Anda di halaman 1dari 10

Penentuan Awal Hijriyah Bersama Pemerintah

Penulis: Al Ustadz Qomar ZA


Fiqh, 16 September 2005, 08:34:34
Sebelumnya telah dijelaskan bahwa satu-satunya cara yang dibenarkan syariat untuk
menentukan awal bulan adalah dengan ruyah inderawi, yaitu melihat hilal dengan
menggunakan mata.
Lalu bagaimana dengan adanya perbedaan jarak antara tempat yang satu dengan lainnya,
yang berakibat adanya perbedaan tempat dan waktu munculnya hilal? Inilah yang kita
kenal dengan ikhtilaf mathali. Apakah masing-masing daerah berpegang dengan
mathla-nya (waktu munculnya) sendiri ataukah jika terlihat hilal di satu daerah maka
semuanya harus mengikuti ?
Disini terjadi perbedaan pendapat. Dua pendapat telah disebutkan dalam pertanyaan di
atas dan pendapat ketiga bahwa yang wajib mengikuti ruyah tersebut adalah daerah yang
satu mathla dengannya.
Dari ketiga pendapat itu, nampaknya yang paling kuat adalah yang mengatakan bahwa
jika hilal di satu daerah terlihat maka seluruh dunia harus mengikutinya. Perbedaan
mathla adalah sesuatu yang jelas ada dan tidak bisa dipungkiri. Namun yang menjadi
masalah, apakah perbedaan tersebut berpengaruh dalam hukum atau tidak? Dan menurut
madzhab yang kuat perbedaan tersebut tidak dianggap.
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz menjelaskan masalah ini ketika ditanya
apakah manusia harus berpuasa jika mathla-nya berbeda?
Beliau menjawab, yang benar adalah bersandar pada ruyah dan tidak menganggap
adanya perbedaan mathla karena Nabi Shallallahu alaihi wassalam memerintahkan
untuk bersandar dengan ruyah dan tidak merinci pada masalah itu. Nabi Shallallahu
alaihi wassalam tidak mengisyaratkan kepada perbedaan mathla padahal beliau
mengetahui hal itu. (Tuhfatul Ikhwan, hal. 163)
Dikisahkan ketika seorang Arab Badui melapor kepada Nabi Shallallahu alaihi wassalam
bahwa ia menyaksikan hilal, maka Nabi menerimanya padahal ia berasal dari daerah lain
dan Nabi juga tidak minta penjelasan apakah mathla-nya berbeda atau tidak. (Majmu
Fatawa, 25/103)
Hal ini mirip dengan pengamalan ibadah haji jaman dahulu di mana seorang jamaah haji
masih terus berpegang dengan berita para jamaah haji yang datang dari luar tentang
adanya ruyah hilal. Juga seandainya kita buat sebuah batas, maka antara seorang yang
berada pada akhir batas suatu daerah dengan orang lain yang berada di akhir batas yang
lain, keduanya akan memiliki hukum yang berbeda. Yang satu wajib berpuasa dan yang
satu lagi tidak. Padahal tidak ada jarak antara keduanya kecuali seukuran anak panah.
Dan yang seperti ini bukan termasuk dari agama Islam. (Majmu Fatawa, 25/103-105)

