Anda di halaman 1dari 35

SKENARIO 1:

DEMAM SORE HARI


Seorang wanita 30 tahun, mengalami demam sejak 1 minggu yang lalu. Demam
dirasakan lebih tinggi pada sore dan malam hari dibandingkan pagi hari. Pada pemeriksaan
fisik kesadaran somnolen, nadi bradikardia, suhu tubuh hiperpireksia ( pengukuran jam 20.00
WIB ), lidah terlihat typhoid tongue. Pemeriksaan Tes Widal didapatkan titer anti -salmonella
typhi O meningkat. Pasien tersebut bertanya kepada dokter apa diagnosis dan cara
penanganannya.

SASARAN BELAJAR
LI.1 Mahasiswa Mampu Memahami dan Menjelaskan Salmonella entherica
LO 1.1 Definisi Salmonella
Salmonella adalah bakteri batang gram negatif bersifat motil, tidak
berspora dengan panjang 1,0 sampai 3,0 m dan lebar 0,8 sampai 1,0 m. Jika
dilakukan pewarnaan gram maka pada pemeriksaan mikroskopis akan tampak
batang berwarna merah muda. Dapat memfermentasikan glukosa,
memproduksi gas serta tidak memfermentasikan laktosa dan sukrosa.
Sebagian besar Salmonella menghasilkan H2S. Patogen terhadap manusia atau
binatang bila tertelan (J. Ernest, 1992).
LO 1.2 Morfologi Salmonella

Berbentuk batang, tidak berspora, bersifat negatif pada pewarnaan Gram.


Ukuran Salmonella bervariasi 13,5 m x 0,50,8 m.
Besar koloni rata-rata 24 mm.
Sebagian besar isolat motil dengan flagel peritrik.
Tumbuh pada suasana aerob dan fakultatif anaerob pada suhu 1541 oC (suhu
pertumbuhan optimal 37,5oC) dan pH pertumbuhan 68.
Mudah tumbuh pada medium sederhana, misalnya garam empedu.
Tidak dapat tumbuh dalam larutan KCN.
Membentuk asam dan kadang-kadang gas dari glukosa dan manosa.
Menghasikan H2S.
Dinding sel nya terdiri atas murein, lipoprotein, fosfolipid, protein, dan
lipopolisakarida (LPS) dan tersusun sebagai lapisan-lapisan (Dzen, 2003).
Antigen O: bagian terluar dari lipopolisakarida dinding sel dan terdiri dari unit
polisakarida yang berulang. Beberapa polisakarida O-spesifik mengandung gula
yang unik. Antigan O resisten terhadap panas dan alkohol dan biasanya terdeteksi
oleh aglutinasi bakteri. Antibodi terhadap antigen O terutama adalah IgM.
Antigen Vi atau K: terletak di luar antigen O, merupakan polisakarida dan yang
lainnya merupakan protein. Antigen K dapat mengganggu aglutinasi dengan
antiserum O, dan dapat berhubungan dengan virulensi. Dapat diidentifikasi dengan
uji pembengkakan kapsul dengan antiserum spesifik.
Antigen H: terdapat di flagel dan didenaturasi atau dirusak oleh panas dan alkohol.
Antigen dipertahankan dengan memberikan formalin pada beberapa bakteri yang
motil. Antigen H beraglutinasi dengan anti-H dan IgG. Penentu dalam antigen H
adalah fungsi sekuens asam amino pada protein flagel (flagelin). Antigen H pada
permukaan bakteri dapat mengganggu aglutinasi dengan antibodi antigen O.

LO 1.3 Klasifikasi Salmonella


Ada 4 spesies Salmonella sp yang patogen terhadap manusia, yaitu:
a. Salmonella thypi
Pada media TSIA, membuat alkali pada lereng, asam pada dasar
media dan membentuk endapan H2S pada dasar media serta tidak
membentuk gas.

b. Salmonella parathypi A
Media MC membentuk koloni transparan. Pada media TSIA
membentuk alkali pada lereng, asam pada dasar media, tidak
membentuk H2S pada dasar media dan membentuk gas.
c. Salmonella parathypi B
Media MC membentuk koloni transparan. Pada media TSIA
membentuk alkali pada lereng, asam pada dasar media, membentuk
endapan H2S pada dasar media dan membentuk gas.
d. Salmonella parathypi C
Media MC membentuk koloni transparan. Pada media TSIA
membentuk alkali pada lereng, asam pada dasar media, membentuk
endapan H2S pada dasar media dan membentuk gas. (Gerrad B, 1992).
Walaupun begitu banyak serotip dari Salmonella, namun telah disepakati bahwa
hanya terdapat dua spesies, yakni S. bongori dan S. enterica dengan enam subspesies
(tabel 2.1).
Tabel 2.1 Klasifikasi spesies dan
Subspesies
subspesies Salmonella Spesies
Salmonella enterica
S. enteric subsp. enteric (I)
S. enteric subsp. salamae (II)
S. enteric subsp. arizonae (IIIa)
S. enteric subsp. diarizonae (IIIb)
S. enteric subsp. houtenae (IV)
S. enteric subsp. indica (VI)
Salmonella bongori (V)
Klasifikasi Salmonella terbentuk berdasarkan dasar epidemiologi, jenis inang, reaksi
biokimia, dan struktur antigen O, H, V ataupun K. Antigen yang paling umum
digunakan untuk Salmonella adalah antigen O dan H.
Antigen O, berasal dari bahasa Jerman (Ohne), merupakan susunan senyawa
lipopolisakarida (LPS). LPS mempunyai tiga region. Region I merupakan antigen Ospesifik atau antigen dinding sel. Antigen ini terdiri dari unit-unit oligosakarida yang
terdiri dari tiga sampai empat monosakarida. Polimer ini biasanya berbeda antara satu
isolat dengan isolat lainnya, itulah sebabnya antigen ini dapat digunakan untuk
menentukan subgrup secara serologis. Region II merupakan bagian yang melekat pada
antigen O, merupakan core polysaccharide yang konstan pada genus tertentu. Region
III adalah lipid A yang melekat pada region II dengan ikatan dari 2-keto-3deoksioktonat (KDO). Lipid A ini memiliki unit dasar yang merupakan disakarida
yang menempel pada lima atau enam asam lemak. Bisa dikatakan lipid A melekatkan
LPS ke lapisan murein-lipoprotein dinding sel (Dzen, 2003).
Antigen H merupakan antigen yang terdapat pada flagela dari bakteri ini, yang disebut
juga flagelin. Antigen H adalah protein yang dapat dihilangkan dengan pemanasan
atau dengan menggunakan alkohol. Antibodi untuk antigen ini terutamanya adalah
IgG yang dapat memunculkan reaksi aglutinasi. Antigen ini memiliki phase variation,
yaitu perubahan fase salam satu serotip tunggal. Saat serotip mengekspresikan antigen
H fase-1, antigen H fase-2 sedang disintesis (Chart, 2002).
Antigen K berasal dari bahasa Jerman, kapsel. Antigen K merupakan antigen kapsul
polisakarida dari bakteri enteric (Dzen, 2003). Antigen ini mempunyai berbagai

bentuk sesuai genus dari bakterinya. Pada salmonella, antigen K dikenal juga sebagai
virulence antigen (antigen Vi).
Seperti yang sudah dikatakan sebelumnya, antigen menentukan klasifikasi dari
Salmonella, yakni ke dalam serogrup dan serotipnya seperti contoh pada tabel 2.2.

Tabel 2.2 Contoh


penggolongan dengan
menggunakan antigen
Antigen O
grup
Fase-1
S. enteriditis
A
bioserotip
B
parathypi A
C
bioserotip
parathypi B
bioserotip
parathypi c
S. typhi
D

Antigen O
1,2,12
1,4,5,12
6,7

Antigen H
Fase-2
K
a
b
c

Antigen
1,2
1,5

Vi

9,12

Vi

Demikian banyaknya serotip dari Salmonella, namun hanya Salmonella typhi, Salmonella
cholera, dan mungkin Salmonella paratyphi A dan Salmonella parathypi B yang menjadi
penyebab infeksi utama pada manusia. Infeksi bakteri ini bersumber dari manusia, namun
kebanyakan Salmonella menggunakan binatang sebagai reservoir infeksi pada manusia,
seperti babi, hewan pengerat, ternak, kura-kura, burung beo, dan lain-lain. Dari beberapa
jenis salmonella tersebut di atas, infeksi Salmonella typhi merupakan yang tersering (Brooks,
2005). Salmonella typhi
Penamaan yang umum digunakan, seperti Salmonella typhi sebenarnya tidak benar.
Taksonomi S. typhi adalah sebagai berikut.
Phylum : Eubacteria
Class : Prateobacteria
Ordo : Eubacteriales
Family : Enterobacteriaceae
Genus : Salmonella
Species : Salmonella enterica
Subspesies : enteric (I)
Serotipe : typhi
Karena itu, penamaan yang benar adalah S. enterica subgrup enteric serotip typhi, ataupun
sering dipersingkat dengan S. enteric I ser. typhi. Namun penamaan Salmonella typhi telah
umum digunakan karena lebih sederhana sehingga penamaan ini lebih sering digunakan
dalam tulisan ini.

