Anda di halaman 1dari 67

PROGRAM STUDI TEKNIK ARSITEKTUR

FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SRIWIJAYA

Pengantar ...........................................................................................................

Daftar ................................................................................................................

II

Bagian Satu
PENGERTIAN DAN SEJARAH PERKEMBANGAN PERMUKIMAN

1.1

Pengertian Rumah ................................................................................

1.2

Fungsi Rumah ......................................................................................

1.3

Pengertian Perumahan .........................................................................

1.4

Pengertian Permukiman .......................................................................

1.5

Hubungan Rumah, Perumahan dan Permukiman ................................

1.6

Sejarah Perkembangan Permukiman ...................................................

Bagian Dua
PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN DI INDONESIA

2.1

Permasalahan Perumahan dan Permukiman di Indonesia ....................

2.2

Pendekatan Pembangunan Perumahan dan Pemukiman ......................

10

2.3

Perkembangan Kebijaksanaan Perumahan dan Permukiman ..............

11

di Indonesia

Bagian Tiga
POLA PENGADAAN PERUMAHAN DI INDONESIA

3.1

Program Pembangunan Perumahan dan Permukiman .........................

14

3.2

Peran Pemerintah dalam Pengadaan Rumah ........................................

14

3.3

Real Estate Dalam Pembangunan Perumahan di Indonesia .................

19

3.4

Pembangunan Bertumpu pada Masyarakat .........................................

22

Bagian Empat
PERENCANAAN TAPAK PERUMAHAN

4.1

Proses Perencanaan Tapak ..................................................................

25

4.2

Analisa Tapak Perumahan ...................................................................

26

4.3

Ruang Terbuka .....................................................................................

26

4.4

Teritori .................................................................................................

30

4.5

Jalur Sirkulasi ......................................................................................

32

4.6

Utilitas Kawasan ..................................................................................

37

4.7

Fasilitas Lingkungan Permukiman ......................................................

45

Bagian Lima
RUMAH DALAM PERANCANGAN PERMUKIMAN

5.1

Analisa Penentuan Persil Rumah .........................................................

50

5.2

Menghitung Harga Rumah Dan Persil .................................................

54

5.3

Penentuan Tipe Rumah ........................................................................

57

5.4

Koordinasi Modular Dalam Rancangan Rumah ..................................

61

5.5

Persyaratan Rumah Sehat ....................................................................

64

5.6

Peraturan Dalam Perancangan Rumah ..................................................

64

Bagian Enam
PENEMUAN BAHAN BANGUNAN DARI SISTEM KONSTRUKSI
ALTERNATIF UNTUK PERUMAHAN

6.1

Bahan Bangunan ..................................................................................

69

6.2

Cara Pembuatan ...................................................................................

70

6.3

Metode Pelaksanaan .............................................................................

70

Bagian Tujuh
LINGKUNGAN PERMUKIMAN KUMUH

7.1

Kampung Kota .....................................................................................

71

7.2

Permukiman Kumuh ............................................................................

74

BAGIAN SATU
PENGERTIAN DAN SEJARAH
PERKEMBANGAN PERMUKIMAN

1. PENGERTIAN RUMAH, PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN


1.1

RUMAH

Pengertian rumah dapat bermacam-macam karena sebagai wujud karya arsitektur tertua
mengalami perkembangan sesuai dengan kemajuan kehidupan manusia.
Menurut Hayward beberapa konsep tentang rumah adalah :
a. Rumah sebagai pengejewantahan jati diri : rumah sebagai simbol dan pencerminan
tata nilai selera pribadi penghuninya.
b. Rumah sebagai wadah keakraban : rasa memiliki, kebersamaan, kehangatan, kasih
sayang, aman tercakup dalam konsep ini.
c. Rumah sebagai tempat menyendiri dan menyepi : rumah disini merupakan tempat
kita melepaskan diri dari dunia luar dari tekanan dan ketegangan dari kegiatan rutin.
d. Rumah sebagai akar dan kesinambungan : dalam konsep ini rumah atau kampung
halaman dilihat sebagai tempat untuk kembali pada akar dan menumbuhkan rasa
kesinambungan dalam untaian proses masa depan.
e. Rumah sebagai wadah kegiatan utama sehari-hari
f. Rumah sebagai pusat jaringan sosial
g. Rumah sebagai struktur fisik ( Hayward, P,G, 1987 : 3 )
Berdasarkan pendapat di atas maka rumah bukan hanya sebagai bentukan fisik yang selama
ini mendapat perhatian paling besar, tetapi rumah juga dapat merupakan proses yang dinamis
dan melekat di dalamnya konsep yang menyentuh aspek sosial dan psikologi.
Pengertian rumah dapat ditinjau dari beberapa sudut pandang antara lain :
a. Rumah sebagai lingkungan fisik adalah sebuah lingkungan buatan yang digunakan
manusia untuk hidup
b. Rumah sebagai tujuan adalah suatu struktur buatan yang memberikan perlindungan
dari gangguan alam, binatang buas, dan manusia lainnya.
c. Rumah sebagai suatu produk dan proses adalah suatu produk kebudayaan manusia
dan selalu berkembang sesuai dengan tingkat kebutuhan manusia.
1.2 F U N G S I R U M A H
Perkembangan kebutuhan manusia terhadap rumah mempengaruhi perubahan dan
penambahan fungsi rumah tersebut, secara garis besar perkembangan fungsi rumah adalah
sebagai berikut :
1. Rumah sebagai tempat berlindung : merupakan fungsi yang pertama bagi manusia
pada rumah, karena pada awal peradaban manusia hidup berpindah-pindah, manusia
masih tergantung pada alam dan cenderung memanfaatkan bentukan alam seperti
gua dan pohon sebagai tempat berlindung.

2. Rumah sebagai tempat menetap perubahan pola hidup manusia yang menetap di
suatu tempat disebabkan oleh perubahan pola hidup manusia dari pengumpul bahan
dari alam menjadi sebagai penyedia kebutuhan sendiri dengan bercocok tanam dan
berternak. Keinginan manusia untuk menetap diwujudkan dengan konstruksi dan
pemakaian bahan bangunan yang lebih tahan terhadap cuaca dan penambahan pada
rumah karena tuntutan bertambahnya aktifitas manusia yang makin beragam.
3. Rumah sebagai tempat menghimpun keluarga
Salah satu kebutuhan dasar manusia adalah keinginan hidup berumah tangga
sehingga dibutuhkan wadah untuk menampung keinginan tersebut. Bagi pasangan
yang baru membentuk keluarga belum lengkap kalau belum memiliki rumah.
4. Rumah sebagai cerminan status sosial
Keluarga merupakan bagian terkecil dari masyarakat, kumpulan keluarga akan
membentuk masyarakat yang lebih luas dan menimbulkan kelompok dalam
masyarakat. Sifat manusia sebagai makhluk individu menyebabkan keinginan untuk
tampil beda dengan manusia lainnya. Rumah merupakan salah satu media yang dapat
dipakai untuk menunjukan status sosial penghuni sebagai tuntutan pengakuan diri
penghuni terhadap masyarakat.
5. Rumah sebagai tempat usaha
Perkembangan peradaban manusia menuntut pekerjaan yang makin spesifik sehingga
membutuhkan ruangan yang khusus. Perkembangan yang menarik aktifitas usaha
dalam skala kecil dapat ditampung di rumah tinggal sehingga rumah dapat
difungsikan sebagai tempat usaha. Rumah toko dikenal pertama kali dalam arsitektur
romawi dan dalam perkembangan selanjutnya rumah menampung fungsi-fungsi
komersial lainnya. Bentuk lain dari rumah sebagai tempat usaha adalah menjadikan
rumah sebagai investasi dengan membeli rumah untuk disewakan atau dijual
kembali.

