Presiden baru saja mengeluarkan Perpres Nomor 19 Tahun 2016 tentang Jaminan Kesehatan.
Salah satu hal yang kontroversial di dalamnya adalah kenaikan iuran.
Terdapat kritikan dari berbagai pihak bahwa masyarakat terbebani kenaikan iuran ini. Pemerintah
menegaskan, penyesuaian iuran tidak berlaku untuk semua peserta; tetapi hanya bagi mereka
yang mampu, yakni dari kategori peserta pekerja bukan penerima upah (PBPU) dan peserta
bukan pekerja. Iuran masyarakat miskin dan tidak mampu ditanggung pemerintah sesuai UU
Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Dalam konteks kenaikan iuran ini, ideologi yang dianut pemerintah dalam Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN) perlu dianalisis. Catatan pertama, pemerintah menempatkan kenaikan ini di
kelompok PBPU (non-penerima bantuan iuran [PBI] mandiri) dengan persentase terbesar di
kelompok PBPU kelas 1: dari Rp 59.500 menjadi Rp 80.000. Catatan kedua, pemerintah tidak
terlalu tinggi menaikkan PBI.
Subsidi salah sasaran
Tindakan pemerintah ini benar karena klaim rasio PBI masih di bawah 100 persen. Utilisasi PBI
masih rendah karena berbagai faktor, termasuk akses ke pelayanan kesehatan. Pemerintah mulai
menggunakan logika adanya pagar-pagar yang membentuk kompartemen dalam sistem BPJS
Kesehatan yang single pool. Pagar-pagar ini berfungsi mengelompokkan pendapatan dan
pengeluaran bagi tiga kelompok besar anggota: PBI, pekerja penerima upah, dan PBPU.
Dalam dua tahun perjalanan JKN, kelompok-kelompok anggota BPJS Kesehatan ternyata
berbeda karakteristiknya. Klaim rasio kelompok PBI ada di bawah 100 persen untuk sekitar 90
juta orang. Penggunaan pelayanan kesehatan kelompok PBI yang miskin masih rendah.
Sementara kelompok PBPU yang relatif tidak miskin dengan tiga pilihan premi (kelas I, II, III)
mempunyai penggunaan yang tinggi. Dibandingkan PBI, jumlah kelompok ini rendah, sekitar 13
juta, tetapi rasio klaimnya jauh lebih tinggi. Pada November 2014 pernah sampai 1.300 persen
dan saat ini diperkirakan 400-500 persen.
Karena sifat single pool BPJS, dalam dua tahun terakhir ini diduga keras ada fenomena subsidi
salah sasaran. Dana PBI yang seharusnya untuk masyarakat miskin terpakai untuk kelompok
non-PBI. Penelitian FK-UGM di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) pada 2014 dan 2015
menemukan dana PBI yang tidak habis terpakai karena keterbatasan akses ke pelayanan rumah
sakit. Dana PBI yang tidak terpakai di NTT ini tetap berada di kantor pusat BPJS Kesehatan. Ada
kemungkinan dana itu digunakan di daerah lain oleh kelompok yang kekurangan.
Oleh karena itu, pemerintah sudah benar dalam menaikkan iuran premi kelompok PBPU,
terutama premi kelas 1. Jika PBI saja yang dinaikkan tanpa perbaikan akses pelayanan
kesehatan, berarti akan terjadi subsidi salah sasaran yang semakin besar. Pertanyaan lebih lanjut:
mengapa Rp 80.000? Mengapa tidak Rp 300.000? Apakah dengan kenaikan ini subsidi salah
sasaran sudah dapat dicegah?
Di sinilah perspektif ideologi dalam kebijakan JKN perlu dipergunakan. Apakah JKN pro
masyarakat miskin dan yang di tempat jauh, atau apakah pro masyarakat menengah ke atas di
kota-kota besar? Apakah layak dana PBI (yang tidak terpakai) diberikan ke masyarakat tidak
miskin? Apakah layak masyarakat pembeli premi BPJS PBPU yang kelas I (masyarakat kaya)
menerima dana APBN?
Patut dicatat, pajak perorangan yang dibayar di Indonesia tidak progresif dan rendah jumlahnya.
Banyak wajib pajak yang tidak patuh membayar ataupun tidak mendaftar.
Harapan pada pemerintah
Ada beberapa hal yang perlu dilakukan pemerintah setelah terbitnya Perpres 19/2016 agar
masyarakat miskin dan daerah sulit dapat lebih diperhatikan. Pertama, pemerintah wajib
memperbaiki ketimpangan rumah sakit dan jumlah tenaga medik yang masih sangat besar. Tanpa
penyeimbangan pemberian pelayanan, ketidakadilan antarwilayah (ketimpangan geografis) dan
antarkelompok peserta (ketimpangan sosial ekonomi) akan terus meningkat.
Kedua, diharapkan pemerintah menggunakan perhitungan aktuarial untuk mencegah salah
subsidi antarkelompok dan antardaerah. Perhitungan aktuarial diperlukan karena sudah dua tahun
ini kewajiban bagi seluruh masyarakat untuk menjadi anggota BPJS belum berjalan. Andaikata
wajib dengan paksaan, akan ada kesulitan karena ketimpangan sisi penyedia pelayanan.
