Anda di halaman 1dari 33

MAKALAH

IMPLEMENTASI MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH


Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Manajemen Sekolah
Dosen Pengampu : Dra. Kurniana Bektiningsih, M.Pd.
Rombel : 027
Disusun oleh :
1.
2.

Dwi Wirahayu (1401414107)


May Setiyani
(1401414128)

PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2016

KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah


melimpahkan rahmat, taufik dan hidayah-Nya sehingga penyusun dapat
menyelesaikan makalah Mata Kuliah Manajemen Sekolah untuk memenuhi
tugas kelompok.
Penyusun mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah
membantu penyusun dalam menyusun makalah ini. Ucapan terima kasih
penyusun sampaikan kepada:
1. Ibu Kurniana Bektiningsih selaku dosen pengampu Mata Kuliah
Manajemen Sekolah.
2. Kedua orangtua kami yang selalu memberi motivasi kepada penyusun.
3. Serta pihak-pihak yang telah membantu.
Penyusun menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna dan
masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, penyusun mengharapkan
kritik dan saran yang membangun dari pembaca. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Semarang, 3 Juni 2016

Tim Penyusun

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL....................................................................................... i
KATA PENGANTAR...................................................................................... ii
DAFTAR ISI.................................................................................................... iii
2

BAB I PENDAHULUAN...............................................................................
1.1 Latar Belakang...................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah................................................................................. 1
1.3 Tujuan Penulisan................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................
2.1 Pengertian Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)............................... 2
2.2 Model-Model Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).......................... 2
2.3 Implementasi Model MBS di Berbagai Negara................................... 8
2.4 Prospek Gaji Guru dalam Manajemen Berbasis Sekolah.................... 18
BAB III PENUTUP.........................................................................................
3.1 Kesimpulan.......................................................................................... 21
3.2 Saran.................................................................................................... 21
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 22

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Peningkatan mutu pendidikan merupakan sasaran pembangunan di
bidang pendidikan nasional dan merupakan bagian integral dari upaya
peningkatan kualitas manusia Indonesia secara menyeluruh. Diperlukan suatu
strategi untuk menjadikan sekolah menjadi sekolah yang efektif dan produktif.
Strategi yang sudah digunakan dibeberapa negara maju dan saat ini sudah
mulai dikembangkan di Indonesia adalah Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
atau School Based Management(SBM). Keadaan dalam suatu wilayah (negara)
mempengaruhi bagaimana cara yang tepat untuk menetapkan suatu gaya
pendekatan untuk menjadikan sekolah itu kreatif dan produktif. Hal ini
menjadikan MBS memiliki beberapa model yang diterapkan di masing-masing
negara/wilayah. Seperti model australia, model amerika, model inggris dan lain
sebagainya.
Keberagaman penggunaan model MBS ini mempunyai kelebihan dan
kekurangannya masing-masing, sehingga terdapat model MBS yang ideal yang
dapat dijadikan sebagai tolak ukur dalam pengimplementasian model MBS
yang akan digunakan. Dengan demikian, akan memungkinkan terciptanya
Manajemen Sekolah yang efektif.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dari
makalah ini antara lain:
1. Apa pengertian dari manajemen berbasis sekolah (MBS)?
2. Apa saja model-model manajemen berbasis sekolah (MBS)?
3. Bagaimana implementasi model MBS yang ada di berbagai Negara?
4. Bagaimana prospek gaji guru dalam manajemen berbasis sekolah?

1.3 Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka tujuan penulisan makalah


ini antara lain:
1. Mengetahui pengertian dari manajemen berbasis sekolah (MBS).
2. Mengetahui model-model manajemen berbasis sekolah (MBS).
3. Memahami implementasi model MBS yang ada di berbagai Negara.
4. Memahami prospek gaji guru dalam manajemen berbasis sekolah.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
5

Istilah manajemen berbasis sekolah merupakan terjemahan dari


school-based management. MBS merupakan paradigma baru pendidikan,
yang memberikan otonomi luas pada tingkat sekolah (pelibatan masyarakat)
dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional.
Secara umum, manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah
(MPMBS) dapat diartikan sebagai model manajemen yang memberikan
otonomi lebih besar kepada sekolah dan mendorong pengambilan keputusan
partisipatif yang melibatkan secara langsung semua warga sekolah (guru,
siswa, kepala sekolah, karyawan, orang tua siswa, dan masyarakat) untuk
meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional.
Lebih lanjut istilah manajemen sekolah acapkali disandingkan dengan
istilah administrasi sekolah. Berkaitan dengan itu, terdapat tiga pandangan
berbeda; pertama, mengartikan administrasi lebih luas dari pada manajemen
(manajemen merupakan inti dari administrasi); kedua, melihat manajemen
lebih luas dari pada administrasi (administrasi merupakan inti dari
manajemen); dan ketiga yang menganggap bahwa manajemen identik dengan
administrasi.
Dalam hal ini, istilah manajemen diartikan sama dengan istilah
administrasi

atau

pengelolaan,

yaitu

segala

usaha

bersama

untuk

mendayagunakan sumber-sumber, baik personal maupun material, secara


efektif dan efisien guna menunjang tercapainya tujuan pendidikan di sekolah
secara optimal. Pengertian manajemen menurut Hasibuan merupakan ilmu dan
seni mengatur proses pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber-sumber
lainnya secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan tertentu. Definisi
manajemen tersebut menjelaskan pada kita bahwa untuk mencapai tujuan
tertentu, maka kita tidak bergerak sendiri, tetapi membutuhkan orang lain
untuk bekerja sama dengan baik.
Berdasarkan fungsi pokoknya, istilah manajemen dan administrasi
mempunyai

fungsi

yang

sama,

yaitu:

merencanakan

(planning),

mengorganisasikan (organizing), mengarahkan (directing),mengkoordinasikan


(coordinating), mengawasi (controlling), dan mengevaluasi (evaluation).

Menurut Gaffar (1989) mengemukakan bahwa manajemen pendidikan


mengandung arti sebagai suatu proses kerja sama yang sistematik, sitemik,
dan komprehensif dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
2.2 Model-Model Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Model MBS menempatkan sekolah sebagai lembaga yang memiliki
kewenangan dalam menerapkan kebijakan, visi, misi, tujuan, sasaran dan
strategi yang berdampak terhadap kinerja sekolah. Kinerja sekolah sangat
ditentukan oleh kebijakan yang ditetapkan oleh sekolah, menyangkut
pengembangan kurikulum. Berikut model-model yang telah diklasifikasikan
oleh Yin Cheong Cheng dalam bukunya School Effectivenes&School-Based
Manajement. Antara lain, yaitu:
1. Model Tujuan (Goal Model )
Goal Model sering digunakan dalam mengevaluasi kinerja sekolah
atau mempelajari efektivitas sekolah. Model ini mengasumsikan bahwa
harus ada tujuan yang dinyatakan dengan jelas dan diterima secara umum
untuk mengukur efektivitas sekolah, dan efektivitas sekolah akan tercapai
jika dapat mencapai tujuan yang dinyatakan pada input.
Model

ini berguna

kriteria efektivitas umum


Dalam

hal

rencana sekolah

ini

jika

hasil belajar

diterima oleh

indikator efektivitas
dan rencana program,

(outcomes) bagus

dan

semua konstituen yang terlibat.


sekolah

tercantum dalam

khususnya yang

berkaitan

dengan kualitas lingkungan belajar dan mengajar, prestasi akademik dalam


ujian umum dan lain-lain.
Ketika goal model digunakan untuk menilai efektifitas sekolah,
diharuskan untuk memasukkan seperangkat tujuan dan sasaran. Tetapi
mengingat sumber daya yang terbatas, akan sulit bagi sekolah untuk
mencapai beberapa tujuan dalam waktu singkat (Cameron, 1978; Hall,
1987). Bagaimanapun juga, akan sulit untuk memaksimalkan efektifitas
pada beberapa tujuan dengan sumber daya terbatas.
2. Model Sumber Daya Masukkan ( Resource-input Model)

