Anda di halaman 1dari 15

KONTRIBUSI KONSEPSI PSIKOLOGI BEHAVIORISME TERHADAP PERKEMBANGAN

TEORI ILMU KOMUNIKASI


Slamet Mulyana
PENGANTAR
Ilmu komunikasi ibarat oasis, yang menjadi persimpangan jalan dan tempat perjumpaan
berbagai ilmu (musafir) dalam perjalanan ke tujuan keilmuannya masing-masing. Walaupun sebagian
musafir itu sekedar mampir sebentar, ilmu yang dikembangkannya pada saat mampir itu membantu
pertumbuhan ilmu si musafir dan memperkaya oasis tersebut demikian kata Wilbur Schramm, salah
seorang Bapak Ilmu Komunikasi (Dahlan, 1996). Komunikasi adalah suatu ilmu yang cakupannya
luas dan perlintasan ilmu-ilmu lain, seperti psikologi, sosiologi, antropologi, linguistik, ilmu politik,
dan sebagainya.
Kenyataan tersebut menyebabkan banyak teori-teori komunikasi yang sebenarnya dipinjam
dari berbagai disiplin ilmu lain. Fakta bahwa sejauh ini ilmu komunikasi belum menghasilkan teoriteori besar (grand theories), seperti sosiologi atau psikologi, dianggap sebagai kelemahan ilmu
komunikasi oleh sebagian pengamat.Namun, sebagian pengamat lain menegaskan justru di situ
pulalah kekuatannya (Mulyana, 1999). Kenyataan bahwa ilmu komunikasi bersifat multidisipliner dan
merupakan ilmu yang relatif baru tidak membuat membuat rendah diri para pakar ilmu komunikasi,
karena hal itu menjadi tantangan sekaligus peluang untuk mengembangkan ilmu komunikasi sejajar
dengan ilmu-ilmu sosial yang lain.
Menurut Rakhmat (2001), banyak teori dalam ilmu komunikasi dilatarbelakangi
konsepsi-konsepsi psikologi tentang manusia. Paling tidak, ada empat teori psikologi yang paling
dominan yang dianggap sebagai akar dari teori komunikasi, yaitu Psikoanalisis, Behaviorisme,
Psikologi Kognitif, dan Psikologi Humanistis.
Setiap pendekatan (konsepsi) tersebut memandang manusia dengan cara yang berlainan, yang
akan mempengaruhi pandangannya tentang karakteristik manusia sebagai pelaku utama komunikasi.
Dalam tulisan ini akan dibahas konsepsi behaviorisme, yang pada dasarnya melihat manusia
sebagai Homo Mechanicus (makhluk yang digerakkan semaunya oleh lingkungan)
Secara umum, pembahasan materi dalam tulisan ini dilakukan dengan tujuan untuk
memberikan gambaran singkat tentang kontribusi pandangan (konsepsi) Psikologi Behaviorisme
terhadap perkembangan teori dalam Ilmu Komunikasi, dalam tulisan ini dibahas pemahaman singkat
tentang

perkembangan

konsepsi

psikologi

behaviorisme,

yang

mencakup

perkembangan

pemikirannya sekaligus tokoh-tokohnya. Selanjutnya dibicarakan kontribusi behaviorisme dalam


konteks komunikasi interpersonal dan komunikasi massa.
SEJARAH SINGKAT MAHZAB BEHAVIORISME
Dalam perkembangan Psikologi, yang mendapat sebutan mazhab kedua adalah karya para
ahli yang berhubungan dengan teori Behaviorisme. Teori yang bersifat umum ini dirumuskan oleh
John B. Watson (1878-1958) tepat pada peralihan abad ini. Saat itu, Watson adalah seorang guru besar

psikologi di Universitas Johns Hopkins. la berupaya menjadikan studi tentang manusia seobjektif dan
seilmiah mungkin, karenanya seperti Sigmund Freud, ia berusaha mereduksikan tingkah laku manusia
menjadi perkara kimiawi dan fisik semata.
Kini kata behaviorisme biasanya digunakan untuk melukiskan isi sejumlah teori yang saling
berhubungan di bidang psikologi, sosiologi dan ilmu-ilmu tingkah laku meliputi bukan hanya karya
John Watson, melainkan juga karya tokoh-tokoh seperti Edward Thorndike, Clark Hull, John Dollard,
Neal Miller, B.F. Skinner, dan masih banyak lagi. Para pendahulu aliran pemikiran ini adalah Isaac
Newton, yang berhasil mengembangkan metode ilmiah di bidang ilmu-ilmu fisik, dan Charles
Darwin, yang menyatakan bahwa manusia merupakan hasil proses evolusi secara kebetulan dari binatang-binatang yang lebih rendah.
Behaviorisme

amat

banyak menentukan perkembangan psikologi terutama

dalam

ekperimen-eksperimen. Walaupun Watson sering dianggap tokoh utama aliran ini, tetapi sebenarnya
perkembangannya dapat dilacak sampai kepada empirisisme dan hedonisme pada abad XVIII
XVIII.
Aristoteles berpendapat bahwa pada waktu lahir jiwa manusia tidak memiliki apa-apa, ibarat
sebuah meja lilin (tabula rasa) yang siap dilukis oleh pengalaman. Dari Aristoteles, John Locke (1632
- 1704), tokoh empirisme Inggris, meminjam konsep ini. Menurut kaum empiris, pada waktu lahir
manusia tidak mempunyai warna mental.Warna ini didapat dari pengalaman. Pengalaman
satu-satunya jalan ke pemilikan pengetahuan. Bukanlah ide yang menghasilkan pengetahuan, tetapi
keduanya adalah produk pengalaman. Secara psikologis, ini berarti seluruh perilaku manusia,
kepribadian dan temperamen ditentukan oleh pengalaman inderawi (sensory experience). Pikiran dan
perasaan, bukan penyebab perilaku tetapi disebabkan perilaku masa lalu.
Behaviorisme lahir sebagai reaksi terhadap introspeksionisme dan juga psikoanalisis.
Behaviorisme ingin menganalisis hanya perilaku yang nampak saja, yang dapat diukur, dilukiskan,
dan diramalkan. Belakangan, teori kaum behavioris lebih dikenal dengan nama teori belajar, karena
menurut mereka seluruh perilaku manusia kecualiinstink adalah hasil belajar. Belajar artinya
perubahan perilaku organisme sebagai pengaruh lingkungan. Behaviorisme tidak mau mempersoalkan
apakah manusia baik atau jelek, rasional atau emosional; behaviorisme hanya ingin mengetahui
bagaimana perilakunya dikendalikan oleh faktor-faktor lingkungan. Dari sinilah timbul konsep
manusia mesin (Homo Mechanicus).
Teori Freud dikembangkan terutama dengan mendengarkan para pasiennya dan dari hasil
interpretasi subjektifnya atas aneka neurosis para pasiennya itu. Sebaliknya, kaum Behavioris
memusatkan diri pada pendekatan ilmiah yang sungguh-sungguh objektif. Lagi pula, Freud
menempatkan rangsangan-rangsangan dan dorongan-dorongan dalam sebagai sumber motivasi,
sementara kaum Behavioris menekankan kekuatan-kekuatan luar yang berasal dari lingkungan. Dalam
teori mereka segala yang berbau subjektif sama sekali diabaikan. Menurut Watson, Kaum Behavioris
mencoret dari kamus ilmiah mereka semua peristilahan yang bersifat subjektif, seperti sensasi,