LO 1.4 Siklus Hidup Salmonella


Salmonella merupakan bakteri batang gram-negatif. Karena habitat aslinya
yang berada di dalam usus manusia maupun binatang, bakteri ini dikelompokkan ke
dalam enterobacteriaceae.
Isolasi dari mikroorganisme Salmonella pertama sekali dilaporkan pada tahun
1884 oleh Gaffky dengan nama spesies Bacterium thyposum. Kemudian, pada tahun
1886 perkembangan nomenklatur semakin kompleks karena peranan Salmon dan
Smith serta sempat menjadi bahan pembicaraan yang rumit. Bahkan dalam
perkembangannya, Salmonella menjadi bakteri yang paling kompleks dibandingkan
enterobacteriacea lain, oleh karena bakteri ini memiliki lebih dari 2400 serotipe dari
antigen bakteri ini.

Penyebaran dan Siklus hidup Salmonella enterica

Infeksi terjadi dari memakan makanan yang tercontaminasi dengan feses yang
terdapat bakteri Sal. typhimurium dari organisme pembawa (hosts).

Setelah masuk dalam saluran pencernaan maka Sal. typhimurium menyerang


dinding usus yang menyebabkan kerusakan dan peradangan.

Infeksi dapat menyebar ke seluruh tubuh melalui aliran darah karena dapat
menembus dinding usus tadi ke organ-organ lain seperti hati, paru-paru, limpa,
tulang-tulang sendi, plasenta dan dapat menembusnya sehingga menyerang fetus
pada wanita atau hewan betina yang hamil, dan ke membran yang menyelubungi
otak.

Subtansi racun diproduksi oleh bakteri ini dan dapat dilepaskan dan mempengaruhi
keseimbangan tubuh.

Di dalam hewan atau manusia yang terinfeksi Sal. typhimurium, pada fesesnya
terdapat kumpulan Sal. typhimurium yang bisa bertahan sampai bermingguminggu atau berbulan-bulan.

Bakteri ini tahan terhadap range yang lebar dari temperature sehingga dapat
bertahan hidup berbulan-bulan dalam tanah atau air.

LO 1.5 Cara Penularan


Melalui makanan atau minuman yang sudah tercemar oleh bakteri Salmonella. Pada
penderita Tifus, terdapat bakteri samonella pada aliran darah dan usus yang kemudian
akan dikeluarkan melalui kotoran. Penderita dapat menularkan penyakit ini apabila
penderita meyajikan, dan memasak makanan atau memegang barang-barang yang
biasanya digunakan untuk makan tanpa mencuci tangan dengan bersih terlebih
dahulu.Bisa juga disebabkan karena air yang diminum atau yang dipakai untuk mencuci
pealatan makan seperti piring, gelas dan sebagainya atau mencuci sayur dan buah-buahan

sudah tercemar oleh bakteri.Salmonella paratyphi terjadi secara sporadis dengan


penjangkitan yang terbatas dan hanya terjadi pada manusia. Bakteri ini menular melalui
kontak langsung maupun tak langsung dengan tinja atau melalui urin pada pasien
penderita namun hal tersebut jarang ditemukan. Media penularan Salmonella paratyphi
dapat juga melalui makanan dan minuman yang telah tercemar oleh bakteri tersebut
terutama susu, produk susu maupun perikanan, bisa juga tercemar melalui tangan kotor
ataupun lalat yang mungkin menyebabkan kontaminasi. Beberapa penularan yang
berhubungan dengan ketersediaan air telah didokumentasikan. Periode inkubasinya antara
1 hingga 3 minggu. Salmonella paratyphi dikeluarkan melalui tinja dari manusia atau
binatang yang terinfeksi. Kontaminasi tinja dari air tanah atau air permukaan juga air
olahan yang tidak layak dalam pemrosesannya serta air minum yang tak layak untuk
dipakai menjadi penyebab utama timbulnya epidemic air yang disebabkan oleh
Salmonella paratyphi.
LI.2 Mahasiswa Mampu Memahami dan Menjelaskan Demam
LO 2.1 Definisi Demam
Demam adalah peninggian suhu tubuh dari variasi suhu normal sehari-hari yang
berhubungan dengan peningkatan titik patokan suhu di hipotalamus (Dinarello & Gelfand,
2005). Suhu tubuh normal berkisar antara 36,5-37,2C. Derajat suhu yang dapat dikatakan
demam adalah rectal temperature 38,0C atau oral temperature 37,5C atau axillary
temperature 37,2C (Kaneshiro & Zieve, 2010).
Istilah lain yang berhubungan dengan demam adalah hiperpireksia. Hiperpireksia adalah
suatu keadaan demam dengan suhu >41,5C yang dapat terjadi pada pasien dengan infeksi
yang parah tetapi paling sering terjadi pada pasien dengan perdarahan sistem saraf pusat
(Dinarello & Gelfand, 2005).

LO 2.2 Jenis-jenis dan Pola Demam


Adapun tipe-tipe demam yang sering dijumpai antara lain:
Jenis demam
Penjelasan
Demam septik
Pada demam ini, suhu badan
berangsur naik ke tingkat yang
tinggi sekali pada malam hari dan
turun kembali ke tingkat di atas
normal pada pagi hari.
Demam hektik
Pada demam ini, suhu badan
berangsur naik ke tingkat yang
tinggi sekali pada malam hari dan
turun kembali ke tingkat yang
normal pada pagi hari
Demam remiten
Pada demam ini, suhu badan dapat
turun setiap hari tetapi tidak
pernah mencapai suhu normal
Demam intermiten
Pada demam ini, suhu badan turun
ke tingkat yang normal selama
beberapa jam dalam satu hari.

Demam Kontinyu

Pada demam ini, terdapat variasi


suhu sepanjang hari yang tidak
berbeda lebih dari satu derajat.
Demam Siklik
Pada demam ini, kenaikan suhu
badan selama beberapa hari yang
diikuti oleh periode bebas demam
untuk beberapa hari yang
kemudian diikuti oleh kenaikan
suhu seperti semula.
(Sumber: Nelwan, Demam: Tipe dan Pendekatan, 2009)

LO 2.3 Mekanisme Demam


Demam terjadi karena adanya suatu zat yang dikenal dengan nama pirogen.
Pirogen adalah zat yang dapat menyebabkan demam. Pirogen terbagi dua yaitu pirogen
eksogen adalah pirogen yang berasal dari luar tubuh pasien. Contoh dari pirogen eksogen
adalah produk mikroorganisme seperti toksin atau mikroorganisme seutuhnya. Salah satu
pirogen eksogen klasik adalah endotoksin lipopolisakarida yang dihasilkan oleh bakteri gram
negatif. Jenis lain dari pirogen adalah pirogen endogen yang merupakan pirogen yang berasal
dari dalam tubuh pasien. Contoh dari pirogen endogen antara lain IL-1, IL-6, TNF-, dan
IFN. Sumber dari pirogen endogen ini pada umumnya adalah monosit, neutrofil, dan limfosit
walaupun sel lain juga dapat mengeluarkan pirogen endogen jika terstimulasi (Dinarello &
Gelfand, 2005).
Proses terjadinya demam dimulai dari stimulasi sel-sel darah putih (monosit,
limfosit, dan neutrofil) oleh pirogen eksogen baik berupa toksin, mediator inflamasi, atau
reaksi imun. Sel-sel darah putih tersebut akan mengeluarkan zat kimia yang dikenal dengan
pirogen endogen (IL-1, IL-6, TNF-, dan IFN). Pirogen eksogen dan pirogen endogen akan
merangsang endotelium hipotalamus untuk membentuk prostaglandin (Dinarello & Gelfand,
2005). Prostaglandin yang terbentuk kemudian akan meningkatkan patokan termostat di pusat
termoregulasi hipotalamus. Hipotalamus akan menganggap suhu sekarang lebih rendah dari
suhu patokan yang baru sehingga ini memicu mekanisme-mekanisme untuk meningkatkan
panas antara lain menggigil, vasokonstriksi kulit dan mekanisme volunter seperti memakai
selimut. Sehingga akan terjadi peningkatan produksi panas dan penurunan pengurangan
panas yang pada akhirnya akan menyebabkan suhu tubuh naik ke patokan yang baru tersebut
(Sherwood, 2001).
Demam memiliki tiga fase yaitu: fase kedinginan, fase demam, dan fase kemerahan.
Fase pertama yaitu fase kedinginan merupakan fase peningkatan suhu tubuh yang ditandai
dengan vasokonstriksi pembuluh darah dan peningkatan aktivitas otot yang berusaha untuk
memproduksi panas sehingga tubuh akan merasa kedinginan dan menggigil. Fase kedua yaitu
fase demam merupakan fase keseimbangan antara produksi panas dan kehilangan panas di
titik patokan suhu yang sudah meningkat. Fase ketiga yaitu fase kemerahan merupakan fase
penurunan suhu yang ditandai dengan vasodilatasi pembuluh darah dan berkeringat yang
berusaha untuk menghilangkan panas sehingga tubuh akan berwarna kemerahan
(Dalal & Zhukovsky, 2006).

