Anda di halaman 1dari 15

Anemia Defisiensi Besi pada Anak

Puteri Nabella
102013177
C4
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Alamat korespondensi Alamat Jl. Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat 11510
Putri_nabela19@yahoo.co.id

Pendahuluan
Anemia merupakan masalah medik yang paling sering dijumpai di klinik di seluruh
dunia, disamping sebagai masalah kesehatan utama masyarakat, terutama di negara berkembang.
Salah satu bentuk anemia yang sering dijumpai yang sangat berkaitan dengan taraf ekonomi
adalah anemia defisiensi besi. Anemia defisiensi besi merupakan masalah defisiensi nutrien
tersering pada anak di seluruh dunia terutama di negara yang sedang berkembang termasuk
Indonesia. Penyakit ini disebabkan oleh kurangnya zat besi dalam tubuh penderita. Fungsi zat
besi itu sendiri yang paling penting adalah dalam perkembangan sistem saraf. Kekurangan zat
besi sangat mempengaruhi fungi kognitif, tingkah laku dan pertumbuhan seorang bayi atau anak.
Besi juga merupakan sumber energi bagi otot sehingga mempengaruhi ketahanan fisik dan
kemampuan bekerja pada remaja dan dewasa. Jika kekuranag zat besi terjadi pada masa
kehamilan maka akan meningkatkan resiko perinatal serta mortalitas bayi.
Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat berkurangnya penyediaan besi
untuk eritropoesis, karena cadangan besi kosong yang pada akhirnya mengakibatkan
pembentukan hemoglobin berkurang. Anemia defisiensi besi ditandai oleh anemia hipokromik
mikrositer dan hasil laboratorium yang menunjukkan cadangan besi yang kosong. Berbeda
dengan anemia akibat penyakit kronik penyediaan besi untuk eritropoesis berkurang oleh karena
pelepasan besi dari sistem retikoendotelial berkurang, sedangkan cadangan besi masih normal.1

Penyakit ini banyak ditemukan di seluruh dunia. Tidak hanya di negeri yang sedang
berkembang saja, tetapi juga di negeri yang sudah maju, terutama mengenai anak yang sedang
dalam pertumbuhan dan wanita hamil yang keperluan besinya lebih besar dari pada orang
dewasa normal.
Skenario
Seorang anak perempuan berusia 6 tahun dibawa oleh ibunya ke puskesmas dengan
keluhan utama pucat sejak 3 bulan yang lalu.

Pembahasan
Anamnesis
Anamnesis merupakan salah satu cara untuk mendiagnosis suatu penyakit. Secara
umum anamnesis adalah pengambilan data yang dilakukan oleh seorang dokter dengan
cara melakukan serangkaian wawancara yang dapat langsung dilakukan terhadap pasien
(auto-anamnesis) atau terhadap keluarganya atau pengantarnya (alo-anamnesis). Pada
anamnesis perlu ditanyakan beberapa hal seperti:

Identitas
Menanyakan identitas penting pada pasien seperti nama, umur atau usia, jenis
kelamin, alamat dan pekerjaan.

Keluhan utama
Menanyakan apa keluhan atau gejala yang menyebabkan pasien datang berobat
dan lamanya.

Riwayat penyakit sekarang (RPS)


a. Cerita kronologis yang terperinci dan jelas tentang keadaan pasien sebelum
ada keluhan sampai dibawa berobat
b. Pengobatan sebelumnya dan hasilnya

c. Perkembangan penyakit

Riwayat Penyakit Dahulu (RPD)


Untuk mengetahui apakah pasien pernah mengalami penyakit yang sama
sebelumnya serta riwayat penyakit lain yang pernah diderita pasien.

Riwayat Keluarga
Untuk mengetahui bagaimana status kesehatan keluarga serta mencari tahu
apakah terdapat anggota keluarga yang memiliki penyakit yang sama.

Riwayat Psychosocial (sosial)


Mengetahui bagaimana lingkungan kerja, sekolah atau tempat tinggal, pemaparan
bahan kimia, pemakaian obat, serta faktor resiko gaya hidup seperti minum
alkohol, merokok, dan narkoba.

