Anda di halaman 1dari 13

II.

MENEKAN KEHILANGAN HASIL


1. Faktor-faktor penyebab kehilangan hasil panen
Selama waktu panen, susut dapat terjadi karena ada gabah yang rontok di
lahan akibat cara panen yang tidak benar atau akibat penundaan waktu panen.
Penundaan panen juga dapat menyebabkan keretakan pada gabah sehingga akan
mudah rusak pada proses pengolahannya.
selama perontokan, susut dapat terjadi karena adanya gabah yang tertinggal pada
malai, juga kerusakan mekanis yang disebabkan oleh peralatan atau mesin yang
digunakan
Proses pengeringan yang tidak sempurna juga dapat menimbulkan susut
selama proses perontokan atau penggilingan. Perontokan yang dilakukan segera
setelah pengeringan juga beresiko memperbesar persentase kerusakan mekanis.
Kerusakan mekanis selama perontokan atau penggilingan juga dapat disebabkan
oleh pengeringan yang terlalu cepat. Khusus untuk negara-negara Asean,
pengeringan seringkali dilakukan dengan cara penjemuran yang dapat
menimbulkan susut akibat akibat tercecernya
burung.

atau dimakan oleh ayam dan

Selama dalam pengangkutan atau penyimpanan, susut dapat terjadi

akibat gabah

tercecer bila tidak dikemas dengan cara yang benar. Mengapa

penanganan pascapanen di tingkat petani masih belum optimal :


a. Kebutuhan hidup yang mendesak
b. Teknik & pengetahuan tradisional yang belum dikembangkan dipakai
terus
c. Kurang pengetahuan tentang penanganan pascapanen yang benar
d. Kesulitan biaya & tenaga tambahan
Secara umum, kehilangan hasil panen padi dipengaruhi oleh : varietas tanaman,
kadar air gabah saat panen, alat panen, cara panen, cara/alat perontokan, dan
sistem pemanenan padi.

Menekan kehilangan hasil

2. Tingkat Kehilangan Hasil


Kehilangan panen ini mestinya masih dapat ditekan. Salah satu penentu
utama kehilangan panen ialah sistem

panen. Penelitian menunjukkan bahwa

kehilangan akan sangat tinggi jika panen dilakukan sistem keroyokan (sistem
bawon) yang masih diterapkan secara luas di Jawa Barat dan Jawa Tengah.
Pergeseran dari sitem panen keroyokan yang bersifat terbuka ke sistem ceblokan
yang bersifat tertutup dapat menekan kehilangan panen sekitar 4,6 % dari 18,9%
pada sistem keroyokan menjadi 14,3 % pada sistem ceblokan. Sudah barang tentu
kehilangan panen mestinya dapat ditekan lebih besar lagi jika pemanenan
dilakukan dengan sistem kelompok yang sudah mulai berkembang di Jawa Timur.
Peluang kedua yang masih sangat terbuka untuk menekan kehilangan
panen ialah pada tahap perontokan yaitu inovasi alat perontokan. Perontokan
tradisional dengan cara gebot menimbulkan kehilangan gabah yag sangat besar.
Analisis pada tahap perontokan mengacu pada hasil penelitian yang dilakukan
oleh Sulistiawati(1980). Analisis pada tahap perontokan menggunakan metode
perbandingan dari dua sistem perontokan yaitu sistem banting (beating) dengan
sistem power threser. Perbandingan yang diukur adalah perbandingan manfaaf
(yang diukur dari perbedaan tingkat kehilangan hasil) dan perbedaan biaya yang
dikeluarkan oleh kedua sistem tersebut. Dengan kata lain adalah menghitung
perbedaan manfaat tambahan dan biaya tambahan dari kedua sistem perontokan
tersebut
Sub Pokok Bahasan
Selama waktu panen, susut dapat terjadi karena ada gabah yang rontok di
lahan akibat cara panen yang tidak benar atau akibat penundaan waktu panen.
Penundaan panen juga dapat menyebabkan keretakan pada gabah sehingga akan
mudah rusak pada proses pengolahannya.
selama perontokan, susut dapat terjadi karena adanya gabah yang tertinggal pada
malai, juga kerusakan mekanis yang disebabkan oleh peralatan atau mesin yang
digunakan

