Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Dewasa ini Pariwisata menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari
kehidupan karena berkaitan erat dengan kegiatan sosial dan ekonomi yang dapat
dinikmati serta menjadi salah satu cara manusia melakukan sosialisasi. Pariwisata
identik dengan kegiatan memberikan kesenangan dan kenikmatan, karena
kegiatannya bertujuan memberikan beragam aktifitas secara santai dan
menyenangkan tanpa harus menguras tenaga.
Besarnya potensi pariwisata mendorong pelaku usaha bidang ini berlomba-lomba
menyediakan tempat wisata dengan berbagai cara, baik mengandalkan obyek
buatan maupun obyek alam. Serta menawarkan beragam keunikan dan
karekteristik obyek unggulan untuk menarik minat pengunjung. Walaupun
pariwisata identik dengan kesenangan, namun kegiatan ini juga memiliki risiko.
Berbagai obyek wisata yang disediakan oleh pengelola tempat wisata tidak
memberikan jaminan keamanan dan keselamatan pengunjung sepenuhnya. Hal itu
memungkinkan adanya kecelakaan yang menimpa pengunjung wisata yang bisa
menyebabkan cacat fisik hingga meninggal dunia. Penyebab kecelakaan ini dapat
terjadi karena berbagai hal seperti: (1) bencana alam, (2) pengelolaan tempat
wisata, (3) pengunjung dan (4) kejahatan pihak ketiga. Keempat hal ini dapat
memiliki hubungan secara langsung atas kecelakaan yang terjadi bagi pengunjung
wisata.
Kecelakaan yang terjadi di tempat wisata menimbulkan kerugian bersifat
materi dan immateriil kepada pengelola dan pengunjung yang merupakan korban.
Pengelola mengalami dua kerugian sekaligus yaitu menganti kerugian kepada
korban dengan sejumlah uang yang sudah ditentukan, dan kerugian bersifat
immateriil yaitu reputasi. Kerugian immateril bersifat jangka panjang yaitu
kelangsungan tempat wisata untuk kembali memulihkan image positif sehingga
pengunjung akan melupakan kejadian tersebut. Perbedaan karakter wisata akan
membedakan potensi risiko antara satu tempat dengan tempat lain sehingga
menuntut pengelola wisata dapat melakukan estimasi risiko secara mendalam.

Estimasi ini akan menghitung derajat risiko yang terbagai dalam tiga level yaitu
tinggi, menengah dan rendah (Siahaan, 2007:34- 35). Level ini dapat juga
digunakan untuk menilai derajat risiko tempat wisata menggunakan pendekatan
manajemen risiko.
Manajemen risiko adalah salah satu cara meminimumkan kerugian yang
muncul di tempat wisata. Manajemen risiko menjadi alat untuk meminimalisir
kerugian bagi semua pihak yang terkait khususnya pengelola sehingga
memberikan dukungan pada organisasi dan pengendalian risiko internal maupun
eksternal yang lebih efektif. Saat ini pengelola wisata sudah mengunakan
pendekatan manajemen risiko dalam menyelenggarakan kegiatan wisata meski
skala pengunaannya masih jauh dibandingkan dengan industri keuangan seperti
perbankan dan asuransi.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah yang muncul dari makalah ini adalah :
1.
2.
1.3 Tujuan Penulisan
A. Tujuan umum
Tujuan umum dari penulisan makalah ini adalah agar perawat dapat
memahami proses manajemen risiko bencana pariwisata.
B. Tujuan khusus
a. Untuk memahami
b. Untuk memahami
1.4 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan yang digunakan dalam pembuatan makalah ini adalah
sebagai berikut :
Bab I. Pendahuluan, berisi pendahuluan yang menjelaskan latar belakang
masalah, rumusan masalah, maksud dan tujuan, sistematika
penulisan, dan metode penulisan.
Bab II. Pembahasan, berisi pembahasan yang menjelaskan tentang proses

manajemen risiko bencana pariwisata.


Bab III. Penutup, berisi kesimpulan dan saran.
1.5 Metode Penulisan
Metode yang digunakan dalam penyusunan makalah ini yaitu dengan studi
kepustakaan. Studi kepustakaan adalah suatu metode pengumpulan data
dengan cara mencari, mengumpulkan, dan mempelajari materi materi dari
buku maupun dari media informasi lainnya dalam hal ini yang berkaitan
dengan proses manajemen risiko bencana pariwisata.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian

Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan


mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik
oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan,
kerugian harta benda, dan dampak psikologis.(UU No.24 tahun 2007)
Menurut Laws (2005) bencana dalam industri pariwisata adalah Crisis or
disaster in tourism industry usually refers to an event that leads to a shock
resulting in the sudden emergence of an adverse situation (Krisis atau
bencana di industri pariwisata biasanya mengacu pada sebuah peristiwa yang
mengarah ke shock yang mengakibatkan munculnya tiba-tiba situasi yang
merugikan).
Menurut Krishna (2002), manajemen bencana merupakan pengetahuan
yang terkait dengan upaya untuk mengurangi risiko, yang meliputi tindakan
persiapan sebelum bencana terjadi, dukungan, dan membangun kembali
masyarakat

saat

setelah

bencana

terjadi.

