Anda di halaman 1dari 21

PENGARUH IMPLEMENTASI HUKUMAN MATI KEPADA GEMBONG

NARKOBA INTERNASIONAL TERHADAP HUBUNGAN DIPLOMASI DAN


MASYARAKAT TRANSASIONAL ANTARA INDONESIA - AUSTRALIA

NPM 1506792424
Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Indonesia
E-mail: budimanarif642@gmail.com

Abstrak
Penegakan hukuman mati kepada gembong narkoba di Indonesia dibawah era kepemimpinan
Presiden Joko Widodo telah menimbulkan pro dan kontra di dunia internasional. Narkoba
termasuk kejahatan serius yang telah disepakati secara bersama-sama oleh Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) berdasarkan pada konvensi tunggal tentang narkotika tahun 1961
sesuai dengan amandemen protokol tahun 1972, konvensi mengenai pemberantasan
peredaran psikotropika tahun 1971, dan konvensi tahun 1988 tentang pemberantasan gelap
narkotika dan psikotropika. Dalam salah satu isi pokok konvensi tahun 1988 tersebut
dinyatakan bahwa tanpa mengabaikan prinsip-prinsip hukum masing-masing, Negara-negara
pihak dari konvensi akan mengambil tindakan yang perlu untuk menetapkan sebagai
kejahatan setiap peredaran gelap narkotika dan psikotropika. Dengan kata lain, Negaranegara pihak dapat menjatuhkan hukuman pidana kepada penjahat narkoba, termasuk
hukuman mati. Namun dalam prakteknya, hukuman mati kepada gembong narkoba
internasional yang dilakukan Indonesia mendapat kritikan dan tantangan dari negara-negara
lain yang warganya di vonis hukuman mati tersebut seperti Australia, Prancis, Brazil, dan
Filipina. Bahkan pasca hukuman mati dilaksanakan, Australia secara resmi menarik duta
besarnya dari Indonesia dimana hal ini belum pernah terjadi sebelumnya. Hubungan
diplomasi antara Indonesia - Australia sempat memanas dan tegang. Selain itu, isu ini juga
mendapatkan perhatian yang sangat besar dikalangan masyarakat. Untuk menganalisa
fenomena tersebut, penulis menggunakan pendekatan teori interaksi timbal-balik (reciprocal
interaction) melalui paradigma konstruktivisme dalam memahami bagaimana implementasi
hukuman mati oleh Indonesia kepada gembong narkoba internasional asal Australia
berpengaruh terhadap hubungan diplomasi dan masyarakat transasional antara kedua negara.
Kata Kunci:
Indonesia, Australia, konvensi PBB, hukuman mati, narkoba, diplomasi dan masyarakat
transasional.

BAB I
PENDAHULUAN
I.1

Latar Belakang
Sejak beberapa dekade terakhir, Indonesia telah berada dalam keadaan darurat
narkoba. Bandar, pengedar dan pecandu narkoba cenderung meningkat setiap tahunnya.
Narkoba telah merusak bukan hanya fisik tetapi juga moral para generasi muda. Bahaya dari
narkoba ini telah menjadi isu yang sangat sensitif bukan hanya dikalangan para stake holder,
tetapi juga masyarakat.
Narkoba yang masuk ke Indonesia sebagian besar dipasok dari luar negeri karena
peredaran narkoba saat ini tidak mengenal batas wilayah. Para gembong narkoba bukan
hanya berskala nasional tetapi bahkan internasional. Narkoba yang masuk ke tanah air masuk
dari jalur darat, laut dan udara1. Transportasi yang dipakai untuk memasok narkoba itu bisa
menggunakan kontainer, kapal nelayan, speed boat, kapal penumpang, dan lain-lain.
Komitmen pemberantasan narkoba di Indonesia bisa dibilang sangat rendah hingga
akhir tahun 20092. Hal ini dibuktikan dengan lemahnya penegakan hukum dan vonis yang
terlalu ringan terhadap gembong dan bandar narkoba. Hal tersebut menyebabkan para
penjahat itu seakan tidak takut dan merasakan efek jera atas perbuatan yang dilakukannya.
Bahkan dalam beberapa kasus, ditemukan fakta bahwa terdapat gembong narkoba yang
menjalankan aktivitas perdagangan narkoba dari balik lapas penjara3.
Seperti yang telah disebutkan diatas, narkoba merupakan kejahatan yang berdimensi
internasional dan telah menjadi pusat perhatian dunia. Untuk menangani masalah ini, PBB
telah melaksanakan beberapa konvensi diantaranya Konvensi Tunggal tentang Narkotika
tahun 1961 (Single Convention on Narcotic Drugs). Konvensi ini diikuti oleh 73 negara
dengan menghasilkan 3 rekomendasi, salah satunya yaitu membuat segala daya dan upaya

http://nasional.sindonews.com/read/739018/15/80-persen-narkoba-di-indonesia-masuk-lewat-laut-1366180162
(diakses tanggal 12 November 2015, pukul 13.15)
2
Patrick Gallahue and Rick Lines. The Death Penalty for Drug Offences. (London: International Harm
Reduction Association, 2010) hal. 30.
3
http://news.liputan6.com/read/2213946/freddy-budiman-gampang-tawarkan-narkoba-melalui-wartel-penjara
(diakses tanggal 12 November 2015, pukul 13.20)

dalam memerangi penyebaran obat terlarang4. Hasil dari konvensi tahun 1961 tersebut
kemudian di amandemen sesuai protokol tahun 1972.
Konvensi

tahun

1961

ini

lalu

ditindaklanjuti

dalam

konvensi

mengenai

pemberantasan peredaran psikotropika (Convention on psychotropic substances) yang


diselenggarakan di Vienna dari tanggal 11 Januari sampai 21 Februari 1971, yang diikuti oleh
71 negara, ditambah dengan 4 negara sebagai peninjau5. Konvensi ini ditujukan untuk
mengontrol LSD (Lysergic acid diethylamide), MDMA (methylenedioxy-methamphetamine),
dan berbagai farmasi psikoaktif.
Setelah itu, PBB juga melakukan konvensi lanjutan tentang pemberantasan gelap
narkotika dan psikotropikia pada tahun 1988 sebagai reaksi yang diakibatkan oleh rasa
keprihatinan yang tinggi atas meningkatnya produksi, permintaan penyalahgunaan dan
peredaran gelap narkoba, serta kenyataan bahwa anak-anak dan remaja (deliquent) digunakan
sebagai pasar pemakai narkotika dan psikotropika secara gelap, sebagai sasaran produksi,
distribusi, dan perdagangan gelap narkotika dan psikotropika. Konvensi ini dihadiri oleh 106
negara, termasuk Indonesia6.
Hasil dari sejumlah konvensi tersebut diatas kemudian diratifikasi oleh Indonesia.
Pertama adalah ratifikasi terhadap konvensi tahun 1961 yang diamandemen sesuai protokol
1972 dan konvensi tahun 1971 dalam UU Nomor 8 Tahun 1976. Kedua adalah ratifikasi
terhadap konvensi tahun 1988 dalam UU Nomor 7 tahun 19977.
Ketika Ir. Joko Widodo terpilih dan dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia
pada tanggal 20 Okotober 2014, genderang perang dan hukuman maksimal kepada gembong
narkoba mulai diterapkan, yaitu hukuman mati. Komitmen Presiden Jokowi ini mengacu
pada salah satu NAWA CITA yaitu reformasi sistem dan penegakan hukum, termasuk
didalamnya pemberantasan narkoba8. Sejak hari pertama menjabat sebagai Presiden RI
hingga 20 Oktober 2015 (evaluasi satu tahun kepemimpinan Jokowi-JK), Presiden Jokowi
mendukung dengan penuh implementasi hukuman mati untuk memberantas peredaran
narkoba sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia dan hukum internasional.
4