Menekan kehilangan hasil

Proses pengeringan yang tidak sempurna juga dapat menimbulkan susut


selama proses perontokan atau penggilingan. Perontokan yang dilakukan segera
setelah pengeringan juga beresiko memperbesar persentase kerusakan mekanis.
Kerusakan mekanis selama perontokan atau penggilingan juga dapat disebabkan
oleh pengeringan yang terlalu cepat. Khusus untuk negara-negara Asean,
pengeringan seringkali dilakukan dengan cara penjemuran yang dapat
menimbulkan susut akibat akibat tercecernya
burung.

atau dimakan oleh ayam dan

Selama dalam pengangkutan atau penyimpanan, susut dapat terjadi

akibat gabah tercecer bila tidak dikemas dengan cara yang benar.
Sub Pokok Bahasan 1 : Kehilangan pada pemanenan.
Metode pengukuran kehilangan yaitu dengan menggunakan metode papan.
Metode ini merupakan pengembangan dari metode pengukuran secara langsung
pada lahan sawah yang sudah selesai dipanen (Setyono et al, 1996). Pada metode
ini pengukuran kehilangan dilakukan dengan menggunakan papan berukuran 20
cm x 100 cm sebanyak 5 papan untuk setiap ulangan atau sama dengan petak
kontrol 1 m2. Pada dasar papan dilapisi dengan karung goni supaya
mempermudah penangkapan gabah yang tercecer pada saat pemanenan.
Kehilangan pada saat panen dihitung berdasarkan rumus :
G1
KHPN = x 100%
G1 + G2
Keterangan
KHPN = Kehilangan pada saat panen, (%)
G1

= Berat gabah yang tercecer pada saat pemotongan padi yang ditampung
pada papan, (kg)

G2

= Gabah hasil perontokan dengan cara diiles pada petakan seluas 1 m2, (kg)

Gambar 1. Alat panen padi

Menekan kehilangan hasil

Umur panen ditentukan berdasarkan (1) kenampakan, biasanya 90% dari


butiran gabah pada malai sudah berwarna kuning keemasan, dan (2) umur
tanaman seperti pada diskripsi varietas, yang diperhitungkan berdasarkan hari
setelah tanam (HST) atau hari setelah berbunga rata (HSB). Panen padi yang baik
dilakukan pada saat umur optimal yang dicapai setelah kadar air gabah mencapai
22-23% pada musim kemarau, dan antara 24 26% kadar air gabah pada musim
penghujan.
Pemanenan yang dilakukan sebelum umur optimal menyebabkan kualitas
yang kurang baik karena tingginya persentase butir hijau pada gabah, sedangkan
panen yang dilakukan setelah lewat masak akan menyebabkan jumlah gabah yang
hilang karena rontok pada saat pemotongan akan besar (Setyono et al, 1996).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kehilangan gabah pada saat pemanenan
berkisar antara 2,15 3,07%. Kehilangan hasil pada saat panen dapat dipengaruhi
oleh beberapa faktor, misalnya umur panen, kadar air panen, alat dan cara panen,
seta perilaku tenaga pemanen tersebut.Perbedaan ekosistem akan menyebabkan
cara dan sistem panen
Sub. Pokok Bahasan 2 : Kehilangan pada penumpukan
Metode pengamatan kehilangan dilakukan dengan mengunakan alas
plastik ukuran 1m2 pada setiap tumpukan padi setelah diopotong, dengan ukuran
tumpukan padi antara 5 10 rumpun pada setiap tumpukan. Gabah yang tercecer
pada alas plastic tersebut dan hasil gabah pada setiap tumpukan tersebut, masingmasing ditimbang. Kehilangan pada saat penumpukan dihitung berdasarkan
rumus:
G1
KHPP = x 100%
G1 + G2
Keterangan
KHPP = Kehilangan pada panumpukan padi, (%)
G1

= Berat gabah yang rontok pada tumpukan padi, (kg)

G2

= Gabah hasil perontokan dengan cara diiles dari setiap tumpukan padi,(kg)

