Anda di halaman 1dari 5

PENGENDALIAN PENYAKIT INFEKSI (PPI) PADA PELAYANAN OBSTETRI

NEONATAL EMERGENSI DASAR (PONED)


Kamis, 14 Agustus 2014
Pendahuluan.Dalam rangka menurunkan AKI dari 390 per 100.000 kelahiran menjadi 102 per
100.000 kelahiran AKB dari 69 per 1000 kelahiran menjadi 23 per 100 kelahiran, perlu dilaksanakan
upaya terpadu dalam menangani permasalahan dan penyakit yang terjadi pada masa hamil,
bersalin, nifas dan bayi neonatus, khususnya dalam menangani kasus kedaruratan obstetri dan
neonatus. Untuk memperkuat pencapaian indikator kunci Making Pregnancy Safer/MPS dan
Millenium Development Goals (MDGS), Renstra Kementerian Kesehatan 2010-2015 menetapkan
bahwa seluruh puskesmas kecamatan di Indonesia harus memberikan pelayanan Obstetri Neonatal
Emergensi Dasar (PONED) selama 24 jam.
Sehubungan dengan hal tersebut diatas dalam rangka meningkatkan efektifitas penanganan
PONED di Puskesmas, maka pengendalian penyakit infeksi penting dilaksanakan, mengingat
dewasa ini di Indonesia telah memasuki epidemi HIV/AIDS gelombang kelima yang ditandai dengan
munculnya kasus HIV/AIDS pada ibu rumah tangga/para isteri, bahkan Ibu dengan janin yang
sedang dikandungnya. Data sampai 2001 tercatat 2000 kasus HIV/AIDS yang dilaporkan di
Indonesia dan sepertiga diantaranya adalah wanita. Ternyata kasus infeksi HIV bertambah lebih
cepat diantara wanita dan dalam waktu yang tidak terlalu lama akan menyusul jumlah infeksi pada
laki-laki. Kasus HIV (+) tidak menampilkan gejala dan tanda klinik yang spesifik, tetapi dapat
menularkan penyakit sebagaimana kasus Hepatitis B(+). Sementara itu dalam melakukan
pengelolaan kasus HIV/AIDS, petugas mesehatan dapat terinfeksi bila terjadi kontak dengan cairan
tubuh/darah pasien.
Dalam memberikan pelayanan kesehatan terhadap ibu hamil, bersalin dan nifas, ataupun diluar
masa itu, petugas kesehatan selalu memiliki risiko terinfeksi oleh mikroorganisme melalui
darah/cairan tubuh. Maka setiap petugas pelaksana pelayanan kesehatan perlu memegang prinsipprinsip pencegahan infeksi, khususnya prinsip Kewaspadaan Universal (KU). Kewaspadaan
Universal adalah pedoman yang ditetapkan untuk mencegah penyebaran berbagai penyakit yang
ditularkan melalui darah/cairan tubuh di lingkungan rumah sakit atau sarana kesehatan lainnya.
Konsep yang dianut adalah bahwa semua darah/cairan tubuh harus dikelola sebagai sumber yang
dapat menularkan HIV, Hepatitis B dan berbagai penyakit lain yang ditularkan melalui darah/cairan
tub
Pelaksanaan Kewaspadaan Universal.
Petugas kesehatan harus secara rutin memakai sarana yang dapat dipakai untuk mencegah kontak
kulit/selaput lendir dengan darah/cairan tubuh lainnya dari pasien yang dilayaninya. Setiap petugas
kesehatan harus : (1) Menggunakan sarung tangan bila menyentuh darah/cairan tubuh, selaput
lendir atau kulit yang tidak utuh; (2) Mengelola peralatan dan sarana kesehatan yang tercemar
darah/cairan tubuh; (3) Mengerjakan fungsi vena atau prosedur lain yang menyangkut pembuluh
darah; (4) Sarung tangan harus selalu diganti setiap selesai kontak dengan seorang pasien; (5)
Memakai masker/pelindung mata/pelindung wajah bila mengerjakan prosedur yang memungkinkan

