Oleh:
Handri Poerniawan
02.34865.00058.09
Pembimbing:
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Pneumonia hingga saat ini masih tercatat sebagai masalah kesehatan utama pada
anak di Negara berkembang. Pneumonia merupakan penyebab utama morbiditas dan
mortalitas anak berusia di bawah lima tahun (balita). Diperkirakan hampir seperlima
kematian anak di seluruh dunia, lebih kurang 2 jta anak balita meninggal setiap tahun
akibat pneumonia, sebagian besar terjadi di Afrika dan Asia Tenggara. Menurut survei
kesehatan nasional (SKN) 2001, 27,6% kematian bayi dan 22,8% kematian balita di
Indonesia disebabkan oleh penyakit sistem pernafasan, terutama pneumonia.1
Pneumonia adalah inflamasi yang mengenai parenkim paru. Sebagian besar
disebabkan oleh mikroorganisme (virus/bakteri) dan sebagian kecil oleh sebab lain
(aspirasi, radiasi dan lain-lain). Secara klinis pada anak sulit membedakan pneumonia
bacterial dengan pneumonia viral. Namun sebagai pedoman dapat disebutkan bahwa
pneumonia bacterial awitannya cepat, batuk produktif, pasien tampak toksik, leukositosis,
dan perubahan nyata pada pemeriksaan radiologis.1
KEP adalah keadaan kurang gizi yang disebabkan rendahnya konsumsi energi dan
protein dalam makanan sehari-hari sehingga tidak memenuhi angka kecukupan gizi
(AKG). Gizi buruk akut menurut Sensus WHO menunjukkan 49% dari 10,4 juta kematian
yang terjadi pada anak dibawah lima tahun di negara berkembang. Kasus kekurangan gizi
tercatat sebanyak 50% anak-anak di Asia, 30% anak-anak Afrika, dan 20% anak-anak di
Amerika Latin. Dari kondisi tubuh balita yang menderita gizi buruk memiliki berat badan
di bawah rata-rata, berat badan/umur Balita < 60 persen berada di bawah garis merah
sehingga tergolong KEP berat.2
Indonesia, saat ini termasuk dalam kelompok negerinegeri miskin di dunia. Laporan
bank dunia terbaru menyebutkan bahwa lebih dari 100 juta penduduk negeri ini berada di
bawah garis kemiskinan. (wacana kritis eksplorasi SDA). Di antara 210 penduduk
Indonesia, terdapat 32 juta anak yang hidup di bawah garis kemiskinan. Berdasarkan data
Sensus Ekonomi Nasional terhadap balita tahun 2000 disebutkan, dari 70,6 juta balita
Indonesia, ternyata 7,53 persen atau sekitar 5,319 juta bergizi buruk, dan 17,13 persen atau
sekitar 12,09 juta balita bergizi kurang.3
1
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama
: An. S.P.
Usia
Jenis kelamin
: Laki-laki
Alamat
Orang tua:
Ayah: Nama
Ibu:
: Tn. E
Usia
: 27 tahun
Pekerjaan
: Sekuriti
Pendidikan
: SMA
Nama
: Ny. S
Usia
: 24 tahun
Pekerjaan
Pendidikan
: SMA
Agama
: Islam
Tidak ada. Namun setelah lahir, pasien dirawat di inkubator karena sesak 20 jam setelah
lahir, saat itu sianosis tidak ada, diberikan oksigen selama kurang lebih 2 hari, dan dirawat
selama 1 minggu.
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga dengan keluhan batuk. Riwayat ibu dengan pengobatan TB saat hamil
saat usia kehamilan 3 bulan hingga 1 bulan setelah melahirkan dan telah dinyatakan
sembuh.