Penumpukan sementara padi biasa dilakukan setelah pemotongan padi


untuk menunggu kesempatan melakukan pengumpulan dan penumpukan. Dalam
satu tumpukan biasanya terdiri dari 510 rumpun, tergantung besarnya cakupan
Menekan kehilangan hasil

tangan masing-masing tenaga pemanen. Penumpukan padi tersebut diletakkan


diatas hamparanbekas potongan padi.
Tenaga pemanen melakukan penumpukan dengan sangat tergesa-gesa dan
tanpa alas, untuk mendapatkan jumlah panen yang sebanyakbanyaknya, sehingga
menimbulkan potensi kehilangan hasil yang cukup besar

Sub Pokok Bahasan 3 : Kehilangan pada pengumpulan


Metode pengamatan kehilangan yaitu dengan memberikan wadah plastik ukuran
200 cm x 100 cm untuk alas pengangkutan padi tersebut. Gabah yang tercecer
pada alas pengangkutan dikumpulkan sampai proses penumpukan selesai.Gabah
hasil ceceran dan gabah yang dihasilkan dari tumpukan padi masingmasing
ditimbang. Kehilangan pada saat pengumpulan dihitung berdasarkan rumus:
G1
KHPN = x 100%
G1 + G2
Keterangan
KHPN = Kehilangan pada saat panen, (%)
G1

= Berat gabah yang tercecer pada saat pemotongan padi yang ditampung pada
papan, (kg)

G2 = Gabah hasil perontokan dengan cara diiles pada petakan seluas 1 m2, (kg)

Kegiatan pengumpulan padi dilakukan agar dalam melakukan perontokan


tenaga pemanen tidak berpindah pindah tetapi pada satu tempat yang sudah
dipilih. Kehilangan terjadi karena gabah akan tercecer pada sepanjang perjalanan,
umumnya dalam melakukan kegiatan ini tidak ada seorang pun yang melakukan
dengan menggunakan wadah/alas untuk mengangkut. Untuk mengetahui jumlah
kehilangan hasil pada proses tersebut, pada saat pengangkutan dilakukan dengan
menggunakan alas dari karung plastik, dan gabah yang rontok dari setiap kali
pengangkutan ditampung dalam wadah.
Sub Pokok Bahasan 4 : Kehilangan pada perontokan
Metode pengukuran kehilangan pada saat perontokan yaitu (1)
mengumpulkan dan menimbang gabah yang terlempar ke luar dari alas
perontokan yang dipakai petani dengan cara menghamparkan pada alas
Menekan kehilangan hasil

perontokan ukuran 5 m x 5 m, dan (2) memisahkan dan menimbang gabah yang


terbawa dalam gabah hampa dan kotoran dan (3) memisahkan dan menimbang
gabah yang tidak terontok dan masih menempel pada jerami padi.

Gambar 2. Alat perontok padi


Kehilangan pada saat perontokan dihitung berdasarkan rumus:

G1 + G2 + G3
KHPR = x 100%
G 0 + G1 + G2 + G3
Keterangan :
KHPR = Kehilangan pada perontokan
G1 = gabah yang terlempar diluar alas petani
G2 = gabah hasil perontokan /tumpukan
G3 = gabah yang melekat di jerami dan tak rontok
G0 = gabah hasil perontokan

Perontokan adalah proses terlepasnya gabah dari malainya, yang


disebabkan oleh adanya gaya mekanis. Di daerah Pantura Jawa Barat umumnya
petani melakukan perontokan padi dengan cara dibanting/digebot. Dengan
berbagai permasalahan yang ada, seperti faktor sosial budaya dan ketersediaan
tenaga kerja panen, sampai saat ini tingkat adopsi mesin perontok sangat rendah.
Perontokan yang dilakukan dengan cara banting/gebot memberikan potensi
kehilangan yang lebih besar. Hal ini disebabkan ketidak hati-hatian tenaga
pemanen dalam melakukan penggebotan maupun penggunaan alas penggebotan
yang relative sempit, sehingga banyak gabah yang terlempar keluar alas yang
digunakan. Proses penggebotan padi yang tidak maksimal dapat menyebabkan
masih banyaknya gabah yang tertinggal pada jerami dan ikut terbuang.