1.3 P E R U M A H A N
Berkelompoknya beberapa rumah dalam suatu lingkungan/daerah tertentu dilengkapi dengan
fasilitas penunjang secara fisik disebut perumahan.
Dalam masyarakat Indonesia perumahan sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia
merupakan pengejewantahan diri manusia baik sebagai pribadi maupun sebagai suatu
kesatuan dengan sesama dan lingkungan alam ( C. Batubara, 1986 : 4 )
1.4 P E R M U K I M A N
Dari beberapa definisi tersebut diatas maka permukiman dapat didefinisikan, Permukiman
adalah suatu kawasan perumahan yang ditata secara fungsional sebagai satuan ekonomi,
sosial dan fisik tata ruang, dilengkapi dengan prasarana lingkungan, sarana umum, dan
fasilitas sosial sebagai satu kesatuan yang utuh, dengan membudidayakan sumber-sumber
daya dan dana dan peningkatan mutu kehidupan manusia.
Permukiman adalah satuan kawasan perumahan lengkap dengan prasarana lingkungan,
prasarana umum dan fasilitas sosial yang mengandung keterpaduan kepentingan dan
keselarasan pemanfaatan sebagai lingkungan hidup (Soedarsono, 1986 : 28)

Permukiman adalah penataan kawasan yang dibuat oleh manusia untuk kepentingannya.
Permukiman suatu hasil kegiatan manusia dan tujuannya untuk bertahan hidup sebagai
manusia agar dapat hidup lebih baik, bahagia dan aman mengandung kesempatan untuk
pembangunan manusia sesungguhnya (C. A.Doxiadis, 1974 : 299)

1.5 HUBUNGAN RUMAH, PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN


Dalam proses bermukim rumah merupakan pusat kegiatan budaya manusia baik sebagai
konsumen maupun sebagai produsen untuk mencapai tujuan dan kesempurnaan hidup. Di
dalam rumah manusia dididik, dibentuk dan berkembang menjadi manusia yang
berkepribadian (C. Batubara,1986: 5)
Rumah sebagai bangunan merupakan bagian dari suatu permukiman yang utuh. Rumah
tidak semata-mata tempat bernaung untuk melindungi diri dari segala bahaya, gangguan dan
pengaruh fisik belaka melainkan juga merupakan tempat tinggal beristirahat setelah
menjalani perjuangan hidup sehari-hari
(Soedarsono,1986: 27)
Rumah merupakan bagian terkecil dari sebuah permukiman. Kumpulan rumah akan
membentuk suatu perumahan. Perumahan berkembang sebagai suatu proses bermukim
dengan kehadiran manusia dalam menciptakan ruang dalam lingkungan masyarakat dan alam
sekitarnya sehingga tata lingkungan fisik akan menunjang tata kehidupan masyarakat
membentuk suatu pola kehidupan sosial.

1.6

SEJARAH PERKEMBANGAN PERMUKIMAN


Masa prasejarah
Sejarah permukiman dimulai dari elemen inti dan yang paling kecil dari permukiman
yaitu rumah. Pada masa prasejarah rumah merupakan tempat untuk menyelamatkan
diri dari para predator dan cuaca. Rumah masih merupakan tempat menetap
sementara dan selalu berpindah-pindah berdasarkan migrasi hewan buruan dan panen
bahan makanan. Pola hidup manusia masih merupakan pengumpul bahan dari alam.
Bentuk hunian masih berupa gua dan pohon.
Perkembangan selanjutnya manusia mulai membuat hunian sendiri dengan
memanfaatkan kulit hewan dan kayu yang diberi rangka yang mudah dibongkar
pasang. Teknik ini masih digunakan oleh suku Indian di Amerika pada abad 19 SM.
Selain itu rumah dibuat dengan menggali tanah dengan atap dari kulit hewan seperti
yang dilakukan oleh pemburu Mamont ( sejenis gajah di masa prasejarah ) di daerah
tundra Rusia.
Perubahan pola hidup manusia dari pengumpul bahan dari alam menjadi petani dan
peternak, berpengaruh pada bentuk hunian. Bentuk rumah menjadi lebih permanen
dan mulai terbentuk desa yang merupakan kumpulan dari beberapa rumah karena
manusia mulai hidup menetap di suatu daerah.
Di masa ini, awalnya rumah terdiri dari satu ruangan dengan jendela yang kecil.
Konstruksi terbuat dari batu bata lumpur. Kemudian terjadi perkembangan dengan
penambahan ruang penyimpanan dan ruang tidur. Rumah sudah menjadi tempat

tinggal dan bekerja. Perkembangan lainnya adalah adanya taman yang menjadi pusat
dari kelompok rumah tersebut, rumah juga mengelilingi jalan yang merupakan cikal
bakal kota.
Tampilan fasade rumah terdiri dari pintu masuk dan jendela kecil yang berfungsi
sebagai ventilasi. Tampilan fasade yang lebih terbuka mengarah ke dalam dengan
adanya taman dalam (Courtyard), tetapi ada juga rumah yang berdiri sendiri. Pada
masa ini tradisi yang sama yaitu desa merupakan tempat untuk tinggal dan bekerja.
Masa Yunani dan Romawi
Perkembangan selajutnya terjadi pada masa Yunani. Rumah tetap menghadap ke
dalam tetapi bagian dalam tersebut dimodifikasi dengan penambahan kolom-kolom
yang mengelilingi taman dan adanya sebuah altar sebagi tempat pemujaan. Selain itu,
adanya pemisahan ruangan publik untuk pria dan wanita, hal ini disebabkan pada
masa itu wanita dianggap sebagai warga negara kelas II.
Pada masa romawi tetap memakai rumah dengan orientasi ke dalam dengan
penambahan jendela yang lebih banyak dan dibuat lebih rumit. Pintu masuk dibuat
lebih menonjol dengan penambahan hiasan dan ruangan depan yang menghadap ke
dalam (Atrium). Disamping itu, bangsa romawi membuat taman sekunder yang
digunakan hanya untuk penghuni rumah yang dikelililngi oleh ruang pribadi
misalnya ruang tidur, makan dan ruang keluarga.
Pada masa romawi juga sudah mengenal hunian bertingkat untuk memenuhi
pertumbuhan warga kotanya. Bangsa romawi membangun apartemen berlantai 6-7
dan bentuk bangunan ini mendominasi rumah-rumah pada kota-kota romawi.

Masa Abad Pertengahan ( Medieval )


Pada abad berikutnya perdagangan berdasarkan pertanian yang menciptakan bentuk
kota-kota kecil yang memiliki benteng, hal ini adalah menjadi karakter dari kota di
masa medieval.
Bentuk baru dari rumah adalah berbentuk dua lantai dimana pada lantai satu
merupakan tempat untuk berusaha seperti kantor, toko dan gudang dan di lantai
atasnya adalah tempat untuk tinggal. Orientasi rumah sudah menghadap ke jalan
bukan lagi ke bagian dalam.
Pertumbuhan kota membuat masyarakat membangun rumah yang saling
berdempetan sepanjang jalan. Rumah sangat tergantung pada cahaya dan sirkulasi
udara muka dan belakang rumah. Pada akhir masa pertengahan tercipta prototipe
rumah yang dipakai oleh keluarga tunggal pada abad 19 yaitu rumah deret.
Masa Renaissance
Pada masa renaissance, kaum bangsawan saat itu mulai membuat rumah dengan satu
fungsi yang menjadi karakter rumah di masa modern, dengan terpisahnya tempat
kerja dan rumah. Kontribusi tampilan rumah saat itu adalah jendela kaca yang besar

dan pemakaian fasade yang seragam berbentuk hiasan garis-garis lurus, jendela dan
pintu.
Masa Industrialisasi
Pada masa ini ekonomi berdasarkan manufaktur dan pergerakan yang dinamis.
Pemisahan rumah dengan tempat kerja merata pada semua lapisan masyarakat.
Terjadinya pertumbuhan daerah bisnis di tengah kota membuat daerah perumahan
tergeser keluar kota, hal ini menyebabkan terjadinya variasi tempat tinggal. Di satu
sisi terdapat rumah-rumah bergaya Victorian dengan jumlah ruangan yang banyak
dan sangat memenuhi aspek kesehatan dan nyaman tetapi di sisi lain tercipta daerah
kumuh dimana satu rumah ditinggali oleh beberapa keluarga yang tinggal di rumah
deret yang terbuat dari kayu.
Perkembangan teknologi yang pesat berpengaruh pada bentuk dan lokasi rumah.
Penemuan elevator dan pemakaian baja menyebabkan pembangunan apartemen yang
berlantai banyak. Penemuan dan perkembangan angkutan massal dan mobil
menyebabkan rumah mulai beralih ke pinggiran kota di daerah penunjang kota
sehingga daerah tersebut dipenuhi oleh rumah-rumah bermassa tunggal untuk satu
keluarga. Penemuan mobil membuat bertambahnya satu ruangan yaitu garasi sebagai
tempat penyimpanan mobil.
Masa Modern
Perumahan di masa modern merupakan produk dari perkembangan di masa
sebelumnya.
a. Adanya keragaman bentuk rumah yaitu rumah bermassa tunggal, apartemen dan
rumah deret.
b. Adanya berbagai orientasi baik ke jalan maupun ke taman dalam.
c. Pemanfaatan rumah yang bervariasi yaitu rumah yang hanya berfungsi sebagai
tempat kerja dan tempat tinggal.
d. Lokasi perumahan juga beragam yaitu di perkotaan dan di daerah pedesaan.
Perkembangan rumah dan permukiman dari masa ke masa tidak hanya berupa
bentukan fisik tetapi fungsi dan proses pengadaan. Pada masa depan akan terjadi
perubahan besar terhadap fungsi rumah rumah dapat berfungsi sebagai tempat kerja
atau kantor.
Teknologi informasi dengan jaringan internet yang mengglobal menyebabkan orang
hanya berkantor dengan sebuah komputer sehingga banyak aktivitas kerja yang bisa
dilakukan di rumah.

Senarai pustaka

Hayward, P.G. Home as an Environmental and Psychology Concept. 1987.


