Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN

Infeksi Human Immuno Deficiency Virus dan Acquired Immunodeficiency Syndrome


(HIV dan AIDS) dalam 4 tahun terakhir semakin nyata menjadi masalah kesehatan masyarakat di
Indonesia, dan telah mengalami perubahan dari epidemi rendah menjadi epidemi terkonsentrasi.
Hasil survei pada subpopulasi tertentu menunjukkan prevalensi HIV di beberapa propinsi telah
melebihi 5% secara konsisten. Berdasarkan hasil estimasi oleh Departemen Kesehatan (Depkes)
pada tahun 2006 diperkirakan terdapat 169.000 -216.000 orang dengan HIV dan AIDS (ODHA)
di Indonesia.
Pada era sebelumnya upaya penanggulangan HIV dan AIDS diprioritaskan pada upaya
pencegahan. Dengan semakin meningkatnya pengidap HIV dan kasus AIDS yang memerlukan
terapi antiretroviral (ARV), maka strategi penanggulangan HIV dan AIDS dilaksanakan dengan
memadukan upaya pencegahan dengan upaya perawatan, dukungan serta pengobatan. Indonesia
secara nasional telah memulai terapi antiretroviral (terapi ARV) pada tahun 2004.
Departemen Kesehatan telah menetapkan Keputusan Menteri Kesehatan No. 1190 tahun
2004 tentang Pemberian Obat Gratis Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dan Obat Anti Retroviral
(ARV) untuk HIV dan AIDS.(1)

BAB II PEMBAHASAN

Acquired Immunodeficiency Syndrome

Definisi(2)
AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome ) dapat diartikan sebagai kumpulan gejala atau penyakit
yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi virus HIV (Human immunodeficiency
virus ) yang termasuk family retroviridae. Aids merupakan tahap akhir dari infeksi HIV

Epidemiologi(3)
Epidemi HIV di Indonesia biasanya dihubungkan dengan pengguna jarum suntik (Penasun) dan pekerja seks perempuan (WPS), akan tetapi saat ini situasi
epidemi HIV dan AIDS telah berubah. Pada tahun mendatang diproyeksikan jumlah terbesar infeksi HIV baru akan terjadi di antara laki-laki yang
berhubungan seks dengan laki-laki (LSL), diikuti perempuan pada populasi umum (perempuan risiko rendah), yang terdiri dari perempuan terinfeksi
melalui hubungan seks dengan pasangan yang telah terinfeksi serta wanita yang melakukan perilaku berisiko pada tahun-tahun sebelumnya dan mereka
yang sebenarnya telah terinfeksi HIV dan baru dapat terdeteksi di kemudian hari. Jumlah infeksi HIV yang cukup besar terjadi pada laki-laki yang
merupakan pelanggan pekerja seks dan laki-laki populasi umum, yang terdiri dari laki-laki yang terinfeksi melalui hubungan seksual dengan istri-istri
mereka ditambah dengan laki-laki yang berhubungan seks dengan WPS pada tahun sebelumnya

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam ( 22 Juni 2015 - 29 Agustus 2015 )


Rumah Sakit Pusat Infeksi Sulianti Saroso
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanegara
Page 2

Acquired Immunodeficiency Syndrome

2.1 Struktur HIV & Siklus hidupnya

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam ( 22 Juni 2015 - 29 Agustus 2015 )


Rumah Sakit Pusat Infeksi Sulianti Saroso
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanegara
Page 3

Acquired Immunodeficiency Syndrome

Struktur virus HIV-1 terdiri atas 2 untaian RNA identik yang merupakan genom virus
yang berhubungan dengan p17 dan p24 berupa inti polipeptida. Semua komponen tersebut
diselubungi envelop membrane fosfolipid yang berasal dari sel pejamu. Protein gp 120 dan gp41
yang disandi virus ditemukan dalam envelop. Retroviris HIV terdiri dari lapisan envelop luar
glikoprotein yang mengelilingi suatu lapisan ganda lipid. Kelompok antigen internal menjadi
protein inti dan penunjang.
RNA directed DNA polymerase ( reverse transcriptase ) adalah polymerase DNA dalam
retrovirus seperti HIV dan virus Sarkoma Rouse yang dapat digunakan RNA temple untuk
memproduksi hybrid DNA. Transverse transcriptase diperlukan dalam tehnik rekombinan DNA
yang perlukan dalam sintesis first strand dna.
Antigen p24 adalah core antigen virus HIV, yang merupakan petanda terdini adanya
infeksi HIV-1, ditemukan beberapa hari-minggu sebelum terjadi serokonversi sintesis antibody
terhadap HIV-1 . antigen gp120 adalah glikoprotein permukaan HIV-1 yang mengikat reseptor
CD4 pada sel T dan makrofag. Usaha sintesis reseptor CD4 ini telah digunakan untuk mencegah
antigen gp120 menginfeksi sel CD4.
Gen envelop sering bermutasi. Hal tersebut menyebabkan perubahan sebagai berikut:
jumlah CD4 perifer menurun, fungsi sel T yang terganggu terlihat in vivo ( gagal memberikan
respon terhadap antigen recall) dan uji invitro, aktivasi poliklonal sel B menimbulkan
hipergamaglobulinemia, antibody yang dapat menetralkan antigen gp120 dan gp41 diproduksi
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam ( 22 Juni 2015 - 29 Agustus 2015 )
Rumah Sakit Pusat Infeksi Sulianti Saroso
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanegara
Page 4

Acquired Immunodeficiency Syndrome

tetapi tidak mencegah progress penyakit oleh karena kecepatan mutasi virus yang tinggi, sel Tc
dapat mencegah infeksi ( jarang) atau dapat memperlambat progress. Protein envelop adalah
produk yang menyandi gp120, digunakan dalam usaha memproduksi antibody yang efektif dan
produktif oleh pejamu.

