Anda di halaman 1dari 3

Nama

: Kezia Devi Rahajeng

NIM : 13162
Evolusi serangga terjadi melalui 3 proses yang secara berurutan,
yaitu mikroevolusi, spesiasi, dan makroevolusi. Mikroevolusi adalah
evolusi serangga yang terjadi didalam populasi karena proses tekanan
seleksi. Spesiasi adalah evolusi serangga yang terjadi dalam jangka waktu
lebih lama daripada mikroevolusi. Makroevolusi adalah evolusi serangga
yang terjadi pada waktu yang sangat lama melampaui batas waktu
geologi. Sebagian orang berpendapat bahwa serangga mengalami evolusi
dari masa ke masa. Hal itu dibuktikan oleh ditemukannya fosil serangga
purba di Amerika Selatan (AS). Fosil serangga purba tersebut memberi
petunjuk tentang terjadinya evolusi serangga bersayap. Bentuknya
menyerupai lalat capung (mayfly), salah satu jenis serangga yang
tergolong primitif dengan periode hidup hanya sehari. Serangga purba
yang diteliti para ilmuwan dari Stuttgart Natural History Museum tersebut
termasuk serangga dari kelas Cretaceous tingkat rendah yang dapat
ditemukan di Amerika Selatan. Menurut tim peneliti yang dipimpin oleh
Arnold Staniczek dan Gunter Bechly, serangga diperoleh dari fosil
misterius yang disebut Coxoplectoptera. Namun serangga jenis tersebut
dipastikan telah punah. Fosil serangga purba tersebut masih merupakan
kerabat dari lalat capung yang ada sekarang. Lalat capung yang hodup
sekarang termasuk dalam ordo Ephemeroptera yang berasal dari Bahasa
Yunani kuno yaitu ephemeros yang berarti hidup singkat dan pteron yang
berarti sayap. Serangga ini menjalani siklus metamorfosis tak sempurna
dalam waktu sehari (Sumber: Gloria Samantha/National Geographic
Indonesia). Evolusi leluhur kutu pohon memodifikasi sayap menjadi helm.
Kamuflase kutu pohon berasal dati sayap leluhur. Sekitar 300 juta tahun
Treehoppers memodifikasi sayap menjadi helm. Treehoppers adalah
master mimikro. Pada punggung mereka, muncul organ aneh terlihat
seperti milik kerabat jangkrik yang disebut helm. Mirip biji, duri, kotoran
ulat, dan bahkan semut. Saat ini para biologi menelusuri perkembangan
asal-usul dan evolusi helm yang menunjukkan perlakuan kutu pohon
seperti serangga lainnya lebih dari 300 juta tahun yaitu sepasang sayap

yang dimodifikasi membentuk helm. Helm memanjang dari belakang


kepala pada segmen pertama dada, bagian tengah tubuh. Para entomolog
telah lama berpikir helm adalah perpanjangan dari exoskeleton toraks,
kulit luarnya keras. Seperti sayap, helm memiliki urat yang mendorong
salah satu peneliti di tahun 1950-an untuk menunjukkan helm adalah
modifikasi sayap. Gompel dan Benyamin Prud'homme melihat dari dekat
lima jenis kutu pohon dan menemukan bahwa organ seperti engsel
dimana helm terkait ke tubuh, membuatnya semakin fleksibel dan mudah
menipu. Ketika menelusuri perkembangan seekor treehopper, Gompel dan
Prud'homme menemukan helm dimulai dengan dua kuncup terpisah dari
jaringan di bagian belakang nimfa dan kemudian menyatu. Regulasi
selular helm menyerupai sayap dan dua struktur terungkap dalam cara
yang sama selama perkembangan. Serangga purba telah membangun
pelengkap punggung, kemungkinan besar untuk berenang. Seiring waktu,
tubuh menyusun rencana evolusi semakin canggih, sehingga untuk 300
juta tahun terakhir, serangga baru saja membangun dua set sayap pada
segmen kedua dan ketiga thorax. Gen yang disebut Hox aktif di segmen
pertama thorax untuk memastikan tidak ada bentuk sayap di sana.
Treehoppers yang mulai berevolusi 50 juta tahun yang lalu dan sudah
sangat dini pada helm, kini terbukti menjadi pengecualian. Gen Hox masih
aktif, tetapi entah kenapa tetap berupa sayap. Prud'homme dan Gompel
menyarankan, karena sayap tambahan dan tidak diperlukan untuk
terbang, kutu pohon bebas melakukan diversifikasi ke dalam berbagai
penyamaran.
Sebagian

orang

ada

yang

berpendapat

bahwa

tidak

semua

serangga mengalami evolusi, bahkan ada pula yang berpendapat bahwa


serangga tidak berevolusi. Hal tersebut didukung oleh para peneliti yang
berhasil menemukan fosil serangga purba yang berusia 100 juta tahun di
wilayah utara Brazil. Fosil tersebut merupakan nenek moyang dari
Schizodactylidae, serangga serupa jangkrik berkaki lebar yang kini masih
ditemukan di wilayah Asia Selatan, Indochina bagian utara, dan Afrika.
Penemuan fosil tersebut telah dipublikasikan dalam jurnal online ZooKeys.
Terdapat perbedaan karakteristik fosil dengan Schizodactylidae yang

hidup saat ini, namun secara umum karakteristik keduanya hampir sama.
Kesamaan itulah yang membuktikan bahwa Schizodactylidae mengalami
evolusi statis atau tidak berevolusi selama jutaan tahun. Evolusi statis
adalah peristiwa dimana kelompok organisme tertentu hanya menga,ami
sedikit perubahan genetik dalam rentang waktu geologi yang cukup lama.
Ahli

serangga

dari

Universitas

Illinois

yang

bernama

Sam Heads

mengatakan bahwa Schizodactylidae mengalami evolusi statis sejak


periode awal zaman Cretaceous 100 juta tahun lalu. Schizodactylidae
adalah jangkrik berkaki lebar dan kelompok serangga besar yang memiliki
kekerabatan dengan jangkrik yang sehari-hari kita kenal. Schizodactylidae
mendapatkan

namanya

dari

struktur

kaki

serupa

membantunya bergerak di pasir dan mencari mangsa.

dayung

yang

Anda mungkin juga menyukai