Blaang, C. Djaemabut, ( Penyunting ), Perumahan dan Permukiman Sebagai
Kebutuhan Pokok, Yayasan Obor, 1986.
Budiharjo, Eko. Percikan Masalah Arsitektur, Perumahan, Perkotaan, Gajah Mada
University Press, Jogjakarta 1994.
Taylor, Lisa ( Editor ), Housing Symbol, Structure, Site, Copper Hewitt Museum, New
York 1982.

BAGIAN DUA
PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN DI INDONESIA

2.1

PERMASALAHAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN DI INDONESIA

A. Pertumbuhan Penduduk
Laju pertambahan penduduk secara nasional tinggi (2,3% per tahun) dan penurunan
jumlah jiwa per keluarga dari 4,9 jiwa/keluarga pada tahun 1980 menjadi 4,5
jiwa/keluarga pada tahun 1990, merupakan masalah pokok dalam pembangunan
perumahan. Masalah ini mengakibatkan kebutuhan rumah selalu meningkat.
Selain pertumbuhan penduduk juga ditemui masalah kualitas rumah dan lingkungan
yang tidak memadai sehingga memerlukan perbaikan atau pemugaran.

B. Keterjangkauan Daya Beli


Terjadi pada pengadaan rumah untuk kelompok penghasilan rendah, karena perbedaan
kenaikan pendapatan masyarakat dengan kenaikan harga rumah.
Program pemerintah dengan kredit kepemilikan rumah yang baru menjangkau 15%
dari kebutuhan rumah setiap tahunnya.
Pengurangan ukuran rumah dan kualitas rumah sebagai upaya menekan harga rumah.
C. Perkembangan Teknologi
Industri jasa konstruksi bahan bangunan belum mampu mendukung pembangunan
perumahan dalam skala besar.
Pembangunan perumahan untuk golongan penghasilan rendah dapat menyerap tenaga
kerja dalam jumlah besar, tetapi harus didukung oleh industri kecil yang menghasilkan
bahan bangunan.
Harga bahan bangunan yang masih belum terjangkau, penyediaan bahan bangunan
dalam jumlah besar, ketepatan waktu penyediaan, penetapan standar mutu merupakan
masalah besar dalam penyediaan bahan bangunan di Indonesia.
Keterbatasan sistem transportasi dan distribusi dari produsen ke konsumen berpengaruh
terhadap harga bahan bangunan dan kelancaran pembangunan perumahan.
Pengembangan sistem modular dan peningkatan manajemen konstruksi akan dapat
menunjang pembangunan perumahan.
D. Pembiayaan
Sumber pembiayaan pembangunan perumahan untuk masyarakat berpenghasilan
rendah berasal dari pemerintah, tetapi kemampuan pemerintah terbatas sedangkan
target pembangunan selalu meningkat.

Perlu dirancang suatu sistem pembiayaan yang menyeluruh dan terpadu untuk
mendorong terhimpunnya modal dari masyarakat bagi pembiayaan pembangunan
perumahan dan permukiman.

E. Pengadaan Tanah
Permasalahan ini lebih banyak ditemukan pada perumahan dan permukiman di kota.
Semakin langkanya tanah membuat melambungnya harga tanah yang menyebabkan
semakin mahalnya harga rumah.
Keterbatasan tanah menyebabkan munculnya permukiman kumuh karena kebutuhan
tempat tinggal yang dekat dengan tempat kerja.
Pembangunan di wilayah pinggiran kota menyebabkan hilangnya daerah subur untuk
pertanian dan semakin panjangnya sarana dan prasarana lingkungan kota.

F. Kelembagaan
Belum terpadunya sistem kelembagaan dari pemegang kebijaksanaan, pembinaan dan
pelaksanaan di sektor pemerintahan baik di pusat maupun di daerah.

G. Landasan Hukum
Merupakan faktor penunjang kelembagaan karena peraturan merupakan landasan
hukum bagi penerapan kebijaksanaan pelaksanaan pembangunan.
Perijinan dalam proses pembangunan sering jadi penghambat mata rantai karena proses
yang panjang, rumit, dan memakan waktu dan biaya pengurusannya.
Usaha penertiban mata rantai proses perijinan tidak hanya didasarkan pengurangan
jumlah mata rantai tetapi juga dengan mempersingkat proses, efisiensi kerja aparatur,
peningkatan pelayanan.
Pengawasan pembangunan sebagai upaya pengendalian belum tegas sehingga masih
banyak terjadinya pelanggaran terhadap ketentuan yang ada.

H. Pusat Data dan Informasi


Belum tersedianya pusat data dan informasi terpadu yang dapat memberikan masukan
yang menyangkut bidang perumahan antara lain jumlah rumah dan kekurangannya,
kependudukan, pertanahan, tingkat pendapatan masyarakat dan keterjangkauannya,
ketersediaan bahan bangunan dan lain-lain.

I. Penyerahan Lingkungan kepada Pemerintah Daerah


Kemampuan pemerintah daerah yang terbatas maka pengelolaan lingkungan
diserahkan kepada pengembang dan penghuni. Hal yang ideal pengelolaan prasarana
lingkungan dilakukan oleh pemerintah daerah.

J. Kemampuan Perusahaan Pembangun Perumahan


Pada umumnya perusahaan pembangun perumahan kurang pengalaman perlu adanya
pengembangan sistem pengelolaan melalui kerja sama, pendidikan dan pelatihan.
Kurang tegasnya hukum yang mengatur perusahaan pembangun perumahan yang
menelantarkan konsumen.

K. Pemahaman dan Pengetahuan tentang Rumah di Desa


Sebagian besar ruamh di pedesaan kurang memenuhi persyaratan teknis dan kesehatan,
hal ini disebabkan kurangnya pemahaman masyarakat desa mengenai arti dan fungsi
rumah, pendapatan yang rendah.
Perlu dikembangkan swadaya masyarakat desa agar mengerti tentang fungsi rumah
dalam lingkungan yang sehat.

L. Peran Serta Masyarakat


Sistem pembangunan perumahan secara formal belum menjangkau keseluruhan lapisan
masyarakat terutama masyarakat berpenghasilan rendah sehingga dikembangkan
pembangunan perumahan swadaya masyarakat yang dilakukan oleh organisasi nonpemerintah (NGO)
Belum besarnya perhatian masyarakat untuk memelihara lingkungan permukiman.

2.2 PENDEKATAN PEMBANGUNAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN


A. Pendekatan Manajemen Pembangunan
Perumusan kebijaksanaan perumahan secara menyeluruh dan terpadu. Perencanaan
yang matang dan realistis dalam jangka panjang.
Peningkatan peran serta masyarakat melalui dorongan, bimbingan, penyuluhan ,
pembinaan dan pengaturan dari pihak pemerintah sehingga pelaksanaan pembangunan
perumahan merupakan suatu usaha semua warga masyarakat bersama pemerintah.
B. Pendekatan Etis Pembangunan
Asas keterjangkauan : penyediaan dan pembangunan harus dapat dijangkau oleh daya
beli sebagian besar masyarakat yang berpenghasilan rendah.
Diferensiasi subsidi sesuai dengan tingkat pendapatan masyarakat. Pemerintah perlu
memberikan berbagai keringanan dalam bentuk subsidi yang cara dan besarnya
berbeda-beda sesuai dengan pendapatan calon penghuni.
Diferensiasi program sesuai dengan permintaan dan kemampuan, program perumahan
harus sesuai dengan kemampuan dan daya beli masyarakat, namun memenuhi
persyaratan standard teknis sebagai tempat hunian yang sehat, kuat dan serasi.

Asas pemerataan : setiap kelompok pendapatan perlu memperoleh kesempatan yang


sama untuk memperoleh rumah. Penyebaran secara regional di kota dan desa harus
lebih merata.

C. Pendekatan Teknis
Pengadaan perumahan dilakukan secara bertahap, terus-menerus dan meningkat,
menggunakan standarisasi serta teknologi tepat guna dalam usaha mempercepat
pencapaian dan tujuan pembangunan rumah. Salah satu kuncinya adalah pengerahan
dana dan peningkatan swadaya masyarakat.

D. Pendekatan Sosiologis
Partisipasi masyarakat dalam pembangunan mutlak dibutuhkan. Tanggung jawab
individu dan warga masyarakat untuk menyediakan perumahan yang layak dan sehat
bagi dirinya, sedangkan pemerintah memberikan dorongan dan bimbingan.