Sekolah perlu untuk mengejar beberapa tujuan, tetapi karena adanya


tekanan dan harapan yang berbeda dari beberapa konstituen sehingga
tujuan tersebut menjadi tidak konsisten. Sumber daya (Resources) menjadi
elemen penting dalam fungsi sekolah. Model sumber daya-masukan (The
resource-input model) mengasumsikan bahwa semakin jarang dan bernilai
sumber daya input, maka akan semakin dibutuhkan oleh sekolah untuk
menjadi lebih efektif. Sebuah sekolah akan efektif jika dapat memperoleh
sumber daya yang dibutuhkan. Oleh karena itu, masukan dan kemahiran
sumber daya menjadi kriteria utama dari efektifitas (Etzioni, 1969;
Yuchtman dan Seashore, 1967). Dalam hal ini, kualitas siswa, fasilitas,
sumber daya, dan dukungan keuangan dari otoritas pendidikan pusat,
alumni, orang tua, sponsor perseorangan atau agen luar merupakan
indikator penting dari efektivitas.
Model ini berguna jika hubungan antara input dan output yang
jelas (Cameron, 1984) dan sumber daya yang sangat terbatas bagi sekolah
untuk mencapai tujuan. Kemampuan dalam memperoleh sumber daya
merepresentasikan potensi sekolah itu menjadi efektif, khususnya dalam
konteks kompetisi sumber daya yang besar. Model ini memiliki
kekurangan karena penekanan yang berlebihan pada penerimaan
masukan ( input ), sehingga dapat mengurangi upaya sekolah dalam proses
pendidikan dan outputnya. Perolehan sumber daya dapat menjadi
pemborosan jika mereka tidak dapat digunakan secara efisien untuk
melayani fungsi sekolah.
3. Model proses (Process Model )
Dari perspektif sistem, input sekolah dapat dikonversi menjadi
kinerja sekolah dan output-nya melalui sebuah proses transformasi di
sekolah. Pengalaman dalam proses sekolah pada dunia pendidikan sering
diambil sebagai bentuk tujuan dan hasil belajar. Oleh karena itu, model
proses mengasumsikan bahwa sekolah akan efektif jika fungsi internal
ramah dan sehat. Oleh karena itu, kegiatan internal atau praktik di
sekolah dapat ditentukan sebagai peraturan penting bagi efektivitas
sekolah (Cheng, 1986b; 1993h; 1994d). Dalam hal ini, kepemimpinan,

saluran komunikasi, partisipasi, kemampuan beradaptasi, perencanaan,


pengambilan

keputusan,

interaksi

sosial,

iklim

sekolah,

metode

pengajaran, manajemen kelas dan strategi pembelajaran sering digunakan


sebagai indikator efektivitas.
Proses sekolah pada umumnya mencakup proses manajemen,
proses mengajar dan proses belajar. Jadi pemilihan indikator mungkin
didasarkan pada proses ini, diklasifikasikan sebagai indikator keefektifan
pengelolaan (misalnya, kepemimpinan, pengambilan keputusan), indikator
efektivitas mengajar (misalnya, mengajar kemanjuran, metode mengajar)
dan indikator efektifitas pembelajaran (misalnya, sikap belajar , tingkat
kehadiran).
Model ini sangat berguna jika ada hubungan yang jelas antara
proses sekolah dan hasil pendidikan. Untuk batas tertentu, penekanan yang
terletak pada kepemimpinan dan budaya sekolah untuk efektivitas sekolah
mencerminkan pentingnya model proses (Caldwell dan Spink, 1992;
Cheng, 1994d; Sergiovanni, 1984).
Keterbatasan model

proses adalah kesulitan

dalam

proses

pemantauan dan pengumpulan data serta focus pada sarana bukan tujuan
akhir (Cameron, 1978).
4. Model Kepuasan ( The Satisfaction Model )
Efektivitas sekolah dapat menjadi konsep yang relatif, tergantung
pada harapan dari konstituen yang bersangkutan atau beberapa pihak. Jika
tujuan sekolah yang diharapkan tinggi dan beragam, akan sulit bagi
sekolah untuk mencapai dan memenuhi kebutuhannya. Jika tujuan
sekolah yangdiharapkan rendah dan sederhana, akan lebih mudah bagi
sekolah

untuk

mencapainya

dan

memenuhi

harapan

konstituen,

sehingga sekolah lebih mudah dianggap sudah efektif.


Selanjutnya, ukuran pencapaian tujuan secara teknis biasanya sulit
dan terkonsep secara kontoversional. Oleh karena itu, kepuasan konstituen
yang kuat dan strategis sering digunakan sebagai elemen penting untuk
menilai efektivitas sekolah. Baru-baru ini, ada penekanan kuat pada
kualitas pendidikan sekolah. Pada kenyataannya, konsep kualitas erat

kaitannya dengan kepuasan kebutuhan klien (atau pelanggan, konstituen)


atau kesesuaian persyaratan dan harapan klien' (Crosby, 1979; Tenner and
Detoro, 1992). Dari poin ini ditekankan bahwa untuk meningkatkan mutu
pendidikan dapat dicapai dengan menggunakan kepuasan konstituen dalam
menjelaskan dan menilai keefektivtasan sekolah.
Model kepuasan mendefinisikan bahwa sekolah akan efektif jika
semua konstituen strategis puas. Ini mengasumsikan bahwa fungsi dan
kelangsungan hidup sekolah berada di bawah pengaruh konstituen
strategis, misalnya, kepala sekolah, guru, manajemen sekolah, otoritas
pendidikan, orang tua, siswa dan masyarakat, dan aktivitas/tindakan
sekolah mereaksikan akan tuntutan konstituen strategis.
Karenanya tuntutan kepuasan ini sebaga isyarat dasar untuk
efektivitas sekolah (Keeley, 1984; Zammuto, 1982; 1984)
Model ini mungkin berguna dalam mempelajari efektivitas
sekolah jikaharapan semua konstituen yang kuat dapat disatukan dan
sekolah harus merespon harapan tersebut. Indikator efektivitas berupa
kepuasan siswa, guru, orangtua, administrator, otoritas pendidikan, komite
manajemen

sekolah,

atau

alumni,

dll. Namun,

model

tidak

tepat jika adanya konflik pada tuntutan/harapan konstituen dan tidak dapat
dipenuhi pada saat yang sama.
5. Model Legitimasi (The Legitimacy Model )
Dampak perubahan dan perkembangan yang cepat di masyarakat
lokal

maupun

dalam

konteks

global menyebabkan lingkungan

pendidikan disekolah-sekolah menjadi lebih menantang dan kompetitif. Di


satu sisi, sekolah harus serius untuk menyelesaikan sumber daya dan
mengatasi hambatan internal dan di sisi lain mereka harus menghadapi
tantangan eksternal dan tuntutan akuntabilitas dan 'nilai uang (value for
money)' (Education and Manpower Branch and Education Department,
1991; Education Commision, 1994). Hal ini menyebabkan (hampir) tidak
mungkin bagi beberapa sekolah untuk bertahan atau melanjutkan tanpa
legitimasi dalam masyarakat atau publik.

10

Dalam rangka mendapatkan sumber daya dan kelangsungan hidup,


sekolah harus menunjukkan bukti pertanggungjawaban (akuntabilitas),
memenuhi persyaratan masyarakat dan mendapatkan dukungan dari
konstituen yamg penting. Indikator

efektivitas dalam the

legitimate

model sering berhubungan dengan kegiatan dan keunggulan public


relations dan

pemasaran,

pertanggungjawaban (akuntabilitas),

citra

sekolah, reputasi, atau status sekolah dalam masyarakat dan lain-lain.


