Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN INDIVIDU

TUTORIAL SKENARIO B BLOK 20


oleh Evlin Kohar / 04011181419064 / Kelas Beta, Kelompok 4
ANALISIS MASALAH
1. Bagaimana perkembangan anak usia 24 bulan?
Motorik
Adaptasi

Bahasa
Sosial

Berlari dengan baik, naik turun tangga, membuka pintu, memanjat


perabotan rumah tangga, melompat.
Membuat menara tujuh tingkat dari kubus, membuat coretan dengan pola
melingkar, meniru gerakan horizontal, meniru melipat kertas dalam sekali
lihat.
Bermain ditandai dengan penambahan kompleksitas dan khayalan, dari
tulisan-tulisan sederhana yang meniru pengalaman umum seperti belanja
dan meletakkan bayi di tempat tidur
Menggunakan tiga kata dalam satu kalimat (subjek, predikat, objek).
Menggunakan sendok dengan baik, dapat membantu membuka baju,
mendengar cerita ketika ditampilkan gambarnya.

2. Apa saja faktor yang dapat menyebabkan keluhan?


Kelainan genetik, keterlambatan pertumbuhan akibat defek neurologis (bisa terjadi akibat
kejang), kelainan neuroanatomi, kelainan metabolisme, infeksi virus.
3. Berapa berat badan lahir normal?
Bayi berat lahir normal dengan berat lahir 2500-4000 gram
4. Bagaimana perkembangan normal sampai anak usia 24 bulan?
Intelektual

Fisik

Sosial

Eksplorasi dengan
tangan dan mulut

Belajar mengangkat
kepala

mengimitasi
ekspresi wajah

Mendorong, melempar,
mengguncang,
menjatuhkan, dan
meletakkan sesuatu di
dalam mulut

Pada 6 bulan, belajar


berguling dan duduk

bubbling/berbicar
a tidak jelas

Menyembunyikan
sesuatu untuk melatih
kemampuan mencari
barang

Pada 12 bulan, belajar


merangkak, berjalan
2-3 langkah

bermain di dekat
anak lain tapi
tidak bermain
bersama (parallel)

Melatih penggunaan

Pada 24 bulan, berlari,

Emosi
Menangis adalah
komunikasi utama
ketika kebutuhannya
tidak terpenuhi

barang sehari-hari

menendang, naik dan


turun tangga,
berpegangan dengan
tangan orang lain

Saat umur 2 tahun,


setidaknya sudah
memiliki 50 kosakata
5. Apa makna klinis ditanyakan riwayat kejang?
Untuk menyingkirkan diagnosis banding dimana keluhan terjadi akibat defek neurologis
akibat kejang.
6. Bagaimana hubungan genetik dengan keluhan?
Hubungan keluarga tingkat 1 (anak, saudara, orangtua) memiliki resiko 20-80 kali untuk
terkena autism. Adanya mutase genetic yang jarang mungkin menjadi kausa atau
meningkatkan kecenderungan pasien untuk terkena autism.
7. Apakah ada kemungkinan anak mengalami gangguan neuroanatomi?
Ada. Pada pasien autism, neuroanatomi dan neuroimaging menunjukan abnormalitas dari
konfigurasi selular pada beberapa regio di otak, termasuk lobus temporal dan frontal dan
cerebellum. Pembesaran amygdala dan hippocampus sering pada anak. Pada otopsi
terdapat neuron yang lebih banyak pada kortex prefrontal dibandingkan dengan anak
tanpa autism.
8. Apa makna anak tidak bisa diam dan bergerak tanpa tujuan?
Beberapa studi menunjukkan, adanya abnormalitas pada beberapa area di otak
penyandang autism : lobus frontalis dan ganglia basalis yang berperan dalam representasi
dalam action plans, motoric plans, dan working memory, sehingga terjadi gangguan
pengaturan motorik dan pada beberapa anak bermanifestasi sebagai hiperaktivitas
ataupun sebaliknya, tergantung dangan mekanisme gangguan yang terjadi.
9. Algoritma penegakkan diagnosis
Berdasarkan PPDGJ-III & DSM-5:
F84 GANGGUAN PERKEMBANGAN PERVASIF
Kelompok gangguan ini ditandai dengan kelainan kualitatif dalam interaksi social
yang timbale balik dan dalam pola komunikasi, serta minat dan aktifitas yang

terbatas, stereotipik, berulang. Kelainan kualitatif ini menunjukkan gambaran yang


pervasive dari fungsi-fungsiindividu dalam semua situasi, meskipun dapat berbeda
dalam derajat keparahannya.
F84.0 Autisme Masa Kanak
Pedoman diagnostic

Gangguan perkembangan pervasive yang ditandai oleh adanya kelainan dan atau
hendaya perkembangan yang muncul sebelum usia 3 tahun, dan dengan ciri kelainan
fungsi dalam tiga bidang: interaksi social, komunikasi dan peerilaku yang terbatas

dan berulang.
Biasanya tidak jelas ada periode perkembangan yang normal sebelumnya, tetapi bila
ada, kelainan perkembangan sudah menjaadi jelas sebelum usia 3 tahun, sehingga
diagnosis sudah dapat ditegakkan. Tetapi gejala-gejalanya (sindrom) dapat

didiagnosis pada semua kelompok umur.


Selalu ada hendaya kualitatif dalam interaksi social yang timbale balik (reciprocal
social interaction). Ini berbentuk apresiasi yang tidak adekuat terhadap isyarat socioemosional, yang tampak sebagai kurangnya respons terhadap emosi orang lain
dan/atau kurangnya modulasi terhadap perilaku dalam konteks social; buruk dalam
menggunakan isyarat social dan integrasi yang lemah dalam perilaku social,
emosional dan komunikatif, dan khususnya kurangnya respons timbal balik sosio-

emosional.
Demikian juga terdapat hendaya kualitatif dalam komunikasi. Ini berbentuk
kurangnya penggunaan keterampilan bahasa yang dimilki dalam hubungan social;
hendaya dalam permainan imajinatif dan imitasi social; keserasian yang buruk dan
kurangnya interaksi timbale balik dalam percakapan; buruknya keluwesan dalam
bahasa ekspresif dan kreatifitas dan fantasi dalam proses pikir yang relative kurang;
kurangnya respons emosional terhadap ungakapan verbal dan non-verbal orang lain;
hendaya dalam menggunakan variasi irama atau penekanan sebagai modulasi
komunikatif; dan kurangnya isyarat tubuh untuk menekankan atau member arti

tambahan dalam komunikasi lisan.


Kondisi ini juga ditandai oleh pola perilaku, minat dan kegiatan terbatas, berulang
dan stereotipik. Ini berbentuk kecenderungan untuk bersikap kakudan rutin dalam
berbagai aspek kehidupan sehari-hari; ini biasanya berlaku untuk kegiatan baru dan
juga kebiasaan sehari-hari dan pola bermain. Terutama seklai dalam masa kanak
yang dini, dapat teerjadi kelekatan yang khas terhadap benda-benda yang aneh,

khusunya benda yang tidak lunak. Anak dapat memaksakan suatu kegiatan rutin
dalam ritual yang sebetulnya tidak perlu; dapat terjadi preokupasi yang stereotipik
terhadap suatu minat sepeprti tanggal, rute, atau jadwal; sering terdapat stereotipi
motorik;sering menunjukkan minat khusus terhadap segi-segi fungsional dari bendabenda (misalnya bau atau rasanya); dan terdapat penolakan terhadap perubahan dari
rutinitas atau dalam detil dari lingkunga hidup pribadi (seperti perpindahan mebel

atau hiasan dalam rumah)


Semua tingkatan IQ dapat ditemukan dalma hubungannya denga autism, tetapi pada
perempat kasus secara signifikan terdapat retardasi mental.