United Nations. The International Drug Control Conventions. (New York: United Nations, 2013) hal. 8-9.
Ibid., hal. 71-72.
6
Ibid., hal. 113.
7
http://news.detik.com/berita/2898310/sekjen-pbb-kecam-indonesia-mk-hukuman-mati-pesan-konvensiinternasional (diakses tanggal 12 November 2015, pukul 13.22)
8
Jokowi Dodo & Jusuf Kalla. Jalan Perubahan Untuk Indonesia Yang Berdaulat, Mandiri Dan
Berkepribadian: Visi, Misi dan Program Aksi. (Jakarta, 2014) hal 4.
5

Namun kenyataannya, praktek hukuman mati kepada penjahat dan gembong narkoba
ini mendapat kritikan dan tantangan dari dunia internasional. Kritikan dan tantangan ini
umumnya datang dari para stake holder negara-negara yang warganya di vonis hukuman mati
tersebut seperti Australia, Prancis, Brazil dan Filipina. Mulai dari Presiden, Perdana Menteri,
Menteri Luar Negeri, hingga masyarakat sipil dari negara-negara tersebut, menunjukkan
reaksi yang beragam terkait dengan isu ini.
Reaksi sangat keras pertama kali ditunjukkan oleh Perdana Menteri Australia, Tony
Abbott. PM Abbott mengancam bahwa jika hukuman mati ini tetap dilaksanakan kepada
terpidana narkoba asal Australia, Myuran Sukumaran dan Andrew Chan, hubungan antara
kedua negara tidak akan pernah sama lagi9. Bahkan pasca eksekusi mati dilaksanakan,
Australia secara resmi menarik duta besarnya dari Indonesia. Hubungan diplomasi antara
kedua negara sempat memanas dan tegang. Para stake holder saling mengeluarkan statements
untuk menguatkan pendapatnya masing-masing.
Australia menganggap bahwa hukuman mati melanggar Hak Asasi Manusia (HAM),
sedangkan Indonesia berpendapat sebaliknya sesuai dengan konvensi yang telah dijelaskan
diatas. Asumsi Australia ini sama seperti pendapat kaum abolisionis yang mendasarkan
argumennya pada beberapa alasan. Salah satunya yaitu hukuman mati merupakan bentuk
hukuman yang merendahkan martabat manusia dan bertentangan dengan Hak Asasi Manusia.
Atas dasar argumen inilah kemudian banyak negara menghapuskan hukuman mati dalam
sistem peradilan pidananya. Sampai sekarang ini sudah 97 negara menghapuskan hukuman
mati. Negara-negara anggota Uni Eropa dilarang menerapkan hukuman mati berdasarkan
Pasal 2 Charter of Fundamental Rights of the European Union tahun 2000. Selanjutnya
Majelis Umum PBB pada 2007, 2008, dan 2010 mengadopsi resolusi tidak mengikat (nonbinding resolutions) yang mengimbau moratorium global terhadap hukuman mati. Protokol
Opsional II International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR akhirnya melarang
penggunaan hukuman mati pada negara-negara pihak terkait10.
Perbedebatan dan perbedaan pendapat mengenai isu hukuman mati ini tidak hanya
terjadi di level pimpinan negara, tetapi hingga level masyarakat. Masing-masing masyarakat
dari Indonesia dan Australia terbagi menjadi dua kelompok besar; pro dan kontra. Isu ini
9

http://www.bbc.com/indonesia/forum/2015/04/150429_forum_eksekusi_mati_diplomatik (diakses tanggal 13


November 2015, pukul 20.05)
10
http://setkab.go.id/pro-kontra-hukuman-mati-bagi-pelaku-kejahatan-narkoba/ (diakses tanggal 12 November
2015, pukul 20.35)

menjadi populer dikalangan masyarakat karena selain masalah Hak Asasi Manusia, hal ini
juga menyangkut masalah kedaulatan negara. Tidak boleh ada satu negara pun yang berhak
mengintervensi kedaulatan negara lain dalam bidang apapun, termasuk hukum.
Berdasarkan berbagai fenomena tersebut, penulis menganggap perlu untuk melakukan
analisa dan penelitian lebih lanjut terkait dengan isu ini. Hal ini mengacu pada dinamika
hubungan diplomasi dan masyarakat transasional yang berlangsung antara kedua negara.
Indonesia dan Australia merupakan anggota PBB dan negara yang menjunjung tinggi nilainilai demokrasi serta Hak Asasi Manusia. Kedua negara pun saling menghormati kedaulatan
dan eksistensi masing-masing. Namun hubungan baik yang selama ini terjalin terancam rusak
karena isu hukuman mati yang dilakukan Indonesia kepada dua gembong narkoba
internasional berkewarganegaraan Australia tersebut.
I.2

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan tersebut diatas, penulis merumuskan
pertanyaan penelitian yaitu bagaimana implementasi hukuman mati di Indonesia kepada
gembong narkoba internasional asal Australia berpengaruh terhadap hubungan diplomasi dan
masyarakat transasional antara kedua negara.

I.3

Tujuan Penelitian
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memahami bagaimana pengaruh
hukuman mati yang dilakukan oleh Indonesia terhadap hubungan diplomasi dan pandangan
masyarakat kedua negara dalam merespon isu tersebut. Lebih lanjut, penulis juga ingin
memahami sejauh mana signifikansi dan implikasi hubungan state to state dan people to
people pasca eksekusi mati tersebut dilaksanakan. Selain itu, penulis juga ingin menguji
paradigma konstruktivisme dalam menganalisa fenomena ini. Apakah paradigma
konstruktivisme ini relevan dan dapat di implementasikan dalam menganalisa dinamika
hubungan internasional atau tidak.