persepsi, hasrat, tujuan, bahkan termasuk berpikir dan emosi sejauh kedua pengertian tersebut
dirumuskan secara subjektif.
Mekanisme Belajar
Secara umum terdapat tiga mekanisme yang biasa terjadi dalam belajar. Ketiga mekanisme itu
adalah :
Mekanisme belajar yang pertama adalah Asosiasi.
Anjing Pavlov belajar mengeluarkan air liur pada saat
mendengar garpu talaberbunyi karena sebelumnya disajikan daging setiap saat terdengar bunyi.
Setelah beberapa saat, anjing itu akan mengeluarkan air liur bila mendengarbunyi garpu
tala meskipun tidak disajikan dagingkarena
anjing itumengasosiasikan bel dengan daging. Kita belajar
berperilaku dengan asosiasi.Misalnya, kata Nazi biasanyadiasosiasikan dengan kejahatan
mengerikan. Kita belajar bahwa Nazi adalah jahat karena kita telah belajarmengasosiasikannya
dengan hal yang mengerikan.
Mekanisme belajar kedua adalah reinforcement.
Orang belajar menampilkan perilaku tertentu karena perilaku itu disertai dengan sesuatu yang
menyenangkan dan dapat memuaskan kebutuhan (atau mereka belajar menghindari perilaku yang
disertai akibat-akibat yang tidak menyenangkan). Seorang anak mungkin belajar membalas
penghinaan yang diterimanya di sekolah dengan mengajak berkelahi si pengejek karena ayahnya
selalu memberikan pujian bila dia membela hak-haknya. Atau seorang mahasiswa mungkin belajar
untuk tidak menentang sang profesor dikelas karena setiap kali dia melakukan hal itu, sang
profesor selalu mengerutkan dahi, nampak marah, dan membentaknya kembali.
Mekanisme belajar utama yang ketiga adalah imitasi.
Seringkali orang mempelajari sikap dan perilaku sosial dengan meniru sikap dan perilaku yang
menjadi model. Seorang anak kecil dapat belajar bagaimana menyalakan perapian dengan meniru
bagaimana ibunya melakukan hal itu. Anak-anak dan remaja mungkin menentukan sikap politik
mereka dengan meniru pembicaraan orang tua mereka pembicaraan orang tua mereka selama
kampanye pemilihan. Imitasi bisa terjadi tanpa adanya reinforcement eksternal, hanya melalui
observasi biasa terhadap model.
Kaum Behavioris sangat mengagungkan proses belajar asosiatif atau proses belajar asosiatif
stimuslus respon ini sebagai penjelasan terpenting tentang tingkah laku manusia. Perbedaan antara
teori Freud, yang memberi tekanan pada dorongan dari dalam pada manusia, dengan keyakinan kaum
Behavioris pada kekuatan-kekuatan luar atau kekuatan-kekuatan dari lingkungan dalam diri
manusia dapat dilihat dengan jelas
Salah satu asumsi dasarnya mengatakan bahwa kesusilaan sama sekali tidak memiliki dasar
ilmiah. Maka kaum Behavioris menganut paham relativisme budaya dan moral. Manusia adalah
korban yang fleksibel, dapat dibentuk dan pasif dari lingkungannya, yang menentukan tingkah

lakunya. Seorang Behavioris tidak menaruh minat pada soal-soal budaya dan moral kecuali bahwa ia
adalah seorang ilmuwan. Tak peduli, manusia macam apapun. Manusia adalah korban yang fleksibel,
dapat dibentuk dan pasif dari lingkungannya, yang menentukan tingkah lakunya.
Tahun-tahun awal kehidupan seseorang merupakan tahun-tahun yang penting mengenai soal yang satu
ini sebenarnya semua aliran psikologi sependapat. Dari sini muncul imbauan agar para orang tua
bersikap serba membolehkan, serba memuaskan dan tidak menuntut terhadap anak-anak selama
tahun-tahun awal kehidupan mereka, khususnya dalam soal-soal menyuapi, melatih kebersihan,
memberi pendidikan awal di bidang seksualitas, dan menanamkan cara mengendalikan amarah serta
agresi. Setiap bentuk frustrasi pada masa ini dipandang dapat melahirkan kecenderungan ke arah
neurosis di masa dewasa.
Sejak dari Thorndike dan Watson sampai sekarang, kaum behavioris berpendirian: organisme
dilahirkan tanpa sifat-sifat sosial atau psikologis; perilaku adalah hasil pengalaman; dan perilaku
digerakkan atau dimotivasi oleh kebutuhan untuk memperbanyak kesenangan dan mengurangi
penderitaan. Asumsi bahwa pengalaman adalah paling berpengaruh dalam membentuk perilaku,
menyiratkan betapa elastisnya manusia. la mudah dibentuk menjadi apa pun dengan menciptakan
lingkungan yang relevan. Dalam bukunya yang memikat tentang sejarah pemikiran-pemikiran di
dunia, The Broken Image, Floyd W. Matson mengutip kata-kata Watson sebagai berikut:
Pendek kata, semboyan kaum Behavioris adalah Berilah saya seorang bayi dan kekuasaan
serta keluasaan untuk membesarkannya, maka saya buat ia mampu merangkak dan berjalan;
akan saya buat iamampu memanjat dan menggunakan kedua belah tangannya untuk
mendirikan. bangunan-bangunan dari batu atau kayu akan saya jadikan pencuri, penembak
atau, pecandu narkotika atau kemungkinan untuk membentuk, seseorang ke segala arah tiada
hampir tidak ada batasnya.
John Watson, Tokoh Utama Behaviorisme
John Broades Watson dilahirkan di Greenville pada tanggal 9 Januari 1878 dan wafat di New York
City pada tanggal 25 September 1958. Ia mempelajari ilmu filsafat di University of Chicago dan
memperoleh gelar PhD pada tahun 1903 dengan disertasi ber udul Animal Education. Watson
dikenal sebagai ilmuwan yang banyak melakukan penyelidikan tentang psikologi binatang.
Pada tahun 1908 ia menjadi profesor dalarn psikologi eksperimenal dan psikologi komparatif di John
Hopkins University di Baltimore dan sekaligus menjadi direktur laboratorium psikologi di universitas
tersebut. Antara tahun 1920-1945 ia meninggalkan universitas dan bekerja dalam bidang psikologi
konsumen.
John Watson dikenal sebagai pendiri aliran behaviorisme di Amerika Serikat. Karyanya yang paling
dikenal adalah Psychology as the Behaviourist view it(1913). Menurut Watson dalarn beberapa
karyanya, psikologi haruslah menjadi ilmu yang obyektif, oleh karena itu ia tidak mengakui adanya
kesadaran yang hanya diteliti melalui metode introspeksi. Watson juga berpendapat bahwa psikologi