Karena perbedaan mathla diabaikan, maka bila hilal terlihat di suatu daerah berarti
daerah-daerah lain wajib mengikuti, jika mereka mendapatkan berita tersebut dari sumber
yang bisa dipercaya.
Dijelaskan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah bahwa ini adalah madzhab jumhur
ulama. Beliau berkata:
Dan banyak ulama ahli tahqiq (peneliti) telah memilih madzhab jumhur ini, diantara
mereka adalah Ibnu Taimiyyah rahimahullah sebagaimana dalam Majmu Fatawa juz 25,
Asy-Syaukani dalam Nailul Authar, dan Shiddiq Hasan Khan dalam Ar-Raudhatun
Nadiyyah dan selain mereka. Itulah yang benar, tiada yang benar selainnya dan ini tidak
bertentangan dengan hadits Abdullah Ibnu Abbas radiyallahu anhum (yang
menjelaskan bahwa ketika penduduk Madinah diberitahu bahwa penduduk Syam melihat
hilal lebih dulu dari mereka, Ibnu Abbas radiyallahu anhum tetap memakai ruyah
penduduk Madinah sampai puasa 30 hari atau sampai melihat hilal-red) karena beberapa
alasan yang telah disebut oleh Asy-Syaukani rahimahullah. Dan mungkin alasan yang
paling kuat adalah bahwa hadits Ibnu Abbas radiyallahu anhum datang dalam perkara
orang yang berpuasa sesuai dengan ruyah yang ada di daerahnya, kemudian di tengahtengah bulan Ramadhan sampai kepada mereka berita bahwa orang-orang di daerah lain
telah melihat hilal sehari sebelumnya. Dalam keadaan ini ia terus melakukan puasa
bersama orang-orang di negerinya sampai 30 hari atau mereka melihat hilal sendiri.
Dengan pemahaman seperti ini maka hilanglah musykilah (problem) dalam hadits itu.
Sedangkan hadits Abu Hurairah Radiyallahu anhu yang berbunyi:
Puasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah karena melihatnya.
[Muttafaqun alaihi, lihat takhrijnya dalam Al-Irwa, no. 902-red]
dan yang lainnya, berlaku sesuai dengan keumumannya, mencakup semua yang
mendapat berita tentang adanya hilal dari negeri atau daerah mana saja tanpa ada
pembatas jarak sama sekali, sebagaimana dikatakan Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam
Majmu Fatawa (25/107).
Pertukaran informasi tentang hilal ini tentu saja bukan hal yang sulit di jaman kita ini.
Hanya saja memang dibutuhkan kepedulian dari negara-negara Islam sehingga dapat
mempersatukan 1 Syawwal, insya Allah .
Dan selama belum bersatunya negeri-negeri Islam, maka saya berpendapat bahwa
masyarakat di setiap negara harus puasa bersama negara (pemerintah) dan tidak
memisahkan diri sehingga sebagian orang berpuasa bersama pemerintah dan sebagian
lain bersama yang lainnya, baik mendahului puasa atau lebih akhir karena yang demikian
bisa mempertajam perselisihan dalam masyarakat sebagaimana terjadi pada sebagian
negara-negara Arab sejak beberapa tahun lalu. Wallahul mustaan. (Tamamul Minnah,
hal. 398)
Bolehkah seseorang atau sekelompok orang menyendiri dari mayoritas masyarakat di
negerinya dalam memulai puasa atau mengakhirinya, walaupun berdasarkan ruyah?
Untuk menjawab masalah ini, sebelumnya kita mesti mengetahui bahwa ketentuan itu
(memulai dan mengakhiri puasa) adalah wewenang pemerintah atau pihak yang diserahi