2.3

PERKEMBANGAN KEBIJAKSANAAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN DI


INDONESIA
Masa Pra Kemerdekaan ( Sebelum 1945 )
Kondisi awal dari perkembangan kebijaksanaan perumahan dan permukiman di
Indonesia.
Masalah perumahan dan permukiman masih dipegang oleh pemerintah Hindia
Belanda. Kebijaksanaan terbatas untuk pegawai negeri dan rumah sewa serta
perbaikan lingkungan permukiman untuk kesehatan.
Masa Awal Kemerdekaan (1945-1969)
Perhatian pemerintah mulai dengan diadakan Kongres Perumahan Rakyat (1950).
Pembentukan lembaga pengadaan perumahan dan Bank Perumahan.
Pemerintah membuat UU Perumahan No. 1 tahun 1954 dan UU Agraria (1960).
Pembangunan perumahan selain rumah pegawai negeri juga dibangun rumah untuk
rakyat.
Pedesaan tidak lepas perhatian pemerintah dengan adanya penyuluhan.
Repelita I (1969-1974)
Masa Persiapan Program Pembangunan Perumahan dan Permukiman di Indonesia
Pembentukan REI (1972) sebagai lembaga pengadaan perumahan swasta.
Uji Coba pembangunan rumah massal dikenal dengan program P-1000.
Bimbingan dan penyuluhan pembangunan percontohan inovasi bahan bangunan.
Repelita II (1974-1979)
Masa pengembangan program pembangunan perumahan dan permukiman di
Indonesia.
Berdirinya Badan Kebijaksanaan Perumahan (1974)
Berdirinya Perum Perumnas dan KPR BTN (1974)
Pertemuan Internasional Habitat I di Vancouver

Program Perbaikan kampung Kota


Penyediaan rumah sederhana 73.000 unit dengan KPR
Penyuluhan Perumahan dan Stimulan di 1000 desa.
Repelita III (1979-1984)
Masa peningkatan program dan koordinasi pembangunan
Perumahan dan permukiman menjadi masalah yang penting dengan adanya
Menteri Muda Urusan Perumahan Rakyat
Perintisan peremajaan lingkungan perumahan kota dengan rumah susun
Pengadaan rumah sederhana dengan KPR oleh Perum Perumnas sebanyak 120.000
dan Pengembang swasta sebanyak 30.000 unit
Pembangunan dan penyuluhan dengan Program Pengadaan Perumahan Desa di
6.000 desa dan Program KIP di 200 kota.

Repelita IV ( 1984-1989)

Persiapan Landasan PJP II


Menteri negara perumahan rakyat.
Peningkatan keterpaduan yang menyeluruh dalam pembangunan perumahan dan
perkotaan.
Perluasan jangkauan pada masyarakat yang berpenghasilan rendah.
Perintisan Peremajaan kota dengan sistem pembangunan rumah sewa
Pembangunan perumahan skala besar, Perum Perumnas sebanyak 160.00 unit,
pengembangan swasta 120.000 unit.
Peningkatan jangkauan program perbaikan rumah kota dan desa.

Repelita IV (1984-1989)
Pemantapan Landasan PJP II
UU Perumahan dan Permukiman
Pembangunan berkelanjutan dan pencanangan gerakan Nasional perumahan sehat
Pembangunan Perumahan skala besar sebanyak 450.000 unit
Peremajaan kota dan peningkatan program perbaikan dan pengadaan rumah di
desa.
Pembangunan Jangka Panjang Tahap II
Pembangunan Perumahan yang berwawasan tata ruang dan lingkungan.
Penyediaan tanah matang dalam skala besar dengan prasarana dan sarana primer.
Desentralisasi peran Pemda yang meningkat dan pengembangan sumber daya dan
dana masyarakat.
Peran swasta yang meningkat dan terkendali
Penanggulangan kemiskinan melalui perumahan dan pemukiman.
Memberdayakan masyarakat dalam pembangunan Perumahan dan Permukiman
yang berkelanjutan melalui gerakan dari dan untuk masyarakat.

Senarai Pustaka :
Blaang, C. Djaemabut ( Penyunting ), Perumahan dan Permukiman sebagai
Kebutuhan pokok, Yayasan Obor, 1986.
Departemen Pekerjaan Umum, Informasi Perundang-undangan Departemen
Pekerjaan Umum, PT Asia Busindo Center, Jakarta, 1994.
Budiharjo, Eko, Ir Msc ( Penyunting ), Sejumlah Permasalahan Permukiman Kota,
penerbit Alumni, Bandung, 1984.
Yudohusodo, Siswono, Ir. Untuk Seluruh Rakyat Baharakarta, Jakarta, 1991.
Dirjen Cipta Karya Departemen PU. Perumahan dan Permukiman: Perbaikan
Lingkungan Perumahan Kota-PLPK , Dirjen Cipta Karya, Jakarta, 1998.

BAGIAN TIGA
POLA PENGADAAN PERUMAHAN DI INDONESIA

3.1 PROGRAM PEMBANGUNAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN


Pembagian garis besar program pemerintah di bidang perumahan adalah berdasarkan
lokasi yaitu perumahan perkotaan dan pedesaaan. Hal ini didasarkan pada kenyataan
pada kedua lokasi tersebut memiliki karakteristik yang berbeda, di daerah perkotaan
mempunyai penduduk yang padat dan kurangnya lahan sedangkan di desa kurangnya
pemahaman masyarakat desa terhadap rumah yang layak huni.
A. Pembangunan Perumahan Di Kota
Kegiatan utama meliputi :
a. Pembangunan perumahan sederhana oleh Perum Perumnas, pengembang swasta
melalui pembiayaan dengan sistem kepemilikan rumah.
b. Pembangunan oleh swadaya masyarakat.
c. Usaha perbaikan kampung
d. Usaha pembinaan guna menunjang pembangunan perumahan rakyat.

Jenis perumahan yang dibangun adalah rumah sub inti, rumah inti, rumah sederhana,
rumah sangat sederhana dan rumah susun.

B. PEMBANGUNAN RUMAH DI DESA


Kegiatan utama meliputi :
a. Peningakatan mutu perumahan rakyat melalui perintisan pemugaran rumah dan
perbaikan sarana dan fasilitas lingkungan
b. Permukiman transmigrasi
c. Permukiman kembali suku terasing
d. Penyediaan permukiman di daerah bekas bencana alam

3.2 PERAN PEMERINTAH DALAM PENGADAAN RUMAH


Beberapa program pemerintah di bidang perumahan permukiman selama Repelita VI adalah

Program penyediaan perumahan


a) Pembangunan kawasan siap bangun (KSB)
b) Pembangunan prasarana dan sarana pendukung pembangunan RS/RSS ( oleh Perum
Perumnas dan Koperasi )
c) Pembangunan kawasan terpilih pusat pengembangan desa (KTP2D)
Program perbaikan perumahan dan permukiman :
a) Perbaikan lingkungan perumahan kota (PLKP)
b) Peremajaan Perumahan Kota
c) Pembangunan perumahan dan lingkungan desa secara terpadu (P2LDT)

A. Perum Perumnas Sebagai Pengembang Milik Pemerintah


Perum perumnas merupakan lembaga pengadaan formal yang dimiliki oleh pemerintah
berdiri dengan Peraturan Pemerintah RI No. 29/1974 tanggal 18 juli 1974.
Perum perumnas didirikan dengan tujuan menyelenggarakan pembangunan perumahan
sederhana lengkap dengan sarana dan prasarananya dengan harga yang terjangkau oleh
masyarakat melalui sistem pembayaran Kredit Pemilikan Rumah dalam hal ini Perum
Perumnas didukung oleh Bank Tabungan Negara (BTN).
Pengadaan perumahan oleh Perum perumnas tidak hanya berorientasi pada keuntungan tetapi
juga misi sosial, oleh karena itu pengadaan rumah Perum Perumnas sebagian besar untuk
masyarakat berpenghasilan menengah dan rendah. Perum Perumnas merupakan pengembang
terbesar dan lokasi perumahannya tersebar di seluruh Indonesia.

B. Perbaikan Lingkungan Perumahan Kota


Perbaikan kampung pada dasarnya merupakan usaha peningkatan mutu kehidupan
masyarakat kampung melalui suatu paket kegiatan yang dilaksanakan secara terpadu. Tujuan
program tersebut antara lain untuk melengkapi dan menyempurnakan prasarana lingkungan
dan pelayanan dasar bagi masyarakat kampung dan mendorong serta membina partisipasi
masyarakat agar meningkatkan kemampuan pendapatan dan produktivitas masyarakatnya.
Kegiatan perbaikan prasarana dasar yang dilaksanakan sesuai dengan prioritas kebutuhan
antara lain jaringan jalan lingkungan, pembuangan sampah, pembuangan air hujan,
penyediaan air bersih, keselamatan bangunan dan lingkungan, penerangan serta sarana sosial,
ekonomi dan kebudayaan.
Perbaikan Lingkungan Perumahan Kota dilaksanakan sebagai proyek stimulan dengan
memberi rangsangan berupa dana pancingan/stimulan yang digunakan untuk membangun
sebagian fisik percontohan prasarana dan sarana dasar lingkungan perumahan dengan
harapan selanjutnya dapat dimanfaatkan serta dikembangkan oleh masyarakat sendiri
Konsep Pendekatan Perbaikan Lingkungan Perumahan Kota
a. Azas Tribina : sebagai satu kesatuan upaya penyelenggaraan pembangunan dalam
penyusunan rancang bangun pelaksanaan programnya selalu terkandung
unsur :
Bina Manusia :
Penyiapan masyarakat, dengan mengakomodasi aspirasi masyarakat, memampukan
dan meningkatkan kualitas SDM melalui pelatihan keterampilan teknis serta
memberikan tempat dan kesempatan masyarakat untuk ikut serta menentukan kegiatan
yang dibutuhkan.
Bina Usaha : kegiatan dalam rangka membangun dan mengembangkan kegiatan usaha
masyarakat yang dilaksanakan secara terpadu dengan instansi yang terkait. Pemerintah
menunjang melalui penyediaan dan perbaikan prasarana dan sarana serta fasilitas yang
mendukung aktifitas ekonomi.