Siklus hidup HIV


Siklus hidup HIV berawal dari infeksi sel, produksi DNA virus dan integrasi kedalam
genom, ekspresi gen virus dan produksi partikel virus. Virus menginfeksi sel dengan
menggunakan glikoprotein envelop yang disebut gp120 ( 120 Kd glikoprotein) yang terutama
mengikat sel CD4 reseptor dan reseptor kemokin (CXCR4 dan CCR5 ) dari sel manusia. Oleh
karena itu virus hanya dapat menginfeksi dengan efisien sel CD4. Makrofag dan sel dendritik
juga dapat menginfeksinya.
Setelah virus berikatan dengan reseptor sel, membrane virus bersatu dengan membrane
sel pejamu dan virus masuk ke sitoplasma. Disini envelop virus dilepaskan oleh protease virus
dan RNA menjadi bebas. Kopi DNA dari RNA virus disintesis oleh enzim transcriptase dan kopi
DNA bersatu dengan DNA pejamu. DNA yang terintegrasi disebut provirus. Provirus dapat
diaktifkan , sehingga diproduksi RNA dan protein virus . sekarang virus mampu membentuk
struktur inti, bermigrasi ke membrane sel, memperoleh envelop lipid dari sel pejamu, dilepas
berupa partikel virus yang dapat menular dan siap menginfeksi sel lain. Integrasi provirus dapat
tetap laten dalam sel yang terinfeksi untuk berbulan- bulan atau tahun sehingga tersembunyi dari
system imun pejamu, bahkan dari terapi antivirus.

2.2 PATOGENESIS(2)
Limfosit CD4+ (sel T helper atau Th) merupakan target utama infeksi HIV karena virus
mempunyai

afinitas

terhadap

molekul

permukaan

CD4.

Limfosit

CD4+

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam ( 22 Juni 2015 - 29 Agustus 2015 )


Rumah Sakit Pusat Infeksi Sulianti Saroso
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanegara
Page 5

berfungsi

Acquired Immunodeficiency Syndrome

mengkoordinasikan sejumlah fungsi imunologis yang penting sehingga bila terjadi kehilangan
fungsi tersebut maka dapat menyebabkan gangguan imun yang progresif.
Namun beberapa sel lainnya yang dapat terinfeksi yang ditemukan secara in vitro dan
invivo adalah megakariosit, epidermal langerhans, peripheral dendritik, folikular dendritik,
mukosa rectal, mukosa saluran cerna, sel serviks, mikrogilia, astrosit, sel trofoblast, limfosit
CD8, sel retina dan epitel ginjal. (Merati TP dkk, 2006)
Infeksi HIV terjadi melalui molekul CD4 yang merupakan reseptor utama HIV dengan
bantuan ko-reseptor kemokin pada sel T atau monosit, atau melalui kompleks molekul adhesi
pada sel dendrit. Kompleks molekul adhesi ini dikenal sebagai dendritic-cell specific
intercellular adhesion molecule-grabbing nonintegrin (DC-SIGN). Akhir-akhir ini diketahui
bahwa selain molekul CD4 dan ko-reseptor kemokin, terdapat integrin integrin alpha 4 beta
7.sebagai reseptor penting lainnya untuk HIV. Antigen gp120 yang berada pada permukaan HIV
akan berikatan dengan CD4 serta ko-reseptor kemokin CXCR4 dan CCR5, dan dengan mediasi
antigen gp41 virus, akan terjadi fusi dan internalisasi HIV. Di dalam sel CD4, sampul HIV akan
terbuka dan RNA yang muncul akan membuat salinan DNA dengan bantuan enzim transkriptase
reversi. Selanjutnya salinan DNA ini akan berintegrasi dengan DNA pejamu dengan bantuan
enzim integrase. DNA virus yang terintegrasi ini disebut sebagai provirus. Setelah terjadi
integrasi, provirus ini akan melakukan transkripsi dengan bantuan enzim polimerasi sel host
menjadi mRNA untuk selanjutnya mengadakan transkripsi dengan protein-protein struktur
sampai terbentuk protein. mRNA akan memproduksi semua protein virus. Genomik RNA dan
protein virus ini akan membentuk partikel virus yang nantinya akan menempel pada bagian luar
sel. Melalui proses budding pada permukaan membran sel, virion akan dikeluarkan dari sel inang
dalam keadaan matang. Sebagian besar replikasi HIV terjadi di kelenjar getah bening, bukan di
peredaran darah tepi.
Siklus replikasi virus HIV digambarkan secara ringkas melalui gambar 2.