Riwayat gizi

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik harus dilakukan secara sistematik dan menyeluruh. Perhatian
khusus diberikan pada:2

Warna kulit: pucat, sianosis, ikterus, kulit telapak tangan kuning seperti jerami.
Purpura: petechie dan echymosis
Kuku: apakah kuku seperti sendok (koilonychia)
Mata: ikterik, konjungtiva pucat, perubahan fundus
Mulut: ulserasi, hipertrofi gusi, perdarahan gusi, atrofi papil lidah, glossitis,

dan stomatitis angularis.


Limfadenopati
Hepatomegali
Splenomegali
Nyeri tulang atau nyeri sumsum
Hemarthrosis atau ankilosis sendi
Pembengkakan parotis
Kelaianan sistem saraf

Pemeriksaan Penunjang

Kelainan laboratorium pada kasus anemia defisiensi besi yang dapat dijumpai seperti:1,2

Kadar hemoglobin dan indeks eritrosit


Didapatkan anemia hipokromik mikrositer dengan penurunan kadar hemoglobin mulai
dari ringan sampai berat. MCV, MCHC, dan MCH menurun. MCV kurang dari 70 fl
hanya didapatkan pada anemia defisiensi besi dan thalasemia mayor. MCHC menurun
pada defisiensi yang lebih berat dan berlangsung lama. Nilai normal MCV sekitar 82
sampai 92 fl, MCH sekitar 27 sampai 31 pg, dan MCHC sekitar 32 sampai 37%. RDW
(red cell distribution width) meningkat yang menandakan adanya anisositosis. Indeks
eritrosit sudah dapat mengalami perubahan sebelum kadar hemoglobin menurun. Kadar
hemoglobin sering turun sangat rendah, tanpa menimbulkan gejala anemia yang
mencolok karena anemia timbul perlahan-lahan.
Pada apusan darah menunjukkan anemia hipokromik mikrositer, anisositosis,
poikilositosis, anulosit, sel pensil, kadang-kadang sel target. Derajat hipokromia dan
mikrositosis berbanding lurus dengan derajat anemia, berbeda dengan thalasemia.
Leukosit dan trombosit normal. Retikulosit rendah dibandingkan dengan derajat anemia.
Pada anemia defisiensi besi karena cacing tambang dijumpai eosinofilia sedangkan pada

perdarahan dapat dijumpai trombositosis.1,2


Kadar besi serum dan TIBC
Kadar besi serum menurun kurang dari 50 mg/dl, Total Iron Binding Capacity (TIBC)

meningkat di atas 350 mg/dl, dan saturasi transferin kurang dari 15 %.


Kadar feritin serum
Feritin serum merupakan indikator cadangan besi yang sangat baik, kecuali pada
keadaan inflamasi dan keganasan tertentu. Pada anemia defisiensi besi kadar serum
feritin dibawah 20 g/dl (ada yang memakai kurang 15 g/dl, ada juga kurang 12g/dl).
Jika terdapat inflamasi maka feritin serum sampai dengan 60 g/dl masih dapat
menunjukkan adanya defisiensi besi. Angka feritin serum yang normal tidak selalu
dapat menyingkirkan adanya defisiensi besi, tetapi feritin serum di atas 100 mg/dl dapat

memastikan tidak adanya defisiensi besi.1,2


Protoporfirin
Protoporfirin merupakan bahan antara pada pembentukan heme. Apabila sintesis heme
terganggu, misalnya karena defisiensi besi, maka protoporfirin akan menumpuk dalam
eritrosit. Angka normal adalah kurang dari 30 mg/dl. Pada anemia defisiensi besi,
protoporfirin meningkat lebih dari 100 g/dl.1,2

Sumsum tulang
Sumsum tulang menunjukan hiperplasia normoblastik ringan sampai sedang dengan
normoblast kecil-kecil dominan.
Pengecatan besi sumsum tulang dengan biru prusia (Perls stain) menunjukkan
cadangan besi yang negatif (butir hemosiderin negatif). Pada keadaan normal 40 sampai
60% normoblast mengandung granula feritin dalam sitoplasmanya, disebut sebagai
sideroblas. Pada defisiensi besi maka sideroblas negatif. Di klinik, pengecatan besi pada
sumsum tulang dianggap sebagai baku emas diagnosis defisiensi besi, namun akhirakhir ini perannya banyak diambil alih oleh pemeriksaan feritin serum yang lebih