Bina Lingkungan : upaya perbaikan dan pengembangan prasarana dan sarana


lingkungan dalam rangka mempercepat tercapainya lingkungan permukiman yang
layak dalam lingkungan yang sehat, yang diharapkan dapat mengangkat martabat
kelompok masyarakat.

Program Perbaikan Kampung yang dilakukan oleh pemerintah mempunyai beberapa konsep
yaitu :
a. Pelaksanaan Pembangunan yang bertumpu
pada masyarakat melalui
pembangunan perumahan bertumpu pada kelompok
Sebagai pendekatan pembangunan perumahan yang mengandalkan kelompok dan
bertolak dari potensi kebutuhan serta upaya kelompok yang merupakan cerminan dari
upaya keberpihakan serta pemberdayaan kelompok masyarakat berpenghasilan rendah
yang tinggal di kampung kumuh.
b. Mengupayakan terjadinya pembangunan yang berkelanjutan
Sebagaimana tercermin dalam mekanisme penyelenggaraan program-program
keciptakaryaan seperti:
Mengkondisikan terjadinya partisipasi aktif masyarakat sejak dalam
pengambilan
keputusan perencanaan sampai dengan pengelolaan
Menerbitkan berbagai petunjuk teknis yang bersifat praktis dan komunikatif, yang
dapat digunakan sebagai pedoman pembangunan melalui swadaya masyarakat
Memberikan bantuan teknis kepada masyarakat melalui petugas lapangan selama masa
konstruksi, memberikan bantuan bahan bangunan untuk memperbaiki rumah serta
mengadakan pelatihan kepada tenaga /masyarakat setempat sebagai tenaga penyuluhan
masyarakat (TPM)
Membangun dan menggerakan berbagai potensi usaha yang dapat mendorong
meningkatnya pendapatan masyarakat.

c. Sistem pendanaan, dilakukan dengan


Pola standar dasar : dibiayai dengan subsidi pemerintah pusat
Pola standar menengah : dibiayai dengan penyertaan modal pemerintah dan pinjaman
jangka panjang
Pola standar tinggi: dibiayai melalui pinjaman Pemda Tingkat II setempat (seperti di
Medan, Bandung, Semarang, Surakarta, Surabaya, dan Ujung Pandang)
Perkembangan Perbaikan Lingkungan Perumahan Kota, diawali dari Proyek
Mohammad Husni Thamrin di Jakarta dan Proyek WR Supratman di Surabaya, perbaikan
linkungan perumahan kota telah menjadi salah satu kegiatan penting di dalam program
perumahan dan pemukiman.
Perkembangan penyelenggaraan program perbaikan lingkungan perumahan kota selama
Repelita I sampai dengan Repelita VI dapat dilihat pada tabel 2.

REPELITA I
( 1969 1974 )

REPELITA II
( 1974 1979 )

REPELITA III
( 1979 1984 )

REPELITA IV
( 1984 1989 )

REPELITA V
( 1989 1994 )
REPELITA VI
( 1994 1999 )

Kampung Improvement Program ( KIP ) di Jakarta,


didukung bantuan dari Bank Dunia.
Pada tahun 1970 dibentuk Pusat Informasi Teknik
Bangunan ( PITB ) atau Building Information Centre (
BIC ) di Jakarta, Bandung, Yogyakarta dan Denpasar
yang bertujuan menyebarluaskan pengetahuan dan
pengalaman praktis di bidang perumahan dan
permukiman kepada masyarakat (penyuluhan).
Penyempurnaan pengadaan prasarana dan sarana
lingkungan
untuk
memperpanjang
efektifitas
pelayanan.
Proyek perbaikan kampung dilakukan di Jakarta,
Surabaya dan kota besar lainnya.
Lokasi proyek bukan hanya kota besar dan metro tetapi
dikembangkan ke kota-kota sedang dan kecil
Sasaran mencakup 200 kota mencakup area seluas
15.000 Ha yang dapat melayani penduduk sekitar 3,5
juta jiwa.
Sasaran ditingkatkan menjadi 400 kota untuk melayani
30 juta jiwa. Penyelenggaraan dikaitkan dengan upaya
penataan kembali tanah kota secara maksimal melalui
pembangunan rumah susun.
Dikembangkan
menjadi
penanganan
program
perumahan kota terpadu yang bertujuan memobilisasi
dana pembangunan kota dari beberapa sumber.
Sasaran penanganan 500 kota seluas 30.000 Ha
Sasaran penanganan 125 kota dengan luas 12.500 Ha.
Bagian dari upaya penanganan lingkungan kumuh yang
dipadukan dengan rumah susun, fasilitas ekonomi dan
sosial.
Mengikuti sertakan Perum Perumnas, Departemen PU,
BTN melalui kredit triguna.

C. Kasiba sebagai Alternatif Penyediaan Tanah bagi Perumahan


a. Pengertian
Tanah merupakan komponen yang tidak dapat berubah, sejalan dengan meningkatnya
permintaan rumah membuat tanah semakin langka dan semakin mahal terutama di daerah
perkotaan. Harga tanah yang semakin melambung akan mengganggu program pengadaan
rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Komponen harga tanah mencapai 45% dari harga rumah sangat sederhana, sedangkan
untuk rumah menengah atas bisa mencapai 70%. Berdasarkan penelitian di beberapa negara
berkembang komponen tanah hanya sekitar 20% dari harga rumah, kondisi ini juga terjadi di
Amerika dan Perancis ( Harian Republika, 25 Mei 1996 :3 )

Kawasan siap bangun ( Kasiba ) merupakan salah satu alternatif pengadaan lahan perumahan
yang telah dikeluarkan oleh pemerintah untuk mengatasi harga lahan yang semakin mahal
dan penguasaan lahan dalam jumlah besar baik oleh perorangan maupun perusahaan.
Kawasan siap bangun adalah sebidang tanah yang fisiknya sudah disiapkan untuk
pembangunan perumahan dan permukiman skala besar yang terbagi dalam satu lingkungan
siap bangun yang disiapkan dahulu dengan jaringan primer dan sekunder prasarana
lingkungan yang ditetapkan oleh Pemerintah Tingkat II dan memenuhi persyaratan
pembakuan pelayanan prasarana lingkungan (Departemen Pekerjaan Umum, 1994:962)
b. Tahapan Program Kasiba
Dari definisi di atas kawasan siap bangun merupakan kawasan yang disiapkan prasarana
lingkungannya untuk suatu perumahan yang memadai. Konsep pengadaan lahan ini
membutuhkan beberapa tahapan yaitu :

Penguasaan dan pembebasan lahan


Merupakan awal dari pengadaan lahan, akan lebih mudah kalau lahan tersebut dikuasai
oleh negara tetapi sering terbentuk dengan lahan yang dikuasai oleh masyarakat.
Pemecahannya adalah dengan melibatkan partisipasi masyarakat dimana tanah tersebut
dapat menjadi saham yang dimiliki oleh masyarakat dalam proyek ini. Keuntungan yang
dicapai adalah pengembang tidak perlu mengeluarkan biaya pembebasan lahan dan
masyarakat akan mendapatkan nilai jual lahan yang lebih besar.

Pematangan lahan dan pembangunan infrastruktur


Beberapa cara yang dapat dilakukan adalah menyerahkan pengadaan prasarana kepada
pemerintah karena pemerintah masih bertanggung jawab pada pengadaan prasarana
lingkungan atau menjadikan tanah sebagai modal dan dapat ditukar dengan biaya
pematangan lahan dan pengadaan infrastruktur, investasi yang ditanamkan dapat ditukar
dengan sebidang tanah yang ada di kawasan tersebut.