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam ( 22 Juni 2015 - 29 Agustus 2015 )


Rumah Sakit Pusat Infeksi Sulianti Saroso
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanegara
Page 6

Acquired Immunodeficiency Syndrome

Gambar 2 : Visualisasi siklus HIV

Pada pemeriksaan laboratorium yang umum dilakukan untuk melihat defisiensi imun,
akan terlihat gambaran penurunan hitung sel CD4, inverse rasio CD4-CD8 dan
hipergammaglobulinemia. Respon imun humoral terhadap virus HIV dibentuk terhada berbagai
antigen HIV seperti antigen inti (p24) dan sampul virus (gp21, gp41). Antibodi muncul di
sirkulasi dalam beberapa minggu setelah infeksi. Secara umum dapat dideteksi pertama kali
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam ( 22 Juni 2015 - 29 Agustus 2015 )
Rumah Sakit Pusat Infeksi Sulianti Saroso
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanegara
Page 7

Acquired Immunodeficiency Syndrome

sejak 2 minggu hingga 3 bulan setelah terinfeksi HIV. Masa tersebut disebut masa jendela.
Antigen gp120 dan bagian eksternal gp21 akan dikenal oleh sistem imun yang dapat membentuk
antibodi netralisasi terhadap HIV. Namun, aktivitas netralisasi antibodi tersebut tidak dapat
mematikan virus dan hanya berlangsung dalam masa yang pendek. Sedangkan respon imun
selular yang terjadi berupa reaksi cepat sel CTL (sel T sitolitik yang sebagian besar adalah sel T
CD8). Walaupun jumlah dan aktivitas sel T CD8 ini tinggi tapi ternyata tidak dapat menahan
terus laju replikasi HIV. (Djoerban Z dkk, 2006)
Perjalanan penyakit infeksi HIV disebabkan adanya gangguan fungsi dan kerusakan
progresif populasi sel T CD4. Hal ini meyebabkan terjadinya deplesi sel T CD4. Selain itu,
terjadi juga disregulasi repsons imun sel T CD4 dan proliferasi CD4 jarang terlihat pada pasien
HIV yang tidak mendapat pengobatan antiretrovirus. (Djoerban Z dkk, 2006)

PERJALANAN PENYAKIT
Dalam tubuh odha, partikel virus bergabung dengan DNA sel pasien, sehingga satu kali
seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap terinfeksi. Sebagian berkembang masuk
tahap AIDS pada 3 tahun pertama, 50% berkembang menjadi pasien AIDS sesudah 10 tahun, dan
sesudah 13 tahun hampir semua orang yang terinfeksi HIV menunjukkan gejala AIDS, dan
kemudian meninggal. Perjalanan penyakit tersebut menunjukkan gambaran penyakit yang
kronis, sesuai dengan perusakan sistem kekebalan tubuh yang juga bertahap.
Dari semua orang yang terinfeksi HIV, lebih dari separuh akan menunjukkan gejala
infeksi primer yang timbul beberapa hari setelah infeksi dan berlangsung selama 2-6 minggu.
Gejala yang terjadi adalah demam, nyeri menelan, pembengkakan kelenjar getah bening, ruam,
diare, atau batuk dan gejala-gejala ini akan membaik dengan atau tanpa pengobatan.
Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimtomatik (tanpa gejala) yang berlangsung
selama 8-10 tahun. Tetapi ada sekelompok kecil orang yang perjalanan penyakitnya amat cepat,
dapat hanya sekitar 2 tahun, dan ada pula perjalanannya lambat (non-progessor). Sejalan dengan
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam ( 22 Juni 2015 - 29 Agustus 2015 )
Rumah Sakit Pusat Infeksi Sulianti Saroso
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanegara
Page 8

Acquired Immunodeficiency Syndrome

memburuknya kekebalan tubuh, odha mulai menampakkan gejala-gejala akibat infeksi


oportunistik seperti berat badan menurun, demam lama, rasa lemah, pembesaran kelenjar getah
bening, diare, tuberkulosis, infeksi jamur, herpes dan lain-lainnya.

2.3 Cara Penularan


1. Penularan seksual
Penularan (transmisi) HIV secara seksual terjadi ketika ada kontak antara sekresi cairan
vagina atau cairan preseminal seseorang dengan rektum, alat kelamin, atau membran mukosa
mulut pasangannya. Hubungan seksual reseptif tanpa pelindung lebih berisiko daripada
hubungan seksual insertif tanpa pelindung, dan risiko hubungan seks anal lebih besar daripada
risiko hubungan seks biasa dan seks oral.
Seks oral tidak berarti tak berisiko karena HIV dapat masuk melalui seks oral reseptif
maupun insertif. Kekerasan seksual secara umum meningkatkan risiko penularan HIV karena
pelindung umumnya tidak digunakan dan sering terjadi trauma fisik terhadap rongga vagina yang
memudahkan transmisi HIV.
Penyakit menular seksual meningkatkan risiko penularan HIV karena dapat menyebabkan
gangguan pertahanan jaringan epitel normal akibat adanya borok alat kelamin, dan juga karena
adanya penumpukan sel yang terinfeksi HIV (limfosit dan makrofaga) pada semen dan sekresi
vaginal.
Penelitian epidemiologis dari Afrika Sub-Sahara, Eropa, dan Amerika Utara menunjukkan
bahwa terdapat sekitar empat kali lebih besar risiko terinfeksi AIDS akibat adanya borok alat
kelamin seperti yang disebabkan oleh sifilis dan/atau chancroid. Resiko tersebut juga meningkat
secara nyata, walaupun lebih kecil, oleh adanya penyakit menular seksual seperti kencing nanah,
infeksi chlamydia, dan trikomoniasis yang menyebabkan pengumpulan lokal limfosit dan
makrofaga.