masalah ini. Hal itu sebagaimana dikatakan Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah dalam
masalah pemerintah: Mereka mengurusi lima urusan kita, shalat Jumat, shalat jamaah,
Ied, perbatasan dan hukum had. Demi Allah, agama ini tidak akan tegak kecuali dengan
mereka walaupun mereka itu dzalim dan curang. Demi Allah, sungguh apa yang Allah
perbaiki dengan mereka lebih banyak dari apa yang mereka rusak (Muamalatul
Hukkam, hal. 7-8)
Hal yang serupa dinyatakan juga oleh As-Sindi dan Al-Albani sebagaimana akan nampak
dalam penjelasan yang akan datang. Jadi ini bukan tugas atau urusan individu atau
kelompok tapi ini adalah urusan pemerintah. Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah
menyebutkan sebuah hadits dalam Silsilah As-Shahihah (1/440):
Puasa adalah hari puasanya kalian, berbuka adalah hari berbukanya kalian dan Iedul
Adha adalah hari kalian menyembelih. (Shahih, HR. At-Tirmidzi dari Abu Hurairah
Radiyallahu anhu, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam AshShohihah, no. 224)
Beliau melanjutkan menerangkan hadits itu, katanya: At-Tirmidzi berkata setelah
menyebutkan hadits itu: Sebagian ahlul ilmi menafsirkan hadits ini, mengatakan bahwa
maknanya adalah berpuasa dan berbuka dilakukan bersama jamaah dan kebanyakan
manusia.
Ash-Shanani rahimahullah berkata dalam Subulus Salam (2/72): Di dalamnya terdapat
dalil agar menganggap ketetapan Ied itu bersamaan dengan manusia dan bahwa yang
menyendiri dalam mengetahui hari Ied dengan melihat hilal maka ia wajib
menyesuaikan diri dengan manusia. Dan wajib baginya (mengikuti) hukum mereka
dalam hal shalat, berbuka, dan menyembelih (Iedul Adha).
Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan hal yang semakna dengannya dalam kitabnya
Tahdzibus Sunan (3/214), katanya: Dikatakan bahwa di dalam hadits itu ada bantahan
atas orang yang mengatakan sesungguhnya orang yang mengetahui terbitnya bulan
dengan hisab boleh puasa sendirian di luar mereka yang belum tahu. Dikatakan pula,
sesungguhnya satu orang saksi jika melihat hilal dan hakim belum menerima
persaksiannya, maka hari tersebut tidak menjadi hari puasa baginya sebagaimana tidak
menjadi hari puasa bagi manusia (yang lain).
Abul Hasan As-Sindi mengatakan dalam Hasyiyah (catatan kaki)-nya terhadap Ibnu
Majah setelah menyebutkan hadits Abu Hurairah Radiyallahu anhu riwayat At-Tirmidzi:
Nampaknya perkara-perkara ini tidak ada celah bagi individu-individu untuk masuk di
dalamnya. Tidak bisa mereka menyendiri dalam masalah tersebut, bahkan perkara itu
diserahkan kepada pemerintah dan jamaah masyarakat. Dan wajib bagi setiap orang
untuk mengikuti pemerintah dan jamaah masyarakat. Atas dasar ini, jika seseorang
melihat hilal lalu imam/pemerintah menolak persaksiannya maka mestinya ia tidak
menetapkan untuk dirinya sesuatu apapun dari perkara ini dan wajib baginya untuk
mengikuti jamaah masyarakat.
Saya (Al-Albani) katakan: Makna inilah yang langsung dipahami dalam hadits, dan itu

didukung oleh perbuatan Aisyah Radiyallahu anha yang berhujjah dengannya kepada
Masruq ketika ia tidak mau puasa Arafah karena khawatir ternyata itu hari nahr (10
Dzulhijjah, yakni hari raya). Maka Aisyah Radiyallahu anha terangkan bahwa
pendapatnya itu tidak bisa dianggap dan wajib baginya mengikuti kebanyakan manusia,
lalu Aisyah Radiyallahu anha berkata:
Hari nahr adalah ketika orang-orang menyembelih dan Iedul Fithri adalah ketika orangorang berbuka. (Al-Mushannaf Abdurrazaq, 4/157)
Saya katakan (Al-Albani): Inilah yang cocok bagi syariat yang toleran, yang diantara
tujuannya adalah menyatukan manusia dan barisan mereka serta menjauhkan mereka dari
dari pendapat-pendapat pribadi yang menceraiberaikan kesatuan mereka. Syariat tidak
menganggap pendapat pribadi walaupun itu benar dari sisi pandangnya- dalam ibadah
yang sifatnya berjamaah seperti puasa, Ied, dan shalat berjamaah.
Tidakkah engkau melihat bahwa para shahabat shalat di belakang yang lain padahal
diantara mereka ada yang berpendapat bahwa menyentuh wanita, kemaluan, dan
keluarnya darah membatalkan wudhu, dan diantara mereka juga ada yang tidak
berpendapat demikian.
Diantara mereka ada yang melakukan shalat 4 rakaat dalam safar dan diantaranya juga
ada yang 2 rakaat. Namun demikian perbedaan ini dan yang lain tidak menghalangi
mereka untuk bersama-sama dalam melakukan shalat di belakang satu imam dan
menganggap shalat itu sah.
Hal itu karena mereka mengetahui bahwa perpecahan dalam agama lebih jelek daripada
perbedaan dalam sebagian pendapat. Maka hendaknya mereka memperhatikan hadits ini
dan riwayat yang disebutkan. Yaitu mereka yang mengaku-aku mengetahui ilmu falak,
yang memulai puasa sendiri dan berbuka sendiri, mendahului atau membelakangi
mayoritas muslimin dengan bersandar pada pendapat dan ilmunya tanpa peduli manakala
keluar dari jamaah.
Hendaknya mereka semua memperhatikan apa yang kami sebut dari ilmu ini. Barangkali
mereka akan mendapatkan obat dari kebodohan dan kesombongan yang menimpa
mereka, sehingga mereka menjadi satu shaf bersama kaum muslimin karena
sesungguhnya tangan Allah Taala bersama jamaah. (Silsilah Ash-Shahihah, 1/443-445,
lihat pula anjuran beliau yang telah disebut dalam Tamamul Minnah hal. 398)
Syaikul Islam Ibnu Tamiyyah rahimahullah ditanya:
Seseorang melihat hilal sendirian dan benar-benar melihatnya, apakah dia boleh berbuka
dan berpuasa sendirian atau bersama kebanyakan manusia?
Beliau menjawab: Alhamdulillah, jika dia melihat hilal maka berpuasa atau berbuka
sendirian, apakah ia berkewajiban untuk berpuasa dengan ruyah-nya dan berbuka
dengan ruyah sendiri, atau tidak puasa serta berbuka kecuali bersama manusia. Maka
dalam hal ini ada tiga pendapat dan tiga riwayat dari Al-Imam Ahmad:
1. Dia wajib berpuasa atau berbuka dengan sembunyi-sembunyi, dan ini adalah madzhab
Asy-Syafii.