10. Diagnosis kerja


Arthur, laki-laki usia 24 bulan mengalami gangguan perkembangan pervasif Autistic
Spectrum Disorder (ASD).
11. Patofisiologi
Learning issue
12. Faktor risiko
a. Faktor genetic
Adanya riwayat keluarga dapat meningkatkan resiko mengalami autism. Adanya
mutase genetic seperti shank3, neuroligins, contactin associated protein 2, dan
neurexin 1, dan the fragile X mental retardation (FMR1) gen menjadi faktor yang
berkaitan dengan autism.
b. Faktor prenatal dan perinatal
Faktor prenatal yang signifikan yang berhubungan dengan autism adalah
pendarahan saat hamil, diabetes gestational, dan bayi pertama. Faktor perinatal
termasuk dalam komplikasi tali pusar, trauma lahir, gawat janin, premature, berat lahir
rendah, malformasi kongenital, inkompabilitas rhesus, dan hyperbilirubinemia (James
Robert, 2015).
c. Faktor lingkungan
Faktor lingkungan seperti paparan merkuri dan tembaga; infeksi campak dan
virus rubella; konsumsi zink, asam retinoat, thalidomide, asam valproate, dan alcohol
saat kehamilan dapat meningkatkan resiko anak terkena autis (Musthofa, 2013).
d. Faktor jenis kelamin
Jenis kelamin laki-laki memiliki resiko 4 kali lebih tinggi dibanding perempuan
untuk terkena autism. Beberapa teori mengatakan adanya keterkaitan kromosom seks
dengan etiologi autism (Pauline, 2012)

13. Tatalaksana, evaluasi


Keberhasilan terapi dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu:
a. Berat ringannya gejala atau berat ringannya kelainan otak.
b. Usia, diagnosis dini sangat penting oleh karena semakin muda umur anak saat
dimulainya terapi semakin besar kemungkinan untuk berhasil.
c. Kecerdasan, makin cerdas anak tersebut makin baik prognosisnya
d. Bicara dan bahasa, 20 % penyandang autis tidak mampu berbicara seumur hidup,
sedangkan sisanya mempunyai kemampuan bicara dengan kefasihan yang berbedabeda. Mereka dengan kemampuan bicara yang baik mempunyai prognosis yang
lebih baik.
Tatalaksana

Preventif
Upaya pencegahan dilakukan berdasarkan teori penyebab ataupun
penelitian faktor resiko autis. Pencegahan dapat dilakukan sedini mungkin
sejak merencanakan kehamilan, saat kehamilan, persalinan dan periode
usia anak.
Pencegahan Sejak Kehamilan
1. Melakukan pemeriksaan screening secara lengkap terutama infeksi virus
TORCH (Toxoplasma, Rubela, Citomegalovirus, Herpes atau Hepatitis).
2. Berhati-hati dalam meminum obat selama kehamilan, Terutama untuk obatobatan yang diminum selama kehamilan trimester pertama. Peneliti di
Swedia melaporkan pemberian obat Thaliodomide (sejenis zat yang
berfungsi mengikat protein Cereblon yang dapat menyebabkan cacat embrio)
pada awal kehamilan dapat mengganggu pembentukan sistem susunan syaraf
pusat yang mengakibatkan autis dan gangguan perkembangan lainnya
termasuk gangguan berbicara.
Pencegahan setelah kelahiran
1. Membatasi pemberian kasein pada anak,kasein terdapat pada susu.
2. Membatasi pemberian glutein pada anak,seperti terigu,gandum
Pencegahan sejak usia bayi
Setelah memasuki usia bayi terdapat beberapa faktor resiko yang harus
diwaspadai dan dilakukan upaya pencegahannya. Bila perlu dilakukan
terapi dan intervensi secara dini bila sudah mulai dicurigai terdapat gejala
atau tanda gangguan perkembangan.
Skrining

The National Institute of Child Health and Human Development (NICHD) di


Amerika Serikat menyebutkan 5 jenis perilaku yang harus diwaspadai dan
perlunya evaluasi lebih lanjut:
1. Anak tidak bergumam hingga usia 12 bulan
2. Anak tidak memperlihatkan kemampuan gestural (menunjuk, menggenggam)
hingga usia 12 bulan
3. Anak tidak mengucapkan sepatah kata pun hingga usia 16 bulan
4. Anak tidak mampu menggunakan dua kalimat secara spontan di usia 24
bulan
5. Anak kehilangan kemampuan berbahasa dan interaksi sosial pada usia
tertentu.

Kuratif
1. Medikamentosa
Kimia otak yang kadarnya abnormal pada penyandang autis adalah serotonin
5-hydroxytryptamine (5-HT), yaitu neurotransmiter atau penghantar sinyal di
sel-sel saraf. Sekitar 30-50 persen penyandang autis mempunyai kadar
serotonin tinggi dalam darah. Kadar norepinefrin, dopamin, dan serotonin 5HT pada anak normal dalam keadaan stabil dan saling berhubungan. Akan
tetapi, tidak demikian pada penyandang autis. Terapi psikofarmakologi tidak
mengubah riwayat keadaan atau perjalanan gangguan autistik, tetapi efektif
mengurangi perilaku autistic seperti hiperaktivitas, penarikan diri, stereotipik,
menyakiti diri sendiri, agresivitas dan gangguan tidur.
Sejumlah observasi menyatakan, manipulasi terhadap sistem dopamine dan
serotonin dapat bermanfaat bagi pasien autis. Antipsikotik generasi baru, yaitu
antipsikotik atipikal, merupakan antagonis kuat terhadap reseptor serotonin 5HT dan dopamin tipe 2 (D2). Risperidone bisa digunakan sebagai antagonis
reseptor dopamin D2 dan serotonin 5-HT untuk mengurangi agresivitas,
hiperaktivitas, dan tingkah laku menyakiti diri sendiri. Olanzapine, digunakan
karena mampu menghambat secara luas pelbagai reseptor, olanzapine bisa
mengurangi hiperaktivitas, gangguan bersosialisasi,
gangguan reaksi afektual (alam perasaan), gangguan respons sensori,
gangguan penggunaan bahasa, perilaku menyakiti diri sendiri, agresi,
iritabilitas emosi atau kemarahan, serta keadaan cemas dan depresi. Untuk
meningkatkan keterampilan sosial serta kegiatan sehari-hari, penyandang autis

perlu diterapi secara nonmedikamentosa yang melibatkan pelbagai disiplin


ilmu. Menurut dr Ika Widyawati SpKJ dari Bagian Ilmu Penyakit Jiwa FKUI,
antara lain terapi edukasi untuk meningkatkan interaksi
sosial dan komunikasi, terapi perilaku untuk mengendalikan perilaku yang
mengganggu/membahayakan,

terapi

wicara,

terapi

okupasi/fisik,

sensoriintegrasi yaitu pengorganisasian informasi lewat semua indera, latihan


integrasi pendengaran (AIT) untuk mengurangi hipersensitivitas terhadap
suara, intervensi keluarga, dan sebagainya.
Untuk memperbaiki gangguan saluran pencernaan yang bias memperburuk
kondisi dan gejala autis, dilakukan terapi biomedis. Terapi itu meliputi
pengaturan diet dengan menghindari zat-zat yang menimbulkan alergi (kasein
dan gluten), pemberian suplemen vitamin dan mineral, serta pengobatan
terhadap jamur dan bakteri yang berada di dinding usus. Dengan berbagai
terapi itu, diharapkan penyandang autis bisa menjalani hidup sebagaimana
anak-anak lain dan tumbuh menjadi orang dewasa yang mandiri dan
berprestasi.

Antidepresan dan antianxietas mengurangi efek stimulasi perilaku sendiri,


mengurangi pergerakan berulang dan temper tantrums
1. Selective Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI) - Atomoxetine 0.5
mg/kg PO
2. Imipramine 10-25 mg/d PO
3. Bupropion 37.5-300 mg/d PO} antidepresan
4. Desipramine 10-25 mg PO

Psikotropik bekerja sebagai antipsikotik, mengatasi gejala dari autisme,

mengurangi perilaku agresif, pergerakan berulang


1. Methylphenidate
2. Dexmethylphenidate
3. Amphetamine
Stimulan untuk mengontrol perilaku dan afek (mood), mengatur fokus

(lebih mudah berkonsentrasi) metamfetamin


Fenfluramin : Suatu obat yang mempunyai efek mengurangi kadar

serotonin darah yang bermanfaat pada beberapa anak autisme


Ritalin Untuk menekan hiperaktifitas
Risperidon dengan dosis 2 x 0,1 mg telah dapat mengendalikan perilaku
dan konvulsi.

2. Non medikamentosa
Applied Behavioral Analysis (ABA)
ABA adalah jenis terapi yang telah lama dipakai, telah dilakukan penelitian
dan didesain khusus untuk anak-anak dengan autisme. Sistem yang dipakai
adalah memberi pelatihan khusus pada anak dengan memberikan positive
reinforcement (hadiah/ pujian). Jenis terapi ini bisa diukur kemajuannya.

Saat ini terapi inilah yang paling banyak dipakai di Indonesia.