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam ( 22 Juni 2015 - 29 Agustus 2015 )


Rumah Sakit Pusat Infeksi Sulianti Saroso
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanegara
Page 9

Acquired Immunodeficiency Syndrome

Transmisi HIV bergantung pada tingkat kemudahan penularan dari pengidap dan kerentanan
pasangan seksual yang belum terinfeksi. Kemudahan penularan bervariasi pada berbagai tahap
penyakit ini dan tidak konstan antarorang. Beban virus plasma yang tidak dapat dideteksi tidak
selalu berarti bahwa beban virus kecil pada air mani atau sekresi alat kelamin. Setiap 10 kali
penambahan jumlah RNA HIV plasma darah sebanding dengan 81% peningkatan laju transmisi
HIV. Wanita lebih rentan terhadap infeksi HIV-1 karena perubahan hormon, ekologi serta
fisiologi mikroba vaginal, dan kerentanan yang lebih besar terhadap penyakit seksual. Orang
yang terinfeksi dengan HIV masih dapat terinfeksi jenis virus lain yang lebih mematikan.

2. Kontaminasi patogen melalui darah


Jalur penularan ini terutama berhubungan dengan pengguna obat suntik, penderita hemofilia,
dan resipien transfusi darah dan produk darah. Berbagi dan menggunakan kembali jarum suntik
(syringe) yang mengandung darah yang terkontaminasi oleh organisme biologis penyebab
penyakit (patogen), tidak hanya merupakan risiko utama atas infeksi HIV, tetapi juga hepatitis B
dan hepatitis C.
Berbagi penggunaan jarum suntik merupakan penyebab sepertiga dari semua infeksi baru
HIV dan 50% infeksi hepatitis C di Amerika Utara, Republik Rakyat Cina, dan Eropa Timur.
Resiko terinfeksi dengan HIV dari satu tusukan dengan jarum yang digunakan orang yang
terinfeksi HIV diduga sekitar 1 banding 150. Post-exposure prophylaxis dengan obat anti-HIV
dapat lebih jauh mengurangi risiko itu.
Pekerja fasilitas kesehatan (perawat, pekerja laboratorium, dokter, dan lain-lain) juga
dikhawatirkan walaupun lebih jarang. Jalur penularan ini dapat juga terjadi pada orang yang
memberi dan menerima rajah dan tindik tubuh. Kewaspadaan universal sering kali tidak dipatuhi
baik di Afrika Sub Sahara maupun Asia karena sedikitnya sumber daya dan pelatihan yang tidak
mencukupi.
WHO memperkirakan 2,5% dari semua infeksi HIV di Afrika Sub Sahara ditransmisikan
melalui suntikan pada fasilitas kesehatan yang tidak aman. Oleh sebab itu, Majelis Umum
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam ( 22 Juni 2015 - 29 Agustus 2015 )
Rumah Sakit Pusat Infeksi Sulianti Saroso
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanegara
Page 10

Acquired Immunodeficiency Syndrome

Perserikatan Bangsa-Bangsa, didukung oleh opini medis umum dalam masalah ini, mendorong
negara-negara di dunia menerapkan kewaspadaan universal untuk mencegah penularan HIV
melalui fasilitas kesehatan.
Resiko penularan HIV pada penerima transfusi darah sangat kecil di negara maju. Di negara
maju, pemilihan donor bertambah baik dan pengamatan HIV dilakukan. Namun demikian,
menurut WHO, mayoritas populasi dunia tidak memiliki akses terhadap darah yang aman dan
"antara 5% dan 10% infeksi HIV dunia terjadi melalui transfusi darah yang terinfeksi".

3. Penularan masa perinatal


Transmisi HIV dari ibu ke anak dapat terjadi melalui rahim (in utero) selama masa perinatal,
yaitu minggu-minggu terakhir kehamilan dan saat persalinan. Bila tidak ditangani, tingkat
penularan dari ibu ke anak selama kehamilan dan persalinan adalah sebesar 25%. Namun
demikian, jika sang ibu memiliki akses terhadap terapi antiretrovirus dan melahirkan dengan cara
bedah caesar, tingkat penularannya hanya sebesar 1%.
Sejumlah faktor dapat memengaruhi risiko infeksi, terutama beban virus pada ibu saat persalinan
(semakin tinggi beban virus, semakin tinggi risikonya). Menyusui meningkatkan risiko penularan
sebesar 4%.

