Wrapup B-11 DEMAM TYPHOID
Wrapup B-11 DEMAM TYPHOID
SASARAN BELAJAR
LI.1 Mahasiswa Mampu Memahami dan Menjelaskan Salmonella entherica
LO 1.1 Definisi Salmonella
Salmonella adalah bakteri batang gram negatif bersifat motil, tidak
berspora dengan panjang 1,0 sampai 3,0 m dan lebar 0,8 sampai 1,0 m. Jika
dilakukan pewarnaan gram maka pada pemeriksaan mikroskopis akan tampak
batang berwarna merah muda. Dapat memfermentasikan glukosa,
memproduksi gas serta tidak memfermentasikan laktosa dan sukrosa.
Sebagian besar Salmonella menghasilkan H2S. Patogen terhadap manusia atau
binatang bila tertelan (J. Ernest, 1992).
LO 1.2 Morfologi Salmonella
b. Salmonella parathypi A
Media MC membentuk koloni transparan. Pada media TSIA
membentuk alkali pada lereng, asam pada dasar media, tidak
membentuk H2S pada dasar media dan membentuk gas.
c. Salmonella parathypi B
Media MC membentuk koloni transparan. Pada media TSIA
membentuk alkali pada lereng, asam pada dasar media, membentuk
endapan H2S pada dasar media dan membentuk gas.
d. Salmonella parathypi C
Media MC membentuk koloni transparan. Pada media TSIA
membentuk alkali pada lereng, asam pada dasar media, membentuk
endapan H2S pada dasar media dan membentuk gas. (Gerrad B, 1992).
Walaupun begitu banyak serotip dari Salmonella, namun telah disepakati bahwa
hanya terdapat dua spesies, yakni S. bongori dan S. enterica dengan enam subspesies
(tabel 2.1).
Tabel 2.1 Klasifikasi spesies dan
Subspesies
subspesies Salmonella Spesies
Salmonella enterica
S. enteric subsp. enteric (I)
S. enteric subsp. salamae (II)
S. enteric subsp. arizonae (IIIa)
S. enteric subsp. diarizonae (IIIb)
S. enteric subsp. houtenae (IV)
S. enteric subsp. indica (VI)
Salmonella bongori (V)
Klasifikasi Salmonella terbentuk berdasarkan dasar epidemiologi, jenis inang, reaksi
biokimia, dan struktur antigen O, H, V ataupun K. Antigen yang paling umum
digunakan untuk Salmonella adalah antigen O dan H.
Antigen O, berasal dari bahasa Jerman (Ohne), merupakan susunan senyawa
lipopolisakarida (LPS). LPS mempunyai tiga region. Region I merupakan antigen Ospesifik atau antigen dinding sel. Antigen ini terdiri dari unit-unit oligosakarida yang
terdiri dari tiga sampai empat monosakarida. Polimer ini biasanya berbeda antara satu
isolat dengan isolat lainnya, itulah sebabnya antigen ini dapat digunakan untuk
menentukan subgrup secara serologis. Region II merupakan bagian yang melekat pada
antigen O, merupakan core polysaccharide yang konstan pada genus tertentu. Region
III adalah lipid A yang melekat pada region II dengan ikatan dari 2-keto-3deoksioktonat (KDO). Lipid A ini memiliki unit dasar yang merupakan disakarida
yang menempel pada lima atau enam asam lemak. Bisa dikatakan lipid A melekatkan
LPS ke lapisan murein-lipoprotein dinding sel (Dzen, 2003).
Antigen H merupakan antigen yang terdapat pada flagela dari bakteri ini, yang disebut
juga flagelin. Antigen H adalah protein yang dapat dihilangkan dengan pemanasan
atau dengan menggunakan alkohol. Antibodi untuk antigen ini terutamanya adalah
IgG yang dapat memunculkan reaksi aglutinasi. Antigen ini memiliki phase variation,
yaitu perubahan fase salam satu serotip tunggal. Saat serotip mengekspresikan antigen
H fase-1, antigen H fase-2 sedang disintesis (Chart, 2002).
Antigen K berasal dari bahasa Jerman, kapsel. Antigen K merupakan antigen kapsul
polisakarida dari bakteri enteric (Dzen, 2003). Antigen ini mempunyai berbagai
bentuk sesuai genus dari bakterinya. Pada salmonella, antigen K dikenal juga sebagai
virulence antigen (antigen Vi).