Model ini berguna ketika sekolah harus bertahan di antara sekolah
harus dinilai dalam lingkungan yang dinamis. Dari sudut pandang model
ini, sekolah-sekolah akan efektif jika mereka dapat melakukan kegiatan
belajar mengajar dalam lingkungan yang kompetitif/bersaing. Untuk tetap
bertahan, sekolah juga menerapan sistem akuntabilitas atau sistem jaminan
mutu yang menyediakan mekanisme formal bagi sekolah untuk
mendapatkan legitimasi yang diperlukan. Hal ini dapat menjelaskan
mengapa begitu banyak sekolah sekarang lebih memperhatikan hubungan
masyarakat, kegiatan pemasaran dan membangun sistem berbasis sekolah
akuntabilitas atau sistem jaminan kualitas.
6. Model ketidakefektifan (The Ineffectiveness Model)
Kesulitan mengidentifikasi kriteria yang tepat seringkali menjadi
masalah yang paling penting dalam penelitian efektifitas organisasi secara
umum dan dalam penelitian efektifitas sekolah pada khususnya (Cameron;
1984).
Salah satu kesulitan terpenting adalah bagaimana mengidentifikasi
indikator

keberhasilan.

mengidentifikasi

Tampaknya

kelemahan

jauh

lebih

dan kekurangan,

mudah

seperti

untuk

indikator

ketidakefektifan, dari pada mengidentifikasi kekuatan dari organisasi,


seperti indikator efektivitas.
Model ini mengasumsikan bahwa lebih mudah bagi konstituen
sekolah yang bersangkutan untuk mengidentifikasi dan menyepakati
kriteria ketidakefektifan sekolah dari pada kriteria keefektifan sekolah.
Juga

mengidentifikasi

strategi untuk

11

meningkatkan efektivitas

sekolah dapat lebih tepat dilakukan dengan menganalisis ketidakefektivan


sekolah daripada menganalisis keefektifan sekolah.
Oleh karena itu, model ini sangat berguna terutama bila kriteria
efektivitas sekolah benar-benar jelas namun diperlukan srategi untuk
perbaikan sekolah. Indikator ketidakefektifan dapat seperti masalah,
kesulitan, kekurangan, kelemahan dan kinerja yang buruk. Secara umum,
banyak sekolah, khususnya sekolah baru, lebih peduli kepada penyelesaian
hambatan sebagai dasar efektivitas sekolah daripada mengejar kinerja
sekolah yang sangat baik. Model ini mungkin cocok bagi mereka. Bagi
praktisi seperti administrator sekolah dan guru, model ketidakefektifan
mungkin lebih mendasar dari model-model lain. Tampaknya 'tidak ada
ketidakefektifan' mungkin menjadi kebutuhan dasar untuk efektivitas.
Tetapi jika orang lebih tertarik pada kinerja sekolah tinggi, model ini tidak
mencukupi.
7. Model Pembelajaran organisasi (Organizational Learning Model)
Model pembelajaran organisasi mengasumsikan bahwa dampak
dari perubahan lingkungan dan adanya hambatan internal pada fungsi
sekolah sangat tidak terelakkan. Karena itu, sekolah akan efektif jika dapat
belajar bagaimana membuat perbaikan dan beradaptasi terhadap
lingkungannya. Dalam batas tertentu, model ini mirip dengan model
proses, perbedaannya adalah bahwa model ini menekankan pentingnya
belajar perilaku untuk kinerja sekolah yang efektif.
Penekanan

garis

pemikiran model

ini

terletak pada

stategi

manajemen dan perencanaan pembangunan di sekolah (Dempster, et al,


1993; Hargreaves and Hopkins, 1991). Model sangat berguna ketika
sekolah sedang mengembangkan diri atau terlibat dalam reformasi
pendidikan terutama di lingkungan eksternal yang berubah-ubah. Indikator
efektivitas sekolah dapat mencakup kesadaran dan perubahan kebutuhan
masyarakat, pemantauan proses internal, evaluasi program, analisis
lingkungan, perencanaan pembangunan, dan lain-lain.
Di negara-negara atau wilayah berkembang, ada banyak sekolah
menengah baru karena perluasan pendidikan tingkat menengah. Sekolah-

12

sekolah baru harus menghadapi banyak masalah dalam proses membangun


struktur organisasi pendidikan, berhadapan dengan siswa berkualitas
buruk, pengembangan staf, dan melawan pengaruh buruk dari masyarakat
(Cheng, 1985). Begitu juga, perubahan pada ekonomi dan lingkungan
politik membutuhkan adaptasi yang efektif dari sistem sekolah dalam hal
perubahan kurikulum, manajemen perubahan dan perubahan teknologi
(Cheng, 1995b).Dalam latar belakang seperti itu, model pembelajaran
organisasi

mungkin

tepat

untuk

mempelajari

efektivitas

sekolah. Manfaat model ini akan terbatas jika hubungan antara proses dan
hasil pembelajaran organisasi sekolah tidak jelas. Namun proses
pembelajaran organisasi bisa menjanjikan tampilan yang dinamis untuk
memaksimalkan efektivitas pada beberapa tujuan sekolah.
8. Model Manajemen Mutu Total (The Total Quality Management Model )
Konsep dan praktek manajemen mutu total di sekolah diyakini
menjadi alat yang ampuh untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan
meningkatkan

efektivitas

Greenwood

and

sekolah

Gaunt,

1994;

(Bradly,1993;

Cuttance,

Murgatroyd

and

1994;
Colin,

1993). Karena adanya perkembangan teori dan praktek manajemen dalam


organisasi yang berbeda, orang mulai percaya bahwa perbaikan beberapa
aspek dari proses manajemen tidak cukup untuk mencapai kualitas. Untuk
keberhasilan

jangka

panjang kuncinya terletak

pada

kualitas

atau

efektivitas kinerja, manajemen total dari lingkungan internal dan proses


untuk memenuhi kebutuhan pelanggan (atau klien, konstituen strategis).
Elemen-elemen penting dari manajemen kualitas total di sekolah
adalah konstituen strategis (misalnya orangtua dan siswa), perbaikan
proses

yang

total anggota
manajemen

berkesinambungan, serta pemberdayaan dan keterlibatan


sekolah

total,

(Tenner

sekolah

and Detoro,

efektif

jika

1992). Menurut
dapat

melibatkan

model
dan

memberdayakan semua anggota dalam fungsi sekolah, melakukan


perbaikan

terus-menerus

dalam

berbagai

aspek yang memenuhi

persyaratan, kebutuhan serta harapan konstituen eksternal dan internal


sekolah bahkan dalam lingkungan yang berubah- ubah. Untuk sebagian

13

besar, model manajemen kualitas total efektivitas sekolah merupakan


integrasi dari model- model di atas, khususnya model pembelajaran
organisasi, model kepuasan dan model proses.
Bidang utama untuk menilai efektivitas sekolah dalam Manajemen
kualitas

total menurut

kerangka

kerja Malcolm

Baldrige

Award atau European Quality Award, dapat mencakup kepemimpinan,


manajemen manusia, manajemen proses, informasi dan analisis,
perencanaan kualitas strategi, internal kepuasan konstituen, eksternal
kepuasan konstituen, hasil operasional, hasil pendidikan siswa dan
dampaknya

terhadap

masyarakat

(Fisher,

1994;

George,

1992). Dibandingkan dengan model lain, model manajemen kualitas total


memberikan perspektif yang lebih holistik atau komprehensif untuk
memahami dan mengelola efektivitas sekolah.
Seperti dibahas di atas, masing-masing dari delapan model
memiliki itu kekuatan sendiri dan keterbatasan. Dalam situasi yang
berbeda dan bingkai waktu yang berbeda, model yang berbeda mungkin
berguna untuk mempelajari efektivitas sekolah. Secara relatif model
pembelajaran organisasi dan model manajemen mutu total tampaknya
lebih menjanjikan untuk pencapaian fungsi beberapa sekolah pada tingkat
yang berbeda.
2.3 Implementasi model MBS di berbagai negara
Semua model MBS yang muncul mengarah pada satu titik, yaitu
meningkatkan mutu sekolah dan pendidikan. Munculnya model MBS di tiaptiap negara tidak terlepas dari sejarah pendidikan negara tersebut. Mulanya
terdapat kelemahan pada bidang tertentu yang kemudian di fokuskan untuk
ditingkatkan kinerjanya. Beberapa negara cukup jeli dalam menganalisis
kelemahannya sehingga mampu membuat model MBS secara jelas dan fokus,
namun dibeberapa negara model MBS kurang fokus dan melebar. Dalam
makalah

ini

akan

diuraikan

secara

singkat

beberapa

model

yang

dikembangkan dibeberapa negara diantaranya: Hong Kong, Kanada, Amerika


Serikat, Inggris, Australia, Prancis, Nikaragua, Selandia Baru, El Salvador,
Madagaskar, dan di Indonesia.