harus dipelajari seperti orang mempelajari ilmu pasti atau ilmu alam. Oleh karena itu, psikologi harus
dibatasi dengan ketat pada penyelidikan-penyelidikan tentang tingkahlaku yang nyata saj a. Meskipun
banyak kritik terhadap pendapat Watson, namun harus diakui bahwa peran Watson tetap dianggap
penting, karena melalui dia berkembang metodemetode obyektif dalam psikologi.
Peran Watson dalam bidangpendidikanjugacukup penting. Ia menekankan pentingnya pendidikan
dalam perkembangan tingkahlaku. Ia percaya bahwa dengan memberikan kondisioning tertentu dalam
proses pendidikan, maka akan dapat membuat seorang anak mempunyai sifat-sifat tertentu. Ia bahkan
memberikan ucapan yang sangat ekstrim untuk mendukung pendapatnya tersebut, dengan
mengatakan: Berikan kepada saya sepuluh orang anak, maka saya akan jadikan ke sepuluh anak itu
sesuai dengan kehendak saya.
Ucapan Watson ini dibuktikan dengan suatu eksperimen bersama Rosalie Rayner di
John Hopkins, tujuannya menimbulkan dan menghilangkan rasa takut. Eksperimen Albert dengan
tikus putih kesayangannya bukan saja membuktikan betapa mudahnya membentuk atau
mengendalikan manusia, tetapi juga melahirkan metode pelaziman klasik (classical conditioning).
Diambil dari Sechenov (1829 - 1905) dan Pavlov (1849- 1936), pelaziman klasik adalah
memasangkan stimuli yang netral atau stimuli yang terkondisi (tikus putih) dengan stimuli tertentu
(yang tak terkondisikan - unconditioned stimulus) yang melahirkanperilaku tertentu (unconditioned
response). Setelahpemasangan ini terjadi berulang-ulang, stimuli yang netral melahirkan respons
terkondisikan. Dalam eksperimen di atas, tikus yang netral berubah mendatangkan rasa takut setelah
setiap kehadiran tikus, dilakukan pemukulan batangan baja (unconditioned stimulus).
F. Skinner, seorang psikolog dari Harvard dan penganjur serta pemimpin tradisi Behavioris
masa kini, berkata, Satu-satunya perbedaan antara tingkah laku tikus dan tingkah laku manusia yang
mungkin saya saksikan (terlepas dari beda yang amat besar dalam hal kompleksitasnya) terletak
dalam soal tingkah laku verbal. Karena percaya akan kesamaan hakiki antara manusia dan binatang,
untuk mudahnya, dan demi alasan-alasan objektivitas, para psikolog Behavioris mendasarkan
sebagian besar karya mereka pada percobaan-percobaan dengan menggunakan binatang.
Etika, moral, dan nilai-nilai hanyalah hasil proses belajar asosiatif. Suatu analisis ilmiah akan
memaksa kita menolak segala pesona jangka pendek berupa kebebasan, keadilan, pengetahuan
ataupun kebahagiaan dalam menatap akibat-akibat jangka panjang kelangsungan hidup, kata Skinner.
Skinner menambahkan jenis pelaziman yang lain. Ia menyebutnya sebagai operant
conditioning. Kali ini subjeknya burung merpati. Skinner menyimpannya pada sebuah kotak (yang
dapat diamati). Merpati disuruhnya bergerak sekehendaknya. Satu saat kakinya menyentuh tombol
kecil pada dinding kotak. Makanan ke luar dan merpati bahagia. Mula-mula merpati tidak tahu
hubungan antara tombol kecil pada dinding dengan datangnya makanan. Sejenak kemudian merpati
tidak

sengaja

menyentuh

tombol, dan makanan turun lagi. Sekarang bilamerpati ingin makan,

ia mendekati dinding dan menyentuh tombol. Sikap manusia seperti itu pula. Bila setiap anak
menyebut kata dengan sopan, segera kita memujinya, anak itu. kelak akan mencintai kata -kata sopan