Terapi Wicara
Hampir semua anak dengan autisme mempunyai kesulitan dalam bicara dan
berbahasa. Biasanya hal inilah yang paling menonjol, banyak pula individu
autistik yang non verbal atau kemampuan bicaranya sangat kurang.
Kadang-kadang bicaranya cukup berkembang, namun mereka tidak mampu
untuk memakai bicaranya untuk berkomunikasi/ berinteraksi dengan orang

lain. Dengan hal ini terapi wicara dan berbahasa akan sangat
Terapi Okupasi
Hampir semua anak autistik mempunyai keterlambatan

dalam

perkembangan motorik halus. Gerak-geriknya kaku dan kasar, mereka


kesulitan untuk memegang pensil dengan cara yang benar, kesulitan untuk
memegang sendok dan menyuap makanan ke mulutnya, dan lain
sebagainya. Dalam hal ini terapi okupasi sangat penting untuk melatih

mempergunakan otot-otot halusnya dengan benar.


Terapi Fisik
Autisme adalah suatu gangguan perkembangan pervasif. Banyak diantara
individu autistik mempunyai gangguan perkembangan dalam motorik
kasarnya. Terkadang tonus ototnya kurang kuat, sehingga jalannya pun
kurang kuat. Keseimbangan tubuhnya kurang bagus. Fisioterapi dan terapi
integrasi sensoris akan sangat banyak menolong untuk menguatkan otot-

ototnya dan memperbaiki keseimbangan tubuhnya.


Terapi Sosial
Kekurangan yang paling mendasar bagi individu autisme adalah dalam
bidang komunikasi dan interaksi. Banyak anak-anak ini membutuhkan
pertolongan dalam keterampilan berkomunikasi 2 arah, membuat teman dan

main bersama di taman bermain.


Terapi Bermain
Seorang anak autistik membutuhkan pertolongan dalam bermain. Bermain
dengan teman sebaya berguna untuk belajar bicara, komunikasi, dan
interaksi sosial.

Terapi Perilaku
Anak autistik seringkali mengalami frustasi. Teman-temannya seringkali
tidak memahami mereka, mereka merasa sulit untuk mengekspresikan
kebutuhannya. Mereka banyak yang merasa hipersensitif terhadap suara,
cahaya, dan sentuhan. Tak heran bila mereka sering mengamuk. Seorang
terapis perilaku terlatih untuk mencari latar belakang dari perilaku negatif
tersebut dan mencari solusinya dengan merekomendasikan perubahan

lingkungan.
Terapi Perkembangan
Floortime, soon rise, dan RDI (Relationship Developmental Intervention)
dianggap sebagai terapi perkembangan. Artinya anak dipelajari minatnya,
kekuatannya dan tingkat perkembangannya, kemudian ditingkatkan

kemampuan sosial, emosional, dan intelektualnya.


Terapi Visual
Salah satunya adalah PECS (Picture Exchange Communication System).
Intervensi Keluarga
Pada dasarnya anak hidup dalam keluarga, perlu bantuan keluarga baik
perlindungan, pengasuhan, pendidikan, maupun dorongan untuk dapat
tercapainya perkembangan yang optimal dari seorang anak, mandiri dan
dapat bersosialisai dengan lingkungannya. Untuk itu diperlukan keluarga
yang dapat berinteraksi satu sama lain (antar anggota keluarga) dan saling
mendukung.
Oleh karena itu pengolahan keluarga dalam kaitannya dengan manajemen
terapi menjadi sangat penting, tanpa dukungan keluarga rasanya sulit
sekali kita dapat melaksanakan terapi apapun pada individu dengan

autisme.
Diet bebas gluten dan kasein secara anekdot dapat membantu pasien
dengan autism

14. Komplikasi
a.
b.
c.
d.

Keterlambatan berbahasa.
Depresi di masa remaja.
Retardasi mental, anak autis 70-80% mengalami retardasi mental.
Gangguan Nutrisi (Gizi)
Nutrisi yang kurang atau yang lebih dikenal dengan malnutrisi adalah salah
satu komplikasi yang dapat terjadi pada penderita autism. Hal ini disebabkan karena
penderita autis tidak dapat makan makanan tertentu yang mengandung gluten seperti
: biscuit, mie, roti dan segala bentuk kemasan lain dari terigu. Penderita autis juga

tidak dapat memakan makanan atau minuman dengan kandungan casein seperti :
susu sapi, keju, mozzarella, butter ataupun permen. Anak autis juga cenderung malas
makan sehingga asupan makanan yang masuk tidak adekuat. Untuk itu diperlukan
diet yang tepat bagi penderita autis.
e. Gangguan Metabolisme sistem pembuangan racun dan logam berat
Gangguan metabolisme khususnya terjadi pada metabolism melationin,
dimana metabolism tersebut berfungsi sebagai detoksifikasi logam berat yang masuk
kedalam tubuh. Adanya kegagalan pada metabolism melationin mengakibatkan
system pembuangan racun dan logam berat di dalam tubuh menjadi terganggu.
f. Gangguan penyerapan dan pencernaan makanan
Gangguan ini dapat terjadi sebagai akibat lanjutan dari ketidak matangan
(imaturitas) usus selama dalam masa kehamilan. Hal ini berkaitan dengan nutrisi
yang dikonsumsi oleh ibu hamil tersebut. Imaturitas usus tersebut berlanjut hingga
mengakibatkan gangguan pada proses mekanik pada proses peristaltic dan
penyerapan di mukosa usus.
g. Gangguan sistem kekebalan tubuh
Gangguan ini terjadi akibat lanjutan dari system imun tubuh yang menurun
akibat tidak adekuatnya nutrisi pada masa kehamilan dan adanya gangguan pada
system syaraf di otak.
h. Kerusakan Komunikasi Verbal Persisten
Kerusakan komunikasi verbal menetap dapat terjadi apabila gejala klinis dari
gangguan bucara caik verbal amaupun non-verbal tidak dapat ditanggulangi dengan
baik. Penderita akan mengalami kesulitan untuk berinteraksi dan berbicara dengan
orang lain akibat dari keterlambatan bicara atau tidak bicara sama sekali yang ia
alami sejak usia dini dalam waktu lama.
i. Gangguan social
Isolasi sosial merupakan salah satu komplikasi yang terjadi akibat dari gejala
klinis pada gangguan interaksi sosial yang tidak ditindak lanjuti. Penderita akan
mengalami keterbatasan dalam bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya dan
aktualisasi diri.
15. SKDI
2 : Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik terhadap penyakit tersebut dan
menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya. Lulusan
dokter juga mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan.
LEARNING ISSUES

Tumbuh kembang anak (berbicara, perilaku)


Area perkembangan anak :
a)

Fisik

b)

Kognitif

c)

Sosial-emosional

Periode perkembangan anak :


a)
Prenatal Period (pembuahan lahir)
b)

Infancy & Toddlerhood (0 3 tahun)

c)

Early Childhood (3 6 tahun)

d)

Middle Childhood (6 11 tahun)


Sesudah lahir, tahap pertumbuhan dan perkembangan akan masuk ke masa post natal

yang terdiri dari


a.

masa neonatal (0-28 hari): Tahap awal neonatus adalah beradaptasi terhadap
lingkungan, yang termasuk perubahan sirkulasi darah dan mulainya berfungsi berbagai
organ organ tubuhnya yang lain seperti parunya.

b.

masa bayi (bayi dini dan bayi lanjut): Fase bayi dini yang berawal dari usia 112 bulan dimana pertumbuhan terjadi dengan pesat dan proses pematangan organ akan
berlangsung secara berkelanjutan terutama meningkatnya fungsi sistem saraf (Usia
dimana fisik anak tumbuh paling cepat)
usia 0-3 tahun: Golden age brain growth spurts: periode pertumbuhan dan
perkembangan otak secara cepat, Perlu adanya stimulasi yang tepat agar tumbuh
kembang optimal
Pada usia 2 bulan, bayi mulai tersenyum dengan keinginan sendiri dan adanya kontak
mata dengan bayi dan orang tua. Pada bulan berikutnya, jangkauan motorik, kontrol
sosial, dan penyatuan kognitif bayi dapat meningkat secara drastis. Pengaturan bersama
faktor-faktor di atas secara harmonis merupakan bentuk pertukaran sosial yang
kompleks di masa tahap perkembangan bayi saat ini.
Usia antara 3-4 bulan, rata-rata pertumbuhan fisik mulai melambat. Refleks awal yang
membatasi gerak berkurang seperti hilangnya refleks tonus pada leher asimetris berarti
bahwa bayi dapat berguling dan juga mulai meneliti benda-benda yang berada ada garis
tengahnya dan memainkannya dengan kedua tangannya. Penyusunan refleks
genggaman awal memungkinkan mereka untuk memegang dan melepaskannya benda
atas dasar keinginan sendiri. Usia 6-12 bulan, bayi telah mengalami peningkatan

mobilitas dan pengenalan benda-benda mati, perkembangan dalam kemampuan


memahami kognitif dan komunikasi. Bayi mulai mengembangkan kemauan sendiri.
Usia 1-2 tahun (masa bayi akhir), kecepatan pertumbuhan mulai menurun dan ada
kemajuan pada perkembangan motorik dan fungsi ekskresi. Anak tidak memiliki rasa
takut pada siapapun karena pada usia tahun pertama anak memerlukan cinta kasih yang
lebih dan selalu menangis ketika mendapat gangguan dan merespon ketika diajak
bermain.
c.