Menekan kehilangan hasil

Tabel 1 : Analisis Manfaat-Biaya Penanganan Hasil Pasca Panen Padi pada


Tahap Perontokan

Banting
Uraian
(1)
1. Presentase tingkat kehilangan

Cara Perontokan
Power thresher

Selisih

(2)

(3)

(4)=(2)-(3)

6,45

2,93

+ 3,5

6,10

4,40

+1,7

2. Presentase biaya perontokan terhadap


total produksi

Sumber : Sulistiawati (1980)


Dari Tabel 1 di atas dapat dilihat bahwa perontokan dengan sistem power
thresher akan memberikan tambahan manfaat yang berlipat bila dibandingkan
dengan sisitem banting (beating). Hal ini ditunjukkan oleh nilai tambahan manfaat
total yang bernilai positif sebesar (+) Rp. 283.400/Ha. Tambahan manfaat ini
selain berasal dari turunnya kehilangan hasil juga berasal dari turunnya biaya.
Perontokan dengan dengansistem power thresher, dapat menurunkan tingkat
kehilangan hasil sebesar 3,5 % dari total produksi. Bila diasumsikan produksi
rata rata gabah per hektar adalah 5 ton, maka tambahan produksi per hektar akan
mencapai 175 kg. Jika harga padi pada tahun 2002 sebesar Rp. 1.090/kg GKP,
maka tambahan manfaat akibat penghematan kehilangan hasil sebesar Rp.
190.750,-. Sementara itu penggunaan power thresher dibandingkan dengan cara
banting (beating) dapat menurunkan biaya perontokan sebesar 1,7 % dari total
produksi. Dengan asumsi yang sama, maka penggunaan alat perontokan power
thresher sangat menguntungkan petani. Selain dapat menurunkan tingkat
kehilangan hasil juga dapat menurunkan biaya perontokan per satuan berat.
Tambahan manfaat yang berlipat dari penggunaan power thresher inilah
yang menyebabkan cara perontokan ini berkembang cukup pesat. Selain
perontokan dengan power thresher dapat menghemat waktu perontokan lebih dari
15 kali lipat. Bila dengan menggunakan cara banting setiap jam dapat
merontokkan 60 kg, maka dengan menggunakan power thresher dapat
merontokkan 967 kg.

Menekan kehilangan hasil

Tabel 2 : Tingkat Kehilangan Menurut Sistem Pemanenan dan Cara


Perontokan Padi (%)
Sistem Pemanenan

Cara Perontokan

Kehilangan Hasil

Keroyokan
Gebot
Ceblokan
Gebot
Kelompok
Mesin
Sumber : Setyono dan Hasanuddin (1997)

18,9
14,3
5,9

Alat perontok mesin biasanya digunakan apabila pemanenan dilakukan


dengan sistem kelompok. Ini berarti, upaya introduksi alat perontok mesin
(inovasi teknologi) akan lebih berhasil jika dilakukan terintegrasi dengan upaya
menstransformasi institusi panen tradisional yang tidak efisien (inovasi institusi).
Kuatnya daya persistensi

lembaga bawon (keroyokan panen) merupakan

penghambat utama introduksi perontok mesin.


Sub Pokok Bahsan 5 : Kehilangan akibat penundaan perontokan
Metode pengukuran kehilangan akibat penundaan perontokan yaitu dengan
memberikan alas pada tumpukan padi sebelum dirontok. Setelah padi selesai
dirontok kemudian gabah yang tertinggal pada alas plastik ditimbang dan
dikonversikan dengan gabah hasil perontokan.
G1
KHPPr = x 100%
G1 + G2
Keterangan :
KHPPr = Kehilangan pada penundaan perontokan, (%)
G1

= gabah yang tercecer saat penundaan perontokan, (kg)

G2

= gabah hasil perontokan dari setiap tumpukan (kg)

Umumnya petani pantura melakukan penundaan perontokan, yang


lamanya bervariasi antara 1-3 malam, bahkan pada system ceblokan penundaan
perontokan dapat dilakukan sampai 5-7 hari, sehingga dapat menyebabkan terjadi
kehilangan hasil dan penurunan kualitas gabah selama penundaan perontokan.
Penurunan kualitas terjadi karena gabah tumbuh, berkecambah, gabah berwarna