2. (Mulai) berpuasa sendiri dan tidak berbuka kecuali kecuali bersama manusia. Dan itu
yang masyhur dari pendapat Ahmad, Malik, dan Abu Hanifah.
3. Berpuasa bersama manusia dan berbuka juga bersama manusia.
Yang ketiga adalah pendapat yang paling kuat : berdasarkan sabda Nabi
Puasa kalian adalah pada hari kalian berpuasa, berbukanya kalian adalah ketika kalian
berbuka dan hari Iedul Adha kalian adalah tatkala kalian menyembelih. Riwayat AtTirmidzi dan beliau katakan hasan gharib, diriwayatkan pula oleh Abu Dawud dan Ibnu
Majah, dan ia menyebutkan buka dan Iedul Adha saja. (Hadits ini dishahihkan oleh
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Silsilah Ash-Shahihah, no. 224)
At-Tirmidzi juga meriwayatkan dari Abu Hurairah Radiyallahu anhu bahwa Rasulullah
Shallallahu alaihi wassalam bersabda:
Puasa adalah pada hari kalian berpuasa, berbuka adalah hari ketika kalian berbuka, dan
Iedul Adha adalah hari ketika kalian menyembelih. (At-Tirmidzi mengatakan bahwa
(hadits ini) hasan gharib)
Beliau juga mengatakan, sebagian ahlul ilmi menafsirkan hadits ini dengan perkataan:
Sesungguhnya makna hadits ini adalah berpuasa dan berbuka dilakukan bersama jamaah
manusia dan kebanyakan manusia.
Abu Dawud meriwayatkan dengan sanad lain dari Abu Hurairah Radiyallahu anhu:
Berbukanya kalian adalah hari tatkala kalian berbuka dan Adha kalian adalah hari kalian
menyembelih. Semua tanah Arafah adalah tempat wuquf, semua tanah Mina adalah
tempat menyembelih, dan semua gang-gang Makkah adalah tempat menyembelih, dan
semua tanah jam (Muzdalifah) adalah tempat wuquf. (Dishahihkan oleh Asy-Syaikh
Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 2324)
Asal permasalahan ini yaitu bahwa Allah Taala mengaitkan hukum-hukum syari dengan
nama hilal (bulan sabit) dan syahr (bulan) seperti hukum puasa, berbuka, dan
menyembelih. Allah Taala berfirman:
Dan mereka bertanya kepadamu tentang hilal-hilal. Katakanlah itu untuk manusia dan
untuk (ibadah) haji. (Al-Baqarah: 189)
Allah Taala terangkan bahwa itu adalah waktu-waktu bagi manusia dan haji. Allah
Taala berfirman:
.

Diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum


kalian agar kalian bertakwa, (yaitu) dalam beberapa hari tertentu. Maka barangsiapa
diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah
baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan
wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa)
membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan
kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa
lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (Al-Baqarah: 183-185)

Allah Taala wajibkan puasa bulan Ramadhan dan ini disepakati kaum muslimin. Yang
diperselisihkan manusia adalah apakah hilal itu sebutan untuk sesuatu yang muncul di
langit walaupun manusia tidak mengetahuinya yang dengan itu berarti telah masuk bulan
(baru), ataukah hilal itu merupakan sebutan untuk sesuatu yang manusia mengeraskan
suara padanya (maksudnya mengumumkannya sehingga diketahui oleh banyak orang),
dan makna syahr adalah yang tersohor/ terkenal diantara manusia. Dalam masalah ini ada
dua pendapat:
Orang yang berpendapat dengan pendapat pertama mengatakan bahwa barangsiapa yang
melihat hilal sendirian, berarti dia telah masuk waktu puasa dan bulan Ramadhan telah
masuk bagi dirinya. Malam itu termasuk malam Ramadhan walaupun yang lainnya belum
mengetahui. Orang yang tidak melihatnya dan kemudian mengetahui bahwa ternyata hilal
sudah muncul, berarti ia harus meng-qadha puasa. Begitu pula -menurut qiyas- pada
bulan berbuka (Syawwal) dan pada bulan menyembelih (Iedul Adha). Namun pada
bulan penyembelihan, saya (Ibnu Taimiyah) tidak mengetahui ada yang mengatakan
bahwa barangsiapa yang melihat hilal (lebih dahulu) berarti melakukan wuquf sendirian
tanpa jamaah haji yang lain, lalu hari setelahnya menyembelih, melempar jumrah
aqabah, dan ber-tahallul tanpa jamaah haji yang lain.
Namun mereka berbeda pendapat dalam masalah berbuka. Kebanyakan ulama
menyamakannya dengan (masalah) menyembelih dan mengatakan tidak boleh berbuka
kecuali bersama kaum muslimin yang lain, sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa
memulai berbuka sama dengan memulai puasa. Bertolak belakangnya pendapat-pendapat
ini menunjukkan bahwa yang benar adalah berbuka itu seperti masalah menyembelih
pada bulan Dzulhijjah (maksudnya tidak boleh menyendiri).
Atas dasar itu, maka syarat hilal dan syahr adalah terkenalnya diantara manusia dan
pengumuman manusia tentangnya. Sehingga walaupun yang melihatnya 10 orang tapi
tidak dikenal diantara manusia di daerah itu, karena persaksian mereka ditolak atau
karena mereka tidak mempersaksikan, maka hukum mereka seperti hukum seluruh
muslimin (yang lain). Sehingga mereka tidak wuquf, tidak menyembelih qurban, dan
tidak shalat Ied kecuali bersama muslimin. Demikian juga tidak berpuasa kecuali
bersama muslimin, dan ini makna ucapan Nabi n:
Puasa kalian adalah pada hari kalian berpuasa, bukanya kalian adalah ketika kalian
berbuka dan hari Iedul Adha kalian adalah hari tatkala kalian menyembelih.
Oleh karena itu Al-Imam Ahmad rahimahullah mengatakan dalam riwayatnya: Berpuasa
bersama imam dan jamaah muslimin dalam keadaan udara cerah maupun mendung.
Beliau juga mengatakan: Tangan Allah bersama Al-Jamaah.
Atas dasar ini muncullah perbedaan hukum awal bulan. Apakah itu berarti (awal) bulan
bagi penduduk negeri seluruhnya atau bukan. Allah Taala menerangkan yang demikian
itu dalam firman-Nya:
Maka barangsiapa yang menyaksikan bulan hendaknya ia berpuasa padanya. (AlBaqarah: 185)
Allah Taala hanyalah memerintahkan untuk berpuasa bagi yang menyaksikan bulan