Masa prasekolah: Usia 2 tahun (tahap prasekolah /preschooler), pertumbuhan


anak berlangsung stabil dan terjadi perkembangan dengan aktifitasnya sehari-hari
(meningkatnya keterampilan dan proses berpikir)
Beberapa tanda esensial dalam perkembangan anak ahir tahun pertama dan permulaan
usia 4 tahun. Yaitu:
1. Pada permulaan periode ini anak sudah bisa duduk, berdiri dan berjalan dengan
bantuan.
2. Bila sudah mencapai 4 tahun anak dapat meloncat, memanjat dan merangkak,
motorik praktis sudah dapat mandiri. Pada usia 4 tahun, tangan dan mata dapat
bekerja sama dalam koordinasi yang baik (manipulasi dengan benda-benda,
terutama alat-alat permainan dan benda-benda sehari-hari)
3. Pada usia 4 tahun anak sudah dapat berbahasa; komunikasi dengan teman-teman
sebayanya, dapat menyatakan keinginan dan kebutuhannya.
4. Pada akhir periode ini anak memperoleh pengertian banyak mengenai bendabenda menurut warna dan bentuknya, membedakan antara suara keras dan
lembut, ia mengerti nama benda-benda dan menanyakan nama benda yang belum
diketahuinya.
5. Usia 4 tahun sedikit banyak sudah mengetahui ruang dan waktu. Ia mengerti
perbedaan antara siang dan malam dan sudah menguasai serangkaian tugas-tugas
(menyisir rambut, mengenakan baju, mengambil barang dari almari, melipat dan
lain-lain)
6. Pengertian akan norma-norma, seperti kata baik, buruk, tidak baik, jangan, tidak
boleh.
7. Kebutuhan untuk aktif, untuk berbuat sesuatu makin lama ditentukan secara
kognitif, artinya: perbuatan dan tingkah lakunya tidak lagi ditentukan secara
kebetulan sesuai dengan apa yang ada; anak sudah dapat membuat rencana,
memikirkan apa yang akan dilakukannya

d. masa sekolah atau pra-pubertas: pada anak wanita dimulai dari usia 6 -10 tahun,
sedangkan anak laki laki usia 8 -12 tahun, anak akan mengalami pertumbuhan yang
lebih cepat dibandingkan masa prasekolah, keterampilan dan intelektual makin
berkembang, senang bermain berkelompok dengan jenis kelamin yang sama.
e. masa remaja (adolescent): Anak wanita biasanya memasuki masa adolesensi 2 tahun
lebih cepat dibandingkan anak laki-laki. Usia anak wanita memasuki masa adolesensi
adalah 10 -18 tahun, sedangkan anak laki -laki diusia 12 -20 tahun. Masa ini merupakan
transisi periode memasuki tahap menjadi dewasa. Terjadi percepatan pertumbuhan berat
badan dan tinggi badan yang sangat pesat yang disebut Adolescent Growth spurt yang
disertai juga pertumbuhan dan perkembangan pesat dari alat kelamin dan timbulnya
tanda- tanda kelamin sekunder
Tahap perkembangan kognitif dari Piaget
Usia 0 3 tahun: Tahap Sensorimotor
Terbagi 6 sub tahapan
1. Sub tahap 1 (0 1 bulan): use of relexes bayi berlatih mengontrol refleks, contoh:
bayi mengisap puting ibu yang didekatkan ke mulutnya
2. Sub tahap 2 (1 4 bulan): primary circular reaction bayi mengulangi perilaku
menyenangkan yang awalnya didapat secara tidak sengaja (contoh: mengisap jempol).
Aktivitas masih terfokus pada tubuhnya sendiri dan mulai beradaptasi terhadap benda
yang berbeda (contoh: cara mengisap dot berbeda dari cara mengisap puting) serta
mulai bereaksi terhadap suara
3. Sub tahap 3 (4 8 bulan): secondary circular reactions mulai tertarik pada
lingkungan, tidak lagi terfokus pada tubuhnya saja (memanipulasi dan mempelajari
objek, mengulang-ulang tindakan yang memberikan hasil menarik, contoh:
menggoyang mainan rattle)
4. Sub tahap 4 (8 12 tahun): coordination of secondary schemes perilaku lebih
bertujuan (menggunakan pengalaman yang diperoleh sebelumnya untuk mengatasi
masalah baru). Mulai dapat mengantisipasi kejadian, contoh: bayi merangkak ke
seberang ruangan untuk mengambil mainan
5. Sub tahap 5 (12 18 tahun): tertiary circular reactions menunjukkan rasa ingin tahu
yang besar (bereksperimen untuk melihat hasil dari tindakannya / trial-and-error).
Contoh: anak menginjak mainan karet yang berbunyi, kemudian ia memencetnya untuk
mengetahui apakah mainan itu akan berbunyi lagi

6. Sub tahap 6 (18 24 bulan): mental combinations representational ability:


menggunakan simbol (kata-kata, angka) untuk merepresentasikan objek/ kejadian
dalam ingatan. Dapat mengantisipasi dampak dari tindakan
Tahap perkembangan sosio-emosional
1. Tumbuh Kembang Anak Usia 0 3 Tahun: Sosial-Emosional
Tahap 1 perkembangan psikososial (Erik Erikson): basic trust vs mistrust (0 18 bulan)
Trust virtue hope: anak yakin bahwa ia dapat memenuhi kebutuhannya dan
mencapai keinginannya
Mistrust memandang dunia tidak adil & tidak bersahabat, sulit menjalin hubungan
Kuncinya: pengasuhan yang sensitif, responsif, dan konsisten
Usia 8 bulan stranger & separation anxiety
2. Tahap 2 perkembangan psikososial: Autonomy vs shame & doubt (18 bulan 3 tahun).
Pergeseran dari kontrol eksternal menjadi kontrol diri
Tahap Perkembangan Aspek Sosial-Emosinal (Sroufe, 1979)
1. Usia 0 3 bulan: Mampu menerima stimulasi dan Menunjukkan minat dan rasa ingin
tahu seperti tersenyum kepada orang lain
2. Usia 3 6 bulan: Bayi dapat mengantisipasi hal yang akan terjadi dan kecewa apabila
tidak terjadi. Sering tersenyum, bersuara, dan tertawa (Mulai berinteraksi dua arah
antara bayi dan pengasuh)
3. Usia 6 9 bulan: Bayi bermain social games dan berusaha mendapatkan response dari
orang lain (berbicara dan menyentuh bayi lain agar mereka brespons). Ekspresi emosi
lebih beragam seperti senang, takut, marah, terkejut
4. Usia 9 12 bulan: Semakin lekat dengan pengasuh. Menunjukkan rasa takut terhadap
orang asing (Lebih jelas dalam mengkomunikasikan emosi)
5. Usia 12 18 bulan: Mengeksplorasi lingkungan dengan orang yang dekat secara
emosional
6. Usia 18 36 bulan: Semakin khawatir berpisah dari pengasuh
Tabel 1:
Tahap Perkembangan Motorik Halus
Pada Anak Normal
VISUAL
UMUR
Fiksasi pandangan
Lahir
Mengikuti benda melalui garis tengah
2 bulan

Mengetahui adanya benda kecil


MOTORIK HALUS
Telapak tangan terbuka
Menyatukan kedua tangan
Memindahkan benda antara kedua tangan
Meraih unilateral (secara sepihak)
Pincer grasp imatur
Pincer grasp matur dengan jari
Melepaskan benda dengan sengaja
PEMECAHAN MASALAH
Memeriksa benda
Melemparkan benda
Membuka penutup mainan
Meletakkan kubus dibawah gelas
MENGGAMBAR
Mencoret
Meniru membuat garis
Membuat garis spontan
Membuat garis horizontal dan vertikal
Meniru membuat lingkaran
Membuat lingkaran spontan tanpa melihat
contoh
MELAKSANAKAN TUGAS
Memasukkan biji kedalam botol
Melepaskan biji dengan meniru
Melepaskan biji spontan
MENYUSUN KUBUS (Gunakan kubus dengan
sisi 2.5 cm)