LO 2.4 Etiologi Demam


Demam biasanya terjadi akibat tubuh terpapar infeksi mikroorganisme (virus,
bakteri, parasit).Demam juga bisa disebabkan oleh faktor non infeksi seperti kompleks
imun, nekrosis jaringan, neoplasma, inflamasi (peradangan) lainnya. Ketika virus atau
bakteri masuk ke dalam tubuh, berbagai jenis sel darah putih atau leukosit melepaskan
zat penyebab demam (pirogen endogen) yang selanjutnya memicu produksi
prostaglandin E2 di hipotalamus anterior, yang kemudian meningkatkan nilai-ambang
temperatur dan terjadilah demam. (Sherwood, 2004)

1. Penyebab infeksi:
infeksi piogenik
infeksi bakteri sistemik
infeksi jamur
infeksi intravascular
infeksi riketsia,chlamydia dan mikoplasma-infeksi virus
infeksi parasit-infeksi mycobacterium
2. Penyebab non-infeksi:
neoplasma
nekrosis jaringan
kelainan kolagen vascular
emboli paru/trombosis vena dalam
obat,metabolisme

Demam dapat disebabkan oleh faktor infeksi ataupun faktor non infeksi. Demam akibat
infeksi bisa disebabkan oleh infeksi bakteri, virus, jamur, ataupun parasit. Infeksi bakteri
yang pada umumnya menimbulkan demam pada anak-anak antara lain pneumonia, bronkitis,
osteomyelitis, appendisitis, tuberculosis, bakteremia, sepsis, bakterial gastroenteritis,
meningitis, ensefalitis, selulitis, otitis media, infeksi saluran kemih, dan lain-lain (Graneto,
2010). Infeksi virus yang pada umumnya menimbulkan demam antara lain viral pneumonia,
influenza, demam berdarah dengue, demam chikungunya, dan virus-virus umum seperti
H1N1 (Davis, 2011). Infeksi jamur yang pada umumnya menimbulkan demam antara lain
coccidioides imitis, criptococcosis, dan lain-lain (Davis, 2011). Infeksi parasit yang pada
umumnya menimbulkan demam antara lain malaria, toksoplasmosis, dan helmintiasis (Jenson
& Baltimore, 2007).
Demam akibat faktor non infeksi dapat disebabkan oleh beberapa hal antara lain faktor
lingkungan (suhu lingkungan yang eksternal yang terlalu tinggi, keadaan tumbuh gigi, dll),
penyakit autoimun (arthritis, systemic lupus erythematosus, vaskulitis, dll), keganasan
(Penyakit Hodgkin, Limfoma non-hodgkin, leukemia, dll), dan pemakaian obat-obatan
(antibiotik, difenilhidantoin, dan antihistamin) (Kaneshiro & Zieve, 2010). Selain itu anakanak juga dapat mengalami demam sebagai akibat efek samping dari pemberian imunisasi
selama 1-10 hari (Graneto, 2010). Hal lain yang juga berperan sebagai faktor non infeksi
penyebab demam adalah gangguan sistem saraf pusat seperti perdarahan otak, status
epileptikus, koma, cedera hipotalamus, atau gangguan lainnya (Nelwan, 2009).

LI.3 Mahasiswa Mampu Memahami dan Menjelaskan Typhoid Fever


LO 3.1 Definisi Typhoid Fever
Demam tifoid (typhoid fever) atau disebut juga tifus abdominalis adalah
penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran cerna dengan gejala demam lebih
dari satu minggu dan terdapat gangguan kesadaran.
LO 3.2 Etiologi Typhoid Fever
Demam tifoid disebabkan oleh Salmonella typhi yang merupakan basil Gramnegatif, mempunyai flagel, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, fakulatif anaerob,
Kebanyakkan strain meragikan glukosa, manosa dan manitol untuk menghasilkan asam
dan gas, tetapi tidak meragikan laktosa dan sukrosa. Sementara demam paratifoid yang
gejalanya mirip dengan demam tifoid namun lebih ringan, disebabkan oleh Salmonella
paratyphi A, B, atau C. Organisme Salmonella typhi tumbuh secara aerob dan mampu
tumbuh secara anaerob fakultatif. Kebanyakan spesies resistent terhadap agen fisik
namun dapat dibunuh dengan pemanasan sampai 54,4 C (130 F) selama 1 jam atau
60C (140 F) selama 15 menit. Salmonella tetap dapat hidup pada suhu ruang dan
suhu yang rendah selama beberapa hari dan dapat bertahan hidup selama bermingguminggu dalam sampah, bahan makanan kering dan bahan tinja. (Karnasih et al, 1994)
Kuman ini mempunyai 3 macam antigen, yaitu:
1. Antigen O (somatik), terletak pada lapisan luar, yang mempunyai komponen
protein, lipopolisakarida dan lipid. Sering disebut endotoksin.
2. Antigen H (flagela), terdapat pada flagela, fimbriae danpili dari kuman, berstruktur
kimia protein.
3. Antigen Vi (antigen permukaan), pada selaput dinding kuman untuk melindungi
fagositosis dan berstruktur kimia protein.
LO 3.3 Patogenesis Typhoid Fever
Masuknya kuman Salmonella typhi (S.typhi) dan Salmonella paratyphi
(S.paratyphi) ke dalam tubuh manusia melalui makanan yang terkontaminasi kuman.
Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk kedalam usus dan
selanjutnya berkembang biak. Bila respons imunitas humoral mukosa (IgA) usus
kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel (teutama sel-M) dan
selanjutnya ke lamina propria. Di lamina propria kuman berkembang biak dan difagosit
oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak
didalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plak Peyeri ileum distal dan kemudian ke
kelenjar getah bening mesentrika. Selanjutnya memalui duktus torasikus kuman yang
terdapat didalam makrofag ini masuk kedalam sirkulai darah (mengakibatkan
bakteremia pertama yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ
retikuloendotelial tubuh terutama di hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman

meninggalkan sel-el fagosit dan kemudian berkembang biak diluar sel atau ruang
sinusoid dan selanjutnya masuk kedalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteremia
yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sitemik.
Didalam hati, kuman masuk kedalam kandung empedu, berkembang biak, dan
bersama cairan empedu dieksresikan ecara intermiten kedalam lumen usus. Sebagian
kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi kedalam sirkulasi setelah
menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah
teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan
beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala rekasi
inflamasi istemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, intabilitas
vaskular, gangguan mental, dan koagulasi.
Didalam plah Peyeri makrofag hiperaktif manimbulkan reaksi hiperplasia
jaringan (S. typhi intra makrofag menginduksi rekasi sensitivitas tipa lambat,
hiperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat
erosi pembuluh darah disekitar plague Peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan
hiperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuklear di dinding usus. Proses patoligis
jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus, dan dapat
mengakibatkan perforasi.
Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat
timbulnya komplikai seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskular, pernapasan, dan
gangguan organ lainnya.
LO 3.4 Manifestasi Typhoid Fever
Manifestasi klinis yang terdapat pada demam tifoid meliputi:
a. Demam
Demam merupakan gejala utama demam tifoid. Suhu tubuh berfluktuasi yakni
pada pagi hari lebih rendah atau normal, sementara sore atau malam hari lebih
tinggi. Demam dapat mencapai 38 - 40C. Intensitas demam akan semakin tinggi
disertai dengan gejala lain seperti sakit kepala, diare, nyeri otot, pegal, insomnia,
anoreksia, mual dan muntah. Pada minggu kedua intensitas demam tetap tinggi
dan terus menerus. Bila pasien membaik maka pada minggu ketiga suhu tubuh
berangsur turun dan dapat normal kembali.
b. Gangguan pada saluran pencernaan
Sering ditemukan bau mulut yang tidak sedap karena demam yang lama, bibir
kering dan kadang pecah-pecah, Lidah terlihat kotor dengan ujung dan tepi lidah
kemerahan dan tremor. Umumnya penderita sering mengeluh nyeri perut
terutama nyeri ulu hati disertai mual dan muntah.
c. Gangguan kesadaran
Umumnya terdapat gangguan kesadaran berupa penurunan kesadaran ringan.
Bila gejala klinis berat, tidak jarang penderita akan mengalami koma.
d. Hepatosplenomegali
Pada penderita demam tifoid, hati dan limpa sering ditemukan membesar. Hati terasa kenyal
dan nyeri bila ditekan (Hadinegoro, 2008)