(waktu/syahr), dan menyaksikan itu tidak bisa dilakukan kecuali pada bulan yang telah
terkenal (sebagaimana keterangan makna syahr yang telah lalu) diantara manusia
sehingga bisa tergambarkan bagaimana menyaksikannya atau bagaimana tidak
menyaksikannya.
Sabda Nabi Shallallahu alaihi wassalam:
Jika kalian melihatnya maka puasalah padanya dan jika kalian melihatnya maka
berbukalah padanya dan puasalah dari rembulan kepada rembulan.
Yang semacam itu adalah pembicaraan yang ditujukan kepada jamaah manusia. Akan
tetapi barangsiapa yang berada pada suatu tempat yang tidak ada orang selain dirinya,
jika dia melihat hilal maka hendaknya ia berpuasa, karena di sana tidak ada orang
selainnya. Atas dasar ini, seandainya ia tidak berpuasa lalu ia mengetahui dengan jelas
bahwa hilal dilihat di tempat lain atau diketahui di pertengahan siang, maka ia tidak wajib
meng-qadha-nya. Ini adalah salah satu dari dua riwayat dari Al-Imam Ahmad.
(Alasannya) karena awal bulan baru dianggap masuk pada mereka sejak tersebar (bila
belum tersebar maka artinya belum masuk -red). Dan saat itu wajib menahan diri (dari
segala yang membatalkan puasa) seperti pada kejadian Asyura yang diperintahkan puasa
di tengah hari dan tidak diperintah untuk meng-qadha-nya menurut madzhab yang shahih.
Dan hadits mengenai qadha dalam hal ini adalah hadits yang lemah. Wallahu alam.
(Majmu Fatawa, 25/114-118)
Bagaimana jika penguasa menolak persaksian sekelompok orang dalam melihat hilal
tanpa alasan yang syari, karena alasan politis atau yang lain. Apakah kita mengikutinya
atau mengikuti ruyah hilal walaupun tidak diakui pemerintah?
Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjawab dalam Majmu Fatawa (15/202-208): Ketika
beliau ditanya tentang penduduk suatu kota yang melihat hilal Dzulhijjah akan tetapi
tidak dianggap oleh penguasa negeri itu, apakah boleh mereka melakukan puasa yang
nampaknya tanggal 9 padahal hakekatnya adalah tanggal 10?
Beliau menjawab: Ya, mereka berpuasa pada tanggal 9 (yakni hari Arafah) yang nampak
dan yang diketahui jamaah manusia walaupun pada hakekatnya tanggal 10 (yakni Iedul
Adha) meski seandainya ruyah itu benar-benar ada. Karena dalam kitab-kitab Sunan dari
shahabat Abu Hurairah Radiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu alaihi wassalam
bahwasanya beliau berkata:
Puasa kalian adalah pada hari kalian berpuasa, bukanya kalian adalah ketika kalian
berbuka dan hari Iedul Adha kalian adalah hari tatkala kalian menyembelih.
(Dikeluarkan oleh Abu Dawud, Ibnu Majah dan At-Tirmidzi dan beliau
menshahihkannya)
Dari Aisyah Radiyallahu anha ia berkata, Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam
bersabda: Berbuka adalah ketika manusia berbuka dan Iedul Adha adalah ketika
manusia menyembelih. (HR. At-Tirmidzi dan beliau katakan ini yang diamalkan
menurut para imam kaum muslimin seluruhnya)
Seandainya manusia melakukan wuquf di Arafah pada tanggl 10 karena salah
(menentukan waktu) maka wuquf itu cukup (sah), dengan kesepakatan para ulama, dan
hari itu dianggap hari Arafah bagi mereka. Bila mereka wuquf pada hari kedelapan

karena salah menentukan bulan, maka dalam masalah sahnya wuquf ini ada perbedaan.
Yang nampak, wuqufnya juga sah dan ini adalah salah satu dari dua pendapat dalam
madzhab Malik dan Ahmad serta yang lainnya.
Aisyah Radiyallahu anha berkata:

Sesungguhnya hari Arafah adalah hari yang diketahui manusia.