14

1. Model MBS di Hong Kong


Kondisi yang kurang baik yang terjadi di Hong Kong mendorong
diberlakukannya MBS dengan tujuan terjadinya suatu perbaikan. Di Hong
Kong MBS disebut The School Management Initiative (SMI) atau
manajemen sekolah inisiatif. Latar belakang munculnya MBS di Hong
Kong adalah karena kondisi pendidikan yang kurang baik sehingga perlu
adanya perbaikan. Struktur dan manajemen yang tidak memadai, peran
dan tanggung jawab masing-masing pihak kurang dijabarkan secara jelas,
kurang memadainya alat pengukuran prestasi, saat itu masih dipentingkan
kontrol secara ketat namun kurangnya kerangka kerja tanggung jawab dan
akuntabilitas, dan lebih mementingkan kontrol pembiayaan daripada
efektivitas pembiayaan.
Model MBS di Hong Kong ini, menekankan pentingnya inisiatif dari
sumber daya sekolah sebagai pengganti inisiatif dari atas yang selama ini
diterapkan. Prinsip-prinsip MBS yang ditawarkan di Hong Kong adalah
perlunya telaah ulang secara terus menerus terhadap pembelajaan
anggaran pemerintah, perlunya evaluasi secara sistematis terhadap hasil,
definisi, yang lebih baik tentang tanggung jawab, hubungan erat antara
tanggung jawab sumber daya dan tanggung jawab manajemen, perlu
adanya organisasi dan kerangka kerja yang sesuai, hubungan yang jelas
antara pembuat kebijakan dengan agen-agen pelaksana.
Dengan adanya prinsip tersebut maka diperlukan suatu transparansi
dan akuntabilitas dalam pengelolaan pendidikan. Taransparansi dan
akuntabilitas di sini meliputi penggunaan anggaran belanja sekolah dan
penentuan hasil belajar siswa serta pengukuran hasilnya.
2. Model MBS di Kanada
Dahulu, sebelum diterapkannya MBS di Kanada, kondisi awalnya
adalah semua kebijakan ditentukan dari pusat. Pendidikan menjadi
tanggung jawab pemerintah provinsi di mana pemerintah daerah/kota
sebagai unit administratif dan pengambilan kebijakan.
Model MBS di Kanada adalah School-site Decision Making (SSDM)
atau pengambilan keputusan diserahkan pada tingkat sekolah. Di mulai

15

pada tahun 1970 dengan tujuh sekolah sebagai pecobaan. Desentralisasi


yang diberikan kepada sekolah adalah alokasi sumber daya bagi staf
pengajar dan administrasi, peralatan dan pelayanan. Pada tahun 19801981di adopsi secara besar-besaran ke berbagai sekolah dengan
pendekatan manajemen mandiri.
Menurut Sungkowo (2002), ciri-ciri MBS di Kanada sebagai berikut:
a) Penentuan alokasi sumber daya ditentukan sekolah
b) Anggaran pendidikan diberikan secara lupsum
c) Alokasi anggaran pendidikan tersebut dimasukkan ke dalam anggaran
sekolah
d) Adanya program efektivitas guru
e) Adanya program pengembangan profesionalisme tenaga kerja.
Penekanan model MBS di kanada ini dalam hal pengambilan
keputusan diserahkan kepada masing-masing sekolah secara langsung.
Model ini pun hanya terbatas pada beberapa hal saja, yaitu yang
menyangkut pengangkatan, promosi, penghargaan dan penghentian tenaga
guru dan administrasi, pengadaan peralatan sekolah, pelayanan kepada
sekolah. Sebelumnya ketiga hal tersebut ditentukan oleh pusat.
Sebelum diterapkan MBS tiga bidang yang ditentukan oleh
pemerintah

pusat. Pertama, pengadaan

pegawai

sekolah

semuanya

diangkat dari pusat. Kedua, pengadaan peralatan seperti buku, alat tulis
dan baha praktik laboratorium semuanya didrop dari pusat. Ketiga,
pelayanan pendidikan kepada pelanggan semuanya telah distandarkan dari
pusat mulai ditinggalkan. Sekarang yang menjadi ciri lain dari MBS model
kanada adalah peningkatan dan pengembangan profesionalisme tenaga
kerja baik meningkatkan kemampuan guru maupun tenaga administrasi.
3. Model MBS di Amerika Serikat
Sistem pendidikan

di Amerika

Serikat

mula-mula

secara

konstistusional pemerintah pusat (state) bertanggung jawab terhadap


pelaksanaan pendidikan dan pemerintah daerah hanya sebagai pembuatan
kebijaksanaan dan administrasi. Pemerintah federal memiliki peran yang

16

terbatas bahkan semakin berkurang perannya. Perannya hanya dibatasi


terutama pada area khusus, yaitu dukungan pendanaan.
Penerapan MBS secara serius di Amerika Serikat terjadi pada saat
adanya gelombang reformasi pendidikan tahap kedua, yaitu pada tahun
1980an. Era itu merupakan kelanjutan reformasi yang terjadi pada tahun
1970an pada saat sekolah-sekolah di distrik menerapkan Side-Based
Management.
Saat itu muncul berbagai rekomendasi baik dari individu maupun
organisasi yang berpengaruh untuk mengadopsi MBS. Dukungan datang
dari Asosiasi Gubernur Nasional (National Governors Association),
persatuan guru terbesar di Amerika Serikat, yaitu The National Education
Asssociation dan asosiasi kepala sekolah menengah pertama (The
National

Association

of

secondary

school

Principal). Mereka

menyarankan bahwa sebagai syarat penting untuk meningkatkan kualitas


pendidikan maka otoritas pengambilan keputusan harus berada pada
tingkat sekolah melihat sejarah kemunculannya seperti tersebut itu maka
model

MBS

di

Amerika

Serikat

disebut

dengan Site-Based

Management, sebagaimana dikemukakan oleh Reynolds (1997).


4. Model MBS di Inggris
Kebijakan pemerintahan Thatcher (1986) memberi bukti yang
paling nyata dalam reformasi pendidikan di Inggris saat itu. Beliau
mengemukakan

bahwa

keseimbangan

otonomi,

kekuasaan

dan

akuntabilitas pendidikan sedang dilakukan definisi ulang. Beberapa


inisiatif reformasi pendidikan kemudain dimasukkan ke dalam UndangUndang Pendidikan (Education Act) tahun 1988, antara lain berisi adanya
kurikulum inti nasional, adanya ujian nasional, serta pelaporan nasional.
Kontrol terhadap anggaran sekolah diberikan kepada lembaga
pengelola/pengawas

beserta

para

kepala

sekolah

menengah

atas

(secondary school) dan sebgaian sekolah dasar (primary school) dalam


waktu lima tahun. Sementara itu, bantuan dana pendidikan dari pemerintah
pusat

diberikan

memberikan

langsung

pilihan

pada

kepada
orang

17

masing-masing
tua

dengan

sekolah.
cara

Juga

membantu

mengembangkan

diversifikasi,

meninghkatkan

akses,

mengizinkan

sekolah-sekolah negeri untuk keluar dari kontrol otoritas pendidikan lokal.


Berdasarkan suara mayoritas orang tua siswa. Itulah latar belakang nama
model MBS di Inggris disebut Grant Maintained School (GMS) atau
manajemen swakelola pada tingkat lokal.
Dengan adanya undang-undang pendidikan tersebut terjadi enam
perubahan struktural guna memfasilitasi pelaksanaan MBS sebagaimana
dikemukakan oleh sungkowo (2002) sebagai berikut:
a) kurikulum nasional untuk mata pelajaran inti ditentukan oleh
pemerintah.
b) Ujian nasional dilaksanakan atau diterapkan pada siswa kelas 7,11,14
dan 16.
c) MBS di bentuk untuk mengembangkan otoritas pemerintah.
d) Dibuatlah sekolah lanjutan tekhnik
e) Kewenangan inner London Education dilimpahkan kepada tiga belas
otoritas pendidikan.
f) Skema manjemen sekolah lokal dibentuk dengan melibatkan beberapa
pihak terkait.
Dari kemunculan Undang-Undang Pendidikan yang didahului
dengan pelaksanaan MBS ini, terlihat jelas arahnya Bahwa UU itu
dimaksudkan untuk melindungi inisiatif masyarakat dalam pengelolan
pendidikan dan bukan untuk menggerakan masyarakat.
5. Model MBS di Australia
Untuk memantapkan pemahaman tentang implementasi MBS
berikut disajikan model MBS yang telah diimplementasikan di Australia
(Satori, 1999).
1. Konsep Pengembangan
Manajemen
Berbasis
Management)

merupakan

Sekolah/MBS

refleksi

(School

pengelolaan

Based

desentralisasi

pendidikan di Australia. Sesuai dengan namanya, MBS menempatkan


sekolah

sebagai

lembaga

yang

memiliki

kewenangan

untuk

menempatkan kebijakan visi, misi, dan tujuan/sasaran sekolah yang


membawa implikasi terhadap pengembangan kurikulum sekolah dan
18

program-program

operatif

lainnya.