I.4

Teori
I.4.1

Justifikasi Teori
Konstruktivisme merupakan suatu paradigma selain realisme dan liberalisme untuk

menjelaskan fenomena hubungan internasional. Kontruktivisme adalah teori yang


menekankan pada aspek sosial, tidak seperti neorealisme yang material. Kaum konstruktivis
4

meyakini bahwa dunia sosial, termasuk hubungan internasional merupakan hasil konstruksi
manusia11. Sedangkan Reus-Smit (2001:195-196) menyatakan bahwa konstruktivisme juga
lahir untuk menjawab beberapa pertanyaan-pertanyaan menarik menyangkut politik
internasional seperti persoalan dinamika perubahan internasional, sifat dasar praktik
kelembagaan, peran lembaga non-negara dan masalah Hak Asasi Manusia. Oleh karena itu,
konstruktivisme memiliki pengertian yang sangat luas dan mendalam untuk dimengerti.
Selain itu, paradigma konstruktivisme dapat mengubah suatu sistem. Jika pemikiran
dan ide yang masuk ke dalam hubungan internasional berubah, maka sistem itu sendiri juga
akan berubah, karena sistem terdiri dari pemikiran dan ide. Itulah pandangan di balik frasa
yang sering diulang oleh pakar konstruktivis12.
Untuk memahami dinamika hubungan internasional antara Indonesia-Australia terkait
dengan isu ini, penulis menggunakan paradigma konstruktivisme melalui pendekatan teori
interaksi timbal-balik (reciprocal interaction) seperti yang dikemukakan oleh salah satu
pakar konstruktivisme sosial terkenal saat ini; Alexander Wendt.
Wendt memberikan perspektif baru dalam menganalisa dinamika hubungan
internasional antar negara. Dalam artikelnya yang berjudul Anarchy is what states make of it:
the social construction of power politics (1992), Wendt mencoba untuk membangun
jembatan antara dua tradisi yaitu realis-liberal dan rasionalis-reflectivist dengan
mengembangkan argumen konstruktivis, yang diambil dari strukturasionis dan simbolik
sosiologi interaksionis, atas klaim liberal bahwa lembaga-lembaga internasional dapat
mengubah identitas dan kepentingan negara13.
Lebih lanjut, Wendt memiliki beberapa strategi untuk membangun teorinya.
Strateginya untuk membangun jembatan ini adalah untuk membantah neorealis yang
mengklaim bahwa self-help diberikan oleh struktur anarkis secara eksogen untuk kemudian
diproses. Menurutnya self-help dan politik kekuasaan tidak mengikuti baik secara logis atau
secara kausal dari anarki dan bahwa hari ini kita menemukan diri kita dalam suatu dunia yang
self-help, itu semua dikarenakan proses bukan struktur. Self-help dan kekuatan politik adalah

11

Robert Jackson and Georg Sorensen. Introduction to International Relations: Theories and Approaches
(Oxford: Oxford University Press, 2010) hal. 307.
12
Robert Jackson dan Georg Sorensen. Pengantar Studi Hubungan Internasional: Teori dan Pendekatan.
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014) hal. 365.
13
Alexander Wendt. Anarchy is what States Make of it: The Social Construction of Power Politics.
(Massachusetts: the World Peace Foundation and the Massachusetts Institute of Technology, 1992) hal. 394.

lembaga, bukan ciri yang penting dari anarki. Anarki adalah apa yang dibuat oleh negara14.
Dengan kata lain, anarki tidak inheren di dalam sistem internasional, melainkan hanya
ciptaan negara di dalam sistem. Karena menurut pandangan konstruktivis, anarki tidak
bersifat given, melainkan dibentuk oleh manusia itu sendiri.
Penulis sependapat dengan Wendt untuk menonjolkan peran konstruktivisme dalam
menganalisa perilaku suatu negara. Dalam artikelnya ini, Wendt menguji klaim dan asumsi
neorealisme, membangun argumen positif tentang bagaimana self-help dan kekuatan politik
dikonstruksi secara sosial dibawah anarki, lalu mengeksplorasi tiga cara dimana identitas dan
kepentingan ditransformasikan dibawah anarki yaitu oleh kedaulatan institusi (institution of
sovereignty), evolusi dari kerjasama (evolution of cooperation), dan upaya yang sengaja
dilakukan (intentional efforts) untuk mentransformasikan identitas egoistic (individu)
kedalam identitas kolektif15.
I.4.2

Deskripsi Teori
Seperti yang telah dijelaskan diatas, Wendt mencoba untuk membantah penjelasan

neorealis tentang self-help world, dalam hal ini adalah teori yang dikemukakan oleh Kenneth
Waltz. Dia mengembangkan argumennya melalui tiga tahap. Pertama, dia menguraikan
konsep self-help dan anarki dengan memperlihatkan bahwa konsep kepentingan pribadi dari
keamanan bukan sebuah constitutive property dari anarki. Kedua, dia memperlihatkan
bagaimana self-help dan persaingan kekuatan politik mungkin dibuat secara kausal oleh
proses interaksi antara negara-negara dimana anarki berperan hanya sebagai permissive role.
Ketiga, dia memperkenalkan kembali faktor image pertama dan kedua untuk menilai
pengaruh mereka terhadap bentuk identitas dalam berbagai jenis anarki yang berbeda-beda16.
Anarki dan Kekuatan Politik
Waltz mendefinisikan anarki sebagai suatu syarat yang mungkin menyebabkan kondisi
"permisif" dari perang. Perang terjadi karena tidak ada yang mencegah mereka. Lalu ia
cenderung berpihak pada klaim kausal bahwa perang mungkin terjadi setiap saat. Waltz
menolak beberapa teori dalam politik internasional dan menganggapnya sebagai reduksionis.
Hal ini sangat disayangkan, karena dalam pandangan permisif, hanya faktor manusia atau
domestik yang menyebabkan suatu serangan akan membuat orang lain untuk membela

14

Ibid., hal 395.