Asal permasalahan ini adalah bahwasanya Allah Taala menggantungkan hukum dengan
hilal dan syahr (bulan, sebutan waktu). Allah Taala berfirman:
Mereka bertanya tentang bulan sabit. Katakanlah: Bulan sabit itu adalah tanda-tanda
waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji; Dan bukanlah kebajikan memasuki rumahrumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa.
Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah
agar kalian beruntung. (Al-Baqarah: 189)
Hilal adalah sebutan untuk sesuatu yang diumumkan dan dikeraskan suara padanya.
Maka jika hilal muncul di langit dan manusia tidak mengetahui atau tidak
mengumumkannya maka tidak disebut hilal. Demikian pula sebutan syahr diambil dari
kata syuhrah (kemasyhuran). Bila tidak masyhur diantara manusia maka berarti bulan
belum masuk.
Banyak manusia keliru dalam masalah ini karena sangkaan mereka bahwa jika telah
muncul hilal di langit maka malam itu adalah awal bulan, sama saja apakah ini nampak
dan masyhur di kalangan manusia dan mereka mengumumkannya ataupun tidak. Padahal
tidak seperti itu. Bahkan terlihatnya hilal oleh manusia serta diumumkannya adalah
perkara yang harus. Oleh karena itu Nabi Shallallahu alaihi wassalam bersabda:
Puasa kalian adalah pada hari kalian berpuasa, bukanya kalian adalah ketika kalian
berbuka dan hari Iedul Adha kalian adalah hari tatkala kalian menyembelih.
Maksudnya, yaitu hari yang kalian tahu bahwa itu waktu puasa, berbuka dan Iedul Adha.
Berarti jika tidak kalian ketahui, maka tidak berakibat adanya hukum. Dan berpuasa pada
hari yang diragukan apakah itu tanggal 9 atau 10 Dzulhijjah itu diperbolehkan tanpa ada
pertentangan diantara ulama. Karena pada asalnya tanggal 10 itu belum ada sebagaimana
jika mereka ragu pada tanggal 30 Ramadhan, apakah telah terbit hilal ataukah belum?
(Dalam keadaan semacam ini) mereka (tetap) berpuasa pada hari yang mereka ragukan
padanya, dengan kesepakatan para imam. Dan hari syak (yang diragukan) yang
diriwayatkan bahwa dibenci puasa padanya adalah awal Ramadhan karena pada asalnya
adalah Syaban [1].
Yang membuat rancu dalam masalah ini adalah dua perkara:
Pertama, seandainya seseorang melihat hilal Syawwal sendirian atau dia dikabari oleh
sekelompok manusia yang ia ketahui kejujuran mereka, apakah dia berbuka atau tidak?
Kedua, kalau dia melihat hilal Dzulhijjah atau dikabari sekelompok orang yang ia ketahui
kejujurannya apakah ini berarti hari Arafah -buatnya- serta hari nahr adalah tanggal 9 dan
10 sesuai dengan ruyah ini -yang tidak diketahui manusia (secara umum)- atau hari