Seperti yang sudah dikatakan sebelumnya, antigen menentukan klasifikasi dari
Salmonella, yakni ke dalam serogrup dan serotipnya seperti contoh pada tabel 2.2.
Antigen O
1,2,12
1,4,5,12
6,7
Antigen H
Fase-2
K
a
b
c
Antigen
1,2
1,5
Vi
9,12
Vi
Demikian banyaknya serotip dari Salmonella, namun hanya Salmonella typhi, Salmonella
cholera, dan mungkin Salmonella paratyphi A dan Salmonella parathypi B yang menjadi
penyebab infeksi utama pada manusia. Infeksi bakteri ini bersumber dari manusia, namun
kebanyakan Salmonella menggunakan binatang sebagai reservoir infeksi pada manusia,
seperti babi, hewan pengerat, ternak, kura-kura, burung beo, dan lain-lain. Dari beberapa
jenis salmonella tersebut di atas, infeksi Salmonella typhi merupakan yang tersering (Brooks,
2005). Salmonella typhi
Penamaan yang umum digunakan, seperti Salmonella typhi sebenarnya tidak benar.
Taksonomi S. typhi adalah sebagai berikut.
Phylum : Eubacteria
Class : Prateobacteria
Ordo : Eubacteriales
Family : Enterobacteriaceae
Genus : Salmonella
Species : Salmonella enterica
Subspesies : enteric (I)
Serotipe : typhi
Karena itu, penamaan yang benar adalah S. enterica subgrup enteric serotip typhi, ataupun
sering dipersingkat dengan S. enteric I ser. typhi. Namun penamaan Salmonella typhi telah
umum digunakan karena lebih sederhana sehingga penamaan ini lebih sering digunakan
dalam tulisan ini.
Infeksi terjadi dari memakan makanan yang tercontaminasi dengan feses yang
terdapat bakteri Sal. typhimurium dari organisme pembawa (hosts).
Infeksi dapat menyebar ke seluruh tubuh melalui aliran darah karena dapat
menembus dinding usus tadi ke organ-organ lain seperti hati, paru-paru, limpa,
tulang-tulang sendi, plasenta dan dapat menembusnya sehingga menyerang fetus
pada wanita atau hewan betina yang hamil, dan ke membran yang menyelubungi
otak.
Subtansi racun diproduksi oleh bakteri ini dan dapat dilepaskan dan mempengaruhi
keseimbangan tubuh.
Di dalam hewan atau manusia yang terinfeksi Sal. typhimurium, pada fesesnya
terdapat kumpulan Sal. typhimurium yang bisa bertahan sampai bermingguminggu atau berbulan-bulan.
Bakteri ini tahan terhadap range yang lebar dari temperature sehingga dapat
bertahan hidup berbulan-bulan dalam tanah atau air.
Demam Kontinyu
1. Penyebab infeksi:
infeksi piogenik
infeksi bakteri sistemik
infeksi jamur
infeksi intravascular
infeksi riketsia,chlamydia dan mikoplasma-infeksi virus
infeksi parasit-infeksi mycobacterium
2. Penyebab non-infeksi:
neoplasma
nekrosis jaringan
kelainan kolagen vascular
emboli paru/trombosis vena dalam
obat,metabolisme
Demam dapat disebabkan oleh faktor infeksi ataupun faktor non infeksi. Demam akibat
infeksi bisa disebabkan oleh infeksi bakteri, virus, jamur, ataupun parasit. Infeksi bakteri
yang pada umumnya menimbulkan demam pada anak-anak antara lain pneumonia, bronkitis,
osteomyelitis, appendisitis, tuberculosis, bakteremia, sepsis, bakterial gastroenteritis,
meningitis, ensefalitis, selulitis, otitis media, infeksi saluran kemih, dan lain-lain (Graneto,
2010). Infeksi virus yang pada umumnya menimbulkan demam antara lain viral pneumonia,
influenza, demam berdarah dengue, demam chikungunya, dan virus-virus umum seperti
H1N1 (Davis, 2011). Infeksi jamur yang pada umumnya menimbulkan demam antara lain
coccidioides imitis, criptococcosis, dan lain-lain (Davis, 2011). Infeksi parasit yang pada
umumnya menimbulkan demam antara lain malaria, toksoplasmosis, dan helmintiasis (Jenson
& Baltimore, 2007).
