Strategi Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan
Strategi Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan
PENGELOLAAN PERIKANAN
BERKELANJUTAN
KATA PENGANTAR
Sebagai Negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki laut yang
dapat dikelola sebesar 5,8 juta km2 dan mempunyai potensi serta keanekaragaman
sumber daya kelautan dan perikanan yang sangat besar. Hal ini merupakan modal
yang besar bagi pembangunan ekonomi dan pada akhirnya dapat dimanfaatkan untuk
meningkatan kesejahteraan masyarakat. Selain itu, sumber daya kelautan dan
perikanan tersebut dapat digunakan sebagai sumber bahan pangan untuk memenuhi
kebutuhan protein masyarakat. Sehingga peningkatan produksi perikanan diharapkan
mampu mendukung ketahanan pangan nasional.
Sementara itu, berdasarkan data dari FAO, pada tahun 2012, Indonesia
menempati peringkat ke-2 untuk produksi perikanan tangkap laut dunia, peringkat ke-4
untuk produksi perikanan budidaya di dunia, dan peringkat ke-2 untuk produksi rumput
laut di dunia. Sejak beberapa tahun terakhir, perikanan tangkap mengalami
perlambatan pertumbuhan produksi dan cendenrung mengalami stagnasi. Hal ini
karena jumlah hasil tangkapan yang telah mendekati produksi tangkapan lestari
(Maximun Sustainable Yield/MSY) sebesar 6,5 juta ton per tahun, dengan jumlah
tangkapan yang diperbolehkan (Total Allowable Catch/TAC) adalah 80 persen dari
MSY. Saat ini upaya pengelolaan penangkapan ikan di laut lebih diarahkan pada
pengendalian dan penataan faktor produksi untuk menghasilkan pemanfaatan yang
berkesinambungan. Selanjutnya, upaya peningkatan produksi perikanan budidaya
perlu memperhatikan daya dukung lingkungan, diantaranya terkait kualitas air dan
pencemaran yang mungkin terjadi akibat pemberian pakan yang berlebihan, serta
pembukaan lahan baru untuk tambak/kolam pemeliharaan ikan.
Kajian Strategi Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan ini, diharapkan dapat
memberikan gambaran terkait penerapan prinsip-prinsip keberlanjutan pembangunan
nasional di masa datang sebagai bagian dari kebijakan dan pelaksanaan
pembangunan bidang kelautan dan perikanan pada saat ini. Hasil Kajian ini, sudah
barang tentu masih jauh dari ideal dan masih memerlukan penyempurnaan. Namun
demikian, sebagai suatu pemikiran, dokumen ini diharapkan dapat digunakan sebagai
acuan bagi penyusunan kebijakan/strategi operasional dan perencanaan bagi
stakeholders dan pelaku usaha kelautan dan perikanan.
Akhir kata, saya mengucapkan terimakasih kepada seluruh pihak yang telah
membantu dalam penyusunan dokumen ini dan berharap dokumen ini dapat
bermanfaat bagi para pelaku usaha perikanan dan stakeholders lainnya baik di tingkat
nasional maupun daerah.
ii
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR .......................................................................................
ii
iii
vii
1 PENDAHULUAN
1.1
1.2
1.3
1.4
2.2
3 METODE KAJIAN
3.1
3.2
3.3
4.2
iii
5.2
5.3
6.2
6.3
7.2
iv
8.2
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 5.1 Perkembangan Populasi Nelayan Perikanan Tangkap, 2003-2012
(orang) ......................................................................................... 5-2
Tabel 5.2 Luas lahan perikanan budidaya menurut jenis budidaya, 2008-2012
(Ha) .............................................................................................. 5-8
Tabel 5.3 Produksi ikan berdasarkan komoditas di Indonesia tahun 2009-2012 .. 5-9
Tabel 5.4 Jumlah pembudidaya ikan berdasarkan jenis budidaya
(Satuan: Orang) ........................................................................... 5-10
Tabel 5.5 Skala usaha perikanan budidaya berdasarkan kategori besarnya
usaha ........................................................................................... 5-10
Tabel 5.6 Kebutuhan pakan menurut komoditas utama (ton) ........................... 5-11
Tabel 5.7 Data umum Laboratrium lingkup UPT, Ditjen Perikanan Budidaya ....... 5-12
Tabel 5.8 Perkembangan Jumlah Produksi Perikanan Tangkap di Provinsi
Sumatera Barat Periode Tahun 2008-2012 (unit: ton) ....................... 5-16
Tabel 5.9 Perkembangan Nilai Produksi Perikanan Tangkap di Provinsi Sumatera
Barat Periode Tahun 2008-2012 (unit: dalam ribuan Rupiah) ............. 5-17
Tabel 5.10 Perkembangan Populasi Nelayan Perikanan Tangkap di Provinsi
Sumatera Barat periode tahun 2008 - 2012 (unit: orang) ................ 5-18
Tabel 5.11 Perkembangan Jumlah Kapal Penangkap Ikan di Provinsi Sumatera
Barat periode tahun 2008 - 2012 (unit: kapal) ................................ 5-18
Tabel 5.12 Perkembangan Jumlah Alat Penangkapan Ikan di Provinsi Sumatera
Barat periode tahun 2008 - 2012 (unit: alat) ................................. 5-18
Tabel 5.13 Perkembangan Jumlah Produksi Perikanan Tangkap di Provinsi
Kalimanatan Barat Periode Tahun 2008-2012 (unit: ton) ................. 5-21
Tabel 5.14 Perkembangan Nilai Produksi Perikanan Tangkap di Provinsi Kalimanatan
Barat Periode Tahun 2008-2012 (unit: dalam ribuan Rupiah) ........... 5-22
Tabel 5.15 Perkembangan Populasi Nelayan Perikanan Tangkap di Provinsi
Kalimanatan Barat periode tahun 2008 - 2012 (unit: orang) ............ 5-22
Tabel 5.16 Perkembangan Jumlah Kapal Penangkap Ikan di Provinsi Kalimanatan
Barat periode tahun 2008 - 2012 (unit: kapal) ................................ 5-22
Tabel 5.17 Perkembangan Jumlah Alat Penangkapan Ikan di Provinsi Kalimanatan
Barat periode tahun 2008 - 2012 (unit: alat) ................................. 5-23
Tabel 5.18 Perkembangan Jumlah Produksi Perikanan Tangkap di Provinsi
Jawa Tengah Periode Tahun 2008-2012 (unit: ton) ......................... 5-25
Tabel 5.19 Perkembangan Nilai Produksi Perikanan Tangkap di Provinsi Jawa
Tengah Periode Tahun 2008-2012 (unit: dalam ribuan Rupiah) ........ 5-26
vi
vii
viii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 Diagram Kerangka Pemikiran Kajian Strategi Pengelolaan
Perikanan Berkelanjutan ........................................................... 2-11
Gambar 3.1 Diagram Tulang Ikan................................................................ 3-4
Gambar 3.2 Gap Analysis Kondisi Riil dengan Kondisi Ideal ............................ 3-5
Gambar 4.1 Keterkaitan Ekosistem dalam Pengelolaan Sistem Perikanan ........ 4-2
Gambar 4.2 Peta Tata Cara Pengelolaan Perikanan Otoritas Australia ............. 4-4
Gambar 4.3 Pengelolaan Perikanan Udang di Utara Wilayah Australia............. 4-5
Gambar 4.4 Pengelolaan Udang Berkelanjutan ............................................. 4-6
Gambar 4.5 Cara Kerja Sistem Kuota di United Kingdom ............................... 4-7
Gambar 5.1 Perkembangan Jumlah Kapal Ikan Nasional Periode Tahun
2003-2012 ............................................................................. 5-2
Gambar 5.2 Perkembangan Jumlah Produksi Perikanan Tangkap Nasional
Periode Tahun 2003-2012 ........................................................ 5-4
Gambar 5.3 Perkembangan Nilai Produksi Perikanan Tangkap Nasional
Periode Tahun 2003-2012......................................................... 5-5
Gambar 5.4 Nilai produksi perikanan budidaya berdasarkan komoditi
(x Rp.1000,-) .......................................................................... 5-12
Gambar 5.5 Perkembangan Produktivitas Nelayan Sumatera Barat Periode
2008-2012 ............................................................................. 5-19
Gambar 5.6 Perkembangan Produktivitas Kapal Ikan di Sumatera Barat
Periode 2008-2012 .................................................................. 5-20
Gambar 5.7 Perkembangan Produktivitas Nelayan Kalimantan Barat Periode
2008-2012 ............................................................................. 5-24
Gambar 5.8 Perkembangan Produktivitas Kapal Ikan di Kalimantan Barat
Periode 2008-2012 .................................................................. 5-24
Gambar 5.9 Perkembangan Produktivitas Nelayan Jawa Tengah Periode
2008-2012 ............................................................................. 5-28
Gambar 5.10 Perkembangan Produktivitas Kapal Ikan di Jawa Tengah
Periode 2008-2012 ................................................................ 5-29
Gambar 5.11 Perkembangan Produktivitas Nelayan Sulawesi Tenggara Periode
2008-2012 ........................................................................... 5-32
Gambar 5.12 Perkembangan Produktivitas Kapal Ikan di Sulawesi Tenggara
Periode 2008-2012 ................................................................ 5-33
Gambar 6.1
ix
Gambar 6.2
Bab 1
PENDAHULUAN
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor KEP.45/MEN/2011 tentang
Estimasi Potensi Sumber Daya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia
Bab 1 Pendahuluan
Page 1-1
Potensi perikanan yang sangat besar tersebut dapat memberikan manfaat yang
maksimal secara berkelanjutan bagi negara dan masyarakat Indonesia, bila dikelola
dengan baik dan bertanggungjawab. Hal tersebut juga telah diamanatkan dalam
Undang-Undang Republik Indonesia (UU RI) Nomor 45 tahun 2009 pasal 6 ayat 1 yang
menegaskan bahwa pengelolaan perikanan ditujukan untuk tercapainya manfaat yang
optimal dan berkelanjutan, serta terjaminnya kelestarian sumber daya ikan. Namun
sayangnya, hingga kini sebagian besar aktivitas perikanan nasional faktanya belum
memperlihatkan kinerja yang optimal, berkelanjutan, dan menjamin kelestarian sumber
daya ikan seperti yang diamanatkan dalam UU RI No.45/1945 tersebut.
Sebagai
Bab 1 Pendahuluan
Page 1-2
jumlah kasus penolakan ekspor hasil perikanan per negara mitra; 7) bertambahnya
luas Kawasan Korservasi Perairan yang dikelola secara berkelanjutan; 8) bertambahnya
jumlah pulau-pulau kecil, termasuk pulau-pulau kecil terluar, yang dikelola; dan 9)
meningkatnya persentase wilayah perairan bebas illegal fishing dan kegiatan yang
merusak sumber daya kelautan dan perikanan. Padahal, dalam pembangunan
berkelanjutan, termasuk bidang perikanan, tidak hanya aspek ekonomi semata yang
perlu dikembangkan, namun juga aspek sosial dan ekologinya3, agar aktivitasnya
dapat berkelanjutan. Dari 9 IKU yang ditetapkan tersebut, terdapat 5 IKU (IKU 1, 2, 3,
5, dan 6) yang fokus pada aspek ekonomi, sedangkan untuk aspek sosial hanya 2 IKU
(IKU 4 dan 8), dan aspek ekologi juga 2 IKU (IKU 7 dan 9). Seharusnya dibuat IKU
yang berimbang atau lebih baik lagi bila menggunakan IKU yg dapat mencerminkan 3
aspek utama keberlanjutan, yakni ekonomi, sosial, dan ekologi. Sebagai salah satu
contohnya adalah seperti IKU meningkatnya produksi perikanan, yang hanya
mencerminkan aspek ekonomi semata, dapat diganti menjadi IKU maksimalnya
produktivitas perikanan sesuai daya dukung lingkungan, yang akan mencerminkan
aspek ekonomi melalui pencapaian usaha yang menguntungkan, aspek sosial melalui
penjaminan lokasi daerah usaha perikanan, dan aspek ekologi melalui pengaturan
jumlah input produksi yang sesuai daya dukung.
Upaya memanfaatkan sumber daya ikan secara optimal, berkelanjutan, dan
lestari merupakan tuntutan yang sangat mendesak bagi sebesarnya-besarnya
kemakmuran rakyat, terutama untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan dan
pembudidaya ikan, pemenuhan kebutuhan gizi masyarakat, memperluas lapangan
kerja dan kesempatan berusaha, serta peningkatan ekspor untuk menghasilkan devisa
negara.
misalnya penggunaan teknologi yang merusak atau tidak ramah lingkungan, akan
menyebabkan menurunnya sumber daya ikan bahkan juga bisa punah, sehingga
3
Munasinghe, M. 2002. Analysing the nexus of sustainable and climate change: An overview. France:
OECD. 53 p.
Bab 1 Pendahuluan
Page 1-3
akibatnya kegiatan ekonomi perikanan akan terhenti dan tentu akan berdampak pula
pada kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat yang terlibat kegiatan perikanan.
Kemudian, tanpa keberlanjutan ekonomi, misalnya rendahnya harga ikan yang tidak
sesuai dengan biaya operasional, maka akan menimbulkan eksploitasi besar-besaran
untuk dapat menutup biaya produksi yang dapat merusak kehidupan ekologi
perikanan.
Ide awal
perikanan berkelanjutan adalah dapat menangkap atau memanen sumber daya ikan
pada tingkat yang berkelanjutan, sehingga populasi dan produksi ikan tidak menurun
atau tersedia dari waktu ke waktu. Sumber daya ikan termasuk sumber daya yang
dapat diperbaharui, walaupun demikian bukan berarti sumber daya ikan dapat
dimanfaatkan tanpa batas. Apabila sumber daya ikan dimanfaatkan tanpa batas atau
tidak rasional serta melebihi batas maksimum daya dukung ekosistemnya, maka dapat
mengakibat kerusakan dan berkurangnya sumber daya ikan itu sendiri, bahkan bila
tidak segera diatasi juga dapat mengakibatkan kepunahan sumber daya ikan tersebut.
Menyadari pentingnya arti keberlanjutan tersebut, maka pada tahun 1995
badan dunia FAO merumuskan konsep pembangunan perikanan berkelanjutan dengan
menyusun dokumen Kode Etik Perikanan yang Bertanggung Jawab atau Code of
Bab 1 Pendahuluan
Page 1-4
dapat dicapai melalui pengelolaan perikanan yang tepat dan efektif, yang umumnya
ditandai dengan meningkatnya kualitas hidup dan kesejahteraan manusianya serta
juga terjaganya kelestarian sumber daya ikan dan kesehatan ekosistemnya.
Selanjutnya, Charles (2001) dalam paradigmanya tentang Sustainable Fisheries
System,5 mengemukakan bahwa pembangunan perikanan yang berkelanjutan harus
dapat mengakomodasi 4 aspek utama yang mencakup dari hulu hingga hilir, yakni:
1)
Keberlanjutan
ekologi
(ecological
sustainability):
memelihara
keberlanjutan
Keberlanjutan
keberlanjutan
sosio-ekonomi
kesejahteraan
(socioeconomic
para
pelaku
sustainability):
usaha
memperhatikan
perikanan
dengan
4)
ekologi,
keberlanjutan
sosio-ekonomi,
dan
keberlanjutan
masyarakat).
Secara umum, aktivitas perikanan di Indonesia belum menunjukkan kinerja
yang berkelanjutan.
[FAO] Food and Agriculture Organization. 1995. Code of Conduct For Responsible Fisheries. Rome:
FAO-United Nation. 41 p.
Charles, A.T. 2001. Sustainable Fishery System. Blackwell Science Ltd. Oxford. 370 p.
Bab 1 Pendahuluan
Page 1-5
ketidakteraturan dan tidak terkendalinya usaha perikanan nasional, yang pada akhirnya
akan menyebabkan aktivitas perikanan nasional menjadi tidak berkelanjutan.
Kemudian, permasalahan utama keberlanjutan lainnya yang lebih spesifik
dihadapi perikanan tangkap dan perikanan budidaya di Indonesia secara umum adalah
sebagai berikut :
1) Perikanan tangkap
a. Permasalahan illegal, unreported, and unregulated (IUU) fishing
Kegiatan IUU fishing tidak hanya dilakukan oleh oleh kapal-kapal ikan
berbendera asing saja, tetapi juga dilakukan oleh kapal-kapal ikan nasional.
Hal ini tercemin dengan masih rendahnya tingkat kepatuhan kapal-kapal ikan
nasional akan aturan main dalam pengelolaan sumber daya ikan, seperti tidak
patuhnya kapal-kapal ikan nasional dalam menggunakan VMS (vessel
monitoring system) dan pelaporan logbook hasil tangkapannya. Selain itu, juga
masih ada nelayan ataupun pengusaha perikanan tangkap yang menggunakan
jenis-jenis alat tangkap yang destructive (merusak) atau bahan-bahan yang
berbahaya dalam kegiatan operasi penangkapan ikannya.