RIWAYAT KEHAMILAN/PRENATAL
Pemeriksaan Prenatal
Tempat
Frekuensi
: 28 minggu
Jenis persalinan
: Spontan
Ditolong oleh
Komplikasi persalinan
Langsung menangis
Gangguan bernafas (-)
Langsung menyusui (-) karena tidak ada produksi ASI
: 1600 gram
: 35 cm
Frekuensi
Keluarga Berencana : Ya
4
Jenis
Gangguan
: Tidak ada
Pemberian Imunisasi:
IMUNISASI
BCG
POLIO
CAMPAK
DPT
HEPATITIS B
I
(+)
(+)
(+)
(+)
-
II
//////////////
(+)
III
//////////////
-
IV
//////////////
-
(+)
-
(+)
-
//////////////
//////////////
Perkembangan Anak
BB lahir
: 1600 gram
PB lahir
: 35 cm
BB sekarang : 4900 gram
PB sekarang : 65 cm
Gigi keluar : Tersenyum
: 3 bulan
Miring
: 6 bulan
Tengkurap
: 6 bulan
Merangkak : Berdiri
:Berjalan
:Berbicara 2 suku kata : -
PEMERIKSAAN FISIK
Dilakukan pada tanggal 14 Juli 2008
Berat badan
: 4900 kg
Panjang Badan
: 65 cm
Tanda Vital
Nadi
: 100 kali/menit
Suhu badan
: 37,5oC
Frekuensi nafas
: 45 kali/menit
Status Gizi
: 37 cm
Rambut
Ubun-ubun cekung
: (+)
Mata
Hidung
Telinga
Mulut
Leher
Kaku kuduk
: (-)
Pembesaran Kelenjar
: (-)
Dada
Inspeksi
: Gerakan simetris
Palpasi
: Thrill (-)
Perkusi
: Sonor
Auskultasi
Jantung
S1/S2 tunggal reguler
Bising
: (-)
Abdomen
Inspeksi
: Datar
Palpasi
Perkusi
: Timpani
7
Auskultasi
Genitalia
Ekstremitas
: 12 cm
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium:
Rumah Sakit Tenggarong:
Hemoglobin
: 10,5 gr%
Lekosit
: 12.7000 /mm3
Hematokrit
: 31 %
Trombosit
: 320.000 /mm3
Widal
: TO TH : 1/80
AO AH : -
: 11,5 gr%
Hematokrit
: 34,3 %
Lekosit
: 17.400 /mm3
Trombosit
: 339.000 /mm3
GDS
: 88 mg/dL
Na+
: 138 mmol
K+
: 5,0 mmol
Cl-
: 108 mmol
Rontgen Thorax:
FOLLOW UP
HARI/TANGGAL
9 Juli 2009
PEMERIKSAAN
PLANNING
Tx. IGD:
IVFD RL 6 tts/mnt makro
Ampicillin 3 x 150 mg iv (skin test)
Gentamycin 2 x 12,5 mg iv (skin test)
Mucohexin syr 3 x cth
10 Juli 2009
Broncopneumonia
KEP
(marasmus)
S: Demam (-), muntah (-), batuk (+)
P. Tx. Idem
Broncopneumonia
KEP
(marasmus)
S: benjolan di selangkangan kiri muncul
Co. Sp.A:
karena
mengedan
kuat.
Benjolan
Co. Sp.BA:
BAB keras
10
13 Juli 2009
P: Tx. Idem
Broncopneumonia
KEP
P: Tx. Lanjut
minum mau
Cek DL
Broncopneumonia
KEP
P: Tx. Lanjut
Modisco 3 x 100mL
minum mau
O: CM, BB: 4,9 kg, Suhu: 36,6C, Nadi:
120 x/mnt, RR: 30 x/mnt, anemis (-),
vesikuler, whezzing (-/-), ronkhi (+/+),
bising usus (+) N, turgor kulit kurang
A:
Broncopneumonia
KEP
11
16 Juli 2009
P: Tx. Lanjut
minum mau
Broncopneumonia
KEP
P: Tx. Lanjut
Modisco 1 3 x 100mL
minum mau
Amoxicillin 3 x 75 mg iv
Broncopneumonia
KEP
P: Tx. Lanjut
Apialis 1 x 0,5cc
minum mau
Modisco 1 3 x 100mL
Mulai modisco II 3 x 100mL (besok)
Amoxicillin 3 x 75 mg iv
Broncopneumonia
KEP
12
20 Juli 2009
P: Tx. Lanjut
Modisco II 3 x 100mL
minum mau
Amoxicillin 3 x 75 mg iv
Broncopneumonia
KEP
P: Tx. Lanjut
minum mau
Amoxicillin 3 x 75 mg iv
Broncopneumonia
KEP
P: Tx. Lanjut
minum mau
Amoxicillin 3 x 75 mg iv
Ro. Thorax AP/Lateral (control)
Broncopneumonia
KEP
13
23 Juli 2009
P: Boleh pulang
Broncopneumonia
KEP
Anamnesa
Teori1,4
Didahului
infeksi
Pemeriksaan
Fisik
cuping
Pasien
saluran Sesak nafas, nafas bunyi grok-grok,
hidung,
Dada simetris
Retraksi subkostal
Perkusi sonor
Suara nafas vesikuler menurun
stadium resolusi
Laboratorium:
paru
Laboratorium:
Penunjang
Leukositosis
(broncopneumonia)
Penatalaksanaan Pneumonia rawat jalan:
sehari, atau
Mucohexin syrup 3 x cth
Kotrimoxazol (4 mg/kgBB TMP
Paracetamol syrup 3 x cth
20 mg/kgBB SMZ)
Penicillin
prokain
50.000-
Karena
Prognosa
kloramfenikol atau,
Kombinasi
ampisilin
kloksasiklin
Sebagian besar pneumonia pada Dubia ad bonam
anak tidak perlu rawat inap.