Ibid.
16
Ibid., hal 396.
15

negaranya (defense). Anarki mungkin berisi dinamika yang mengarah ke politik kompetitif,
tetapi mungkin juga tidak. Neorealisme secara substansial mengurangi peran praktek
(practice) dalam membentuk karakter anarki.
1) Anarki, Self-Help, dan Pemahaman Intersubjektif
Waltz memprediksi tentang perilaku negara melalui struktur politik tiga dimensinya
(apakah suatu negara itu teman / musuh, mengakui kedaulatan, revisionis / status quo,
dll). Tanpa asumsi tentang struktur identitas dan kepentingan dalam sistem, Waltz tidak
dapat memprediksi dinamika anarki. Self-help adalah salah satu struktur intersubjektif
tersebut. Pertanyaannya adalah apakah ini logis atau tidak terhadap anarki. Orang-orang
atau para aktor bertindak terhadap suatu objek berdasarkan makna yang dimiliki oleh
objek tersebut untuk mereka. Aktor memperoleh identitas yang relatif stabil, pemahaman
spesifik tentang peran dan harapan tentang diri sendiri (expectations about self) - dengan
berpartisipasi dalam arti kolektif tersebut. Identitas adalah dasar dari suatu kepentingan.
Sebuah lembaga merupakan suatu perangkat yang relatif stabil atau merupakan
"struktur" dari identitas dan kepentingan yang sering dikodifikasikan dalam aturan
formal dan norma. Mereka (aturan formal dan norma) secara fundamental merupakan
entitas kognitif yang tidak terlepas dari ide aktor tentang bagaimana dunia bekerja.
Lembaga hadir untuk mengatur individu-individu sebagai fakta sosial yang kurang atau
lebih memaksa. Self-help adalah sebuah lembaga, salah satu dari berbagai struktur
identitas dan kepentingan yang mungkin berada dibawah anarki. Di bawah anarki, proses
dari pembentukan identitas difokuskan terhadap keamanan diri. Konsep keamanan
memiliki perbedaan dalam arti luas dan suatu cara dimana self di identifikasikan secara
kognitif dengan yang lainnya. Variasi kognitif ini menentukan arti/makna dari anarki.
Sebuah kontinum sistem keamanan muncul mulai dari realis yang bersifat kompetitif
hingga neoliberal yang bersifat individualistis, bahkan hingga cooperative system.
Negara-negara tidak memiliki konsep tentang self itu sendiri sehingga (pada awalnya)
tidak atau kesulitan melakukan interaksi.
2) Anarki dan Konstruksi Sosial dari Politik Kekuasaan
Makna dari sebuah tindakan muncul dari suatu interaksi. Wendt meneliti hipotetis
interaksi antara ego (diri sendiri) dan alter (perubahan). Singkatnya, Wendt mengklaim
bahwa tidak ada alasan untuk menganggap sebuah priori sebelum gestur dari ego
tersebut bersifat mengancam. Proses signaling, interpreting dan responding melengkapi
7

tindakan sosial yang dilakukan dan hal tersebut merupakan proses dalam menciptakan
makna intersubjektif. Hanya melalui proses signaling dan interpreting kemungkinan
untuk bisa menjadi salah dapat ditentukan. Sehingga ancaman sosial yang dibangun
menjadi tidak alami. Hal tersebut merupakan interaksi timbal-balik (reciprocal
interaction) dan struktur sosial yang kita ciptakan tentang bagaimana kita mendefinisikan
identitas dan kepentingan kita. Bentuk identitas dan kepentingan yang bertransformasi
menjadi dilema keamanan merupakan efek dari interaksi tersebut. Gambaran lebih
lengkap tentang interaksi timbal-balik (reciprocal interaction) ini ditunjukkan dalam
figure 1 (lihat halaman 9).
3) Negara Predator dan Anarki sebagai Penyebab Permisif
Predasi, sebuah penyebab efisien (efficient cause), dalam hubungannya dengan anarki
sebagai penyebab permisif (permissive cause) dapat menghasilkan sistem self-help.
Apapun alasannya, beberapa negara mungkin cenderung memilih tindakan agresi.
Perilaku agresif negara-negara predator ini memaksa negara lain untuk terlibat dalam
politik kekuasaan yang kompetitif. Waktu munculnya predasi terhadap sejarah
pembentukan identitas ("mature versus immature anarchies) di masyarakat sangat
penting bagi penjelasan anarki sebagai penyebab permisif. Apakah pembelaan terhadap
predasi akan menjadi kolektif atau individualis akan tergantung pada sejarah interaksi.
Hal ini sesuai dengan fokus yang sistematis pada proses.
I.4.3

Operasionalisasi Teori
Wendt membentuk sebuah bagan bagaimana tindakan suatu negara terhadap negara

lain merupakan hasil dari suatu proses. Misalnya ada dua negara, sebut saja negara A dan
negara B. Negara A memiliki suatu pemahaman intersubjektif dan memiliki perkiraan
(expectations possessed) berdasarkan konstitusi / hukum negaranya yang membentuk
identitias dan kepentingan. Negara A memiliki rangsangan untuk melakukan suatu aksi
(stimulus requiring action). Lalu berdasarkan identitas dan kepentingannya serta rangsangan
untuk melakukan suatu aksi itu negara A mendefinisikan sebuah situasi. Kemudian situasi
tersebut ditindaklanjuti dengan aksi yang diambil oleh negara A. Setelah itu, negara B
menginterpretasikan aksi negara A dan negara B ini memiliki definisi situasinya sendiri.
Akhirnya negara B melakukan suatu aksi untuk merespon aksi yang dilakukan oleh negara A.

Deskripsi diatas merupakan interaksi timbal-balik (reciprocal interaction). Dengan


kata lain, kita menciptakan struktur sosial secara relatif tentang bagaimana kita
mendefinisikan identitas dan kepentingan kita. Berikut ini merupakan bagan yang dibuat oleh
Wendt untuk menggambarkan deskripsi tersebut:
INSTITUTIONS

State A with identities


and interest

PROCESS

(1) Stimulus requiring action

(2) States As definition of the


situation

Intersubjective
understanding and
expectations possessed
by and constitutive of
A and B

(3) State As action

(4) States Bs interpretation of


As action and Bs own
definition of the situation

State B with identities


and interest

(5) State Bs action

FIGURE 1. The codetermination of institutions and process

Sumber: Wendt, Alexander. Anarchy is what States Make of it: The Social Construction of Power
Politics. (Massachusetts: the World Peace Foundation and the Massachusetts Institute of Technology,
1992) hal. 406.

I.4.4

Model Analisa

INSTITUTIONS

Indonesia with
identities and interest

PROCESS

Bandar narkoba merajalela


Narkoba merusak generasi muda

Indonesia darurat narkoba


Intersubjective
understanding and
expectations possessed
by and constitutive of
Indonesia and
Australia

Hukuman mati terhadap bandar


narkoba

Indonesia melanggar HAM


Bandar narkoba tidak perlu
dihukum mati
Australia with
identities and interest
Penarikan duta besar Australia
Pro dan kontra masyarakat
Australia mengenai penarikan duta
besar Australia tersebut
Pro dan kontra masyarakat
Australia untuk mengevaluasi
kerjasama, menghentikan bantuan
dana, dan pemboikotan perjalanan
ke Indonesia