Lebih

lanjut

Krishna

mengungkapkan bahwa lingkaran manajemen bencana (disaster management


cycle) terdiri dari tigakegiatan besar. Pertama adalah sebelum terjadinya
bencana (pre event), kedua yaitu saat bencana dan ketiga adalah setelah
terjadinya bencana (post event).
Risiko adalah bahaya, akibat atau konsekuensi yang dapat terjadi akibat
sebuah proses yang sedang berlangsung atau kejadian yang akan datang.
Dalam bidang asuransi, risiko dapat diartikan sebagai suatu keadaan
ketidakpastian, di mana jika terjadi suatu keadaan yang tidak dikehendaki
dapat menimbulkan suatu kerugian.
Jadi kesimpulan dari manajemen risiko bencana adalah upaya untuk
mengurangi bahaya atau konsekuensi yang dapat terjadi pada penghidupan
masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam
maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa
manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis
dengan cara tindakan persiapan sebelum bencana terjadi, dukungan, dan
membangun kembali masyarakat saat setelah bencana terjadi.
2.2 Manajemen Bencana Pada Industri Pariwisata
Definisi bencana menurut Undang Undang Nomor 24 Tahun 2007 adalah
peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu

kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkanoleh faktor alam


dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan
timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda,
dan dampak psikologis.Sedangkan menurut Laws (2005) bencana dalam
industri pariwisata adalah Crisis or disaster in tourism industry usually refers
to an event that leads to a shock resulting in the sudden emergence of an
adverse situation. Berdasarkan sumbernya, bencana menurut UU No 24
Tahun 2007 dapat dikelompokan menjadi tiga sumber yaitu:
1. Bencana Alam
Adalah bencana yang bersumber dari fenomena alam seperti banjir,
gempa bumi, dan letusan gunung berapi, tsunami dan lain-lain.
2. Bencana Non Alam
Adalah peristiwa yang disebabkan oleh faktor non alam antara lain
berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemik, dan wabah
penyakit.
3. Bencana Sosisal
Adalah bencana yang disebabkan oleh peristiwa atau rangkaian
peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial
antar kelompok, antar komunitas masyarakat dan teror.
Rosyidie (2004) lebih lanjut mengungkapkan bahwa bencana dapat terjadi
dimana saja, kapan saja dan pada siapa saja. Frekuensi dan seberapa kuat atau
besar bencana tersebut pun susah untuk diprediksi. Melihat sifat dari bencana
tersebut, maka sering kali terjadi banyak kerugian dan korban meninggal
dunia maupun luka-luka.
Pengertian bencana menurut Undang Undang Nomor 24 Tahun 2007,
terfokus pada asal dari gangguan tersebut, sedangkan pengertian Rosyidie
(2004) yang terfokus pada sifat dari bencana tersebut.
Berdasarkan definisi bencana menurut para ahli tersebut maka definisi
bencana dalam penelitian ini yaitu gangguan atau ancaman dari keadaan
normal hingga menyebabkan kerugian dari gangguan tersebut yang
bersumber dari alam, non alam dan sosial. Gangguan tersebut tidak dapat
diprediksi kapan, dimana dan kepada siapa terjadinya.
Bencana ini dapat terjadi di belahan dunia manapun dan pada bidang
apapun, termasuk di suatu industri pariwisata, yang mana industri pariwisata
menurut Yoeti (1985) adalah kumpulan dari macam - macam perusahaan
yang secara bersama menghasilkan barang dan jasa yang dibutuhkan oleh

wisatawan pada khususnya dan traveller pada umumnya, selama dalam


perjalanan. Menurut Spillane (1987) ada lima unsur industri pariwisata yang
sangat penting yaitu:
1. Attraction (daya tarik)
Attraction dapat digolongkan menjadi site attraction (seperti kebun
binatang, dan museum), event attraction(seperti festival, pameran atau
pertunjukkan kesenian daerah).
2. Facilities (fasilitas yang diperlukan).
Selama tinggal di tempat tujuan wisata,wisatawan memerlukan tidur,
makan, minum oleh karena itu diperlukan fasilitas penginapan. Selain
itu diperlukan pula industri penunjang seperti took sourvenir, jasa
laundry, dan jasa pemandu.
3. Infrastructure
Daya tarik dan fasilitas tidak dapat dicapai dengan mudah kalau
belum

ada

infrastruktur

dasar.