Demam akibat faktor non infeksi dapat disebabkan oleh beberapa hal antara lain faktor
lingkungan (suhu lingkungan yang eksternal yang terlalu tinggi, keadaan tumbuh gigi, dll),
penyakit autoimun (arthritis, systemic lupus erythematosus, vaskulitis, dll), keganasan
(Penyakit Hodgkin, Limfoma non-hodgkin, leukemia, dll), dan pemakaian obat-obatan
(antibiotik, difenilhidantoin, dan antihistamin) (Kaneshiro & Zieve, 2010). Selain itu anakanak juga dapat mengalami demam sebagai akibat efek samping dari pemberian imunisasi
selama 1-10 hari (Graneto, 2010). Hal lain yang juga berperan sebagai faktor non infeksi
penyebab demam adalah gangguan sistem saraf pusat seperti perdarahan otak, status
epileptikus, koma, cedera hipotalamus, atau gangguan lainnya (Nelwan, 2009).
meninggalkan sel-el fagosit dan kemudian berkembang biak diluar sel atau ruang
sinusoid dan selanjutnya masuk kedalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteremia
yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sitemik.
Didalam hati, kuman masuk kedalam kandung empedu, berkembang biak, dan
bersama cairan empedu dieksresikan ecara intermiten kedalam lumen usus. Sebagian
kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi kedalam sirkulasi setelah
menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah
teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan
beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala rekasi
inflamasi istemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, intabilitas
vaskular, gangguan mental, dan koagulasi.
Didalam plah Peyeri makrofag hiperaktif manimbulkan reaksi hiperplasia
jaringan (S. typhi intra makrofag menginduksi rekasi sensitivitas tipa lambat,
hiperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat
erosi pembuluh darah disekitar plague Peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan
hiperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuklear di dinding usus. Proses patoligis
jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus, dan dapat
mengakibatkan perforasi.
Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat
timbulnya komplikai seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskular, pernapasan, dan
gangguan organ lainnya.
LO 3.4 Manifestasi Typhoid Fever
Manifestasi klinis yang terdapat pada demam tifoid meliputi:
a. Demam
Demam merupakan gejala utama demam tifoid. Suhu tubuh berfluktuasi yakni
pada pagi hari lebih rendah atau normal, sementara sore atau malam hari lebih
tinggi. Demam dapat mencapai 38 - 40C. Intensitas demam akan semakin tinggi
disertai dengan gejala lain seperti sakit kepala, diare, nyeri otot, pegal, insomnia,
anoreksia, mual dan muntah. Pada minggu kedua intensitas demam tetap tinggi
dan terus menerus. Bila pasien membaik maka pada minggu ketiga suhu tubuh
berangsur turun dan dapat normal kembali.
b. Gangguan pada saluran pencernaan
Sering ditemukan bau mulut yang tidak sedap karena demam yang lama, bibir
kering dan kadang pecah-pecah, Lidah terlihat kotor dengan ujung dan tepi lidah
kemerahan dan tremor. Umumnya penderita sering mengeluh nyeri perut
terutama nyeri ulu hati disertai mual dan muntah.
c. Gangguan kesadaran
Umumnya terdapat gangguan kesadaran berupa penurunan kesadaran ringan.
Bila gejala klinis berat, tidak jarang penderita akan mengalami koma.
d. Hepatosplenomegali
Pada penderita demam tifoid, hati dan limpa sering ditemukan membesar. Hati terasa kenyal
dan nyeri bila ditekan (Hadinegoro, 2008)
Demam typoid yang tidak diobati sering kali merupakan penyakit berat yang berlangsung
lama dan terjadi selama 4 minggu atau lebih:
1. Minggu pertama: demam yang semakin meningkat, nyeri kepala, malaise, konstipasi, batuk
non produktif, brakikardi relative.
2. Minggu kedua: demam terus menerus, apatis, diare, distensi abdomen, rose spot (dalam
30%) splenomegali (pada 75%).
3. Minggu ketiga: demam terus menerus, delirium, mengantuk, distensi abdomen massif,
diare pea soup.