Masih maraknya kegiatan IUU fishing di Indonesia ini, secara nyata telah
menimbulkan kerugian yang tidak sedikit, baik dari sisi ekonomi, sosial maupun
lingkungan, sehingga aktivitas ini dapat dinyatakan sebagai kendala utama bagi
Indonesia dalam mewujudkan perikanan tangkap yang berkelanjutan. Sebagai
gambaran, bahwa kerugian Indonesia akibat kegiatan illegal fishing saja
(penangkapan ikan yang ilegal atau tidak memiliki ijin lengkap) di Laut Arafura
mencapai 40 triliun rupiah per tahun.6
Kemudian, untuk kerugian dari aktivitas unreported fishing (penangkapan ikan
yang tidak dilaporkan), walaupun belum ada laporan perkiraan besaran nilai
kerugiannya, namun diperkirakan juga relatif besar akibat berdampak negatif
pada lingkungan, utamanya dalam hal
Diperkirakan masih cukup banyak hasil tangkapan yang tidak dilaporkan, salah
satu akibatnya adalah terjadi bias informasi tentang status sumber daya ikan di
suatu perairan, yang pada akhirnya akan mengakibatkan aktivitas penangkapan
ikan yang terlalu intensif atau berlebih, yang dalam jangka panjang tentu akan
http://www.kkp.go.id/stp/index.php/arsip/c/976/Analisis-Nilai-Kerugian-Akibat-Illegal-Fishing-di-LautArafura-Tahun-2001-2013/
Bab 1 Pendahuluan
Page 1-6
menurunkan sumber daya ikan itu sendiri, dikarenakan tidak ada kesempatan
ikan melakukan recovery stok populasinya.
Selanjutnya, untuk unregulated fishing (penangkapan ikan yang tidak diatur),
perkiraan besaran nilai kerugiannya juga relatif besar akibat berdampak negatif
pada lingkungan, walaupun belum ada laporan terkait hal tersebut. Salah satu
akibat penggunaan jenis alat-alat tangkap ikan yang tidak diatur adalah
tingginya hasil tangkapan by catch (hasil tangkapan sampingan yang tidak
dimanfaatkan) dan/atau juvenil (anak-anak ikan), karena alat-alat penangkapan
ikannya yang tidak/kurang selektif.
Masalah IUU fishing menjadi masalah utama dan rumit yang dihadapi subsektor perikanan tangkap hingga kini.
b. Permasalahan padat tangkap di perairan pantai
Permasalahan padat tangkap dalam sub-sektor perikanan tangkap hampir
terjadi di semua perairan pantai Indonesia, padahal Indonesia memiliki perairan
laut yang sangat luas.
penangkapan ikan nasional didominasi oleh ukuran kapal ikan 5 GT (gross ton)
kebawah, yakni sebesar 89%7 pada tahun 2012. Kapal penangkap ikan yang
berukuran 5 GT kebawah umumnya hanya mampu beroperasi di perairan
pantai atau di perairan teritorial (dibawah 12 mil).
Dengan demikian, sebagian besar armada penangkapan ikan di Indonesia
banyak terkonsentrasi di perairan pantai yang terbatas, baik luasan maupun
sumber daya ikannya. Apalagi, kapal ikan berukuran kecil ini, yang merupakan
kewenangan daerah kabupaten/kota belum diatur dan dikelola dengan baik dan
relatif masih bersifat open access, sehingga jumlah peningkatan armadanya
menjadi tidak terkendali, terutama di daerah-daerah perairan pantai yang dekat
dengan konsentrasi padat penduduk.
[KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2014. Laporan Statistik Perikanan Tangkap Tahun 2012.
Jakarta.
Bab 1 Pendahuluan
Page 1-7
pelaku illegal fishing semata, namun juga bagi pelaggar dari setiap aturan atau
kesepakatan terkait perikanan berkelanjutan yang telah dibuat.
Dalam melaksanakan pengawasan ini, Pemerintah juga harus menggandeng
masyarakat dan pelaku usaha perikanan untuk bersama-sama mengawasi
aktivitas perikanan yang berjalan dan kondisi lingkungan lautnya guna
mewujudkan aktivitas perikanan yang berkelanjutan.
2) Perikanan budidaya
a. Permasalahan pakan ikan
Pakan merupakan komponen tertinggi dalam struktur biaya operasi budidaya
baik ikan maupun udang, dimana biaya pakan (feed cost) dapat mencapai 4070% dari biaya operasi. Hal ini mengandung arti bahwa harga pakan sangat
berperan dalam menentukan tinggi atau rendahnya biaya produksi ikan.
Selanjutnya, biaya produksi ikan dari suatu negara akan menentukan daya
saing ikan negara tersebut di pasar eksport ataupun di pasar domestik.
Sebagai implikasinya, pengendalian harga pakan pada level yang relatif murah
atau paling sedikit setara dengan harga pakan sejenis di negara kompetitor
adalah suatu hal yang sangat positif bagi pengembangan perikanan budidaya
yang berkelanjutan.
Dilihat dari sisi produksi, bahan baku pakan ikan di Indonesia sebagian besar
masih impor, utamanya tepung ikan, tepung kedelai, dan tepung jagung, atau
kalaupun ada produk dalam negeri biasanya harganya lebih mahal dan
kualitasnya lebih rendah dari produk impor. Sementara itu, secara teknis,
sumber
protein
pakan
umumnya
berasal
dari
tepung
ikan.
Dalam
kenyataannya, harga tepung ikan di pasar dunia cenderung terus naik, karena
supply lebih sedikit dari pada demand.
Bab 1 Pendahuluan
Page 1-8
10%, sedangkan kadar air ikan atau udang kurang lebih 67%. Dengan
perkataan lain, budidaya ikan dengan efisiensi pakan 100% pun tetap
menghasilkan
limbah
yang
lebih
banyak
daripada
produknya
sendiri.
Akibatnya, bila hal ini tidak diperhitungkan dengan sistem rantai makanan dan
daya dukung lingkungan tentu akan menyebabkan pencemaran dan aktivitas
perikanan budidaya pada akhirnya menjadi tidak berkelanjutan.
Selain itu, jaminan lokasi perikanan budidaya didalam Tata Ruang menjadi
suatu fundamental yang sangat urgen, karena hal itu akan berarti kepastian
hukum dalam arti fisik dan fungsional bagi para pelaku usaha perikanan
budidaya. Kepastian hukum dalam arti fisik mengandung makna bahwa lokasi
budidaya tidak bisa diganggu gugat atau diusir oleh peruntukan lain selain dari
perikanan budidaya. Kepastian hukum dalam arti fungsional bermakna bahwa
lokasi yang
penghambat
dalam
mewujudkan
perikanan
budidaya
yang
berkelanjutan.
c. Permasalahan induk ikan dan udang yang SPF (Specific Pathogen Free)
Pada awalnya perikanan budidaya, tidak sulit mendapat indukan bermutu dan
tahan penyakit dari. Namun, dengan berjalannya waktu muncullah berbagai
penyakit viral yang menyebabkan indukan ikan dan udang rentan terhadap
penyakit. Hal ini terjadi karena Pemerintah Indonesia dalam hal ini kementerian
kelautan dan Perikanan tidak pernah serius dalam menghasilkan induk ikan dan
udang yang SPF (Specific Pathogen Free).
Sebagai gambaran pada perikanan budidaya udang, Pemerintah Amerika dan
beberapa negara Amerika Latin membuat riset jangka panjang untuk perbaikan
mutu genetik, sehingga diperoleh induk udang Vanamae SPF setelah 15 tahun
melakukan riset. Sementara, di Indonesia untuk riset induk udang windu SPF
tidak dilakukan dengan serius dan tuntas walaupun sudah dibahas sejak tahun
Bab 1 Pendahuluan
Page 1-9
90-an.
1.3.2 Sasaran
Sasaran dari penyusunan kajian ini adalah:
1.
Teridentifikasinya
aspek-aspek
terkait
pengelolaan
perikanan
secara
berkelanjutan
2.
Bab 1 Pendahuluan
Page 1-10
Keluaran
Keluaran atau output yang dihasilkan dari kajian ini adalah sebagai berikut :
1.
2.
3.
Bab 1 Pendahuluan
Page 1-11
Bab 2
LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN
pembangunan,
yang
kemudian
dirumuskan
kedalam
konsep
Dokumen tersebut
Munasinghe, M. 2002. Analysing the nexus of sustainable and climate change: An overview. France:
OECD. 53 p
8
[WCED] the World Commission on Environment and Development. 1987. Our Common Future
(Document A/42/427). New York
Page 2-1
mengimplementasikannya
berdasarkan
pertimbangan
keterkaitan
dan
kesaling-
berkelanjutan
ini
tentunya
mencakup
semua
sektor
Istilah perikanan
berkelanjutan (sustainable fisheries) mulai dijadikan agenda dunia pada tahun 1995
dengan merumuskan konsep pembangunan perikanan berkelanjutan oleh FAO dengan
menyusun dokumen Kode Etik Perikanan yang Bertanggung Jawab atau Code of
Conduct for Responsible Fisheries (CCRF). Selanjutnya, dilakukan perumusan definisi
terkait
dengan
perikanan
berkelanjutan,
baik
oleh
lembaga-lembaga
yang
Sementara, salah satu ahli perikanan dunia, yaitu Hilborn (2005) dari
10
Silalahi, D. 2003. Pembangunan Berkelanjutan Dalam Rangka Pengelolaan Sumber Daya Alam yang
Berbasis Pembangunan Sosial Dan Ekonomi. Makalah pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional
VIII di Bali. 25 hal.
Deere, Carolyn L. 1999. Eco-Labelling and Sustainable Fisheries. IUCN: Washington, D.C. and FAO:
Rome.
Page 2-2
limbah
melampaui
kapasitas
asimilasi
lingkungan
yang
dapat
COFI merupakan
Page 2-3
Compliance Agreement
Agreement
merupakan
kesepakatan
internasional
yang
United Nation Fish Stock Agreement yang telah disepakati dalam sidang the
FAO Committee on Fisheries (COFI) ke-21 tahun 1995
Kaidah Internasional ini pada intinya mengamanahkan negara pantai dan
negara penangkap ikan jarak jauh di laut lepas (high seas) wajib menerapkan
pendekatan
kehati-hatian,
mempelajari
akibat
dari
penangkapan
ikan,
dan
kapasitas
penangkapan
ikan
yang
berlebih,
memperhatikan
The Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) yang telah disepakati
dalam sidang the FAO Committee on Fisheries (COFI) ke-21 tahun 1995
Kode etik pengelolaan perikanan bertanggung jawab ini pada prinsipnya
mengamanahkan beberapa hal penting kepada negara pengguna sumberdaya
ikan, yakni: harus menjaga sumberdaya ikan dan lingkungannya, hak
menangkap ikan harus disertai dengan kewajiban menangkap ikan dengan cara
yang bertanggungjawab, negara harus mencegah terjadinya penangkapan yang
berlebih, kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan harus berdasarkan bukti ilmiah
terbaik yang tersedia, pelaksanaan pengeloaan sumberdaya ikan harus
menerapkan pendekatan kehati-hatian, pengembangan dan penerapan alat
penangkapan ikan yang selektif dan ramah lingkungan, perlu dilakukan
perlindungan
yang kritis,
negara menjamin
Page 2-4
The International Plan of Action (IPOA) for the Management of Fishing Capacity
(IPOA CAPACITY) yang telah disepakati dalam sidang COFI ke-23 tahun 1999.
IPOA CAPACITY adalah kaidah internasional sukarela yang berlaku untuk
semua negara yang terlibat dalam aktivitas perikanan tangkap dengan
mengamanahkan beberapa hal penting, yakni melakukan penilaian dan
pemantauan kapasitas penangkapan ikan nasionalnya dan merumuskannya
kedalam
National
Plan
of
Action
(NPOA).
Kode
Etik
Perikanan
yang
Bertanggungjawab menetapkan bahwa Negara harus mengambil langkahlangkah untuk mencegah atau menghilangkan kapasitas perikanan berlebih dan
harus menjamin bahwa tingkat usaha penangkapan ikannya sepadan dengan
potensi sumber daya ikan yang tersedia.
5.
The International Plan of Action (IPOA) for the Conservation and Management
of Sharks (IPOA SHARKS) yang telah disepakati dalam sidang COFI ke-23 tahun
1999.
Kaidah internasional ini tujuan utamanya adalah untuk perlindungan hiu
dan memberi mandat kepada negara-negara anggotanya agar membuat National
Plan of Action (NPOA) untuk pengelolaan hiu, karena FAO menilai hiu sebagai
spesies yang memiliki nilai penting dalam ekosistem yang menjadi penentu dan
indikator kesehatan dan keseimbangan ekosistem perairan laut, keberadaannya
mulai terancam menuju kepunahan.
6.
Page 2-5
bertentangan
dengan
konsep-konsep
CCRF,
seperti:
kegiatan
penangkapan ikan yang tidak dilengkapi dengan surat izin resmi, melanggar
batas kedaulatan suatu negara, tidak melaporkan atau memalsukan data hasil
tangkapannya, sea transhipment, melakukan praktek reflagging, dan lain
sebagainya. Kegiatan-kegiatan penangkapan ikan yang tidak bertanggung jawab
tersebut, kemudian dikenal dengan istilah kegiatan illegal, unreported and
unregulated fishing (IUU fishing). IUU fishing tentu sangat mengganggu upaya
pengelolaan perikanan, sehingga sangat merugikan niat baik bagi negara dalam
melaksanakan
pembangunan
perikanan
yang
bertanggungjawab.
Kaidah
and
to
Restore
Fisheries
Resources
and
Marine
Environments yang telah disepakati dalam sidang COFI ke-25 tahun 2003.
Untuk lebih mengefektifkan pengelolaan perikanan bertanggung jawab
(CCRF) secara holistik dan terintegrasi, maka dalam sidang COFI ke-25 tahun
2003 telah diadopsi implementasi pengelolaan perikanan dengan pendekatan
ekosistem (Ecosystem Approach to Fisheries Management atau EAFM) guna
mencapai terwujudnya perikanan yang bertanggung jawab dan juga sekaligus
untuk memulihkan sumber daya ikan serta lingkungan lautnya. Kebutuhan untuk
mengadopsi kaidah ini, karena mempertimbangkan isu-isu yang lebih luas yang
berdampak pada perikanan, seperti dampak dari polusi dan pembangunan
wilayah pesisir, serta mengingat kompleksnya ekosistem di laut dan adanya
dampak dari kegiatan penangkapan tidak hanya kepada target ikan tetapi juga
terhadap ekosistem. EAFM sebenarnya adalah kelanjutan dalam penyempurnaan
praktik manajemen perikanan yang bertanggung jawab (CCRF).
8.
The FAO Model Scheme on Port State Measures (PSM) to Combat Illegal,
Unreported and Unregulated
Page 2-6
berbasis Model Scheme dan International Plan of Action on IUU fishing. Kaidah
internasional ini merupakan intervensi yang dilakukan oleh negara-negara
pelabuhan untuk memerangi IUU fishing dengan menolak pemberian pelayanan
terhadap kapal perikanan yang terindikasi melakukan IUU fishing.
9.
Sementara kaidah internasional yang penting dan perlu menjadi landasan bagi
Pemerintah Indonesia dalam merumuskan strategi dan kebijakan pengelolaan
perikanan budidaya berkelanjutan, diantaranya adalah:
1.
dan
administrasi
memfasilitasi
pengembangan
Page 2-7
perikanan
dan
rencana,
seperti
yang
diperlukan,
untuk
aquatic
ecosystems.
Kode
Etik
ini
pada
prinsipnya
Page 2-8
harus
dilakukan
untuk
meminimalkan
efek
berbahaya
dari
mempromosikan
langkah-langkah
untuk
meminimalkan
merugikan genetik, penyakit dan efek lainnya lolos ikan budidaya pada saham
liar;
(b) Negara-negara harus bekerjasama dalam elaborasi, adopsi dan pelaksanaan
kode internasional praktek dan prosedur untuk perkenalan dan transfer
organisme akuatik;
(c) Negara harus, untuk meminimalkan risiko penularan penyakit dan efek
samping lainnya pada saham liar dan berbudaya, mendorong adopsi praktek
yang tepat dalam perbaikan genetik induk yang, pengenalan spesies nonpribumi, dan dalam produksi, penjualan dan pengangkutan telur, larva atau
goreng, induk atau bahan hidup lainnya. Negara harus memfasilitasi persiapan
dan pelaksanaan kode nasional sesuai praktek dan prosedur untuk efek ini;
(d) Negara harus mempromosikan penggunaan prosedur yang tepat untuk
pemilihan induk dan produksi telur, larva dan goring; (5) Negara harus, bila
sesuai, mempromosikan penelitian dan, jika memungkinkan, pengembangan
Page 2-9
teknik
kultur
untuk
spesies
yang
terancam
punah
untuk
melindungi,
Responsible aquaculture at the production level Kode Etik ini pada prinsipnya
mengamanahkan beberapa hal penting seperti:
(a) Negara-negara harus bekerjasama dalam elaborasi, adopsi dan pelaksanaan
kode internasional praktek dan prosedur untuk perkenalan dan transfer
organisme akuatik;
(b) Negara harus mendorong partisipasi aktif fishfarmers dan komunitas mereka
dalam pengembangan praktek manajemen budidaya yang bertanggung jawab.;
(c) Negara harus mempromosikan upaya yang meningkatkan pemilihan dan
penggunaan pakan yang tepat, aditif pakan dan pupuk, termasuk pupuk;
(d) Negara harus mempromosikan pertanian dan manajemen kesehatan ikan
praktek
yang
efektif
mendukung
langkah-langkah
higienis
dan
vaksin.