dalam komunikasinya. Proses memperteguh respon yang baru dengan mengasosiasikannya pada
stimuli tertentu berkali-kali, disebut peneguhan (reinforcement). Pujian dalam hal ini disebut dengan
peneguh (reinforcer).
BEBERAPA TEORI DALAM PSIKOLOGI BEHAVIORISME
Selama beberapa tahun, pendekatan yang dominan dalam psikologi sosial di Amerika Serikat
dan Kanada menekankan peranan belajar. Pokok pikirannya adalah bahwa perilaku ditentukan oleh
apa yang telah dipelajari sebelumnya. Dalam situasi tertentu, seseorang mempelajari perilaku tertentu
sebagai kebiasaan, dan bila menghadapi situasi itu kembali, orang tersebut akan cenderung
berperilaku sesuai dengan kebiasaan itu. Bila seseorang mengulurkan tangan maka kita akan menja batnya, karena itulah yang telah kita pelajari untuk menanggapi uluran tangan itu. Bila seseorang
mengatakan sesuatu yang tidak menyenangkan kepada kita, mungkin kita akan membalasnya atau
mungkin kita akan melakukan hal yang sam pada orang lain, tergantung pada apa yang telah kita
pelajari di masa lampau.
Pendekatan dengan belajar menjadi populer di tahun 1920-an dan merupakan dasar
Behaviorisme. Mula-mula Pavlov dan John B. Watson yang menjadi pendukungnya yang paling
terkenal, yang kemudian diteruskan oleh Clark Hull dan B.F. Skinner, Neal Miller, dan John Dollard
menerapkan prinsip-prinsip belajar pada perilaku sosial, dan kemudian Albert Bandura memperluas
penerapan ini ke dalam suatu pendekatan yang disebut Social Learning Theory.
a. Teori Classical Conditioning (Pavlov dan Watson)
Dapat dikatakan bahwa pelopor dari teori Conditioningini adalah Pavlov, seorang ahli
psikologi-refleksologi dari Rusia. Ia mengadakan percobaan-percobaan dengan anjing. Sesudah
Pavlov, banyak ahli-ahli psikologi lain yang mengadakan percobaan-percobaan dengan binatang,
antara lain Guthrie, Skinner, Watson dan lain-lain.
Watson mengadakan eksperimen-eksperimen tentangperasaan takut pada anak dengan
menggunakan tikus dan kelinci. Dari hasil percobaannya dapat ditarik kesimpulan bahwa perasaan
takut pada anak dapat diubah atau dilatih. Anak percobaan Watson yang mula-mula tidak takut kepada
kelinci dibuat menjadi takut kepada kelinci. Kemudian anak tersebut dilatihnya pula sehingga tidak
menjadi takut lagi kepada kelinci.
Menurut teori conditioning, belajar adalah suatu proses perubahan yang terjadi karena adanya syarat-syarat(conditions) yang kemudian menimbulkan reaksi (response). Untuk menjadikan
seseorang itu belajar haruslah kita memberikan syarat-syarat tertentu. Yang terpenting dalam belajar
menurut teori conditioning ialah adanya latihan-latihan yang kontinu. Yang diutamakan dalam teori
ini ialah hal belajar yang terjadi secara otomatis.
Penganut teori ini mengatakan bahwa segala tingkah laku manusia. juga tidak lain adalah
hasil daripada conditioning. Yakni hasil daripada latihan-latihan atau kebiasaan-kebiasaan mereaksi
terhadap syarat-syarat/perangsang-perangsang tertentu yang dialaminya di dalam kehidupannya.

Kelemahan dari teori conditioning ini ialah, teori ini menganggap bahwa belajar itu hanyalah
terjadi secara otomatis; keaktifan dan penentuan pribadi dalam tidak dihiraukannya. Peranan
latihan/kebiasaan terlalu ditonjolkan. Sedangkan kita tahu bahwa dalam bertindak dan berbuat
sesuatu, manusia tidak semata-mata tergantung kepada pengaruh dari luar. Aku atau pribadinya
sendiri memegang peranan dalam memilih dan menentukan perbuatan dan reaksi apa yang akan
dilakukannya. Teori conditioning ini memang tepat kalau kita hubungkan dengan kehidupan binatang.
Pada manusia teori ini hanya dapat kita terima dalam hal-hal belajar tertentu saja; umpamanya dalam
belajar yang mengenai skills (kecakapan-kecakapan) tertentu dan mengenai pembiasaan pada
anak-anak kecil.
b. Teori Conditioning dari Guthrie
Guthrie mengemukakan bahwa tingkah laku manusia itu secara keseluruhan dapat dipandang
sebagai deretan-deretan tingkah laku yang terdiri dari unit-unit. Unit-unit tingkah laku ini merupakan
reaksi atau respons dari perangsang atau stimulus sebelumnya, dan kemudian unit tersebut menjadi
pula stimulus yang kemudian menimbulkan response bagi unit tingkah laku yang berikutnya. Demikianlah seterusnya sehingga merupakan deretan-deretan unit tingkah laku yang terus-menerus. Jadi
pada proses conditioning ini pada umumnya terjadi proses asosiasi antara unit-unit tingkah laku satu
sama lain yang berurutan. Ulangan-ulangan atau latihan yang berkali-kali memperkuat asosiasi yang
terdapat antara unit tingkah laku yang satu dengan unit tingkah laku yang berikutnya.
Guthrie mengemukakan bahwa tingkah laku manusia itu secara keseluruhan dapat dipandang
sebagai deretan-deretan tingkah laku yang terdiri dari unit-unit. Unit-unit tingkah laku ini merupakan
reaksi atau respons dari perangsang atau stimulus sebelumnya, dan kemudian unit tersebut menjadi
pula stimulus yang kemudian menimbulkan response bagi unit tingkah laku yang berikutnya. Demikianlah seterusnya sehingga merupakan deretan-deretan unit tingkah laku yang terus-menerus. Jadi
pada proses conditioning ini pada umumnya terjadi proses asosiasi antara unit-unit tingkah laku satu
sama lain yang berurutan. Ulangan-ulangan atau latihan yang berkali-kali memperkuat asosiasi yang
terdapat antara unit tingkah laku yang satu dengan unit tingkah laku yang berikutnya.
c. Teori Operant Conditioning (Skinner) ,
Seperti Pavlov dan Watson, Skinner juga memikirkan tingkah laku sebagai hubungan antara
perangsang dan respons. Hanya perbedaannya, Skinner membuat perincian lebih jauh, Skinner
membedakan adanya dua macam respons, yaitu:
1) Respondent response (reflexive response): respon yang ditimbulkan oleh perangsang-perangsang
tertentu. Misalnya, keluar air liur setelah melihat makanan tertentu. Pada umumnya,
perangsang-perangsang yang demikian itu mendahului respon yang ditimbulkannya.
2) Operant response (instrumental response): yaitu respon yang timbul dan berkembangnya diikuti
oleh perangsang-perangsang tertentu. Perangsang yang demikian itu disebut reinforcing
stimuli atau reinforcer, karena perangsang itu memperkuat respon yang telah dilakukan oleh
organisme.