MBS

dibangun

dengan

memperhatikan kebijakan dan panduan dari pemerintahan Negara


bagian di satu pihak dan partisipasi masyarakat melalui School
Council (SC) serta parent and community Association (P&G) di pihak
lain. Perpaduan dari dua kepentingan ini dituangkan dalam dokumen
(1) school policy (yang membuat visi, misi, sasaran, pengembangan
kurikulum, dan prioritas program, (2) shool planning review (untuk
jangka waktu tiga tahun), (3) sshool planning quality assurance, dan
accountability dilakukan melalui kegiatan yang disebut eksternal dan
internal monitoring.
2. Ruang Lingkup Kewenangan
Aspek kewenangan dalam MBS meliputi:
a. Menyusun serta mengembangkan

kurikulum

dan

proses

pembelajaran untuk meningkatkan hasil belajar siswa bersamasama denga SC dan P&G, sekolah menyusun kurikulum dengan
tetap memperhatikan curriculum statements dan curriculum profile
yang dikeluarkan oleh pemerintah.
b. Melakukan pengelolaan sekolah; bentuk pengelolaan sekolah
menggambarkan kadar pelaksanaan MBS. Sekolah dapat memilih
antara tiga kemungkinan, yaitu (1) standard fleksibility option (SO)
; (2) Enhanced Flexsibility Option (EO 1) dan (3) Enhanced
Flexibility Option (Eo2).
c. Membuat perencanaan, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban ;
pelaksanaan MBS tidak lepas dari accountability yang dapat dilihat
dari perencanaan sekolah dan pencapaiannya. Perencanaan sekolah
ini atas school planning overview untuk jangka waktu tiga tahun,
dan school annual planning untuk jangka waktu satu tahun.
Adapun pencapaian implementasinya dilakukan melalui ternal
monitoring (school review) dan internal monitoring sebagai
evaluasi diri yag dilaporkan secara kumulatif dala school annual
report. Kegiatan tersebut merupakan bagian dari mekanis
mequality assurance dan accountability.
d. Menjamin dan mengusahakan sumber daya (human and financial);
dalam MBS dipraktekkan apa yang disebut dengan resources

19

fleksibility yang mencakup dukungan untuk (1) mengajar dan


kepempinan, (2) dukunangan sekolah, (3) lingkungan sekolah. Di
samping dana itu, dikenal pula dana khusus berupa school grant
dan targetted fund. Semua dana tersebut berasal dari pemerintah.
Dana sekolah bersumber pula dari orang tua dan masyarakat. Dana
ini diperoleh apabila orang tua dan masyarakat melihat
kepempinan program sasaran, dan manfaat yang jelas.
3. Jenis Pengorganisasian MBS
Pengorganisasian pengelolaan sekolah menggambarkan kadar
kewenangan yang diberikan kepala sekolah.
a. Standar Flexibility Option (SO)
Dalam bentuk ini peran dan dukungan kantor distrik lebih
besar. Kepala sekolah hanya bertanggung jawab terhadap
penyusunan rencana sekolah (termasuk penggunaan anggaran) dan
pelaksanaan pelajaran (implementasi kurikulum). Kantor distrik
bertanggung jawab terhadap pengesahan dan monitoring serta
bertindak sebagai penasihat dalam menyusun school planning
overview yang merupakan rencana strategis sekolah untuk tiga
tahun, school annual planning, dan school annual report. Dalam
pengelolaan MBS tipe SO ini, pemerintah Negara bagian
memberikan petunjuk/pedoman dan dukungan.
b. Enhanced fleksibility option (EO1)
Dalam bentuk ini sekolah bertanggung jawab untuk menyusun
rencana strategis sekolah (school planning overview) untuk tiga
tahun, school annual planning, dan school annual report dengan
bimbingan dan pengesahan dari kantor distrik (superintendent).
Dalam posisi ini, peran kantor distrik adalah (1) memberikan
dukungan kepada kepala sekolah dalam pelaksanaan monitoring
internal; (2) menandatangani/membenarkan isi rencana sekolah
(rencana strategi dan tahunan). Sementara itu peran kantor
pendidikan pemerintah Negara bagian mengembangkan dan
menetapkan prioritas program yang akan disajikan sumber
penyusunan perencanaan sekolah.
c. Enhanced Fleksibility option (EO2)

20

Disini keterlibatan distrik sangat kurang, hanya berperan


sebagai lembaga konsultasi. Kantor distrik hanya memberikan
dokumen yang disusun dan disahkan oleh sekolah bersama school
council yang berupa school planning overview, school annual
planning, dan school annual report. Kantor pendidikan Negara
bagian menyiapkan isi kurikulum inti (core curriculum),
menerbitkan dokumen silabus, dan mengkoordinasikan tes standar,
serta melakukan school overview.
Dengan memperhatikan alternative penyelenggaraan MBS
seperti dijelaskan di atas, implementasi praktek tersebut tergantung
pada kondisi berikut:
1. Partisipasi dan komitmen dari orang tua dan penduduk
masyarakat sekitar dalam penyelenggaraan pendidikan bagi
anak-anak; komitmen dan partisipasi tersebut direfleksikan
dalam kekuatan posisi school council (SC) dan parent and
community association (P&C). Kondisi ini tampaknya sangat
berkaitan dengan tingkat pendidikan dan status social-ekonomi
masyarakat.
2. Program Quality-Assurance dan Accountability yang dipahami
dengan baik oleh semua pihak dalam jajaran departemen
pendidikan. Dalam program ini, praktek pendelegasian ke
sekolah yang disertai dengan kejelasan indicator kinerja
sebagai

benchmarking

memungkinkan

para

pejabat/pelaksana dari kantor pendidikan Negara bagian, distrik


sampai

sekolah

memiliki

kesamaan

persepsi

dalam

pelaksanaannya.
3. Pelaksanaan basic skill test memungkinkan kantor pendidikan
Negara bagian, distrik, dan sekolah memperoleh informasi
tentang kinerja sekolah. Bagi sekolah, hasil tes ini dapat
dijadikan bahan diagnosis dan masukan bagi program
pengembangan sekolah. Sementara itu, dari hasil tes yang
sama, kantor distrik dapat memberikan layanan penasihatan
yang lebih terfokus, dan bagi kantor pendidikan Negara bagian

21

informasi hasil tes dijadikan bahan untuk mengembangkan


proses prioritas pembinaan sekolah.
4. Adanya school planning overview

yang

merupakan

perencanaan strategic sekolah, memungkinkan sekolah untuk


memahami visi, misi, dan sasaran prioritas pengembangan
sekolah. Kemampuan manajemen seperti itu diperlukan dalam
membangun kinerja kelembagaan sekolah sehingga jajaran
perencanaan

tahunan

(Annual

Planning)

sekolah

dapat

dilakukan lebih terarah.


Pelaksanaan MBS ini pun didukung oleh adanya school
annual report yang menggambarkan pencapaian perencanaan
tahunan sekolah. School annual report yang dibahas bersama dan
memperoleh penerimaan dari school council menggambarkan
akuntabilitas kelembagaan sekolah.
6. Model MBS di Prancis
Prancis adalah negara maju yang agak lambat dalam mereformasi
pendidikan. Negara-negara lain seperti Amerika Serikat, Kanada, dan
Australia sudah memulainya sejak awal tahun 1970-an, namun Prancis
baru melakukan desentralisasi pendidikan secra sungguh-sungguh mulai
tahun 1980-an.
Sistem pendidikan di Prancis di kanal sebagai sentralistis yang
tradisional. Sekolah dasar diarahkan oleh inspektorat administratif dan
pedagogik. Kepala sekolah diambil dari guru dengan tanggung jawab
fungsional

khusus

seperti

mengkoordinasi,

mengorganisasi,

dan

berhubungan dengan orang-orang tua dan pihak keamanan. Kepala sekolah


dibebaskan dari tugas mengajar berdasarkan besar kecilnya sekolah yang
dipimpinnya.