4. Minggu keempat: perbaikan bertahap pada semua gejala.
Setelah pemulihan, relaps dapat terjadi pada 10% kasus (jarang terjadi setelah terapi
fluorokuinolon). Kasus dapat berlangsung ringan atau tidak tampak. Kasus paratyphoid
serupa dengan typhoid namun biasanya lebih ringan. Masa tunas 7-14 (rata-rata 3 30)hari,
selama inkubasi ditemukan gejala prodromal (gejala awal tumbuhnya penyakit/gejala yang
tidak khas):
1. Perasaan tidak enak badan
2. Lesu
3. Nyeri kepala dan pusing
4. Diare
5. Anoreksia
6. Bradikardi relatif
7. Nyeri otot
(Mansjoer, Arif 1999).
Menyusul gejala klinis yang lain:
1. Demam (> 39 OC) Demam berlangsung 3 minggu
a. Minggu I: Demam remiten, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat pada sore dan
malam hari
b. Minggu II: Demam terus
c. Minggu III: Demam mulai turun secara berangsur angsur
2. Gangguan pada saluran pencernaan
a. Lidah kotor yaitu ditutupi selaput kecoklatan kotor, ujung dan tepi kemerahan, jarang
disertai tremor
C. Metode Serologi
1. Uji aglutinasi
Serum dan biakan dicampur diatas slide, lihat dalam beberapa menit apakah ada
gumpalan. Tes ini berguna untuk identifikasi preliminer biakan dengan cepat.
Terdapat alat untuk mengaglutinasi dan menentukan serogroup salmonella
melalui antigen O nya:A,B,C1,C2,D, dan E.
2. Uji aglutinasi pengenceran tabung (tes Widal)
Uji ini dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap kuman S.thyphi, pada tes ini
terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.thyphi dengan antibodi
yang disebut aglutinin. Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya
aglutinin dalam serum penderita tersangka demam tifoid yaitu:
a. Aglutinin O (dari tubuh kuman)
b. Aglutinin H (flagella kuman)
c. Aglutinin Vi (simpai kuman)
Hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis demam
foid.Pembentukan agglutinin mulai terjadi pada akhi rminggu pertama demam,
kemudian meningkat cepat pada minggu keempat.
Interpretasi hasilnya adalah:
a. Titer O yang tinggi atau meningkat (1:160)menandakan adanya infeksi
aktif.
b. Titer H yang tinggi (1:160) menunjukkan riwayat imunisasi atau infeksi di
masa lampau.
c. Titer antibodi yang tinggi terhadap antigen Vi timbul pada beberapa carrier.
Faktor yang mempengaruhi uji Widal yaitu:
a. Pengobatan dini dengan antibiotik
b. Gangguan pembentukan dengan antibodi, dan pemberian korikosteroid
c. Waktu pengambilan darah
d. Daerah endemik atau non-endemik
e. Riwayat vaksinasi
f. Reaksi anamnesik, yaitu peningkatan titer aglutinin pada infeksi bukan
demam tifoidakibat masa lalu atau vaksinasi.
g. Faktor teknik pemeriksaan antar laboratorium
3. Uji TUBEX
Uji ini merupakan uji semi kuantitatif kolometrik yang cepat (beberapa menit)
dan mudah untuk dikerjakan. Uji ini mendeteksi antibodi anti-S.thyphi 09 pada
serum pasien, dengan cara menghambat ikatan antara IgM anti 09 yang
terkonjugasi pada partikel latex yang berwarna denga lipopolisakarida S.thyphi
yang terkonjugasi pada partikel latex. Hasil positif uji Tubex ini menunjukkan
terdapat infeksi Salmonellae serogrup D walau tidak pada spesifik menunjuk
pada S.thyphi. infeksi oleh S.parathyphi akan memberikan hasil negative.
4. Uji Typhidot
Uji ini dapat mendeteksi antibodi IgM dan IgG yang terdapat pada protein
membran luar Salmonella thyphi. Hasil positif didapatkan 2-3 hari setelah
infeksi dan dapat mengidentifikasi secara spesifik antobodi IgM dan IgG
terhadap antigen S.thyphi seberat 50 kD, yang terdapat pada strip nitroselulosa.