terjadinya cipratan darah/cairan tubuh guna mencegah terpaparnya selaput lendir pada mulut,
hidung dan mata; (6) Memakai pakaian kerja khusus selama melakukan tindakan yang mungkin
menimbulkan cipratan darah/cairan tubuh.
Tangan dan bagian tubuh lainnya harus segera dicuci dengan sabun dan air mengalir sebersih
mungkin bila terpapar darah/cairan tubuh. Cuci tangan harus dilakukan setiap kali melepas sarung
tangan.
Petugas kesehatan harus selalu waspada terhadap kemungkinan tertusuk jarum, pisau dan
benda/alat tajam lainnya selama membersihkan/mencuci peralatan, membuang sampah atau
membenahi peralatan setelah berlangsungnya prosedur/tindakan.
Untuk mencapai tujuan ini, jangan menutup kembali jarum suntik setelah dipakai, jangan sengaja
membengkokkan jarum suntik dengan tangan, jangan melepas jarum suntik dari tabungnya atau
melakukan apapun pada jarum suntik dengan menggunakan tangan terbuka. Setelah semua benda
tajam selesai digunakan, maka harus ditaruh dalam wadah khusus yang tahan/anti tusukan.
Kemudian wadah kumpulan benda tajam harus terjamin aman untuk dibawa ke tempat pemrosesan
alat atau dalam proses pengenyahannya.
Walaupun air liur belum terbukti menularkan HIV, tindakan resusitasi dari mulut ke mulut harus
dihindari. Jadi setiap tempat dimana terdapat kemungkinan resusitasi, perlu tersedia alat resusitasi.
Petugas kesehatan yang mengalami luka atau lesi yang mengeluarkan cairan, misalnya dermatitis
basah, harus menghindari tugas yang bersifat kontak langsung dengan peralatan bekas pakai
pasien.
Petugas kesehatan yang hamil tidak mempunyai risiko lebih besar untuk tertular HIV. Namun
demikian, bila terjadi infeksi HIV selama kehamilan, janin yang dikandungnya berisiko untuk
mengalami transmisi perinatal. Karena itu petugas kesehatan yang sedang hamil harus lebih
memperhatikan segala prosedur yang dapat menghindari penularan HIV.
Dengan menerapkan KU, setiap petugas kesehatan akan terlindung secara maksimal dari
kemungkinan terkena infeksi penyakit yang ditularkan melalui darah/cairan tubuh, baik dari kasus
yang terdiagnosis maupun yang tidak terdiagnosis.
Dalam pelaksanaan kewaspadaan universal disadari bahwa diagnosis dini adanya infeksi oleh
mikroorganisme pada pasien penting peranannya dalam keberhasilan penangan kasus. Akan tetapi
berdasarkan berbagai pertimbangan saat ini, penapisan terhadap berbagai infeksi virus tidak
mungkin dilakukan secara rutin,. Bahkan pada infeksi HIV terdapat Window Period dimana pada
masa tersebut darah/cairan tubuh sudah dapat menularkan infeksi, walaupun adanya HIV belum
dapat terdeteksi melalui pemeriksaan laboratorium. Karena itu prinsip KU dalam pencegahan infeksi
merupakan kunci utama keberhasilan memutuskan rantai transmisi penyakit yang ditularkan melalui
darah/cairan tubuh lainnya.
Kewaspadaan dalam tindakan medik dilakukan dengan mentaati semua prosedur pembedahan
yang membuka jaringan organ, pembuluh darah dan pertolongan persalinan atau tindakan abortus,
termasuk tindakan medik invasif berisiko tinggi menularkan HIV bagi tenaga kesehatan. Untuk

