harus dioperasi 41%
(Narayan). Lesi densitas rendah, bila tampak pada tiadanya lesi densitas tinggi,
diinterpretasikan sebagai edema atau infarksi. Lesi densitas tinggi non operatif adalah
kontusio atau hematoma yang menyebabkan pergeseran garis tengah kurang dari 5
mm. Lesi densitas tinggi (hematoma epidural, subdural, intraserebral) dianggap
memerlukan tindakan operasi dekompresi bila menyebabkan pergeseran garis tengah
5 mm atau lebih.
pergeseran garis tengah dalam menentukan pasien mana yang harus dioperasi.
Pergeseran garis tengah yang bermakna pada pasien cedera kepala sudah dibuktikan
ada kaitannya dengan tingkat kesadaran. Densitas CT scan diukur dengan skala yang
mula-mula diperkenalkan oleh Hounsfield dan selanjutnya dimodifikasi dengan
faktor dua. Pada skala ini, koefisien absorbsi air (Nomor Hounsfield, atau H) adalah
0, udara -1000, dan tulang +1000. Nomor H untuk struktur intrakranial sebagai
berikut:
Udara -1000
Lemak -100
Air 0
LCS 4-10
Pada CT scan, edema tampak sebagai zona densitas rendah dengan nilai penguatan
berkisar antara 16 dan 24 H, bila dibandingkan dengan nilai substansi putih 22
hingga 36H. Berkaitan dengan densitas rendah ini, efek lesi massa terhadap ventrikel
berdekatan mungkin bisa disaksikan, menunjukkan adanya kompresi, distorsi, dan
pergeseran sistem ventrikular.
atau difusa.
Dengan edema serebral difusa, mungkin sulit untuk memastikan densitas yang lebih
rendah karena tidak ada area otak normal sebagai pembandingnya. Pada setiap kasus
dengan kompresi ventrikular bilateral, yang mungkin sangat hebat hingga berakibat
sistem ventrikular tidak dapat disaksikan, terutama pada anak-anak. Diperdebatkan
apakah gambaran pembengkakan otak difusa disebabkan oleh edema atau bendungan
vaskular.
keadaan hal tersebut tetap rumit karena adanya perubahan lemak otak setelah cedera.
(1)
Kontusi serebral tampak sebagai area hiperdens yang tak homogen yang
tersebar diantara area densitas rendah, dengan nilai penguatan berkisar antara 50
hingga 60 HU. Tampilan CT akibat area perdarahan kecil multiple dalam substansi
otak, berhubungan dengan area edema. Tepinya biasanya susah ditentukan. Efek
massa sering tampak, walau mungkin minimal. Tergantung luasnya perdarahan,
derajat edema, dan perjalanan waktu, kontusi mungkin tampak menjadi predominan
dens atau lusen. Outcome pasien yang menunjukkan baik lesi densitas rendah atau
lesi densitas tinggi non operatif (kontusi) adalah sangat serupa, perkiraan selanjutnya
menunjukkan bahwa secara keseluruhan morfologisnya berhubungan erat. (2).
Hematoma epidural pada CT scan tampak sebagai area hiperdens berbatas
tegas, bentuk bikonveks atau lentikuler ada perlekatan erat antara duramater dengan
tabula interna sehingga hematom ini menjadi terbatas dan mendesak ventrikel ke sisi
kontralateral.
Lokasi yang paling terkena adalah daerah temporal, frontal, atau fossa posterior. (1,7,8)
Hematoma subdural pada CT scan pula tampak sebagai area hiperdens tipis
merata, berbentuk semiluner atau bulan sabit diantara tabula dan parenkim otak. Ini
disebabkan robekan vena-vena didaerah kortek serebri atau bridging vein karena
trauma (1,7,8).
Walau tidak selalu mungkin membedakan antara hematoma subdural dan
epidural pada CT scan, yang terakhir ini khas dengan bentuk bikonveks atau
lentikular karena perlekatan yang erat antara dura dengan tabula interna mencegah
hematoma mengalami penyebaran. Hematoma subdural yang khas cenderung lebih
difus dibanding hematoma epidural dan memiliki tepi dalam yang konkaf yang
mengikuti permukaan otak.
Perbedaan antara lesi akuta, subakuta dan kronik agak tidak pasti. Namun dari
penelitian diklasifikasikan akuta bila simtomatik untuk 0 hingga 7 hari, subakuta bila
simtomatik dalam 7 hingga 22 hari dan kronik bila simtomatik lebih dari 20 hari,
100% kelompok akuta mempunyai lesi hiperdens, 70% kelompok subakuta memiliki
lesi isodens dan 76% kelompok kronik memiliki lesi hipodens. Hilangnya sulci
serebral diatas konveksitas dan distorsi ventrikel ipsilateral mungkin merupakan
tanda adanya hematoma isodens. Selalu, derajat pergeseran garis tengah merupakan
kriteria utama dimana perencanaan operasi evakuasi ditentukan.