Di dalam kenyataan, respon jenis pertama sangat terbatas adanya pada manusia.
Sebaliknya operant response merupakan bagian terbesar dari tingkah laku, manusia dan kemungkinan
untuk memodifikasinya hampir tak terbatas. Oleh karena itu, Skinner lebih memfokuskan pada respon
atau jenis tingkah laku yang kedua ini. Jadi yang menjadi soal adalah: bagaimana menimbulkan,
mengembangkan dan memodifikasi tingkah laku. Prosedur pembentukan tingkah laku dalam operant
conditioningsecara sederhana adalah seperti berikut:
(a) Mengindentifikasi hal-hal apa yang merupakan reinforcer(hadiah) bagi tingkah laku yang akan
dibentuk.
(b) Menganalisis, dan selanjutnya mengidentifikasi komponen- komponen kecil yang membentuk
tingkah laku yang dimaksud. Komponen-komponen itu lalu disusun dalam urutan yang tepat
untuk menuju kepada terbentuknya tingkah laku yang dimaksud.
(c) Berdasarkan urutan komponen-komponen itu sebagai tujuan sementara, mengidentifikasi
reinforcer (hadiah) untuk masing-masing komponen itu.
(d) Melakukan pembentukan tingkah laku, dengan menggunakan urutan komponen-komponen yang
telah disusun. Kalau komponen pertama telah dilakukan, maka hadiahnya diberikan; hal ini akan
mengakibatkan komponen tersebut cenderung untuk sering dilakukan. Kalau ini sudah terbentuk
dilakukan komponen kedua yang kemudian diberi hadiah pula (komponen pertama tidak lagi
memerlukan hadiah); demikian berulang-ulang sampai komponen kedua itu terbentuk. Setelah itu
dilanjutkan dengan komponen ketiga, dan seterusnya, sampai seluruh tingkah laku yang
diharapkan terbentuk.
d. Teori Systematic Behavior (Hull)
Seperti halnya dengan Skinner, maka Clark C Hull mengikuti jejak Thorndike dalam
usahanya mengembangkan teori belajar. Prinsip-prinsip yang digunakanya mirip dengan apa yang
dikemukakan oleh para behavioris yaitu dasar stimulus-respon dan adanya reinforcement.
Clark C. Hull mengemukakan teorinya, yaitu bahwa suatu kebutuhan atau keadaan
terdorong (oleh motif, tujuan, maksud, aspirasi, ambisi) harus ada dalam diri seseorang yang belajar,
sebelum suatu respon dapat diperkuat atas dasar pengurangan kebutuhan itu. Dalam hal ini efisiensi
belajar tergantung pada besarnya tingkat pengurangan dan kepuasan motif yang menyebabkan
timbulnya usaha belajar itu oleh respon-respon yang dibuat individu itu. Setiap obyek, kejadian atau
situasi dapat mempunyai nilai sebagai penguat apabila hal itu dihubungkan dengan penurunan
terhadap suatu keadaan deprivasi (kekurangan) pada diri individu itu; yaitu jika obyek, kejadian atau
situasi tadi dapat menjawab suatu kebutuhan pada saat individu itu melakukan respon.
Prinsip penguat (reinforcer) menggunakan seluruh situasi yang memotivasi, mulai dari
dorongan biologis yang merupakan kebutuhan utama seseorang sampai pada hasil-hasil yang
memberikan ganjaran bagi seseorang (misalnya: uang, perhatian, afeksi, dan aspirasi sosial ting kat
tinggi). Jadi, prinsip yang utama adalah suatu kebutuhan atau motif harus ada pada seseorang sebelum

belajar itu terjadi; dan bahwa apa yang dipelajari itu harus diamati oleh orang yang belajar sebagai
sesuatu yang dapat mengurangi kekuatan kebutuhannya atau memuaskan kebutuhannya.
Dua hal yang sangat penting dalam proses belajar dari Hull ialah adanya incentive
motivation (motivasi insentif) dan drive stimulzis reduction (pengurangan stimulus pendorong).
Kecepatan berespon berubah bila besarnya hadiah (reward) berubah.
e. Teori Conectionism (Thorndike)
Menurut teori trial and error (mencoba-coba dan gagal) ini, setiap organisme jika dihadapkan
dengan situasi baru akan melakukan tindakan-tindakan yang sifatnya coba-coba secara membabi buta
jika dalam usaha mencoba-coba itu secara kebetulan ada perbuatan yang dianggap memenuhi tuntutan
situasi, maka perbuatan yang kebetulan cocok itu kemudian dipegangnya. Karena latihan yang terus
menerus maka waktu yang dipergunakan antuk melakukan perbuatan yang cocok itu makin lama
makin efisien.
Jadi, proses belajar menurut Thorndike melalui proses:
1 ) trial and error (mencoba-coba dan mengalami kegagalan), dan
2) law of effect; Yang berarti bahwa segala tingkah laku yang berakibatkan suatu keadaan yang
memuaskan (cocok dengan tuntutan situasi) akan diingat dan dipelajari dengan sebaik-baiknya.
Sedangkan segala tingkah laku yang berakibat tidak menyenangkan akan dihilangkan atau
dilupakannya. Tingkah laku ini terjadi secara otomatis. Otomatisme dalam belajar itu dapat
dilatih dengan syarat-syarat tertentu, pada binatang juga pada manusia.
Thorndike melihat bahwa organisme itu (juga manusia) sebagai mekanismus; hanya bergerak
atau bertindak jika ada perangsang yang mempengaruhi dirinya. Terjadinya otomatisme dalam belajar
menurut Thorndike disebabkan adanya law of effect itu. Dalam kehidupan sehari-hari law of effect itu
dapat terlihat dalam hal memberi penghargaan atau ganjaran dan juga dalam halmemberi
hukuman dalam pendidikan. Akan tetapi menurut Thorndike yang lebih memegang peranan dalam
pendidikan ialah hal memberi penghargaan atau ganjaran dan itulah yang lebih dianjurkan.
Karena adanya law of effect terjadilah hubungan (connection) atau asosiasi antara tingkah
laku reaksi yang dapat mendatangkan sesuatu dengan hasil biaya (effect). Karena adanya koneksi
antara reaksi dengan hasilnya itu maka teori Thorndike disebut juga Connectionism.
f. Teori Belajar Sosial (Bandura)
Albert Bandura menambahkan konsep belajar sosial (social learning). la mempermasalahkan
peranan, ganjaran, dan hukuman dalam proses belajar. Banyak perilaku yang tidak dapat dijelaskan
dengan mekanisme pelaziman dan peneguhan. Bandura menyatakan bahwa belajar terjadi karena
peniruan (imitation). Kemampuan meniru respons orang lain, misalnya meniru bunyi yang sering
didengar, adalah penyebab utama belajar. Ganjaran dan hukuman bukanlah faktor penting dalam
belajar, tetapi faktor yang penting dalam melakukan satu tindakan (performance).
Jadi menurut Bandura, bila anak selalu diganjar (dihargai) karena mengungkapkan
perasaannya, ia akan sering melakukannya. Tetapi jika ia dihukum atau dicela ia akan menahan diri