Penggunaan yang aman, efektif dan minimal therapeutants, hormon dan obatobatan, antibiotik dan bahan kimia pengendalian penyakit lainnya harus
dipastikan;
(f) Negara harus mengatur penggunaan input kimia dalam budidaya yang
berbahaya bagi kesehatan manusia dan lingkungan;
(g) Negara harus mensyaratkan bahwa pembuangan limbah seperti jeroan,
lumpur, mati atau ikan yang sakit, obat-obatan hewan kelebihan dan input kimia
berbahaya lainnya tidak merupakan bahaya terhadap kesehatan manusia dan
lingkungan;
(f) Negara harus menjamin keamanan pangan produk akuakultur dan
mempromosikan upaya-upaya yang menjaga kualitas produk dan meningkatkan
nilai mereka melalui perhatian khusus sebelum dan selama panen dan
pengolahan di lokasi dan dalam penyimpanan dan pengangkutan produk;
Selanjutnya, sidang COFI ke-25 tahun 2003 telah mengadopsi implementasi
pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem (Ecosystem Approach to
Page 2-10
Page 2-11
Bab 3
METODE KAJIAN
Page 3-1
ini dilakukan dengan menggunakan analisis diagram tulang ikan (fishbone analysis).
Tahap ketiga adalah melakukan analisis kesenjangan (gap analysis) antara kondisi saat
ini dengan kondisi ideal atau seharusnya pada aspek-aspek yang masih menjadi
penghambat atau masalah utama dalam pengelolaan perikanan berkelanjutan.
Selanjutnya pada tahap keempat dilakukan perumusan strategi dan kebijakan untuk
mengelola perikanan yang berkelanjutan. Setiap tahapan analisis dijelaskan sebagai
berikut :
1)
status
digunakan
untuk
melihat
kondisi
pengelolaan
perikanan
berkelanjutan. Poin-poin yang dilakukan meliputi: (1) kinerja, isu dan permasalahan
sektor ekonomi ; (2) kinerja, isu dan permasalahan sektor sosial ; (3) kinerja, isu dan
permasalahan sektor lingkungan dan (4) kinerja, isu dan permasalahan sektor
kelembagaan. Status ini akan menggambarkan kondisi pada masing-masing sektor
serta faktor-faktor yang mempengaruhi pengelolaan perikanan secara berkelanjutan.
Analisis kondisi / status dilakukan dengan mengumpulkan data primer dan data
sekunder. Pengumpulan data sekunder merupakan penelusuran laporan-laporan atau
dokumen-dokumen dan peraturan serta kebijakan yang terkait dengan pengelolaan
perikanan berkelanjutan. Sedangkan data primer dikumpulkan pada saat survei di
lapangan
untuk
menangkap
informasi
dan
persepsi
secara
akurat
dengan
menggunakan kuesioner yang telah disiapkan untuk para pemangku kepentingan yang
terkait dengan pengelolaan perikanan.
2)
2)
3)
Page 3-2
4)
5)
6)
dalam sebuah diagram tulang ikan, dimana sebab sama dengan faktor dan akibat
sama dengan karakteristk kualitas. Dalam bentuk umum, faktor harus ditulis lebih rinci
untuk membuat diagram menjadi bermanfaat (Ishikawa 1989).
Langkah-langkah
Langkah 3: Menulis penyebab kecil pada diagram tersebut di sekitar penyebab utama,
yang penyebab kecil tersebut mempunyai pengaruh terhadap penyebab
utama. Hubungkan penyebab kecil tersebut dengan sebuah garis panah
dari penyebab utama yang bersangkutan Mesin Mesin Manusia Metode
Metode Mesin Mesin Manusia Metode Metode
Digram tulang ikan akan memperlihatkan secara menyeluruh kondisi dan akar
permasalahan dari suatu kegiatan. Lebih jelasnya, diagram tulang ikan dapat dilihat
pada Gambar 3.1.
Page 3-3
Effect
Effect
Cause
Cause
Cause
Reasons
Effect
Cause
Cause
Reasons
Reasons
Effect
Cause
Reasons
Effect
Effect
3)
ditentukan dengan kondisi riil atau kondisi eksisting di lapangan. Hal ini dilakukan
untuk menemukan kesenjangan (gap analysis) dimana akan dihasilkan perdebatan
mengenai persepsi dan pembahasan perubahan yang dianggap menguntungkan.
Checkland dan Poulter (2006) menggambarkan empat cara untuk membandingkan
model dengan kondisi riil, yaitu dengan (1) diskusi formal, (2) pertanyaan formal, (3)
membuat skenario berdasarkan pengoperasian model dan (4) mencoba model pada
kondisi riil yang sama strukturnya dengan model konseptual.
Apabila model konseptual tidak menggambarkan dunia nyata, maka bisa
dilakukan dua hal yaitu: (1) apa yang tidak ditemukan pada realitas bisa menjadi
rekomendasi bagi perubahan dan (2) apa yang tidak ditemukan pada realitas dan
pembuat analisis merasa kurang puas karena tidak menjawab pertanyaan penelitian
maka bisa kembali ke tahap kedua untuk kembali pada proses pengumpulan data,
dilanjutkan dengan tahap-tahap berikutnya.
Page 3-4
Gap (Kesenjangan)
4)
strategi dan kebijakan yang akan dilakukan untuk melakukan pengelolaan perikanan
berkelanjutan yang lebih baik ke depannya. Selanjutnya dilakukan review bersama
antara tenaga ahli, tim TPRK Bappenas dan pihak-pihak terkait untuk memperbaiki
strategi dan kebijakan yang diajukan. Pengambilan langkah tindakan berikutnya
implementasi ataupun revisi kembali strategi dan kebijakan dikembalikan pada
lembaga/stakeholders yang dalam hal ini berperan untuk mengintervensi pengelolaan
perikanan berkelanjutan.
kegiatan survei dari kajian ini diantaranya adalah: Provinsi Sumatera Barat, Kalimantan
Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Tenggara.
Page 3-5
Bab 4
INTERNATIONAL PRACTICES
DALAM PENGELOLAAN PERIKANAN
SEBAGAI TINJAUAN PEMBELAJARAN
terkoneksi dengan baik satu sama lainnya dan berjalan sinergis, sehingga tidak
dapat dipungkiri pentingnya pengelolaan berbasis ekosistem untuk menjaga
keberlanjutan sistem perikanan tersebut (Gambar 4.1).
Bab 4
Page 4-1
Bab 4
Page 4-2
manajemen yang dilakukan adalah dengan menetapkan input terkontrol dan output
terkontrol.
Input terkontrol yang dilakukan oleh Jepang adalah :
1. Ijin penangkapan : tidak sembarang orang boleh menangkap ikan, hanya nelayan
yang telah memiliki ijin yang boleh melakukan penangkapan ikan
2. Registrasi kapal penangkap ikan : kapal yang digunakan untuk menangkap ikan
adalah kapal yang sudah teregistrasi dan memiliki ijin untuk menangkap ikan di
laut.
Sedangkan untuk output terkontrol, pemerintah Jepang menetapkan jumlah
tangkapan ikan yang diperbolehkan untuk nelayan. Jumlah tersebut dihitung
berdasarkan :
1.
Total Allowable Catch (TAC) : jumlah ikan yang diperbolehkan untuk ditangkap,
jumlahnya dihitung dan ditentukan oleh pemerintah
2.
Bab 4
Page 4-3
4.1.2 Australia
Pemerintah negara bagian memiliki tanggung jawab untuk mengelola perikanan
Australia dalam 3 mil laut dari garis pantai. Sama halnya dengan Jepang, Australia juga
menerapkan input control dan output control.
Di bawah Manajemen Perikanan Act 1991, The Australian Fisheries Management
Authority (AFMA) dapat mengalokasikan empat jenis izin:
Bab 4
Page 4-4
perairan
lokasi
penangkapan dari jenis ikan yang telah ditentukan sehingga armada dan alat tangkap
yang beroperasi juga terbatas sesuai dengan jenis ikan yang menjadi tujuan
tangkapan. Hal ini dilakukan untuk menghindari tumpang tindih antar para nelayan
serta mempermudah kontrol dari pemerintah.
Perikanan udang lebih dipusatkan di bagian utara Australia (Gambar 5.3).
Perikanan pelagis terutama tuna dan cakalang dipusatkan di bagian barat, selatan dan
timur Australia dengan penggunaan alat tangkap trawl. Sedangkan di bagian tenggara
dipusatkan untuk perikanan skala kecil yang menggunakan alat tangkap gillnet,
pancing dan perangkap dengan tujuan penangkapan kerang-kerangan, cumi-cumi dan
ikan pelagis kecil.
Bab 4
Page 4-5
3.
Pada aspek ekonomi ditetapkan input terkontrol berupa jumlah, ukuran armada
penangkapan dan musim penangkapan yang diperbolehkan yang sesuai dengan
stok udang. Kegiatan penangkapan juga mempertimbangkan keefektifan dan
efisiensi
kegiatan
penangkapan
ikan
agar
terdapat
keuntungan
dalam
pelaksanaannya.
Bab 4
Page 4-6
perairan antar para pelaku usaha penangkapan ikan atau para nelayan, sehingga
mempermudah Pemerintah untuk mengawasi dan mengendalikannya, (2) Pelibatan
lembaga riset untuk mewujudkan pengelolaan perikanan berkelanjutan pada spesies
atau komoditas utama, mulai dari hulu hingga hilir.
Bab 4
Page 4-7
Berdasarkan Gambar 4.5 dapat diketahui cara kerja sistem kuota di Inggris.
Penentuan kuota dilakukan oleh Uni Eropa. Kemudian kuota tersebut dibagi
berdasarkan besarnya laut kepada negara-negara Eropa seperti New South Wales,
Irlandia Utara, Inggris dan Scotlandia. Dari kuota yang ditentukan Uni Eropa, Inggris
memperoleh kuota ikan pelagis 77,3%, ikan demersal 59% dan kerang-kerangan
47,5%. Pengaturan di Inngris dilakukan oleh Fish Producer Organisation (FPOs). FPOs
bertanggung jawab dalam mengelola kuota yang dialokasikan kepada mereka oleh
Pemerintah dan lebih dari 70% dari spesies kuota harus didaratkan oleh armada
Inggris. Anggota dari FPO yang memiliki armada berlebih dapat menjual kuotanya
pada nelayan yang lain.
Lesson learning dari praktek pengelolaan usaha perikanan tangkap di United
Kingdom, antara lain adalah adanya: (1) Sistem pengaturan input control yang
dikombinasikan dengan output control, yakni dengan cara kapal ikan harus berlisensi
dan diberi jatah kuota penangkapan yang diperbolehkan, (2) Sistem pengaturan
technical measures untuk kepentingan konservasi melalui regulasi yang mengatur
ukuran minimum ikan yang boleh dipasarkan, ukuran minimum mesh size (mata
jaring) yang digunakan, pembatasan area penangkapan, dan pembatasan beberapa
jenis alat tangkap yang diperbolehkan beroperasi di wilayah perairan tertentu.
Bab 4
Page 4-8
(2) output terutama kualitas produk primer serta produk turunannya sehingga dapat
memenuhi persyaratan standar Eropa dan Amerika Serikat untuk produk perikanan.
Pengaturan input terkontrol dilakukan dengan cara benih ikan harus berlisensi,
dan dalam aktivitas budidaya juga menggunakan output kontrol berupa sistem
budidaya perikanan yang ramah lingkungan serta memenuhi persyaratan Best
Aquaculture Practices. Selain itu, pada kontrol untuk end product, tindakan teknisnya
adalah zero waste product dimana semua bagian dari ikan patin dimanfaatkan (fillet,
kepala, kulit, jeroan ikan dan lain-lain semua dimanfaatkan dan tidak ada yang
terbuang menjadi limbah yang mencemari lingkungan.
Pada pengelolaan usaha budidaya patin di Vietnam terdapat tiga aspek yang
diperhatikan yaitu aspek sumberdaya, aspek lingkungan dan aspek ekonomi.
1. Pada aspek sumberdaya dilakukan pengkajian daya dukung lingkungan untuk
menetapkan besarnya biomassa ikan yang akan diproduksi. Kemudian dibuat
pemetaan untuk memudahkan pembudidaya untuk memprediksi lokasi usaha
budidaya. Selanjutnya kegiatan usaha budidaya diarahkan pada optimal economic
yield agar kegiatan budidaya berlangsung efektif, efisien dan memberikan
keuntungan yang optimal.
2. Pada aspek lingkungan/ekosistem yang pertama dilakukan adalah menjaga dan
melindungi agar limbah dari kegiatan budidaya tidak mencemari lingkungan
sekitarnya dengan penerapan Best Aquaculture Practices. Selanjutnya dilakukan
pengawasan terhadap kegiatan budidaya secara berkala dalam penerapan Best
Aquaculture Practices oleh lembaga yang ditunjuk Pemerintah Vietnam. Tujuan
dari aspek ini adalah agar usaha budidaya ikan patin di Vietnam dapat
berkelanjutan (sustainable).
3. Pada aspek ekonomi ditetapkan input terkontrol berupa persyaratan benih, pakan,
pupuk dan sarana produksi lainnya sesuai standar yang diperbolehkan yang sesuai
dengan teknologi budidaya yang diterapkan. Tujuan dari penetapan input
terkontrol tersebut adalah untuk menjamin keberhasilan usaha budidaya dengan
mempertimbangkan keefektifan dan efisiensi kegiatan budidaya ikan agar terdapat
keuntungan dalam pelaksanaannya.
Lesson learning dari praktek pengelolaan usaha budidaya patin di Vietnam
antara lain adalah: (1) produksi akuakultur menggunakan sistem intensif dapat
Bab 4
Page 4-9
output agar sesuai dengan standar Best Aquaculture Practices. Limbah budidaya dan
limbah end product diolah dan dimanfaatkan kembali sehingga meningkatkan efisiensi
usaha budidaya.
teknologi, sistem perbankan serta pasar, (3) ada dukungan kebijakan dari pemerintah
(supportive policies government) antara lain berupa peraturan tata ruang dan
peraturan perundangan yang jelas.
4.2.2 China
Negara China merupakan produsen akuakultur terbesar di dunia dengan total
produksi akuakultur di luar produksi rumput laut sebesar 41.108.306 ton pada tahun
2012, menyumbangkan 61,7% produk akuakultur dunia (FAO, 2014).
Salah satu
usaha budidaya ikan yang berkembang dengan baik dan berkelanjutan (sustainable) di
China adalah sistem budidaya perikanan mina padi (rice field-fish culture).
Sistem
budidaya mina padi di China sekarang merupakan salah satu sistem budidaya utama di
China.
keseimbangan
ekosistem
merupakan
pendekatan
penting
dalam
produk
Selain itu
pemerintah China juga menetapkan pola tanam mina disesuaikan dengan pola tanam
padi. Pada beberapa lokasi secara gradual sistem budidaya mina padi bertransformasi
menjadi sistem budidaya padi organik dan ikan organik. Label organik pada sistem
mina padi tersebut tidak hanya memberikan pendapatan tambahan bagi para pelaku
Bab 4
Page 4-10
Tujuan dari
Resiko kerusakan
Bab 4
Page 4-11
4.2.3 Norwegia
Negara Norwegia merupakan negara terkemuka di bidang budidaya laut
(mariculture) dengan komoditi utama ikan salmon dan ikan barramundi.
Total
produksi budidaya laut Norwegia pada tahun 2012 mencapai angka 1.319.033 ton
(FAO, 2014).