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam ( 22 Juni 2015 - 29 Agustus 2015 )


Rumah Sakit Pusat Infeksi Sulianti Saroso
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanegara
Page 11

Acquired Immunodeficiency Syndrome

2.4 Gejala klinis dan Diagnosis


2. 4.1 Konseling dan Tes HIV(4)
Terdapat dua macam pendekatan untuk tes HIV
1) Konseling dan tes HIV sukarela (KTS-VCT = Voluntary Counseling & Testing)
2) Tes HIV dan konseling atas inisiatif petugas kesehatan (KTIP PITC = ProviderInitiated Testing and Counseling)
KTIP merupakan kebijakan pemerintah Indonesia untuk dilaksanakan di layanan
kesehatan yang berarti semua petugas kesehatan harus menganjurkan tes HIV setidaknya
pada ibu hamil, pasien TB, pasien yang menunjukkan gejala dan tanda klinis diduga
terinfeksi HIV (lihat Tabel 1), pasien dari kelompok berisiko (penasun, PSK-pekerja seks
komersial, LSL lelaki seks dengan lelaki), pasien IMS dan seluruh pasangan seksualnya.
Kegiatan memberikan anjuran dan pemeriksaan tes HIV perlu disesuaikan dengan prinsip
bahwa pasien sudah mendapatkan informasi yang cukup dan menyetujui untuk tes HIV dan
semua pihak menjaga kerahasiaan (prinsip 3C counseling, consent, confidentiality)

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam ( 22 Juni 2015 - 29 Agustus 2015 )


Rumah Sakit Pusat Infeksi Sulianti Saroso
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanegara
Page 12

Acquired Immunodeficiency Syndrome

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam ( 22 Juni 2015 - 29 Agustus 2015 )


Rumah Sakit Pusat Infeksi Sulianti Saroso
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanegara
Page 13

Acquired Immunodeficiency Syndrome

Pemeriksaan Laboratorium Untuk Tes HIV


Prosedur pemeriksaan laboratorium untuk HIV sesuai dengan panduan nasional yang
berlaku pada saat ini, yaitu dengan menggunakan strategi 3 dan selalu didahului dengan
konseling pra tes atau informasi singkat. Ketiga tes tersebut dapat menggunakan reagen tes cepat
atau dengan ELISA. Untuk pemeriksaan pertama (A1) harus digunakan tes dengan sensitifitas
yang tinggi (>99%), sedang untuk pemeriksaan selanjutnya (A2 dan A3) menggunakan tes
dengan spesifisitas tinggi (>99%).
Antibodi biasanya baru dapat terdeteksi dalam waktu 2 minggu hingga 3 bulan setelah
terinfeksi HIV yang disebut masa jendela. Bila tes HIV yang dilakukan dalam masa jendela
menunjukkan hasil negatif, maka perlu dilakukan tes ulang, terutama bila masih terdapat
perilaku yang berisiko.

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam ( 22 Juni 2015 - 29 Agustus 2015 )


Rumah Sakit Pusat Infeksi Sulianti Saroso
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanegara
Page 14

Acquired Immunodeficiency Syndrome

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam ( 22 Juni 2015 - 29 Agustus 2015 )


Rumah Sakit Pusat Infeksi Sulianti Saroso
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanegara
Page 15

Acquired Immunodeficiency Syndrome

2.5

TATALAKSANA PEMBERIAN ARV

A.Saat Memulai Terapi ARV


Untuk memulai terapi antiretroviral perlu dilakukan pemeriksaan jumlah CD4 (bila tersedia) dan
penentuan stadium klinis infeksi HIV-nya. Hal tersebut adalah untuk menentukan apakah penderita sudah
memenuhi syarat terapi antiretroviral atau belum. Berikut ini adalah rekomendasi cara memulai terapi
ARV pada ODHA dewasa.
a. Tidak tersedia pemeriksaan CD4
Dalam hal tidak tersedia pemeriksaan CD4, maka penentuan mulai terapi ARV adalah didasarkan pada
penilaian klinis
.
b. Tersedia pemeriksaan CD4
Rekomendasi :
1. Mulai terapi ARV pada semua pasien dengan jumlah CD4 <350 sel/mm3 tanpa memandang stadium
klinisnya.
2. Terapi ARV dianjurkan pada semua pasien dengan TB aktif, ibu hamil dan koinfeksi Hepatitis B tanpa
memandang jumlah CD4.

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam ( 22 Juni 2015 - 29 Agustus 2015 )


Rumah Sakit Pusat Infeksi Sulianti Saroso
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanegara
Page 16

Acquired Immunodeficiency Syndrome

B. Paduan ARV Lini Pertama yang Dianjurkan(4)


Pemerintah menetapkan paduan yang digunakan dalam pengobatan ARV berdasarkan pada 5 aspek yaitu:
Efektivitas
Efek samping / toksisitas
Interaksi obat
Kepatuhan
Harga obat
Prinsip dalam pemberian ARV adalah
1. Paduan obat ARV harus menggunakan 3 jenis obat yang terserap dan berada dalam dosis terapeutik.
Prinsip tersebut untuk menjamin efektivitas penggunaan obat.
2. Membantu pasien agar patuh minum obat antara lain dengan mendekatkan akses pelayanan ARV .
3. Menjaga kesinambungan ketersediaan obat ARV dengan menerapkan manajemen logistik yang baik.
1. Anjuran Pemilihan Obat ARV Lini Pertama
Paduan yang ditetapkan oleh pemerintah untuk lini pertama adalah:

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam ( 22 Juni 2015 - 29 Agustus 2015 )


Rumah Sakit Pusat Infeksi Sulianti Saroso
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanegara
Page 17

Acquired Immunodeficiency Syndrome

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam ( 22 Juni 2015 - 29 Agustus 2015 )


Rumah Sakit Pusat Infeksi Sulianti Saroso
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanegara
Page 18

Acquired Immunodeficiency Syndrome

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam ( 22 Juni 2015 - 29 Agustus 2015 )


