Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Sedangkan metode saldo menurun hanya diperkenankan digunakan untuk kelompok harta
berwujud bukan bangunan saja.
Tabel berikut menggambarkan kelompok harta berwujud, metode, serta tarif penyusutannya:
KELOMPOK HARTA
BERWUJUD
MASA
MANFAAT
I. Bukan Bangunan
Kelompok 1
Kelompok 2
Kelompok 3
Kelompok 4
II. Bangunan
Permanen
Tidak Permanen
TARIF DEPRESIASI
SALDO
GARIS LURUS
MENURUN
4 tahun
8 tahun
16 tahun
20 tahun
25%
12,5%
6,25%
5%
50%
25%
12,5%
10%
20 tahun
10 tahun
5%
10%
375.000
Penyusutan tahun 2011: 50% x (Rp 750.000 Rp 375.000) = 50% x Rp 375.000 = Rp
187.500
Penyusutan tahun 2012: 50% x (Rp 375.000 Rp 187.500) = 50% x Rp 187.500 = Rp 93.750
Penyusutan tahun 2013: Sisanya disusutkan sekaligus = Rp 93.750
2.
3.
Ditahan oleh suatu perusahaan yang digunakan dalam produksi atau memasok
barang dan jasa untuk disewakan, atau untuk tujuan administrasi.
Masa manfaatnya diukur dengan periode suatu aktiva yang diharapkan digunakan
oleh perusahaan atau jumlah produksi atau unit serupa yang diharapkan diperoleh dari aktiva
oleh perusahaan.
Sedangkan jumlah yang dapat disusutkan adalah biaya perolehan suatu aktiva, atau
jumlah lain yang disubtitusikan untuk biaya dalam laporan keuangan, dikurangi nilai sisanya.
METODE PENYUSUTAN
Aktiva tetap kecuali tanah akan makin berkurang kemampuannya untuk memberikan
jasa bersamaan dengan berlakunya waktu. Jumlah yang dapat disusutkan dialokasikan
kesetiap periode akuntansi selama masa manfaat aktiva dengan berbagai metode yang
sistematis dan diterapkan secara konsisten/taat asas, tanpa memandang tingkat profitabilitas
perusahaan dan pertimbangan perpajakan, agar dapat menyediakan daya banding hasil afiliasi
perusahaan dari periode penyusutan dapat dilakukan dengan berbagai metode yang
dikelompokkan menurut akuntansi komersial:
1.
b.
2.
3.
1)
2)
b.
b.
Metode anuitas
Stelsel akrual adalah suatu metode penghitungan penghasilan dan biaya dalam arti
penghasilan diakui pada waktu diperoleh dan biaya diakui pada waktu terutang. Jadi, tidak
tergantung kapan penghasilan itu diterima dan kapan biaya itu dibayar secara tunai. Termasuk
dalam pengertian stetsel akrual adalah pengakuan penghasilan berdasarkan metode persentase
tingkat penyelesaian pekerjaan yang umumnya dipakai daiam bidang konstruksi dan metode
lain yang dipakai dalam bidang usaha tertentu seperti build operate and transfer (BOT) dan
real estat.
Stelsel kas adalah suatu metode yang penghitungannya didasarkan atas penghasilan
yang diterima dan biaya yang dibayar secara tunai. Menurut stelsei kas, penghasilan baru
dianggap sebagai penghasilan apabila benar-benar telah diterima secara tunai dalam suatu
periode tertentu serta biaya baru dianggap sebagai biaya apabila benar-benar telah dibayar
secara tunai dalam suatu periode tertentu. Stelsel kas biasanya digunakan oleh perusahaan
kecil orang pribadi atau perusahaan jasa, misalnya transportasi, hiburan, dan restoran yang
tenggang waktu antara penyerahan jasa dan penerimaan pembayarannya tidak berlangsung
lama. Dalam stetsel kas murni, penghasilan dari penyerahan barang atau jasa ditetapkan pada
saat pembayaran dari pelanggan diterima dan biaya-biaya ditetapkan pada saat barang, jasa,
dan biaya operasi lain dibayar.
Dengan cara ini, pemakaian stelsel kas dapat mengakibatkan penghitungan yang
mengaburkan terhadap penghasilan, yaitu besarnya penghasilan dari tahun ke tahun dapat
disesuaikan dengan mengatur penerimaan kas dan pengeluaran kas. Oleh karena itu, untuk
penghitungan Pajak Penghasilan dalam memakai stelsel kas harus memperhatikan hal-hal
antara lain sebagai berikut:
1) Penghitungan jumlah penjualan dalam suatu periode harus meliputi seluruh penjualan,
baik yang tunai maupun yang bukan. Dalam menghitung harga pokok penjualan harus
diperhitungkan seluruh pembeiian dan persediaan.