10

BAB II
ANALISIS
II.1 Perbedaan Pemahaman Intersubjektif dari Aspek Konstitusi dan Hukum Terkait dengan
Hukuman Mati Kepada Bandar Narkoba Antara Indonesia - Australia
Berdasarkan pasal 1 ayat 3 UUD 1945, Indonesia adalah negara hukum. UUD 1945
merupakan konstitusi tertinggi, oleh karena itu tidak boleh ada undang-undang atau produk
hukum dibawahnya yang bertentangan dengan hal itu. Konstitusi yang berlaku di Indonesia
ini membentuk identitas dan kepentingan bangsa Indonesia. Hal tersebut kemudian mengikat
seluruh warga negara Indonesia atau warga negara asing yang tinggal di Indonesia.
Narkoba merupakan barang ilegal dan peredarannya bertentangan dengan hukum. Hal
ini mengacu pada pasal 60 UU RI No. 5 Tahun 1997 dan UU nomor 35 tahun 2009 tentang
narkotika. Oleh karena itu, siapapun yang melakukan aktivitas perdagangan narkoba atau
mengedarkannya akan dijatuhi sanksi pidana sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Menurut UU nomor 35 tahun 2009 pasal 114 ayat 2 menyatakan bahwa penjual,
pembeli, perantara atau penerima narkotika dapat dipidana dengan pidana maksimal yaitu
hukuman mati. Hal ini sesuai dengan hukum internasional yang mengacu pada konvensi PBB
tentang peredaran narkotika yang telah diratifikasi oleh Indonesia seperti yang telah
dijelaskan di latar belakang. Hasil konvensi tersebut menyatakan bahwa narkoba merupakan
kejahatan serius, oleh karena itu perlu ditangani dengan cara yang serius pula.
Berbeda dengan hukum Indonesia bahwa bandar narkoba dapat dihukum mati, di
Australia, hukuman terberat adalah penjara seumur hidup17. Penghapusan hukuman mati di
Australia dimulai sejak tahun 1973 dan sebagai bagian dari UU Penghapusan Hukuman Mati
tahun 1973, pidana mati tidak diterapkan lagi berdasarkan UU Persemakmuran dan Wilayah.
Lalu pada 2 Oktober 1990, Australia menegaskan penolakannya terhadap hukuman mati di
tingkat internasional dengan meratifikasi Second Optional Protocol to the International
Covenant on Civil and Political Rights Aiming at the Abolition of the Death Penalty, yang
berlaku mulai 11 Juli 1991. Kemudian pada 19 Desember 2007, Australia mensponsori dan

17

https://www.sentencingcouncil.vic.gov.au/about-sentencing/maximum-penalties
November 2015, pukul 00.15)

(diakses

tanggal

14

11

mendukung resolusi Majelis Umum PBB yang menyerukan penghentian hukuman mati
sebagai langkah pertama menuju penghapusan secara menyeluruh hukuman mati18.
Hukum yang berlaku di Australia tersebut merupakan pemahaman intersubjektif dan
ekspetasi yang dimiliki berdasarkan konstitusi Australia. Hal tersebut lalu membentuk
identitas dan kepentingan masyarakat Australia. Oleh karena itu, sangat wajar jika
pemerintah Australia berupaya keras untuk melindungi warga negaranya yang terancam
hukuman mati di luar negeri.
Namun, Indonesia adalah negara berdaulat yang memiliki kedaulatan penuh.
Kedaulatan adalah salah satu konsep fundamental didalam hukum internasional. Prinsip
kedaulatan adalah bagian yang tidak terpisahkan didalam prinsip-prinsip persamaan hak dan
integritas wilayah seperti yang diatur didalam Chapter 1 Artikel 2 Piagam PBB. Selain itu,
berdasarkan pokok-pokok isi konvensi PBB tahun 1988 tentang pemberantasan peredaran
gelap narkotika dan psikotropika, menyatakan bahwa tanpa mengabaikan prinsip-prinsip
hukum masing-masing, Negara-negara Pihak dari Konvensi akan mengambil tindakan yang
perlu untuk menetapkan sebagai kejahatan setiap peredaran gelap narkotika dan psikotropika.
Oleh karena itu, Australia pada hakekatnya tidak berhak untuk mengintervensi
kedaulatan hukum yang berlaku di Indonesia. Terlebih lagi, segala hak dan pembelaan hukum
telah diberikan seluas-luasnya kepada dua terpidana mati asal Australia itu. Namun ketika
vonis bersalah telah dijatuhkan oleh pengadilan Indonesia, maka walaubagaimanapun
Australia harus menghormati keputusan tersebut.
II.2

Proses Interaksi Timbal-Balik (Reciprocal Interaction) Antara Indonesia - Australia Terkait


Vonis Hukuman Mati Kepada Gembong Narkoba Berkewarganegaraan Australia
Setelah menganalisa tentang perbedaan pemahaman intersubjektif Indonesia-Australia
dari sudut pandang konstitusi dan hukum, selanjutnya penulis ingin memaparkan proses dan
dinamika yang terjadi antara kedua negara. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya,
Indonesia menyatakan perang melawan narkoba. Dengan kata lain, perang ini ditujukan
kepada gembong atau bandar narkoba yang mengedarkan barang ilegal tersebut untuk
kemudian dijual kepada masyarakat, khususnya generasi muda. Data statistik menunjukkan
bahwa hingga tahun 2014 pemakai narkoba berada pada angka 4 juta jiwa, dimana 33 orang

18

http://www.antaranews.com/berita/480901/lika-liku-australia-menghapus-hukuman-mati (diakses tanggal 14


November 2015, pukul 00.34)

12

meninggal per harinya19. Hal inilah yang menjadi faktor rangsangan bagi Indonesia untuk
melakukan tindakan (stimulus requiring action) mengenai isu tersebut.
Lalu berdasarkan stimulus requiring action itu, Indonesia mendefinisikan situasinya
sendiri (States As definition of the situation) dengan menyatakan bahwa negara berada dalam
keadaan darurat narkoba. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi negara sangat genting dimana
narkoba telah merajalela dan telah memasuki seluruh lapisan masyarakat mulai dari anakanak hingga orang dewasa. Oleh karena itu, perlu dilakukan tindakan lebih lanjut untuk
mengatasi keadaan darurat ini.
Untuk menanggapi keadaan darurat tersebut, Pemerintah Indonesia dibawah
kepemimpinan Presiden Jokowi berkomitmen menegakkan hukuman mati kepada bandar
narkoba (State As action). Dalam konteks ini, hukuman mati tersebut jatuh kepada Myuran
Sukumaran dan Andrew Chan, gembong narkoba asal Australia. Sebelum eksekusi tersebut
dilakukan, PM Abbott mendekati Presiden Jokowi secara langsung agar memberikan
pengampunan kepada Myuran Sukumaran dan Andrew Chan. Juru Bicara Perdana Menteri
mengatakan, Pemerintah Australia terus berupaya agar mencegah eksekusi kedua warganya
di Indonesia. Lalu pada 20 Januari 2015, PM Abbott kembali menyurati Presiden Jokowi
untuk menerima permohonan grasi bagi Sukumaran dan Chan. Tetapi permohonan ini ditolak
oleh Presiden Jokowi pada 2 Februari 2015 dengan menyatakan bahwa Myuran Sukumaran
dan Andrew Chan akan dieksekusi pada bulan Februari meski belum ditetapkan tanggal
pastinya. Selanjutnya pada 9 Februari, Todung Mulya Lubis, pengacara keduanya, mencoba
mengugat Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) atas penolakan Presiden Jokowi. Namun
Jaksa Agung Muhammad Prasetyo mengatakan, gugatan ini tidak bisa dilakukan karena grasi
adalah hak prerogatif Presiden20. Inilah yang menyebabkan ketegangan antara kedua negara
semakin meningkat.
Hal tersebut memicu reaksi keras dari pemerintah Australia dengan menyatakan
bahwa jika hukuman mati tetap dilaksanakan berarti Indonesia telah melanggar HAM. Selain
itu, PM Abbott juga menyatakan bahwa kami membenci narkoba, tetapi juga membenci
hukuman mati. Terus terang kami muak dengan kemungkinan pelaksanaan eksekusi