Rumah Sakit Pusat Infeksi Sulianti Saroso
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanegara
Page 19

Acquired Immunodeficiency Syndrome

C. Paduan Terapi Antiretroviral Lini Kedua


Rekomendasi paduan lini kedua adalah:

Boosted PI adalah satu obat dari golongan Protease Inhibitor (PI) yang sudah
ditambahi (boost) dengan Ritonavir sehingga obat tersebut akan ditulis dengan kode
..../r (misal LPV/r = Lopinavir/ritonavir)

Penambahan (booster) dengan ritonavir ini dimaksudkan untuk mengurangi dosis


dari obat PI-nya karena kalau tanpa ritonavir maka dosis yang diperlukan menjadi
tinggi sekali.
Paduan lini kedua yang direkomendasikan dan disediakan secara gratis oleh
pemerintah adalah:

Apabila pada lini pertama menggunakan d4T atau AZT maka gunakan TDF + (3TC
atau FTC) sebagai dasar NRTI pada paduan lini kedua
Apabila pada lini pertama menggunakan TDF maka gunakan AZT + 3TC sebagai
dasar NRTI sebagai dasar NRTI pada paduan lini

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam ( 22 Juni 2015 - 29 Agustus 2015 )


Rumah Sakit Pusat Infeksi Sulianti Saroso
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanegara
Page 20

Acquired Immunodeficiency Syndrome

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam ( 22 Juni 2015 - 29 Agustus 2015 )


Rumah Sakit Pusat Infeksi Sulianti Saroso
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanegara
Page 21

Acquired Immunodeficiency Syndrome

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam ( 22 Juni 2015 - 29 Agustus 2015 )


Rumah Sakit Pusat Infeksi Sulianti Saroso
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanegara
Page 22

Acquired Immunodeficiency Syndrome

D. Pengobatan Pencegahan Kotrimoksasol (PPK) (4)


Pengobatan Pencegahan Kotrimoksasol (PPK). Beberapa infeksi oportunistik (IO) pada ODHA dapat
dicegah dengan pemberian pengobatan profilaksis. Terdapat dua macam
pengobatan pencegahan, yaitu profilaksis primer dan profilaksis sekunder.

Profilaksis primer adalah pemberian pengobatan pencegahan untuk mencegah suatu infeksi yang
belum pernah diderita.
Profilaksis sekunder adalah pemberian pengobatan pencegahan yang ditujukan untuk mencegah
berulangnya suatu infeksi yang pernah diderita sebelumnya

Berbagai penelitian telah membuktikan efektifitas pengobatan pencegahan kotrimoksasol dalam


menurunkan angka kematian dan kesakitan pada orang yang terinfeksi HIV. Hal tersebut dikaitkan dengan
penurunan insidensi infeksi bakterial, parasit (Toxoplasma) dan Pneumocystis carinii pneumonia
(sekarang disebut P. jiroveci, disingkat sebagai PCP). Pemberian kotrimoksasol untuk mencegah (secara
primer maupun sekunder) terjadinya PCP dan Toxoplasmosis disebut sebagai Pengobatan Pencegahan
Kotrimoksasol (PPK)

PPK dianjurkan bagi:


ODHA yang bergejala (stadium klinis 2, 3, atau 4) termasuk perempuan hamil dan menyusui. Walaupun
secara teori kotrimoksasol dapat menimbulkan kelainan kongenital, tetapi karena risiko yang mengancam
jiwa pada ibu hamil dengan jumlah CD4 yang rendah (<200) atau gejala klinis supresi imun (stadium
klinis 2, 3 atau 4), maka perempuan yang memerlukan kotrimoksasol dan kemudian hamil harus
melanjutkan profilaksis kotrimoksasol.
ODHA dengan jumlah CD4 di bawah 200 sel/mm3 (apabila tersedia pemeriksaan dan hasil CD4).

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam ( 22 Juni 2015 - 29 Agustus 2015 )


Rumah Sakit Pusat Infeksi Sulianti Saroso
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanegara
Page 23

Acquired Immunodeficiency Syndrome

[Type a quote from the document or the summary of an interesting point. You
can position the text box anywhere in the document. Use the Drawing Tools tab
to change the formatting of the pull quote text box.]

2.6. Gejala Klinis dan Infeksi Oportunistik


Berbagai gejala AIDS umumnya tidak akan terjadi pada orang-orang yang memiliki sistem kekebalan
tubuh yang baik. Kebanyakan kondisi tersebut akibat infeksi oleh bakteri, virus, fungi dan parasit, yang
biasanya dikendalikan oleh unsur-unsur sistem kekebalan tubuh yang dirusak HIV. Infeksi oportunistik
umum didapati pada penderita AIDS. HIV mempengaruhi hampir semua organ tubuh.