Menyusun 2 kubus
Menyusun 3 kubus
Kereta api dengan 4 kubus
Kereta api dengan cerobong asap
Jembatan dari 3 kubus
Pintu gerbang dari 5 kubus
Tangga dan dinding dari beberapa kubus tanpa
melihat contoh
MAKAN
Makan skuit yang dipegang
Minum dari gelas sendiri atau menggunakan
sendok
BERPAKAIAN
Membuka baju sendiri
Memakai baju
Membuka kancing
Memasang kancing
Mengikatkan tali sepatu

5 bulan
UMUR
3 bulan
4 bulan
5 bulan
6 bulan
9 bulan
11 bulan
12 bulan
UMUR
7 -8 bulan
9 bulan
10 bulan
11 bulan
UMUR
12 bulan
15 bulan
18 bulan
25 27 bulan
30 bulan
3 tahun
UMUR
12 bulan
14 bulan
16 bulan
UMUR
15 bulan
16 bulan
2 tahun
2.5 tahun
3 tahun
4 tahun
6 tahun
UMUR
9 bulan
12 bulan
UMUR
24 bulan
36 bulan
36 bulan
48 bulan
60 bulan

Tabel 2:
Tahap Perkembangan Bahasa
Pada Anak Normal
RESEPTIF
Bereaksi terhadap suara
Tersenyum sosial
Orientasi terhadap suara
Mengerti perintah tidak boleh
Mengerti perintah tanpa mimik
Menunjuk 5 bagian tubuh yang disebutkan
Menoleh kepada suara bel
Mengerti perintah ditambah mimik
EKSPRESIF
Ooo-ooo
Guu, guuu
a-guuu, a-guuu
Mengoceh
Dadadada (menggumam)
Da-da tanpa arti, Ma-ma tanpa arti
Dada
Mama & kata pertama selain mama
Kata kedua
Kata ketiga
4 6 kata
7 20 kata
Kalimat pendek 2 kata
50 kata & kalimat terdiri dari 3 kata
Kalimat terdiri dari 4 -5 kata, bercerita,
menanyakan arti suatu kata, menghitung
sampai 20

UMUR
Lahir
5 minggu
4 bulan
8 bulan
14 bulan
8 bulan
Fase 1 (5
bulan), fase 2
(7 bulan), fase
3 (9 bulan)
11 bulan
UMUR
6 minggu
3 bulan
4 bulan
4-6 bulan
6 bulan
8 bulan
10 bulan
11 bulan
12 bulan
13 bulan
15 bulan
17 bulan
21 bulan
3 tahun
4 tahun

Gangguan perkembangan pervasif


1. Definisi
Kelainan spectrum autism, atau yang sering diketahui sebagai gangguan perkembangan
pervasive, adalah kelompok sindrom perkembangan neurologis yang ditandai dengan
kelainan pada bidang komunikasi social, perilaku yang terbatas dan berulang-ulang, dan
pemakaian dan perkembangan Bahasa yang menyimpang. Kelainan autisme ini muncul
pada umur 3 tahun, atau kurang (Kaplan & Sadock:3540).

2. Etiologi
Teori psikososial
Secara psikososial, Kanner berspekulasi bahwa faktor emosional mungkin
terlibat dalam pathogenesis dari autis yang menyimpulkan bahwa kondisi tersebut
disebabkan oleh ibu yang tidak responsive terhadap kebutuhan emosional anak.
(Kaplan & Sadock: 3542)

Teori biologi
Terdapat beberapa faktor biologi yang menjadi dasar dari kondisi autism
tersebut. Beberapa diantaranya termasuk tingginya tingkat retardasi mental dan
kelainan kejang dan beberapa kondisi genetic dan kondisi medis yang terkait dengan
autism. Autism adalah sindrom perilaku yang dapat disebabkan oleh 1 atau lebih
faktor yang berkaitan dengan sistem saraf pusat. (Kaplan & Sadock: 3542)

Faktor genetic
Hubungan keluarga tingkat 1 (anak, saudara, orangtua) memiliki resiko 20-80
kali untuk terkena autism. Adanya mutase genetic yang jarang mungkin menjadi
kausa atau meningkatkan kecenderungan pasien untuk terkena autism. Beberapa
penemuan berkaitan dengan neuroligins, shank3, contactin associated protein 2, dan
neurexin 1, dan the fragile X mental retardation (FMR1) gen merupakan beberapa
gen yang menjadi patologi molecular dan selular yang berperan pada autism (Kaplan
& Sadock,). Adanya hubungan dengan kromosom 11q23 yang terkait dengan faktor
atensi dan 19q13 untuk faktor perilaku yang berulang (James Robert, 2015).

Kondisi medis lainnya dan autism


Autism juga memiliki hubungan dengan kondisi yang memiliki komponen
genetic yang kuat, seperti fragile X sindrom dan tuberous sclerosis. Fragile X
sindrom yaitu suatu gangguan genetic berupa patahnya bagian kromososm X tampak
terkait dengan gangguan autistic. Tuberous sclerosis, yaiut gangguan genetic yang
ditandai oleh berbagai tumorjinak dengan penurunan autosom dominan ditemukan
pada rekuensi yang lebih tinggi pada anak dengan autism. (Kaplan & Sadock: 589)

Faktor imunologis
Terdapat beberapa laporan yang mengesankan bahwa ketidakcocokan imunologis
(yaitu antibody maternal yang ditujkan pada janin) dapat turut berperan dalam
gangguan autistic. Limfosit beberapa anak autistic bereaksi dengan antibody

maternal, suatu fakta yang meningkatkan kemungkinan jaringan saraf embrionik


atau ekstraembrionik rusak selama gestasi (Kaplan & Sadock: 589).

Faktor perinatal dan prenatal


Faktor prenatal yang signifikan yang berhubungan dengan autism adalah pendarahan
saat hamil, diabetes gestational, dan bayi pertama. Faktor perinatal termasuk dalam
komplikasi tali pusar, trauma lahir, gawat janin, premature, berat lahir rendah,
malformasi kongenital, inkompabilitas rhesus, dan hyperbilirubinemia (James
Robert, 2015).

Faktor neuroanatomis
Studi MRI yang membandingkan orang autistic dengan control normal
menunjukkan bahwa volume total otak meningkat pada orang dengan autism,
meskipun anak autistic dengan retardasi mental berat umumnya memiliki kepala
yang lebih kecil. Peningkatkan persentase rerata ukuran terbesar terdapat pada lobus
oksipitalis, lobus parietalis, dan lobus temporalis. Peningkatan volume dapat terjadi
akibat tiga kemungkinan mekanisme yang berbeda: meningkatya neurogenesis,
menurunnya

kematian neuron, dan meningkatnya

produksi jaringan otal

nonneuronal seperti sel glia atu pembuluh darah. Pembesaran otak dijadikan sebagai
kemungkinan penanda iologis untuk gangguan autistic. (Kaplan & Sadock: 589).
Lobus temporalis diyakini merupakan area penting pada kelainan otak di
dalam gangguan autistic. Hal ini didasarkan pada laporan mengenai sindrom mirip
autistic pada beberapa orang dengan kerusakan lobus temporalis. (Kaplan & Sadock:
589).

Faktor biokimia
Pada beberapa anak autistic, meningkatnya asam homovanilat (metabolit
dopamine utama) di dalam cairan serebrospinal menyebabkan meningkatnya
stereotype dan penarikan diri. Beberapa bukti menunjukkan bahwa keparahan gejala
berkurang ketika terjadi peningkatakn asam 5-hidroksi-indolasetat CSF (5-HIAA,
metabolit serotonin) terhadap asam homovanilat CSF. CSF 5-HIAA dapat
berbanding terbalik dengan kadar serotonin darah; kadar ini meningkat pada
sepertiga pasien gangguan autistic, temuan nonspesifik yang juga terdapat pada
orang dengan retardasi mental (Kaplan & Sadock: 589).