Menekan kehilangan hasil

hitam karena busuk atau tumbuh jamur maupun beras berwarna kuning karena
terjadinya proses reaksi browning enzimatis pada beras.
Penundaan perontokan padi di sawah 1 malam dapat memberikan efek
positif terhadap mutu seperti berkurangnya butir hijau pada gabah dan padi lebih
rapuh sehingga mudah dirontok, namun terjadi pula penurunan kualitas karena
terjadinya proses tumbuh maupun proses enzimatis sehingga gabah berkecambah
atau berubah warna menjadi kuning dan busuk, terutama penundaan yang
dilakukan lebih dari satu malam.
Sub Pokok Bahasan 6 : Kehilangan penjemuran
Metode pengukuran kehilangan penjemuran yaitu dengan membandingkan berat
gabah sebelum dan sesudah penjemuran pada basis kadar air yang sama.

Gambar 3. Pengering alami dan pengering Flat bed dryer


Kehilangan pada proses pengeringan dapat dihitung dengan rumus :
BG1 BG2
KHPj = x 100%
BG1
Keterangan :
KHPj = Kehilangan pada penjemuran, (%)
BG1 = Berat gabah sebelum penjemuran, (kg)
BG2 = Berat gabah setelah penjemuran, (kg)

Untuk menghasilkan beras dengan kualitas yang baik, gabah hasil panen
secepatnya harus dilakukan penurunan kadar air baik dengan cara penjemuran
dengan sinar matahari langsung ataupun dengan alat pengering buatan. Gabah
yang mengalami keterlambatan pengeringan akan rendah kualitas beras, hal ini
disebabkan karena gabah hasil panen dengan kadar air yang tinggi dan kondisi
Menekan kehilangan hasil

yang lembab, respirasi akan berjalan dengan cepat, akibatnya terjadi butir gabah
yang busuk, berjamur, berkecambah maupun terjadi reaksi browning enzimatis
yang dapat menyebabkan beras berwarna kuning atau kuning kecoklatan.
Kehilangan yang terjadi pada tahapan penjemuran umumnya disebabkan
oleh (1) fasilitas penjemuran seperti lantai jemur maupun alas kurang baik,
sehingga banyak gabah yang tercecer dan terbuang saat proses penjemuran dan (2)
adanya gangguan hewan seperi ayam, burung, kambing dll.
Sub Pokok Bahasan 7 : Kehilangan penyimpanan
Metode pengukuran kehilangan penyimpanan yaitu dengan membandingkan
selisih berat gabah sebelum dan sesudah penyimpanan pada basis kadar air yang
sama dapat dihitung dengan rumus :
BG1 BG2
KHPny = x 100%
BG1
Keterangan :
KHPny = Kehilangan pada penyimpanan, (%)
BG1

= Berat gabah sebelum penjyimpanan, (kg)

BG2 = Berat gabah setelah penyiumpanan, (kg)

Gambar 4. Gudang penyimpanan


Penyimpanan gabah umumnya menggunakan dua cara yaitu penyimpanan
sistem curah, gabah yang sudah kering kemudian dicurahkan pada satu tempat
yang dianggap aman oleh gangguan baik hama maupun cuaca dan cara
penyimpanan dengan menggunakan kemasan/wadah seperti, karung plastik,
karung goni. Kehilangan hasil saat penyimpanan disebabkan oleh kondisi
kemasan, tempat penyimpanan,
Menekan kehilangan hasil

gangguan hama dan penyakit gudang dan


10

keadaan cuaca setempat. Kadar air gabah akan mengikuti kondisi keseimbangan
dengan udara luar. Pada wadah yang kedap udara umumnya kadar air
penyimpanan tidak akan banyak mengalami perubahan, sedangkan pada kondisi
wadah yang tidak kedap udara, kadar air gabah akan mengikuti perubahan sesuai
dengan kelembaban udara sekitarnya.