Pneumonia
di
RS
memerlukan
(<
5.000/mm3)
PEMBAHASAN
Resume Masuk Rumah Sakit
Pasien SP masuk rumah sakit dengan keluhan sesak nafas sejak 1 hari sebelum
MRS, disertai nafas berbunyi grok-grok yang terdengar jelas terutama jika pasien tidur.
Batuk pilek dialami selama 4 hari, disertai dengan panas yang tiba-tiba tinggi, namun
15
selama 4 hari ini panas tersebut naik turun, panas tinggi terutama pada malam hari, tidak
berkeringat. Tidak ada penurunan berat badan, namun perkembangannya selama ini
lambat. Tidak ada mencret, namun selama 1 minggu yang lalu ada mencret, cair, banyak,
sehingga nafsu makan semakin menurun. Tidak ada muntah. Buang air kecil tidak ada
masalah.
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan bahwa pasien dalam keadaan kompos
mentis, iritabel, tanda vital dalam batas normal, takipneu, tidak anemis, ikterik maupun
sianosis. Terlihat mata agak cowong. Faring tidak hiperemis. Pemeriksaan thorax
ditemukan suara nafas vesikuler menurun, dengan rhonkhi pada kedua paru, dari abdomen
ditemukan kulit kering, turgor agak menurun, bising usus normal, akral hangat dan tidak
ada edema.
Berat badan pasien di bawah berat badan ideal untuk anak seusianya yaitu hanya 10
kg. Pasien terlihat kurus, rambut tipis dan kering berwarna hitam, lingkar kepala 39 cm dan
lingkar lengan atas 12 cm.
Pemeriksaan laboratorium menunjukkan leukositosis yaitu leukosit 17.400 /mm3
sedangkan pemeriksaan laboratorim lain dalam batas normal, yaitu kadar HB 11,5 gr/dl,
hematokrit 34,3 % dan trombosit 339.000 gr/dl. Pemeriksaan laboratorium lainnya dalam
batas normal. Pemeriksaan rontgen thorax menunjukkan sedikit gambaran infiltrat
(perselubungan) median kedua paru.
Pembahasan
Dari anamnesa dan pemeriksaan fisik ditegakkan beberapa diagnosa yaitu
bronkopneumonia + gizi kurang.
Diagnosis bronkopneumonia ditegakkan dari anamnesa adanya kesusahan bernafas
(sesak nafas) sejak 1 hari yang lalu disertai dengan nafas bunyi, didahului batuk pilek
selama 3 hari dan panas tinggi mendadak. Berdasarkan definisi, pneumonia adalah infeksi
saluran pernafasan akut bagian bawah yang mengenai parenkim paru, sedangkan
bronkopneumonia merupakan salah satu letak kelainan (infeksi).1 Faktor pejamu (host)
yang meningkatkan kerentanan terhadap bronkopneumonia adalah salah satunya adalah
kekurangan gizi sehingga mudah terkena infeksi. Pada pasien ini didapatkan kondisi
malnutrisi yang mempermudah terjadinya bronkopneumonia.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya infeksi saluran pernafasan bawah dan
pneumonia. Secara klinis ditemukan takipneu, retraksi subkosta, nafas cuping hidung,
16
ronkhi dan sianosis. Umumnya penyakit ini sering ditemukan bersamaan dengan
konjungtivitis, otitis media, faringitis dan laryngitis.1 Namun pada pasien ini tidak
ditemukan gejala klinis yang mengarah pada penyakit tersebut.