Salah satu usaha budidaya ikan yang berkembang dengan baik dan
aspek
ekonomi
pemerintah
Norwegia
menetapkan
kebijakan
yang
Bab 4
Page 4-12
Bab 4
Page 4-13
Bab 5
KINERJA SEKTOR PERIKANAN
5.1
produksi perikanan tangkap yang mencapai angka 5,71 juta ton atau sekitar 37,60
persen dari total produksi perikanan secara nasional yang mencapai angka 15,51 juta
ton pada tahun 2012.
penangkapan di laut sebesar 5,44 juta ton (93,25%) dan kegiatan penangkapan di
perairan umum sebesar 0,39 juta ton (6,75%).
perikanan tangkap tersebut mencapai angka Rp 79,4 trilyun pada tahun 2012.
Disadari juga walaupun terjadi peningkatan produksi hasil tangkapan, namun
pembangunan perikanan tangkap tetap masih banyak menghadapi kendala. Kendala
yang dimaksud, diantaranya adalah kondisi ketersediaan sumberdaya ikan yang
semakin terbatas, bahkan di beberapa wilayah perairan laut Indonesia telah
mengalami gejala tangkap lebih (overfishing). Kemudian, masih maraknya kegiatan
pencurian ikan oleh kapal perikanan asing dan bentuk pelanggaran lain yang tergolong
pada IUU-fishing.
bebas (high sea), masih sangat terbatas sebagai akibat terbatasnya kemampuan
armada perikanan yang dimiliki oleh nelayan Indonesia.
Secara umum perkembangan kondisi perikanan tangkap nasional dapat
digambarkan dari status perkembangan nelayannya, armada penangkapan ikannya,
dan alat tangkapnya. Informasi mengenai kecenderungan jumlah nelayan dalam
dekade terakhir (periode tahun 2003-2012) dapat dilihat pada Tabel 5.1. Gugus data
tersebut menggambarkan bahwa dalam 10 tahun terakhir terdapat kecenderungan
menurunnya jumlah nelayan perikanan tangkap di laut. Sementara, jumlah nelayan
tangkap di perairan umum relatif cenderung agak berfluktuasi.
Namun, secara
Page 5-1
Perikanan Laut
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
3 311 821
3 443 680
2.057.986
2.203.412
2.231.967
2.240.067
2.169.279
2.162.442
2.265.213
2.271.423
Perikanan
Perairan Umum
545 775
546 740
532.378
496.762
523.827
496.499
472.688
457.835
489.965
470.520
Total
3 857 596
3 990 420
2.590.364
2.700.174
2.755.794
2.736.566
2.641.967
2.620.277
2.755.178
2.741.943
Gambar 5.1 Perkembangan Jumlah Kapal Ikan Nasional Periode Tahun 2003-2012
Page 5-2
Grafik pada Gambar 5.1 tersebut menunjukkan bahwa dalam periode 2003-2012
secara keseluruhan populasi armada kapal ikan cenderung meningkat, dengan laju
rata-rata sebesar 1,69% . Dari ketiga jenis armada, populasi armada kapal motor dan
motor tempel secara konsisten meningkat dari waktu ke waktu, sedangkan populasi
armada perahu tanpa motor menunjukkan kecenderungan penurunan.
Hal ini
menunjukkan bahwa armada kapal motor dan motor tempel yang menggunakan
tenaga kerja relatif kurang intensif bila dibandingkan dengan penggunaan tenaga kerja
di armada perahu tanpa motor. Hal ini berati telah mulai terjadi modernisasi dalam
usaha perikanan tangkap dan cenderung menggunakan alat-alat bantu untuk
mengoperasikannya,
berkurang.
sehingga
kebutuhan
penggunaan
tenaga
kerja
semakin
pengembangan modernisasi armada kapal ikan tanpa kontrol tentu akan makin
memperburuk masalah overfishing di perairan-perairan laut yang telah mengalami
degradasi stok ikan. Selanjutnya, hal ini akan menimbulkan dampak semakin
memburuknya usaha perikanan tangkap nasional, yang pada akhirnya akan
menciptakan kemiskinan pada masyarakat perikanan Indonesia.
Produksi perikanan tangkap berasal dari penangkapan di laut dan penangkapan
di perairan umum. Selama dekade terakhir (periode tahun 2003-2012), volume
produksi perikanan tangkap meningkat rata-rata sebesar 3,35 % per tahun, yaitu dari
4.478.365 ton pada tahun 2003 menjadi 5.829.194 ton pada tahun 2012 (Gambar
5.2). Volume produksi perikanan tangkap di laut pada periode tersebut meningkat
rata-rata sebesar 2,67% per tahun, yaitu dari 4.383.103 ton pada tahun 2003 menjadi
5.435.633 ton pada tahun 2012. Sementara volume produksi perikanan tangkap di
perairan umum mengalami peningkatan rata-rata sebesar 34,79% per tahun yaitu
pada tahun 2003 sebanyak 95.262 ton menjadi 393.561 ton pada tahun 2012 (Statistik
Perikanan Tangkap Indonesia Tahun 2012, 2014).
Kemudian, walaupun dalam kurun waktu tersebut, tingkat produksi perikanan
laut tangkap cenderung naik dari tahun ke tahun, namun, perlu juga diperhatikan
bahwa tingkat pemanfaatan sumber daya ikan di Indonesia cenedrung tidak menyebar
Page 5-3
merata atau berimbang. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa pada umumnya
penangkapan ikan nasional terkonsentrasi di wilayah perairan pantai, utamanya pantai
di daerah-daerah yang padat penduduk, seperti Pantai Utara Jawa dan Pantai Timur
Sumatera. Dari generasi ke generasi, sebagian besar nelayan-nelayan yang ada di
negeri ini menangkap ikan di kedua daerah pantai ini tanpa terkontrol. Sebagai
akibatnya, di kedua perairan tersebut kini sedang mengalami fenomena overfishing.
fenomena
overfishing
tidak
hanya
mengancam
kelestarian
Page 5-4
Page 5-5
aspek utamanya, yaitu: aspek ekonomi, aspek ekologi/lingkungan, dan aspek sosial.
Penjabaran penilaian kinerja perikanan tangkap nasional dari setiap aspek utama
tersebut secara ringkas adalah sebagai berikut:
1)
Aspek Ekonomi
Kegiatan perikanan tangkap masih memegang peranan yang sangat strategis
dan dominan dalam pembangunan perikanan di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari
kontribusi produksi perikanan tangkap yang mencapai angka 5,71 juta ton atau sekitar
37,60% dari total produksi perikanan secara nasional yang mencapai angka 15,51 juta
ton pada tahun 2012.
penangkapan di laut sebesar 5,44 juta ton (93,25%) dan kegiatan penangkapan di
perairan umum sebesar 0,39 juta ton (6,75%).
perikanan tangkap tersebut mencapai angka Rp 79,4 triliun pada tahun 2012.
Disadari juga walaupun terjadi peningkatan produksi hasil tangkapan, namun
pembangunan perikanan tangkap tetap masih banyak menghadapi permasalahan
terkait dengan keberlanjutan, diantaranya adalah kondisi sumber daya ikan yang
semakin menurun yang ditunjukkan dengan nilai produktivitas yang mulai cenderung
menurun dalam dua tahun terakhir, yakni dari 9,19 ton/tahun/kapal pada tahun 2011
menjadi 8,81 ton/tahun/kapal pada tahun 2012, dan bahkan di beberapa wilayah
perairan laut Indonesia telah mengalami gejala tangkap lebih (overfishing) yang
ditandai dengan semakin kecilnya ukuran ikan yang dominan tertangkap. Selain itu,
kegiatan pencurian ikan oleh kapal ikan asing dan bentuk pelanggaran lain yang
tergolong pada IUU-fishing juga masih marak.
Kemudian, walaupun jumlah nelayan dalam dekade terakhir (periode tahun
2003-2012) secara umum cenderung menurun dengan laju rata-rata sekitar - 3,21%,
namun, pendapatan nelayan rata-rata secara nasional juga belum mencerminkan
pendapatan yang layak. Pada tahun 2012, dengan asumsi 60% nilai produksi yang
dihasilkan adalah untuk biaya produksi dan 40% merupakan pendapatan nelayan,
maka rata-rata nilai pendapatan nelayan adalah sebesar Rp 12.679.276 per nelayan
per tahun atau Rp 1.056.606 per nelayan per tahun. Bila pendapatan rataan nelayan
tersebut dibandingkanrataan upah minimum regional (UMR) nasional tahun 2012,
yakni sebesar Rp 1.370.376, maka jelas pendapatan rataan nelayan Indonesia masih
berada dibawah UMR.
Page 5-6
2)
Aspek Ekologi
Komisi nasional pengkajian stok ikan telah menetapkan bahwa secara nasional
potensi penangkapan ikan laut yang lestari (maximum sustainable yield, MSY) di
perairan laut Indonesia diperkirakan sebesar 6,4 juta ton per tahun (Keputusan Menteri
Kelautan dan Perikanan No.KEP.45/MEN/2012 tentang Estimasi potensi sumber daya
ikan di wilayah pengelolaanperikanan negara republik indonesia). Kemudian, dengan
pendekatan ke hati-hatian, ditetapkan pula jumlah tangkapan yang diperbolehkan
(JTB) sebesar 5,12 juta ton per tahun. Tingkat pemanfaatan sumber daya ikan per
tahun yang melebihi angka JTB, apalagi MSY, tentu akan mengancam kelestarian
sumber daya ikan yang ada. Oleh karena itu, tingkat pemanfaatan sumber daya ikan
yang melebihi angka 5,12 juta ton per tahun merupakan indikasi bahwa pengelolaan
perikanan menuju ketidak-berlanjutan. Sebab, tindakan seperti itu justru akan
menghancurkan potensi sumber daya ikan laut itu sendiri di masa depan, sehingga
generasi mendatang tidak dapat memanfaatkannya untuk mendukung kehidupan
mereka.
Berdasarkan data statistik perikanan tangkap, ditunjukkan bahwa pada tahun
2011 total produksi perikanan tangkap di perairan laut nasional sebesar 5,34 juta ton,
sehingga dapat dinyatakan bahwa tingkat produksi tersebut sudah sekitar 0,23 juta ton
diatas nilai JTB. Demikian pula, pada tahun 2012 juga sudah melebihi nilai JTB sebesar
0,32 juta ton. Hal ini tentu sudah menjadi warning bagi Kementerian Kelautan dan
Perikanan dalam mengelola perikanan tangkap nasionalnya, karena sudah melewati
nilai batas JTB yang merupakan nilai pendekatan ke hati-hatian dalam pengelolaan
sumberdaya
ikan
nasional.
Berdasarkan
fakta
ini
dapat
dinyatakan
bahwa
pembangunan perikanan nasional ditinjau dari aspek ekologi juga belum berkelanjutan.
Beberapa wilayah perairan laut Indonesia telah mengalami gejala tangkap lebih
(overfishing). Selain itu dari para pelaku usaha diketahui bahwa ukuran ikan yang
tertangkap semakin kecil. Hal ini menjadi indikasi bahwa kegiatan pengelolaan
perikanan tangkap di Indonesia belum berkelanjutan sehingga membutuhkan strategi
dan kebijakan yang lebih baik untuk mengatasinya.
3)
Aspek Sosial
Telah diketahui bahwa pada umumnya penangkapan ikan nasional terkonsentrasi
Page 5-7
kasar dengan struktur kapal penangkap ikan nasional didominasi oleh ukuran kapal 5
GT kebawah (89% pada tahun 2012). Dari generasi ke generasi, sebagian besar
nelayan-nelayan yang ada di negeri ini menangkap ikan terkonsentrasi hanya di
wilayah perairan pantai tanpa terkendali dengan baik. Sebagai akibatnya, di beberapa
perairan laut tersebut, utamanya yang pesisirnya padat penduduknya, kini sedang
mengalami fenomena overfishing.
Terjadinya
fenomena
overfishing
tidak
hanya
mengancam
kelestarian
sumberdaya ikan, tetapi juga menimbulkan konflik sosial secara horisontal antar
masyarakat nelayan itu sendiri. Timbulnya konflik sosial tersebut, kini cenderung
semakin nyata dan terbuka. Hal ini terjadi karena adanya persaingan yang semakin
ketat dengan sifat pemanfaatan sumberdaya ikan di laut yang masih common
property dan cenderung belum ada pembatasan penangkapan (open access), serta
implementasi era otonomi daerah yang salah tafsir. Berdasarkan kondisi tersebut dapat
dinyatakan secara umum bahwa pembangunan perikanan tangkap nasional ditinjau
dari aspek sosial juga belum menunjukkan keberlanjutan yang signifikan.
Konflik sosial antar nelayan juga terjadi akibat aspek kewilayahan/daerah
maupun aspek sarana usaha (ukuran kapal dan alat tangkap). Hal ini dapat terjadi
akibat kesenjangan antar nelayan. Sehingga perlu adanya regulasi pemerintah yang
baik untuk menyelesaikan konflik terutama yang berhubungan dengan kewilayahan.
2008
32 761
618 251
101 813
213
666
142 621
896 325
2009
2010
2011
2012
43 804
669 738
153 316
300
1 386
127 679
996.223
117 650
674 942
148 278
637
744
138 715
1.080.966
169 292
652 475
126 382
561
1 294
151 630
1.101.634
178 435
657 346
131 776
476
1 371
156 193
1.125.597
Page 5-8
tercatat sebesar 22,6%, sawah 7,5% sedangkan pemanfaatan perairan umum untuk
keramba maupun KJA baru 1,1%. Tingkat pemanfaatan lahan untuk budidaya perairan
payau mencapai 36%, sedangkan budidaya laut baru mencapai tingkat pemanfaatan
1,1%.
lahan baru atau dengan memanfaatkan lahan budidaya yang iddle. Pembuatan wadah
budidaya baru atau pemanfaatan lahan iddle untuk kegiatan budidaya harus dirancang
berdasarkan informasi yang dikumpulkan melalui studi kelayakan.
Produksi perikanan budidaya Indonesia pada tahun 2012sebesar 9,45 juta ton,
atau 61,92% dari produksi perikanan nasional yang diprediksi sebesar 15,26 Juta ton.
Komposisi produksi perikanan budidaya
tawar: 2,07 juta ton, budidaya air payau: 1,79 juta ton, dan budidaya laut (termasuk
rumput laut) sebesar 5,59 juta ton.
Tabel 5.3 Produksi ikan berdasarkan komoditas di Indonesia tahun 2009-2012
No.
KOMODITAS
TAHUN
Produksi (Ton)
2010
2011
4 708 565
6 277 923
7 928 962
9 451 700
Udang
338 060
380 972
400 385
478 036
Windu
124 561
125 519
126 157
149 959
Vanamei
170 969
206 578
246 420
295 054
Lainnya
42 530
48 875
27 808
33 023
Kerapu
8 791
10 398
10 580
12 618
Kakap
6 400
5 738
5 236
6 217
Bandeng
328 288
421 757
467 449
567 763
Patin
109 685
147 888
229 267
276 347
Nila
323 389
464 191
567 078
759 719
Ikan Mas
249 279
282 695
332 206
394 497
Lele
144 755
242 811
337 577
412 760
Gurame
46 254
56 889
64 252
80 775
10
Rumput L.
2 963 556
3 915 017
5 170 201
6 153 197
11
12
13
Kekerangan
Kepiting
Lainnya
15 857
7 516
166 734
58 079
9 557
281 932
48 449
8 153
288 129
57 534
9 682
242 555
TOTAL
1
2009
2012
Page 5-9
Selama periode 2008 sampai dengan 2012 jumlah pembudidaya secara total
mengalami kenaikan sebesar 38%. Persentase kenaikan terbesar jumlah pembudidaya
adalah sebesar 150% di jenis usaha budidaya laut. Jumlah pembudidaya ikan
berdasarkan jenis budidaya tahun 2008-2012 selengkapnya disajikan pada Tabel
berikut.
Tabel 5.4 Jumlah pembudidaya ikan berdasarkan jenis budidaya (Satuan: Orang)
Jenis
Jumlah Total
2008
2009
2010
2.759.471
2.493.193
3.162.247
3.343.934
282.607
278.613
498.001
642.210
470.828
1.362.649
1.332.782
Laut
Tambak
Kolam
Keramba
KJA
79.325
87.766
43.204
Sawah
%
38
517.340
553.325
586.495
674 555
1.536.082
1.623.700
1 865 662
37
119.719
198 470
150
79.310
81 836
89
417.370
467 225
34
62.692
283.246
2012
3 814 781
527 033
104.917
39.958
349.476
2011
407.230
86
50 - 100
m2
100 - 300
m2
300 - 500 m2
>500 m2
< 1 Ha
1 - 2 Ha
2 - 5 Ha
5 - 10 Ha
> 10 Ha
.0,1 - 0,3
0,3 - 0,5 Ha
Ha
50 - 100
100 - 300
Budiaya Keramba
< 50 m2
m2
m2
50 - 100
100 - 300
Budidaya Jaring Apung
< 50 m2
m2
m2
< 0,5
0,5 - 1
Budidaya Mina Padi
1 - 2 Ha
Ha
Ha
Sumber: Diolah dari Statistik Perikanan Budidaya Indonesia, 2013
Budidaya Kolam
< 0,1 Ha
0,5
1
Ha
>1 Ha
300 - 500 m2
>500 m2
300 - 500 m2
>500 m2
2 - 3 Ha
> 3 Ha
Page 5-10
Rincian
1.