3. Diagnosis
Pedoman diagnostic menurut PPDGJ III (F84.0 Autisme Masa Kanak):

Gangguan perkembangan pervasive yang ditandai oleh adanya kelainan dan/atau


hendaya perkemabngan yang muncul sebelum usia 3 tahun, dan dengan ciri kelainan
fungsi dalam tiga bidang: interaksi social, komunikasi, dan perilaku yang terbatas

dan berulang.
Biasanya tidak jelas ada periode perkembangan yang normal sebelumnya, tetapi bila
ada, kelainan perkembangan sudah menjadi jelas sebelum usia 3 tahun, sehingga
diagnosis sudah dapat ditegakkan. Tetapi gejala-gejalanya (sindrom) dapat didiagnosis

pada semua kelompok umur


Selalu ada hendaya kualitatif dalam interaksi social yang timbal balik (reciprocal
social interaction). Ini berbentuk apresiasi yang tidak adekuat terhadap isyarat sosioemosional, yang tampak sebagai kurangnya respons terhadap emosi orang lain
dan.atau kuranganya modulasi terhadap perilaku dalam konteks social; buruk dalam
menggunakan isyarat social dan intergrasi yang lemah dalam perilaku social,
emosional dan komunikatif; dan khususnya kurangnya respons timbal balik sosio-

emosional.
Demikian juga terdapat hendaya kualitatif dalam komunikasi. Ini berbentuk
kurangnya pengunaan keterampilan Bahasa yang dimiliki di dalam hubungan sosial
hendaya dalam permainan imaginative dan imitasi social; keserasian yang buruk dan
kurangnya ineraksi timbal balik dalam percakapan; buruknya keluwesan proses pikir
yang relative kurang; kurangnya respons emosional terhadap ungkapan verbal dan
non-verbal orang lain; hendaya dalam menggunakan variasi irama atau penekanan
sebagai modulasi komunikatif; dan kurangya isyarat tubuh untuk menekankan atau

memberi arti tambahan dalam komunikasi lisan.


Kondisi ini juga ditandai oleh pola perilaku, minat dan kegiatan yang terbatas,
berulang dan stereotipik. Ini berbentuk kecenderungan untuk bersikap kaku dan rutin
dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari; biasanya berlaku untuk kegiatan baru
dan juga kebiasaan sehari-hari serta pola bermain. Terutama sekali dalam masa kanak
yang dini, dapat terjadi kelekatan yang khas terhadap benda-benda yang aneh,
khususnya benda yang tidak lunak. Anak dapat memaksakan suatu kegaitan rutin
dalam ritual yang sebetulnya tidak perlu; terjadi preokupasi stereotipik terhadap suatu
minat khusus terhadap segi-segi non-fungsional dari benda-benda (misal bau atau
rasanya); dan terdapat penolakan terhadap perubahan dari rutiitas atau dalam detil dari

lingkungan hidup pribadi (seperti perpindahan mebel atau hiasan dalam rumah).
Semua tingkatan IQ dapat ditemukan dalam hubungannya dengan autism, tetapi pada
tiga perempat kasus secara signifikan terdapat retardasi mental.

4. Patofisiologi
Anomaly neural
Pada pasien autism, neuroanatomi dan neuroimaging menunjukan abnormalitas
dari konfigurasi selular pada beberapa regio di otak, termasuk lobus temporal dan frontal
dan cerebellum. Pembesaran amygdala dan hippocampus sering pada anak. Pada otopsi
terdapat neuron yang lebih banyak pada kortex prefrontal dibandingkan dengan anak
tanpa autism. (James Robert, 2015).
Pada MRI ditemukan adanya konektivitas yang berkurang atau atipikal pada
bagian frontal, dan juga ditemukan menipisnya korpus kallosum. Pada studi postmortem
jaringan otak, peneliti menmukan adanya patch neuron abnormal pada regio frontal dan
temporal, regio yang berkaitan dengan fungsi social, emosional, komunikasi, dan
Bahasa. Pada studi postmortem ditemukan juga adanya reduksi dari receptor gammaaminobutyric acid-B (GABAB) pada korteks cingulate, yang merupakan kunci dari
hubungan social, emosi, dan kognisi, dan pada gyrus fusiform, regio yang krusial dalam
mengevaluasi wajah dan ekspresi. Penemuan ini menyediakan dasar untuk investigasi
lanjut kasus autism (James Robert, 2015).
Anomali metabolic
Disfungsi pada neurofisiologis yang terkait dengan 1 atau lebih substansi dari
serotonin, neuropeptide oxytocin, dan vasopressin yang berpengaruh pada abnormalitas
perilaku, dapat ditemukan pada psien dengan autism (James Robert, 2015).
Peningkatan serotonin pada darah terjadi sekitar sepertiga dari individu dengan
kelainan autistic serta keluarga dan saudara pasien tersebut. Anomaly fungsional dari
neurotransmitter (asetilkloin, glutamate) juga ditemukan pada orang dengan kelainan
spectrum autis (James Robert, 2015).
Serum biotinidase mengalami penurunan pada pasien autism. Enzim ini
diperlukan untuk penggunaan dan recycling dari vitamin B biotin. Defisiensi dari biotin
berkaitan dengan kelainan perilaku (James Robert, 2015).
Studi immunologik mengidentifikasikan abnormalitas seperti berkurangnya
konsentrasi protein komplemen C4B pada plasma. Abnormalitas tersebut mungkin
menjadi sumber dari peningkatan suseptibilitas terkenanya infeksi pada autism. Diet
merupakan aspek yang kontroversial pada autism. Diet bebas gluten dan kasein secara
anekdot dapat membantu pasien dengan autism (James Robert, 2015).
Stress oksidatif berperan dalam pathogenesis dan patofisiologi autism. Anak
dengan autism memiliki kekurangan:

Sistein, glutation, dan metionin level pada plasma


Rasio S-adenosyl-L-methionine (SAM) dan S-Adenosyl-L-homocysteine (SAH)
Rasio reduksi dan oksidasi glutation.
Beberapa anak menunjukkan hyperlacticacidemia dan adanya bukti kelainan

mitokondria dan defisiensi karnitin. Abnormalitas ini dapat merefleksikan kelainan dari
metabolism energi neuronal (James Robert, 2015).
5. Gambaran klinis
Ciri khas fisik
Anak dengan gangguan autistic sering digambarkan sebagai anak yang atraktif
dan pada pandangan pertama, tidak menunjukkan adanya tanda fisik yang menunjukkan
gangguan autistic. Mereka memiliki angka kelainan fisik minor yang tinggi, seperti
malformasi telinga. Anomaly fisik minor mungkin merupakan cerminan periode tertentu
perkembangan janin saat munculnya kelainan, karena pembentukan telinga teradi kirakria pada wakt yang sama dengan pembentukan bagian otak (Kaplan & Sadock: 589).
Anak autistic juga memiliki insiden yang lebih tinggi untuk mengalami
dermatoglifik (cth sidik jari) yang abnormal dibandingkan populasi umum. Temuan ini
dapat mengesankan adanya gangguan perkembangan neuroektodermal (Kaplan &
Sadock: 589).
Ciri khas perilaku

Hendaya kualitatif dalam interaksi social


Anak autistic tidak dapat menunjukkan tanda samar keterkaitan social kepada
orang tua dan orang lain. Kontak mata yang lebih jarang atau buruk adalah teuan
yang lazim. Perkembangan social anak autistic ditandai dengan gangguan, tetapi
biasanya bukan benar-benar tidak adanya perilaku pelekatan. Anak autistic sering
tidak memahami atau membedakan orang-orang yang penting di dalam hidupnya
orang tua, saudara kandung, dan guru serta dapat menunjukkan ansietas berat
ketika rutinitas biasanya terganggu, tetapi mereka dapat tidak bereaksi secara teruka
jika ditinggalkan dengan orang asing. Terdapat deficit yang jelas di dalam
kemampuannya untuk bermain dengan teman sebaya dan berteman; perilaku
sosialnya aneh dan dapat tidak sesaui. Secara kognitif anak dengan gangguan autistic
lebih terampil di dalam tugas visual-spasial, tidak demikian dengan tugas yang
memerlukan keterampilan di dalam pemberian alasan secara verbal (Kaplan &
Sadock: 589).

Satu deskripsi gaya kognitif anak dengan autism adalah bahwa mereka tidak
mampu menhubungkan motivasi atau tujuan orang lain, sehingga tidak dapat
memberikan empati. Tidak adanya teori pikiran ini membuat mereka tidak dapat
menginterpretasikan perilaku social orang lain dan menghasilkan tidak adanya
timbal balik social (Kaplan & Sadock: 589).

Gangguan komunikasi dan Bahasa


Deficit perkembangan Bahasa dan kesulitan menggunakan Bahasa untuk
mengkomunikasikan gagasan adalah kriteria utama untuk mendiagnosis gangguan
autistic. Berlawanan dengan anak normal dan anak yang mengalami retardasi
mental, anak autistic memiliki kesulitan yang signifikan di dalam menggabungkan
kalimat yang bermakna meskipun mereka memiliki kosakata yang luas (Kaplan &
Sadock: 589).

