Anda di halaman 1dari 15

KepadaYth :

TINJAUAN PUSTAKA
Dipresentasikan pada:
Hari / Tanggal :
Jam

2016

PENGOBATAN TERBARU PADA SIFILIS

Oleh:
Erick Thungady
Pembimbing:
Dr.dr. A.A.G.P Wiraguna, Sp.KK(K), FINSDV,FAADV

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I


BAGIAN / SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNUD / RSUP SANGLAH
DENPASAR

2016
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI
BAB I : PENDAHULUAN ..............................................................................................1
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA .....................................................................................2
2.1 SIFILIS .................................................................................................................2
2.1.1 Epidemiologi ...............................................................................................2
2.1.2 Patogenesis ..................................................................................................3
2.1.3 Etiologi ........................................................................................................4
2.1.4 Gejala Klinis ................................................................................................5
2.1.5 Diagnosis .....................................................................................................7
2.1.6 Penatalaksanaan Sifilis ................................................................................8
2.1.7 Rekomendasi Pengobatan pada Sifilis .......................................................10
BAB III : RINGKASAN ................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................15

DAFTAR TABEL
Tabel 1: Keuntungan dan Kerugian Pemeriksaan Diagnostik Sifilis ................................7

BAB I
PENDAHULUAN
Sifilis adalah penyakit menular seksual yang sangat infeksius, disebabkan oleh bakteri berbentuk
spiral, Treponema pallidum subspesies pallidum. Schaudinn dan Hoffmann pertama kali
mengidentifikasi Treponema pallidum sebagai penyebab sifilis pada tahun 1905. Schaudin memberi
nama organisme ini dari bahasa Yunani trepo dan nema, dengan kata pallida dari bahasa Latin.1,2
Angka sifilis di Amerika terus menurun sejak tahun 1990, jumlahnya dibawah 40.000 kasus
per tahun. Center for Disease Control (CDC) melaporkan hanya 11,2 kasus sifilis per 100.000
populasi pada tahun 2000 dan kasus ini terpusat di kota besar dan wilayah tertentu. Penyebaran
sifilis di dunia telah menjadi masalah kesehatan yang besar dan umum, dengan jumlah kasus 12 juta
3

per-tahun. Hasil penelitian Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM,
dari 24 lapas dan rutan di Indonesia didapatkan prevalensi sifilis 8,5% pada responden perempuan
dan 5,1% pada responden laki-laki.4,5
Penularan sifilis biasanya melalui kontak seksual dengan pasangan yang terinfeksi, kontak
langsung dengan lesi/luka yang terinfeksi atau dari ibu yang menderita sifilis ke janinnya melalui
plasenta pada stadium akhir kehamilan. Sifilis dapat disembuhkan pada tahap awal infeksi, tetapi
apabila dibiarkan penyakit ini dapat menjadi infeksi yang sistemik dan kronik. Infeksi sifilis dibagi
menjadi sifilis stadium dini dan lanjut. Sifilis stadium dini terbagi menjadi sifilis primer, sekunder,
dan laten dini. Sifilis stadium lanjut termasuk sifilis tersier (gumatous, sifilis kardiovaskular dan
neurosifilis) serta sifilis laten lanjut.1,2,4
Tinjauan pustaka ini akan lebih banyak membahas mengenai penatalaksanaan sifilis
berdasarkan pedoman penatalaksanaan yang terbaru tahun 2015.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sifilis
Sifilis adalah infeksi yang disebabkan oleh Treponema pallidum subspecies pallidum. Sifilis dapat
menyebabkan penyakit yang serius pada orang yang terinfeksi setelah lahir dan terutama pada orang
yang terinfeksi dalam rahim. Manifestasinya terutama pada kulit, membuatnya menarik dan penting
untuk dermatolog, terutama karena morbiditas dari sifilis meningkat di negara maju dan di negara
berkembang.1
2.1.1 Epidemiologi
Insidensi sifilis di Amerika mulai meningkat pada akhir tahun 2000, dan semakin meningkat secara
nasional sampai 2009. Epidemi sifilis semakin berkembang terutama pada laki-laki yang
berhubungan seksual dengan laki-laki (LSL). Insidensi dari sifilis dan penyakit infeksi menular
seksual (IMS) lainnya pada LSL telah menurun selama epidemi AIDS dan meningkatnya kejadian
berikutnya antara LSL telah dikaitkan oleh sejumlah faktor, termasuk penurunan praktik seks aman
akibat penanganan HIV yang sukses, penggunaan Internet untuk bertemu dengan mitra seks, dan
4

peningkatan penggunaan narkoba, termasuk methamphetamine dan obat-obatan disfungsi ereksi.