Udang
2012
2013
2014
57.915
71.100
84.600
9,42
600.450
675.000
766.500
17,93
1.020.000
1.326.000
1.491.480
27,09
2.
Nila
3.
Patin
781.200
1.328.400
2.259.600
70
4.
Lele
544.500
737.000
990.000
35,1
5.
Mas
420.000
455.000
490.000
6,6
6.
Gurame
62.160
65.240
68.460
4,9
Kakap
13.000
15.000
17.000
13,12
8.
Kerapu
22.000
30.000
40.000
30,51
9..
Bandeng
120.816
144.960
168.000
19,18
10.
Lainnya
925.400
1.032.700
1.038.700
13,72
4.567.441
5.880.400
7.414.340
26,63
JUMLAH
Penyebaran BBI di Indonesia saat ini masih tidak merata dan terpusat di Jawa,
sedangkan potensi perikanan budidaya berada di luar Jawa. Untuk saluran irigasi,
hanya 160.000 ha (26%) dari tambak eksisting yang telah ditata saluran irigasinya,
selebihnya kondisinya masih memprihatinkan. Pengembangan infrastruktur pendukung
perikanan lainnya seperti pembangunan jalan produksi, saluran air, dan jalan
penghubung antara kawasan produksi dengan kawasan pengolahan-pemasaran
memerlukan penataan ulang, terutama terkait dengan rencana peningkatan produksi
perikanan budidaya yang cukup tinggi.
Page 5-11
Tabel 5.7 Data umum Laboratrium lingkup UPT, Ditjen Perikanan Budidaya
NO
LABORATORIUM TERAKREDITASI
NO
BBPBAT - SUKABUMI
BBPBAP - JEPARA
BBPBL - LAMPUNG
BPBAP - SITUBONDO
BPBAL AMBON
BBAT - MANDIANGIN
BLUPPB KARAWANG
BPBAL - BATAM
BPBAP - TAKALAR
LPPIL SERANG
BPBAT - JAMBI
Sumber: Direktorat Kesehatan Ikan dan Lingkungan, Ditjen Perikanan Budidaya, 2013
Komoditas utama perikanan budidaya terdiri dari udang, ikan kerapu, rumput
laut, ikan nila, ikan mas, ikan bandeng, ikan kakap, ikan patin, ikan lele, serta ikan
gurame. Sebanyak 7 komoditi mdngalami kenaikan nilai produksi dari tahun 20072012, sedangkan komoditi lainnya mengalami penurunan nilai produksi. Nilai produksi
total ikan berdasarkan komoditi budidaya tahun disajikan pada Gambar berikut.
Page 5-12
Aspek Ekonomi
Produksi perikanan budidaya Indonesia pada tahun 2012 sebesar 9,45 juta ton,
atau 61,92% dari produksi perikanan nasional sebesar 15,26 juta ton.
Komposisi
produksi perikanan budidaya menurut jenis usaha adalah budidaya air tawar: 2,07
juta ton, budidaya air payau: 1,79 juta ton, dan budidaya laut (termasuk rumput laut)
sebesar 5,59 juta ton. Produksi perikanan budidaya tertinggi pada tahun 2012 diraih
oleh Provinsi Sulawesi Selatan kemudian berturut-turut diikuti oleh Provinsi Jawa Timur
dan Provinsi Sulawesi Tengah.
Jakarta merupakan Provinsi dengan jumlah produksi perikanan budidaya paling sedikit.
Kenaikan nilai total produksi perikanan budidaya menurut jenis budidaya dari
tahun 2007 sampai dengan 2011 sebesar 138%. Kenaikan nilai produksi perikanan
budidaya menurut jenis budidaya yang terbesar dari tahun 2007 sampai dengan 2011
berturut-turut adalah budidaya kolam sebesar 303%, KJA (288%), keramba (237%),
budidaya laut (189%), mina padi (91%) serta budidaya tambak (65%).
keseluruhan,
nilai
produksi
perikanan
budidaya
pada
tahun
2007
Secara
sebesar
tahun 2007 sebesar 1.338.758 RTP dan pada tahun 2011 jumlahnya mencapai
1.575.787 RTP.
RTP Pembudidaya Sawah yaitu sebesar -6% selama kurun waktu 2007 sampai dengan
2011. Jumlah RTP pembudidaya tahun 2012 berdasarkan sebaran pulau didominasi
oleh Pulau Jawa sebesar 52%, diikuti berturut-turut oleh Sumatera (21%), Sulawesi
(13%), Kalimantan (7%), Bali-Nusa Tenggara (5%) serta Maluku-Papua sebesar 2%.
Sebaran jumlah RTP pembudidaya ikan berdasarkan pulau memperlihatkan bahwa RTP
pembudidaya ikan terbanyak adalah RTP Budidaya Kolam di Pulau Jawa, sedangkan
RTP Mina Padi di Maluku-Papua merupakan jumlah RTP terkecil.
Page 5-13
Masa panen
tersebut bergantung kepada jenis ikan yang dibudidayakan serta pola tanam yang
diaplikasikan. Pada tahun 2012, dengan asumsi nilai produksi yang dihasilkan oleh
pembudidaya ikan skala kecil sebagian besar adalah untuk biaya produksi, maka ratarata nilai pendapatan adalah sekitar Rp 14.500.000 per pembudidaya skala kecil per
tahun atau sekitar Rp 1.200.000 per pembudidaya skala kecil per tahun.
Bila
Aspek Ekologi
Peningkatan produksi budidaya dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu kondisi media
menjadi komponen biaya terbesar dalam suatu usaha budidaya ikan. Budidaya
perairan memperkaya lingkungan dengan buangan pakan termetabolisir dan yang
tidak termakan.
bermanfaat karena meningkatkan produksi ikan, apabila melebihi jumlah tersebut, zat
tersebut pada akhirnya menjadi pencemar.
Bahan-bahan yang memperkaya atau mencemari akibat budidaya terutama
fosfor dan nitrogen yang dikandung pakan. Jumlah fosfor dan nitrogen dalam pakan
tergantung kualitas pakan, biasanya masing-masing sebesar 12 dan 55 kg/ton pakan.
Ikan akan mengasimilasi sebagian zat hara tersebut (masing-masing sekitar 5 kg dan
14 kg, pada konversi pakan 2) dan sisanya masuk ke lingkungan sebagai buangan
metabolit dan pakan yang tidak dimakan.
mencemari lingkungan air tawar adalah fosfor, sedangkan untuk air laut adalah N.
Jumlah produksi yang dapat ditolerir oleh lingkungan tertentu dapat ditentukan
berdasarkan jumlah pakan yang diperlukan untuk menghasilkan ikan.
Page 5-14
Faktor lain yang harus dipertimbangkan dalam aspek lingkungan budidaya adalah
keberadaan Invasive Aquatic Species (IAS). IAS merupakan spesies yang diintroduksi
baik secara sengaja maupun tidak sengaja dari luar habitat alaminya. IAS mampu
hidup dan bereproduksi pada habitat barunya dan kemudian menjadi ancaman bagi
biodiversitas, ekosistem, perikanan, pertanian, sosial ekonomi maupun kesehatan
manusia pada tingkat ekosistem, individu maupun genetik.
ekosistem karena bersifat kompetitor, predator, patogen dan parasit. Selain itu, IAS
mampu merambah semua bagian ekosistem alami atau asli dan menyebabkan
punahnya spesies-spesies asli.
3)
Aspek Sosial
Pembudidaya ikan di Indonesia masih didominasi oleh pembudidaya skala kecil.
Usaha budidaya ikan skala kecil untuk usaha budidaya ikan laut adalah luas lahan <50
m2, budidaya tambak <1 Ha, kolam <0,1 Ha, budidaya keramba dan KJA<50 m2 serta
usaha Mina Padi sebesar 0,5 Ha per RTP Budidaya dengan penerapan teknologi
sederhana.
perubahan sistem budidaya dari sistem tradisional atau semi intensive membutuhkan
perubahan perilaku pembudidaya dan perubahan penguasaan teknologi budidaya.
Kebanyakan pembudidaya ikan skala kecil tidak mudah untuk menerima perubahan
tersebut sehingga kalau perubahan tersebut tidak dikelola dengan baik bisa
menimbulkan konflik sosial di masyarakat.
Teknologi yang digunakan oleh sebagian besar pembudidaya ikan terutama skala
kecil masih sederhana. Hal ini disebabkan kurangnya pengetahuan, modal, dan akses
terhadap teknologi. Kondisi ini menyebabkan usaha budidaya yang dilakukan kurang
optimal atau memiliki produktivitas yang rendah.
perubahan sistem budidaya usaha budidaya ikan, dimana komponen benih, pakan dan
obat-obatan merupakan komponen yang cukup besar proporsinya pada biaya
keseluruhan dan mempunyai laju peningkatan indeks harga yang terbesar dari
komponen lainnya maka pada saat sistem budidaya berubah menjadi sistem intensive,
dapat menimbulkan pengaruh berganda (double impact) pada kebutuhan biaya
produksi.
Page 5-15
periode yang sama meningkat rata-rata sebesar 1,37% per tahun, yaitu dari 187.043
ton pada tahun 2008 menjadi 197.460 ton pada tahun 2012.
Sementara, volume
Produksi
Ikan
Perairan
laut
Perairan
Umum
Total
Tahun
2008
Perkembangan
2009
2010
2011
2012
08-12
11-12
187.043
191.345
192.658
196.511
197.460
1,37
0,48
8.542
8.550
9.941
8.945
10.406
5,67
16,33
195.585
199.895
202.599
205.456
207.866
1,57
1,17
Fenomena
pertama adanya laju inflasi atau kemungkinan kedua adanya peningkatan nilai tambah
hasil tangkapan akibat adanya perbaikan penanganan atau pengolahannya. Namun,
bila melihat laju rataan inflasi nasional periode 2008 - 2012, yakni sebesar 5,78%
Page 5-16
(Badan Pusat Statistik, 2013) dan membandingkannya dengan selisih antara laju
rataan peningkatan nilai produksi dan laju rataan peningkatan produksi pada periode
yang sama, yakni sebesar 6,94%, maka dapat dinyatakan bahwa peningkatan nilai
hasil tangkapan atau harga ikan di Provinsi Sumatera Barat, hampir seluruhnya (97%)
disebabkan oleh faktor inflasi. Dengan demikian, belum ada perbaikan yang signifikan
dari para pelaku usaha perikanan tangkap di provinsi ini terkait dengan penanganan
dan pengolahan hasil tangkapan guna meningkatkan nilai tambahnya.
Tabel 5.9
Nilai Produksi
Ikan
Tahun
2008
Perairan laut
Perairan
Umum
Total
2009
Perkembangan
2010
2011
2012
08-12
11-12
6.846.731.169
6.574.789.624
5.716.546.890
8.635.725.220
8.869.801.889
9,19
2,71
156.951.624
120.510.473
166.661.796
187.931.950
238.943.490
13,75
27,14
7.003.682.793
6.695.300.097
5.883.208.686
8.823.657.170
9.108.745.379
7,51
3,23
Nelayan
Tahun
2008
2009
2010
Perkembangan
2011
2012
08-12
11-12
Perairan laut
33.022
36.453
31.236
32.132
38.387
4,60
19,47
Perairan
Umum
Total
11.701
10.287
12.636
11.015
14.374
7,10
30,49
44.723
46.740
43.872
43.147
52.761
4,49
22,28
Page 5-17
Tabel 5.11
Kapal Ikan
Tahun
2008
Perairan
laut
Perairan
Umum
Total
2009
2010
Perkembangan
2011
2012
08-12
11-12
9.099
10.113
8.729
8.698
9.878
2,67
13,57
2.551
2.617
3.522
2.685
2.395
0,65
-10,80
11.650
12.730
12.251
11.383
12.273
1,34
7,82
Tabel 5.12
Alat
Penangkap
Ikan
Perairan
laut
Perairan
Umum
Total
Tahun
2008
2009
2010
Perkembangan
2011
2012
08-12
11-12
9.277
10.462
15.854
13.083
13.436
12,38
2,70
29.125
27.109
21.777
11.700
12.989
-15,46
11,02
38.402
37.571
37.631
24.783
26.425
-7,80
6,63
Page 5-18
Page 5-19
Gambar 5.6 Perkembangan Produktivitas Kapal Ikan di Sumaetra Barat Periode 20082012
Selanjutnya, berdasar Gambar 5.5 dan Gambar 5.6, utamanya untuk perairan
laut Sumatera Barat, secara kasar mulai berpotensi cukup tinggi untuk timbulnya
konflik sosial secara horisontal antar masyarakat nelayan itu sendiri. Hal ini dapat
terjadi karena semakin tingginya persaingan usaha penangkapan ikan di perairan laut
Sumatera Barat yang diindikasikan dengan menurunnya nilai produktivitas nelayan dan
produktivitas kapal ikannya, terlebih lagi ditambah dengan sifat pemanfaatan sumber
daya ikan di provinsi ini yang masih bersifat common property dengan belum ada
pembatasan penangkapan yang tegas (open access). Berdasarkan kondisi tersebut
dapat dinyatakan secara kasar bahwa pembangunan perikanan tangkap di Sumatera
Barat ditinjau dari aspek sosial juga belum menunjukkan keberlanjutan yang signifikan.
Untuk, volume produksi perikanan tangkap di laut pada periode yang sama
meningkat rata-rata sebesar 7,69% per tahun, yaitu dari 75.998 ton pada tahun 2008
menjadi 101.991 ton pada tahun 2012.
perikanan tangkap di perairan umum malah mengalami peningkatan yang lebih tinggi
Page 5-20
dibandingkan dengan produksi perikanan lautnya, yakni rata-rata sebesar 9,04% per
tahun dari 7.655 ton pada tahun 2003 menjadi 10.761 ton pada tahun 2012.
Tabel 5.13 Perkembangan Jumlah Produksi Perikanan Tangkap di Provinsi Kalimantan
Barat Periode Tahun 2008-2012 (unit: ton)
Produksi
Ikan
Perairan
laut
Perairan
Umum
Total
Tahun
2008
2009
2010
Perkembangan
2011
2012
08-12
11-12
75.998
77.442
86.255
94.063
101.991
7,69
8,43
7.655
9.035
9.666
9.840
10.761
9,04
9,36
83.653
86.477
95.921
95.047
112.752
8,70
8,52
Fenomena
2012,
yakni
sebesar
5,78%
(Badan
Pusat
Statistik,
2013)
dan
membandingkannya dengan selisih antara laju rataan peningkatan nilai produksi dan
laju rataan peningkatan produksi pada periode yang sama, yakni sebesar 0,22%, maka
dapat dinyatakan secara umum bahwa peningkatan nilai hasil tangkapan atau harga
ikan di Provinsi Kalimantan Barat, karena faktor inflasi. Dengan demikian, belum ada
perbaikan yang signifikan dari para pelaku usaha perikanan tangkap di provinsi ini
terkait dengan penanganan dan pengolahan hasil tangkapan guna meningkatkan nilai
tambahnya.
Page 5-21
Tahun
2008
2009
903.951.016
801.529.874
114.167.220
130.866.425
932.396.299
1.018.118.236
2010
Perkembangan
2011
2012
08-12
11-12
1.021.552.856
989.277.002
1.159.467.996
7,54
17,20
162.443.610
172.582.431
221.810.590
18,38
28,52
1.183.996.466
1.161.859.433
1.381.278.586
8,92
18,89
Nelayan
Tahun
2008
Perairan
laut
Perairan
Umum
Total
2009
2010
di
Provinsi
Perkembangan
2011
2012
08-12
11-12
57.585
48.367
55.170
61.613
57.721
0,06
-6,32
12.199
13.616
11.512
1.318
11.946
-0,52
-9,36
69.784
61.983
66.682
62.931
69.667
-0,04
10,85
Tabel 5.16
Kapal
Ikan
Perairan
laut
Perairan
Umum
Total
2009
2010
Perkembangan
2011
2012
08-12
11-12
13.091
10.067
13.134
15.307
13.781
3,49
-9,97
6.624
7.090
6.162
6.515
5.223
-5,04
-19,83
19.715
17.157
19.296
21.822
19.004
-0,90
-12,91
Page 5-22
Tabel 5.17
Alat
Penangkap
Ikan
Perairan
laut
Perairan
Umum
Total
2009
2010
Perkembangan
2011
2012
08-12
11-12
30.225
21.494
23.248
23.293
24.862
-3,45
6,74
1.935
1.322
1.400
1.425
1.237
-9,30
-13,19
32.160
22.816
24.648
24.718
26.099
-4,71
5,59
Page 5-23
Page 5-24
Selanjutnya, berdasar Gambar 5.7 dan Gambar 5.8, perairan Kalimantan Barat,
secara kasar menunjukkan masih menguntungkan dan produktif, sehingga tidak
berpotensi menimbulkan konflik sosial secara horisontal antar masyarakat nelayan itu
sendiri. Namun bila hal ini tidak ditata dengan baik dan tegas, utamanya dalam hal
pembatasan penangkapan yang sesuai daya dukung, maka peluang terjadinya konflik
juga masih mungkin terjadi. Berdasarkan kondisi tersebut, dalam periode 2008-2012
dapat dinyatakan secara kasar bahwa pembangunan perikanan tangkap di Kalimantan
Barat ditinjau dari aspek sosial juga sudah menunjukkan keberlanjutan.