praktis.1,2
Perlu dilakukan pemeriksaan untuk mencari penyebab anemia defisiensi besi, seperti
pemeriksaan feses untuk cacing tambang, sebaiknya dilakuakn pemeriksaan
semikuantitatif (Kato-Katz), pemeriksaan darah samar dalam feses, endoskopi, dan lainlain tergantung dari dugaan penyebab defisiensi besi tersebut.2
Diagnosis ditegakkan atas dasar ditemukannya penyebab defisiensi besi,

gambaran eritrosit mikrositik hipokromik, serum iron (SI) rendah dan TIBC meningkat,
tidak terdapat besi dalam sumsum tulang dan reaksi yang baik terhadap pengobatan dengan
besi.3
Diagnosis kerja
Diagnosis ditegakkan berdasarkan penyebab defisiensi besi, gambaran eritrosit mikrositik
hipokromik, SI rendah dan TIBC meningkat, tidak terdapat besi dalam sumsum tulang dan reaksi
yang baik terhadap pengobatan dengan besi. Untuk menegakkan diagnosis harus dilakukan
anamnesis dan pemeriksaan fisis yang teliti disertai pemeriksaan laboratorium yang tepat.
Terdapat tiga tahap diagnosis ADB. Tahap pertama adalah menentukan adanya anemia dengan
mengukur kadar hemoglobin atau hematokrit. Cut off point anemia tergantung kriteria yang dipilih,
apakah kriteria WHO atau kriteria klinik. Tahap kedua adalah memastikan adanya defisiensi besi,
sedangkan tahap ketiga adalah menentukan penyebab dari defisiensi besi yang terjadi.
Secara laboratoris untuk menegakkan diagnosis anemia defisiensi besi (tahap satu dan tahap dua)
dapat dipakai kriteria diagnosis anemia defisiensi besi (modifikasi dari kriteria Kerlin) sebagai
berikut:

Anemia hipokromik mikrositer pada hapusan darah tepi, atau MCV <80 dan MCHC <31%
dengan salah satu dan a, b, c, atau d.

Dua dari tiga parameter di bawah ini:


- Besi serum <50 mg/dl
- TIBC>350 mg/dI
- Saturasi transferin: <15%, atau
Ferritin serum <20 mg/l, atau
Pewarnaan sumsum tulang dengan biru prusia (Perl's stain) menunjukkan cadangan

besi (butir-butir hemosiderin) negatif, atau


Dengan pemberian sulfas ferosus 3 x 200 mg/hari (atau preparat besi lain yangsetara)selama
4 minggu disertai kenaikan kadar hemoglobin lebih dari 2 g/dl.

Pada tahap ketiga ditemukan penyakit dasar yang menjadi penyebab defisiensi besi. Tahap ini
sering merupakan proses yang rumit yang memerlukan berbagai jenis pemeriksaan tetapi
merupakan tahap yang sangat penting untuk mencegah kekambuhan defisiensi besi serta
kemungkinan untuk dapat menemukan sumber perdarahan yang membahayakan. Meskipun
dengan pemeriksaan yang baik, sekitar 20% kasus ADB tidak diketahui penyebabnya.4

DIAGNOSIS BANDING
1) Thalassemia
2) Anemia akibat penyakit kronik
3) Anemia Sideroblastik
Tabel 1 Diagnosis Banding berdasarkan Pemeriksaan Laboratorium 5
Defisiensi Besi
Derajat Anemia
MCV