Perilaku stereotipik
Pada tahun pertama kehidupan anak autistic, tidak terjadi permainan eksplorasi
spontan yang diharapkan. Mainan dan objek sering dimainkan dengan cara
ritualistic, dengan sedikit gambaran simbolik. Anak autistic umumnya tidak
menunjukkan permainan pura-pura atau menggunakan pantomime abstrak. Aktivitas
dan permainan anak ini sering kaku, berulang, dan monoton. Banyak anak autistic
terutama mereka dengan retardasi mental berat, menunjukkan kelainan gerakan.
Manerisme, stereotipik, dan menyeringai paling sering jika seorang anak ditinggalan
sendiri dan dapat berkurang pada situasi yang terstruktur. Anak autistic umumnya
menolak transisi dan perubahan (Kaplan & Sadock: 590).

Gejala perilaku terkait


Hiperkinesis adalah masalah perilaku yang lazim pada anak autistic yang
masih kecil. Hipokinesis lebih jarang; jika ada, hipokinesis sering bergantian dengan
hiperaktivitas. Agresi dan ledakan kemarahan dapat diamati, sering disebabkan oleh
perubahan atau tuntutan. Perilaku mencederai dirimencakup membenturkan kepala,
menggigit, menggaruk, dan menarik rambut. Rentang perhatian yang pendek,
kemampuan yang buruk untuk berfokus pada tugas, insomnia, masalah makan, dan
enuresis juga lazim ditemukan pada anak autism. (Kaplan & Sadock: 590)

Fungsi intelektual
Kemampuan visuomotor atu kongnitif yang tidak biasa atau prekoks terjadi
pada beberapa anak autistic. Kemampuan ini, yang dapat ada bahkan di dalam

keseluruhan fungsi yang mengalami retardasi disebut sebagai splinter functions atau
islet of precocity. Mungkin contoh yang paling menonjol adalah pelajar autistic atau
idiot, yang memiliki daya ingat menghafal atau kemampuan berhitung luar biasa,
biasanya di luar kemampuan sebayanya yang normal. Kemampuan prekoks lain
pada anak autistic yang masih kecil mencakup hiperleksia, kemampuan awal untuk
membaca dengan baik (meskipun mereka tidak dapat mengerti apa yang mereka
baca), mengingat dan menceritakan kemabali, serta kemampuan musical (bernyanyi,
atau memainkan nada atau mengenali karya music) (Kaplan & Sadock: 591).
Menurut American Psychiatric Association dalam buku Diagnostic and
Statistical Manual of Mental Disorder Fourth Edition Text Revision (DSM IV-TR,
2004), kriteria diagnostik untuk dari gangguan autistik adalah sebagai berikut:
A. Jumlah dari 6 (atau lebih) item dari (1), (2) dan (3), dengan setidaknya dua dari
(1), dan satu dari masing-masing (2) dan (3):
(1) Kerusakan kualitatif dalam interaksi sosial, yang dimanifestasikan dengan
setidak-tidaknya dua dari hal berikut:
a. Kerusakan yang dapat ditandai dari penggunaan beberapa perilaku non
verbal seperti tatapan langsung, ekspresi wajah, postur tubuh dan gestur
untuk mengatur interaksi sosial.
b. Kegagalan untuk mengembangkan hubungan teman sebaya yang tepat
menurut tahap perkembangan.
c. Kekurangan dalam mencoba secara spontanitas untuk berbagi kesenangan,
ketertarikan atau pencapaian dengan orang lain (seperti dengan kurangnya
menunjukkan atau membawa objek ketertarikan).
d. Kekurangan dalam timbal balik sosial atau emosional.
(2) Kerusakan kualitatif dalam komunikasi yang dimanifestasikan pada setidaktidaknya satu dari hal berikut:
a. Penundaan dalam atau kekurangan penuh pada perkembangan bahasa (tidak
disertai dengan usaha untuk menggantinya melalui beragam alternatif dari
komunikasi, seperti gestur atau mimik).
b. Pada individu dengan bicara yang cukup, kerusakan ditandai dengan
kemampuan untuk memulai atau mempertahankan percakapan dengan
orang lain.

c. Penggunaan bahasa yang berulang-ulang dan berbentuk tetap atau bahasa


yang aneh.
d. Kekurangan divariasikan, dengan permainan berpura-pura yang spontan
atau permainan imitasi sosial yang sesuai dengan tahap perkembangan.
(3) Dibatasinya pola-pola perilaku yang berulang-ulang dan berbentuk tetap,
ketertarikan dan aktivitas, yang dimanifestasikan pada setidak-tidaknya satu dari
hal berikut:
a. Meliputi preokupasi dengan satu atau lebih pola ketertarikan yang
berbentuk tetap dan terhalang, yang intensitas atau fokusnya abnormal.
b. Ketidakfleksibilitasan pada rutinitas non fungsional atau ritual yang
spesifik.
c. Sikap motorik yang berbentuk tetap dan berulang (tepukan atau
mengepakkan tangan dan jari, atau pergerakan yang kompleks dari
keseluruhan tubuh).
d. Preokupasi yang tetap dengan bagian dari objek
B. Fungsi yang tertunda atau abnormal setidak-tidaknya dalam 1 dari area berikut,
dengan permulaan terjadi pada usia 3 tahun: (1) interaksi sosial, (2) bahasa yang
digunakan dalam komunikasi sosial atau (3) permainan simbolik atau imajinatif.
C. Gangguan tidak lebih baik bila dimasukkan dalam Retts Disorder atau Childhood
Disintegrative Disorder.
Gangguan autistik lebih banyak dijumpai pada pria dibanding wanita dengan ratio
5 : 1. Dalam pengklasifikasian gangguan autisme untuk tujuan ilmiah dapat
digolongkan atas autisme ringan, sedang dan berat. Namun pengklasifikasian ini jarang
dikemukakan pada orangtua karena diperkirakan akan mempengaruhi sikap dan
intervensi yang dilakukan. Padahal untuk penanganan dan intervensi antara autisme
ringan, sedang dan berat tidak berbeda. Penanganan dan intervensinya harus intensif
dan terpadu sehingga memberikan hasil yang optimal. Orangtua harus memberikan
perhatian yang lebih bagi anak penyandang autis. Selain itu penerimaan dan kasih
sayang merupakan hal yang terpenting dalam membimbing dan membesarkan anak
autis (Yusuf, 2003).
6. Perkembangan anak autisme

Menurut Wenar (1994) autisme berkembang pada 30 bulan pertama dalam hidup,
saat dimensi dasar dari keterkaitan antar manusia dibangun, karenanya periode
perkembangan yang dibahas akan dibagi menjadi masa infant dan toddler dan masa
prasekolah dan kanak-kanak tengah.
1. Masa infant dan toddler
2. Masa prasekolah dan kanak-kanak tengah
a. Faktor afektif-motivasional
Motivasi untuk menjadi partisipan aktif yang kuat pada anak normal, lemah
pada anak autis. Anak autis kurang tertarik dengan teman sebayanya. Anak
autis kurang dalam empati, yaitu proses dimana seseorang berespon secara
afektif terhadap orang lain seperti mereka mengalami affect yang sama dengan
orang tersebut.
b. Reciprocity
Pada anak autis, ketidakmampuan untuk berpartisipasi secara penuh dalam
interkasi sosial resiprokal yang sesuai umur dapat bertahan seumur hidup
mereka.
Tambahan:
Kondisi Arthur
a. Tidak dapat melihat benda yang ditunjuk
Bimo tidak dapat melihat benda yang ditunjuk karena adanya gangguan pada sistem
mirror neuron. Sistem ini berasal dari bagian korteks prefrontal (korteks premotorik),
korteks motorik primer, dan korteks sensori primer. Kemungkinan lain, karena Bimo
tidak memiliki atensi terhadap orang lain akibat terlalu asyik dengan dunianya
sendiri,sehingga ia tidak merespon terhadap perintah yang ditujukan kepadanya. Hal ini
bisa berkaitan dengan teori penurunan ataupun atrofi sel purkinje di cerebellum yang
dapat menyebabkan kelainan atensi.
b. Tidak bisa menunjuk benda yang ditanyakan
Karena kurangnya spontaneous sharing, serta adanya gangguan interaksi sosial dan
perilaku yang disebabkan karena adanya ganguan organic atau gangguan perkembangan
otak tepatnya di daerah sistem limbic (amygdala dan hippocampus). Pada penderita ASD
sel-sel saraf dalam amygdale mengalami hipoplasi (mengecil) dimana amygdale yang
berfungsi sebagai pusat emosi tidak mampu untuk menyampaikan neurotransmitter
dengan baik ke sel-sel saraf berikutnya, impuls saraf terganggu, pusat emosi terganggu,