Tingkat rasio penderita sifilis laki-laki dan perempuan sangat bervariasi, namun, umumnya lebih
tinggi pada kota-kota besar di seluruh dunia. Wabah antara pria dan wanita heteroseksual terus
terjadi secara sporadis, dan sifilis pada kalangan heteroseksual telah muncul kembali sebagai
masalah kesehatan masyarakat. Dibandingkan dengan orang yang memiliki tidak pernah menderita
sifilis, orang dengan riwayat sifilis berada pada risiko tinggi untuk terinfeksi sifilis berulang.1,3,21

2.1.2 Patogenesis
Penularan bakteri ini biasanya melalui hubungan seksual (membran mukosa vagina dan uretra),
kontak langsung dengan lesi/luka yang terinfeksi atau dari ibu yang menderita sifilis ke janinnya
melalui plasenta pada stadium akhir kehamilan. Treponema pallidum masuk dengan cepat melalui
membran mukosa yang utuh dan kulit yang lecet, kemudian kedalam kelenjar getah bening, masuk
aliran darah, kemudian menyebar ke seluruh organ tubuh. Bergerak masuk keruang intersisial
jaringan dengan cara gerakan cork-screw (seperti membuka tutup botol). Beberapa jam setelah
terpapar terjadi infeksi sistemik meskipun gejala klinis dan serologi belum kelihatan pada saat itu.
Darah dari pasien yang baru terkena sifilis ataupun yang masih dalam masa inkubasi bersifat
infeksius. Waktu berkembang biak Treponema pallidum selama masa aktif penyakit secara invivo
30-33 jam. Lesi primer muncul di tempat kuman pertama kali masuk, biasa-nya bertahan selama 4-6
minggu dan kemudian sembuh secara spontan. Pada tempat masuknya, kuman mengadakan
multifikasi dan tubuh akan bereaksi dengan timbulnya infiltrat yang terdiri atas limfosit, makrofag
dan sel plasma yang secara klinis dapat dilihat sebagai papul. Reaksi radang tersebut tidak hanya
terbatas di tempat masuknya kuman tetapi juga di daerah perivaskuler (Treponema pallidum berada
diantara endotel kapiler dan sekitar jaringan), hal ini mengakibatkan hipertrofi endotel yang dapat
menimbulkan obliterasi lumen kapiler (endarteritis obliterans). Kerusakan vaskular ini
mengakibatkan aliran darah pada daerah papula tersebut berkurang sehingga terjadi erosi atau ulkus
dan keadaan ini disebut chancre.2
Informasi mengenai patogenesis sifilis lebih banyak didapatkan dari percobaan hewan
karena keterbatasan informasi yang dapat diambil dari penelitian pada manusia. Penelitian yang
dilakukan pada kelinci percobaan, dimana dua Treponema pallidum diinjeksikan secara intrakutan,
menyebabkan lesi positif lapangan gelap pada 47% kasus. Peningkatan kasus mencapai 71% dan
100% ketika 20 dan 200.000 Treponema pallidum diinokulasikan secara intrakutan pada kelinci
percobaan. Periode inkubasi bervariasi tergantung banyaknya inokulum, sebagai contoh 10
5

Treponema pallidum akan menimbulkan chancre dalam waktu 5-7 hari. Organisme ini akan muncul
dalam waktu beberapa menit didalam kelenjar limfe dan menyebar luas dalam beberapa jam,
meskipun mekanisme Treponema pallidum masuk sel masih belum diketahui secara pasti.
Dikatakan bahwa perlekatan Treponema pallidum dengan sel host melalui ligan spesifik yaitu
molekul fibronektin.2
Sifat yang mendasari virulensi Treponema pallidum belum dipahami selengkapnya, tidak
ada tanda-tanda bahwa kuman ini bersifat toksigenik karena didalam dinding selnya tidak
ditemukan eksotoksin ataupun endotoksin. Meskipun didalam lesi primer dijumpai banyak kuman
namun tidak ditemukan kerusakan jaringan yang cukup luas karena kebanyakan kuman yang berada
diluar sel akan terbunuh oleh fagosit, tetapi terdapat sejumlah kecil Treponema pallidum yang dapat
tetap dapat bertahan di dalam sel makrofag dan di dalam sel lainya yang bukan fagosit misalnya sel
endotel dan fibroblas. Keadaan tersebut dapat menjadi petunjuk mengapa Treponema pallidum
dapat hidup dalam tubuh manusia dalam jangka waktu yang lama, yaitu selama masa asimptomatik
yang merupakan ciri khas dari penyakit sifilis.2
2.1.3 Etiologi
Sifilis adalah infeksi yang disebabkan oleh Treponema pallidum subspecies pallidum. Sifilis di
transmisikan melalui kontak langsung dengan lesi yang infeksius atau melalui transmisi vertical
(jalur trans-plasenta) selama kehamilan.6 Kira-kira sepertiga dari kontak seksual dengan sifilis yang
infeksius akan menyebabkan penyakit (tingkat transmisi 10-60%).4 Fokal infeksi dari bakteri
biasanya adalah genital pada pasien heteroseksual tetapi transmisi dari laki-laki yang berhubungan
seksual dengan laki-laki (LSL) mungkin terjadi melalui ekstra-genital (anal,oral) melalui kontak
oral-anal atau genital-anal. Penguna narkoba suntik dan transfusi darah juga merupakan jalur
transmisi yang potensial.4 Transmisi secara vertikal dapat terjadi pada semua stadium kehamilan.
Resiko dari transmisi bervariasi tergantung dari stadium sifilis.7,