Demam typoid yang tidak diobati sering kali merupakan penyakit berat yang berlangsung
lama dan terjadi selama 4 minggu atau lebih:
1. Minggu pertama: demam yang semakin meningkat, nyeri kepala, malaise, konstipasi, batuk
non produktif, brakikardi relative.
2. Minggu kedua: demam terus menerus, apatis, diare, distensi abdomen, rose spot (dalam
30%) splenomegali (pada 75%).
3. Minggu ketiga: demam terus menerus, delirium, mengantuk, distensi abdomen massif,
diare pea soup.
4. Minggu keempat: perbaikan bertahap pada semua gejala.
Setelah pemulihan, relaps dapat terjadi pada 10% kasus (jarang terjadi setelah terapi
fluorokuinolon). Kasus dapat berlangsung ringan atau tidak tampak. Kasus paratyphoid
serupa dengan typhoid namun biasanya lebih ringan. Masa tunas 7-14 (rata-rata 3 30)hari,
selama inkubasi ditemukan gejala prodromal (gejala awal tumbuhnya penyakit/gejala yang
tidak khas):
1. Perasaan tidak enak badan
2. Lesu
3. Nyeri kepala dan pusing
4. Diare
5. Anoreksia
6. Bradikardi relatif
7. Nyeri otot
(Mansjoer, Arif 1999).
Menyusul gejala klinis yang lain:
1. Demam (> 39 OC) Demam berlangsung 3 minggu
a. Minggu I: Demam remiten, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat pada sore dan
malam hari
b. Minggu II: Demam terus
c. Minggu III: Demam mulai turun secara berangsur angsur
2. Gangguan pada saluran pencernaan
a. Lidah kotor yaitu ditutupi selaput kecoklatan kotor, ujung dan tepi kemerahan, jarang
disertai tremor

b. Hati dan limpa membesar yang nyeri pada perabaan


c. Terdapat konstipasi atau diare
3. Gangguan kesadaran
a. Kesadaran yaitu apatis somnolen
b. Gejala lain ROSEOLA (bintik-bintik kemerahan karena emboli hasil dalam kapiler kulit)
(Rahmad Juwono, 1996).
LO 3.5 Diagnosis Typhoid Fever
A. Spesimen
1. Darah
Harus diambil berulang kali. Pada demam enterik dan septikemia, biakan darah
sering positif dalam minggu pertama penyakit.
2. Sumsum tulang
3. Urin
Biakan ini dapat positif setelah minggu kedua
4. Feses
Harus diambil berulang. Pada demam enterik, feses akan memberikan hasil
positif mulai minggu kedua/ketiga. Pada enterokolitis selama minggu pertama.
5. Drainase duodenum
Biakan ini positif akan menunjukkan adanya Salmonella di traktus biliar pada
orang carrier
B. Metode Bakteriologik untuk isolasi Salmonella
1. Biakan pada medium diferensial
Medium EMB, MacConkey, atau deoksikolat memungkinkan deteksi cepat
organisme yg tidak memfermentasikan laktosa. Medium bismuth sulfit
memungkinkan deteksi cepat salmonella yg membentuk koloni hitam karena
produksi H2S.
2. Biakan pada medium selektif
Spesimen diletakkan pada agar salmonella-shigella (SS), agar Hektoen, XLD,
atau agar deoksikolat-sitrat, yg membantu pertumbuhan salmonella dan shigella
melebihi Enterobacteriaceae lain.
3. Biakan pada medium yang diperkaya
Spesimen (feses) juga diletakkan didalam selenit F atau kaldu tetraionat,
keduanya menghambat replikasi bakteri normal usus dan memungkinkan
multiplikasi salmonella, lalu inkubasi 1-2 hari, dan diletakkan pada medium
diferensial dan medium selekstif.
4. Identifikasi akhir
Koloni yg dicurigai pada medium padat diidentifikasi dengan pola reaksi
biokimia dan uji aglutinasi slide dengan serum spesifik.

C. Metode Serologi
1. Uji aglutinasi
Serum dan biakan dicampur diatas slide, lihat dalam beberapa menit apakah ada
gumpalan. Tes ini berguna untuk identifikasi preliminer biakan dengan cepat.
Terdapat alat untuk mengaglutinasi dan menentukan serogroup salmonella
melalui antigen O nya:A,B,C1,C2,D, dan E.
2. Uji aglutinasi pengenceran tabung (tes Widal)
Uji ini dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap kuman S.thyphi, pada tes ini
terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.thyphi dengan antibodi
yang disebut aglutinin. Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya
aglutinin dalam serum penderita tersangka demam tifoid yaitu:
a. Aglutinin O (dari tubuh kuman)
b. Aglutinin H (flagella kuman)
c. Aglutinin Vi (simpai kuman)
Hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis demam
foid.Pembentukan agglutinin mulai terjadi pada akhi rminggu pertama demam,
kemudian meningkat cepat pada minggu keempat.
Interpretasi hasilnya adalah:
a. Titer O yang tinggi atau meningkat (1:160)menandakan adanya infeksi
aktif.
b. Titer H yang tinggi (1:160) menunjukkan riwayat imunisasi atau infeksi di
masa lampau.
c. Titer antibodi yang tinggi terhadap antigen Vi timbul pada beberapa carrier.
Faktor yang mempengaruhi uji Widal yaitu:
a. Pengobatan dini dengan antibiotik
b. Gangguan pembentukan dengan antibodi, dan pemberian korikosteroid
c. Waktu pengambilan darah
d. Daerah endemik atau non-endemik
e. Riwayat vaksinasi
f. Reaksi anamnesik, yaitu peningkatan titer aglutinin pada infeksi bukan
demam tifoidakibat masa lalu atau vaksinasi.
g. Faktor teknik pemeriksaan antar laboratorium
3. Uji TUBEX
Uji ini merupakan uji semi kuantitatif kolometrik yang cepat (beberapa menit)
dan mudah untuk dikerjakan. Uji ini mendeteksi antibodi anti-S.thyphi 09 pada
serum pasien, dengan cara menghambat ikatan antara IgM anti 09 yang
terkonjugasi pada partikel latex yang berwarna denga lipopolisakarida S.thyphi
yang terkonjugasi pada partikel latex. Hasil positif uji Tubex ini menunjukkan
terdapat infeksi Salmonellae serogrup D walau tidak pada spesifik menunjuk
pada S.thyphi. infeksi oleh S.parathyphi akan memberikan hasil negative.
4. Uji Typhidot
Uji ini dapat mendeteksi antibodi IgM dan IgG yang terdapat pada protein
membran luar Salmonella thyphi. Hasil positif didapatkan 2-3 hari setelah
infeksi dan dapat mengidentifikasi secara spesifik antobodi IgM dan IgG
terhadap antigen S.thyphi seberat 50 kD, yang terdapat pada strip nitroselulosa.