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam ( 22 Juni 2015 - 29 Agustus 2015 )


Rumah Sakit Pusat Infeksi Sulianti Saroso
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanegara
Page 24

Acquired Immunodeficiency Syndrome

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam ( 22 Juni 2015 - 29 Agustus 2015 )


Rumah Sakit Pusat Infeksi Sulianti Saroso
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanegara
Page 25

Acquired Immunodeficiency Syndrome

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam ( 22 Juni 2015 - 29 Agustus 2015 )


Rumah Sakit Pusat Infeksi Sulianti Saroso
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanegara
Page 26

Acquired Immunodeficiency Syndrome

2.7. Pencegahan HIV


Cara Pencegahan :

Gunakan selalu jarum suntik yang steril dan baru setiap kali akan melakukan penyuntikan
atau proses lain yang mengakibatkan terjadinya luka

Selalu menerapkan kewaspadaan mengenai seks aman (artinya : hubungan seks yang
tidak memungkinkan tercampurnya cairan kelamin, karena hal ini memungkinkan
penularan HIV)

Bila ibu hamil dalam keadaan HIV positif sebaiknya diberitahu tentang semua resiko dan
kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi pada dirinya sendiri dan bayinya, sehingga
keputusan untuk menyusui bayi dengan ASI sendiri bisa dipertimbangkan.

Ada tiga cara:

Abstinensi (atau puasa, tidak melakukan hubungan seks)

Melakukan prinsip monogami yaitu tidak berganti-ganti pasangan dan saling setia kepada
pasangannya

Untuk yang melakukan hubungan seksual yang mengandung risiko, dianjurkan


melakukan seks aman termasuk menggunakan kondom

Ada dua hal yang perlu diperhatikan:

Semua alat yang menembus kulit dan darah (jarum suntik, jarum tato, atau pisau cukur)
harus disterilisasi dengan benar

Jangan memakai jarum suntik atau alat yang menembus kulit bergantian dengan orang
lain

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam ( 22 Juni 2015 - 29 Agustus 2015 )


Rumah Sakit Pusat Infeksi Sulianti Saroso
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanegara
Page 27

Acquired Immunodeficiency Syndrome

BAB III
KESIMPULAN
HIV yaitu virus yang memperlemah kekebalan pada tubuh manusia. Orang yang terkena
virus ini akan menjadi rentan terhadap infeksi oportunistik ataupun mudah terkena tumor.
Meskipun penanganan yang telah ada dapat memperlambat laju perkembangan virus, namun
penyakit ini belum benar-benar bisa disembuhkan.
Gejala klinis pada awal infeksi, seperti demam, sakit kepala, sakit tenggorokan, ruam dan
pembengkakan kelenjar getah bening. Penderita akan tetap bebas dari gejala infeksi selama 8
atau 9 tahun atau lebih. Tetapi seiring dengan perkembangan virus dan penghancuran sel imun
tubuh, penderita HIV/AIDS akan mulai memperlihatkan gejala yang kronis seperti pembesaran
kelenjar getah bening (sering merupakan gejala yang khas), diare, berat badan menurun, demam,
batuk dan pernafasan pendek. Selama fase akhir dari HIV, yang terjadi sekitar 10 tahun atau lebih
setelah terinfeksi, gejala yang lebih berat mulai timbul dan infeksi tersebut akan berakhir pada
penyakit yang disebut AIDS.
Terapi dewasa ini menggunakan kombinasi tiga obat yang terdiri atas dua NRTI ditambah
salah satu NNRTI

atau Abacavir atau protease inhibitor.

Meskipun belum mampu

menyembuhkan penyakit dan menambah tantangan dalam hal efek samping serta resistensi
kronis terhadap obat, namun secara dramatis menunjukan angka kematian dan kesakitan,
peningkatan kualitas hidup ODHA.

Cara pencegahan penularan hiv yang baik antara lain Abstinensi (atau puasa, tidak
melakukan hubungan seks) , Melakukan prinsip monogami yaitu tidak berganti-ganti pasangan
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam ( 22 Juni 2015 - 29 Agustus 2015 )
Rumah Sakit Pusat Infeksi Sulianti Saroso
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanegara
Page 28

Acquired Immunodeficiency Syndrome

dan saling setia kepada pasangannya , Untuk yang melakukan hubungan seksual yang
mengandung risiko, dianjurkan melakukan seks aman termasuk menggunakan kondom.

Tinjauan Pustaka

1. Departemen Kesehatan Republik Indonesia.Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan


Penyehatan Lingkungan 2007. Pedoman Nasional Hiv
2. Z. Djoerban, S. Djauri. Infeksi tropical. Hiv aids. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Edisi IV. Jilid III. Hal. 1803-1807.
3. Yoga Aditama, Tjandra. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 2013.

Estimasi dan

Proyeksi HIV/AIDS di Indonesia


4. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan 2011. Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi
Antiretroviral pada orang Dewasa
5. Djauzi S, Djoerban Z. Penatalaksanaan HIV/AIDS di pelayanan kesehatan dasar.

Jakarta: Balai Penerbit FKUI 2002

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam ( 22 Juni 2015 - 29 Agustus 2015 )


Rumah Sakit Pusat Infeksi Sulianti Saroso
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanegara
Page 29

Acquired Immunodeficiency Syndrome

Tabel. Dosis Antiretroviral untuk ODHA dewasa


Abacavir (ABC)

300mg setiap 12 jam


400 mg sekali sehari

Didanosine

(250 mg sekali sehari jika < 60)

(ddI)

(250 mg sekali sehari bila diberikan bersama TDF)

Lamivudine

150 mg setiap 12 jam atau 300mg sekali sehari

(3TC)
Stavudine

40 mg setiap 12 jam

(d4T)
Zidovudine(ZD

(30 mg setiap 12 jam bila BB <60 kg)