Pemenuhan

atau

penciptaan

infrastruktur adalah suatu cara untuk menciptakan suasana cocok bagi


perkembangan pariwisata.
4. Transportations (transportasi)
Dalam pariwisata kemajuan dunia transportasi sangat dibutuhkan
karena sangat menentukan jarak dan waktu dalam suatu perjalanan
wisata. Transportasi baik transportasi darat, laut dan udara merupakan
unsur utama langsung yang merupakan tahap dinamis gejala-gejala
pariwisata
5. Hospitality (keramahtamahan).
Wisatawan yang berada dalam lingkungan yang tidak mereka kenal
memerlukan kepastian jaminan keamanan. Kebutuhan dasar akan
keamanan dan perlindungan harus disediakan dan juga keuletan serta
keramahtamahan tenaga kerja wisata perlu dipertimbangkan supaya
wisatawan merasa aman dan nyaman selama melakukan perjalanan
wisata.
Berdasarkan definisi industri pariwisata tersebut maka dapat
disimpulkan bahwa industri pariwisata merupakan kumpulan industri
yang menghasilkan barang ataupun jasa yang diperlukan oleh
wisatawan dimulai dari daerah asalnya hingga sampai di destinasi
tujuan dan balik lagi ke daerah asalnya. Adapun industri pariwisata
yang dimaksud dalam penelitian ini adalah hotel yang merupakan

tempat tinggal sementara wisatawan selama melakukan perjalanan.


Untuk meminimalkan segala dampak yang disebabkan oleh
bencana tersebut, maka industri perhotelan perlu menerapkan sebuah
manajemen bencana, yang mana pengertian dari manajemen bencana
yaitu:
Menurut

Krishna

(2002),

manajemen

bencana

merupakan

pengetahuan yang terkait dengan upaya untuk mengurangi risiko,


yang meliputi tindakan persiapan sebelum bencana terjadi, dukungan,
dan membangun kembali masyarakat saat setelah bencana terjadi.
Lebih lanjut Krishna mengungkapkan bahwa lingkaran manajemen
bencana (disaster management cycle) terdiri dari tiga kegiatan besar.
Pertama adalah sebelum terjadinya bencana (pre event), kedua yaitu
saat bencana dan ketiga adalah setelah terjadinya bencana (post
event).
Definisi manajemen bencana lainnya diungkapkan oleh Red Cross
and Red Crescent Societies dalam World Confederation for Physical
Theraphy (2014), yang mana manajemen bencana didefinisikan
sebagai berikut: Disaster management as the organization and
management of resources and responsibilities for dealing with all
humanitarian aspects of emergencies, in particular preparedness,
response and recovery in order to lessen the impact of disasters.
Menurut BPBD Kota Denpasar, manajemen bencana merupakan
segala upaya atau kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka
pencegahan, mitigasi, kesiapan, tanggap darurat dan pemulihan
berkaitan dengan bencana yang dilakukan sebelum, pada saat dan
setelah bencana. Manajemen bencana yang dalam PP No 21 Tahun
2008 dijelaskan sebagai penyelenggaraan penanggulangan bencana
merupakan serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan
pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan
bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi.
Selain dengan menerapkan kegiatan manajemen bencana, untuk
mengurangi