memutuskan rantai penularan, perlu pembatas berupa : (1) Kacamata pelindung untuk menghindari
percikan cairan tubuh ke mata; (2) Masker pelindung hidung/mulut untuk mencegah percikan pada
mukosa hidung/mulut; (3) Plastik penutup badan (apron) untuk mencegah kontak dengan
darah/cairan tubuh pasien; (4) Sarung tangan yang sesuai untuk pelindung tangan yang aktif
melakukan tindakan medik invasif; (5) Penutup kaki untuk melindungi kaki dari cairan yang infektif.
Kegiatan di unit gawat darurat pada umumnya melayani kasus gawat darurat awal di suatu rumah
sakit, harus meyediakan peralatan yang berkaitan dengan pelaksanaan KU. Sara seperti sarung
tangan, masker dan gaun khusus harus selalu ada, mudah dicapai dan mudah dipakai.
Kegiatan di kamar operasi, seperti : (1) Dalam prosedur operasi. Selain kontak langsung dengan
darah, tertusuknya bagian tubuh oleh benda tajam merupakan kejadian yang harus dicegah. Oleh
karena itu bagian instrumen yang tajam jangan diberikan dan dari operator oleh asisten atau ahli
instrumen. Untuk memudahkan hal ini dipakai nampan guna menyerahkan instrumen tajam atau
mengembalikannya. Operator bertanggungjawab menempatkan benda tajam secara aman. (2) Pada
saat menjahit. Pada saat menjahit lakukan sedemikian rupa sehingga jari/tangan terhindar dari
tusukan. (3) Memisahkan jaringan. Jangan gunakan tangan untuk memisahkan jaringan, karena hal
itu akan menambah risiko pemaparan infeksi melalui tangan operator. (4) Operator sulit. Untuk
operasi yang membutuhkan waktu lebih dari 60 menit dan ruang kerjanya sempit, dianjurkan unttuk
menggunakan sarung tangan ganda. (5) Melepaskan baju operasi. Melepaskan baju operasi harus
dilakukan sebelum membuka sarung tangan agar tidak terpapar darah/cairan tubuh dari baju
operasi. (6) Pencucian instrumen bekas Pakai. Pencucian instrumen bekas pakai dilakukan
sebaiknya secara mekanik. Bila mencuci instrumen secara manual, petugas harus menggunakan
sarung tangan rumah tangga dan instrumen sebelumnya telah di dekontaminasi dengan merendam
dalam larutan klorin 0,5% selama 10 menit. (7) Seorang dokter yang melakukan prosedur
pembedahan sebaiknya telah diuji kelayakannya untuk melakukan pembedahan secara khusus
tersebut.
Kegiatan di kamar bersalin. Kegiatan di kamar bersalin, selain memperhatikan kebutuhan
pembatas yang telah disebutkan diatas, perlu diingatkan bahwa : (1) Kegiatan di kamar bersalin
yang membutuhkan lengan/tangan untuk manipulasi instrauterin harus menggunakan apron dan
sarung tangan yang mencapai siku; (2) Menolong bayi baru lahir harus menggunakan sarung
tangan; (3) Cara pengisapan lendir bayi dengan mulut harus ditinggalkan; (4) Potong tali pusat
diantara dua klem setelah diurut kearah ibu untuk menghindari percikan darah; (5) ASI dari ibu yang
terinfeksi HIV berisiko untuk bayi baru lahir, tetapi tidak berisiko untuk tenaga kesehatan.
Prosedur anestesi. Prosedur anestesi prosedur merupakan aktifitas yang dapat memaparkan
infeksi virus pada tenaga kesehatan. Beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah : (1) Perlu
disediakan nampan/troli untuk alat yang telah selesai digunakan; (2) Jarum harus dibuang segera
setelah pemakaian ke wadah yang aman; (3) Pakailah obat sedapat-dapatnyya untuk dosis satu kali
pemberian; (4) Menutup spuit adalah prosedur berisiko tinggi. (5) Sangat dianjurkan bahwa petugas
anestesi melalui uji kelayakan terlebih dahulu untuk meminimalkan risiko terluka oleh jarum
suntik//alat tajam lain yang tercemar darah/cairan tubuh.