19

http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150224051535-12-34325/bnn-pengguna-berkurang-indonesiamasih-darurat-narkotik/ (diakses tanggal 14 November 2015, pukul 07.50)


20
http://regional.kompas.com/read/2015/04/29/06330021/Ini.Kronologi.Kasus.Narkoba.Kelompok.Bali.Nine
(diakses tanggal 14 November 2015, pukul 08.00)

13

tersebut21. Pernyataan itu merupakan interpretasi dari tindakan yang dilakukan Indonesia
dan bagaimana Australia mendefinisikan situasinya sendiri (States Bs interpretation of As
action and Bs own definition of the situation).
Akhirnya setelah mengalami beberapa kali penundaan, proses eksekusi mati terhadap
Myuran Sukumaran dan Andrew Chan tetap dilaksanakan. Eksekusi tersebut dilangsungkan
pada Rabu 29 April 2015, dini hari di Pulau Nusakambangan22. Pasca eksekusi mati tersebut,
Australia secara resmi menarik duta besarnya untuk Indonesia. Keputusan itu disampaikan
PM Abbott bersama Menteri Luar Negeri (Menlu) Julia Bishop di Canberra, Australia, hanya
beberapa jam setelah pelaksanaan eksekusi di Nusakambangan. PM Abbott menilai
pelaksanaan eksekusi mati terhadap 8 (delapan) terpidana narkoba, termasuk dua warga
Australia sebagai perbuatan yang kejam dan tindakan yang tidak perlu. Lalu Menlu
Bishop juga menyatakan, pemanggilan duta besarnya di Jakarta itu dimaksudkan untuk
menunjukkan rasa tidak senang negaranya terkait perlakuan yang diterima warga negara
Australia di Indonesia23.
Selain itu, masyarakat Australia juga menunjukkan reaksi yang beragam pasca
hukuman mati tersebut dilaksanakan. Sebagian menyesalkan eksekusi itu, sementara sebagian
lain mendukung. Bahkan tanggapan masyarakat mengenai penarikan duta besar Australia
tersebut juga beragam, tidak seluruh masyarakat mendukung tindakan PM Abbott itu.
Walaupun demikian, bagi masyarakat yang mengecam hukuman mati itu, mereka
berpendapat bahwa pemerintah Australia harus meninjau kembali berbagai kerjasama dan
bantuan dana untuk Indonesia, serta terdapat wacana untuk memboikot perjalanan ke Bali.
Berbagai reaksi tersebut merupakan tindakan yang diambil oleh Australia (State Bs action).
II.3

Signifikansi Implementasi Hukuman Mati Kepada Gembong Narkoba Terhadap Hubungan


Diplomasi dan Masyarakat Transasional Indonesia - Australia
Pada umumnya, sebagian masyarakat Australia tidak menentang hukuman mati yang
dilakukan Indonesia. Berdasarkan survey yang dilakukan oleh Roy Morgan pada 2.123 orang
Australia periode 23 - 27 Januari 2015, sebanyak 52 persen warga sepakat eksekusi mati
untuk warga Australia dilakukan. Lalu sisanya, 48 persen warga Australia tidak mendukung
21

http://internasional.kompas.com/read/2015/03/04/05413531/Duo.Bali.Nine.Dipindah.ke.Nusakambangan.Ton
y.Abbott.Geram (diakses tanggal 15 November 2015, pukul 09.37)
22
http://www.jpnn.com/read/2015/04/29/300913/Indonesia-Eksekusi-Mati-8-Terpidana-Mati-Kasus-Narkoba
(diakses tanggal 15 November 2015, pukul 10.02)
23
http://setkab.go.id/australia-tarik-dubes-presiden-jokowi-ini-kedaulatan-hukum-kita/ (diakses tanggal 15
November 2015, pukul 11.15)

14

eksekusi mati tersebut. Yang juga mengejutkan, ternyata 62 persen responden meminta
pemerintah Australia untuk menghentikan usaha dalam menghadang kebijakan pemerintah
Indonesia mengeksekusi mati dua warganya itu24.
Hasil survey yang merepresentasikan masyarakat Australia tersebut sejalan dengan
pandangan mayoritas masyarakat Indonesia. Mengacu pada survey yang dilakukan oleh Indo
Barometer pada 14 - 22 September 2015 memaparkan bahwa mayoritas publik (84,9 persen)
setuju hukuman mati diberikan terhadap para pengedar narkoba. Yang tidak setuju sebesar
8,6 persen, dan sisanya (6,5 persen) tidak tahu / tidak jawab25. Hal ini mengindikasikan
bahwa masyarakat kedua negara sepakat bahwa penegakan hukuman mati diperlukan dan
masyarakat Australia menghormati hukum yang berlaku di Indonesia.
Namun, apa yang terjadi di level masyarakat (people to people) berbeda dengan yang
terjadi di level negara (state to state), dalam hal ini pemerintah Australia. Tidak beberapa
lama pasca eksekusi mati dilaksanakan, Australia secara resmi menarik duta besarnya di
Jakarta, Paul Grigson. Penarikan duta besar Australia tidak membuat pemerintah Indonesia
khawatir. Bahkan Presiden Jokowi menanggapi hal tersebut dengan menyatakan bahwa ini
adalah kedaulatan hukum Indonesia, kedaulatan hukum Indonesia adalah (harga) mati26. Itu
artinya meskipun Australia menarik duta besarnya, hal ini tidak akan mengubah pendirian
bangsa Indonesia dan praktek hukuman mati tetap akan dilakukan di masa depan.
Lebih lanjut, terdapat isu bahwa Australia akan menghentikan bantuan bagi Indonesia
sebagai bentuk protes. Namun, pemerintah Indonesia sekali lagi tidak ambil pusing atas
pemberitaan tersebut. Juru bicara Kemenlu RI, Arrmanatha Christiawan Nasir, menyatakan
bahwa saat ini Indonesia adalah negara yang dana pembangunannya purely datang dari bujet
internal. Indonesia bukan lagi negara yang membutuhkan bantuan untuk biaya pembangunan.
Kendati demikian, Indonesia menghargai bantuan yang diberikan Australia sebagai upaya
peningkatan kerja sama kedua negara27. Itu artinya sekarang ini pembangunan Indonesia
menggunakan biaya sendiri, tetapi tetap selalu menghormati bantuan dari negara lain,
termasuk Australia.
24

http://www.jpnn.com/read/2015/01/29/284383/Survei-di-Australia-Dukung-Hukuman-Mati-Terpidana-BaliNine (diakses tanggal 16 November 2015, pukul 00.22)