2.1.4 Gejala Klinis


Perjalanan penyakit sifilis bervariasi dan biasanya dibagi menjadi sifilis stadium dini dan lanjut
pada orang dewasa dan sifilis kongenital pada bayi. Stadium dini lebih infeksius dibandingkan
dengan stadium lanjut. Sifilis stadium dini terbagi menjadi sifilis primer, sekunder dan laten dini.
Sifilis stadium lanjut termasuk sifilis tersier (gumatous, sifilis kardio-vaskular, neurosifilis) dan
6

sifilis laten lanjut sedangkan sifilis kongenital dibagi menjadi sifilis kongenital dini dan sifilis
kongenital lanjut.1,2,4,18
a. Sifilis Primer
Manifestasi klinis awal sifilis adalah papul kecil soliter, kemudian dalam satu sampai beberapa
minggu, papul ini berkembang menjadi ulkus. Lesi klasik dari sifilis primer disebut dengan
chancre, ulkus yang keras dengan dasar yang bersih, tunggal, tidak nyeri, merah dan berbatas
tegas. Chancre dapat ditemukan dimana saja tetapi paling sering di penis, serviks, dinding
vagina, rektum dan anus. Dasar chancre banyak mengandung kuman treponema yang dapat
dilihat dengan mikroskop lapangan gelap atau imunofluresen pada sediaan kerokan chancre. 8
Ada juga morfologi lain dari variasi lesi pada stadium primer yang menyebabkan kesulitan
dalam mendiagnosis. Pada sifilis primer sering dijumpai limfadenopati regional, tidak nyeri, dan
muncul pada 80% pasien dan sering berhubungan dengan lesi genital. Chancre ekstragenital
paling sering ditemukan di rongga mulut, jari tangan dan payudara. Masa inkubasi chancre
bervariasi dari 3-90 hari dan sembuh spontan dalam 4 sampai 6 minggu.4,8,19
b. Sifilis Sekunder
Apabila tidak diobati, gejala sifilis sekunder akan mulai timbul dalam 2 sampai 6 bulan setelah
pajanan, 2 sampai 8 minggu setelah chancre muncul. Sifilis sekunder adalah penyakit sistemik
dengan treponema yang menyebar dari chancre dan kelenjar limfe ke dalam aliran darah dan ke
seluruh tubuh, dan menimbulkan beragam gejala yang jauh dari lokasi infeksi semula. Sistem
yang paling sering terkena adalah kulit, limfe, saluran cerna, tulang, ginjal, mata, dan susunan
saraf pusat. Tanda tersering pada sifilis sekunder adalah ruam kulit makulopapular yang terjadi
pada 50% - 70% kasus. Lesi biasanya simetris, tidak gatal dan dapat meluas. Treponema
pallidum dapat menginfeksi folikel rambut yang menyebabkan alopesia pada kulit kepala.
Bersamaan dengan munculnya lesi sekunder, sekitar 10% pasien mengidap kondiloma lata.
Lesinya berukuran besar, muncul di daerah yang hangat dan lembab termasuk di perineum dan
anus. Inflamasi lokal dapat terjadi di daerah membran mukosa mulut, lidah dan genital. Pada
kasus yang jarang bisa ditemukan sifilis sekunder disertai dengan kelainan lambung, ginjal dan
hepatitis. Treponema pallidum telah ditemukan pada sampel biopsi hati yang diambil dari pasien
dengan sifilis sekunder. Glomerulonefritis terjadi karena kompleks antigen treponemaimunoglobulin yang berada pada glomeruli yang menyebabkan kerusakan ginjal. Sekitar 5%
pasien dengan sifilis sekunder memperlihatkan gejala neurosifilis termasuk meningitis dan
penyakit mata.4,8,20
c. Sifilis Laten
7