Ringan sampai

Radang kronik atau

Thalasemia ( atau

Anemia

keganasan
Ringan

)
Ringan

Sideroblastik
Ringan sampai berat

berat
Menurun

Normal atau menurun

Menurun, sangat

Biasanya rendah

sebanding dengan

sedikit

rendah jika

pada jenis

dibanding derajat

kongenital, tetapi

anemia

MCV seringkali

beratnya anemia

meningkat pada
MCH
Besi Serum

Menurun
Menurun

Menurun/normal
Menurun

Menurun
Normal/ Meningkat

jenis yang di dapat


Menurun/normal
Normal/Meningkat

TIBC

< 30
Meningkat

< 50
Menurun

Normal

Normal

sTfR
Saturasi transferin

>360
Meningkat
Menurun

< 360
Normal atau rendah
Menurun/ normal

Bervariasi
Meningkat

Normal
Meningkat

Feritin Serum

< 15%
Menurun

10-20%
Normal

>20%
Meningkat

>20%
Meningkat

Cadangan besi

< 20 g/l
Tidak ada

20-200 g/l
Ada

>50 g/l
Ada

>50g/l
Ada

sumsum tulang
Besi Eritroblas
Elektroforesis

Tidak ada
Normal

Tidak ada
Normal

Ada
HbA2 meningkat

Bentuk cincin
Normal

hemoglobin

pada bentuk

Etiologi
Anemia defisiensi besi dapat disebabkan oleh rendahnya masukan besi, gangguan
absorpsi, serta kehilangan besi akibat perdarahan menahun.

Kehilangan besi akibat perdarahan menahun dapat berasal dari saluran cerna
seperti tukak peptik, kanker lambung, kanker kolon, hemoroid dan infeksi
cacing tambang. Saluran genital wanita seperti menorrhagia atau metrorhagia.

Pada saluran kemih seperti hematuria dan saluran napas seperti hemoptoe.2
Faktor nutrisi: akibat kurangnya jumlah besi total dalam makanan, atau kualitas
besi (bioavaibilitas) yang tidak baik (makanan banyak serat, rendah vitamin C,

dan rendah daging).2


Kebutuhan besi yang meningkat seperti pada prematuritas, infeksi, anak dalam

masa pertumbuhan dan kehamilan.2,3


Gangguan absorpsi besi: gastrektomi, kolitis kronik, diare kronis dan sindrom
malabsorpsi lainnya.2,3

Pada orang dewasa, anemia defisiensi besi yang dijumpai di klinik hampir identik
dengan perdarahan menahun. Faktor nutrisi atau peningkatan kebutuhan besi jarang
sebagai penyebab utama. Penyebab perdarahan paling sering pada laki-laki adalah
perdarahan gastrointestinal, di negara tropik paling sering karena infeksi cacing tambang.
Sedangkan pada wanita paling sering karena menor-metrorhagia.2

Terdapat perbedaan pola etiologi anemia defisiensi besi di masyarakat atau di


lapangan dengan anemia defisiensi besi di rumah sakit atau praktek klinik. Anemia
defisiensi besi di lapangan umumnya disertai anemia ringan atau sedang sedangkan di
klinik pada umumnya disertai anemia derajat berat. Di lapangan, faktor nutrisi lebih
berperan dibandingkan dengan perdarahan.1
Jika ditinjau dari segi umur penderita, etiologi anemia defisiensi besi dapat
digolongan menjadi:3

Bayi dibawah usia 1 tahun disebabkan kekurangan depot besi dari lahir,
misalnya pada prematuritas, bayi kembar, bayi yang dilahirkan oleh ibu yang
anemia. Bisa juga disebabkan oleh pemberian makanan tambahan yang

terlambat, yaitu karena bayi hanya diberi ASI saja.


Anak umur 1 sampai 2 tahun disebabkan karena infeksi yang berulang-ulang
seperti enteritis, bronkopneumonia dan sebagainya. Bisa juga disebabkan oleh

diet yang tidak adekuat.


Anak umur lebih dari 5 tahun disebabkan oleh kehilangan darah kronis karena
infestasi parasit, misalnya ankilostomiasis dan amubiasis. Seekor cacing
Ankylostoma duodenale akan menghisap darah 0,2 sampai 0,3 ml darah setiap
hari. Anemia defisiensi besi pada anak usia diatas 5 tahun juga bisa disebabkan
oleh diet yang tidak adekuat.

