Anda di halaman 1dari 3

Latar Belakang Masalah

Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) adalah salah satu Propinsi dari Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Daerah Istimewa Yogyakarta terletak di
bagian selatan Pulau Jawa, dan berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah dan
Samudera Hindia. Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki luas 3.185,80 km2 dan
terdiri atas satu kotamadya, dan empat kabupaten, yang terbagi dalam 78
kecamatan, dan 438 desa/kelurahan. Menurut sensus penduduk 2010, DIY
memiliki populasi 3.452.390 jiwa dengan proporsi 1.705.404 laki-laki, dan
1.746.986 perempuan, serta memiliki kepadatan penduduk sebesar 1.084 jiwa
per km1.
Sebelum kemerdekaan Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki
model pemerintahanya sendiri, yaitu dibawah kuasa Kesultanan Yogyakarta dan
Kesultanan

Pakualaman.

Setelah

Indonesia

menyatakan

kemerdekaanya,

pemimpin kedua kesultanan tersebut: Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Sultan


Pakualam VIII turut memberikan dukungan terhadap NKRI dan dalam amanat
yang ditandatangani Sri Sultan bersama Paku Alam menyatakan Bahwa Negeri
Ngajogjakarta Hadiningrat jang bersifat keradjaan adalah daerah istimewa dari
Negara Republik Indonesia. Semenjak itu daerah kakuasaan Kesultanan
Yogyakarta dan Kesultanan Pakualaman resmi menjadi bagian dari NKRI dengan
status daerah istimewa.

warga negara indonesia (WNI) yang berlatarbelakang ras nonpribumi masih mendapat perlakuan berbeda. Dalam masalah kepemilikan
tanah di Yogyakarta WNI non-pribumi mengalami diskriminasi, terbukti
dengan sulitnya non-pribumi memiliki tanah di Yogyakarta. Permasalahan
ini berakar dari dua hal, Pertama, Permasalahan sejarah. Kedua, karena
ketakutan tanah dikuasai WNI nonpribumi. Dua alasan ini menjadi dasar
keluarnya Surat Instruksi Wakil Gubernur tahun 1975 yang tidak
memperbolehkan WNI nonpribumi memiliki hak milik atas tanah.
Undang-undang larangan kepemilikan tanah bagi WNI non-pribumi ini
sampai sekarang masih terabadikan dalam praktik dinas pertanahan
(BPN) di Yogyakarta, meskipun sebenarnya undang-undang tentang
1 Menurut Informasi Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa (ILPPD) Pem.prov. Daerah
Istimewa Yogyakarta Tahun 2010

masalah ini sudah mendapat instruksi dari negara untuk dicabut. Undangundang demikian sangat tidak relevan untuk diaplikasikan dalam negara
demokrasi.
Indonesia adalah negara demokrasi. Dalam negara demokrasi
kesetaraan setiap anggota masyarakat menjadi pilar utama. Setiap warga
di Indonesia memiliki hak untuk diperlakukan setara dengan warga lain.
Kesetaraan tiap warga negara menjadi pilar untuk membangun apa yang
disebut Soekarno sebagai tujuan dari Negara Indonesia, yang tertuang
dalam sila ke lima: keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sebagai sebuah visi, keadilan sosial terejawantahkan dalam undangundang yang mengatur kesetaraan bagi setiap warga negara. Maka,
Setiap undang-undang yang berlaku di Indonesia, haruslah mengacu pada
visi tersebut. Jika ditemukan unsur undang-undang yang tidak sesuai
maka secara otomatis hukum tersebut tidak sah.
Indonesia tidak mengklaim hukumnya sebagai bagian dari sebuah
aliran tertentu, namun, dapat dilihat bahwa undang-undang hukum
Indonesia merupakan kombinasi dari banyak pemikiran. Dalam kasus ini,
terdapat sebuah benang merah antara model undang-undang yang
berlaku

di

Indonesia

dengan

konsep

hukum

Utilitarianisme

yang

menyatakan bahwa perundang-undangan harus tertuju pada empat hal:


menjamin

nafkah

hidup,

nafkah

yang

berlimpah,

keamanan

dan

kesetaraan (Erwin, 2011).


Dalam

makalah

ini,

permasalahan

undang-undang

larangan

kepemilikan tanah bagi WNI non-pribumi akan dibahas melalui perspektif


utilitarianisme. Untuk membedah kasus ini, Perspektif utilitarianisme
cukup tajam, karena kasus ini menyangkut permasalahan kesetaraan
warga yang menjadi salah satu fokus utilitarianisme.

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraiakan, dapat
dirumuskan rumusan masalah yang akan dijawab dalam makalah ini,
antara lain:

1. Bagaimana undang-undang yang melarang kepemilikan tanah bagi


WNI non-pribumi di Yogykarta?
2. Bagaimana konsep hukum utilitarianisme?
3. Bagaimana permasalahan larangan kepemilikan tanah bagi WNI
non-pribumi di Yogyakarta dalam perspektif utilitarianisme hukum?
Daftar Pusataka:
Muh. Erwin, Filsafat Hukum ; Refleksi Kritis Terhadap Hukum,
Jakarta : Rajawali Press, 2011.

Anda mungkin juga menyukai