5. Uji IgM Dipstick


Uji ini khusus mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap S.thyphi pada
spesimen serum. Uji ini menggunakan strip yg mengandung antigen
lipopolisakarida (LPS) S.thypoid dan anti IgM, reagen deteksi yg mengandung
antibodi anti Igm yg dilekati dengan lateks pewarna, cairan membasahi strip
sebelum diinkubasi dengan reagen dan serum pasien.
LO 3.6 Penata Laksanaan Typhoid Fever
Pengobatan memakai prinsip trilogi penatalaksanaan demam tifoid, yaitu :
A. Pemberian antibiotik
Terapi ini dimaksudkan untuk membunuh kuman penyebab demam tifoid. Obat
yang sering dipergunakan adalah :
1. Kloramfenikol 100 mg/kg berat badan/hari/4 kali selama 14 hari.
2. Amoksilin 100 mg/kg berat badan/hari/4 kali.
3. Kotrimoksazol 480 mg, 2 x 2 tablet selama 14 hari.
4. Sefalosporin generasi II dan III (ciprofloxacin 2 x 500 mg selama 6 hari;
ofloxacin 600 mg/hari selama 7 hari; ceftriaxone 4 gram/hari selama 3 hari).
B. Istirahat dan perawatan
Langkah ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya komplikasi. Penderita
sebaliknya beristirahat total di tempat tidur selama 1 minggu setelah bebas dari
demam. Mobilisasi dilakukan secara bertahap, sesuai dengan keadaan penderita.
Mengingat mekanisme penularan penyakit ini, kebersihan perorangan perlu dijaga
karena ketidakberdayaan pasien untuk buang air besar dan buang air kecil.
C. Terapi penunjang secara simtomatis dan suportif serta diet
Agar tidak memperberat kerja usus, pada tahap awal penderita diberi makanan
berupa bubur saring. Selanjutnya penderita dapat diberi makanan yang lebih padat
dan akhirnya nasi biasa, suuai dengan kemampuan dan kondisinya. Pemberian
kadar gizi dan mineral perlu dipertimbangkan agar dapat menunjang kesembuhan
penderita.
LO 3.7 Pencegahan Typhoid Fever
Kebersihan makanan dan minuman sangat penting dalam pencegahan demam tifoid.
Merebus fpembuangan sampah dan imunisasi, berguna untuk mencegah penyakit, secara
lebih detail, strategi pencegahan demam tifoid mencakup hal-hal berikut :
1. Penyediaan sumber air minum yang baik
2. Penyediaan jamban yang sehat
3. Sosialisasi budaya cuci tangan
4. Sosialisasi budaya merebus air sampai mendidih sebelum diminum
5. Pemberantasan lalat

6. Pengawasan kepada penjual makanan dan minuman


7. Sosialisasi pemberian ASI pada ibu menyusui
8. Imunisasi
Walaupun imunisasi dianjurkan di AS (kecuali pada kelompok yang berisiko tinggi ).
Imunisasi pencegahan tifoid termasuk dalam program pengembangan imunisasi yang
dianjurkan di Indonesia. Akan tetapi, program ini masih belum diberikan secara gratis
karena keterbatasan sumber daya pemerintah Indonesia. Oleh sebab itu, orangtua harus
membayar biaya imunisasi untuk anaknya. Jenis vaksinasi yang tersedia adalah :
1. Vaksin parenteral utuh
Berasal dari S. typhi utuh yang sudah mati setiap cc vaksin mengandung sekitar 1
millon kuman. Dosis untuk anak usia 1-5 tahun adalah 0,1 cc, anak usia 6-12
tahun adalah 0,25 cc dan dewasa adalah 0,5 cc. dosis diberikan 2 kali dengan
interual 4 minggu. Karena efek samping dan tingkat perlindungannya pendek
maka vaksin ini sudah tidak beredar lagi
2. Vaksin Ty21a
Vaksin oral yang mengandung S. typhi strain Ty21a hidup. Vaksin diberikan pada
usia minimal 6 tahun dengan dosis 1 kapsul setiap 2 hari selama 1 minggu, vaksin
ini memberikan perlindungan selama 5 tahun.
3. Vaksin parental polisakarida
Berasal dari polisakarida kuman salmonella. Vaksin ini diberikan secara parentral
dengan dosis tunggal 0,5 cc intramuscular pada usia mulai 2 tahun dengan dosis
ulangan (booster) setiap 3 tahun. Lama perlindungan sekitar 60-70 %. Jenis vaksin
ini menjadi pilihan utama karena relative paling efektif.

Imunisasi rutin dengan vaksin tifoid pada orang yang terkena kontak dengan penderita
seperti anggoto keluarga dan petugas yang menangani penderita tifoid, dianggap kurang
bermanfaat, tetapi mungkin berguna bagi mereka yang terpapar oleh carier. Vaksin oral tifoid
bias juga memberi perlindungan parsial terhadap demam paratifoid, karena sampai saat ini
belum ditemukan vaksin yang efektif untuk demam paratifoid
(Ilmu Penyakit Tropis)

Pemberian antimikroba.
Bertujuan untuk mengentikan dan mencegah penyebaran kuman. Obat-obat
aantimikroba yang sering digunakan untuk mengobati demam tifoid adalah
kloramfenikol, tiamfenikol, kotromoksazol, ampisilin dan amoksisilin, sefalosporin
generasi ketiga, dan golongan fluorokuinolon.
( Sudoyo,2006)

LO 3.8 Komplikasi Typhoid Fever


Sebagai suatu penyakit sistemik maka hampir semua organ utama tubuh dapat
diserang dan berbagai komplikasi serius dapat terjadi. Beberapa kompliksai yang dapat
terjadi pada demam tifoid yaitu :
Komplikasi Intestinal
1. Perdarahan intestinal :Pada usus yang terinfeksi akan terbentuk tukak/luka yang
berbentuk lonjong dan memanjang terhadap sumbu usus, jika tukak/luka tersebut
menembus lumen usus, hingga kemudian mengenai pembuluh darah, maka akan
terjadi perdarahan usus (perdarahan intestinal). Jika perdarahan terus terjadi, maka
harus segera dilakukan transfusi darah. Karena bila transfusi darah terlambat
dilakukan akan berakibat kematian.
2. Dan jika tukak/luka pada usus tersebut terus memanjang hingga menembus dinding
usus, maka akan terjadi perforasi usus.
Komplikasi Ekstra-Intestinal
1. Hematologi :
Pada saat infeksi, endotoksin pada pembuluh darah akan mengaktifkan sistem
biologik,koagulasi, dan fibrinolisis. Kemudian, akan terjadi pelepasan kinin,
prostaglandin, dan histamin di pembuluh darah. Hal-hal ini akan menyebabkan
terjadinya vasokonstriksi, yang kemudian akan merusak endotel pembuluh
darah dan mengakibatkan KID (Koagulasi Intravaskuler Diseminata)
kompensata dan dekompensata.
Saat proses infeksi, akan terjadi penurunan jumlah trombosit dikarenakan
peningkatan destruksi trombosit dan penurunan pembentukan trombosit yang
kemudian mengakibatkan trombositopenia
2. Hepatitis tifosa
Hepatitis tifosa merupakan pembengkakan hati ringan. Hal ini jarang terjadi,
biasanya hanya 5% penderita demam tifoid yang mengalami hepatitis tifosa. Pada
penderita tifoid, hepatitis tifosa terjadi karena kenaikan enzim tranferase yang tidak
relevan dengan kenaikan serum bilirubin. (hal ini yang membedakan hepatitis yang
disebabkan oleh virus)
3. Pankreatitis tifosa
Pankreatitis tifosa terjadi karena pro inflamasi, virus, bakteri, cacing, maupun zatzat farmakologik
4. Miokarditis
Miokarditis biasanya terjadi tanpa gejala kardiovaskular atau dapat berupa keluhan
sakit dada, gagal jantung kongestif, aritimia, atau syok kardiogenik
5. Neuropsikiatrik
Manifestasinya berupa delirium dengan atau tanpa kejang-kejang, semi-koma atau
koma, hingga sindrom otak akut
(Widodo D. 2009)
LO 3.9 Prognosis Typhoid Fever
Prognosis demam tifoid tergantung pada ketepatan terapi, usia penderita,
keadaan kesehatan sebelumnya, serotip Salmonella penyebab ada dan tidaknya
komplikasi. Di negara maju denga terapi antibiotik yang adekuat, angka mortalitasnya

<1%. Di negara berkembang, angka mortalitasnya >10%, biasanya karena


keterlambatan diagnosis, perawatan dan pengobatan. Munculnya komplikasi, seperti
perforasi gastrointestinal atau perdarahan hebat, meningitis, endokarditis, dan
pneumonia mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi.
Relaps sesudah respon klinis awal terjadi pada 4-8% penderita yang tidak
diobati dengan antibiotik. Pada penderita yang telah mendapat terapi antimikroba yang
tepat, manifestasi klinis relaps menjadi nyata sekitar 2 minggu sesudah penghentian
antibiotik dan menyerupai penyakit akut namun biasanya lebih ringan dan lebih
pendek. Individu yang mengeksresi S.typhi 3 bulan setelah infeksi umumnya menjadi
karier kronis. Resiko menjadi karier pada anak-anak rendah dan meningkat sesuai usia.
Karier kronis terjadi pada 1-5% dari seluruh pasien demam tifoid. Insiden penyakit
saluran empedu (traktus biliaris) lebih tinggi pada karrier kronis dibandingkan dengan
populasi umum.
Angka kematian pada anak-anak 2,6% dan pada orang dewasa 7,4%, rata-rata
5,7%. Prognosis demam tifoid umumnya baik asal penderita cepat berobat. Mortalitas
pada penderita yang dirawat adalah 6%. Prognosis menjadi kurang baik atau buruk bila
terdapat gejala klinis yang berat seperti:

Panas tinggi (hiperpireksia) atau febris continual.