Epidemiologi
Anemia defisiensi besi merupakan jenis anemia yang paling sering dijumpai baik
di klinik maupun di masyarakat. Anemia defisiensi besi merupakan anemia yang sangat
sering dijumpai di negara berkembang.1
Perempuan hamil merupakan segmen penduduk yang paling rentan pada anemia
defisiensi besi. Di India, Amerika Latin dan Filipina prevalensi pada perempuan hamil
berkisar antara 35% sampai 99%. Sedangkan di Bali, pada suatu pengunjung puskesmas
didapatkan prevalens anemia sebesar 50% dengan 75% anemia disebabkan oleh defisiensi
besi. Faktor resiko yang dijumpai adalah tingkat pendidikan dan kepatuhan meminum pil
besi.1
Prevalens tertinggi ditemukan pada akhir masa bayi dan awal masa kanak-kanak
diantaranya karena terdapat defisiensi besi saat kehamilan dan percepatan tumbuh masa

kanak-kanak disertai rendahnya asupan besi dari makanan, atau karena penggunaan susu
formula dengan kadar besi yang kurang. Selain itu, anemia defisiensi besi juga banyak
ditemukan pada masa remaja akibat percepatan pertumbuhan, asupan besi yang tidak
adekuat dan diperberat oleh kehilangan darah akibat menstruasi pada remaja putri.
Menurut data Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) pada tahun 2007 menunjukan
prevalens anemia defisiensi besi pada anak balita di Indonesia sekitar 40% sampai 45%.
SKRT tahun 2001 menunujukan prevalens anemia defisiensi besi pada bayi 0 sampai 6
bulan sekitar 61,3% dan bayi 6 sampai 12 bulan sekitar 64,8% sedangkan pada balita
sekitar 48,1%.6
Insidens anemia defisiensi besi pada bayi berusia 12 sampai 36 bulan sekitar 3%,
sedangkan pada remaja putri sekitar 11% sampai 17%. Rentang usia puncak insidens
anemia defisiensi besi antara 12 sampai 18 bulan. Angka prevalensi defisiensi besi lebih
tinggi terjadi diantara anak-anak yang hidup di bawah garis kemiskinan dan diantara anak
Afrika Amerika dan Meksiko Amrika. 20% sampai 40% bayi yang hanya diberi formula
yang tidak diperkaya zat besi atau susu sapi beresiko tinggi menderita defisiensi besi pada
usia 9 sampai 12 bulan. Di Amerika Serikat, bayi yang mendapatkan ASI 15 sampai 25%
beresiko tinggi mengalami defisiensi besi pada usia 9 sampai 12 bulan.7
Patogenesis
Perdarahan menahun ataupun dari etiologi lainnya menyebabkan kehilangan besi
sehingga cadangan besi semakin menurun. Jika cadangan besi menurun maka keadaan ini
disebut iron depleted state. Keadaan ini ditandai dengan penurunan kadar feritin serum,
peningkatan absorbsi besi dalam usus, serta pengecatan besi dalam sumsum tulang
negatif. Apabila kekurangan besi terus berlansung maka penyediaan besi menjadi kosong
sama sekali, penyediaan besi untuk eritropoesis akan berkurang sehingga menimbulkan
gangguan pada bentuk eritrosit tetapi anemia secara klinis belum terjadi, keadaan tersebut
disebut sebagai iron deficient erythropoiesis. Pada fase ini kelainan pertama yang
dijumpai adalah peningkatan kadar protoporfirin, saturasi transferin menurun dan TIBC
meningkat. Apabila jumlah besi menurun terus maka eritropoesis semakin terganggu
sehingga kadar hemoglobin mulai menurun, akibatnya timbul anemia hipokromik
mikrositer sehingga disebut sebagai anemia defisiensi besi. Pada saat itu juga terjadi