25
http://news.detik.com/berita/3040771/survei-84-persen-publik-mendukung-jokowi-eksekusi-mati-pengedarnarkoba (diakses tanggal 16 November 2015, pukul 00.51)
26
http://news.detik.com/berita/2901234/australia-tarik-dubes-jokowi-ini-kedaulatan-hukum-kita
(diakses
tanggal 16 November 2015, pukul 01.15)
27
http://www.cnnindonesia.com/internasional/20150507182104-106-51936/isu-australia-hentikan-bantuankemlu-ri-kita-tidak-butuh/ (diakses tanggal 12 November 2015, pukul 02.00)

15

Sebaliknya, penarikan duta besar tidak mempengaruhi hubungan kerjasama ekonomi


kedua negara. Wakil Presiden Jusuf Kalla menilai bahwa penarikan itu biasanya hanya
sementara sekitar satu atau dua bulan. Lalu setelah itu akan kembali lagi (bertugas).
Penarikan tersebut hanya menandakan suatu protes. Wapres RI ini menambahkan bahwa
Indonesia lebih banyak mengimpor dari Australia. Berarti kalau menghentikan perdagangan,
Australia yang rugi28. Hal itu menandakan bahwa Australia lebih membutuhkan Indonesia,
terutama dalam hal kerjasama ekonomi.
Bahkan hal tersebut pun diakui oleh Australia seperti yang dinyatakan oleh Menlu
Bishop. Menurutnya, Australia dan Indonesia merupakan teman dan tetangga dekat. Kedua
negara bekerja sama di berbagai bidang seperti penyelundupan manusia, peredaran narkoba,
perdagangan, pendidikan, perniagaan, penelitian ilmiah, penegakan hukum, dan banyak
bidang lainnya29. Pernyataan ini menunjukkan bahwa kerjasama dengan Indonesia memiliki
arti yang sangat penting bagi Australia.
Sebagian masyarakat Australia justru khawatir tentang sikap ekstrem pemerintah
Australia yang menarik duta besarnya tersebut. Berdasarkan survey yang dilakukan oleh
Lowy Institute for International policy menunjukkan bahwa sebagian besar warga Australia
menginginkan respons terbatas terkait eksekusi itu dan prihatin atas rusaknya hubungan
Australia dengan tetangga terdekatnya ini. Dalam jajak pendapat yang digelar pada 1 - 3 Mei
2015 lalu, hanya 42 persen responden yang setuju dengan langkah penarikan duta besar
negeri itu dari Indonesia. Lebih lanjut, hanya 28 persen responden yang mendukung
penundaan proyek-proyek bantuan Australia di Indonesia dan hanya 27 persen responden
yang setuju dengan penundaan kerja sama militer dan penegakan hukum dengan Indonesia.
Lalu, hanya 24 persen responden yang setuju jika pemerintah Australia menjatuhkan sanksi
perdagangan terhadap Indonesia. Langkah yang mendapatkan banyak dukungan adalah protes
diplomatik terbatas yang didukung 59 persen responden. Saat para responden dihadapkan
dengan pilihan durasi perpanjangan penundaan hubungan diplomatik normal dengan
Indonesia, 51 persen responden memilih waktu antara 1-4 bulan dan 34 persen memilih
waktu yang lebih panjang. Bahkan sebanyak 71 persen responden dengan tegas mengatakan
bahwa eksekusi duo "Bali Nine" tak akan membuat mereka memboikot perjalanan wisata ke

28

http://news.okezone.com/read/2015/04/29/337/1141867/jk-penarikan-dubes-australia-enggak-ngefek (diakses
tanggal 17 November 2015, pukul 16.10)
29
http://indonesia.embassy.gov.au/jaktindonesian/TR15-003.html (diakses tanggal 16 November 2015, pukul
16.30)

16

Indonesia atau membeli berbagai produk Indonesia30. Hal ini mengindikasikan bahwa
sebagian besar masyarakat Australia menginginkan hubungan diplomatik Indonesia dan
Australia segera berjalan normal kembali seperti sebelumnya.
Desakan masyarakat Australia kepada pemerintahnya ini berbuah hasil. Duta besar
Australia untuk Indonesia, Paul Grigson, telah kembali ke Jakarta lima minggu setelah dia
ditarik oleh PM Abbott sebagai bentuk protes atas eksekusi terhadap dua warga Australia.
Menurut pemerintah Australia, Grigson tiba ke Jakarta pada Senin 8 Juni 2015 lalu31. Grigson
kembali untuk menjalankan tugas-tugasnya seperti semula. PM Abbott menyatakan bahwa
relasi Indonesia pasca eksekusi malah semakin kuat. PM Abbott mengatakan, hal ini didasari
oleh sangat pentingnya hubungan antara RI dan Australia. Bahkan negaranya sudah
menganggap Indonesia sebagai sahabat dari Australia32. Selain itu, menurut Menlu Bishop,
penugasan kembali Grigson merupakan iktikad baik Australia untuk kembali memperbaiki
hubungan baik dengan Indonesia. Hubungan kedua negara memang sempat menegang paska
eksekusi mati tersebut33.
Akhirnya hubungan kedua negara benar-benar pulih setelah Malcolm Turnbull
menggantikan Tony Abbot sebagai Perdana Menteri Australia yang baru seusai menang
dalam pemungutan suara internal di Partai Liberal Senin malam 14 September 2015 di
Gedung Parlemen, Canberra, dengan selisih 10 suara. Turnbull mendapat 55 suara, sementara
Abbott hanya 44. Menurut Dubes Grigson, terpilihnya Turnbull sebagai orang nomor satu
dalam pemerintahan Australia justru bisa semakin mempererat hubungan antar negara yang
telah lama terjalin. PM Turnbull sangat tertarik untuk menjalin hubungan yang kuat dengan
Indonesia. Sebaliknya, pihak Indonesia berkomitmen akan terus bekerja sama dan membina
persahabatan secara erat dengan Australia34. Komitmen tersebut diantaranya adalah
meningkatkan kerjasama di bidang ekonomi dan diplomasi.