Sifilis laten atau asimtomatik adalah periode hilangnya gejala klinis sifilis sekunder sampai
diberikan terapi atau gejala klinik tersier muncul. Sifilis laten dibagi lagi menjadi dua bagian
yaitu sifilis laten dini dan lanjut. Sifilis laten dini terjadi kurang satu tahun setelah infeksi
sedangkan sifilis laten lanjut setelah satu tahun dari infeksi.
d. Sifilis Tersier
Sifilis tersier dapat muncul sekitar 3-15 tahun setelah infeksi awal dan dapat dibagi dalam tiga
bentuk yaitu; sifilis gumatous sebanyak 15%, neurosifilis lanjut (6,5%) dan sifilis
kardiovaskular sebanyak 10%. Karakteristik pada stadium ini ditandai dengan adanya guma
kronik, lembut, seperti tumor yang inflamasi dengan ukuran yang berbeda-beda. Guma ini
biasanya mengenai kulit, tulang dan hati tetapi dapat juga muncul dibahagian lain.9
e. Sifilis Kongenital
Sifilis kongenital dibagi menjadi sifilis kongenital dini dan sifilis kongenital lanjut. Sifilis
kongenital dini terjadi dalam 2 tahun awal dengan manifestasi tersering berupa ruam, rhinitis
hemorragik, limfadenopati generalisata, hepatosplenomegaly, kelainan tulang, kondiloma lata,
fisura perioral, glomerulonephritis, serta kelainan neurologis serta mata. Sifilis kongenital lanjut
terjadi pada bayi diatas 2 tahun dengan tanda yang terbentuk sebagai hasil inflamasi kronis dan
persisten menyerupai guma pada orang dewasa, Stigma dari kelainan kongenital berupa keratitis
interstitial, sendi clutton, gigi Hutchinson, dan molar mulberi, tuli sensorineural, deformitas
saddlenose, serta keterlibatan neurologis.4
2.1.5 Diagnosis
Diagnosis sifilis dibuat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan laboratorium.
Anamnesis yang penting pada pasien adalah partner seksual penderita serta riwayat penyakit
sebelumnya. Sifilis primer didiagnosis berdasarkan gejala klinis ditemukannya satu atau lebih
chancre. Sifilis sekunder ditandai dengan ditemukannya lesi mukokutaneus yang terlokalisir atau
difus dengan limfadenopati, serta masih dapat ditemukan chancre. Diagnosis sifilis laten
berdasarkan tes serologis karena biasanya tanpa gejala klinis. Diagnosis sifilis tersier berdasarkan
gejala klinis yang paling sering adalah ditemukan guma.4
Diagnosis laboratorium sifilis telah dilaporkan dapat menghemat biaya dalam diagnosis
sifilis. Gold standar untuk diagnosis sifilis adalah kultur secara invivo dengan menginokulasikan
sampel pada testis kelinci. Prosedur ini butuh biaya besar dan waktu yang lama sampai beberapa
bulan, sehingga kultur hanya dipakai dalam hal penelitian saja. Meskipun Treponema pallidum
tidak dapat di kultur secara invitro, ada banyak tes untuk mendiagnosis sifilis secara langsung dan
tidak langsung.10,11,16,17
8

Pada Tabel 1 diuraikan beberapa pemeriksaan diagnostik sifilis yang paling sering
dikerjakan beserta keuntungan dan kerugiannya.
Tabel 1 Keuntungan dan Kerugian Pemeriksaan Diagnostik Sifilis12,13
Pemeriksaan

Keuntungan

Kerugian

Lapangan Alat diagnostik definitif untuk sifilis Memerlukan mikroskop khusus

Mikroskop
Gelap

primer dan sekunder

Memerlukan ahli mikroskopis handal

Murah

Mungkin dikaburkan oleh sprocheta nonpatogenik

Cepat

Umumnya tidak direkomendasikan untuk lesi oral karena


spesifisitasnya

rendah

akibat

adanya

spirocheta

nonpatogenik
Harus dibaca dengan cepat
Hasil negatif palsu meningkat dengan penggunaan
substansi topikal (sabun)
Sensitivitas menurun jika lesi menyembuh
Fluorescent Lebih spesifik jika menggunakan Waktu pengerjaan bisa 1-2 hari sehingga pasien perlu

Direct

Antibody (DFA-TP)

antibodi monoklonal

datang kembali untuk pengobatan

Tersedia secara komersial tapi jarang Memerlukan mikroskop flioresen


dipakai

Antibodi monoklonal hanya tersedia dari CDC, walaupun

Bermakna sama dengan mikroskop

antibodi poliklonal tersedia secara komersial

lapangan gelap
Pemeriksaan

Serologis Cepat dan murah

Nontreponemal

Mungkin kurang sensitif pada stadium tertentu (primer

(RPR, Mudah dikerjakan

VDRL, TRUST)

dan laten lanjut)

Dapat bersifat kualitatif maupun Terdapat kecenderungan hasil positif palsu biologis
Dapat terjadi fenomena prozon

kuantitatif

Dipergunakan untuk menilai respon Dipengaruhi oleh suhu (< 23o C dapat terjadi negatif palsu,
> 28oC dapat terjadi positif palsu)

terapi
Dapat

menilai

kemungkinan

reinfeksi
Pemeriksaan
treponemal

serologis Lebih
(TPPA,

TPHA, FTA-ABS)
Enzyme
(EIA)

spesifik

dibandingkan Lebih mahal dibandingkan pemeriksaan nontreponemal

pemeriksaan nontreponemal

Dapat reaktif dalam jangka waktu lama

Lebih sensitif untuk stadium lanjut

immunoassay IgM

EIA tidak tersedia

komersial

secara Tidak bersifat kuantitatif sehingga hasil positif perlu


dilakukan pemeriksaan nontreponemal

2.1.6 Penatalaksanaan Sifilis


Penatalaksanaan sifilis secara umum meliputi skrining pemeriksaan infeksi menular seksual (IMS)
lain termasuk HIV. Pasien harus diberikan penjelasan secara rinci mengenai sifilis, termasuk
implikasi jangka panjang terhadap kesehatan diri dan pasangan serta keluarganya. Terdapat sedikit
studi yang memberikan informasi mengenai lama puasa berhubungan seksual selama pengobatan,
tetapi pasien disarankan untuk menahan diri untuk melakukan kontak seksual sampai lesi dari sifilis
9