Disini

terdapat

hubungan

keterkaitan

antara

inspektorat/pengawas daerah dengan para guru.


Sebenarnya upaya desentralisasi pendidikan di Prancis sudah di
mulai sejak tahun 1969 sebagai respon huru-hara pada tahun 1968.
Namun, pada saat itu sekolah menengah atas (secondary school) masih
dilihat sebgai sekolah tradisional sentralistis (Traditionally school

22

centered) dimana pelaksanaan desentralisasi masih dibayang-bayangi oleh


sentralisasi pendidikan.
Kemajuan yang sangat berarti terjadi untuk hampir setiap sekolah
pada tahun 1982-1984 di mana otoritas lokal memiliki tanggung jawab
terhadapa dukungan finansial. Kekuasaan badan pengelola sekolah
menengah atas diperluas kebeberapa area. Sementara itu, pengangkatan
dan pemilihan guru masih dilakukan oleh pusat dengan ketat. Masingmasing sekolah menerima anggaran secara lumpsum terhadap jam
mengajar guru. Kepala sekolah menentukan janis staf yang dibutuhkan
untuk program-program khusus yang dilaksanankan sekolah.
Upaya untuk mendesentralisasikan keputusan yang berkaitan dengan
kurikulum dan pengajaran terjadi pada tahun 1984 pada saat diluncurkan
rencana lima tahunan pada lingkup terbatas untuk tingkat pendidikan
tinggi (college level), yaitu untuk siswa berusia 11-15 tahun.
7. Model MBS di Nikaragua
Masih

dalam

perdebatan akan

dimulainya

desentralisasi

pemerintahan di Nikaragua. Namun, salah satu pertanda yang terjadi pada


tahun 1982 adalah pemerintah Sandinista berusaha meningkatkan
partisipasi dan pengelolaan berbagai pelayanan yang dipindahkan dari
pemerintah pusat ke enam pemerintahan regional.
Dalam bidang pendidikan sebuah uji coba terjadi di pemerintahan
Chamorro di tahun 1993 untuk mentransformasikan pendelegasian
wewenang ke dewan sekolah di dua puluh sekolah menengah. Selanjutnya,
pada tahun 1994 sebanyak 33 sekolah menengah setuju untuk menjadi
sekolah otonom. Pada akhir 1995 terdapat penambahan sebanyak 350
sekolah dasar dan menengah ikut berpartisipasi dalam reformasi
pendidikan.
Pada tahun 1995 dikeluarkan panduan dari kementrian (Ministrys
Direction General de Descentralization) yang berisi kebijakan tentang
bagaimana sekolah yang menyetujui desentralisasi harus berubah.
Disitulah dikeluarkan norma-norma pengadministrasian sekolah otonom

23

(Norms for Administering Autonomous Schools) atau dalam bahasa


Spanyol disebut Normativa de Funcionnamiento de Centros Autonomos.
Model MBS Nikaragua difokuskan pada mendesentralisasikan
pengelolaan sekolah dan anggaran sekolah yang keputusannya diserahkan
kepada dewan sekolah (consenjos directivos). Teori kebijakan berpendapat
bahwa bila aktor ditingkat sekolah mencakup orang tua, guru, dan
pimpinan sekolah memiliki kontrol dalam politik dan keuangan sekolah,
sekolah akan memiliki akuntabilitas dan sumber daya sekolah akan
dipergunakan secara rasional dalam rangka meningkatkan prestasi siswa.
MBS sebagai bentuk desentralisasi pendidikan di Nikaragua
menyangkut empat tahapan penting yaitu desentralisasi kebijakan,
perubahan organisasi sekolah, kondisi lokal dan sejarah organisasi, serta
hasil yang diharapkan.
Dewan sekolah di Nikaragua juga memiliki otoritas legal yang luas
mencakup kekuasaan untuk mengangkat dan memberhentikan staf
sekolah,

mengangkat

dan

memberhentikan

piminan

sekolah,

menyesuaikan insentif dan gaji guru, memantapkan dan menarik


sumbangan pendidikan dari siswa, pemilihan buku pelajaran dan
melakukan evaluasi terhadap para guru sekolah. Dalam teorinya dewan
sekolah tersebut juga memiliki kewenangan untuk mengalokasikan dana
untuk pengajaran, mengelola pendapatan sekolah, program pelatihan, dan
dalam hal kurikulum yang dianggap sesuai.

8. Model MBS di Selandia Baru


Di Selandia Baru, perhatian masyarakat luas untuk terlibat dalam
pendidikan sudah tampak sejak tahun 1970-an dengan adanya konferensi
Pengembangan Pendidikan (Education Development Conference) yang
melibatkan 60.000 orang dalam 4.000 kelompok diskusi.
Salah satu hal yang mempermudah pelaksanaan implementasi MBS
di Selandia Baru adalah keterbukaan pemerintah untuk menerima
rekomendasi laporan picot (1998) bahwa perlu dilakukan transfer

24

kekuasaan/kewenangan yang sesungguhnya dalam pengambilan keputusan


dari jajaran birokrasi pemerintah ke tingkat sekolah. Hal itulah yang oleh
Chapman disebut sebagai perubahan dramatis.
Laporan Picot menyimpulkan bahwa saaat itu struktur administrasi
pendidikan di Selandia Baru terlalu sentralistis dan terlalu kompleks
dengan adanya titik-titik pengambilan keputusan yang terlalu banyak. Ia
meyakini bahwa sistem administrasi yang efektif harus sesederhana
mungkin dan keputusan harus dibuat sedekat mungkin dengan tempat
pelaksanaan pendidikan
Tahun 1989 pemerintah Selandia Baru mengeluarkan UndangUndang Pendidikan (Education act). Setelah itu pada tahun 1990 sistem
pendidikan di sana dijalankan secara desentralistik. Benar bahwa saat
itulah sistem pendidikan mengalami reformasi besar-besaran. Berbagai
bentuk perubahan dalam pengelolaan pendidikan di Selandia Baru
didasarkan pada laporan Picot yang berjudul Administering for
Excellence; Effective Administration in Education yang memuat lima
kritik terhadap sistem pendidikan di Selandia baru, yaitu pengambilan
keputusan yang terlalu sentralistik, kompleksitas titik-titik pengambilan
keputusan kurangnya informasi dan pilihan, kurangnya efektifitas praktik
menajemen, dan perasaan ketidakberdayaan.
Sebagian sekolah menengah atas (secondary school) dikontrol dan
dikelola oleh dewan gubernur yang keanggotaannya kebanyakan dari
orang tua siswa dan anggota masyakat lainnya.
Kerangka kerja kurikulum nasional masih akan berlaku, namun
masing-masing sekolah mengembangkan pendidikan khusus kepada
siswanya. Dukungan pendanaan pendidikan di sekolah dijalankan dengan
sistem quasi-free market di mana sekola akan membuat perencanaan dan
keleluasaan pengelolaan dana sekolah.
9. Model MBS di El-Salvador
Dilatarbelakangi oleh keadaan pasca perang pada tahun 1991
menteri Pendidikan El Salvador menciptakan model MBS baru untuk
melayani siswa-siswa pendidikan pra sekolah dan siswa sekolah dasar di

25

daerah-daerah pedesaan dan daerah terpencil. Setelah penerapan MBS di


daerah pedesaan dan terpencil ini dianggap berhasil maka pada tahun 1997
diterapkan pada sekolah sekolah tradisional di daerah perkotaan.
Model MBS di El-Salvador disebut dengan Community Managed
Schools Program yang kemudian dikenal dengan akronim bahasa Spanyol,
EDUCO (Education con Participacion de la Comunided). Maksud dari
model ini untuk mendesaentralisasikan pengelolaan sekolah negeri dengan
cara meningkatkan keterlibatan orang tua di dalam tanggung jawab
menjalankan sekolah.
Program EDUCO memiliki tiga tujuan utama, yaitu meningkatkan
penyediaan layanan pendidikan di dalam komonitas masyarakat termiskin,
mendorong partisipasi anggota komonitas lokal di dalam pendidikan anakanaknya,

dan

meningkatkan

kualitas

pendidikan

prasekolah

dan

pendidikan dasar.
Akhirnya dibentuklah ACE (Asiciation Comunal para la Education)
atau dalam bahasa Inggrisnya disebut (Comunity Education Association).
Anggotanya dipilih dari orang tua siswa. ACE secara legal bertanggung
jawab untuk menjalankan sekolah-sekolah EDUCO termasuk masalah
anggaran

dana

dan

personilnya.