30

http://internasional.kompas.com/read/2015/05/07/18382351/Survei.Sebagian.Besar.Warga.Australia.Sesalkan.
Penarikan.Dubes.dari.Indonesia (diakses tanggal 17 November 2015, pukul 21.15)
31
http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/06/150610_indonesia_dubes_australia (diakses tanggal
17 November 2015, pukul 22.00)
32
http://news.liputan6.com/read/2249405/pasca-eksekusi-duo-bali-nine-hubungan-ri-australia-semakin-kuat
(diakses tanggal 18 November 2015, pukul 04.15)
33
http://international.sindonews.com/read/1010762/40/australia-kembali-kirim-paul-grigson-ke-indonesia1433857021 (diakses tanggal 18 November 2015, pukul 04.30)
34
http://news.liputan6.com/read/2319778/dubes-australia-pm-turnbull-ingin-mempererat-hubungan-dengan-ri
(diakses tanggal 12 November 2015, pukul 05.00)

17

BAB III
KESIMPULAN
Dinamika hubungan internasional antara Indonesia dan Australia yang berlangsung
pasca eksekusi mati kepada gembong narkoba asal Australia, Myuran Sukumaran dan
Andrew Chan, hanya terjadi di level state to state, khususnya di pemerintah Australia sendiri.
Sementara hubungan antara masyarakat kedua negara, people to people, tidak memiliki
dampak yang cukup berarti. Hal ini di dasarkan karena kedua negara saling menghormati
kedaulatan masing-masing. Bahkan, penarikan duta besar Australia untuk Indonesia hanya
berlangsung sekitar lima minggu saja. Setelah itu, Paul Grigson dikirim kembali oleh
pemerintah Australia untuk menjalankan tugas-tugasnya sebagai duta besar. Lebih lanjut, PM
Tony Abbott menyatakan bahwa pasca eksekusi mati dilakukan, hubungan kedua negara
justru semakin kuat. Australia menganggap bahwa Indonesia adalah sahabat dekat.
Ketika Tony Abbott digantikan oleh Malcolm Turnbull sebagai Perdana Menteri
Australia yang baru pada September 2015, hubungan antara kedua negara bisa dikatakan
benar-benar pulih. PM Turnbull menyatakan bahwa Australia ingin meningkatkan hubungan
kerjasama ekonomi dan diplomasi dengan Indonesia. Hal ini semakin mengindikasikan
bahwa eksekusi mati terpidana narkoba tersebut tidak memiliki pengaruh yang signifikan
bahkan di level pimpinan negara (state to state) setelah terjadi pergantian kepemimpinan.
Penulis beranggapan bahwa pendekatan teori interaksi timbal-balik (reciprocal
interaction) yang dikemukakan oleh Wendt dalam menganalisa dinamika hubungan
Indonesia-Australia melalui paradigma konstruktivisme yang didasari oleh pemikiran dan ide
terkait dengan isu ini sangat implementatif, relevan dan dapat dipertanggungjawabkan.
Ketika desakan yang muncul dari publik Australia sendiri agar hubungan dengan Indonesia
ingin kembali normal, kebijakan pemerintah Australia akhirnya berubah. Tindakan yang
dilakukan oleh suatu negara terjadi karena adanya proses. Hal ini membuktikan bahwa anarki
bukan terjadi karena faktor struktur dan bersifat given, melainkan anarki adalah apa yang
dibuat oleh negara.

18

DAFTAR PUSTAKA
Gallahue, Patrick; and Rick Lines. 2010 The Death Penalty for Drug Offences. London:
International Harm Reduction Association.
Jackson, Robert; and Georg Sorensen. 2010 & 2014. Introduction to International Relations:
Theories and Approaches ed 3 & 4. Oxford: Oxford University Press.
Jokowi Dodo & Jusuf Kalla. 2014. Jalan Perubahan Untuk Indonesia Yang Berdaulat,
Mandiri Dan Berkepribadian: Visi, Misi dan Program Aksi. Jakarta.
Reus-Smit, Christian. 2001. Constructivism, in; Scott Burchill, et al. Theories of
International Relations. New York: Palgrave Macmillan.
United Nations. 2013. The International Drug Control Conventions. New York: United
Nations.
Wendt, Alexander. 1992. Anarchy is what States Make of it: The Social Construction of
Power Politics. Massachusetts: the World Peace Foundation and the Massachusetts
Institute of Technology
http://nasional.sindonews.com/read/739018/15/80-persen-narkoba-di-indonesia-masuk-lewat
laut-1366180162
http://news.liputan6.com/read/2213946/freddy-budiman-gampang-tawarkan-narkobamelaluiwartel-penjara
http://news.detik.com/berita/2898310/sekjen-pbb-kecam-indonesia-mk-hukuman-mati-pesankonvensi-internasional
http://www.bbc.com/indonesia/forum/2015/04/150429_forum_eksekusi_mati_diplomatik
http://setkab.go.id/pro-kontra-hukuman-mati-bagi-pelaku-kejahatan-narkoba/
https://www.sentencingcouncil.vic.gov.au/about-sentencing/maximum-penalties
http://www.antaranews.com/berita/480901/lika-liku-australia-menghapus-hukuman-mati
http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150224051535-12-34325/bnn-penggunaberkurang-indonesia-masih-darurat-narkotik/
http://regional.kompas.com/read/2015/04/29/06330021/Ini.Kronologi.Kasus.Narkoba.Kelom
pok.Bali.Nine
http://internasional.kompas.com/read/2015/03/04/05413531/Duo.Bali.Nine.Dipindah.ke.Nusa
kambangan.Tony.Abbott.Geram
http://www.jpnn.com/read/2015/04/29/300913/Indonesia-Eksekusi-Mati-8-Terpidana-MatiKasus-Narkoba

19

http://setkab.go.id/australia-tarik-dubes-presiden-jokowi-ini-kedaulatan-hukum-kita/
http://www.jpnn.com/read/2015/01/29/284383/Survei-di-Australia-Dukung-Hukuman-MatiTerpidana-Bali-Nine
http://news.detik.com/berita/3040771/survei-84-persen-publik-mendukung-jokowi-eksekusimati-pengedar-narkoba
http://news.detik.com/berita/2901234/australia-tarik-dubes-jokowi-ini-kedaulatan-hukum-kita
http://www.cnnindonesia.com/internasional/20150507182104-106-51936/isu-australiahentikan-bantuan-kemlu-ri-kita-tidak-butuh/
http://news.okezone.com/read/2015/04/29/337/1141867/jk-penarikan-dubes-australiaenggak-ngefek
http://indonesia.embassy.gov.au/jaktindonesian/TR15-003.html
http://internasional.kompas.com/read/2015/05/07/18382351/Survei.Sebagian.Besar.Warga.A
ustralia.Sesalkan.Penarikan.Dubes.dari.Indonesia
http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/06/150610_indonesia_dubes_australia
http://news.liputan6.com/read/2249405/pasca-eksekusi-duo-bali-nine-hubungan-ri-australiasemakin-kuat
http://international.sindonews.com/read/1010762/40/australia-kembali-kirim-paul-grigsonke-indonesia-1433857021
http://news.liputan6.com/read/2319778/dubes-australia-pm-turnbull-ingin-mempererathubungan-dengan-ri

20

Anda mungkin juga menyukai