untuk bicara walau pun ia memiliki kemampuan untuk melakukannya. Melakukan satu perilaku
ditentukan oleh peneguhan, sedangkan kemampuan potensial untuk melakukan ditentukan oleh
peniruan.
Selanjutnya Bandura menjelaskan bahwa dalam proses belajar sosial ada empat tahapan
proses, yaitu:
(1) Proses perhatian
(2) Proses pengingatan (retention)
(3) Proses reproduksi motoris
(4) Proses motivasional
KONTRIBUSI PSIKOLOGI BEHAVIORISME TERHADAP
PERKEMBANGAN TEORI KOMUNIKASI
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, behaviorisme sebagai salah satu mazhab dalam psikologi
telah banyak melahirkan teori-teori tentang tingkah laku manusia. Dalam hal ini, pandangan
behaviorisme tentang manusia berbeda secara signifikan dengan tiga pendekatan psikologi lain yang
dominan, yaitu psikoanalisis, psikologi kognitif, dan psikologi humanisme.
Di lain pihak, komunikasi adalah suatu proses yang ditandai beberapa karakteristik di
antaranya adalah komunikasi itu bersifat simbolik, irreversible, kompleks, berdimensi sebab akibat,
dan mengandung potensi problem. Karakteristik di atas memperlihatkan betapa rumitnya suatu proses
komunikasi. Oleh karenanya suatu tindakan komunikasi sepatutnya dikelola secara tepat. Dengan
mengelola perilaku komunikasi dalam berbagai konteksnya maka berbagai kecenderungan yang
mengarah pada terjadinya communication breakdown dapat dihindari. Dalam hal ini, pandangan
psikologi behaviorisme dapat membantu memahami berbagai kecenderungan tingkah laku komunikan
kita sebagai sasaran utama dalam kegiatan komunikasi yang kita lakukan.
Secara lebih khusus, penulisan pada bagian ini bertujuan untuk memberikan gambaran
ringkas tentang kontribusi psikologi behaviorisme terhadap perkembangan teori komunikasi. Adapun
pembahasannya difokuskan kepada teori-teori komunikasi dalam konteks komunikasi interpersonal,
dan komunikasi massa yang masing-masing hanya dikemukakan satu contoh. Hal ini hanya untuk
menunjukkan bahwa pada masing-masing konteks komunikasi, pandangan behaviorisme telah
memberikan kontribusinya secara signifikan.
KONTEKS KOMUNIKASI INTERPERSONAL
Teori dari perspektif behaviorisme yang akan dibahas dalam konteks komunikasi
interpersonal adalah Teori Pertukaran Sosial (Social Exchange Theory) dari Thibault dan Kelley. Teori
ini memandang hubungan interpersonal sebagai suatu transaksi dagang. Orang berhubungan dengan
orang lain karena mengharapkan sesuatu yang memenuhi kebutuhannya. Thibault dan Kelley, dua
orang tokoh utama teori ini, menyimpulkan teori pertukaran sosial sebagai berikut: Asumsi utama
yang mendasari seluruh analisis kami adalah bahwa setiap individu secara sukarela memasuki dan
tinggal dalam hubungan sosial selama hubungan tersebut cukup memuaskan ditinjau dari segi

ganjaran dan biaya. Ganjaran, biaya, laba, dan tingkat perbandingan merupakan konsep-konsep
pokok dalam teori ini.
Ganjaran adalah setiap akibat yang dinilai positif yang diperoleh seseorang dari suatu
hubungan interpersonal. Ganjaran bisa berupa uang, penerimaan sosial, atau dukungan terhadap nilai
yang dipegangnya. Nilai suatu ganjaran berbeda-beda antara seseorang dengan yang lain, dan
berlainan antara waktu yang satu dengan waktu yang lain. Bagi orang kaya, mungkin penerimaan
sosial (social approval) lebih berharga daripada uang. Bagi si miskin, hubungan interpersonal yang
dapat mengatasinya kesulitan ekonominya lebih memberikan ganjaran daripada hubungan yang
menambah pengetahuan.
Biaya adalah akibat yang dinilai negatif yang terjadi dalam suatu hubungan interpersonal.
Biaya dapat berupa waktu, usaha, konflik, kecemasan, dan keruntuhan harga diri, serta kondisikondisi lain yang dapat menghabiskan sumber kekayaan individu atau dapat menimbulkan efek-efek
yang tidak menyenangkan. Seperti ganjaran, biaya pun berubah-ubah sesuai dengan waktu dan orang
yang terlibat di dalamnya.
Hasil atau laba adalah ganjaran dikurangi biaya. Bila seorang individu merasa, dalam suatu
hubungan interpersonal, bahwa ia tidak memperoleh laba sama sekali, ia akan mencari hubungan lain
yang mendatangkan laba.
Sementara tingkat perbandingan menunjukkan ukuran baku (standar) yang dipakai sebagai
kriteria dalam menilai hubungan individu pada waktu sekarang. Ukuran baku ini dapat berupa
pengalaman individu pada masa lalu atau alternatif hubungan lain yang terbuka baginya. Bila pada
masa lalu, seorang individu mengalami hubunganinterpersonal yang memuaskan, tingkat
perbandingannya turun.
KONTEKS KOMUNIKASI MASSA
Sumbangan yang terbesar untuk memahami cara berkomunikasi massa mengambil bahagian
dalam proses sosialisasi adalah melalui modelling theory yang diperkenalkan o1eh psikolog Albert
Bandura serta para pembantunya di tahun 1960-an. Sebagian besar isi teori ini sebenarnya bermuara
pada teori psikologi : social learning theory yang telah dijelaskan. Kita akan mengenal berapa
aplikasinya pada studi yang berkaitan dengan komunikasi massa.
1. Teori belajar sosial (belajar mengobservasi)
Teori ini memang tidak secara khusus belajar mengenai pengaruh terpaan media massa tetapi
secara umum dapat menjelaskan bagaimana orang memperoleh bentuk-bentuk yang baru dari
perilakunya yang diperolehnya dari masyarakat sekelilingnya. Disebut belajar sosial karena
penekanannya pada bagaimana individu mengamati aktivitas orang lain kemudian mengadopsi
perilakunva sebagai bentuk aktivitas untuk menghadapi masalah dalam beragam situasi dan kondisi
atau kejadian-kejadian lain, yang dialaminya.
Alekis Tan (1981) dalam Hardy (1985) mengemukakan bahwa pada prinsipnya teori belajar
sosial menunjukkan sebenarnya setiap manusia tidak dilahirkan dengan memiliki suatu sikap atau

