Anda di halaman 1dari 5

Perang padri

Sejarah Singkat Terjadinya Perang Paderi

Sejarah terjadinya perang Paderi dimulai dengan pulangnya tiga orang ulama yang baru saja
selesai melakukan ibadah haji dari Mekah pada tahun 1803. Ketiga orang tersebut ialah Haji
Sumanik, Haji Miskin, dan Haji Piobang, dan ke-3 orang tadi memiliki niat untuk membenahi
syariat Islam dari masyarakat Minangkabau yang mereka nilai masih belum sempurna. Tujuan
mula ke-3 haji ini menyulut api semangat Tuanku Nan Renceh yang akhirnya ikut bergabung
bersama mereka karena ia sangat setuju dengan tujuan yang direncanakan. Pada akhirnya, 4
orang ini bergabung dengan ulama-ulama lain yang punya pandangan sama dan membentuk
perkumpulan bernama Harimau Nan Salapan.
Pada suatu masa, Harimau Nan Salapan meminta kaum Adat beserta Yang Dipertuan
Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah melalui Tuanku Lintau agar meninggalkan kebiasaan
mereka yang agak bertentangan dengan syariat Islam yang sesungguhnya. Sayangnya,
beberapa kali perundingan tidak menemukan sebuah kesepakatan antara kaum Adat dengan
kaum Padri. Menyusul hal ini, beberapa nagari (desa) yang ada dalam kerajaan Pagaruyung
mulai bergejolak dan mencapai puncak pada tahun 1815 dimana Tuanku Pasaman memimpin
pasukan kaum Padri untuk menyerang kerajaan tersebut, memecahkan perang di Koto Tangah,
menyebabkan tersingkirnya Sultan Arifin Muningsyah yang harus lari dari ibu kota kerajaan.
Raffles yang mengunjungi Pagaruyung di tahun 1818, melalui catatannya berkata bahwa yang
tersisa hanya puing-puing bekas terbakar.
Terlibatnya Belanda dalam sejarah terjadinya perang Paderi diprakarsai oleh Sultan Tangkal
Alam Bagagar yang saat itu memimpin kaum Adat, karena kaum Adat sedang dalam kondisi
kalah dan Yang Dipertuan Pagaruyung tidak jelas keberadaannya. Permohonan agar Belanda
membantu ini dilaksanakan pada tanggal 21 Februari 1821, meskipun pada waktu itu Sultan
Tangkal Alam tidak dalam kondisi yang berhak membuat perjanjian apapun dengan
mengatasnamakan kerajaan Pagaruyung. Perjanjian ini membuat kerajaan Pagaruyung bagian
dari daerah belanda, dan kemudian mereka menghadiahi Sultan Tangkal Alam Bagagar jabatan
sebagai Regent Tanah Datar.
Bantuan pertama yang diberikan oleh Belanda yang diakibatkan oleh perjanjian bersama kaum
Adat adalah penyerangan Simawang dan Sulit Air yang dipimpin oleh kapten Goffinet dan
kapten Dienema atas perintah Residen James du Puy pada bulan April 1821. Pasukan
tambahan kembali muncul pada 8 Desember 1821 yang dipimpin oleh letnan kolonel Raaff
demi memperkuat posisi di daerah yang kini telah mereka kuasai. Akhirnya, pasukan Belanda
yang dipimpin oleh Raaff mampu mengusir kaum Padri dari Pagaruyung pada tanggal 4 Maret
1822. Tidak lama, Belanda kemudian membangun sebuah benteng pernaha Fort Van der

Capellen di Batusangkar sebagai fasilitas pertahanan, sementara kaum Padri bertahan di Lintau
demi menyusun kekuatan mereka.
Setelah tewasnya kapten Goffinet pada tanggal 5 September 1822, Belanda harus mundur
kembali ke Batusangkar karena serangan terus menerus kaum Padri saat mereka menyerang
Baso. 13 April 1823 menjadi percobaan kedua Raaff untuk menyerang Lintau setelah
mendapatkan bala bantuan, namun pertahanan kaum Padri memaksa Belanda kembali mundur
pada tanggal 16 April, dan pada tanggal 17 April 1824 Raaff meninggal tiba-tiba karena demam
tinggi. Beberapa bulan setelahnya, tepatnya di bulan September, pasukan Belanda yang
dipimpin Mayor Frans Laemin berhasil menundukkan beberapa kawasan di Luhak Agam seperti
Koto Tuo dan Ampang Gadang. Mereka juga berhasil menduduki Biaro dan Kapau dengan
kematian Laemlin karena luka parah sebagai harga yang harus dibayar.
Pada 15 November 1825, perang Paderi memasuki babak tenang seiring dengan perjanjian
Masang yang ditandatangani bersama Tuanku Imam Bonjol dan pemerintah Hindia-Belanda.
.
Isi Perjanjian Masang :
1. Penetapan batas daerah kedua belah pihak.
2. Kaum Padri harus mengadakan perdagangan hanya dengan pihak belanda.

Hal ini dikarenakan pihak Belanda sedang sibuk menghadapi Perang Diponegoro dan perang
lain di Eropa. Selama masa tenang ini, Tuanku Imam Bonjol berusaha merangkul kembali kaum
Adat dan berhasil, membuat kemampuan perang mereka bertambah untuk menghadapi
Belanda ketika kaum Adat mulai menyadari betapa salahnya mereka mengundang Belanda
dalam peperangan ini.
Pada 11 Januari 1833, pasukan baru yang kini merupakan gabungan kaum Adat dan padri
mulai menyerang daerah pertahanan Belanda, dan memakan ratusan korban jiwa. Sultan
Tangkal Alam Bagagar yang ditunjuk Belanda sebagai Regent Tanah Datar juga ditangkap dan
diasingkan ke Batavia. Lamanya periode perang ini memaksa gubernur jenderal Belanda
Johannes van den Bosch untuk melihat langsung kondisi perang Padri ini, dimana ia segera
membuat rencana untuk menjatuhkan Benteng Bonjol yang jadi pusat komando pasukan Padri.
Serangan terhadap Benteng Bonjol ini menandakan fase terakhir dalam sejarah terjadinya
perang Paderi karena setelah berkali-kali mundur dan gagal, pada 3 Agustus 1837 pasukan
yang dipimpin oleh kolonel Michiels berhasil menguasai keadaan setelah bergelombanggelombang serangan dan hujan peluru tanpa henti. Meski Benteng Bonjol berhasil ditaklukkan,
Imam Bonjol berhasil melarikan diri dan bersembunyi. Setelah Imam Bonjol ditipu dengan janji
perundingan dan diasingkan, benteng terakhir kaum Padri juga jatuh ke tangan Belanda pada
tanggal 28 Desember, dan mematikan api semangat perang pada jiwa pasukan Padri.

Tugas sejarah
perang padri

Nama kelompok : 1. Cholid maghfur

(06)

2. ferry suwandi (11)


3. hariyanto

(12)

4. m. khoirul anam

(21)

5. rico yeedha e. a.

(25)

SMK NEGERI 2 PATI


TAHUN AJARAN 2015/2016

Anda mungkin juga menyukai