primer (jika ada) benar-benar sembuh dan sampai 2 minggu setelah selesai pengobatan. Data klinis
mengenai dosis optimal dan lama pengobatan serta efikasi jangka panjang dari antimikroba lain
selain penisilin masih kurang. Rekomendasi pemberian antimikroba ini hanya berdasarkan
pertimbangan laboratorium, pendapat ahli, studi kasus serta pengalaman klinis. Penatalaksanaan
secara parenteral lebih di pilih daripada secara oral karena terapi ini dapat diamati dan
bioavailabilitasnya di jamin.25,26,27
Semua ibu hamil harus diberikan skrining serologis terhadap sifilis pada saat pemeriksaan
antenatal pertama. Tes harus diulang pada kehamilan jika terdapat kemungkinan infeksi setelah
pemeriksaan awal dengan hasil negatif. Pada wanita dengan hasil serologi treponema positif harus
di rujuk ke dokter yang lebih ahli. Pemeriksaan titer TPT/VDRL harus dilakukan pada pemeriksaan
antenatal pertama, dan jika terdapat resiko reinfeksi pada kehamilan berikutnya. Jika pemeriksaan
RPR/VDRL menunjukkan tidak ada reinfeksi maka ibu hamil tidak memerlukan penanganan lebih
lanjut dan tidak perlu untuk melakukan pemeriksaan sifilis pada neonatus. 4 Ibu hamil perlu dirujuk
pada ahli fetomaternal apabila umur kehamilan mencapai 26 minggu. Infeksi sifilis pada fetus dapat
dideteksi

dengan

pemeriksaan

ultrasonografi

untuk

mendeteksi

hidrops

fetalis

atau

hepatosplenomegali. Penilaian terhadap fetus akan membantu perawatan antepartum dan


penanganan neonatus. Pengobatan terhadap wanita yang memiliki riwayat sifilis yang telah diterapi
sebelum masa konsepsi dapat dipertimbangkan apabila terdapat keraguan mengenai pengobatan
yang adekuat sebelumnya dan tidak ditemukan penurunan sebanyak empat kali lipat. Perubahan
fisiologis pada kehamilan dapat mengubah farmakokinetik obat dan dapat menyebabkan penurunah
dari konsentrasi penisilin dalam plasma. Untuk alasan ini, ketika pengobatan dimulai pada
trismester ketiga, dosis kedua dari benzatin penisilin direkomendasikan satu minggu setelah
pemberian yang pertama dengan penilaian secara hati-hati terhadap neonatus pada saat
kelahiran.22,23,24
Sifilis kongenital jarang terjadi di eropa, diagnosis dari sifilis kongenital sangat susah
dikarenakan kebanyakan dari neonatus yang terinfeksi tampak normal pada saat lahir. Semua anak
yang lahir dengan ibu yang memiliki tes serologi treponemal yang postitif memerlukan evaluasi
klinis dan pemeriksaan serologi sifilis. Bayi yang lahir dengan ibu yang didiagnosis sifilis dan
diterapi selama kehamilan perlu untuk melakukan tes RPR atau VDRL dan tes IgM pada saat
kelahiran dan usia tiga bulan, dan tiga bulan sampai negatif. Apabila titer ini stabil atau meningkat,
maka bayi ini harus di evaluasi dan di berikan terapi untuk sifilis kongenital. Anak pasien yang lain
juga perlu untuk diberikan skrining sifilis jika terdapat diagnosis sifilis pada orang tua atau anak
yang sedang dikandung juga didiagnosis sifilis kongenital.28,29
10