tidak bisa mngendalikan emosi, interaksi sosial terganggu (tidak bisa melihat benda yang
ditunjuk dan tidak bisa menunjuk benda yang diperintahkan).
c. Kata-kata tidak dapat dimengerti
Neuroanatomi bahasa dilakukan oleh dua daerah di otak yaitu area broca dan area
wernicke (Pembentukan bahasa, konstruksi / penyusunan kalimat terjadi di area wernicke
yang terdapat pada lobus parietal). Pada penderita autism dalam hasil pemeriksaan MRI
banyak didapatkan abnormalitas atau kerusakan dari lobus temporalis sehingga bila
kerusakan ini mencakup area wernicke akan terjadi gangguan pembentukan bahasa pada
pasien autism. Maka dari itu, pertumbuhan abnormal pada kedua daerah tersebut
menyebabkan Bimo mengalami keterlambatan berbicara.
Suara yang di keluarkan hanyalah bahasa planet yang tidak bisa dimengerti
(gangguan komunikasi). Ada 2 kemungkinan penyebab pada gangguan komunikasi
berupa keterlambatan bahasa, yaitu gangguan pada pusat bahasa (area Broca dan
Wernicke) atau tidak adanya stimulus pembelajaran bahasa karena pada anak autism
biasanya memiliki sikap antisosial.
d. Bila memerlukan bantuan menarik tangan ibunya untuk melakukan
Gangguan sulcus temporalis superior mengakibatkan penderita sulit untuk
memahami suatu pembelajaran, khususnya komunikasi, baik verbal ataupun non verbal.
Gangguan komunikasi inilah yang membuat penderita mengambil tangan pendamping
bila memerlukan sesuatu.
e. Tidak bereaksi terhadap panggilan padahal hasil pemeriksaan auditori normal.
Pada anak autis terdapat abnormalitas pada area Wernicke di lobus temporal,
sehingga anak tidak dapat mengerti apa yang diucapkan oleh orang lain dan tidak
menoleh jika dipanggil.
Respon terhadap suara merupakan bagian dari interaksi sosial yang disebabkan
oleh gangguan pada pada korteks prefrontalis medialis (respon abnormal terhadap
stimulus sensoris). Gangguan ini menyebabkan individu memiliki perhatian yang kurang
terhadap keadaan disekelilingnya sehingga tidak menghiraukan orang lain yang sedang
berbicara dengannya.
Sebuah teori mengemukakan bahwa kelainan ini muncul dari gangguan mekanisme
atensi atau dari berlebihnya jumlah striatal beta endorphin.
Berkurangnya sel Purkinye di otak kecil yang merangsang pertumbuhan akson, glia
(jaringan penunjang pada sistem saraf pusat), dan mielin sehingga terjadi pertumbuhan
otak secara abnormal atau sebaliknya, pertumbuhan akson secara abnormal mematikan
sel Purkinye. Penurunan sel purkinje di serebelum mungkin menyebabkan kelainan
atensi, kesadaran dan proses sensorik. Kelainan atensi ini menyebabkan anak tidak
menoleh ketika dipanggil namanya.

Gangguan integrasi sensoris. Gangguan bahasa pada kasus ini juga dapat
disebabkan karena processing system pada otak yang menyebabkan pemasukan tidak
diproses dengan sempurna, sehingga anak autis tidak memahami masukan kata
tersebut.Gangguan sistem prosesing ini disebabkan oleh berbagai gangguan fungsi otak.
Juga terdapat gangguan pada mirror neuron system, yaitu sistem yang diperlukan untuk
mengcopy dan mengerti tindakan dan emosi dari orang lain, dalam hal ini tidak .
f. Tidak mau melihat dan tersenyum kepada pemeriksa
Pada teori Saliance Landscape, anak normal menerima informasi yang ada
dimasukkan ke amigdala, dimana amigdala merupakan pusat emosi di dalam sistem
limbik, hal ini menimbulkan respon emosional. Pada anak autis, hantaran dari korteks
visual dan amigdala menimbulkan respon yang buruk atau berlebihan di amygdala,
dimana impuls dari visual dan amigdala ini merangsang sistem saraf autonomy yang
meningkatkan nadi anak sehingga anak menghindari tatap muka untuk menurunkan
stress.
g. Tidak mau bermain dengan anak lain
Hal ini disebabkan karena adanya gangguan pada bagian otak tertentu, seperti girus
fusiformis. Jika terdapat gangguan pada bagian otak ini akan menyebabkan tidak terdapat
kontak mata pada anak autis dan buruknya interaksi sosial. Selain itu anak autis lebih
asik dengan dunianya sendiri, menyebabkan ia susah berinteraksi dengan orang lain.
Sikap anak aktif yang tidak bisa mengontrol emosinya juga menyebabkan teman-teman
seumurannya takut bermain dengannya, akibatnya ia sulit berinteraksi dengan teman
sebayanya.
h. Melemparkan bola ke lantai secara berulang (gerakan stereotipik)
Alasan aktivitas yang dilakukan berulang-ulang belum dapat dipastikan,
kemungkinan hal ini disebabkan karena adanya gangguan perilaku yang terjadi pada
anak autis. Aktivitas yang berulang-ulang juga khas pada anak autis, sehingga salah satu
kriteria autis berdasarkan DSM IV yaitu adanya gerakan atau aktivitas yang berulangulang.
Pada anak autis gerakan berulang-ulang tersebut dapat berupa menggerak-gerakan
tangan, mengetuk-ngetuk jari, menjedot-jedotkan kepala, melompat-lompat, atau
berputar-putar.
Dan jika melihat benda yang menarik perhatiannya, dapat juga terjadi aktivitas
yang berulang-ulang terhadap benda tersebut sebagai contoh jika ia melihat karet, ia
dapat menjepretkan karet tersebut berkali-kali, memutar-mutar tali, atau pada kasus dapat
terlihat membolak balik kalender bergambar berulang-ulang kali dan melempar bola ke
lantai berulang-ulang.

Banyak penderita ASD mempunyai kepekaan sensorik yang dapat meningkat atau
justru menurun terhadap bau-bauan, suara, rasa, bahkan sentuhan. Kepekaan ini dapat
mempengaruhi keseimbangan seseorang (sistem vestibular), dan kesadaran tubuh
(propiosepsi - mengetahui dimana posisi tubuh, dan bagaimana tubuh bergerak). Perilaku
berulang bisa jadi merupakan cara seorang anak autis untuk mengatasi kelainan
kepekaan sensoris tersebut.
i. Tidak bisa bermain pura-pura
Bimo tidak bisa bermain pura-pura diakibatkan kurangnya social play atau social
imitation (qualitative impairment of communication), serta adanya gangguan interaksi
social dan perilaku. Pada kasus ini, gangguan ataupun kemungkinan kerusakannya ada
pada bagian amygdala dan hippocampus yang fungsi utamanya adalah untuk pengaturan
terhadap long-term memory. Sehingga, Bimo tidak bisa bermain pura-pura atau
imajinatif.

Daftar Pustaka
Maslim, Rusdi. 2013. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ
III dan DSM -5. Jakarta: PT. Nuh Jaya
Brasic, James Robert. 2015. Autism. http://emedicine.medscape.com/article/912781overview#a1, diunduh pada 19 Oktober 2016, pukul 19.25 WIB
Chaste, Pauline. 2012. Austim Risk Factor: Gene, Environment, Gene-Environment
Interaction. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3513682/, diakses pada 9
November 2015
Kaplan, H.I & Saddock, B.J. 2015. Sinopsis Psikiatri. Edisi kedelapan. Jakarta: Bina Rupa
Aksara
Quantum Special Need Training Center. tt. "Pedoman Diagosis". file:///C:/Users/User/
Downloads/131351840-DIAGNOSIS-GANGGUAN-PERKEMBANGAN-PERVASIFpdf.pdf, diunduh pada 19 Oktober 2016, pukul 19.02 WIB
Alifiani, Hervira dan Yuni Maharani. Jurnal Tingkat Sarjana bidang Senirupa dan Desain.
"Pusat Tumbuh Kembang Anak". Bandung: Program Studi Desain Inferior, Fakultas
Seni Rupa dan Desain (FSRD) ITB
2009. Referat Tumbuh Kembang Anak Usia 1-5 Tahun. Bandung: Bagian Ilmu Penyakit
Anak Fakultas Kedokteran

Anda mungkin juga menyukai