nilai dan pandangan tertentu terhadap dunianya. Dunialah yang sebalikya mempengaruhi dan
membangun persepsi kita. Kita belajar dari dunia karena kita membuat reaksi terhadap setiap
rangsangan yang masuk dari luar. Ada banyak teori mengenai perilaku sudah pernah diulas dan
sebagian besar menekankan tentang hal ini yaitu bagaimana manusia dan juga hewan belajar dari
lingkungannya hanya karena berinteraksi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Namun demikian menurut Albert Bandura dalam Hardy (1985) mengajukan teori bercakupan
luas tentang perilaku manusia yang disebutnya dengan teori belajar sosial itu. Teori ini menjelas kan
bagaimana manusia belajar sccara langsung dari pengalamannya sebaik-baiknya dan menjadikan
sesuatu yang pernah diamatinya itu sebagai modelnya. Bandura juga menambahkan bahwa teori
belajar sosial menerangkan perilaku manusia sebagai konstruk dari lingkungan sosial serta
faktor-faktor kognitif dari setiap manusia. Yang penting dari teori Bandura yang perlu diingat adalah
bahwa proses belajar mengikuti sesuatu dimulai dari tahap:
(1) Proses memperhatikan;
(2) Proses mengingatkan kembali;
(3) Proses gerakan untuk menciptakan kembali;
(4) Proses mengarahkan gerakan sesuai dengan dorongan.
Albert Bandura ingin menerangkan misalnya kita melihat suatu kejadian maka kita
memperhatikan kejadian itu dengan saksama. Kemudian kita mengingat-ingat kembali apakah kita
mempunyai pengalaman yang sama dengan apa yang dilihat itu. Menyusul setiap orang karena
pengingatannya kembali menciptakan reaksi-reaksi terhadap apa yang dilihatnva, reaksi-reaksi tersebut terhadap apa yang dilihatnya, reaksi-reaksi tersebut merupakan perulangan pengalaman yang
pernah dilakukannya. Arah dari perlakuan gerakan itu disesuaikan dengan motivasi yang dimiliki
orang itu.
Peranan media massa dalam hubungannya dengan teori belajar sosial tersebut dapat, mengisi
keempat proses yang diajukan Bandura. Media massa melalui pesan-pesannya dapat mengakibatkan
seseorang lebih memperhatikan suatu pesan tertentu, atau dapat mengakibatkan seseorang mengingat.
kembali pengalamannya. Media juga dapat mendorong, atau mempercepat proses gerakan, reaksi
untuk menciptakan kembali cara-cara. yang sama yang pernah dilakukannya, dan media juga
membantu meneguhkan motivasi yang dimiliki seseorang.
Aplikasi dari teori belajar sosial dapat dirinci dengan kehadiran empat teori berikut yang
dikemukakan melalui tulisan Bittner(1986) dan Bradac (1989), yaitu:
a) Teori Chatarsis
Prinsip dasar teori ini bahwa kita dapat menghilangkan sikap frustasi yang dimiliki dengan
menonton film-film kekerasan di televisi. Anggapan teori ini bahwa ada satu keuntungan yang
diperoleh akibat menonton film kekerasan di televisi karena kekerasan itu dapat memecahkan
masalah frustasi.
b) Teori Aggresive Cues

Menurut teori aggressive cues bahwa terpaan berita atau film kekerasan pada siaran televisi dapat
menumbuhkan atau merangsang penonton membuat semacam katalisator yang kuat dalam
mempertahankan diri kalau terjadi hal yang sama melanda dirinya.
c) Teori reinforcemeni
Teori ini menyatakan bahwa kekerasan yang disiarkan di televisi dapat meneguhkan perilaku yang
sudah ada yang selama ini dilakukan oleh para penontonnya.
d) Teori belajar mengobservasi
Berdasarkan teori ini bahwa kita menyelidiki dengan saksama dan mempelajari serta menganalisis
pelbagai perilaku kekerasan yang muncul di televisi.
Banyak penelitianpun dilakukan untuk menguji kembali kebenaran teori-teori tersebut dan
menemukan memang benar bahwa jika dibandingkan dengan media cetak maka ternyata pelukisan
kekerasan melalui media massa elektronik terutama media televisi lebih kuat. Karena orang melihat
secara langsung penggambaran perilaku terutama proses suatu peristiwa secara dinamik daripada di
surat kabar yang membutuhkan suatu pemikiran untuk memahami dan menjelaskan konsep proses.
Media massa khususnya elektronik (dapat lebih baik sebagai agen sosialisasi) dalam waktu panjang
dan lebih cepat jika dibandingkan dengan media non elektronik.
2. Proses pemodelan.
Proses pemodelan atau modelling theory digunakan untuk menggambarkan aplikasi dari teori
sosial learningsecara umum yang membentuk perilaku yang baru melalui penggambaran media.
Media memberikan peluang yang membuat daya tarik besar dari pola-pola perilaku yang dinyatakan
dalam media oleh komunikator. Pelbagai kepustakaan melukiskan bahwa anak-anak maupun
orang-orang menyusun sikapnya apakah itu kesan, emosi, gaya hidup baru akibat terpaan media dari
film dan televisi.
Pembentukan perilaku yang baru akibat terpaan komunikasi massa dalam proses pemodalan
dapat dirumuskan ke dalam beberapa proposisi :
(a) Seorang individu yang menjadi anggota khalayak media massa dapat mengamati atau membaca
perilaku model yang ditunjukkan seseorang melalui sebagian isi media.
(b) Para pengamatan yang mengidentifikasi model-model itu percaya dan lambat laun menyukai
model, ingin menjadi seperti model itu, atau melihat model sebagai, daya tarik yang cepat dan
patut ditiru.
(c) Pengamat dapat dengan sadar menghubungkan gambaran perilaku yang diamati dengan fungsi
perilakunya. Karena seseorang menjadi lebih percaya dan yakin bahwa gambaran perilaku
melalui media dapat membawa daya tarik yang lebih besar berhasil diimitasi orang lain dalam
sebagian situasi
(d) Pada waktu individu mengingat kembali aksi-aksi dari suatu individu dari suatu model yang
dilihatnya pada situasi yang relevan maka ia akan mengulangi atau memperbanyak perilaku yang
sesuai dengan itu berdasarkan situasi dan kondisinya.