2) Dalam memperoleh harta yang dapat disusutkan dan hak- hak yang dapat
diamortisasi, biaya-biaya yang dikurangkan dari penghasilan hanya dapat dilakukan
melalui penyusutan dan amortisasi.
3) Pemakaian
stelsel
kas
harus
dilakukan
secara
taat
asas
(konsisten).
Dengan demikian penggunaan stelsel kas untuk tujuan perpajakan dapat juga
dinamakan stelsel campuran.
dengan berjalannya waktu harga pembelian persediaan terus mengalami peningkatan yang
dapat disebabkan oleh inflasi, maka jika perusahaan menggunakan metode LIFO akan
mengakibatkan kerugian bagi negara karena setoran ke kas negara semakin sedikit. Oleh
karena itu, metode yang boleh digunakan berdasarkan ketentuan perpajakan di Indonesia
hanya metode Average atau FIFO.
PSAK 14 Persediaan
Persediaan adalah salah satu aset lancar signifikan bagi perusahaan pada umumnya,
terutama perusahaan dagang, manufaktur, pertanian, kehutanan, pertambangan, kontraktor
bangunan, dan penjual jasa tertentu. Hal ini menyebabkan akuntansi untuk persediaan
menjadi suatu masalah penting bagi perusahaan-perusahaan tersebut.
Menurut IAS No.2 inventory dan PSAK No.14 persediaan :
Persediaan adalah :
a. Tersedia untuk dijual dalam kegiatan usaha normal
b. Dalam proses produksi untuk penjualan tersebut, atau
c. Dalam bentuk bahan atau perlengkapan (supplies) untuk digunakan dalam proses
produksi atau pemberian jasa.
Terdapat beberapa poin penting terkait dengan definisi tersebut diatas :
1. Persediaan merupakan aset yang tersedia untuk dijual dalam kegiatan usaha normal.
Ini berarti aset yang dikelompokkan sebagai persediaan adalah aset yang memang
selalu dimaksudkan untuk dijual atau digunakan dalam proses produksi atau
pemberian jasa.
2. Perlengkapan yang dimaksudkan sebagai persediaan adalah perlengkapan yang
digunakan dalam proses produksi, sehingga perlengkpan kantor (seperti alat tulis
kantor) dengan tujuan untuk digunakan administrasi kantor dan bukan untuk dijual,
bukanlah bagian dari persediaan.
3. Perlengkapan tersebut juga harus merupakan perlengkapan yang digunakan secara
regular dalam proses produksi dan bukan perlengkapan yang hanya bisa digunakan
bersamaan dengan aset tetap.
PSAK 14 tidak ditetapkan untuk pengukuran persediaan yang dimiliki oleh produsen
produk agrikultur dan kehutanan, hasil agrikultur setelah panen, dan mineral dan produk
mineral (sepanjang produk tersebut diukur pada nilai realisasi bersih sesuai dengan praktik
yang berlaku diindustri tersebut) dan juga tidak berlaku untuk pialang dagang komoditas
yang mengukur persediaannnya pada nilai wajar dikurangi biaya untuk menjual.
Klasifikasi persediaan tergantung dari jenis usaha entitas. Perusahaan dagang
lazimnya hanya mempunyai persediaan barang dagang. Sedangkan perusahaan manufaktur
mengelompokkan persediaan sebagai berikut :
1. Persediaan barang jadi, yaitu barang yang setelah selesai diproduksi dan siap untuk
dijual.
2. Persediaan barang dalam proses, yaitu barang yang sedang dalam proses produksi.
3. Persediaan barang mentah atau bahan baku, yaitu barang yang akan menjadi input
dalam proses produksi.
bangunan kantor, kevling tanah menurut lokasi atau ukuran dan lain produk terancang secara
khusus
Rata-Rata
Dalam metode rata-rata atau metode rata-rata tertimbang biaya barang tersedia untuk
dijual (persediaan awal dan pembelian) dibagi dengan unit tersedia untuk dijual, untuk
mendapatkan biaya rata-rata per unit. Apabila perusahaan menggunakan metode pencatatan
periodik, maka biaya rata-rata per unit akan dihitung diakhir periode saja. Sedangkan dalam
metode pencatatan perpetual, setiap kali dilakukan pembelian maka akan dihitung biaya ratarata per unit yang baru. Untuk metode pencatatan perpetual, asumsi arus biaya rata-rata
dikenal dengan nama metode biaya rata-rata bergerak (moving averagemethod).