ACE

dapat

mengangkat

dan

memberhentikan guru serta bertanggung jawab untuk mensupervisi kinerja


dan kehadiran para guru.
Model MBS tersebut menjadi program nasional untuk pendidikan di
El Salvador. Sasaran utama pendidikan disana adalah mencapai sasaran
pada tahun 2005 sedikitnya 90% anak-anak di El Salvador harus
menyelesaikan pendidikan dasar, yaitu dari kelas satu hingga kelas
sembilan.
10. Model MBS di Madagaskar
Model MBS di Madagaskar difokuskan pada pelibatan masyarakat
pada pengontrolan pendidikan dasar sejak tahun 1994. Dengan dukungan
Bank Dunia maka Kementrian Pendidikan telah mengembangkan dan
mempraktikan prinsip-prinsip, strategi dan prosedur yang mengarah pada
tujuan MBS. Implementasi MBS di arahkan di dalam kerangka kerja

26

dengan melibatkan masyarakat desa idak hanya untuk merehabilitasi,


membangun dan memelihara sekolah-sekolah dasar, tetapi juga dilibatkan
dalam pengelolaan dan supervisi sekolah dasar.
Model MBS di Madagaskar tidak terlepas dari latar belakang sejarah
yang kurang baik. Sejak awal tahun 1990-an, pendaftaran ke sekolah
Madagaskar

merosot

sebagai

akibat

dari

kurangnya

investasi,

memburuknya kualitas pendidikan, dan merosotnya moral para orang tua


dan guru. Setelah adanya kajian dari sektor pendidikan dan adanya
dukungan dai Bank Dunia maka dibentuklah sebuah tim pengambilan
keputusan inovatif di tahun 1994, yaitu program rintisan yang dipusatkan
pada pendekatan sekolah berbasis masyarakat.
Program itu dimulai di dua lokasi distrik di suatu provinsi, jumlah
provinsi disana sebanyak enam provinsi dengan total distrik sebanyak 111
buah. Kemudian, program itu diperluas ke 20 distrik. Kesuksesan
implementasi pada tahap awal itu mendorong pemerintah untuk
menerapkanny di seluruh sekolah pada seluruh tingkat pada tahun 1997
dan telah menjadi rencana nasional pengembangan pendidikan. Sejak
tahun 1998, berbagai donor mengalir dan hingga tahun 2001 lalu program
ini telah diterapkan lebih dari separuh distrik yang ada.
Peran

utama

pemerintah

adalah

mengurangi

ketidakadilan

pendidikan, mendefinisikan standar dan mengembangkankerangka kerja


kebijakan dan penelitian pendidikan. Dalam hal ini kebijakan sektoral
untuk pendidikan dasar ada tiga tugas pokok yaitu:
a) pentingnya meningkatkan akses semua siswa untuk masuk pendidikan
dasar
b) perlunya meningkatkan kualitas pembelajaran, pengajaran, dan
pelatihan pada semua tingkatan
c) perlunya memobilisasi partner dengan orang tua siswa dan masyarakat,
ahli waris, dan sektor swasta.
Sarana untuk mencapai tujuan tersebut adalah dengan program
sekolah berbasis masyarakat. Maksudnya adalah melibatkan masyarakat di
dalam tugas-tugas pendidikan. Tugas-tugas pendidikan tersebut di
antaranya dengan memberi kemungkinan kepada semua siswa untuk

27

memiliki keterampilan dasar membaca, menulis, berbicara, memahami,


dan menghitung dalam rangka mengintegrasikan masyarakat dan
mengembangkan kemampuan untuk melanjutkan pendidikan.
11. Model MBS di Indonesia
Model MBS di Indonesia disebut Manajemen Peningkatan Mutu
Berbasis Sekolah (MPMBS). MPMBS dapat diartikan sebagai model
manajemen yang memeberikan otonomi lebih besar kepada sekolah,
fleksibilitas pada sekolah, dan mendorong partisipasi langsung warga
sekolah dan masyarakat untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan
kebijakan pendidikan nasional serta peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Otonomi dapat di artikan sebagai kewenangan atau kemandirian,
yaitu kemandirian dalam mengatur dan mengurus dirinya sendiri dan tidak
tergantung. Otonomi sekolah adalah kewenangan sekolah untuk mengatur
dan mengurus kepentingan warga sekolah menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi warga sekolah sesuai dengan peraturan perundangundangan pendidikan nasional yang berlaku.
Sementara itu, pengambilan keputusan aspiratif adalah suatu cara
untuk mengambil keputusan melalui penciptaan lingkungan yang terbuka
dan demokratik dimana warga sekolah didorong terlibat secara langsung
dalam proses oengambilan keputusan yang dapat berkontribusi terhadap
pencapaian tujuan sekolah.
Di Indonesia model MBS difokuskan pada peningkatan mutu, tetapi
tidak jelas dalam hal mutu apa. Mutu gurukah, mutu kurikulumkah, mutu
hasil pengajarankah, mutu proses belajar mengajarkah, mutu penilainkah,
atau mutu manajemennya?. Perspektif mutu ini terlalu luas untuk dicakup
semua dalam model MBS di Indonesia.
Hal yang paling mendasar yang tidak diungkap dalam target mutu
yang ingin dicapai dalam model MBS di Indonesia adalah mutu yag
seperti apa? Apa kriterianya, bagaimana cara mencapainya, kapan harus
dicapai, dan bagaimana peran sekolah dalam peningkatan mutu pendidikan
ini?

28

Model MBS di Indonesia tidak berasal dari inisiatif warga


msayarakat, tetapi dari pemerintah. Hal ini bisa dimengerti karena setelah
32 tahun Indonesia berada dalam cengkraman pemerintahan otoriter yang
membuat warganya takut untuk mengeluarkan pendapat dan inisiatif. Oleh
karena itu, pendekatan yang digunakan pun berbeda dengan negara-negara
lain yang peran serta masyarakatnya sudah tinggi. Di Indonesia, penerapan
MBS diawali dengan dikeluarkannya UU No. 25 tahun 2000 tentang
Rencana Strategis Pembangunan Nasional Tahun 2000-2004.
12. Model MBS yang Ideal
Model Lawler (1986) dengan keterlibatan tinggi dalam manajemen
di sektor swasta menyangkut empat hal, yaitu kekuasaan, informasi,
penghargaan, dan pengetahuan. Informasi memungkinkan individu
berpartisipasi

dan

mempengaruhi

pengambilan

keputusan

dengan

memahani lingkungan organisasi, strategi, sistem kerja, persyaratan


kinerja, da tingkat kinerja. Pengetahuan dan keterampilan diperlukan
untuk meningkatkan kinerja pekerjaan dan kontribusi aktif atas kesuksesan
organisasi. Kekuasaan diperlukan untuk mempengaruhi proses kerja,
praktik keorganisasian, kebijakan dan strategi. Penghargaan untuk
menyatukan

kepentingan

pribadi

karyawan

dengan

keberhasilan

organisasi.
Kebanyakan orang berpendapat bahwa pendesentralisasian MBS
hanya pada kekuasaan dan kurang memperhatikan tiga hal lainnya. Model
MBS yang terinci menggambarkan pertukaran dua arah dalam hal
pengetahuan, kekuasaan, informasi dan pengahargaan, alur dan arah
memberikan pengaruh yang saling menguntungkan secara terus-menerus
antara pemerintah daerah dengan sekolah dan sebaliknya.
Model ideal yang dikembangkan oleh Slamet P.H. terdiri dari
output, proses, dan input. Output sekolah diukur dengan kinerja sekolah,
yaitu pencapaian atau prestasi yang dihasilkan oleh proses sekolah.
Kinerja sekolah dapat diukur dari efektifitas, kualitas, produktivitas,
efisiensi, inovasi, kualitas kehidupan kerja, dan moral kerja.