Tahun
2008
2009
Perkembangan
2010
2011
2012
08-12
11-12
174.831
195.636
212.635
251.536
256.093
10,17
1,81
17.341
17.661
18.484
19.083
19.466
2,94
2,01
192.172
213.297
231.119
270.619
275.559
10,85
1,83
perikanan
peningkatan
dengan
tangkap
laju
di
Provinsi
peningkatan
Jawa
rata-rata
menunjukkan
20,44%.
adanya
Fenomena
Page 5-25
peningkatan
nilai
tambah
hasil
tangkapan
akibat
adanya
perbaikan
penanganan atau pengolahannya. Namun, bila melihat laju rataan inflasi nasional
periode 2008 - 2012, yakni sebesar 5,78% (Badan Pusat Statistik, 2013) dan
membandingkannya dengan selisih antara laju rataan peningkatan nilai produksi dan
laju rataan peningkatan produksi pada periode yang sama, yakni sebesar 9,59%, maka
dapat dinyatakan bahwa peningkatan nilai hasil tangkapan atau harga ikan di Provinsi
Jawa Tengah, tidak semata karena faktor inflasi, tetapi juga karena adanya
peningkatan nilai tambah produk. Dengan demikian, telah ada upaya perbaikan yang
signifikan dari para pelaku usaha perikanan tangkap di provinsi ini terkait dengan
penanganan dan pengolahan hasil tangkapan guna meningkatkan nilai tambahnya.
Tabel 5.19 Perkembangan Nilai Produksi Perikanan Tangkap di Provinsi Jawa Tengah
Periode Tahun 2008-2012 (unit: dalam ribuan Rupiah)
Nilai
Produksi
Ikan
Perairan
laut
Perairan
Umum
Total
Tahun
2008
Perkembangan
2009
2010
2011
2012
08-12
11-12
911.327.900
1.105.069.335
1.204.141.385
1.486.980.716
1.679.674.512
16,67
12,96
128.475.008
160.720.657
174.221.923
187.229.089
210.167.363
13,30
12,25
1.039.802.908
1.265.789.992
1.378.363.308
1.674.209.805
1.889.841.875
20,44
12,88
Page 5-26
akibat menurun drastisnya jumlah alat penangkapan ikan yang beroperasi di perairan
umum (17,42% per tahun).
Tabel 5.20
Nelayan
Tahun
2008
Perairan
laut
Perairan
Umum
Total
2009
Perkembangan
2010
2011
2012
08-12
11-12
81.062
95.409
103.839
103.441
100.030
5,71
-3,30
2.907
29.372
40.250
41.520
39.708
9,22
-4,36
16,60
-3,60
83.969
124.781
144.089
144.961
139.738
Tabel 5.21
Kapal
Ikan
Perairan
laut
Perairan
Umum
Total
2009
2010
Perkembangan
2011
2012
08-12
11-12
18.067
21.061
23.562
23.565
21.188
4,59
-10,09
6.233
4.717
6.044
8.940
8.223
10,93
-8,02
24.300
25.778
29.606
32.505
29.411
5,26
-9,52
Tabel 5.22
Alat
Penangkap
Ikan
Perairan
laut
Perairan
Umum
Total
2009
2010
Perkembangan
2011
2012
08-12
11-12
22.724
23.062
23.410
23.870
26.219
3,70
9,84
122.707
45.891
37.216
44.835
40.954
-17,42
-8,66
145.431
68.953
60.626
68.705
67.173
-13,45
-2,23
Page 5-27
dengan laju peningkatan produksi perikanan tangkap (10,85% per tahun), sehingga
produktivitas nelayan Jawa Tengah secara rata-rata dapat dinyatakan menurun
sebesar -3,46% per tahun (Gambar 5.9).
penurunan
produktivitas,
secara
tidak
juga
berpengaruh
terhadap
Page 5-28
Gambar 5.10 Perkembangan Produktivitas Kapal Ikan di Jawa Tengah Periode 20082012
Selanjutnya, berdasar gambaran dinamika diatas, terlihat bahwa pertumbuhan
jumlah nelayan di Jawa Tengah sangat pesat, hal ini bila tidak ditangani atau
dikendalikan dengan baik tentu secara kasar akan berpotensi cukup tinggi untuk
menumbulkan konflik sosial secara horisontal antar masyarakat nelayan itu sendiri. Hal
ini dapat terjadi karena semakin tingginya persaingan usaha penangkapan ikan di
perairan laut Jawa Tengah yang diindikasikan dengan menurunnya nilai produktivitas
nelayan, terlebih lagi ditambah dengan sifat pemanfaatan sumber daya ikan di provinsi
ini yang juga masih bersifat common property dengan belum ada pembatasan
penangkapan yang tegas (open access). Berdasarkan kondisi tersebut dapat
dinyatakan secara kasar bahwa pembangunan perikanan tangkap di Jawa Tengah
ditinjau dari aspek sosial juga belum menunjukkan keberlanjutan yang signifikan.
tangkap di laut pada periode yang sama juga menurun dengan laju rata-rata sebesar 7,887% per tahun, yaitu dari 208.304 ton pada tahun 2008 menjadi 135.446 ton pada
Page 5-29
tahun 2012. Sementara, volume produksi perikanan tangkap di perairan umum justru
mengalami peningkatan yang cukup signifikan, yakni rata-rata sebesar 36,27% per
tahun dari 5.007 ton pada tahun 2003 menjadi 13.348 ton pada tahun 2012.
Tabel 5.23 Perkembangan Jumlah Produksi Perikanan Tangkap di Provinsi Sulawesi
Tenggara Periode Tahun 2008-2012 (unit: ton)
Produksi
Ikan
Tahun
2008
Perairan
laut
Perairan
Umum
Total
Perkembangan
2009
2010
2011
2012
08-12
11-12
208.304
217.515
221.412
227.356
135.446
-7,88
-40,43
5.007
5.784
5.826
5.838
13.348
36,27
128,64
213.311
223.299
227.238
233.194
148.794
-7,56
-36,19
nilai
produksi
ini
berkorelasi
secara
Fenomena kecenderungan
positif
dengan
fenomena
kecenderungan penurunan total produksinya pada periode yang sama. Namun, laju
penurunan
nilai
produksi
lebih
besar
dibandingkan
dengan
laju
penurunan
produksinya, yang berarti harga komoditas ikan di Sulawesi Tenggara dari tahun ke
tahun cenderung menurun.
pemasaran yang terbatas atau juga karena penanganan ikan belum baik, sehingga
mutu ikan menjadi kurang baik, akibatnya harga ikan juga menjadi turun. Bila melihat
fakta ini, maka kemungkinan di provinsi ini belum ada upaya yang signifikan untuk
melakukan peningkatan nilai tambah hasil tangkapannya, baik melalui perbaikan
penanganan maupun proses pengolahannya.
Tabel 5.24 Perkembangan Nilai Produksi Perikanan Tangkap di Provinsi Sulawesi
Tenggara Periode Tahun 2008-2012 (unit: dalam ribuan Rupiah)
Nilai
Produksi
Ikan
Perairan
laut
Perairan
Umum
Total
Tahun
2008
2009
2010
Perkembangan
2011
2012
08-12
11-12
2.284.864.860
2.386.351.593
2.237.531.174
2.229.524.286
1.383.473.917
-10,03
-37,95
36.473.957
40.308.180
41.707.045
41.736.134
139.024.190
61,79
233,10
2.321.338.817
2.426.659.773
2.279.238.219
2.271.260.420
1.522.498.107
-8,60
-32,97
Page 5-30
Nelayan
Tahun
2008
Perairan
laut
Perairan
Umum
Total
2009
2010
Perkembangan
2011
2012
08-12
11-12
90.204
71.709
77.232
76.045
79.421
-2,47
4,44
4.138
3.395
3.531
3.591
4.549
3,61
26,68
94.342
75.104
80.763
79.636
83.970
-2,75
5,44
Tabel 5.26
Kapal
Ikan
Perairan
laut
Perairan
Umum
Total
2009
2010
Perkembangan
2011
2012
08-12
11-12
30.225
21.494
23.248
23.293
24.862
-3,45
6,74
1.935
1.322
1.400
1.425
1.237
-9,30
-13,19
32.160
22.816
24.648
24.718
26.099
-4,71
5,59
Tabel 5.27
Alat
Penangkap
Ikan
Perairan
laut
Perairan
Umum
Total
2009
2010
Perkembangan
2011
2012
08-12
11-12
54.564
60.944
59.437
59.484
42.854
-4,66
-27,96
8.360
10.855
7.456
7.492
4.520
-10,16
-39,67
62.924
71.799
66.893
66.976
47.374
-6,18
-29,27
Page 5-31
Berdasarkan fakta ini, secara kasar perairan laut Sulawesi Tenggara mulai
mengindikasikan
mulai
terjadinya
gejala
overfishing,
sehingga
diperkirakan
Page 5-32
Page 5-33
2008
97.582
14.891
132.593
150.046
2009
97.147
15.205
144.650
217.800
2010
119.105
27.200
175.995
404.123
2011
125.607
29.972
242.865
647.836
2012
144.247
37.084
261.736
712.597
Luas lahan (m )
Jumlah pembudidaya (Orang)
Jumlah produksi (Ton)
2008
40.996
307
34
2009
145.000
588
60
2010
159.500
307
13
2011
34.300
330
79
2012
22.864
157
833
2008
8.091
5.172
5
2009
8.690
5.172
10
2010
4.547
4.607
12
2011
4.791
4.169
12
2012
4.665
7.749
26
Perkembangan budidaya ikan airt tawar di Sumatera Barat dari tahun 2008
sampai dengan 2012 berjalan dengan pesat terutama dilihat dari sisi produksi. Data
perkembangan budidaya kolam di Sumatera Barat dapat dilihat pada Tabel berikut.
Page 5-34
2008
9.041
72.775
38.404
2009
10.428
76.042
46.952
2010
10.464
82.937
57.653
2011
10.520
69.664
85.934
2012
12.226
70.651
116.226
2008
16.967
3.630
3.044
2009
39.937
7.048
3.200
2010
42.544
13.644
3.267
2011
38.314
2.454
2.371
2012
43.238
3.305
3.979
2008
307.532
2.918
48 164
2009
749.475
6.653
24 769
2010
749.475
10.028
35 849
2011
737.893
4.600
36 664
2012
757.752
4.374
52 929
Budidaya mina padi berkembang stagnan di di Sumatera Barat dari tahun 2008
sampai dengan 2012.
2008
2.577
4.385
7 894
2009
2.625
3.727
9 269
2010
2.205
4.385
5 823
2011
2.476
7.889
6 494
2012
3.048
8.985
7 367
Page 5-35
Luas lahan (m )
Jumlah pembudidaya (Orang)
Jumlah produksi (Ton)
2008
54.100
163
107
2009
77.000
506
82
2010
10.008
1.109
197
2011
4.344
1.200
20
2012
17.500
1.200
147
2008
7.312
4.602
8 200
2009
17.532
2.908
4 440
2010
18.839
2.213
12 889
2011
18.839
8.964
10 089
2012
18.839
8.994
19 805
Perkembangan budidaya ikan air tawar di Kalimantan Barat dari tahun 2008
sampai dengan 2012 berkembang relatif stagnan.
2008
2 539
14 923
2 461
2009
2 218
14 923
6 106
2010
5 231
19 511
4 509
2011
5 276
43 503
7 215
2012
6 128
45 598
8 013
2008
183.400
11 088
3 950
2009
161.712
11 088
4 303
2010
485.003
11 088
7 390
2011
484.372
25 089
1 721
2012
582.380
36 510
6 253
Page 5-36
2008
15 800
191
173
2009
39 000
274
273
2010
26 832
3 425
2 213
2011
27 173
6 972
10 928
2012
27 200
6 988
2 866
Budidaya mina padi belum berkembang di di Kalimantan Barat dari tahun 2008
sampai dengan 2012. Data perkembangan budidaya mina padi di Kalimantan Barat
dapat dilihat pada Tabel berikut.
Tabel 5.40 Perkembangan Budidaya Mina Padi di Kalimantan Barat
2008
Luas lahan (Ha)
Jumlah pembudidaya (Orang)
Jumlah produksi (Ton)
2009
-
2010
-
2011
2
2012
-
2008
3.087.000
138
2 249
2009
3.276.000
138
2 934
2010
550.000
930
4 809
2011
550.000
1 518
5 737
2012
550.000
1 518
6 604
Perkembangan budidaya tambak di Jawa Tengah dari tahun 2008 sampai dengan
2012 berjalan stagnan dilihat dari jumlah luas lahan budidaya, jumlah pembudidaya
Page 5-37
2008
38 535
73 287
73.393
2009
39 822
73 287
72.701
2010
38 815
73 287
83.878
2011
39 025
79 140
115.786
2012
41 712
82 788
110.526
Budidaya ikan air tawar berupa budidaya kolam di Jawa Tengah melibatkan
jumlah pembudidaya yang relatif besar.
Tengah dari tahun 2008 sampai dengan 2012 berkembang relatif stagnan dimana
pertumbuhan luas lahan, jumlah pembudidaya dan jumlah produksi berturut-turut
sebesar 2%, 1% serta 3%.
2008
2 437
378.120
44.191
2009
1 912
378.120
55.031
2010
3 520
378.120
66.964
2011
3 261
467.733
94.566
2012
4 668
477.561
112.088
Perkembangan budidaya ikan keramba di Jawa Tengah dari tahun 2008 sampai
dengan 2012 berjalan relatif stagnan. Pertambahan luas lahan, jumlah pembudidaya
dan jumlah produksi berturut-turut minus 0,9%, plus 1,7% serta plus 1,8%.
Data
perkembangan budidaya keramba di Jawa Tengah dapat dilihat pada Tabel berikut.
Tabel 5.44 Perkembangan budidaya keramba di Jawa Tengah
Luas lahan (m2)
Jumlah pembudidaya (Orang)
Jumlah produksi (Ton)
2008
319.000
1.302
617
2009
287.700
1.302
1.445
2010
750.200
2.172
2.557
2011
307.100
3.807
2.697
2012
293.300
2.151
1.108
Budidaya jaring apung berkembang dengan pesat di di Jawa Tengah mulai tahun
2008 tetapi cenderung melandai bahkan pada tahun 2012 jumlah produksi menurun
tajam.
apung di Jawa Tengah berturut-turut minus 0,7%, plus 2,4% serta plus 3,0%. Data
perkembangan budidaya jaring apung di Jawa Tengah dapat dilihat pada Tabel berikut.
Page 5-38
2008
860.000
1.181
9.864
2009
639.000
1.181
11.067
2010
667.100
1.537
15.990
2011
648.000
2.904
21.823
2012
639.800
2.811
29.346
Budidaya mina padi berkembang stagnan di Jawa Tengah dari tahun 2008
sampai dengan 2012.
produksi mina padi di Jawa Tengah berturut-turut minus 0,9%, plus 2,8% serta plus
0,9%. Data perkembangan budidaya mina padi di Jawa Tengah dapat dilihat pada
Tabel berikut.
Tabel 5.46 Perkembangan Budidaya Mina Padi di Jawa Tengah
Luas lahan (Ha)
Jumlah pembudidaya (Orang)
Jumlah produksi (Ton)
2008
5.640
14.710
2.279
2009
3.277
14.710
1.472
2010
5.619
15.652
1.798
2011
5.818
24.765
2.255
2012
5.254
40.821
2.064
baik.
Pertambahan
luas lahan,
jumlah
pembudidaya dan jumlah produksi budidaya laut di Sulawesi Tenggara di berturutturut sebesar 672%, 241% serta 413%. Data perkembangan budidaya laut di Sulawesi
Tenggara dapat dilihat pada Tabel berikut.