(e) Penampilan atau pengulangan setiap sikap perilaku dalam suatu situasi perangsang yang cocok
akan membawa seseorang semakin mendekat pada model karena dorongan, sokongan, ganjaran,
atau faktor pemuas yang diberikan media. Media meneguhkan perilaku seseorang melalui model
yang patut ditiru.
(f) Penguatan yang positif akan meningkatkan peluang bagi seseorang dalam menggunakan model itu
untuk memperbanyak perilaku yang sama pada situasi yang sama.
Proposisi ini dapat terlihat hasilnya dalam suatu penelitian oleh Prof. George Comstock yang
menunjukkan hubungan antara kekerasan dengan perilaku agresif, hasilnya adalah:
(a) Film siaran kartun tentang kekerasan seakan-akan hidup sesuai dengan kejadian aslinya dan dapat
mempengaruhi sikap agresif bagi sebagian penontonnya.
(b) Pengulangan suatu terpaan film kartun tentang kekerasan tidak dapat menghapuskan kemungkinan
terpaan berita yang baru yang juga dapat mempengaruhi penampilan yang agresif dari seseorang.
(c) Penampilan perilaku yang agresif sama sekali tidak bebas terhadap bentuk-bentuk frustasi lainnya
meskipun peluang untuk menjadi agresif diabaikan.
(d) Meskipun efek yang diteliti pada setiap eksperimen itu menunjukkan seseorang lebih agresif
namun tidak diperoleh kesan bahwa seseorang menjadi anti Sosial.
Kesimpulannya bahwa sebenarnya tidak semua sikap anti sosial berasal dari siaran kekerasan di
televisi.
(e) Secara sederhana sebenarnya faktor-faktor yang memungkinkan semakin meningkatnya sikap
agresif seseorang juga adalah sugesti. Dengan sugesti dimaksudkan bahwa seseorang semakin
agresif karena ia menerima sesuatu contoh cara dari orang-orang yang lain tanpa bersikap kritis
terlebih dahulu. Perilaku agresif seolah-olah membenarkan suatu kenyataan sosial, suatu kondisi
yang semrawut, atau dimotivasi oleh rasa benci, balas dendam yang dilakukan seseorang.
Perilaku-perilaku ini pada kelompok anak muda lebih mirip dengan apa yang ditontonnya
sehingga lingkungan menganggapnya hanya diakibatkan. oleh pesan mediamassa.
Namun demikian tidak ada alasan yang mendasar bagi kita bahwa pengulangan terpaan pesan
kekerasan yang pernah dilihat sekelompok remaja bisa membuat mereka menjadi lebih kebal, yang
bisa dicurigai malah akibat terpaan dari televisi justru merangsang anak-anak itu kembali cepat
merasakan kekerasan dalam lingkungannya.
Dapat disimpulkan babwa kekerasan di televisi membuat kita harus ingat bahwa sebagian
besar issu yang menjadi tema kekerasan itu dapat mempengaruhi keputusan setiap orang bagi masa
depannya melalui pesan-pesan yang disosialisasikannya.
KESIMPULAN
Berdasar pada pembahasan sebelumnya maka pada akhir tulisan ini dapat kami simpulkan bebarapa
hal yang dianggap penting, antara lain:
(1) Pendekatan Behaviorisme memusatkan pada pendekatan ilmiah yang objektif sehingga dalam
pendekatan ini hal-hal yang berbau subjektifitas sama sekali diabaikan. Dalam pendekatan yang

dilakukan kaum behaviorisme menekankan pada kekuatan-kekuatan luar yang berasal dari
lingkungannya.
(2) Penganut paham behavior sangat percaya bahwa segala tingkah laku manusia. juga tidak lain
adalah hasil daripada proses pembelajaran. Yakni hasil daripada latihan-latihan atau kebiasaankebiasaan bereaksi terhadap syarat-syarat atau perangsangan-perangsangan tertentu yang
dialaminya di dalam kehidupannya. Untuk menjadikan seseorang itu belajar haruslah kita
memberikan syarat-syarat tertentu. Yang terpenting dalam belajar menurut teori conditioning
ialah adanya latihan-latihan yang kontinu. Yang diutamakan dalam teori ini ialah hal belajar yang
terjadi secara otomatis.
3) Demikian pula dalam konteks komunikasi baik komunikasi interpersonal, kelompok maupun
komunikasi massa teori-teori yang dikembangkan tidak lepas dari asumsi dasar bahwa manusia
belajar dari lingkungannya (S-R) dengan demikian teori komunikasi menitik beratkan pada
kondisi dan situasi lingkungan yang mempengaruhi komunikan kita.
DAFTAR PUSTAKA
Depari, Edward dan Collin Mac Andrews, 1991, Peranan Komunikasi Massa Dalam Pembangunan,
Gadjah Mada Press, Yogyakarta.
Fisher, B.Aubrey, 1990, Teori-Teori Komunikasi Massa, Remadja Karya, Bandung.
Griffin EM, 2002, A First Look At Communication Theory, Fifth Edition, Mc. Graw Hill, Boston.
Goldberg A Alvin, Carl E Larson, (diterjemahkan Koesdarini Soemiati dan Garry Jusuf),
1985, Komunikasi Kelompok, Proses-Proses Diskusi dan Penerapannya, edisi pertama, UI
Press, Jakarta.
Hardy, Malcom, (diterjemahkan Soenardji), 1988, Pengantar Psikologi, Erlangga, Jakarta.
Liliweri, Alo, 1991, Memahami Peran Komunikasi Dalam Masyarakat, Citra Aditya Bakti, Bandung
Matson, Floyd, 1966, The Broken Image, Doubleday, New York.
Rakhmat, Jalaluddin, 2001, Psikologi Komunikasi, Remadja Karya, Bandung,
Sarwono,

Sarlito

Wirawan.

1986. Berkenalan

Psikologi, Bulan Bintang: Jakarta.

dengan

Alirah

Aliran

dan

Tokoh-Tokoh

Anda mungkin juga menyukai