Sebagian besar ahli dan pedoman merekomendasikan pengobatan yang sama pasien dengan
infeksi HIVmaupun dengan infeksi HIV. Pasien dengan infeksi HIV memiliki kemungkinan
kegagalan pengobatan yang tinggi jika dibandingkan dengan pasien tanpa infeksi HIV, walaupun
dikatakan bahwa kemungkinan ini sangat kecil. Pengobatan yang lebih lama dan pemberian
antibiotic tambahan juga dikatakan tidak memberikan hasil yang lebih baik. Pengamatan serologi
yang hati-hati direkomendasikan terutama apabila pasien diberikan pengobatan non-penisilin.
Pasien yang mengkonsumsi ART menunjukkan perbaikan klinis dan menurunkan kemungkinan
kegagalan tes serologis. Peningkatan titer RPR atau VDRL sebagian besar lebih dikaitkan dengan
reinfeksi dibandingkan dengan kegagalan pengobatan. Efikasi dari regimen non-penisilin pada
pasien dengan HIV positif belum diteliti lebih mendalam. Pasien dengan alergi penisilin yang terapi
maupun pengamatan lanjutannya sulit untuk dievaluasi perlu untuk di desensitisasi dan di terapi
dengan penisilin. Terapi non-penisilin hanya dapat diberikan pada pasien dengan pengamatan klinis
dan tes serologis yang ketat. Beberapa studi kasus mengatakan pemberian ceftriaxone mungkin
efektif, walaupun dosis maupun lama pengobatannya belum diuji lebih lanjut.30
2.1.7 Rekomendasi Pengobatan Pada Sifilis
Terdapat beberapa rekomendasi regimen untuk pengobatan sifilis. Pengobatan ini
berdasarkan atas gejala klinis maupun hasil tes laboratorium pasien.4
a) Pengobatan Secara Epidemiologi/ Kemungkinan Besar Terdapat Inkubasi Sifilis
Regimen pengobatan untuk pasien yang memiliki potensi sedang dalam masa inkubasi
meliputi :
1) Benzatin Penisilin G 2,4 juta unit, intramuskular, dosis tunggal
2) Doksisiklin 100 mg peroral, dua kali sehari selama 14 hari
3) Azitromisin 2 gram peroral
b) Sifilis Stadium Primer, Sekunder dan Laten Dini
1) Benzatin Penisilin G 2,4 juta unit, intramuskular, dosis tunggal
Terapi Alternatif
1) Prokain Penisilin G 600.000 unit, intramuskular setiap hari selama 10 hari
2) Doksisiklin 100 mg peroral dua kali sehari selama 14 hari
3) Ceftriaxone 500 mg intramuscular setiap hari selama 10 hari (apabila tidak terdapat
reaksi anafilaksis dengan penisilin)
4) Amoxicillin 500 mg peroral empat kali sehari ditambah Probenesid 500 mg empat kali
sehari selama 14 hari
5) Azitromisin 2 gram peroral atau Azitromisin 500 mg setiap hari selama 10 hari14,15
6) Eritromisin 500 mg peroral empat kali sehari selama 14 hari
c) Sifilis Laten Lanjut, Sifilis Kardiovaskuler, Sifilis Gumamatosa
1) Benzatin Penisilin 2,4 juta unit, intramuskular, setiap minggu (tiga dosis)
11

Terapi Alternatif
1) Doksisiklin 100 mg peroral dua kali sehari selama 28 hari
2) Amoxicillin 2 gram peroral tiga kali sehari ditambah probenesid 500 mg empat kali

sehari selama 28 hari


Steroid harus diberikan dengan semua antibiotik anti-treponema untuk sifilis kardiovaskular
diberikan 40-60 mg prednisolone sekali sehari selama tiga hari dimulai 24 jam sebelum

pemberian antibiotik.
d) Neurosifilis termasuk Keterlibatan Neuro-oftalmologis pada Sifilis Primer
1) Prokain Penisilin 1,8 juta unit 2,4 juta unit, intaramuskular sekali sehari ditambah
probenesid 500 mg peroral empat kali sehari selama 14 hari
2) Benzil Penisilin 10,8-14,4 gram setiap hari dengan cara pemberian 1,8-2,4 gram
intravena setiap empat jam selama 14 hari
Terapi Alternatif
1) Doksisiklin 200 mg peroral dua kali sehari selama 28 hari
2) Amoxicillin 2 gram peroral tiga kali sehari ditambahkan Probenesid 500 mg peroral

empat kali sehari selama 28 hari


3) Ceftriaxone 2 gram, intramuscular atau intravena selama 10-14 hari
Steroid harus diberikan dengan semua antibiotik anti-treponema untuk sifilis kardiovaskular
diberikan 40-60 mg prednisolone sekali sehari selama tiga hari dimulai 24 jam sebelum

pemberian antibiotik.
e) Sifilis Stadium Dini pada Kehamilan
1) Benzatin Penisilin G 2,4 juta unit, intramuscular dosis tunggal ( Trismester satu dan dua
( termasuk umur kehamilan 27 minggu 6 hari )
2) Benzatin Penisilin G 2,4 juta unit, intramuscular, pada hari pertama dan kedelapan
Terapi Alternatif ( Ketiga Trismester )
1) Prokain Penisilin G 600.000 unit, intramuscular setiap hari selama 10 hari
2) Amoxicillin 500 mg peroral, empat kali sehari ditambahkan Probenesid 500 mg peroral
empat kali sehari selama 14 hari
3) Ceftriaxone 500 mg, intramuscular setiap hari selama 10 hari
4) Eritromisin 500 mg peroral empat kali sehari selama 14 hari
5) Azitromisin 500 mg peroral setiap hari selama 10 hari
f) Sifilis Stadium Lanjut pada Kehamilan
1) Benzatin Penisilin G 2,4 juta unit, intramuscular pada hari ke 1, 8, dan 15 ( tiga dosis )

(Sifilis Laten Lanjut, Sifilis Kardiovaskular dan Sifilis Gummatosa)


Steroid harus diberikan dengan semua antibiotik anti-treponema untuk sifilis kardiovaskular
diberikan 40-60 mg prednisolone sekali sehari selama tiga hari dimulai 24 jam sebelum
pemberian antibiotik.
Terapi Alternatif
1) Prokain Penisilin G 600.000 unit, intramuscular sekali sehari selama 14 hari
12