Tabel 5.47 Perkembangan Budidaya Laut di Sulawesi Tenggara
Luas lahan (m2)
Jumlah
pembudidaya
(Orang)
Jumlah produksi
(Ton)
2008
34.913.000
27.314
2009
48.380.333
12.594
2010
246.670.300
51.870
2011
267.480.000
83.166
2012
269.505.400
93.258
124.858
186.616
353.431
588.745
640.334
Page 5-39
turut sebesar 60%, 83% serta 168%. Data perkembangan budidaya tambak di
Sulawesi Tenggara dapat dilihat pada Tabel berikut.
Tabel 5.48 Perkembangan Budidaya Tambak di Sulawesi Tenggara
Luas lahan (ha)
Jumlah pembudidaya (Orang)
Jumlah produksi (Ton)
2008
12.260
15.663
24.703
2009
15.589
3.574
30.337
2010
22.226
18.561
46.962
2011
20.551
15.890
54.921
2012
19.628
28.689
66.183
Data perkembangan
budidaya kolam di Sulawesi Tenggara selengkapnya dapat dilihat pada Tabel berikut.
Tabel 5.49 Perkembangan Budidaya Kolam di Sulawesi Tenggara
Luas lahan (ha)
Jumlah pembudidaya (Orang)
Jumlah produksi (Ton)
2008
1.146
2.973
486
2009
1.086
1.936
848
2010
1.659
4.649
3.730
2011
1.317
1.524
4.169
2012
1.716
5.774
6.080
Page 5-40
Bab 6
ISU STRATEGIS DAN PERMASALAHANNYA
Sebagai
contoh untuk perikanan tangkap, banyak perairan laut di kawasan barat dan tengah
Indonesia sudah menunjukkan gejala padat tangkap (overfishing), seperti Selat
Malaka, perairan timur Sumatera, Laut Jawa, dan Selat Bali. Sementara, di perairan
laut kawasan timur Indonesia, tingkat pemanfaatan sumberdaya ikannya belum
optimal atau masih underfishing. Akibatnya, pada daerah-daerah penangkapan ikan
tertentu yang mengalami over-exploitation, nelayan-nelayannya umumnya menjadi
miskin, karena sulit mendapatkan ikan hasil tangkapan. Selain itu pula, sangat rawan
terjadinya konflik antar nelayan di perairan tersebut. Disisi lain, pada daerah-daerah
penangkapan ikan yang tingkat pemanfaatannya belum optimal atau underfishing,
sumber daya ikan yang bernilai tersebut terkesan dibuang begitu saja, bahkan di
beberapa perairan, yang memanfaatkannya adalah kapal-kapal perikanan illegal dari
negara lain.
kebutuhan nasional akan benih dan pakan seringkali tidak mencukupi, sehingga
aktivitas perikanan budidaya, sebagian masih tergantung dengan negara lain yang
tentunya akan mengancam keberlanjutan usaha para pembudidaya ikan nasional.
Kenyataan seperti tersebut di atas sebagai cerminan bahwa betapa belum kuatnya
pengelolaan perikanan nasional, sehingga pemerintah perlu segera menata dan
memperbaiki
kelemahan
yang
ada
sekarang
dengan
melakukan
penguatan
kebijakannya.
Page 6-1
Kondisi penegakan hukum untuk sektor perikanan di Indonesia juga relatif masih
lemah, baik secara kuantitas dan kualitas. Belum kuatnya penegakan hukum di bidang
perikanan ini, selain mengakibatkan kerugian negara, baik secara ekonomi dan
lingkungan, juga berdampak pada penegakan kedaulatan wilayah negara, sehingga
dapat mengakibatkan rakyat Indonesia menjadi tidak berdaulat di negaranya sendiri.
Contoh utama akibat belum tegaknya hukum di bidang perikanan tangkap adalah
maraknya kegiatan IUU fishing yang jelas-jelas menjadi kendala utama untuk
mewujudkan pembangunan perikanan berkelanjutan. Sementara dibidang perikanan
budidaya adalah masalah peraturan tata ruang yang sering kali dilanggar atau tidak
dipatuhi tanpa ada tindakan yang tegas dari pemerintah atau aparat penegak hukum.
Bahkan tidak sedikit aturan tata ruang diganti atau disesuaikan dengan kepentingan
pribadi atau kelompok penguasa
Isu strategis lainnya adalah pelaku usaha perikanan yang sebagian besar belum
memiliki pengetahuan yang cukup tentang usaha perikanan yang berkelanjutan dan
juga belum memiliki skala usaha yang layak (economy of scale).
Akibatnya, tidak
sedikit pelaku usaha perikanan, baik perikanan tangkap maupun perikanan budidaya,
yang melakukan praktik-praktik usaha perikanan yang tidak berkelanjutan, bahkan
beberapa masih ada yang menggunakan alat tangkap atau bahan-bahan yang
berbahaya bagi sumber daya ikan, lingkungan, dan manusianya.
Terlebih lagi
ditambah dengan skala usaha ekonomi mereka yang belum layak, sehingga para
pelaku usaha perikanan tersebut lebih cenderung untuk mengejar kuantitas produksi
semata, tanpa memperhatikan daya dukung ekosistemnya.
Diagram tersebut
dianalisis berdasarkan hasil desk study, diskusi intensif dengan para pemangku
kepentingan terkait (seperti: Kepala Pelabuhan Perikanan, Kepala Dinas Perikanan dan
Kelautan, dan Kepala PSDKP di lokasi survei) dengan panduan kuisioner dan
kunjungan lapangan.
diagram tulang ikan atau fish-bone diagram tentang akar permasalahan yang
menghambat terwujudnya perikanan tangkap yang berkelanjutan.
Page 6-2
utama
yang
menghambat
pembangunan
perikanan
tangkap
Isu
Permasalahannya
Dampak Potensial
ASPEK EKONOMI
1.
2.
Kurang berkembangnya
pasar domestik untuk
Page 6-3
No
Isu
produk perikanan
tangkap dan
pengamanan kualitas
ikan
Permasalahannya
efisien
- Daya beli sebagian besar
masyarakat Indonesia masih
lemah
- Tingkat pemahaman untuk
pengamanan kualitas ikan
pada nelayan/pembudi daya
ikan masih kurang
3.
Akses untuk
permodalan bagi
pengembangan usaha
perikanan tangkap
terbatas
Dampak Potensial
pengimpor
- Kualitas masyarakat
Indonesia akan menurun,
akibat rendahnya tingkat
konsumsi ikan per kapita
- Akan terjadi penggunaan
bahan-bahan yang berbahaya
untuk mengawetkan /
mengolah ikan
- Usaha perikanan yang ada
tidak akan berkembang
- Akan terjadi tingkat
pemanfaatan sumber daya
ikan yang tidak berimbang
dan optimal
ASPEK SOSIAL
4.
Kualitas nelayan
sebagian besar masih
relatif rendah
ASPEK LINGKUNGAN
5.
Kegiatan Illegal,
Unregulated and
Unreported (IUU)
Fishing
Padat tangkap
(Overfishing) di
perairan pantai
Page 6-4
No
Isu
Permasalahannya
Dampak Potensial
Lemahnya kapasitas
kelembagaan pengawas
dan penegakan hukum
- Kemampuan kapasitas
kelembagaan pengawas
perikanan masih terbatas
- Kapasitas kelembagaan
penegakan hukum belum
kuat, tegas, dan independent
8.
Sistem pendataan
perikanan tangkap yang
belum andal dan masih
parsial
- Mekanisme pengumpulan
data perikanan tangkap masif
bersifat pasif.
- Belum adanya sistem
pengelolaan data perikanan
tangkap yang terintegrasi
- Terbatasnya SDM pengelola
data perikanan tangkap
- Terbatasnya sarana dan
prasarana untuk pengelolaan
data perikanan tangkap
Terdapat delapan isu beserta permasalahan dan dampak potensial yang terjadi
dalam kegiatan pengelolaan perikanan tangkap yang berkelanjutan di Indonesia.
Delapan isu tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut :
1. Daya saing produk yang masih rendah
Produk-produk perikanan mengalami kalah saing jika dibandingkan dengan
produk pangan lain, seperti daging sapi dan ayam. Permasalahan yang terjadi
adalah usaha perikanan yang belum efisien maupun kontinuitas produksi yang
tidak stabil. Penyebabnya antara lain adalah kurangnya sarana prasarana maupun
pengetahuan untuk meningkatkan atau memberikan nilai tambah pada produk
perikanan.
Dampak dari rendahnya daya saing produk perikanan tangkap adalah
berkurangnya
lapangan
pekerjaan,
yang
diiringi
menurunnya
pendapatan
Page 6-5
masyarakat. Secara global maka negara juga akan mengalami kerugian akibat
menurunnya devisa.
2. Pasar domestik perikanan tangkap yang kurang berkembang dan pengamanan
kualitas ikan
Permasalahan logistik perikanan yang belum tertata dengan baik dan efisien.
Saat ini permasalahan logistik perikanan sudah menjadi fokus bagi pemerintah.
Logistik produk perikanan memiliki karakteristik yang berbeda dengan produk lain
seperti penanganan yang berbeda dengan produk pertanian, peternakan maupun
produk lain. Selain itu permasalahan lokasi Indonesia yang terdiri dari banyak
pulau juga menjadi kendala tersendiri yaitu untuk daerah-daerah terpencil yang
terdapat di bagian timur Indonesia yang memiliki sumberdaya besar namun
memiliki kesulitan untuk mendistribusikan.
Permasalahan lain yang timbul adalah kurangnya daya beli masyarakat
terhadap produk perikanan. Keinginan makan ikan masyarakat Indonesia termasuk
rendah jika dibandingkan dengan negara lain, hal ini terlihat dari konsumsi ikan
per kapita Indonesia tergolong rendah dibandingkan dengan negara Asia lain.
Penyebab kurangnya konsumsi ikan per kapita adalah kondisi ekonomi
masyarakat, dan masih sulitnya mendapat ikan di daerah pelosok. Karena
arus
distribusi lambat,
ikan
segar
sampai
ke
tangan
konsumen.
Kurang berkembangnya pasar domestik perikanan tangkap di Indonesia
menyebabkan
usaha perikanan
negara-negara
Page 6-6
ikan,
manajemen
usaha,
penanganan
kualitas
ikan
hingga
adanya
permasalahan-permasalahan
yang
terjadi
tersebut
Page 6-7
sebagai
input
control
dalam
pengelolaan
perikanan
tangkap
adanya
kegiatan
IUU
fishing
sumberdaya
ikan
terkuras
tanpa
Page 6-8
sektor perikanan tangkap yang cukup besar dan berkurangnya nilai PNBP
perikanan tangkap.
6. Padat tangkap di perairan pantai
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa sebagian besar kegiatan perikanan
tangkap di Indonesia (89%) merupakan skala kecil dengan ukuran kapal kurang
dari 5 GT yang beroperasi di hampir semua pesisir Indonesia. Hal ini utamanya
disebabkan kondisi sosial masyarakat peisisir yang memiliki berbagai keterbatasan
baik dari segi ekonomi maupun SDM.
Permasalahan lainnya adalah belum diterapkannya kebijakan limited access
secara menyeluruh, sehingga hingga saat ini belum terjadi pembatasan baik
armada penangkapan, alat tangkap maupun jumlah dan jenis tangkapan.
Permasalahan yang terjadi di atas menyebabkan terjadinya dampak negatif
berupa terganggunya ekosistem pantai yang merupakan sumber trophic level,
sehingga
dalam
jangka
waktu
tertentu
akan
menyebabkan
kehancuran
perikanan
akan
jika
Page 6-9
hukum
tersebut,
sehingga
oknum-oknum
penguasa
masih
bisa
dapat
sehingga
menghasilkan
pengelolaan
yang
salah.
Dismping
itu,
Page 6-10
merupakan
penyebab
terjadinya
praktek
illegal
fishing
seperti
ekologi/lingkungan
yang
terjadi
adalah
tekanan
terhadap
sumberdaya ikan terutama di daerah pesisir. Tekanan ini menyebabkan stok ikan yang
menurun. Akar penyebab dari menurunnya sumberdaya ikan adalah penyalahgunaan
alat tangkap seperti ukuran mata jaring yang terlalu kecil sehingga menyebabkan
banyak tertangkapnya ikan berukuran kecil yang belum matang gonad. Selain itu
penggunaan alat tangkap yang bersifat merusak juga masih marak digunakan oleh
nelayan seperti penggunaan bom maupun potassium untuk menangkap ikan. Sehingga
menyebabkan kerusakan ekosistem laut dan terganggunya habitat ikan. Praktek illegal
Page 6-11
fishing dari asing semakin memperparah tekanan terhadap stok ikan. Illegal fishing ini
terutama diakibatkan oleh belum mampunya pemerintah dalam mengawasi seluruh
perairan Indonesia, baik secara sarana prasarana, SDM, maupun sistem pelaksanaan.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa permasalahan ekologi / lingkungan
disebabkan oleh permasalahan ekonomi dan sosial yang timbul terlebih dahulu, namun
jika permasalahan ini tidak kunjung diatasi maka permasalahan ekonomi dan sosial
yang terjadi akan semakin besar karena jika sumberdaya ikan berkurang atau bahkan
habis, maka tentu saja roda perekonomian akan terhenti dan berdampak pula pada
kehidupan sosial masyarakat.
Permasalahan kelembagaan pada perikanan tangkap terutama adalah pendataan
terkait perikanan tangkap yang kurang baik. Data yang akurat adalah hal penting
dalam penentuan kebijakan, dengan data yang tidak sesuai maka akan menyebabkan
terjadinya
kesalahan
pengambilan
keputusan
terkait
pengelolaan
perikanan
berkelanjutan. Selain itu pendataan yang kurang baik menyebabkan minat investor
yang kurang berkembang, hal ini disebabkan tingginya ketidakpastian dalam bisnis
yang akan dijalani, sehingga industri juga tidak berkembang dengan baik. Selain itu
kerjasama antar pemerintah daerah masih kurang untuk memunculkan kegiatan
ekonomi yang baik dalam pasar domestik. Permasalahan kelembagaan lain adalah
kurangnya kontrol dan pengawasan pemerintah dalam kegiatan perikanan tangkap
terutama untuk kegiatan hulu berupa penangkapan ikan di laut. Seperti dijelaskan
sebelumnya bahwa ini disebabkan masih minimnya sarana prasarana, SDM, maupun
sistem pelaksanaan MCS di Indonesia.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa antara satu permasalahan dengan
permasalahan lainnya dalam pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan tentu
sangat terkait dan berhubungan. Untuk itu,
oleh pemerintah harus berlaku secara komprehensif untuk dapat mengatasi berbagai
aspek tersebut secara bersamaan dan sinergi.
Page 6-12
Mayoritas
pembudidaya
skala kecil
dengan
sistem
teknologi
produksi
sederhana
Biaya
Produksi tidak
efisien
TEKNOLOGI &
SISTEM
PRODUKSI
SUMBERDAYA
IKAN
Daya saing
produk
rendah
Besarnya porsi
biaya dan harga
pakan
Keterbatasan benih
berkualitas
Penurunan
Kualitas
Lingkungan
Limbah
kegiatan
budidaya &
nonbudidaya
Kontinuitas jumlah
& mutu produksi
tidak stabil
Ancaman Invasive Alien
Species (IAS)
Masalah Penyakit
Kawasan
penyangga
rusak
Pasar terbatas
Konsumsi
rendah
Hambatan
ekspor
Rantai
pemasaran
belum
efisien
PASAR
Konflik kepentingan
Tidak ada kepastian hukum
dalam arti fisik dan fungsional
Sulit melakukan
adopsi terhadap
perubahan teknologi
dan sistem budidaya
Keterbatasan
modal, pengetahua
n dan akses
teknologi
KELEMBAGAAN
DAN KEBIJAKAN
Sistem logistik
belum tertata baik
& efisien
SUSTAINABILITY
PERIKANAN
BUDIDAYA
BELUM BISA
DIJAMIN
Keterbatasan sarana
saluran, jalan, listri, bb
m dll
SDM
FASILITAS &
INFRASTRUKTUR
Gambar 6.2. Hasil Analisis Permasalahan Diagram Tulang Ikan untuk Perikanan
Budidaya Nasional
Berdasarkan hasil analisis permasalahan memakai metoda diagram tulang ikan
(fish-bone diagram), maka disusun isu strategis dan permasalahan beserta dampak
potensialnya yang dihadapi oleh perikanan budidaya secara nasional berdasarkan
aspek ekonomi, sosial, ekologi/lingkungan, dan kelembagaan, disajikan pada Tabel 1.
Page 6-13
Tabel 6.2. Isu strategis dan permasalahan beserta dampak potensialnya yang dihadapi
oleh perikanan budidaya secara nasional.
No.
Isu Strategis
Permasalahannya
Dampak Potensial
ASPEK EKONOMI
1.
2.
3.
4.
Skala Usaha
Pembudidaya Ikan
Keuntungan pembudidaya
berkurang
Pembudidaya ikan di
Indonesia didominasi oleh
pembudidaya skala kecil
sehingga porsi biaya tetap
yang dikeluarkan menjadi
besar.