Pembangunan rumah
Setelah proses pematangan lahan dan pembangunan prasarana maka kawasan ini terbagi
menjadi beberapa lingkungan yang siap didirikan rumah. Pengembang dapat membangun
sendiri rumah atau menjual pada pengembang lainnya.

c. Proyek dengan konsep Kasiba


Kota Baru Driorejo
Merupakan proyek konsorsium dari enam BUMN di bawah Departemen Pekerjaan
Umum yang berlokasi di Gresik, Jawa Timur. Konsep Kasiba dilakukan oleh pihak
konsorsium dengan menguasai lahan seluas 850 Ha yang kemudian dimatangkan dan
pembangunan infrastruktur, kawasan ini dibagi menjadi 5 lingkungan siap bangun,
dimana satu dikembangkan menjadi perumahan oleh pihak konsorsium dan 4 bagian
dijual kepada pengembang swasta.
Kota Baru Bandar Kemayoran
Kota baru ini memanfaatkan bekas bandara kemayoran terletak di atas milik Perum
Angkasa Pura yang sudah dialihkan menjadi tanah negara seluas 454 Ha. Kota baru ini
mempunyai kosep ekonomi sebagai Pusat Niaga Antar Bangsa dan merupakan

percontohan bagi wilayah Indonesia dilihat dari proses pembangunan dan


pengelolaannya.
Pengelolaannya diserahkan pada suatu badan yang berdiri sendiri. Lahan yang dikuasai
oleh pemerintah dan pengadaan infrastrukturnya dilakukan dengan menjual lahan ke
pihak swasta.
Pengadaan perumahan dewasa ini ketiga tahap di atas berada dalam satu badan tetapi dengan
konsep Kasiba ketiga tahapan tersebut dapat dilakukan oleh lembaga yang berbeda.
Berdasarkan UU No.4 1992 tentang masalah perumahan dan permukiman menyebutkan
pemerintah sebagai pengelola kawasan siap bangun yang penyelenggaraannya dilakukan oleh
BUMN yang dapat bekerja sama dengan swasta dan memungkinkan dapat dilakukan oleh
masyarakat dengan sistem kavling.

3.3 REAL ESTAT DALAM PEMBANGUNAN PERUMAHAN DI INDONESIA


A. Pengertian
Istilah Real Estat muncul di Inggris pada zaman pemerintahan raja-raja. Istilah ini
dikenal sebagai bentuk penguasaan tanah yang menyangkut hubungan raja dan rakyatnya
yang disebut Tenure. Hal ini mengawali pengaturan hubungan seseorang dengan tanah
termasuk kepemilikannya, dimana ia mempunyai hak tertentu atas tanah, sehingga
lahirlah istilah real property yang di Amerika dikenal dengan istilah Real Estate.
Pengertian Real Property dan Real Estate mempunyai perbedaan mendasar, yaitu : Real
Property adalah hak untuk memiliki menggunakan dan menikmati manfaat dari tanah
atau harta atau suatu perwujudan hak yang bisa diganggu gugat. Real estate adalah tanah
dan pengolahan atas tanah tersebut serta segala sesuatu yang menyangkut pengaturan
untuk memiliki dan mengusahakannya (Ciputra, 1986: 98)
Real Property mempunyai pengertian yang lebih luas, sedangkan real estate lebih
mengacu pada tanah dan segala yang tetap terpaut di dalamnya. Tanah dan bangunan di
atasnya tidak dapat dipisahkan dari hak atas tanah yang mengandung pengertian sebagai
satu kesatuan.
B. Ciri Usaha Bidang Real Estat
a. Ciri Fisik
Ciri Fisik dapat dibedakan menjadi dua kategori yaitu
Tanah
o Sifat yang tidak bergerak : tanah dalam pengertian real estat sebagai
permukaan bumi yang tetap letaknya dan tidak dapat dipindahkan. Salah satu
implikasi dari tanah adalah real estat ini tidak dapat digusur atau diambil secara
paksa namun sangat dipengaruhi oleh peraturan-peraturan yang menyangkut
bangunan dan kepemilikan atas tanah dalam suatu wilayah administratif.
Kepemilikan dan pengusahaan tanah harus selalu memperhatikan pelaksanaan
rencana induk suatu kota.
Real estate memiliki pasar tersendiri dan terpaksa mengikuti perubahan
permintaan pasar.

o Sifat tahan rusak : walau dalam jangka waktu tertentu bangunan akan rusak,
runtuh atau terpaksa dipindahkan namun tanah tetap akan ada. Yang hilang
adalah hak atas tanah bukan fisik tanah kecuali terkena bencana alam. Ketahanan
tersebut menyebabkan pemilik mengharapkan kenaikan nilai tanah.
o Sifat yang spesifik : tidak ada dua tanah yang identik, walaupun kelihatannya
sama. Sebaliknya secara geografis setiap tanah berbeda satu sama lain. Ciri-ciri
heterogenitas ini menyebabkan tanah yang satu tidak akan dapat menggantikan
tanah yang lain.

Bangunan
o Perolehan nilai estetis komersial, yang diserahkan pada konsumen dan
masyarakat berdasarkan penampilan fisik bangunan.
o Daya tahan bangunan yang tidak hanya berdasarkan kekuatan fisik bangunan
tetapi dilihat juga dari nilai ekonomis bangunan tersebut.
b. Ciri Ekonomis
Sifat-sifat fisik real estat dapat dijadikan sarana investasi yang aman serta faktor kelangkaan
dapat mengakibatkan real estat mempunyai daya tahan inflasi yang tinggi. Investasi dalam
bidang real estat sangat sensitif terhadap perubahan ekonomi suatu negara sehingga
pengusaha sering dihadapkan pada suatu kondisi Boom and Bust dalam siklus yang sulit
diramaikan. Salah satu faktor yang menyebabkan nilai tanah meningkat adalah faktor lokasi
dalam kaitan dengan sifat fisik tanah yang tidak bergerak. Oleh karena itu, arti ekonomis
suatu lokasi banyak ditentukan oleh pengadaan dan pengendalian serta faktor penghidupan
dan kehidupan lingkungan sekitar.

B. Permasalahan Usaha Real Estat di Indonesia


a. Permasalahan teknis
Perlunya perumusan rencana induk dan rencana rinci kota yang dapat dilaksanakan
secara efektif dalam arti aspirasi pemerintah, pengusaha dan perencana dapat
dikoordinasikan secara terpadu dan dilakukan pengendalian terarah .
b. Permasalahan pertanahan
Perlunya suatu konsep pertanahan yang berlandaskan asas konsolidasi penataan tanah
perkotaan yang menjamin ketertiban dan kesinambungan. Pembangunan yang
berorientasi pada pertumbuhan ekonomi menuntuk asas kepemilikan pribadi, real estat
bertindak sebagai pemrakarsa pembangunan yang melakukan penguasaan tanah bukan
untuk kepentingan monopolitis melainkan mempersiapkan persediaan yang mempunyai
implikasi ke arah retribusi dan relokasi pertanahan.
c. Permasalahan pembiayaan
Perlu adanya upaya pengusaha pembangunan dapat menikmati kredit konstruksi dan
kredit kepemilikan rumah dengan porsi yang lebih besar.

d. Permasalahan pemasaran
Pemasaran harus dipecahkan oleh pengusaha secara bersama-sama untuk menghadapi
situasi boom and bust yang sulit diramalkan.
e. Permasalahan hukum
Perlunya dirumuskan secara tepat posisi dan fungsi real estat dalam kerangka
pembangunan nasional, perlu diciptakan undang-undang tentang real estat yang mengatur
keberadaan real estat beserta hak, kewajiban dan tanggung jawab.

3.4 PEMBANGUNAN BERTUMPU PADA MASYARAKAT


A. Pengertian
Pembangunan bertumpu pada masyarakat ( Community base Development ) merupakan
pola pembangunan yang mendudukan masyarakat Individu/kelompok sebagai
pelaku utama dan penentu sehingga keputusan dan tindakan pembangunan
didasarkan atas aspirasi, kepentingan, kemampuan dan upaya masyarakat.
Pendekatan ini dapat mewadahi kepentingan masyarakat yang biasanya terabaikan dalam
proses penataan permukiman.
Pola pembangunan bertumpu pada masyarakat memerlukan pembagian peran di antara
pelaku pembangunan dan mendudukan sektor pemerintah sebagai koordinator, fasilitator
dan pengawas, di lain pihak sektor swasta berperan sebagai penunjang dan adanya
konsultan pembangunan yang membantu masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan
dan pemeliharaan pembangunan.
Penataan suatu permukiman (terutama permukiman kumuh) pada dasarnya bertujuan
meningkatkan taraf hidup masyarakat, tidak hanya cukup dengan penyediaan prasarana
dan sarana fisik, melainkan harus dengan pola tribina yang proses saling mendukung satu
sama lainnya yaitu : Bina, Usaha, Bina Manusia dan Bina Lingkungan.