Pada pemeriksaan laboratorium pasien ini ditemukan peningkatan lekosit, yaitu
17.400/mm3, sedangkan hematokrit, haemoglobin dan trombosit dalam batas normal. Pada
pneumonia viral dan juga pada pneumonia mikoplasma umumnya ditemukan lekosit pada
batas normal atau sedikit meningkat. Sedangkan, pada pneumonia bacterial didapatkan
lekosit berkisar antara 15.000-40.000/mm3.1,4 Hal ini, dapat kita duga bahwa pada pasien
ini pneumonia disebabkan akibat infeksi bakteri. Kadang-kadang pada pneumonia
ditemukan anemia dan laju endap darah (LED) yang meningkat, 1 namun pada pasien ini
tidak didapatkan anemia dan tidak dilakukan pemeriksaan LED.
Pada pemeriksaan rontgen thoraks pasien ini didapatkan gambaran infiltrat pada
median kedua paru. Sedangkan pada bronkopneumonia, berdasarkan teori gambaran
rontgen thoraks ditandai dengan gambaran difus merata pada kedua paru, berupa bercakbercak infiltrat yang dapat meluas hingga ke daerah perifer paru, disertai dengan
peningkatan corakan peribronkial.1,4 Pada pasien ini gambaran infiltrat pada kedua paru
tidak begitu jelas. Hal ini kemungkinan disebabkan kesalahan teknis radiologis sehingga
susah untuk dievaluasi. Faktor radiologis yang mempengaruhi diantaranya intensitas sinar
rendah (underpenetration), grid pada film tidak merata, dan inspirasi kurang.1
Sebagian besar pneumonia pada anak tidak perlu dirawat inap. Indikasi perawatan
terutama berdasarkan berat-ringannya penyakit, misalnya toksis, distress pernafasan, tidak
mau makan/minum, umur kurang dari 6 tahun atau ada penyakit dasar lainnya dan
perawatan dirumah kurang baik.1,4 Pada pasien ini sudah terjadi distress pernafasan disertai
dengan kondisi gizi yang buruk sehingga perlu dirawat inap.
Dasar pengobatan pneumonia rawat inap adalah pengobatan kausal dengan
antibiotik yang sesuai dan tindakan suportif. Pengobatan suportif meliputi pemberian
cairan intravena, terapi oksigen, koreksi terhadap gangguan keseimbangan asam basa,
elektrolit dan gula darah. Untuk nyeri dan demam dapat diberikan analgetik/antipiretik.1,4
Pada pasien ini telah diberikan terapi berupa pemberian cairan intravena berupa
kristaloid RL 6 tetes per menit, antibiotik ampicillin 3 x 150mg i.v, gentamycin 2 x 12,5mg
i.v, antipiretik paracetamol syrup 3 x cth (60mg) dan mukolitik mucohexin syrup 3 x
cth. Pemberian antibiotik pada pasien ini kemungkinan karena dugaan akibat infeksi
bakteri, ditinjau dari adanya leukositosis. Namun demikian, walaupun pneumonia viral
17
diobati tanpa antibiotik, tapi umumnya tetap diberikan antibiotik pada sebagian besar
pasien karena infeksi bakteri sekunder tidak dapat disingkirkan. Dan dari literature
dikatakan, pneumonia seringkali diawali infeksi virus yang kemudian mengalami
komplikasi infeksi bakteri.1
Pilihan antibiotik lini pertama dapat digunakan antibiotik golongan beta-laktam
atau kloramfenikol. Pada pneumonia yang tidak responsif terhadap beta-laktam dan
kloramfenikol, dapat diberikan antibiotik lain seperti gentamisin, amikasin atau
sefalosporin. Terapi diberikan selam 7-10 hari.1 Pada pasien ini diberikan kombinasi
ampisilin 150mg, 3 kali sehari dan gentamysin 12,5mg, 2 kali sehari. Dosis antibiotik yang
digunakan untuk ampisilin adalah 50-100 mg/kgBB/24 jam i.m/i.v, 3-4 kali sehari,
sedangkan gentamisin adalah 5-7 mg/kgBB/24 jam i.m/i.v, 2-3 kali sehari. 4 Pada pasien ini
dosis yang diberikan sudah sesuai. Pada pasien ini tidak terjadi ketidakseimbangan
elektrolit dan gula darah, sehingga tidak diperlukan koreksi.