Kesadaran menurun sekali.

Terdapat komplikasi yang berat misalnya dehidrasi dan asidosis, peritonitis,


bronkopnemonia dan lain-lain.

Keadaan gizi penderita buruk (malnutrisi protein)

LO 3.10 Epidemiologi Typhoid Fever


Demam tifoid menyerang penduduk di semua negara. Seperti penyakit
menular lainnya, tifoid banyak ditemukan di semua negara. Seperti penyakit menular
lainnya, tifoid banyak ditemukan di negara berkembang dimana higiene pribadi dan
sanitasi lingkungannya kurang baik. Prevalensi kasus bervariasi tergantung lokasi,
kondisi lingkungan setempat, dan perilaku masyarakat. Angka insidensi di seluruh
dunia sekitar 17 juta per tahun dengan 600.000 orang meninggal karena penyakit ini.
WHO memperkirakan 70% kematian terjadi di Asia.
Survelian Departemen Kesehatan RI, frekuensi kejadian demam tifoid di
Indonesia pada tahun 1990 sebesar 9,2 dan pada tahun 1994 terjadi peningkatan
frekuensi menjadi 15,4 per 10.000 penduduk. Dari survei berbagai rumash sakit di
Indonesia dari tahun 1981 sampai dengan 1986 memperlihatkan peningkatan jumlah
penderita sekitar 35,8% yaitu dari 19.596 menjadi 26.606 kasus.
Insidens demam tifoid bervariasi di tiap daerah dan biasanya terkait dengan
sanitasi lingkungan; di daerah rural (Jawa Barat) 157 kasus per 100.000 penduduk,
sedangkan di daerah urban ditemukan 760-810 per 100.000 penduduk. Perbedaan
insidens di perkotaan berhubungan erat dengan penyediaan air bersih yang belum
memadai serta sanitasi lingkungan dengan pembuangan sampah yang kurang
memenuhi syarat kesehatan lingkungan.

Case fatality rate (CFR) demam tifoid tahun 1996 sebesar 1,08% dari sleuruh kematian
di Indonesia. Namun demikian berdasarkan hail Survei Kesehatan Rumah Tangga
Departemen Kesehatan RI (SKRT Depkes RI) tahun 1995 demam tifoid tidak termsuk
dalam 10 penyakit dengan mortalitas tinggi

LI.4. Memahami dan menjelaskan antibiotik untuk kuman penyebab demam tifoid
LO.4.1 Kloramfenikol
Tabel 7. Kloramfenikol
Asal dan Kimia

Kloramfenikol merupakan kristal putih yang sukar larut dalam air


dan rasanya pahit

Rumus umum molekul


CH 2

OH
C

C
H

N
H

OH
C

Kloramfenikol : R = -

H
NO2

Tiamfenikol

CH 3 SO 2

:R=-

O
CCl2
H

Farmakodinamik
Efek anti mikroba
Kloramfenikol bekerja dengan menghambat sintesis protein
kuman. Obat ini terikat pada ribosom sub unit 50s dan
menghambat enzim peptidil transferase sehingga ikatan peptida
tidak terbentuk pada proses sintesis protein kuman.

Kloramfenikol bersifat bakteriostatik. Pada konsentrasi tinggi


kloramfenikol kadang-kadang bersifat bakterisid terhadap kumankuman tertentu.
Spektrum anti bakteri :
- D.pneumoniae, - S. Pyogenes,

- S.viridans,

- Neisseria,

- Haemophillus, - Bacillus spp,


- Listeria,

- Bartonella,

- Brucella,

- P. Multocida,

- C.diphteria,

- Chlamidya,

- Mycoplasma,

- Rickettsia,

- Treponema,
(dan kebanyakan kuman anaerob)

Resistensi
Mekanisme resistensi terhadap kloramfenikol terjadi melalui
inaktivasi obat oleh asetil transferase yang diperantarai oleh
faktor-R (dikendalikan oleh plasmid). Resistensi terhadap
P.aeruginosa. Proteus dan Klebsiella terjadi karena perubahan
permeabilitas membran yang mengurangi masuknya obat ke dalam
sel bakteri.

Beberapa strain D. Pneumoniae, H. Influenzae, dan N.


Meningitidis bersifat resisten; S. Aureus umumnya sensitif, sedang
enterobactericeae banyak yang telah resisten.

Obat ini juga efektif terhadap kebanyakan strain E.Coli, K.


Pneumoniae, dan P. Mirabilis,

kebanyakan strain Serratia, Providencia dan Proteus


rettgerii resisten,

kebanyakan strain P. Aeruginosa dan S. Typhi

Farmakokinetik
1. Pemberian oral kloramfenikol diserap dengan cepat ( dalam
darah 2 jam ) bentuk ester kloramfenikol palmitat atau
stearat ( untuk anak-tidak pahit ) mengalami hidrolisis

dalam usus dan membebaskan kloramfenikol

2. Parenteral (IV) kloramfenikol suksinat dihidrolisis dalam


jaringan dan membebaskan kloramfenikol.

Masa paruh eliminasinya pada orang dewasa kurang lebih 3 jam,


pada bayi berumur kurang dari 2 minggu sekitar 24 jam. Kira-kira
50% kloramfenikol dalam darah terikat dengan albumin. Obat ini
didistribusikan secara baik ke berbagai jaringan tubuh, termasuk
jaringan otak, cairan serebrospinal dan mata.

( kloramfenikol ) konjugasi ( pasien


gangguan faal haI-waktu paruh memanjang )
Dosis dikurangi bila terdapat gangguan
fungsi hepar.

sebagian di reduksi jadi arilamin ( tidak aktif ) 24 jam, 8090% kloramfenikol ( secara oral ) diekskresikan ginjal.

kloramfenikol 5-10% aktif diekskresi melalui filtrat


glomerulus sedangkan metaboltnya dengan sekresi
tubulus.

Sisanya terdapat dalam bentuk glukoronat atau hidrolisat


lain yang tidak aktif.

( gagal ginjal ) masa paruh kloramfenikol aktif


tidak banyak tidak perlu pengurangan dosis.

Interaksi

Kloramfenikol menghambat botransformasi tolbutamid fenitoin,


dikumarol dan obat lain yang dimetabolisme oleh enzim
mikrosom hepar. Dan toksisitas tinggi bila diberikan bersama
kloramfenikol.
Interaksi obat dengan fenobarbital dan rifampisin
memperpendek waktu paruh kloramfenikol ( kadar obat menjadi
subterapeutik )

Farmakoterapi
Demam Tifoid

1. Pengobatan demam tifoid Kloramfenikol diberikan dosis 4


kali 500 mg sehari sampai 2 minggu bebas demam

Bila relaps diatasi dengan memberikan terapi ulang. Untuk


anak-anak diberikan dosis 50-100mg/kg BB/sehari dibagi
dalam beberapa dosis selama 10 hari.

2. Pengobatan tifoid tiamfenikol dengan dosis 50 mg/kg


BBsehari pada minggu pertama lalu diteruskan 1-2 minggu lagi
dengan dosis separuhnya.
Dosis
a. Kloramfenikol
Terbagi dalam bentuk sediaan :

Kapsul 250 mg dan 500 mg Dengan cara pakai untuk


dewasa 50 mg/kg BBsehari per oral 3-4 dosis atau 1-2
kapsul 4 kali sehari

Infeksi berat dosis dapat ditingkatkan 2 x pada awal terapi


sampai didapatkan perbaikan klinis.