29

Proses adalah berubahnya sesuatu menjadi sesuatu yang lain.


Proses sekolah yang dimaksud adalah proses pengambilan keputusan,
proses pengelolaan kelembagaan, proses pengelolaan progaram, dan
proses belajar mengajar.
Input adalah segala sesuatu yang harus tersedia karena dibutuhkan
untuk berlangsungnya proses. Sejumlah input sekolah adalah Visi, Misi,
tujuan, sasaran, struktur organisasi, input manajemen, dan input sumber
daya.
2.4 Prospek gaji guru dalam manajemen berbasis sekolah
Guru merupakan pemeran utama proses pendidikan yang sangat
menentukan tercapai tidaknya tujuan. Hal ini lebih terasa lagi pada
implementasi MBS. Dalam menjalankan tugasnya, guru memerlukan rasa
aman secara psikologis melalui kepastian karier dan incentive sebagai imbalan
atas pekerjaannya. Jaminan ini harus ada, meskipun Negara dalam keadaan
krisis. Sehubungan dengan itu, dalam rangka otonomi daerah dan desentralisasi
pendidikan, perlu diidentifikasi urusan-urusan yang harus ditangani oleh pusat
dan yang dilimpahkan ke daerah. Hal ini perlu dilakukan secara bertahap dan
seselektif mungkin dengan mempertimbangkan secara arif kepentingankepentingan berikut.
a. Dunia pendidikan secara utuh dan menyeluruh berkenaan dengan
perluasan kesempatan, peningkatan mutu, relevansi dan efisiensi.
b. Usaha menjaga integritas, persatuan dan kesatuan nasional.
c. Kemampuan psikologis guru dalam menjalankan tugasnya.
Jalal dan Supriyadi (2001) mengidentifikasikan pembagian tugas antara
pusat dan daerah dalam otonomi pendidikan secara garis besarnya sebagai
berikut. Urusan-urusan yang harus ditangani pusat (a) alokasi jatah guru yang
diangkat di setiap daerah berdasarkan kesediaan formasi secara nasional sesuai
dengan anggaran yang tersedia dengan tetap memperhitungkan kebutuhan
daerah; (b) penggajian guru yang bersumber dari RAPBN mengacu kepada
sistem penggajian pegawai negeri disertai tunjangan professionalnya; (c)
mutasi guru antar propinsi; (d) pembuatan rambu-rambu (guide lines) yang
berisi syarat-syarat minimal tentang kualifikasi minimal calon guru, sistem
rekruitmen, sistem pembinaan mutu, sistem pengembangan karier, serta

30

penempatan dan mutasi guru antar provinsi; (e) evaluasi dan monitoring
terhadap pelaksanaan standar-standar nasional oleh daerah beserta sangsinya.
Sedangkan urusan-urusan yang dilimpahkan ke daerah, dengan
berpedoman pada standar nasional yang disusun oleh pusat, adalah sebagai
berikut.
a. Rekruitmen dan seleksi calon guru yang diangkat sebagai calon PNS;
b. Rekruitmen dan peningkatan calon guru untuk memenuhi kebutuhan
khusus (guru kontrak, guru bantu, guru pengganti sementara) yang
anggarannya menjadi beban daerah atau proyek-proyek khusus yang
dibiayai oleh pusat);
c. Penempatan dan mutasi guru dalam lingkup daerah yang bersangkutan;
d. Penilaian kinerja guru dalam rangka kenaikan pangkat, promosi
jabatannya, dan pemberian tunjangan atas dasar prestasinya;
e. Penetapan jumlah dan pemberian tunjangan daerah sesuai dengan
kemampuan daerah yang bersangkutan (di luar gaji/tunjangan sebagai
PNS);
f. Pembinaan mutu guru/pamong belajar melalui pelatihan/penataran dan
wahana-wahana lainnya.
Klasifikasi pembagian tersebut mengisyaratkan bahwa daerah hanya
akan memiliki kewenangan dalam mengelola pendidikan karena kemampuan
daerah untuk mengambil beban gaji guru dalam APBD masih cukup berat.
Untuk membebankan gaji guru kepada daerah perlu memperhatikan
hal-hal berikut:
a. Pendapatan asli daerah (PAD);
b. Jumlah guru yang ada di daerah tersebut;
c. Sumber daya alam apa yang bisa diandalkan untuk menambah PAD dari
dana perimbangan pusat daerah.
Memperhatikan uraian di atas, dapat diperkirakan kemampuan daerah
untuk menggaji guru yang berada di daerahnya. Sebaga ilustrasi Hidayat
(2000) menggunakan kabupaten Sumedang sebagai contoh. Pendapatan
kabupaten Sumedang pada tahun anggaran 1994/1995 sebelum gaji guru
diserahkan pada kabupaten dan kota, baik itu PAD, subsidi pusat, dan bagi
hasil pajak mencapai 31,413 milyar rupiah, kebutuhan belanja pembangunan
sebesar 16,939 milyar rupiah, dan belanja rutin sebesar 12,894 milyar rupiah
sehingga tersisa sebesar 1,625 milyar.
Bila di kabupaten Sumedang terdapat 5.678 guru dan rata-rata gaji Rp
500.000,00 per bulan, dana yang harus disediakan sebesar 2,839 milyar rupiah

31

per bulan sedangkan dana yang tersisa sebesar 1,625 milyar rupiah. Dengan
kekurangan dana tersebut bisa terjadi beberapa kemungkinan.
a. Besar gaji disesuaikan dengan dana yang ada;
b. Besar gaji tetap, tetapi ada pengurangan guru;
c. Mencari sumber lain untuk menutupi kekurangan;
d. Mengalihkan sebagian kegiatan belanja rutin atau pembangunan untuk
membayar gaji guru.
e. Contoh kasus di kabupaten Sumedang ini bisa juga terjadi di daerah lain
yang memiliki pendapatan daerah hampir atau sama dengan Kabupaten
Sumedang.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
MBS merupakan paradigma baru pendidikan, yang memberikan otonomi
luas pada tingkat sekolah (pelibatan masyarakat) dalam kerangka kebijakan
pendidikan nasional. Secara umum, manajemen peningkatan mutu berbasis
sekolah (MPMBS) dapat diartikan sebagai model manajemen yang
memberikan otonomi lebih besar kepada

sekolah dan mendorong

pengambilan keputusan partisipatif yang melibatkan secara langsung semua


warga sekolah (guru, siswa, kepala sekolah, karyawan, orang tua siswa, dan
masyarakat) untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan
pendidikan nasional.
Adapun model-model manajemen berbasis sekolah di antaranya model
tujuan, model sumber daya masukan, model proses, model kepuasan, model
legitimasi, model ketidakefektifan, model pembelajaran organisasi, dan model
manajemen mutu total. Terdapat berbagai implementasi model MBS yang
diterapkan secara berbeda di berbagai Negara, termasuk Indonesia.

32

3.2 Saran
Dengan adanya makalah ini, diharapkan dapat meningkatkan pemahaman
terhadap penggunaan dan implementasi model MBS di berbagai Negara.
Sebagai tenaga kependidikan, dengan dimilikinya pemahaman terhadap
implementasi model MBS yang berbeda ini, tentunya dapat memilah-milah
model MBS yang tepat diterapkan di sekolahnya masing-masing.

DAFTAR PUSTAKA
Sutomo, dkk. 2012. Manajemen Sekolah. Semarang: Universitas Negeri Semarang
Press.
http://iimabusyifa.blogspot.co.id/2013/08/model-model-manajemenberbasis-sekolah.html [online] diakses pada tanggal 28 Mei 2016 pukul

16.14
http://syamsuddincoy.blogspot.co.id/2012/02/implementasi-danmanajemen-berbasis.html [online] diakses pada tanggal 28 Mei 2016

pukul 16.21

33

Anda mungkin juga menyukai