kerugian

yang

mungkin

terjadi

akibat

bencana,

diperlukan pula beberapa upaya peningkatan keamanan sebagai


berikut: menurut Pizam (2010), untuk meningkatkan keamanan, hotel

harus menginstal CCTV, fire sprinklers, pendeteksi asap, dan pintu


elektronik.
Sedangkan menurut Henderson, et.al. (2010) untuk meningkatkan
kemanan hotel memerlukan personel keamanan dan pelatihan
kebencanaan. Personel keamanan merupakan orang yang bertanggung
jawab untuk menjaga keamanan hotel, wisatawan, karyawan serta aset
perusahaan. Human Resource Department suatu hotel harus menunjuk
dan mempekerjakan personel keamanan yang professional, dengan
pengalaman yang baik terhadap penanganan suatu bencana. Karyawan
secara umum, dan personel keamanan khususnya, harus mengikuti
workshop dan pelatihan dari pemerintah mengenai penaganan pertama
terhadap kecelakaan. Bagaimanapun, mereka harus mendapatkan
pelatihan pemadaman kebakaran dan cara evakuasi apabila bencana
terjadi.
Kegiatan lainnya yang dilakukan adalah dengan memasang rambu - rambu
keselamatan. Menurut Occupational Health and Safety Assessment Series
(OHSAS) (2012) rambu - rambu keselamatan adalah peralatan yang bermanfaat
untuk membantu melindungi kesehatan dan keselamatan karyawan dan
pengunjung yang sedang berada di tempat kerja. Adapun jenis rambu dapat
berupa: rambu dengan simbol, rambu dengan simbol dan tulisan, dan rambu
berupa pesan dalam bentuk tulisan
2.3 Tujuan Manajemen Bencana
1. Mengurangi, atau mencegah, kerugian karena bencana
2. Menjamin terlaksananya bantuan yang segera dan memadai terhadap
korban bencana
3. Mencapai pemulihan yang cepat dan efektif.
2.4 Manfaat Manajemen Bencana
Menurut Pamungkas (2010), manejemen resiko/ bencana bagi perusahaan
memiliki empat manfaat, yang mana diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Evaluasi dari program pengendali bencana akan dapat memberikan
gambaran mengenai keberhasilan dan kegagalan operasi perusahaan
b. Memberikan sumbangan bagi peningkatan keuntungan perusahaan
c. Ketenangan hati yang dihasilkan oleh manajemen bencana yang baik
akan membantu meningkatkan produktifitas dan kinerja

d. Menunjukkan tanggungjawab sosial perusahaan terhadap karyawan,


pelanggan dan masyarakat luas
2.5 Tim Bencana
Tim bencana merupakan orang. orang yang mengkoordinir atau memiliki
tanggung jawab terhadap manajemen bencana. Tim bencana yang biasanya
digunakan dihotel biasanya adalah Emergency Responsible Teamdan Fire
Brigade, sedangkan menurut BPBD Kota Denpasar beberapa jenis tim
bencana adalah Publict Save Community (PSC), Barisan Relawan Bencana
(BALANA), dan Search and Rescue (SAR). Adapun jenis - jenis tim bencana
tersebut adalah sebagai berikut:
a. Emergency Responsible Team
Emergency Responsible Team (ERT) didefinisikan oleh Georgetown
University (2014) sebagai berikut, The Emergency Responsible Team
(ERT) is responsible team for coordinating the response to crises
affecting the safety and operation of some disaster. They will be called
to assist inthe management of the emergency situation. Tim ini
merupakan tim khusus yang menangani masalah bencana, tim ini
selain dibentuk oleh Georgetown University juga dibentuk oleh
berbagai organisasi termasuk hotel.
b. Fire Brigade
Fire Brigade didefinisikan sebagai berikut Fire Brigade is a private or
temporary organization of individual equipped to fight fires. Fire
Brigade

tersebut

merupakan

organisasi

yang

bertugas

untuk

menanggulangi segala jenis bencana yang berhubungan dengan


kebakaran. Selain dari pemerintah, tim ini biasanya juga dibentuk oleh
hotel - hotel.
c. Public Save Community (PSC)
Menurut BPBD Kota Denpasar, Public Save Community merupakan
petugas yang memberikan pelayanan kedaruratan kepada masyarakat
Kota, dioprasikan oleh petugas khusus yang dilengkapi dengan tiga
mobil ambulance, dan siaga 24 jam di setiap pos jaga. Petugas PSC

bergerak mengikuti pergerakan mobil pemadam pada saat terjadi


kebakaran dan PSC setiap saat bertugas mengevakuasi korban
kecelakaan lalulintas dan bencana lainya.
d. Search and Rescue (SAR)
Menurut Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM.43 Tahun 2005
Tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Perhubungan, Searh
and Rescue (SAR) memiliki pengertian yaitu badan yang berfungsi
melaksanakan pembinaan, pengkoordinasian dan pengendalian potensi
Search and Rescue (SAR) dalam kegiatan SAR terhadap orang dan
material yang hilang atau dikhawatirkan hilang, atau menghadapi
bahaya dalam pelayaran dan atau penerbangan, serta