kekurangan besi pada epitel serta pada beberapa enzim yang dapat menimbulkan gejala
pada kuku, epitel mulut dan faring serta berbagai gejala lainnya.1,2
Absorpsi Besi
Tubuh mendapatkan masukan besi yang berasal dari makanan dalam usus. Untuk
memasukkan besi dari usus ke dalam tubuh diperlukan proses absorpsi. Absorpsi besi
paling banyak terjadi pada duodenum dan jejunum proksimal disebabkan oleh struktur
epitel usus yang memungkinkan untuk itu.2
Proses absorpsi besi dibagi menjadi 3 fase, yaitu fase luminal, fase mukosal dan
fase korporeal. Pada fase luminal, besi dalam makanan diolah dalam lambung kemudian
siap diserap di duodenum. Besi dalam makanan terdapat dalam 2 bentuk yaitu besi heme
dan besi nonheme. Besi heme terdapat dalam daging dan ikan, proporsi absorpsinya
tinggi, tidak dihambat oleh bahan penghambat sehingga mempunyai bioavailabilitas
tinggi. Sedangkan pada besi nonheme berasal dari sumber tumbuh-tumbuhan, proporsi
absorpsinya rendah, dipengaruhi oleh bahan pemacu atau penghambat sehinga
bioavailabilitasnya rendah. Dalam lambung karena pengaruh asam lambung maka besi
dilepaskan dari ikatannya dengan senyawa lain. Kemudian terjadi reduksi dari besi
bentuk feri ke fero yang siap untuk diserap.2
Fase mukosal merupakan proses penyerapan dalam mukosa usus yang merupakan
suatu proses aktif. Penyerapan besi terjadi terutama melalui mukosa duodenum dan
jejunum proksimal. Penyerapan terjadi secara aktif melalui proses yang sangat kompleks.
Dikenal adanya mucosal block, suatu mekanisme yang dapat mengatur penyerapan besi
melalui mukosa usus.2
Fase korporeal meliputi proses transportasi besi dalam sirkulasi, utilisasi besi oleh
sel-sel yang memerlukan, serta penyimpanan besi oleh tubuh. Besi setelah diserap oleh
enterosit(eputel usus), melewati bagian basal epitel usus, memasuki kapiler usus,
kemudian dalam darah diikat oleh apotransferin menjadi transferin. Transferin akan
melepaskan besi pada sel RES melalui proses pinositosis.2
Banyaknya absorpsi besi tergantung dari jumlah kandungan besi dalam makanan,
jenis besi dalam makanan, adanya bahan penghambat atau pemacu absorpsi dalam
makanan, jumlah cadangan besi dalam tubuh, dan kecepatan eritropoesis.2
Sumber Besi
Bayi baru lahir yang sehat telah mempunyai persedian besi yang cukup samai
berusia 6 bulan, sedangkan pada bayi prematur (neonatus kurang bulan) persedianan

besinya hanya cukup sampai berusia 3 bulan. Makanan yang mengandung banyak besi
seperti hati, ginjal, daging, telur, buah dan sayur yang mengandung klorofil. Untuk
menghindari anemia defisiensi besi, ke dalam sus buatan, tepung untuk makanan bayi dan
beberapa jenis makanan lainnya ditambahkan besi. Akhir-akhir ini banyak dibicarakan
bahaya hemokromatosis sebagai akibat penambahan besi ke dalam makanan.3
Jumlah besi dalam tubuh orang dewasa kira-kira 4 sampai 5 gram, pada bayi kirakira 400 mg yang terbagi pada masa eritrosit 60%, feritin dan hemosiderin 30%,
mioglobin 5 sampai 10%, hemenzim 1% dan besi plasma 0,1%.3
Manifestasi Klinis
Gejala anemia sangat bervariasi, tetapi pada umumnya dapat dibagi menjadi 3
golongan besar, yaitu:1,2

Gejala umum anemia


Gejala umum dari anemia disebut juga sebagai sindroma anemia yaitu merupakan
kumpulan gejala dari anemia, dimana hal ini akan tampak jelas jika hemoglobin
dibawah 7 8 g/dl. Gejala ini berupa badan lemah, lesu, mudah lelah, mata
berkunang-kunang, serta telinga mendenging. Pada anemia defisiensi besi karena
penurunan kadar hemoglobin yang terjadi secara perlahan-lahan sering kali
sindroma anemia tidak terlalu terlihat dibandingkan dengan anemia lain yang
penurunan kadar hemoglobinnya terjadi lebih cepat, oleh karena mekanisme
kompensasi tubuh dapat berjalan dengan baik. Anemia bersifat simtomatik jika
hemoglobin telah turun dibawah 7g/dl. Pada pemeriksaan fisik dijumpai pasien
dengan pucat, terutama pada konjungtiva dan jaringan di bawah kuku.

Gejala khas anemia defisiensi besi


Gejala yang khas dijumpai pada defisiensi besi, tetapi tidak dijumpai pada anemia
jenis lain.
Koilonychia: kuku sendok, kuku menjadi rapuh, bergaris-garis vertikal,

dan menjadi cekung sehingga seperti sendok.


Atrofi papil lidah: permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap karena
papil lidah menghilang.

Stomatitis angularis: adanya peradangan pada sudut mulut sehingga

tampak sebagai bercak berwarna pucat keputihan.