Karena metode pencatatan periodik menghitung biaya rata-rata hanya 1 kali saja
diakhir periode sedangkan metode pencatatan perpetual menghitung biaya rata-rata setiap kali
terjadi pembelian, maka nilai persediaan akhir dan harga pokok penjualan akan berbeda
antara metode pencatatan periodik dan metode pencatatan perpetual.
Masuk Pertama Keluar Pertama (First in First out FIFO)
Metode ini mengasumsikan bahwa barang yang pertama dibeli merupakan barang
yang pertama dijual. Keunggulan metode ini terletak pada nilai persdiaan yang dilaporkan
dilaporan diposisi keuangan (neraca). Karena barang yang dibeli pertama diasumsikan dijual
pertama, maka nilai barang yang dilaporkan sebagai persediaan dineraca mencerminkan
harga perolehan yang terbaru, sehingga dalam keadaan perputaran persediaan normal, nilai
persdiaan dineraca lazimnya lebih mendekati nilai sekarang dari persediaan. Tetapi,
kelemahan metode ini adalah pada nilai harga pokok penjualan yang dilaporkan dilaporan
laba/rugi. Harga pokok penjualan merupakan biaya perolehan masa lalu yang ditandingkan
dengan pendapatan sekarang. Sehingga bila tingkat inflasi cukup tinggi dapat timbul laba
semu, terutama untuk barang yang perputarannya agak lambat.
Metode ini akan menghasilkan nilai persediaan akhir dan harga pokok penjualan yang
sama , baik menggunakan metode pencatatan periodik maupun pencatatan perpetual.
Masuk Terakhir Keluar Pertama (Last in First out LIFO)
Dalam metode ini, diasumsikan barang yang dibeli terakhir adalah barang yang dijual
pertama, sehingga persediaan yang tersisa dipersediaan akhir adalah barang yang paling awal
diperoleh. Hal ini umumnya tidak mencerminkan penyajian yang handal dari arus aktual
persediaan. IAS 2 dan PSAK 14 melarang menggunakan metode LIFO.
Penggunaan LIFO dalam pelaporan keuangan sering kali disebabkan karena faktor
pajak. Dalam keadaan tren harga barang menunjukkan kenaikan, khususnya dalam inflasi,
metode LIFO umumnya menghasilkan harga pokok penjualan yang lebih tinggi dan laba
bersih yang lebih rendah dibandingkan metode lainnya, sehingga beban pajak perusahaan
lebih rendah.
Oleh karena itu IASB memutuskan untuk menghilangkan metode LIFO karena
metode tersebut secara umum tidak mencerminkan penyajian yang handal dari arus akrual
persediaan. Dibeberapa Negara, penggunaan metode LIFO diperbolehkan untuk tujuan pajak
hanya jika metode tersebut juga digunakan untuk tujuan akuntansi. Tetapi ISAB berpendapat
pertimbangan pajak tidak menjadi dasar konseptual yang memadai untuk memilih perlakuan
akuntansi yang sesuai, sehingga tidak dapat diterima untuk memperbolehkan perlakuan
akuntansi yang inferior semata-mata karena peraturan perpajakan dinegara-negara tertentu.
RUPIAH Vs DOLAR
Perlakuan Pajak Atas Kewajiban Penggunaan Rupiah di Indonesia
Tulisan ini akan melihat peraturan perpajakan yang dapat diterapkan oleh Direktorat
Jenderal Pajak (DJP) atas kewajiban penggunaan mata uang Rupiah di Indonesia karena
penerapan UU Mata Uang tersebut.
A.
Wajib Pajak Kontraktor Kontrak Kerja Sama minyak dan gas bumi;
Bentuk Usaha Tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) UU PPh;
Wajib Pajak yang mendaftarkan emisi sahamnya baik sebagian maupun seluruhnya di
bursa efek luar negeri;
Wajib Pajak yang berafiliasi langsung dengan perusahaan induk di luar negeri, yaitu
perusahaan anak (subsidiary company), atau
Wajib Pajak yang menyajikan laporan keuangan dalam mata uang fungsionalnya
menggunakan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat sesuai Standar Akuntansi
Keuangan yang berlaku di Indonesia.
Penerapan kewajiban penggunaan mata uang Rupiah dalam transaksi dalam negeri
tidak hanya berpengaruh pada pembukuan, dimana pembukuan untuk kepentingan komersil
dapat menggunakan mata uang asing, seperti Dollar Amerika Serikat, namun transaksi dalam
negeri termasuk pelaporan pajak menggunakan mata uang Rupiah dan hal ini akan dapat
mempengaruhi harga jual, harga pembelian, biaya gaji, beserta PPh Potongan Pungutan
(withholding tax) yang akan juga mempengaruhi pelaporan PPN.