Manajemen untuk tenaga kesehatan yang terpapar darah/cairan tubuh, dapat dilakukan dengan
: (1) Paparan secara parenteral melalui tusukan jarum, kena potong dan lain-lain. Keluarkan darah
sebanyak mungkin, cuci tangan dengan sabun dan air mengalir. (2) Paparan pada selaput lendir
melalui percikan, seperti percikan pada : Mata, cucilah mata dalam keadaan terbuka menggunakan
air atau cairan NaCL; Mulut, keluarkan cairan mengandung infeksi dengan cara berludah kemudian
kumur dengan air beberapa kali; Kulit, (kulit yang utuh, kulit yang sedang luka, lecet atau dermatitis).
Cuci sebersih mungkin dengan sabun dan air mengalir. Selanjutnya, mereka yang terpapar ini perlu
mendapatkan pemantauan HIV yang sesuai dan perhatian terhadap kondisi kesehatannya.
Penanganan alat-alat yang terkontaminasi. Proses dasar pencegahan infeksi yang harus
digunakan untuk mengurangi transmisi penyakit dari peralatan, sarung tangan dan bahan-bahan lain
yang terkontaminasi adalah : (1) Pembuangan sampah dan dekontaminasi; (2) Pencucian dan
pembilasan; (3) Sterilisasi; (4) Desinfeksi tingkat tinggi.
Pembuangan sampah secara aman. Tujuan pembuangan sampah klinik secara benar adalah : (1)
Mencegah penyebaran infeksi kepada petugas klinik yang menangani sampah dan kepada
masyarakat; (2) Melindungi orang-orang yang menangani sampah dari luka karena kecelakaan.
Sampah yang tidak terkontaminasi tidak memberikan risiko infeksi kepada orang yang
menangani sampah tersebut. Contoh sampah yang tidak terkontaminasi termasuk kertas, kardus,
botol dan wadah-wadah plastik yang merupakan produk rumah tangga biasa yang digunakan di
dalam klinik. Biar bagaimanapun, kebanyakan sampah suatu fasilitas kesehatan adalah sampah
terkontaminasi.
Sampah terkontaminasi dapat membawa mikroorganisme dalam jumlah besar yang mempunyai
potensi menularkan infeksi kepada orang yang kontak atau menangani sampah tersebut dan juga
kepada masyarakat jika sampah tersebut tidak ditangani dengan benar. Sampah terkontaminasi
termasuk darah, nanah, air seni, tinja dan cairan tubuh lainnya dan juga termasuk bahan-bahan
habis pakai yang terkena/kontak dengan darah, nanah dan sebagainya. Sampah yang berasal dari
ruang operasi harus dikatagorikan sebagai sampah terkontaminasi. Sebagai tambahan sampah
terkontaminasi, juga termasuk barang-barang yang mungkin dapat menyebabkan luka (misalnya
jarum suntik, scapel) atau dapat menyebarkan penyakit melalui darah (Blood-Borne Disease) seperti
Hepatitis B dan AIDS.
Penanganan yang benar terhadap sampah . Penanganan yang benar terhadap sampah akan
mengurangi penyebaran infeksi kepada petugas klinik dan kepada masyarakat setempat. Jika
memungkinkan, sampah yang tidak terkontaminasi harus ditransportasikan ke tempat pembuangan
sampah dalam wadah tertutup. Petugas yang menangani sampah harus menggunakan sarung
tangan tebal. Sampah terkontaminasi harus dibakar dalam insinerator atau dikubur. Incinerator
memberikan suhu yang tinggi dan membunuh mikroorganisme, karena itu merupakan pilihan utama
untuk menangani sampah terkontaminasi. Insinerator juga mengurangi volume sampah yang perlu
dikubur. Jika tidak terdapat incinerator semua sampah terkontaminasi harus dikubur untuk
mencegah sampah tersebut berhamburan (Sumber: JHPIEGO IP Manual, Chapter 9:97, 1992).

Pemeliharaan lingkungan yang aman. Pemeliharaan lingkungan yang aman, dalam hal ini bebas
dari infeksi, merupakan proses yang berlangsung terus menerus dan memerlukan pelatihan dan
supervisi yang ketat, yang diulang secara berkala bagi staf klinik. Bila praktik pencegahan infeksi
diterapkan sebaik-baiknya, sesuai apa yang dianjurkan, infeksi yang mungkin terjadi sebagai
kelanjutan atau akibat pelayanan Keluarga Berencana dan penyebaran penyakit seperti Hepatitis B
dan HIV/AIDS dapat dihindari. Namun demikian seluruh praktik pencegahan infeksi sesuai anjuran
yang telah dijelaskan di atas harus diterapkan secara tepat sebelum, selama dan sesudah tiap
prosedur dilakukan. Keteledoran pada setiap langkah dalam pelayanan rutin dapat mengakibatkan
hasil yang buruk bagi tingkat keamanan prosedur selanjutnya.
Sumber : Pelatihan Poned, Kemenkes RI, Pusdiklat Aparatur 2011.
Oleh : Ni Nyoman Kristina, SKM, MPH. WIDYAISWARA MUDA DINAS KESEHATAN PROVINSI
BALI

Anda mungkin juga menyukai