300 mg setiap 12 jam

V atau AZT)
Nucleotide RTI
Tenofovir

300 mg sekali sehari (cat: interaksi obat dengan ddI, dosis

ddI perlu dikurangi)


(TDF)
Non-nucleoside RTIs
Efavirenz
600 mg sekali sehari
(EFV)
Nevirapine

200 mg sekali sehari selama 14 hari, kemudian 200 mg

(NVP)

setiap 12 jam

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam ( 22 Juni 2015 - 29 Agustus 2015 )


Rumah Sakit Pusat Infeksi Sulianti Saroso
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanegara
Page 30

Acquired Immunodeficiency Syndrome

Protease inhibitors
Indinavir/riton 800 mg/100 mg setiap 12 jamb,c
avir (IDV/r)
Lopinavir/riton

400 mg/100 mg setiap 12 jam, (533 mg/133 mg setiap 12

avir (LPV/r)
Nelfinavir

jam bila dikombinasi dengan EFV atau NVP)


1250 mg setiap 12 jam

(NFV)
Saquinavir/rito

1000 mg/100 mg setiap 12 jam atau 1600 mg/200 mg

nafir (SQV/r)
Ritonavir

sekali seharic,d
Capsule 100 mg, larutan oral 400 mg/5 ml

(RTV,r)e

Pada pedoman WHO terdahulu ( April 2002) direkomendasikan bahwa rejimen lini
pertama terdiri atas dua NRTI ditambah salah satu NNRTI atau Abacavir atau protease inhibitor.
Renjimen yang mengandung satu protease inhibitor menjadi pilihan kedua karena harganya yang
mahal.
Stavudin seringkali menimbulkan lipoatrofi, dan kelainan metabolisme lain dinegara
maju, termasuk adanya asidosis laktat, terutama bila dikombinasikan dengan Didanosine ( ddl).
Dapat juga mengakibatkan neuropati perifer dan pancreatitis. AZT juga dapat berdampak pada
komplikasi metabolic dengan derajat yang lebih rendah dibanding stavudin. AZT dan d4T
bekerja secara antagonistic, sehingga tidak boleh digunakan secara bersamaan.

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam ( 22 Juni 2015 - 29 Agustus 2015 )


Rumah Sakit Pusat Infeksi Sulianti Saroso
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanegara
Page 31

Acquired Immunodeficiency Syndrome

Tabel. 3. Renjimen ARV Lini- pertama untuk ODHA dewasa dan factor yang
mempengaruhi pemilihannya.
Rejimen

Toksisitas Utama

Perempuan

ARV

(usia

AZT+3TC

atau hamil)
ya

Intoleransi

gastrointestinal

Koinfeksi TB

subur
Ya,

dalam

terapi

TB

dr AZT, anemia, netropenia;

lanjutan tanpa rifampisin b.

Hepatotoksisitas NVP dan

hati- hati pada penggunaan

NVP

ruam kulit berat

renjimen yang mengandung

d4T+3TC+

Neuropati yang terkait

NVP

d4T,

pancreatitis

Ya

renjimen

NVP

+
EFP

Intoleransi gastrointestin,al

Tidak

anemia,

EFV

berbasis

Ya, tetapi EFV tidak boleh


diberikan

kepada

neutropenia;

perempuan

hamil

Toksisitas pd SSP yg terkait

perempuan

usia

EFV

kecuali

dan

potensial

teratogenik

d4T+3TC+

yang

rifampisin.

dan ruam kulit berat


AZT,

menggunakan

Neuropati yg terkait d4T,

Tidak

yang efektif.
Ya, tetapi EFV tidak boleh

Toksisitas pd CNS yg terkait

perempuan

hamil

EFV

perempuan

usia

teratogenik

subur,

kontrasepsi

diberikan

potensial

atau

dipastikan

pancreatitis dan lipoatropi;


dan

TB

hati- hati pada penggunaan

Hepatotoksisitas

dari

terapi

lanjutan tanpa rifampisin b.

dan

lipoatropi;

AZT+3TC

rifampisin.
Ya, dalam

kecuali
menggunakan

kepada
atau
subur,

dipastikan
kontrasepsi

yang efektif.

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam ( 22 Juni 2015 - 29 Agustus 2015 )


Rumah Sakit Pusat Infeksi Sulianti Saroso
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanegara
Page 32

Acquired Immunodeficiency Syndrome

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam ( 22 Juni 2015 - 29 Agustus 2015 )


Rumah Sakit Pusat Infeksi Sulianti Saroso
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanegara
Page 33

Acquired Immunodeficiency Syndrome

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam ( 22 Juni 2015 - 29 Agustus 2015 )


Rumah Sakit Pusat Infeksi Sulianti Saroso
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanegara
Page 34

Acquired Immunodeficiency Syndrome

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam ( 22 Juni 2015 - 29 Agustus 2015 )


Rumah Sakit Pusat Infeksi Sulianti Saroso
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanegara
Page 35

Acquired Immunodeficiency Syndrome

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam ( 22 Juni 2015 - 29 Agustus 2015 )


Rumah Sakit Pusat Infeksi Sulianti Saroso
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanegara
Page 36

Acquired Immunodeficiency Syndrome

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam ( 22 Juni 2015 - 29 Agustus 2015 )


Rumah Sakit Pusat Infeksi Sulianti Saroso
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanegara
Page 37

Anda mungkin juga menyukai