Disfagia: nyeri menelan karena kerusakan epitel hipofaring.
Atrofi mukosa gaster sehingga menimbulkan akhloridia.

Gejala penyakit dasar


Pada anemia defisiensi besi dapat dijumpai gejala-gejala penyakit yang menjadi
penyebab anemia defisiensi besi tersebut. Misalnya, pada anemia akibat penyakit
cacing tambang dijumpai dispepsia, parotis membengkak, dan kulit telapak tangan
berwarna kuning seperti jerami. Pada anemia karena perdarahan kronik akibat
kanker kolon dijumpai gejala gangguan kebiasaan buang air besar atau gejala lain
tergantung dari lokasi kanker tersebut.1,3
Pada anak memperilihatkan gejala lemas, sering berdebar-debar, mudah lelah,

pucat, sakit kepala, iritabel dan sebagainya. Mereka tidak tampak sakit karena perjalanan
penyakitnya bersifat menahun. Tampak pucat terutama pada mukosa bibir dan faring,
telapak tangan dan dasar kuku, konjungtiva okular berwarna kebiruan atau putih mutiara
(pearly white). Papil lidah tampak atrofi. Jantung agak membesar dab terdengar murmur
sistolik yang fungsionil. Pada anak MEP dengan infestasi ankylostoma akan
memperlihatkan perut buncit yang disebut pot belly dan dapat terjadi edema. Tidak ada
pembesaran limpa dan hepar. Pada MEP yang berat dapat ditemukan hepatomegali dan
diatesis hemoragik.3
Penatalaksanaan
Setelah diagnosis ditegakkan maka dibuat rencana pemberian terapi. Terapi
terhadap anemia defisiensi besi dapat berupa:2,3
Terapi kausal : tergantung penyebabnya, misalnya pengobatan cacing tambang,
pengobatan hemoroid, dan lainnya. Terapi kausal harus dilakukan, kalau tidak maka
anemia akan kambuh kembali. Antelmentik diberikan bila ditemukan cacing penyebab
defisiensi besi, (umur) dalam tiap kapsul, diberikan 3 kapsul dengan selang waktu 1
jam, semalam anak dipuasakan dan diberikan laksan setelah 1 jam kapsul ketiga
dimakan. Pirantel pamoate 10mg/kgbb dosis tunggal. Antibioitk diberikan jika

didapatkan infeksi.
Pemberian preparat besi untuk mengganti kekurangan besi dalam tubuh.

Besi per oral: merupakan obat pilihan pertama karena efektif, murah dan aman.
Preparat yang tersedia adalah Sulfas ferosus 3 kali 10 mg/kgbb/hari.

Besi parenteral: obat ini lebih mahal dan penyuntikannya harus intramuskular
dalam atau ada pula yang dapat diberikan secara intravena. Preparat besi
parenteral hanya diberikan bila pemberian peroral tidak berhasil. Preparat yang
tersedia seperti iron dextran complex, iron sorbitol citric acid complex. Efek
samping seperti reaksi anafilaksis, flebitis, sakit kepala, flushing, mual,
muntah, nyeri perut, dan sinkop. Indikasi pemberian besi parenteral jika
intoleransi oral berat, kepatuhan berobat kurang, kolitis ulserativa, dan perlu
meningkatkan hemoglobin secara cepat misalnya praoperasi, hamil trimester
akhir. Dosis besi parenteral harus dihitung dengan tepat karena besi berlebih
akan membahayakan pasien. Besarnya dosis adalah 15 dikurang hemoglobin
sekarang di kali berat badan dikali 3. Untuk menghindari adanya kelebihan
besi maka jangka waktu terapi tidak boleh lebih dari 5 bulan.

Pengobatan lain
Diet: sebaiknya diberikan makanan bergizi dengan tinggi protein terutama yang berasal
dari protein hewani.
Vitamin C: diberikan 3 kali 100 mg per hari untuk meningkatkan absorpsi besi.
Transfusi darah: anemia defisiensi besi jarang memerlukan transfusi darah. Transfusi
darah hanya diberikan bila kadar hemoglobin kurang dari 5 g% dan disertai dengan
keadaan umum yang tidak baik, misalnya gagal jantung, bronkopneumonia dan
sebagainya. Umumnya jarang diberikan transfusi darah karena perjalanan penyakit
menahun.
Pencegahan
Mengingat tingginya prevlensi anemia defisiensi besi di masyarakat maka
diperlukan suatu tindakan pencegahan yang terpadu. Tindakan pencegahan tersebut dapat
berupa:1
Pendidikan kesehatan seperti kesehatan lingkungan, misalnya tentang pemakaian
jamban, perbaikan lingkungan kerja, misalnya pemakaian alas kaki sehingga dapat
mencegah penyakit cacing tambang.