Arafah dan nahr adalah tanggal 9 dan 10 yang diketahui manusia (secara umum)?
Adapun masalah pertama, orang yang sendirian melihat hilal maka tidak boleh berbuka
dengan terang-terangan sesuai dengan kesepakatan ulama. Kecuali jika ia punya udzur
yang membolehkan berbuka seperti sakit atau safar. Kemudian, apakah ia (yang melihat
hilal) boleh berbuka dengan sembunyi-sembunyi? Ada dua pendapat diantara ulama,
yang paling benar adalah yang tidak berbuka (walaupun) sembunyi-sembunyi. Dan ini
adalah yang masyhur dari madzhab Al-Imam Malik dan Ahmad.
Ada riwayat lain pada madzhab mereka berdua untuk berbuka secara sembunyi-sembunyi
seperti yang masyhur dari madzhab Abu Hanifah dan Asy-Syafii.
Telah diriwayatkan bahwa dua orang pada jaman Umar Radiyallahu anhu melihat hilal
Syawwal. Salah satunya berbuka dan yang lain tidak. Tatkala berita yang demikian
sampai kepada Umar, ia berkata kepada yang berbuka: Kalau bukan karena temanmu,
maka aku akan menyakitimu dengan pukulan. [2]
Hal itu disebabkan bahwa yang namanya berbuka adalah hari yang manusia berbuka
padanya yaitu hari Ied (hari raya) sedang hari yang orang tersebut -yang melihat hilal
sendiri- berpuasa padanya bukanlah merupakan hari raya yang Nabi Shallallahu alaihi
wassalam melarang manusia untuk berpuasa padanya, karena sesungguhnya beliau
Shallallahu alaihi wassalam melarang puasa pada hari Iedul Fithri dan hari nahr
(qurban) (dengan sabdanya): Adapun salah satunya adalah hari berbukanya kalian dari
puasa. Yang lain adalah hari makannya kalian dari hasil sembelihan kalian. Maka yang
beliau larang untuk berpuasa padanya adalah hari yang kaum muslimin tidak berpuasa
padanya. Dan hari yang mereka melakukan penyembelihan padanya, dan ini akan jelas
dengan masalah yang kedua. (Ini juga pendapat Asy-Syaikh Ibnu Baz t, lihat Fatawa
Ramadhan, 1/65 dan Al-Albani dalam Tamamul Minnah, hal. 398)
Masalah kedua, seandainya seseorang melihat hilal Dzulhijjah maka dia tidak boleh
melakukan wuquf sebelum hari yang nampak buat manusia yang lain adalah tanggal 8
Dzulhijjah walaupun berdasarkan ruyah adalah tanggal 9 Dzulhijjah. Hal ini karena
kesendirian seseorang dalam hal wuquf dan menyembelih mengandung penyelisihan
terhadap manusia. Ini seperti yang ada pada saat seseorang menampakkan buka puasanya
(sendirian).
Boleh jadi seseorang akan mengatakan bahwa imam yang menetapkan masalah hilal
dengan menyepelekan masalah ini karena dia menolak persaksian orang-orang yang adil,
mungkin karena meremehkannya dalam masalah menyelidiki keadilan para saksi, atau ia
menolak lantaran ada permusuhan antara dia dan para saksi, atau selainnya dari sebabsebab yang tidak syari, atau karena imam berpijak pada pendapat ahli bintang yang
mengaku bahwa dia melihatnya.
Maka jawabannya adalah bahwa sesuatu yang telah tetap hukumnya, keadaannya tidak
berbeda antara yang diikuti dalam hal penglihatan hilal, baik dia itu mujtahid yang benar
dalam ijtihadnya ataupun salah ataupun menyepelekan. Yang penting bahwa jika hilal
tidak nampak dan tidak terkenal di mana manusia mencari-carinya (maka awal bulan
belum tetap) -padahal telah terdapat dalam kitab Ash-Shahih bahwa Nabi Shallallahu
alaihi wassalam bersabda dalam masalah para imam:
Mereka itu shalat untuk kalian, jika mereka benar maka (pahala shalat) itu untuk kalian
dan untuk mereka, namun jika mereka salah maka untuk kalian pahalanya dan

kesalahannya ditanggung mereka. (Shahih, HR. Al-Bukhari dari Abu Hurairah z)


Maka kesalahan dan penyepeleannya ditanggung imam, tidak ditanggung muslimin yang
mereka tidak melakukan peremehan dan tidak salah.
Wallahu a'lam.
Footnote :
1. Ibnul Mundzir menukilkan ijma' bahwa puasa pada tanggal 30 Syaban jika hilal
belum dilihat padahal udara cerah tidak wajib dengan kesepakatan (ijma') umat. Dan
telah shahih dari mayoritas para shahabat dan tabiin membenci puasa di hari itu. Ibnu
Hajar mengatakan: demikian beliau (Ibnul Mundzir) memutlakkan dan tidak merinci
antara ahli hisab atau yang lainnya, maka barang siapa yang membedakan antara mereka,
dia telah dihujat oleh ijma'. (Fathul Bari, 4/123)
2. Riwayat Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf (4/165, no. 7338) melalui jalan Abu
Qilabah Al-Jarmi dari Umar bin Al-Khaththab Radiyallahu anhu dan Abu Qilabah tidak
pernah bertemu Umar Radiyallahu anhu berarti sanad ini terputus. Akan tetapi Ibnu
Taimiyyah rahimahullah tidak bertumpu pada riwayat ini. Riwayat ini hanya sebagai
pendukung.
(Dikutip dari tulisan al Ustadz Qomar ZA, judul asli Penentuan Awal Bulan Hijriyah,
dari Majalah As Syariah Edisi Khusus Ramadhan, url sumber :
http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=293)

Anda mungkin juga menyukai