Pada pasien ini juga didapatkan tanda-tanda klinis kurang gizi yaitu pasien kurus,
kulit kering, rambut tipis dan kering berwarna hitam, lingkar kepala 37 cm dan lingkar
lengan atas 12 cm, mata terlihat cowong. Dari anamnesa didapatkan bahwa pasien sejak
bayi mengalami masalah dengan pertumbuhan dan perkembangan. Selama ini, pasien
diberikan makanan tambahan yaitu bubur susu sejak pasien berumur 6 bulan tetapi dengan
frekuensi 2 kali sehari namun hanya 2-4 sendok sekali makan.
Status gizi pasien ini dapat ditentukan menggunakan antropometri havard ataupun
standar NCHS/WHO. Untuk menghitung berat badan ideal anak usia dibawah 12 tahun
.5-7
Status Gizi
18
80 100%
Baik
70 80 %
60 70 %
< 60 %
Marasmus adalah gangguan gizi karena kekurangan karbohidrat. Pada keadaan ini yang
mencolok adalah pertumbuhan yang kurang atau terhenti disertai atrofi otot dan
menghilangnya lemak bawah kulit. Pada awalnya, keadaan ini adalah hal yang fisiologis.
Untuk kelangsungan hidup jaringan, tubuh memerlukan energi yang dipenuhi oleh asupan
makanan yang diberikan. Apabila kebutuhan tubuh tidak dipenuhi oleh asupan makanan,
maka didalam tubuh akan terjadi pemecahan cadangan glikogen dan lemak tubuh untuk
memenuhi kebutuhan energi tersebut. Apabila intake makanan tidak mencukupi kebutuhan
tubuh dalam waktu yang cukup lama, maka jaringan lemak bawah kulit akan dipecah terus
menerus untuk digunakan sebagai sumber energi sehingga jaringan lemak bawah kulit
menghilang dan tubuh terlihat seperti tulang yang terbungkus kulit. Bila keadaan ini terus
berlanjut hingga cadangan lemak habis, maka protein akan dipecah untuk menghasilkan
energi. Pemecahan protein secara terus-menerus akan menyebabkan pasien jatuh dalam
keadaan kwashiokor yang ditandai dengan edema anasarka.5,6
Pada keadaan permulaan biasanya tidak ditemui kelainan biokimia. Kelainan kimia
darah yang selalu ditemukan adalah kadar albumin serum yang rendah, disamping kadar
globulin yang normal atau sedikit tinggi, sehingga perbandingan kadar albumin dan
globulin menjadi terbalik, yaitu kurang dari 1. Tetapi, pada pasien ini tidak dilakukan
pemeriksaan albumin dan globulin.
Kurang gizi yang diderita pasien ini telah menimbulkan komplikasi yaitu
pneumonia yang sedang diderita saat ini. Prinsip pengobatan adalah memberikan makanan
19
yang mengandung protein tinggi, banyak kalori, cukup cairan, cukup vitamin dan mineral,
masing-masing dalam bentuk yang mudah dicerna atau diserap oleh tubuh. Oleh karena
toleransi akan makanan pada penderita pada hari pertama pengobatan masih rendah,
makanan jangan diberikan dalam jumlah yang sekaligus banyak, tetapi dinaikkan perhari.
Hasil yang paling baik diperoleh dengan pemberian makanan yang mengandung protein 34 gram/kgBB/hari dan 100 kalori/kgBB/hari. Antibiotika juga diberikan pada kasus ini
karena terdapat infeksi sebagai penyakit penyerta.
Terdapat 10 langkah tatalaksana rawat inap anak dengan kurang gizi berat, yaitu:5-10
1.