Penyuluhan gizi mendorong konsumsi makanan yang dapat membantu absorpsi

besi.
Pemerantasan infeksi cacing tambang sebagai sumber perdarahan kronik yang
paling sering dijumpai di daerah tropik. Pengendalian infeksi cacing tambang dapat

dilakukan dengan pengobatan masal dengan antelmentik dan perbaikan sanitasi.


Suplementasi besi yaitu pemberian besi profilaksis pada segmen penduduk yang
rentan, seperti ibu hamil dan anak balita. Di Indonesia diberikan pada perempuan

hamil dan anak balita memakiap pil besi dan folat.


Fortifikasi bahan makanan dengan besi, yaitu mencampurkan besi pada bahan
makan. Di negara Barat dilakukan dengan mencampur tepung untuk roti atau bubuk
susu dengan besi.

Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada anak adalah keterlambatan pertumbuhan
(sejak lahir sampai usia 5 tahun), perkembangan otot buruk (jangka panjang), daya
konsentrasi menurun, interaksi sosial menurun, penurunan prestasi pada uji perkembangan,
kemampuan mengolah informasi yang didengar menurun, memperberat keracunan timbal
(penururnan besi memungkinkan saluran gastrointestinal mengabsorbsi logam berat lebih
mudah) dan peningkatan insiden stroke pada bayi dan anak-anak.7
Prognosis
Prognosi akan sangat tergantung juga kepada jenis dan penyebab anemia. Makin
ringan, berarti prognosisnya juga akan baik. Orang muda akan memiliki prognosis lebih
baik terhadap kesembuhan anemia dibandingkan pada manula.
Kesimpulan
Anak perempuan pada kasus tersebut menderita anemia defisiensi besi. Anemia defisiensi besi
adalah anemia yang terjadi akibat kekurangan zat besi dalam darah, artinya konsentrasi
hemoglobin dalam darah berkurang karena terganggunya pembentukan sel-sel darah merah
akibat kurangnya kadar zat besi dalam darah. Gejala-gejala yang diperlihatkan pada anak seperti
lemas, sering berdebar-debar, mudah lelah, pucat, sakit kepala, dan iritabel. Diagnosis harus

ditegakkan secara pasti untuk menghindari tingkat keparahan dan juga komplikasi yang dapat
timbul akibat anemia.
Daftar Pustaka:
1. Bakta IM, Suega K, Dharmayuda TG. Anemia defisiensi besi. Dalam: Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiadi S, penyunting. Buku ajar ilmu penyakit
dalam. Edisi ke-5. Jakarta: Interna Publishing; 2009.h.1127-36.
2. Bakta IM. Hematologi klinik ringkas. Jakarta: EGC; 2013.h.18-9, 26-41.
3. Hassan R, Alatas H, editor. Buku kuliah ilmu kesehatan anak. Jakarta: Bagian Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007.h.432-6, 444-5.
4. Conrad, Marcel. Iron deficiency anemia workup. 4 Agustus 2009. Diunduh dari
http://emedicine.medscape.com/article/202333-workup#showall. Diunduh 23 April 2016.
5. I Made Bakta, Ketut S, Tjokorda G. Buku ajar ilmu penyakit dalam.Hematologi-anemia
defesiensi besi. Edisi ke-5.Jakarta:Interna publishing;2009.h.1127-1136.
6. Windiastuti E. Anemia defisiensi besi. Diunduh dari http://idai.or.id/public-articles/seputarkesehatan-anak/anemia-defisiensi-besi-pada-bayi-dan-anak.html, 23 April 2016
7. Betz CL, Sowden LA. Buku saku keperawatan pediatri. Edisi ke-5. Jakarta: EGC;
2009.h.333-4.

Anda mungkin juga menyukai