B. Latar Belakang Pembangunan Bertumpu Pada Masyarakat


a. Kemiskinan pada Masyarakat
Kemiskinan yang dimaksud adalah kemiskinan struktural, yaitu kondisi sekelompok
orang yang tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka, karena dikuasainya
sumber-sumber daya tersebut guna memperbaiki status sosialnya.
b. Tradisi pembangunan sarana dan prasarana
Tradisi yang berlangsung sampai saat ini menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat
membangun sarana dan prasarana lingkungannya sendiri sesuai dengan kemampuan. Hal
ini merupakan salah satu potensi besar yang ada pada masyarakat sehingga pola
pembangunan bertumpu pada masyarakat sangat baik untuk memanfaatkan potensi ini.

c. Ketidakefektifan Pola Penanganan yang Berorientasi Penyediaan


Pola penanganan ini ternyata tidak menyentuh sebagian besar lingkungan permukiman
masyarakat yang membutuhkan pelayanan sarana dan prasarana. Hal ini disebabkan
keterbatasan masyarakat kemampuan produksi dan sistem akses yang kurang memberi

peluang pada sebagian besar masyarakat berpenghasilan rendah untuk membangun


lingkungannya.
d. Sesuai dengan asas dalam GBHN
Asas pembangunan dalam GBHN menempatkan masyarakat sebagai subjek
pembangunan dan sesuai dengan pergeseran dari berorientasi pada penyediaan menjadi
berorientasi memampukan.

C. Konsep Pembangunan Bertumpu pada Masyarakat


Pola pembangunan bertumpu pada masyarakat memandang sarana dan prasarana
lingkungan sebagai suatu proses, lebih menekankan nilai guna dan mendudukan
masyarakat sebagai pelaku utama yang didasarkan pada aspirasi, kepentingan,
kemampuan dan upaya masyarakat.
Pola pembangunan ini membutuhkan pelaku pembangunan lainnya dan mendudukan
sektor pemerintah sebagai katalisator, fasilitator dan sekaligus sebagai wasit dan sektor
swasta sebagai faktor pendukung.

D. Pelaku Pembangunan Bertumpu pada Masyarakat


a. Sektor Pemerintah
Mewakili unsur-unsur pemerintah pusat dan daerah serta badan usaha milik negara.
Semua instasi pemerintah terkait mempersiapkan produk-produk pengaturan yang
memudahkan proses pembangunan dan membuka akses ke berbagai sumber daya yang
diperlukan yaitu : lahan, dana, perijinan, teknologi dan lain-lain.
b. Sektor Swasta
Mewakili kelompok usaha swasta di bidang produksi dan jasa yang berperan sebagai
mitra pemerintah untuk penanganan kawasan, penyediaan dana murah, membimbing dan
pendamping komunitas dalam penyelenggaraan pembangunan.
c. Sektor Masyarakat
Mewakili kelompok kepentingan bersama misalnya kelompok masyarakat yang
merupakan pelaku utama pembangunan itu sendiri, koperasi masyarakat dan lain-lain.
d. Sektor Individu
Mewakili individu-individu, baik anggota masyarakat maupun anggota kelompok.
Pola kerja pembangunan bertumpu pada masyarakat adalah pola kerja partisipasif yang
menggalang kerja sama antar sektor pemerintah, swasta dan masyarakat sebagai mitra kerja.
Untuk itu dikembangkan fungsi yang saling menunjang dan penggerak utama yaitu :
Fungsi Katalis dan Pengendali Pembangunan :
diperankan oleh pemerintah pusat dan daerah.
Fungsi Konsultan Pembangunan : fungsi konsultasi yang selalu menciptakan berbagai
inovasi yang mampu memperkaya pembangunan, fungsi ini diperankan oleh swasta
melalui para konsultan pembangunan.

Fungsi Kader Pembangunan : fungsi yang menciptakan pembaharuan ditingkat


masyarakat untuk mendorong tumbuhnya masyarakat pembangunan. Fungsi ini
diperankan oleh masyarakat melalui tokoh-tokoh masyarakat, formal maupun informal.

Pengadaan rumah di Indonesia dapat digolongkan berdasarkan :


a. Lokasi penangadaan yaitu pengadaan rumah di perkotaan dan di pedesaan.
b. Lembaga Pengadaan yaitu Pemerintah, swasta dan masyarakat yang dapat digolongkan
menjadi lembaga formal dan lembaga tidak formal.
c. Tingkat Pendapatan masyarakat yaitu perumahan untuk masyarakat berpenghasilan
tinggi, sedang dan rendah.

Senarai Pustaka :
Aspek, Profil, Jaringan Kerja dan Manual P2BKB, Bandung. 1995.
Blaang, C. Djaemambut (penyunting), Perumahan dan Permukiman sebagai
kebutuhan pokok, Yayasan Obor. 1986.
Muraman, Iwan. Ir,MT, Evaluasi Penyimpangan Perubahan rumah terhadap
peratuaran dan Persyaratan Bangunan , Thesis, Magister Arsitektur ITB, Bandung.
1998.
Departemen Pekerjaan Umum, Informasi Perundang-undangan Departemen
Pekerjaan Umum, PT Asia Busindo Center, Jakarta, 1994.
Harian Republika, Tanah Indonesia Termahal di Dunia , Sabtu 25 Mei 1996.
Majalah Bulanan Properti Indonesia Edisi 2 Maret 1994, Bandar Kemayoran :
Setelah 9 Tahun Beroperasi , Penerbit PT Info Papan Pers, Jakarta, 1994.
Majalah Bulanan Properti Indonesia Edisi 21 Maret 1994, Mengulir Konsep Kasiba
dari Driorej , Penerbit PT Info Papan Pers, Jakarta, 1995.

BAGIAN EMPAT
PERENCANAAN TAPAK PERUMAHAN

4.1 PROSES PERENCANAAN TAPAK


Perencanaan tapak merupakaan suatu proses yang kreatif yang menghendaki kemampuan
pengolahan dari berbagai faktor-faktor kemungkinan. Perencanaan tapak melibatkan lokasi,
penempatan dan hubungan dari seluruh elemen tapak. Elemen tapak meliputi : Penghuni,
Tapak dan Rumah harus saling berhubungan.
Perencanaan tapak meliputi seni perancangan bangunan dan perancangan jalan dan jalur
lintasan lainnya. Perencanaan tapak juga berkenaan dengan berbagai lingkungan kecil seperti
taman lingkungan dan di halaman rumah, jalan, rumah, tempat pembuangan sampah, utilitas,
fasilitas rekreasi dan lain-lain.
Proses perencanaan tapak terdiri dari empat langkah yang berlangsung secara serempak tetapi
satu langkah mendominasi langkah lainnya serta adanya feed back ke langkah sebelumnya.
A. Pernyataan Masalah
Melibatkan seluruh langkah yang perlu untuk memahami suatu masalah
Permasalahan akan berubah menjadi lebih jelas melalui analisa dan pengujian berbagai
faktor pengaruh.
B. Pembuatan Alternatif
Langkah pemecahan masalah yang kreatif dari proses perancangan
Pendekatan alternatif pada masalah merupakan pengembangan dan perbaikan dari
kekurangan yang ada.
Proses disusun dengan sketsa rancangan yang tepat dan merupakan suatu rangkaian
pemecahan masalah.
C. Perkiraan Dampak
Proses penelusuran akibat dari alternatif yang diusulkan
Adanya dampak langsung, tak langsung kumulatif dan banyak dampak yang belum
terlihat dengan jelas.
Praktek yang terus-menerus akan meningkatkan kemampuan perencana untuk
memahami dan merasakan dampak jangka panjang dari tiap alternatif.
D. Evaluasi
Membuat keputusan dan penilaian dari seluruh proses yang sudah dilakukan
Adanya keputusan pendahuluan oleh perencana tapak yang kemudian diteliti oleh
pihak lain yang terlibat dari proyek ini yaitu pemilik proyek, calon penghuni dan aparat
pemerintah.
Pekerjaan perencanaan tapak dalam prakteknya dapat digolongkan menjadi tiga kategori
yaitu :
Evaluasi Potensi Tapak : suatu penyelidikan atas tapak berdasarkan studi yang
terbatas untuk menetapkan kepadatan, potensi lingkungan, kendala pengembangan,
keuntungan dan lain-lain.

Pemilihan Tapak : merupakan proses yang terbalik dimana pertama yang dilakukan
adalah menentukan kualitas dari beberapa alternatif tapak dan kemudian megadakan
pemilihan tapak yang cocok.
Pengembangan Rencana Tapak : prosesnya melibatkan analisa tapak, konsep
pengembangan, pengujian dan evaluasi, perubahan tata wilayah, pengembangan
rancangan dan pengawasan pengembangan tapak.