Atasi/cegah hipoglikemia
2.
Atasi/cegah hipotermia
3.
Atasi/cegah dehidrasi
4.
5.
Obati/cegah infeksi
6.
7.
8.
9.
10.
keseimbangan elektrolit. Pada kasus ini tidak didapatkan keadaan hipoglikemia dan
hipotermia. Kadar glukosa darah pasien adalah 88 mg/dl. Literatur menyebutkan, pasien
dengan gizi buruk memiliki resiko tinggi untuk mengalami hipoglikemia (glukosa darah
<54 mg/dl), yang merupakan penyebab kematian utama pada dua hari awal terapi.
Hipoglikemia mungkin disebabkan oleh infeksi sistemik atau jika pasien tidak makan
dalam 4-6 jam terakhir. Tanda terjadinya hipoglikemia antara lain adalah hipotermi, letargi
dan penurunan kesadaran. Untuk pencegahan hipotermia dapat dilakukan dengan cara
metode kanguru pada bayi atau dengan mengeringkan tubuh anak kemudian diselimuti
dengan kain yang kering.5-8
Pada kurang gizi berat diberikan antibiotik broad-spektrum secara rutin untuk
mengobati atau mencegah infeksi yang pada anak. Pilihan antibiotik untuk kasus kurang
gizi tergantung dari ada atau tidaknya komplikasi. Pada kasus ini pasien masuk dengan
disertai bronkopneumonia.
20
Dari literatur didapatkan bahwa jika pasien sakit berat (apatis, letargi) atau terdapat
komplikasi (hipoglikemia, hipotermia, infeksi kulit, saluran pernapasan atau traktus
urinarius) dapat diberikan ampicillin 50 mg/kgBB IM atau IV setiap 6 jam selama 2 hari,
kemudian dilanjutkan dengan amoxicillin oral 15 mg/kgBB setiap 8 jam selama 2 hari atau
ampicillin oral 25 mg/kgBB setiap 6 jam selama 5 hari. Dan diberikan gentamisin 7,5
mg/kgBB IM atau IV, 1 kali sehari selama 7 hari. Namun, jika tidak terdapat komplikasi
dapat diberikan kotrimoxazole 5 ml, 2 kali sehari selama 5 hari (untuk anak <6 kg
diberikan 2,5 ml). Kotrimoxazole 5 ml setara dengan Trimeptoprin 40 mg dan
Sulfametoxazole 200 mg.5-8
Pada kurang gizi berat, kekurangan zat gizi makro umumnya disertai dengan
kekurangan zat gizi mikro. Pemberian vitamin A diberikan secara oral. Untuk usia > 12
bulan diberikan 200.000 IU, usia 6-12 bulan diberikan 100.000 IU dan untuk usia 0-5
bulan diberikan 50.000 IU. Pada pasien ini tidak diberikan vitamin A. Berdasarkan
literatur, vitamin A diberikan sebanyak 3 kali yaitu dosis besar pada hari pertama dan
kedua, kemudian dosis ketiga diberikan paling lambat 2 minggu setelahnya jika pasien
mempunyai gejala kekurangan vitamin A seperti buta senja atau pada pemeriksaan fisik
ditemukan kelainan seperti bercak bitot, ulkus, nanah atau peradangan pada kornea.
Sedangkan apabila tidak terdapat tanda-tanda tersebut, vitamin A hanya diberikan satu
dosis yaitu pada hari pertama.
Mikronutrien yang dapat diberikan setiap hari selama 2 minggu adalah suplemen
multivitamin, asam folat 1 mg/hari (pada hari pertama diberikan 5 mg), Zinc 2
mg/kgBB/hari, tembaga 0,3 mg/kgBB/hari, besi 3 mg/kgBB/hari.5
Gizi kurang atau buruk dapat menyebabkan terlambatnya perkembangan mental
dan perilaku. Stimulasi sensorik dan dukungan emosi/mental diperlukan untuk
meningkatkan kepekaan dan kecerdasan anak. Dibutuhkan rasa kasih sayang dan
kesabaran dari kedua orang tua dan lingkungan yang ceria sehingga dapat membantu
perkembangan anak.2
Anak dikatakan mengalami perbaikan apabila perbandingan tinggi badan/berat
badan mencapai 90%. Namun, orang tua harus diberitahu bahwa tetap harus dilakukan
pemeriksaan secara rutin pada anak dan pastikan bahwa imunisasi telah diberikan secara
lengkap. Yakinkan pula orang tua untuk selalu memberikan vitamin A setiap 6 bulan.5
21
Perlu dilakukan edukasi agar keluarga menjadi keluarga sadar gizi, dengan selalu
melaksanakan kriteria keluarga mandiri sadar gizi agar tidak terjadi gizi buruk dalam