Masyarakat yang membayar premi 80.000 di DKI akan mendapat banyak manfaat medik sampai
bedah jantung terbuka. Sementara peserta di NTT sulit mendapatkan yang setara, kecuali harus
terbang ke Jakarta.
Ketiga, pemerintah diharapkan menyusun kebijakan pembatasan bagi masyarakat mampu. Di
atas nilai tertentu, misal untuk penyakit katastropik di atas Rp 150 juta setahun, peserta non-PBI
yang mampu harus membayar sendiri langsung dari kantong atau membeli asuransi kesehatan
katastropik, yang dipakai hanya untuk membayar penyakit-penyakit katastropik.
Keempat, pemerintah memerintahkan BPJS Kesehatan untuk menjalankan kebijakan
kompensasi. Dana kenaikan PBI yang menjadi Rp 23.000 harus diarahkan ke masyarakat miskin
secara tepat sasaran. Berdasarkan UU 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, yang
diatur lebih lanjut dengan Permenkes 71/2013 (Pasal 30), dinyatakan, "Dalam hal di suatu daerah
belum tersedia fasilitas kesehatan yang memenuhi syarat guna memenuhi kebutuhan medis
sejumlah peserta, BPJS Kesehatan wajib memberikan kompensasi. Kompensasi diberikan dalam
bentuk penggantian uang tunai, pengiriman tenaga kesehatan, dan penyediaan Fasilitas
Kesehatan tertentu."
Dengan melakukan usaha-usaha ini, akan terlihat lebih jelas ideologi pemerintah untuk
melindungi masyarakat miskin dan yang di daerah terpencil, serta mencegah penggunaan dana
pemerintah yang terbatas oleh masyarakat kaya dan perkotaan secara berlebihan. Pertanyaannya
adalah adakah ideologi ini dalam kebijakan pemerintah di JKN? Apakah anggota DPR juga
mempunyai ideologi ini?
LAKSONO TRISNANTORO, DEPARTEMEN KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN
KESEHATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS GADJAH MADA Versi cetak
artikel ini terbit di harian Kompas edisi 22 Maret 2016, di halaman 6 dengan judul "Ideologi
dalam Kenaikan Iuran BPJS"
menyimpan dan memberikan vaksin yang justru palsu kepada masyarakat (pasien), padahal tidak
ada satupun dasar hukum yang membolehkan mereka mereka ini melakukan pekerjaan
kefarmasian. Tidak bisa dipungkiri, kita semua membutuhkan obat dan vaksin termasuk
suplemen berupa vitamin agar tidak sakit, karena itu bisa dibilang obat dan vitamin termasuk
vaksin merupakan kebutuhan penting dalam kehidupan kita. Karena alasan itulah banyak orang
yang nekat bermain Apoteker Apotekeran dengan menjual dan mengedarkan obat dan vaksin
seenaknya untuk memperoleh keuntungan yang besar tanpa pernah merasakan susah payahnya
sekolah untuk menjadi Apoteker sungguhan. Faktor keuntungan yang besar yang tentunya diduga
menjadi alasan utama dari oknum oknum paramedis itu yang akhirnya memberikan vaksin
palsu kepada pasien pasiennya. Tidak mungkin oknum oknum paramedis itu tidak bisa
membedakan mana vaksin asli dan mana vaksin yang palsu. Tidak perlu melakukan penelitian
ilmiah, cukup membandingkan harga beli dari distributor saja sudah dapat terbaca bahwa vaksin
ini palsu atau asli, sebab yaksin asli berharga mahal sedangkan vaksin yang palsu berharga
sangat murah. Itulah mengapa dalam setiap hal yang berhubungan dengan pekerjaan kefarmasian
sebaiknya dan sudah seharusnya peran Apoteker dimaksimalkan, sudah tertulis pada keputusan
Mentri Kesehatan bahwa Apoteker lah yang berhak melakukan pekerjaan kefarmasian bukan
dokter, Perawat apalagi Bidan. Apoteker sudah terbiasa dan terlatih dengan uji organoleptik,
dimana uji indra atau uji sensori sendiri ini merupakan cara pengujian dengan menggunakan
indra manusia sebagai alat utama untuk pengukuran daya penerimaan suatu produk. Pengujian
organoleptik mempunyai peranan penting dalam penerpan mutu karena pengujian organoleptik
dapat memberikan indikasi kebusukan, kemunduran mutu dan kerusakan lainnya dari prooduk
yang diuji ini. Dengan uji organoleptik sederhana yang hanya membutuhkan sampel pembanding
yang sudah diketahui sifatnya ini seorang Apoteker dapat dengan mudah memutuskan bahwa ini
adalah palsu atau tidak (hebat kan Apoteker). Akhirnya semoga dengan kejadian vaksin palsu ini,
masyarakat mulai tersadarkan bahwa tidak dibenarkan profesi lain selain profesi Apoteker
melakukan pekerjaan kefarmasian dan UNTUK MENCEGAH PERISTIWA YANG SAMA
TERULANG LAGI ada baiknya yang selama ini bermain Apoteker - Apotekeran segera
menyudahinya.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/kusnoharyanto/vaksin-palsu-akibat-merekabermain-apoteker-apotekeran_5788aef2c022bdb8083e2aff
Jakarta - Sudah satu bulan lebih Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dijalankan, namun masih
banyak persoalan dalam pelaksanaan teknis di lapangan. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
(BPJS) Kesehatan mencatat masih banyak keluhan masyarakat, terutama soal obat.