Imunisasi rutin dengan vaksin tifoid pada orang yang terkena kontak dengan penderita
seperti anggoto keluarga dan petugas yang menangani penderita tifoid, dianggap kurang
bermanfaat, tetapi mungkin berguna bagi mereka yang terpapar oleh carier. Vaksin oral tifoid
bias juga memberi perlindungan parsial terhadap demam paratifoid, karena sampai saat ini
belum ditemukan vaksin yang efektif untuk demam paratifoid
(Ilmu Penyakit Tropis)
Pemberian antimikroba.
Bertujuan untuk mengentikan dan mencegah penyebaran kuman. Obat-obat
aantimikroba yang sering digunakan untuk mengobati demam tifoid adalah
kloramfenikol, tiamfenikol, kotromoksazol, ampisilin dan amoksisilin, sefalosporin
generasi ketiga, dan golongan fluorokuinolon.
( Sudoyo,2006)
Case fatality rate (CFR) demam tifoid tahun 1996 sebesar 1,08% dari sleuruh kematian
di Indonesia. Namun demikian berdasarkan hail Survei Kesehatan Rumah Tangga
Departemen Kesehatan RI (SKRT Depkes RI) tahun 1995 demam tifoid tidak termsuk
dalam 10 penyakit dengan mortalitas tinggi
LI.4. Memahami dan menjelaskan antibiotik untuk kuman penyebab demam tifoid
LO.4.1 Kloramfenikol
Tabel 7. Kloramfenikol
Asal dan Kimia
OH
C
C
H
N
H
OH
C
Kloramfenikol : R = -
H
NO2
Tiamfenikol
CH 3 SO 2
:R=-
O
CCl2
H
Farmakodinamik
Efek anti mikroba
Kloramfenikol bekerja dengan menghambat sintesis protein
kuman. Obat ini terikat pada ribosom sub unit 50s dan
menghambat enzim peptidil transferase sehingga ikatan peptida
tidak terbentuk pada proses sintesis protein kuman.
- S.viridans,
- Neisseria,
- Bartonella,
- Brucella,
- P. Multocida,
- C.diphteria,
- Chlamidya,
- Mycoplasma,
- Rickettsia,
- Treponema,
(dan kebanyakan kuman anaerob)
Resistensi
Mekanisme resistensi terhadap kloramfenikol terjadi melalui
inaktivasi obat oleh asetil transferase yang diperantarai oleh
faktor-R (dikendalikan oleh plasmid). Resistensi terhadap
P.aeruginosa. Proteus dan Klebsiella terjadi karena perubahan
permeabilitas membran yang mengurangi masuknya obat ke dalam
sel bakteri.
Farmakokinetik
1. Pemberian oral kloramfenikol diserap dengan cepat ( dalam
darah 2 jam ) bentuk ester kloramfenikol palmitat atau
stearat ( untuk anak-tidak pahit ) mengalami hidrolisis
sebagian di reduksi jadi arilamin ( tidak aktif ) 24 jam, 8090% kloramfenikol ( secara oral ) diekskresikan ginjal.
Interaksi
Farmakoterapi
Demam Tifoid
Salep mata 1 %
Salep kulit 2 %
Efek samping
Reaksi Hematologik
Terdapat dalam 2 bentuk :
1. Reaksi toksik depresi sumsum tulang belakang.
Berhubungan dengan dosis, progresif dan pulih bila
pengobatan dihentikan.
-
belum sempurna
(2) kloramfenikol yang tidak terkonjugasi belum dapat
diekskresi dengan baik oleh ginjal.
Reaksi Neurologik
Dapat terlihat dalam bentuk depresi, bingung, delirium dan sakit
kepala.
Kontraindikasi
-
dilakukan
Resistensi
1). Pembentukan enzim -laktamase :
2.1. Farmakokinetik
Absorpsi
Distribusi
Interaksi
Farmakoterapi
Dosis
Infeksi saluran pernafasan, kulit dan jaringan kulit : 250 500 mg setiap 6 jam.
Infeksi saluran pencernaan, saluran kemih dan kelamin : 500
mg setiap 6 jam.