keluarga, antara lain:2
1. Biasakan makan beraneka ragam makanan.
2. Selalu memantau kesehatan dan pertumbuhan anggota keluarganya (menimbang berat
badan), khususnya balita dan ibu hamil.
3. Biasakan menggunakan garam beryodium
4. Memberi dukungan kepada ibu melahirkan agar memberikan ASI saja pada bayi
sampai umur 4 bulan.
5. Biasakan makan pagi
6. Makanan kecil antara waktu makan tidak perlu dilarang jika makanan tersebut tidak
mengganggu nafsu makan waktu makan berikutnya
7. Susu atau gula-gula jangan diberikan pada saat akan makan
8. Buah atau sari buah sangat baik.
Kriteria pemulangan anak gizi buruk dari ruang rawat inap, yaitu:3
Anak:
1. Selera makan sudah baik, makanan yang diberikan dapat dihabiskan.
2. Ada perbaikan kondisi mental
3. Anak sudah dapat tersenyum, duduk, merangkak, berdiri atau berjalan, sesuai
4.
5.
6.
7.
dengan umurnya
Suhu tubuh berkisar 36,5 37,5 C
Tidak ada muntah atau diare
Tidak ada edema
Terdapat kenaikan berat badan 5 gram/kgBB/hari selama 3 hari berturut-turut
atau kenaikan sekitar 50 gram/kgBB/minggu selama 2 minggu berturut-turut.
Ibu/pengasuh:
1. Sudah dapat membuat makanan yang diperlukan untuk tumbuh kejar di rumah
2. Ibu sudah mampu merawat serta memberikan makan dengan benar kepada anak.
Pada pasien ini diet yang diberikan adalah modisco hingga modisco III, berikut
adalah tabel mengenai kandungan dalam formulasi WHO modifikasi (modisco) yang
dianjurkan;3
FASE
Bahan
makanan
Susu bubuk
skim
Susu full
cream
Gula pasir
STABILISASI
TRANSISI
REHABILITASI
MI
M II
M III
100 g
100 g
100 g
120 g
50 g
50 g
50 g
75 g
22
Minyak
sayur
Margarine
Air
25 g
50 g
1000 mL
1000 mL
50 g
1000 mL
50 g
1000 mL
Pada pasien ini dari anamnesa didapatkan bahwa ibu pasien mendapat pengobatan
TB selama 6 bulan sejak usia kehamilan 3 bulan hingga 1 bulan setelah melahirkan.
Berdasarkan literature, apabila bayi tidak terkena TB kongenital ataupun TB perinatal
tetapi ibu menderita TB dengan BTA positif, maka bayi memerlukan perlakuan khusus,
yaitu pemberian OAT profilaksis isoniazid 5-10 mg/kgBB/hari, dan bayi tetap diberikan
ASI.11. Namun pada pasien ini tidak diberikan terapi profilaksis tersebut.