memberikan

bantuan SAR dalam penanggulangan bencana dan musibah lainnya


sesuai dengan peraturan SAR Nasional dan Internasional.
e. Barisan Relawan Bencana (BALANA)
Menurut BPBD Kota Denpasar, Barisan Relawan Bencana (BALANA)
merupakan barisan relawan bencana yang direkrut dari pegawai Satuan
Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dilingkungan Pemerintah Kota
Denpasar yang ditugaskan ikut serta menangani bencana.
2.6 Aktivitas Pada Fase Siklus Manajemen Bencana
Secara garis besar terdapat empat fase manajemen bencana, yaitu:
1. Fase Mitigasi: Upaya memperkecil dampak negative bencana. Upaya
mitigasi dapat dilakukan dalam bentuk mitigasi struktur dengan
memperkuat bangunan dan infrastruktur yang berpotensi terkena
bencana, seperti membuat kode bangunan, desain rekayasa, dan
konstruksi untuk menahan serta memperkokoh struktur ataupun
membangun struktur bangunan penahan longsor, penahan dinding
pantai, dan lain-lain. Selain itu upaya mitigasi juga dapat dilakukan
dalam bentuk non struktural, diantaranya seperti menghindari wilayah
bencana dengan cara membangun menjauhi lokasi bencana yang dapat
diketahui melalui perencanaan tata ruang dan wilayah serta dengan
memberdayakan masyarakat dan pemerintah daerah.

Contoh: zonasi dan pengaturan bangunan (building codes), analisis


kerentanan; pembelajaran public.
2. Fase Preparadness: merencanakan bagaimana menaggapi bencana.
Kegiatan kategori ini tergantung kepada unsur mitigasi sebelumnya
(penilaian bahaya dan peringatan), yang membutuhkan pengetahuan
tentang daerah yang kemungkinan terkena bencana dan pengetahuan
tentang sistem peringatan untuk mengetahui kapan harus melakukan
evakuasi dan kapan saatnya kembali ketika situasi telah aman. Tingkat
kepedulian masyarakat dan pemerintah daerah dan pemahamannya
sangat penting pada tahapan ini untuk dapat menentukan langkahlangkah yang diperlukan untuk mengurangi dampak akibat bencana.
Selain itu jenis persiapan lainnya adalah perencanaan tata ruang yang
menempatkan lokasi fasilitas umum dan fasilitas sosial di luar zona
bahaya bencana (mitigasi non struktur), serta usaha-usaha keteknikan
untuk membangun struktur yang aman terhadap bencana dan
melindungi struktur akan bencana (mitigasi struktur). Contoh:
merencanakan kesiagaan; latihan keadaan darurat, system peringatan.
3. Fase respon: upaya memperkecil kerusakan yang disebabkan oleh
bencana. Jenis aktivitas respon emergensi :
a. Evakuasi dan pengungsi (Evacuation and migration) Melakukan
evakuasi dan pengungsi ketempat evakuasi yang aman.
b. Pencarian dan Penyelamatan (Search and rescue SAR)
Malakukan pencaharian baik korban yang meninggal dan korban
yang hilang.
c. Penilaian paska bencana (Post-disaster assessment) Melakukan
penilaian terhadap bencana yang terjadi
d. Respon dan Pemulihan (Response and relief) Memberikan
respond an pemulihan terhadap korban bencana
e. Logistik dan suplai (Logistics and supply) Manyalurkan bantuan
logistik kepada korban bencana
f. Manajemen Komunikasi dan Informasi (Communication and
information

management)

Memberikan

informasi

dan

komunikasi kepada media massa mengenai jumlah kerugian


korban bencana

g. Respon dan pengaturan orang selamat (Survivor response and


coping)
Melakukan mendata jumlah korban bencana yang selamat baik.
Ibu Hamil, anak-anak dan orang Manula
h. Keamanan (Security) Mamberikan pelayanan

keamanan

terhadap korban jiwa, baik itu harta benda dan yang lain.
i. Manajemen pengoperasian emergensi (Emergency operations
management) Melakukan manajemen pengoperasian emergenci
pada saat terjadinya bencana
4. Fase Recovery: mengembalikan masyarakat ke kondisi normal.
Secara garis-besar, kegiatan-kegiatan utama pada tahap ini antara lain,
mencakup:
1. Pembangunan kembali perumahan dan lingkungan pemukiman
penduduk berbasis kebutuhan dan kemampuan mereka sendiri
dengan penekanan pada aspek sistem sanitasi lingkungan
organik daur-ulang.
2. Penataan kembali prasarana utama daerah yang tertimpa
bencana, khususnya yang berkaitan dengan sistem produksi
pertanian.
3. Pembangunan
pendekatan

basis-basis
penghidupan

perekonomian
berkelanjutan,

desa
terutama

dengan
pada

kedaulatan dan keamanan pangan dan ketersediaan energi yang


dapat diperbaharui (renewable energy); serta perintisan model
sistem kesehatan yang terjangkau dan efektif.
Contoh: perumahan sementara, bantuan keuangan; perawatan
kesehatan.

Anda mungkin juga menyukai