Tingkat kesejahteraan
pembudidaya ikan skala
kecil akan sulit ditingkatkan,
karena tidak memiliki
kemampuan manajemen
keuangan yang baik
Sulit mewujudkan
optimalisasi pemanfaatan
sumber daya budidaya ikan
yang bertanggungjawab
Akses untuk
permodalan bagi
pengembangan usaha
perikanan budidaya
terbatas
Sistem logistik
Infrastruktur pendukung
masih terbatas (jalan, listrik,
bbm, dll.)
Page 6-14
No.
Isu Strategis
Permasalahannya
Dampak Potensial
ASPEK SOSIAL
5.
6.
Masalah pengamanan
kualitas ikan
Umumnya masih
menerapkan sistem
tradisional dan atau sistem
semi-intensive
Produktivitas budidaya
perikanan akan menurun
Sustainability usaha
perikanan budidaya tidak
bisa dijamin
ASPEK LINGKUNGAN
7.
Penurunan kualitas
perairan
ASPEK KELEMBAGAAN
8.
Sistem pendataan
perikanan budidaya
belum andal dan
efisien
Mekanisme sistem
pencatatan data perikanan
budidaya belum tepat,
cepat, dan efisien.
Investasi perikanan
budidaya yang tidak tepat.
Page 6-15
Bab 7
FORMULASI STRATEGI DAN KEBIJAKAN UNTUK
MENGEFEKTIFKAN PENGELOLAAN
PERIKANAN BERKELANJUTAN
Strategi dan kebijakan merupakan hal yang memiliki peran penting dalam suatu
permasalahan yang terjadi serta mempertahankan kondisi yang baik agar tetap
berlangsung. Strategi adalah pendekatan secara keseluruhan yang berkaitan dengan
pelaksanaan gagasan, perencanaan, dan eksekusi sebuah aktivitas dalam kurun waktu
tertentu. Sedangkan kebijakan adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi
pedoman dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan
cara bertindak. Sehingga kebijakan adalah langkah-langkah yang dilakukan untuk
mewujudkan strategi yang telah direncanakan.
7.1
prinsipnya,
analisis
kesenjangan
(gap
analysis)
digunakan
untuk
membandingkan antara kinerja saat ini dengan kinerja ideal atau yang diharapkan.
Analisis ini sangat berguna membantu organisasi dan para pengambil keputusan untuk
menentukan strategi atau kebijakan yang tepat atau sesuai dengan fakta. Analisis pada
kajian ini difokuskan pada tingkatan strategis organisasi, yakni pada perumusan
kebijakan yang tepat bagi pembangunan untuk pengelolaan perikanan tangkap
berkelanjutan, guna menghilangkan atau meminimalkan kesenjangan yang menjadi
penghambat pembangunan tersebut.
Page 7-1
Tabel 7.1
No
Kesenjangan
ASPEK EKONOMI
1.
2.
Kurang berkembangnya
pasar domestik untuk
produk perikanan tangkap
dan pengamanan kualitas
ikan
3.
ASPEK SOSIAL
4.
ASPEK LINGKUNGAN/EKOLOGI
5.
Kegiatan Illegal,
Unregulated and
Page 7-2
No
Kesenjangan
- Belum diberdayakannya
petugas Pengawas
Sumberdaya Ikan dan
Pengawas Kapal lkan secara
optimal
- Manipulasi ukuran GT kapal
6.
Padat tangkap
(Overfishing) di perairan
pantai
ASPEK KELEMBAGAAN
7.
Lemahnya kapasitas
kelembagaan pengawas
dan penegakan hukum
Kapasitas kelembagaan
pengawas dan penegakan
hukum yang kuat dan efektif
- Kemampuan kapasitas
kelembagaan pengawas
perikanan masih terbatas
- Belum optimalnya koordinasi
antar instansi terkait dalam
pengendalian pemanfaatan
sumberdaya perikanan
- Kapasitas kelembagaan
penegakan hukum belum
kuat, tegas, dan independent
8.
Sistem pendataan
perikanan tangkap yang
belum andal dan masih
parsial
- Mekanisme pengumpulan
data perikanan tangkap masif
bersifat pasif.
- Belum adanya sistem
pengelolaan data perikanan
tangkap yang terintegrasi
- Terbatasnya SDM pengelola
data perikanan tangkap
- Terbatasnya sarana dan
prasarana untuk pengelolaan
data perikanan tangkap
Page 7-3
7.1.2
bab sebelumnya dan juga masukan dari hasil desk study, focus group discussion
(FGD), dan indept interview dengan berbagai pemangku kepentingan (stakeholders),
dapat dirumuskan strategi dan kebijakan yang perlu diimplementasikan untuk lebih
mengefektifkan terwujudnya pengelolaan perikanan tangkap yang berkelanjutan,
seperti dapat dilihat pada Tabel 7.2 berikut ini.
Tabel 7.2 Strategi dan Kebijakan yang Diperlukan untuk Mewujudkan Perikanan
Tangkap Nasional yang Berkelanjutan
Aspek
EKONOMI
Strategi
Meningkatkan daya saing produk
industri hasil perikanan tangkap
Kebijakan
Pengembangan kawasan industri perikanan
tangkap terpadu di sentra-sentra perikanan
tangkap melalui klusterisasi usaha perikanan
tangkap
Peningkatan efektifitas sistem jaminan
keamanan dan mutu produk perikanan tangkap
melalui penyempurnaan sistem ketelusuran
(traceability system) dan sertifikasi produk
bertaraf internasional (seperti: setifikat
MSC/Marine Stewardship Council)
Optimalisasi produksi perikanan tangkap
nasional melalui rasionalisasi armada perikanan
tangkap
Penurunan tingkat losses penanganan ikan
diatas kapal melalui penerapan good handling
practices
Page 7-4
Aspek
Strategi
Meningkatkan efisiensi usaha
perikanan tangkap skala kecil dan
memenuhi skala ekonomi (economy
of scale)
Kebijakan
Pemberian akses ke lembaga keuangan dan
perbankan bagi nelayan skala kecil melalui
pengembangan skema pinjaman kredit yang
sesuai untuk nelayan skala kecil
Pengembangan usaha penangkapan ikan
dengan sistem armada atau group melalui
regulasi yang tegas dan jelas terkait dengan
transhipment hasil tangkapannya
Peningkatan kemampuan manajemen usaha
nelayan skala kecil melalui:
- program pendampingan dan pembinaan
manajemen usaha
- Peningkatan kapasitas kelembagaan
nelayan skala kecil
Pengembangan usaha penangkapan ikan skala
kecil melalui program science and tecno-park
(STP) guna meningkatkan akses teknologi dan
informasi
Peningkatan kemitraan usaha perikanan
tangkap melalui program inkubator bisnis dan
pola kerjasama yang saling menguntungkan
keduabelah pihak.
SOSIAL
EKOLOGI
Page 7-5
Aspek
Strategi
Kebijakan
Penguatan peran pelabuhan perikanan
nasional melalui implementasi port state
measures (PSM).
Meningkatkan efektifitas
pelaksanaan pengelolaan perikanan
tangkap berbasis daya dukung
ekosistem perairan
Page 7-6
Aspek
Strategi
Kebijakan
Peningkatan kualitas SDM pengelola data
perikanan tangkap melalui program pelatihan
dan upgrading SDM pengelola data dan
informasi
Peningkatan sarana dan prasarana untuk
pengelolaan data dan informasi perikanan
tangkap
7.2
No
Analisis
Kesenjangan
Berkelanjutan
Kondisi Saat Ini
untuk
Pengelolaan
Perikanan
Budidaya
Kesenjangan
ASPEK EKONOMI
1.
Page 7-7
No
2.
3.
4.
Kesenjangan
-
Pembudidaya ikan di
Indonesia didominasi oleh
pembudidaya skala kecil
sehingga porsi biaya tetap
yang dikeluarkan menjadi
besar.
Akses untuk
permodalan bagi
pengembangan usaha
perikanan budidaya
terbatas
Infrastruktur pendukung
masih terbatas (jalan, listrik,
bbm, dll.)
Umumnya masih
menerapkan sistem
tradisional dan atau sistem
semi-intensive
ASPEK SOSIAL
5.
6.
Pengamanan kualitas
ikan yang belum
terjamin
Page 7-8
No
Kesenjangan
ASPEK LINGKUNGAN
7.
Penurunan kualitas
perairan
ASPEK KELEMBAGAAN
8.
7.2.2
Sistem pendataan
perikanan budidaya
belum andal dan
efisien
Mekanisme sistem
pencatatan data perikanan
budidaya belum tepat,
cepat, dan efisien.
bab sebelumnya dan juga masukan dari hasil desk study, focus group discussion
(FGD), dan indept interview dengan berbagai pemangku kepentingan (stakeholders),
dapat dirumuskan strategi dan kebijakan yang perlu diimplementasikan untuk lebih
mengefektifkan terwujudnya pengelolaan perikanan budidaya yang berkelanjutan,
seperti dapat dilihat pada Tabel 7.4 berikut ini.
Page 7-9
Tabel 7.4 Strategi dan Kebijakan yang Diperlukan untuk Mewujudkan Perikanan
Budidaya Nasional yang Berkelanjutan
Aspek
Strategi
EKONOMI
Kebijakan
- Mendorong berkembangnya industri pakan
ikan skala rumah tangga (pakan mandiri)
melalui berbagai insentif seperti akses
permodalan, pendampingan teknologi
produksi, pendampingan manajemen, dll.
- Mendorong berkembangnya industri pabrik
bahan baku lokal untuk pakan ikan
- Perusahaan pakan skala kecil juga perlu diberi
akses untuk memperoleh insentif
pengurangan bea masuk bahan baku pakan
impor
- Menyediakan calon induk bermutu untuk UPR
- Menambah dan mengembangkan hatchery di
Indonesia Timur dan Tengah karena
sebagian besar hatchery ada di Indonesia
Barat
- Perbaikan mekanisme subsidi benih
Page 7-10
Aspek
Strategi
Kebijakan
- Budidaya ikan di perairan umum (laut, danau,
sungai, dan sejenisnya) harus memakai pakan
ikan ramah lingkungan yaitu pakan ikan yang
konversi pakan rendah (efisien) dan tidak
mengandung zat/bahan yang berpotensi
merusak limgkungan
Meningkatkan pemberdayaan
masyarakat pembudidaya
Page 7-11
Aspek
KELEMBAGAAN
Strategi
Meningkatkan kapasitas kelembagaan
produsen untuk meningkatkan posisi
tawar (bargaining power) pelaku
usaha perikanan budidaya skala kecil
Kebijakan
- Peningkatan kapasitas kelembagaan
pembudidaya skala kecil
Page 7-12
Bab 8
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
8.1 Kesimpulan
Kesimpulan dari hasil kajian ini adalah sebagai berikut :
1. Hingga saat ini kegiatan perikanan di Indonesia dapat dinyatakan belum berjalan
secara berkelanjutan, karena aktivitasnya belum sepenuhnya menerapkan kaidahkaidah perikanan yang bertanggungjawab (Code of Conduct Responsible Fisheries /
CCRF)
2. Permasalahan utama dalam kegiatan perikanan tangkap adalah pengelolaannya
yang masih bersifat open acces walaupun sudah ada mekanisme perijinan,
tekanan yang tinggi pada daerah perairan pantai akibat dominansinya armada
perikanan skala kecil yang jumlahnya mencapai 89% dari total armada perikanan
nasional, dan maraknya praktik illegal fishing di perairan lepas pantai wilayah
Indonesia.
3. Permasalahan utama dalam kegiatan perikanan budidaya adalah penyediaan pakan
ikan yang masih tergantung dari produk impor, penyediaan benih unggul yang
masih terbatas untuk memenuhi kebutuhan nasional, dan belum terjaminnya tata
ruang untuk mendukung pelaksanaan perikanan budidaya yang berkelanjutan.
4. Formulasi strategi yang perlu dilakukan untuk terwujudnyan pengelolaan perikanan
tangkap berkelanjutan untuk aspek ekonomi adalah: (1) Meningkatkan daya saing
produk industri hasil perikanan tangkap, (2) Menciptakan sistem pemasaran dan
distribusi produk perikanan tangkap di dalam negeri yang efisien, aman, dan
berkualitas, dan (3) Meningkatkan efisiensi usaha perikanan tangkap skala kecil
dan memenuhi skala ekonomi (economy of scale). Sedangkan untuk aspek sosial
strategi yang dilakukan adalah: (4) Meningkatkan kualitas dan kesejahteraan
nelayan dan tenaga kerja perikanan tangkap.
strategi yang dapat dilakukan adalah: (5) Pemberantasan kegiatan IUU fishing dan
(6) Meningkatkan efektifitas pelaksanaan pengelolaan perikanan tangkap berbasis
Page 8-1
daya dukung ekosistem perairan. Dan untuk aspek sosial strategi yang dilakukan
meliputi: (7) Meningkatkan kapasitas kelembagaan pengawas sumber daya ikan
dan efektifitas penegakan hukumnya dan (8) Sistem pendataan dan informasi
perikanan tangkap yang andal dan terintegrasi.
5. Formulasi strategi yang perlu dilakukan untuk terwujudnyan pengelolaan perikanan
budidaya berkelanjutan untuk aspek ekonomi adalah: (1) Menyediakan benih dan
pakan dengan jumlah yang cukup dan harga yang pantas, (2) Meningkatkan sistem
penjaminan mutu dan keamanan pangan pada produk perikanan budidaya, (3)
Menciptakan sistem pemasaran dan distribusi produk perikanan yang efisien, (4)
Meningkatkan efisiensi usaha perikanan budidaya dan memenuhi skala ekonomi,
(5) Meningkatnya daya saing produk industri hasil perikanan budidaya. Sedangkan
untuk aspek sosial strategi yang dilakukan adalah: (10) Meningkatkan sistem
penjaminan sosial untuk pembudidaya dan (11) Meningkatkan pemberdayaan
masyarakat pembudidaya.
dilakukan
adalah:
(6)
resiko
kerusakan
lingkungan
dengan
menerapkan sistem budidaya sesuai dengan daya dukung perairan yang ada, (7)
Membangun sistem pengelolaan pemanfaatan sumber daya ikan yang efektif,
efisien, dan transparan, (8) Mengurangi resiko masuknya Invasive Alien Species
(IAS), dan (9) Meningkatkan efektifitas pelaksanaan prinsip-prinsip pengelolaan
budidaya perikanan skala kecil berbasis daya dukung ekosistem. Dan untuk aspek
sosial strategi yang dilakukan meliputi: (12) Meningkatkan kapasitas kelembagaan
produsen untuk meningkatkan posisi tawar (bargaining power) pelaku usaha
perikanan budidaya skala kecil, (12) Penjaminan tata ruang untuk usaha budidaya
perikanan, dan (13) Sistem pendataan dan informasi
8.2 Rekomendasi
Rekomendasi yang disarankan untuk mempercepat terwujudnyan Pengelolaan
Perikanan Berkelanjutan adalah sebagai berikut:
1.
Page 8-2
telah berhasil.
diadopsi, yakni: untuk negara Jepang adalah struktur kelembagaan para pelaku
usaha penangkapan ikan yang sistematis dan jelas, dimana untuk perikanan pantai
dikelola oleh koperasi-koperasi perikanan yang beranggotakan nelayan-nelayan
skala kecil dan menengah, untuk lepas pantai oleh asosiasi-asosiasi perikanan yang
beranggotakan para pengusaha perikanan industri; untuk negara Australia adalah
sistem pembatasan input control yang tegas, sistem perlindungan untuk daerahdaerah pemijahan dan nursery ground ikan, dan pelibatan lembaga riset untuk
mewujudkan pengelolaan perikanan berkelanjutan pada spesies atau komoditas
utama, mulai dari hulu hingga hilir; dan untuk Inggris adalah sistem pengaturan
technical measures untuk kepentingan konservasi melalui regulasi yang mengatur
ukuran minimum ikan yang boleh dipasarkan, ukuran minimum mesh size (mata
jaring) yang digunakan, pembatasan area penangkapan, dan pembatasan
beberapa jenis alat tangkap yang diperbolehkan beroperasi di wilayah perairan
tertentu.
2.
Guna
menghindari
kesalahan
atau
bias
dalam
pengambilan
kebijakan
Perlu penguatan atau perumusan kembali bentuk kelembagaan yang tepat dan
efektif untuk mengelola perikanan berkelanjutan.
4.
Untuk perikanan tangkap perlu segera untuk menerapkan limited acces secara
penuh melalui bentuk pengelolaan perikanan (fisheries management) yang tepat,
memberantas illegal fishing, menerapkan kebijakan open and close season, dan
restrukturisasi ukuran dan jumlah armada perikanan nasional.
5.
6.
Page 8-3