Septikemia dan bakterial meningitis : 150 - 200 mg/kg BB
sehari dalam dosis terbagi setiap 3 - 4 jam (i.v) 3 hari (i.m)
Anak-anak ( BB<20kg ) :
Infeksi saluran pernafasan, kulit dan jaringan kulit : 25 - 50
mg/kg BB sehari (setiap 6 jam).
Infeksi saluran pencernaan, saluran kemih dan kelamin : 50 100 mg/kg BB sehari (setiap 6 jam).
Septikemia dan bakterial meningitis : 100 - 200 mg/kg BB
sehari dalam dosis terbagi setiap 3 - 4 jam (i.v) 3 hari
(i.m).
Bayi (1mgg/kurang) : 25 mg/kg BB secara i.m./i.v. setiap 8 12 jam.
Bayi (> 1mgg) : 25 mg/kg BB secara i.m./i.v. setiap 6 - 8
jam.
Efek samping
Reaksi Alergi
Kontraindikasi
Pasien yang hipersensitif terhadap amoksisilin, penisilin
S
C
NH
N
COOH
Farmakokinetik
Absorpsi
Interaksi
Efek samping
Hipoprotrombinemia
moksalaktam
(disfungsi
trombosit)
pemberian
Kontraindikasi
Penderita yang hipersensitif terhadap antibiotik golongan
sefalosporin, penisilin atau antibiotik golongan betalaktam lainnya
Tabel 9. Sefalosporin
Farmakodinamik
Efek Antimikroba
Resistensi
Farmakokinetik
Indikasi
Efek samping
Kontraindikasi
menimbulkan
hiperglikemia atau hipoglikemia khususnya
pasien usia lanjut. Tidak boleh pada pasien
DM.
6. Fototoksisitas.
Pada
golongan
klinakfoksasin dan sparkfoksasin.
7. Dll. Diantaranya : tendinitis, sindroma
hemolisis,
gagal
ginjal,
serta
trombositopeni.
1. Epilepsy.
2. Pada wanita hamil, anak-anak dibawah usia
18 tahun dapat menimbulkan kerusakan
sendi.
3. Pada kelainan ginjal dan hati.
4. Pada penderita stroke.
Golongan
Norfloksasin
Siprofolsasin
Ofloksasin
Perfloksasin
Fleroksasin
Dosis
2 x 400 mg/hari selama 14 hari
2 x 500 mg/hari selama 6 hari
2 x 400 mg/hari selama 7 hari
400 mg/hari selama 7 hari
400 mg/hari selama 7 hari
( Rianto, 2008)
DAFTAR PUSTAKA
Behrman, R.E. Kliegman, M.R. Arvin, A.M. (1999). Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Edisi 15.
Volume 2. Jakarta. EGC. 855
Brooks GF, et. al. (2007). Jawetz, Melnick, & Adelberg Mikrobiologi Kedokteran edisi 23.
Jakarta: EGC
Davey Patrick. (2005). At a Glance Medicine. Jakarta. Erlangga. 64
Davey & Wilson. 1969. Davey & Lightbodys Control of Disease in the Tropics. London:
H.K. Lewis & Co. Ltd
Dorland, W.A. (2010). Kamus Kedokteran Dorland. Edisi 31. Jakarta. EGC. 806
Edhi, D.L. (2009). Salmonella typhimurium, Sang jawara penginfeksi dari Genus
Salmonella.
Diunduh
dari
.http://mikrobia.files.wordpress.com/2008/05/salmonellatyphimurium1.pdf
Isselbacher, Braunwald, Wilson, et.al. (1999). Harrison prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam.
Edisi 13. Volume 1. Jakarta. EGC. 100
Muscari, M.E. (2005). Keperawatan Pediatrik. Edisi 3. Jakarta. EGC. 184
Nelwan, R.H.H. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Demam:Tipe dan Pendekatan. Edisi
V. Jilid III . Jakarta. InternaPublishing
Schwartz, M.W. (2004). Pedoman klinis pediatric. Jakarta EGC. 336
Sherwood, Lauralee (2004), Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem edisi 2, Jakarta, EGC.
Sudoyo, A.W. Setiyohadi, B. Alwi, I.et.al. (2009). Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jilid 3.
Jakarta. Interna Publishing
Widoyono. (2011). Penyakit Tropis epidemiologi,
pemberantasannya. Edisi 2. Jakarta. penerbit Erlangga
penularan,
pencegahan
&