2) Amoxicillin 2 gram peroral tiga kali sehari ditambah Probenesid 500 mg empaat kali
sehari selama 28 hari
g) Neurosifilis pada Kehamilan
1) Prokain Penisilin G 1,8-2,4 juta unit, intramuscular, sekali sehari ditambahkan
Probenesid 500 mg peroral empat kali sehari selama 14 hari
2) Benzil Penisilin 10,8-14,4 gram setiap hari dengan cara pemberian 1,8-2,4 gram
intravena setiap 4 jam selama 14 hari
Terapi Alternatif
1) Amoxicillin 2 gram peroral tiga kali sehari ditambah Probenesid 500 mg peroral empat
kali sehari selama 28 hari
2) Ceftriaxone 2 gram, intramuskular ( dengan lidokasin sebagai pengencer ) atau intravena
( dengan aquadest sebagai pengencer bukan lidokain) selama 10-14 hari ( jika tidak

terdapat reaksi anafilaksis terhadap penisilin )


Steroid harus diberikan dengan semua antibiotik anti-treponema untuk sifilis kardiovaskular
diberikan 40-60 mg prednisolone sekali sehari selama tiga hari dimulai 24 jam sebelum

pemberian antibiotik.
h) Sifilis pada Pasien dengan HIV Positif
1) Pengobatan pasien dengan HIV positif diberikan pengobatan yang sama dengan pasien
HIV negatif
i) Sifilis Kongenital
1) Natrium Benzil Penisilin 60-90 mg/KgBB setiap hari, intravena dalam dosis terbagi
diberikan dengan cara 30 mg/KgBB setiap 12 jam pada 7 hari pertama kehidupan dan
setiap 8 jam setelahnya selama 10 hari
Terapi Alternatif
1) Prokain Penisilin 50.000 mikro/KgBB intramuscular setiap hari selama 10 hari
BAB III
RINGKASAN
Sifilis merupakan salah satu infeksi menular seksual yang disebabkan oleh Treponema pallidum.
Penularan sifilis biasanya melalui kontak seksual dengan pasangan yang terinfeksi, kontak langsung
dengan lesi/luka yang terinfeksi atau dari ibu yang menderita sifilis ke janinnya melalui plasenta
pada stadium akhir kehamilan. Sifilis dapat disembuhkan pada tahap awal infeksi, tetapi apabila
dibiarkan penyakit ini dapat menjadi infeksi yang sistemik dan kronik. Infeksi sifilis dibagi menjadi
sifilis stadium dini dan lanjut. Sifilis stadium dini terbagi menjadi sifilis primer, sekunder, dan laten
dini. Sifilis stadium lanjut termasuk sifilis tersier (gumatous, sifilis kardiovaskular dan neurosifilis)
serta sifilis laten lanjut.
13

Pada pedoman penatalaksanaan terbaru pada sifilis terdapat beberapa perubahan yang
penting yaitu prokain penisilin sekarang merupakan terapi alternatif. Resistensi terhadap antibiotika
makrolida membatasi kemampuannya, biasanya hanya digunakan jika tidak ada terapi alternatif
yang lain yang dapat digunakan dengan pengamatan yang lebih ketat. Rekomendasi pengobatan
neurosifilis dirubah menjadi 14 hari sesuai dengan pengalaman ahli dan pedoman lain.

DAFTAR PUSTAKA
1. Katz, K.A. Syphilis. In: Goldsmith, L.A., Katz, S.I., Gilchrest, B.A., Paller, A.S., Leffell,
D.J.,Wolff, K., eds. Fitzpatricks Dermatology in General Medicine. Eight Edition. New
York: McGraw-Hill; 2012, p.2471-92.
2. Efrida, Elvinawaty. Imunopatogenesis Treponema pallidum dan Pemeriksaan Serologi.
Jurnal Kesehatan Andalas. 2014; 3(3).
3. Sparling, P.F. Morton, N.S. Daniel, M.M. and Benardine, P.H Clinical Manifestations of
Syphilis. In: Holmes, KK, Sparling PF, Stamn WE, Piot P, Wasserheit JN, Corey L, Cohen
MS, Watts DH. Sexually Transmmitted Diseases. 4 th edition. New York: Mcgrawth-Hill;
2008. p. 661-84.
4. Kingston M, French P, Higgins S et al. UK national guidelines on the management of
syphilis 2015. Intional Journal of STD and AIDS OnlineFirst, published on December 31,
2015 as doi:10.1177/0956462415624059.
5. Aman M. Penelitian Prevalensi HIV dan Sifilis serta Prilaku Berisiko Terinfeksi HIV pada
Narapidana di Lapas/Rutan di Indonesia, 2010. Direktorat Jenderal Pemasyarakatan
Kementerian Hukum dan HAM.
6. Lafond RE and Lukehart SA. Biological basis for syphilis. Clin Microbiol Rev 2006; 19:
2949.
7. Sheffield JS, Sa nchez PJ, Morris G, et al. Congenital syphilis after maternal treatment for
syphilis during pregnancy. Am J Obstet Gynecol 2002; 186: 569573.
8. Prince SA, Wilson LM. Sifilis dalam Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit,
6th, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. 2006. Hlm 1338-40.
14