Untuk pembukuan bagi Wajib Pajak yang melakukan transaksi dalam mata uang asing ,
tentunya harus mengacu pada Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia
khususnya pada Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan tentang Transaksi Dalam Mata
Uang Asing (PSAK No. 10). PSAK tersebut menjadi acuan, diantaranya, untuk pengakuan
dan penghitungan selisih kurs, penentuan kurs yang digunakan hingga pengakuan atas
pengaruh keuangan dari perubahan kurs valuta asing dalam laporan keuangan.
B. Perlakuan Pajak atas Selisih Kurs
Selisih kurs, menurut PPh, dapat menimbulkan permasalahan kerugian dan keuntungan
karena selisih kurs. Keuntungan selisih kurs merupakan objek pajak penghasilan sesuai Pasal
4 ayat (1) UU PPh begitu juga dengan kerugian karena selisih kurs dapat menjadi biaya
pengurang PPh sesuai Pasal 6 ayat (1) UU PPh
Permasalahan nilai tukar dapat terjadi karena beberapa hal, misalkan Wajib Pajak yang
mengimpor barang dengan mata uang asing namun harus menjualnya di Indonesia dengan
mata uang Rupiah. Oleh karenanya, perlu diperhatikan cara menghitung keuntungan dan
kerugian karena cara perhitungan selisih kurs yang tidak diatur rinci dalam UU PPh dan dapat
didasarkan atas PSAK No. 10, contohnya :
Pengakuan selisih kurs, baik sebagai laba atau kerugian dalam laporan rugi laba Wajib
Pajak, atas transaksi dalam mata uang asing akibat devaluasi atau depresiasi luar biasa
suatu mata uang yang tidak memungkinkan dilakukannya hedging.
Pengakuan selisih kurs, yang akan diakui sebagai keuntungan atau kerugian kurs
periode berjalan, karena selisih kurs tunai (spot rate) dan kurs masa depan (forward
rate) misalnya karena adanya swap valuta asing untuk hedging.
Pembukuan untuk selisih kurs harus taat asas berdasarkan sistem pembukuan yang dianut,
sesuai Standar Akuntansi Keuangan, agar tidak dianggap melanggar UU PPh.
Apabila Wajib Pajak diizinkan untuk menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan
bahasa Inggris dan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat, berlaku ketentuan konversi ke
satuan mata uang Dollar Amerika Serikat sebagaimana diatur dalam Pasal 6 dari PMK No.
196/PMK.03/2007 yang menjelaskan diantaranya mengenai kurs yang harus digunakan oleh
Wajib Pajak pada awal tahun buku dan pada tahun berjalan untuk beragam transaksi.
C. Hedging dan Kewajiban Penggunaan Rupiah
Wajib Pajak dapat melakukan hedging atau lindung nilai untuk mengatasi masalah resiko
nilai tukar karena kewajiban penggunaan Rupiah. Permasalahan dari hedging adalah apakah
keuntungan atau kerugian karena hedging dapat diakui dalam perhitungan PPh. Untuk itu
pembukuan menurut Standar Akuntansi Keuangan diperlukan untuk menentukan apakah
pembukuan hedging, yang menjadi dasar perhitungan laba atau rugi karena hedging, telah
dilakukan dengan benar.
PSAK No. 55 tentang Instrumen Derivatif dan Aktivitas Lindung Nilai mengatur tentang
pembukuan atas laba dan rugi instrumen lindung nilai terhadap risiko :
1. Nilai wajar aktiva atau kewajiban yang sudah diakui.
2. Nilai arus kas, atau
3. Risiko valuta asing.
Contoh dari hedging yang dilakukan atas risiko diatas :
ikatan pasti (komitmen) yang belum diakui (lindung nilai atas nilai wajar valuta
asing), atau
transaksi yang diperkirakan akan terjadi (lindung nilai arus kas valuta asing).
Bagi DJP, yang menjadi pertimbangan atas transaksi hedging adalah objek PPh yaitu setiap
tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik dari
Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau menambah
kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun, contohnya
atas bunga dan keuntungan selisih kurs sesuai Pasal 4 ayat (1) UU PPh. Demikian juga
dengan biaya yang dapat dikurangkan atas transaksi hedging seperti biaya bunga dan
kerugian selisih kurs, sesuai Pasal 6 ayat (1) UU PPh.