Pada usia 29 hari sampai 11 bulan, terjadi pertumbuhan yang pesat dan proses
pematangan berlangsung secara terus menerus terutama meningkatnya fungsi sistem
saraf.12 Namun pada pasien ini dari anamnesa dan pemeriksaan terjadi perlambatan
perkembangan, dimana usia sudah 11 bulan pasien masih belum dapat menopang kepala,
tengkurap, melakukan aktivitas motorik seperti menggenggam pensil, berusaha
memperluas pandangan. Padahal anak seusianya, seharusnya sudah bisa berdiri. Gangguan
keterlambatan tumbuh kembang seperti diatas kemungkinan serebral palsi, yaitu suatu
kelainan gerakan dan postur tubuh yang tidak progresif, yang disebabkan oleh karena
kerusakan/gangguan sel-sel motorik pada susunan saraf pusat yang sedang tumbuh.12
Gangguan motorik yang dapat menyertai serebral palsi, meliputi spastisitas, atetosis,
ataksia, tremor, rigiditas dan hipotonia.13 Dan yang terjadi pada pasien ini adalah hipotonia,
yaitu penurunan tonus otot yang nyata, hiperelastisitas sendi, refleks tendon dalam
hiperaktif walaupun tonus otot berkurang (jika penyebabnya sentral). Umumnya kelainan
ini, disebabkan lesi pada korteks motorik, area VI.13
Penyebab dari serebral palsi, dapat dilihat pada table berikut:13
Kongenital
Pre-natal
Anoksia
Infeksi
(TORCH, sifilis)
Trauma
Factor metabolic
Malformasi
Perinatal
Anoksia
maternal Trauma (CPD)
Seksio sesarea
Prematuritas
Didapat
Pasca-natal
Trauma
Infeksi
(meningitis,
ensefalitis)
Cerebrovasculer accident
Anoksia
Tumor otak
23
24
KESIMPULAN
1. Pasien menderita bronkopneumonia dan gizi kurang disertai gangguan tumbuh
kembang dengan dugaan serebral palsi.
2. Diagnosis dan penatalaksanaan bronkopneumonia dan gizi kurang sudah tepat dan
adekuat. Namun penatalaksanaan gangguan tumbuh kembang belum ada
perencanaan.
3. Peran aktif ibu dan keluarga dibutuhkan untuk mengatasi gangguan tumbuh
kembang anak.
4. Perlu adanya intervensi rehabilitasi lebih cepat agar perbaikan motorik dapat diatasi
dan tumbuh kembang dapat dikejar semaksimal mungkin
25
DAFTAR PUSTAKA
1. Said M, Pneumonia, Dalam: Rahajoe N.N, Supriyatno B dan Setyanto D.B, Buku
Ajar Respirologi Anak Edisi Pertama, 2008, Badan Penerbit IDAI, Jakarta
2. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Fact Sheet: Gizi Buruk. Direktorat
Bina Gizi Masyarakat. 2004.
3. Departemen Kesehatan, Petunjuk Teknis Tatalaksana Anak Gizi Buruk, 2007,
Jakarta
4. SMF Ilmu Kesehatan Anak, Pedoman Diagnosis dan Terapi RSUD A. Wahab
Sjahranie Samarinda Edisi VI, 2006, Samarinda
5. Ashworth A., Khanum S., Jackson A., Schofield C., Guideline For The Inpatient
Treatment of Severely Malnourished Children. WHO Publication. Geneva 2003.
6. World Health Organization. Management of Severe Malnutrition: A Manual For
Physician and Other Senior Health Workers. Publication. Geneva 1999.
7. Departemen Kesehatan Republik Indonesia : Buku Bagan Tata Laksana Anak
Gizi Buruk. Direktorat Bina Gizi Masyarakat. 2006.
8. World Health Organization. Management of The Child With a Serious Infection
or Severe Malnutrition Guidelines for Care at The First-Referral Level in
Developing Countries. Integrated Management of Childhood Illness. 2000
9. Markum AH. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak Jilid I. Jakarta: Bagian IKA
FKUI. 1999. Hal 448-468.
10. Behrman RE., Kliegman R., Arvin AM. Ilmu Kesehatan Anak Nelson edisi 15.
Penerbit Buku Kedokteran. EGC. 1999
11. Rahajoe N.N, Basir D, Makmuri M.S dan Kartasasmita C.B, Dalam: Pedoman
Nasional Tuberkulosis Anak Edisi Kedua, 2007, UKK Respirologi PP IDAI,
Jakarta
12. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Pedoman Pelaksanaan Stimulasi,
Deteksi dan Intervensi Dini Tumbuh Kembang Anak Di Tingkat Pelayanan
Kesehatan Dasar, 2006, Jakarta
13. Bowser B.L dan Solis I.S, Rehabilitasi Pediatrik, Dalam: Susan J. Garrison (Ed.),
Handbook of Physical Medicine and Rehabilitation Basics. First edition, 1995,
Lippincott Company
26