Salep mata 1 %

Obat tetes mata 0,5 %

Salep kulit 2 %

Obat tetes telinga 1-5 %

b. Kloramfenikol palmitat atau stearat


Biasanya berupa botol berisi 60 ml suspensi (tiap 5 l
mengandung Kloramfenikol palmitat atau stearat setara
dengan 125 mg kloramfenikol).
Dosis :
-

Bayi prematur : 25mg/kgBB sehari per oral ( 2 dosis )


Bayi aterm (<2mgg) : 25mg/kgBB per oral ( 4 dosis )
Bayi aterm (2mgg) : 50mg/kgBB per oral (3-4 dosis )

c. Kloramfenikol natrium suksinat


Vial berisi bubuk kloramfenikol natrium suksinat setara
dengan 1 g kloramfenikol yang harus dilarutkan dulu dengan
10 ml aquades steril atau dektrose 5 % (mengandung 100
mg/ml).
Dosis : Dewasa dan Anak, 50 mg/kgBB sehari (IV dengan 4
dosis )
d. Tiamfenikol
Terbagi dalam bentuk sediaan :

Kapsul 250 dan 500 mg


Dosis : Dewasa 1-2 g sehari ( 4 dosis )

Botol berisi pelarut 60 ml dan bubuk Tiamfenikol 1.5 g


yang setelah dilarutkan mengandung 125 mg/5 ml
Dosis : Anak, 25-50 mg/kgBB sehari ( 4 dosis )

Efek samping
Reaksi Hematologik
Terdapat dalam 2 bentuk :
1. Reaksi toksik depresi sumsum tulang belakang.
Berhubungan dengan dosis, progresif dan pulih bila

pengobatan dihentikan.
-

Kelainan darah anemia, retikulositopenia, peningkatan


serum iron, dan iron binding capacity serta vakuolisasi
seri eritrosit muda. ( terlihat bila kadar kloramfenikol
dalam serum melampaui 25 g/ml )

2. Anemia aplastik dengan pansitopenia tidak tergantung dari


dosis atau lama pengobatan. Insiden 1: 24000 50000.

efek diduga idiosinkrasi dan mungkin disebabkan oleh


kelainan genetik.

Kloramfenikol dapat menimbulkan hemolisis pada pasien


defisiens enzim G6PD bentuk mediteranean.

Timbulnya nyeri tenggorok dan infeksi baru selama


pemberian
kloramfenikol
menunjukkan
adanya
kemungkinan leukopeni.

Reaksi Saluran Cerna


Bermanifestasi dalam bentuk mual, muntah, glositis, diare, dan
enterokolitis
Sindromm Gray
Pada neonatus, terutama pada bayi prematur dosis tinggi
(200mg/kg BB) sindrom Gray

Bayi muntah, tidak mau menyusu, pernapasan cepat dan


tidak teratur, perut kembung, sianosis, dan diare tinja
berwarna hijau

Tubuh bayi lemas dan berwarna keabu-abuan; terjadi


pula hipotermi kematian ( 40% )

Efek toksik disebabkan :


(1) sistem konjugasi oleh enzim glukoronil transferase

belum sempurna
(2) kloramfenikol yang tidak terkonjugasi belum dapat
diekskresi dengan baik oleh ginjal.

Mengurangi efek samping dosis kloramfenikol untuk


bayi (<1bln ) tidak boleh melebihi 25 mg/kgBB sehari.

Setelah ini dosis 50 mgKg/BB tidak menimbulkan efek


samping.

Reaksi Neurologik
Dapat terlihat dalam bentuk depresi, bingung, delirium dan sakit
kepala.
Kontraindikasi
-

Tidak dianjurkan penggunaan untuk wanita hamil dan


menyusui

Pada pemakaian jangka panjang perlu


pemeriksaan hematologi secara berkala.

Perlu dilakukan pengawasan terhadap kemungkinan


timbulnya superinfeksi oleh bakteri dan jamur.

Hati-hati bila dipergunakan pada penderita dengan


gangguan fungsi ginjal dan hati

Bayi yang lahir prematur dan bayi baru lahir (2 minggu


pertama).

Tidak untuk pencegahan infeksi, pengobatan influenza,


batuk dan pilek.

dilakukan

Penderita yang hipersensitif terhadap kloramfenikol

(Rianto, 2008) (http://www.dechacare.com) (www.indofarma.co.id)

LO.4.2 Aminopenisilin ( Ampisilin dan Amoksisilin)


Tabel 8. Aminopenisilin (ampisilin dan amoksisilin)
Asal dan Kimia
Aminopenisilin merupakan derivat dari penisilin
Rumus umum molekul
CH
NH 2
Ampisilin : R = -H
Amoksisilin : R = -OH
Farmakodinamik
Efek anti mikroba

Amoksisilin dan aminopenisilin efek bakterisid pada bakteri


gram positif/gram negatif.
Meningococci dan L. monocytogenes sensitif terhadap obat ini.

Kebanyakan isolat Pneumococcal resistensi amoksisilin.

H. influenzae dan grup Streptococcus derajat resistensi.

Enterococci sensitifitas amoksisilin hampir dua kali

Kebanyakan galur N. gonorrhoeae, Escherichia coli, P. mirabilis,


Salmonella dan Shigella rentan amoksisilin pertama kali tahun
1960an

Galur Salmonella resisten (dimediasi plasmid)

Perbedaan amoksisilin dari ampisilin, ialah bahan ini kurang


efektif terhadap Shigellosis (Ganiswara, 2004), kebanyakan galur
Shigella saat ini resisten (Gilman et al., 2000).

Umumnya Pseudomonas, Klebsiella, Serratia, Acinobacter dan


Proteus indol resisten ampisilin dan aminopenisilin lainnya
(Ganiswara, 1994)

Resistensi
1). Pembentukan enzim -laktamase :

Kuman S.aureus, H. Influenza, berbagai batang Gramnegatif

Gram-positif mensekresi -laktamase ekstraseluler


(jumlahnya banyak)

Gram-negatif sedikit mensekresi -laktamase


tempatnya strategis (rongga periplasmik)

-laktamase dihasilkan oleh kuman melalui kendali genetik


(plasmid)

2). Enzim autolisin kuman tidak bekerja sifat toleran terhadap


obat
3). Kuman tidak mempunyai dinding sel ( mikoplasma )
4). Perubahan PBP/obat tidak mencapai PBP

2.1. Farmakokinetik
Absorpsi

Distribusi
Interaksi

Farmakoterapi

Jumlah ampisilin diabsorpsi oral dipengaruhi besarnya dosis


serta ada tidaknya makanan di dalam saluran cerna. ( dosis kecil
persentase diabsorpsi relatif lebih besar ) (Ganiswara, 2004).

Amoksisilincepat terserap saluran gastrointestinal daripada


ampisilin ampisilin terhambat ( makanana di lambung ),
amoksilin tidak.

Spektrum antimikrobial dari amoksisilin pada dasarnya identik


dengan ampisilin (Gilman et al., 2000).

3. Ampisilin& amoksisisilin di ikat protein plasma 20%


masuk ke empedu ( sirkulasi enterohepatik ) ekskresi
( tinja ) penetrasi CSS efektif keadaan meningitis
1. Penisilin umumnya diekskresi proses tubuli ginjal di hambat
probenesid
2. Masa eliminasi pensilin diperpanjang probenesid 2-3 kali lebih
lama.

Dosis

Dosis amoksisilin (Tiap kaptab mengandung amoksisilin trihidrat


setara dengan amoksisilina anhidrat)

a. Anak dengan berat badan kurang dari 20 kg : 20 - 40 mg/kg berat


badan sehari, terbagi dalam 3 dosis.
b. Dewasa atau anak dengan berat badan lebih dari 20 kg : 250 500 mg sehari, sebelum makan.
c. Gonore yang tidak terkomplikasi : amoksisilin 3 gram dengan
probenesid 1 gram sebagai dosis tunggal
Dosis ampisilin (mengandung Ampisilin Trihidrat setara dengan
Ampisilin Anhidrat)

Terapi oralDewasa dan anak-anak ( BB>20 kg ) :

Infeksi saluran pernafasan : 250 - 500 mg setiap 6 jam.


Infeksi saluran pencernaan, saluran kemih dan kelamin : 500 mg
setiap 6 jam
Anak-anak ( BB< 20 kg ): 50 - 100 mg/kg BB sehari
diberikan dalam dosis terbagi setiap 6 jam.

Terapi parenteralDewasa dan anak-anak ( BB>20KG ) :

Infeksi saluran pernafasan, kulit dan jaringan kulit : 250 500 mg setiap 6 jam.
Infeksi saluran pencernaan, saluran kemih dan kelamin : 500
mg setiap 6 jam.
Septikemia dan bakterial meningitis : 150 - 200 mg/kg BB
sehari dalam dosis terbagi setiap 3 - 4 jam (i.v) 3 hari (i.m)

Anak-anak ( BB<20kg ) :
Infeksi saluran pernafasan, kulit dan jaringan kulit : 25 - 50
mg/kg BB sehari (setiap 6 jam).
Infeksi saluran pencernaan, saluran kemih dan kelamin : 50 100 mg/kg BB sehari (setiap 6 jam).
Septikemia dan bakterial meningitis : 100 - 200 mg/kg BB
sehari dalam dosis terbagi setiap 3 - 4 jam (i.v) 3 hari
(i.m).
Bayi (1mgg/kurang) : 25 mg/kg BB secara i.m./i.v. setiap 8 12 jam.
Bayi (> 1mgg) : 25 mg/kg BB secara i.m./i.v. setiap 6 - 8
jam.