9. Pommerville JC. Syphilis is a chronic infection disease. In: Alcamos Fundamentals of


Microbiology, Body Systems Edition, Jones and Bartlett Publishers. 2010. Hlm 822-5.
10. Winn W, Allen S, Janda W, Koneman E, Procop G, Schreckenberger P, Woods G.
Spirochetal infections, in Konemans Color Atlas and Textbook of Diagnostic Microbiology,
7th ed, Lippincott Williams & Wilkins. 2006. hlm. 1125-34.
11. Ratnam S. The laboratory diagnosis of syphilis. Can J Infect Dis Med Microbiol, Canadian
STI Best Practice Laboratory Guidelines. 2005
12. Mattei, P.L., Beachkofsky, T.M., Gilson, R.T., Wisco, O.J. Syphilis: A Reemerging
Infection. American Family Physician. 2012; 86(5): 433-440.
13. Cherneskie, T. An Update and Review of the Diagnosis and Management of Syphilis.
Region II STD/HIV Prevention Training Center. New York: 2006.
14. Riedner G, Rusizoka M, Todd J, et al. Single-dose azithromycin versus penicillin G
benzathine for the treatment of early syphilis. N Engl J Med 2005; 353:12361244.
15. Hook EW, Behets F, Van Damme K, et al. A phase III equivalence trial of azithromycin
versus benzathine penicillin for treatment of early syphilis. J Infect Dis 2010;201: 1729
1735.
16. Public Health England. Syphilis Serology. Virology. 2015; 44(2): 1-23.
17. Public health England. Serological Diagnosis of syphilis. Virology. 2014; 44(1.3): 1-12.
18. Singh, A., Romanowski, B. Syphilis: Review with Emphasis on Clinical, epidemiologic and
Some Biologic Feature. Clin Microbiol Rev. 1999; 12(2): 187-209.
19. Vader, P.C. IUISTI/WHO Europe Workshop on Management of Syphilis: 6 scientific
background paper. IUSTI Europe Conference on STI. 2004
20. Musher, D.M. Neurosyphilis: Diagnosis and Response to Treatment. CID. 2008; 47: 900902.
21. Lukehart, S.A. Biology of Treponemes. In: Holmes, K.K., Sparling, P.F., Stamm, W.E., Piot,
P., Wasserheit, J.N., Corey, L., Cohen, M.S., Watts, D.H., eds. Sexually Transmitted Disease.
4th edition. New York: McGraw Hill; 2008, p. 647-660.
22. Margaret, P.F. A review of the biology and the laboratory diagnosis of Treponema pallidum
infections. Journal of Continuing Education Topics and Issues. 2011; 13(3): 1-10.
23. Association of Public Health Laboratories. Laboratory diagnostic testing for Treponema
pallidum. Expert Consultation Meeting Summary Report. Atlanta: 2009.
24. Avelleira, J.C., Bottino, G. Syphilis: diagnosis, treatment and control. An Bras Dermatol.
2006; 81(2): 111-26.
25. Causer, L.M., Keldor, J.M., Fairley, C.K., Donovan, B., Karapanagiotidis, T., Leslie, D.E.,
Robertson, P.W., McNulty, A.M., Anderson, D., Wand, H., Conway, D.P., Denham, I., Ryan,
C., Guy, R.J. A Laboratory-based Evaluation of Four Rapid Point-of-Care Tests for Syphilis.
PLOS One. 2014; 9(3): 1-7.
26. Mo, X., Jin, Y., Yang, Y., Hu, W., Gu, W. Evaluation of new chemiluminescence
immunoassay for diagnosis of syphilis. European Journal of Medical research. 2010; 15:
66-69.
27. Byrne, R.E. Evaluation of a Treponema pallidum western blot assay as a confirmatory test
for syphilis. J Clin Microbiol. 2002; 30: 115-122.
28. Kuypers, J., Gaydos, C.A., Peeling, R.W. Principles of Laboratory Diagnosis of STIs. In:
Holmes, K.K., Sparling, P.F., Stamm, W.E., Piot, P., Wasserheit, J.N., Corey, L., Cohen,
M.S., Watts, D.H., eds. Sexually Transmitted Disease. 4th edition. New York: McGraw Hill;
2008, p. 937.
29. Workowski, K.A., Bolan, G. Sexually Transmitted Diseases Guideline. 2014.
30. Daili, S.F., Indriatmi, W., Wiweko, S.N., Dewi, H., Tanujaya, F., Wignall, S., Anartati, A.
Pedoman Tata laksana Sifilis Untuk Pengendalian Sifilis di Layanan Kesehatan Dasar. Edisi
1. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia; 2013, p. 1-37.
15

Anda mungkin juga menyukai