Sub Pokok Bahasan 8 : Kehilangan penggilingan


Metode pengukuran kehilangan yaitu dengan membandingkan rendemen antara
penggilingan yang biasa dilakukan untuk menggiling beras petani dengan
rendemen giling yang dihasilkan oleh laboratorium pada tingkat derajat sosoh
yang sama dihitung dengan rumus :
Rgil 1 R gil2
KHPg = x 100%
R gil 1
Keterangan :
KHPg = Kehilangan pada penggilingan, (%)
Rgil 1 = Rendemen giling skala laboratorium, (kg)
BG2 = Rendemen giling skala petani, (kg)

Gambar 5. Kehilangan hasil pada rice milling unit


Proses penggilingan adalah proses pengupasan gabah untuk mengahasilkan
beras yaitu dengan cara memisahkan lapisan lemma dan palea dan mengeluarkan
biji berasnya. Pada proses ini ada 2 tipe alat penggilingan padi yang digunakan,
yaitu tipe penggilingan padi 1 phase (single pass) dan tipe penggilingan padi 2
phase (double pass). Pada penggilingan 1 phase yaitu proses pemecah kulit dan
penyosoh menyatu sekaligus, gabah masuk pada hoper pemasukan dan keluar
sudah menjadi beras putih. Sedangkan pada penggilingan 2 phase, dipisahkan
Menekan kehilangan hasil

11

antara proses pemecah kulit dan proses penyosohan, sehingga merupakan dua
tahap proses kegiatan. Kehilangan hasil pada tahapan penggilingan umumnya
disebabkan oleh penyetelan blower penghisap dan penghembus sekam dan
bekatul, penyetelan yang tidak tepat dapat menyebabkan banyak gabah yang
terlempar ikut ke dalam sekam atau beras yang terbawa kedalam dedak, hal ini
akan menyebabkan nilai rendemen giling yang rendah.
Tabel 3 : Rendemen Beras Giling Menurut Alat Penggiling (Persen)

Varietas
Alat Penggiling

Rata -rata
IR - 64

Muncul

1. Hutler

60,14

64,25

62,19

2. Rice Milling Unit (RMU)

60,12

65,50

63,83

3. Penggilingan Padi Kecil (PPK)

57,56

60,69

59,12

4. Penggilingan Padi Besar (PPB)


Rata - rata

62,96
60,69

62,93
63,33

62,93
62,01

Penggilingan Laboratorium

64,87

66,66

65,76

Sumber : Munarso, et.al. (1998)


Penggilingan padi dengan Rice Milling Unit (RMU) menimbulkan
kehilangan tertinggi ( Tabel 3 ). Berbeda halnya dengan perontokan, manfaat
total dari perbedaan cara penggilingan (antara pabrik penggilingan besar/PPB dan
penggunaan Rice Milling Unit/RMU) justru menampilkan kinerja yang
sebaliknya, artinya penggilingan dengan menggunakan pabrik penggilingan
besar/PPB memang dapat menekan tingkat kehilangan hasil sebesar 1,63 % dari
total produksi yang digiling bila dibandingkan dengan penggunaan RMU (Rice
Milling Unit) yang kecil. Sementara itu biaya yang dikeluarkan untuk
menggunakan

PPB

justru

meningkat

2,78

bila

dibandingkan

dengan penggunaan RMU. Hasil penelitian Warman (1984) menyimpulkan


bahwa penggilingan dengan PPB, meskipun dapat menekan kehilangan hasil,
kurang memberikan insentif ekonomi bagi petani. Dalam hal ini terdapat trade-off
Menekan kehilangan hasil

12

antara penggunaan PPB yang dapat menekan kehilangan hasil namun diikuti oleh
kenaikan biaya penggilingan.
Sub Pokok Bahasan 9 : Analisis Mutu
Analisa mutu dilakukan terhadap mutu fisik gabah dan beras seperti kadar air,
butir hampa dan kotoran, butir hijau, butir kuning dan rusak, keretakan gabah dan
kerusakan mekanis. Analisis mutu fisik dilakukan di Instalasi Laboratorium
Pascapanen Karawang.
BG1 BG2
KHPj = x 100%
BG1
Keterangan :
KHPj = Kehilangan pada penjemuran, (%)
BG1 = Berat gabah sebelum penjemuran, (kg)
BG2 = Berat gabah setelah penjemuran, (kg)

Menekan kehilangan hasil

13

Anda mungkin juga menyukai