Hematoma intraserebral traumatika biasanya berlokasi di lobus frontal dan
temporal anterior, walau bisa terjadi dimana saja. Kebanyakan hematoma terbentuk
segera setelah cedera, namun lesi tertunda bukannya tidak jarang, biasanya terbentuk
dalam minggu pertama. Adalah lesi densitas tinggi dengan nilai penguatan antara 70
hingga 90 H dan biasanya dikelilingi zona densitas rendah karena edema. Hematoma
traumatika lebih sering multipel dibanding hematoma akibat sebab lain. Perdarahan
intraventrikular semula dipercaya mempunyai prognosis yang buruk secara uniform.
Ini tidak lagi dianggap benar setelah berkembangnya CT scanning.
Ia sering
bersamaan dengan perdarahan parenkimal. Darah menjadi isodens relatif cepat dan
sering menghilang sempurna dalam seminggu.
Ventrikulostomi diletakkan di
ventrikel yang kurang berdarah dan tube besar (No. 8 French) digunakan saat
perdarahan intraventrikular tampak pada CT.
BAB III
LAPORAN KASUS
A. Identitas Penderita
Nama
Umur
: 22 tahun
Pekerjaan
: Mahasiswa
Alamat
: Purwodadi
MRS
No CM
: 5295485
B. Daftar Masalah
No
1.
Tanggal
Masalah Aktif
Epidural Hematom di lobus25-02-2006
parietal dekstra
2.
Perdarahan
Subarachnoid25-02-2006
Infratentorial
3.
4.
clavicula
dekstra
25-02-2006
No
C. Data Dasar
Data Subjektif
Data dari alloanamnesis dan catatan medik tanggal 25 Februari 2006 pukul
08.30 WIB
Onset
: lemah
Kesadaran
: 110/70 mmHg
Nadi
: 80 x/menit
RR
: 20 x/menit
Suhu
: 37,2 C (axilla)
Kepala
Mata
: Konjungtiva palpebra anemis - / -, sklera ikterik - / Pupil isokor 3 mm/3 mm, reflek cahaya +/+, jejas hematom
parietal 5 cm
Telinga
: Discharge (-)
Hidung
Mulut
: Perdarahan gusi (-), Bibir sianosis (-), atrofi papil lidah (-)
Dada
Paru
Depan
Belakang
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Jantung
I
: IC tak tampak
Pa
Pe
Abdomen
Pe
Pa
Ekstremitas
superior
inferior
Oedem
-/-
+/-
Akral dingin
-/-
-/-
Sianosis
-/-
-/-
Clubbing
-/-
-/-
Cap. Refill
<2
<2
Gerak
+/+
+/+
Tonus
N/N
N/N
Kekuatan
Motorik
sulit dinilai
sulit dinilai
Refleks Fisiologis:
+N
+N
Refleks Patologis :
-/-
-/-
Klonus
-/-
-/-
Genitalia
Pa
Pa
Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium Darah :
Tanggal 25 Februari 2006
Hb
: 12.4 gr%
Ht
: 37 %
Eritrosit
: 3.890.000 /mm3
MCV
MCH
: 95 fl
: 32 pg
MCHC
: 33.6 %
Lekosit
: 15.600 / mm3
Trombosit
: 256.000/mm3
GDS
: 176 gr/dl
Ur
: 27 mg/dL
Kr
: 1.07 mg/dL
Na
: 134 mEq/L
: 4.3 mEq/L
Cl
: 104 mEq/L
Ca
: 2.33 mEq/L
- Alignment baik
-
Tampak
lesi
hiperdens
dengan
bentuk
bikonvek
pada
Kesan :
regio
D. Diagnosis
Perdarahan Epidural di lobus parietal dekstra
Perdarahan Subarachnoid Infratentorial
Fraktur linier parietal dekstra
Fraktur clavicula dekstra transversal non komplikata
Pengelolaan
Terapi medikamentosa
-
O2 10 L/menit masker
Blocken position
BAB IV
PEMBAHASAN
BAB V
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Todd
Newton.
Subarachnoid
Hemorrhage.
Available
from
URL
http://www.emedicine.com/med/topic2883.htm
6. Williams AL, Haughton VM. Cranial Computed Tomography A Comprehensive
Text. The Civ Mosby Company, ST Louis Toronto Princeton, 1985 : 49-54.
7.
Osborn AG, Blaser SI, Salzman KC. Pocket Radiologist. W.B. Saunders
Company, 2002 : 10-11.