Efek samping
Reaksi Alergi

Pada penderita yang diobati Ampisilina (semua jenis penisilin)


reaksi hipersensitif, seperti urtikaria, eritema multiformruam
kulit, pruritus, angioedema,
Syok anafilaksis merupakan reaksi paling serius yang terjadi
pada pemberian secara parenteral.

Reaksi Saluran Cerna


gangguan saluran cerna seperti diare, mual, muntah, glositis dan
stomatitis.
Perubahan Biologik
oral dapat disertai diare ringan yang bersifat sementara disebabkan
gangguan keseimbangan flora usus.
Reaksi Hematologi

Anemia, anemia hemolitik, trombisitopenia, trombositopenia


purpura, eosinophilia, leukopenia, agranulositosi.

Kontraindikasi
Pasien yang hipersensitif terhadap amoksisilin, penisilin

L.O. 4.3. Sefalosporin


Asal dan Kimia
Sefalosporin berasal dari fungus Cephalosporium acremonium
Sefalosporin antibiotika -laktamase menghambat sintesis
dinding sel mikroba
( reaksi transpeptidase tahap ketigapembentukan dinding sel)
Sefalosporin aktif kuman gram positif/garam negatif, tetapi
spektrum masing-masing derivat bervariasi.
Rumus umum molekul

S
C

NH

N
COOH

Farmakokinetik
Absorpsi

Interaksi

Sefalosprorin diekskresi melaui ginjal sekresi tubuli


( kecuali sefoperazon-diekskresi empedu )

Adsorpsi melalui saluran cerna (per oral) sefalektin, sefradin,


sefaklor, sefadroksil, lorakarbef, sefprozil

Sefalotin dan sefapirin secara (i.v) iritasi lokal dan nyeri


pada pemberian IM

Beberapa sefalosporin generasi ketiga mencapai kadar tinggi


di cairan serebrospinal (CSS) bermanfaat meningitis
purulenta

Kadar sefalosporin empedu tinggi sefoperazon

Probenesid mengurangi ekskresi sefalosporin ( kecuali


moksalaktam)
Sefalotin, sefapirin, dan sefotaksim deasetilasi ekskresi
melalui ginjal

Efek samping

Reaksi Saluran Cerna

Reaksi coombs penggunaan sefalosporin dosis tinggi


Depresi sumsum tulang granulositopenia (jarang terjadi)
Sefamandol, moksalaktam dan seperazon minum alkohol
disulfiram

Diare pemberian sefoperazon ekskresi empedu

mengganggu flora normal usus


Reaksi Hematologi

Hipoprotrombinemia
moksalaktam

(disfungsi

trombosit)

pemberian

Kontraindikasi
Penderita yang hipersensitif terhadap antibiotik golongan
sefalosporin, penisilin atau antibiotik golongan betalaktam lainnya
Tabel 9. Sefalosporin

LO.4.4 Golongan kuinolon dan fluorokuinolon


Tabel 10. Golongan kuinolon dan fluorokuinolon
Asal dan Kimia

Asam nalidiksat gol.kuinolon lamakuman


Gram-negative.
Fluorokuinolon gol.kuinolon dengan atom
fluor pada cincin kuinolon. Pada Gram-negatif
dan Gram positif relative lemah.

Farmakodinamik

Efek Antimikroba

Resistensi

Farmakokinetik

Indikasi

Efek samping

Terjadi replikasi dan transkpripsi double


helix DNA kuman2 utas DNA
Fluorokoinolon
menghambat
DNA
girasebersifat bakterisidalkuman mati
Kuinolonkuman Gram-negatif
Spektrum Antibakteri:
E.coli
Providencia
N. Gonorrhoeaae
N. meningitides
Fluorokuinolon tertentu aktif beberapa
mikrobakterium.
Kuman-kuman
anaerob
umumnya resisten.
Tidak dijumpai resistensi plasmid pada
kuinolon. Tetapi terdapat 3 mekanisme :
1. Mutasi gen grysubnit A dari DNA
girase tidak dapat diduduki molekul
obat.
2. Perubahan sel kuman mempersulit
penetrasi obat ke dalam sel.
3. Peningkatan mekanisme pemompaan obat
keluar sel.
Florokuinolon lebih diserap saluran cerna.
Didistribusikan diberbagai organ tubuh.
Dimetabolismehati.
Diekskresikan ginjal.
Infeksi Saluran Kemih.
Infeksi disaluran cerna.
Infeksi saluran nafas.
Penyakit-penyakit yang ditularkan melalui
hubungan seksual.
Infeksi tulang dan sendi.
1. Saluran cerna penggunaan kuinolon
yang bermanifestasi dalam bentuk: mual,
muntah, rasa tidak enak diperut.

Kontraindikasi

2. SSP : Sakit kepala, pusing, kejang,


halusinasi.
3. Hepatotoksisitas Jarang terjadi.
4. Kardiotoksisitas pemanjangan interval
QTc terjadi Aritmia Ventrikel.
5. Disglikemia

menimbulkan
hiperglikemia atau hipoglikemia khususnya
pasien usia lanjut. Tidak boleh pada pasien
DM.
6. Fototoksisitas.
Pada
golongan
klinakfoksasin dan sparkfoksasin.
7. Dll. Diantaranya : tendinitis, sindroma
hemolisis,
gagal
ginjal,
serta
trombositopeni.
1. Epilepsy.
2. Pada wanita hamil, anak-anak dibawah usia
18 tahun dapat menimbulkan kerusakan
sendi.
3. Pada kelainan ginjal dan hati.
4. Pada penderita stroke.

Tabel 11. Golongan Fluorokuinolon yang digunakan pada demam tifoid

Golongan
Norfloksasin
Siprofolsasin
Ofloksasin
Perfloksasin
Fleroksasin

Dosis
2 x 400 mg/hari selama 14 hari
2 x 500 mg/hari selama 6 hari
2 x 400 mg/hari selama 7 hari
400 mg/hari selama 7 hari
400 mg/hari selama 7 hari
( Rianto, 2008)

DAFTAR PUSTAKA
Behrman, R.E. Kliegman, M.R. Arvin, A.M. (1999). Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Edisi 15.
Volume 2. Jakarta. EGC. 855
Brooks GF, et. al. (2007). Jawetz, Melnick, & Adelberg Mikrobiologi Kedokteran edisi 23.
Jakarta: EGC
Davey Patrick. (2005). At a Glance Medicine. Jakarta. Erlangga. 64
Davey & Wilson. 1969. Davey & Lightbodys Control of Disease in the Tropics. London:
H.K. Lewis & Co. Ltd
Dorland, W.A. (2010). Kamus Kedokteran Dorland. Edisi 31. Jakarta. EGC. 806
Edhi, D.L. (2009). Salmonella typhimurium, Sang jawara penginfeksi dari Genus
Salmonella.
Diunduh
dari
.http://mikrobia.files.wordpress.com/2008/05/salmonellatyphimurium1.pdf
Isselbacher, Braunwald, Wilson, et.al. (1999). Harrison prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam.
Edisi 13. Volume 1. Jakarta. EGC. 100
Muscari, M.E. (2005). Keperawatan Pediatrik. Edisi 3. Jakarta. EGC. 184
Nelwan, R.H.H. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Demam:Tipe dan Pendekatan. Edisi
V. Jilid III . Jakarta. InternaPublishing
Schwartz, M.W. (2004). Pedoman klinis pediatric. Jakarta EGC. 336
Sherwood, Lauralee (2004), Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem edisi 2, Jakarta, EGC.
Sudoyo, A.W. Setiyohadi, B. Alwi, I.et.al. (2009). Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jilid 3.
Jakarta. Interna Publishing
Widoyono. (2011). Penyakit Tropis epidemiologi,
pemberantasannya. Edisi 2. Jakarta. penerbit Erlangga

penularan,

pencegahan

&

FKUI. 1995. Farmakologi dan Terapi. Edisi 4. Jakarta


Gunawan, GS. 2011. Farmakologi dan terapi edisi 5.Jakarta : FKUI
http://answers.webmd.com/answers/1173829/how-is-typhoid-fever-treated-and [Diakses pada
25 Maret 2014 pukul 19:50]
http://emedicine.medscape.com/article/231135-followup#a2650[Diakses pada 25 Maret 2014
pukul 21:43]

Anda mungkin juga menyukai