Direktur Hukum, Komunikasi, dan Hubungan Antar Lembaga BPJS Kesehatan, Purnawarman
Basundoro, mengemukakan beberapa peserta JKN mengeluhkan masih dibebani pembelian obat.
Juga beberapa peserta mengeluhkan hanya diberikan obat untuk 3-5 hari pada kasus penyakit
yang kronis. Padahal pada program sebelum JKN, obat diberikan untuk 30 hari.
"Memang lebih banyak pengaduan ke kami adalah soal layanan obat, terlebih obat untuk
penyakit kronis, seperti hipertensi, diabetes melitus, dan kemoterapi. Tetapi dengan adanya Surat
Edaran Menkes semoga menjadi solusi," kata Purnawarman pada temu media terkait evaluasi
sebulan pelaksanaan JKN, di Kantor BPJS Kesehatan, Jakarta, Jumat (7/2).
Terkait hal ini, Menteri Kesehatan telah mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor 32/2014 yang
mewajibkan seluruh fasilitas kesehatan lanjutan, yaitu rumah sakit, agar dalam masa transisi
tidak boleh membebani pembelian obat pada pasien. Dalam Peraturan Presiden tentang Jaminan
Kesehatan tidak mengatur adanya iuran biaya bagi peserta. Apabila RS masih iuran biaya, akan
diklarifikasi dan diberi teguran keras.
Purnawarman menjelaskan, di dalam paket Indonesia Case Based Groups (Ina CBGs) sudah
termasuk pelayanan obat dengan acuan Formularium Nasional (Fornas). Fornas adalah daftar
obat yang disusun Kementerian Kesehatan (Kemkes) yang menjadi acuan pelayanan obat di RS.
Kalau pun obat yang dibutuhkan pasien tidak ada dalam Fornas, menurut Purnawarman, RS
harus menyiasati agar obat tersebut tetap diberikan kepada pasien, bukan disuruh membeli
sendiri.
Kemkes sendiri sudah mengeluarkan kebijakan agar obat-obat yang tidak terdaftar di Fornas,
tetapi sangat dibutuhkan peserta JKN. Maka tetap diberikan atas persetujuan komite atau direktur
RS yang bersangkutan.
"RS bisa menyiasati ketersediaan obat ini dalam tarif Ina CBGs," katanya.
Tetapi untuk menjamin ketersediaan obat yang tidak masuk dalam Fornas ini, BPJS Kesehatan
mempertimbangkan untuk menggunakan kembali pola Daftar Plafon Harga Obat (DPHO), yang
dulu pernah digunakan oleh Askes. Sejumlah pihak mengusulkan agar pasien boleh membeli
obat sendiri, lalu di-reimburse (diganti) oleh BPJS Kesehatan.
Namun, menurut Purnawarman, pola tersebut tidak bisa berlakukan karena BPJS Kesehatan
sendiri tidak menggunakan sistem reimburse. Berdasarkan SE Menkes tersebut, RS juga
diwajibkan memberikan resep obat penyakit kronis di luar paket Ina CBGs sesuai dengan
indikasi medis sampai kontrol berikutnya apabila penyakit belum stabil. Resep tersebut dapat
diambil pada depo farmasi atau apotik yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan.
BPJS Kesehatan pun telah mengeluarkan SE, yang intinya menjelaskan bahwa pemberian obat
untuk penyakit kronis dapat langsung diberikan untuk kebutuhan 30 hari. Bagi peserta dengan
penyakit kronis yang telah dinyatakan dalam kondisi stabil oleh dokter spesialis atau sub
spesialis yang merawat, maka peserta tersebut dapat mengikuti program rujuk balik.
Pelayanan program rujuk balik dilakukan di fasilitas kesehatan tingkat pertama, yaitu puskesmas
atau klinik pratama atau dokter praktek umum sesuai dengan peresepan obat yang diberikan oleh
dokter spesialis atau sub spesialis untuk kebutuhan 30 hari.
Untuk pemberian obat kemoterapi, thalasemia, dan hemofilia, selain dapat diberikan di faskes
tingkat III, juga bisa di faskes tingkat II dengan mempertimbangkan kemampuan fasilitas
kesehatan dan komptensi tenaga.
Obat untuk kemoterapi, thalasemia, dan hemofilia dapat diberikan dalam pelayanan rawat jalan
maupun rawat inap. Pada masa transisi, obat kemoterapi baik rawat jalan maupun rawat inap
ditagihkan secara fee for service di luar paket Ina CBGs
anafe/MUT