Jika transaksi hedging meliputi pembayaran, contohnya adalah bunga termasuk premium,
diskonto atau premi swap kepada pihak asing di luar negeri, pembayaran akan terutang PPh
Pasal 26 dengan tarif yang dapat berubah sesuai dengan tax treaty.
D. Pelaporan PPN dan transaksi dalam Rupiah
Untuk penjualan dan pembelian dalam negeri, maka transaksi harus menggunakan mata uang
Rupiah sehingga pelaporan PPN juga harus menggunakan dasar pengenaan pajak dalam
Rupiah.
Dalam prakteknya, pembeli dan penjual di Indonesia dapat saja membuat perjanjian
penjualan atau pembelian yang memungkinkan perubahan harga bila terjadi perubahan nilai
tukar dengan menggunakan proforma invoice, yang dapat dikatakan sebagai komitmen
penjualan atau faktur sementara sehingga faktur komersial akan diterbitkan di kemudian
hari.
Proforma invoice juga terkadang dilakukan untuk menghindari pembayaran PPN yang harus
dilakukan sedangkan pembayaran dari konsumen baru akan dibayar dalam jangka waktu
lama setelahnya. Penggunaan proforma invoice dapat menjadi masalah bila ada perbedaan
antara informasi antara proforma invoice seperti jumlah pembayaran hingga tanggal transaksi
dengan informasi yang ada di faktur pajak.
Untuk pelaporan faktur pajak, penggunaan faktur pajak elektronik (e-faktur) akan lebih
memudahkan pengawasan oleh DJP untuk menemukan ketidaksesuaian informasi faktur
pajak dengan keadaan yang sebenarnya. Dalam pelaporan faktur pajak elektronik, mata uang
yang bisa digunakan hanya Rupiah dan untuk penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau
penyerahan Jasa Kena Pajak yang menggunakan mata uang selain Rupiah maka harus
terlebih dahulu dikonversikan ke dalam mata uang Rupiah dengan menggunakan kurs yang
berlaku menurut Keputusan Menteri Keuangan pada saat pembuatan e-faktur.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2012, untuk kepentingan perhitungan PPN,
penggunaan mata uang asing dimungkinkan asalkan menggunakan kurs yang ditetapkan oleh
Menteri Keuangan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah tersebut juga dijelaskan bahwa dalam
transaksi atas:
Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak berwujud dari luar Daerah Pabean; atau
yang dilakukan dengan mempergunakan mata uang asing maka penghitungan besarnya PPN
atau PPn BM, harus dikonversi ke dalam mata uang Rupiah dengan mempergunakan kurs
yang ditetapkan Menteri Keuangan yang berlaku pada saat pembuatan Faktur Pajak.
Berdasarkan aturan diatas, dapat dilihat bahwa meskipun Faktur Pajak elektronik hanya
mengatur pelaporan PPN dalam Rupiah namun peraturan pajak untuk PPN belum mengatur
kewajiban
penggunaan
Rupiah
dalam
transaksi
di
dalam
negeri.
E.
Kesimpulan
Kewajiban penggunaan mata uang Rupiah di Indonesia berdasarkan UU No. 7 Tahun
2011 dapat membuat Wajib Pajak bertransaksi hanya menggunakan mata uang Rupiah yang
akan mempunyai pengaruh dalam perhitungan PPh serta pelaporan PPN. Wajib Pajak
memerlukan perencanaan pajak atas kewajiban ini seperti dalam hal pembukuan, selisih kurs,
transaksi hedging hingga pelaporan PPN. DJP mungkin perlu merubah beberapa peraturan,
contohnya atas peraturan PPN, untuk turut mendukung penerapan kewajiban penggunaan
mata uang Rupiah untuk transaksi di dalam negeri.
Pengaruh Perubahan Kurs Valuta Asing (PSAK 10)
1. Pada saat pengakuan awal: Transaksi dalam mata uang asing harus disaji ulang ke
dalam mata uang fungsional menggunakan kurs tanggal transaksi (paragraf 21), dan
2. Pada setiap tanggal pelaporan (paragraf 23):
1. Pos-pos moneter disaji ulang menggunakan kurs penutup
2. Pos-pos non-moneter yang dicatat pada biaya historis harus dilaporkan
menggunakan kurs tanggal transaksi, dan
3. Pos-pos non-moneter yang dicatat pada nilai wajar harus disaji ulang
menggunakan kurs yang berlaku pada saat nilai etrsebut ditentukan.
2. Bagaimana perbedaan penjabaran ini harus dijelaskan, dapat dijawab dengan cara
yang berbeda bergantung pada metode penjabaran yang digunakan