4.2 ANALISA TAPAK PERUMAHAN


Analisa tapak merupakan suatu proses pemahaman akan kualitas-kualitas tapak yang
terdapat, pertimbangan faktor-faktor yang menentukan suatu karakter tapak, maksud-maksud
yang terkandung dalam tiap faktor, lokasi dari faktor tersebut, kategorikal dari faktor akan
disesuaikan dalam proses perancangan.
Faktor penentu karakter tapak
Faktor Alam : air, fisiologi, orientasi, vegetasi, arah pandang, iklim dan lain-lain.
Faktor Buatan : lokasi, daya tarik budaya, utilitas, kelengkapan service, bangunan,
jalan dan lain-lain.
Fungsi faktor penentu karakter tapak
Pemenuhan kebutuhan fungsional manusia : pergerakan, tinggal, berbelanja, bekerja,
belajar, memelihara kehidupan dan lain-lain.
Pemenuhan kebutuhan kesenangan : rekreasi, sarana, regenerasi, keindahan, istirahat,
ketenangan, alam dan lain-lain.
Pemenuhan persyaratan proses alam dari lingkungan fisik/biologis : interaksi dari lahan
(land), tanaman dan binatang dalam suatu proses yang saling mendukung.
Kualitas tapak dapat dikategorikan ke dalam pertimbangan perancangan yang menjadi
masukan bagi analisa tapak, adapun kualitas tapak dapt ditentukan oleh : potensi, masalah
fasilitas dan daerah berbahaya pada tapak.
Pencarian informasi untuk masukan pada analisa tapak terdiri dari 4 tahap yang saling
berhubungan yaitu :
1. Tinjauan ke tapak : mengamati seluruh tapak untuk mengumpulkan data lapangan dan
daerah di sekitarnya.
2. Penyelidikan data dari sumber sekunder : menganalisa data dari foto udara, peta
topografi, survey butiran tanah, peta utilitas tata letak air dan lain-lain.
3. Wawancara dengan penduduk di sekitar tapak : dilakukan dengan orang yang dekat
dengan dengan tapak, sejarah setempat, petugas tata kota dan lain-lain.
4. Menghubungkan data : menguji dan membandingkan informasi dari masing-masing
sumber.
Beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam analisa tapak dapat dilihat pada sub bab
berikut ini
4.3 RUANG TERBUKA
Ruang terbuka dalam tapak perumahan ruangan yang terbentuk ole pembatas- pembatas
buatan manusia (gedung, dinding, dll) dan elemen alami (vegetasi, kontur tanah, dll). Konsep

ruangan sama seperti desain ruang dalam yaitu dibatasi oleh elemen lantai, dinding dan
plafon tetapi perwujudan dalam bentuk yang berbeda.
Ruang terbuka akan dimanfaatkan pemakai kalau tingkat kenyamanan yang sama dengan
ruang dalam walau dengan citra yang berbeda.
A. Skala Ketertutupan Ruang
Ruangan yang terbentuk diantara bangunan akan memberikan citra yang berbeda bagi
pemakai, kualitas ruang membuat pemakai memberikan penilaian tersendiri lebar,
sempit, kecil, tinggi, jauh, dan dekat, dll.
Ruang luar yang lebar akan menciptakan perasaan lega dan membuat pemakai merasa
kecil di dalamnya sedangkan ruang luar yang kecil membuat perasaan pemakai seolah
tertekan dan dapat menimbulkan suasana privasi dan Claustropobia.
B. Hirarki Ketertutupan Ruang
Berdasarkan besarnya ketertutupan ruang terbuka oleh elemen penutup baik alami
maupun buatan.

Skala ketertutupan lemah :


Ruang terbuka yang tercipta oleh konfigurasi elemen penutup yang berjauhan sehingga
banyak terjadi kebocoran ruangan.
Skala ketertutupan parsial :
Ruang terbuka yang tercipta dengan kuatnya konfigurasi elemen penutup di beberapa
bagian, sedangkan di bagian lain masih terdapat kebocoran ruangan.
Skala ketertutupan kuat :
Ruang terbuka yang tercipta oleh konfigurasi elemen penutup yang kuat sehingga tercipta
kesan tempat, privasi, keamanan, dan identitas.
Keuntungan dalam skala ini adalah terciptanya privasi, kemudahan mendefinisikan
teritori, dapat menurunkan vandalisme dan meningkatkan sosialisasi antara penghuni.
Sedangkan kekurangannya berkesan memisahkan diri dengan komunitas diluar
konfigurasi elemen penutup tersebut.

C. Elemen Penutup
Ruang Terbuka Mayor :
Merupakan ruang terbuka yang mempunyai ukuran yang paling dominan dibatasi oleh
dinding rumah, pohon besar dan ruangan di bawah bangunan
Ruang Terbuka Sekunder :
Merupakan ruang terbuka yang berada di luar terbuka mayor dengan skala yang lebih
kecil dan manusiawi, pembatasnya berupa dinding pagar, semak, kumpulan pohon,
perbedaan ketinggian dan gundukan tanah.

Pemakaian elemen penutup yang berbeda akan menimbulkan karakter yang spesifik dari
masing-masing ruangan terbuka.

Pemakaian elemen buatan akan menciptakan karakter


Kota
Geometris
Hangat

Struktural
Proteksi terhadap pemakai
Pemakaian elemen alami menciptakan karakter
Natural
Informal
Relax
Suasana hidup

D. Tipe Ruang Terbuka


Ada dua tipe ruang terbuka yang berbentuk taman dan teras, bentuk ini berkembang dan
pemakaiannya tergantung pada banyak faktor seperti karakter daerah sekitar, ukuran dan
bentuk lokasi.
Persegi (square) atau taman (coutyard) :
ruang terbuka yang yang ukuran lebar dan panjang dengan perbedaan yang tidak besar.
Citra yang terbentuk dari ruang ini adalah tempat untuk istirahat bukan untuk
melakukan suatu pergerakan.
Kluster (kelompok)
merupakan bentuk variasi dari beberapa ruang terbuka persegi dengan komposisi yang
rigid. Keuntungan dari bentuk persegi adalah dapat meningkatkan derajat sosialisasi
penghuni tingkat privasi dan proteksi yang tinggi dan menciptakan iklim mikro yang
baik (reduksi angin dan cahaya matahari). Kerugian terisolasinya aktivitas yang hanya
terbatas pada ruang tersebut.
Teras atau lorong :
ruang terbuka berbentuk linear seperti koridor dengan citra pergerakan. Pandangan
pemakai cenderung terfokus pada amplop bangunan penutup ruang terbuka tersebut.
Keuntungan kemudahan akses bagi mobil sedangkan kerugiannya suasana ruang
monoton.
Kombinasi lorong dan taman :
perpaduan dua tipe ini membuat karakter visual yang menarik dimana ruang terbuka
berbentuk lorong dapat merupakan penghubung antara ruang terbuka yang berbentuk
taman.

E. Skala dan Proporsi


Ruang terbuka berbentuk koridor
Proporsi antara tinggi bangunan dan lebar ruang terbuka minimum 1 : 1, bila proporsi
lebih kecil dari ini akan menyebabkan efek yang menakutkan, (Claustropobia).
Proporsi maksimum adalah 1 : 2,5, bila proporsinya melebihi ini ruang trebuka yang
tercipta akan terasa lemah tingkat ketertutupannya.

Ruang terbuka berbentuk taman


Perbandingan maksimum antara tinggi bangunan dan lebar ruang terbuka adalah 1 :
4.

F. Hubungan antar Ruang Terbuka


Perumahan tidak hanya memiliki satu ruang terbuka tetapi akan terdapat beberapa ruang
terbuka untuk mengurangi desain yang monoton maka ruang terbuka tersebut harus
dikomposisikan menjadi ruangan-ruangan yang kontras. Hal ini untuk meningkatkan citra
dan identitas dari masing-masing ruang terbuka.
Metode sudah dilakukan pada kota-kota di zaman pertengahan. Hubungan antara dua
ruang kontras tersebut dapat dihubungkan oleh jalan maupun dengan mendekatkan kedua
ruang terbuka tersebut. Beberapa cara penyusunan ruang terbuka yang kontras adalah

Mengubah tipe ruang terbuka


Mengubah ukuran ruang terbuka
Mengubah hirarki ketertutupan
Mengubah elemen penutup
Mengubah ketinggian bangunan
Mengubah wujud denah bangunan
Mengubah bentuk ruang terbuka

4.4 TERITORI (KEPEMILIKAN)


Dalam perumahan terdapat tiga hirarki kepemilikan ruang yaitu rumah dan halaman rumah
yang merupakan kepemilikan pribadi dan taman sebagai kepemilikan bersama penghuni.
Pentingnya rasa kepemilikan pada perumahan karena penghuni membutuhkan privasi dan
penghargaan diri, serta penyediaan perlindungan dari gangguan luar.
Pada skala tapak hirarki yang tercipta tergantung pada disain pintu gerbang.
Pintu gerbang tidak menciptakan teritori
Pintu gerbang yang menciptakan teritori dengan baik
Beberapa perwujudan pintu gerbang ke dalam tapak perumahan
Dinding dan gerbang
Vegetasi
Permainan bentuk bangunan
Perubahan ketinggian (tangga)
Ruang bawah bangunan
Putaran pada sudut
Dalam skala rumah kepemilikan berawal dari taman depan, bila tidak terdapat taman depan
ada beberapa bentukan yang dapat menunjukan teritori yang juga merupakan ruangan
peralihan dari ruangan bersifat publik ke privat yang dapat dilakukan dengan cara perubahan
bahan lantai, kanopi dan perubahan ketinggian (tangga).
4.5 JALUR SIRKULASI
A. Jalan Kendaraan (Jalan)
a. Pengertian
Jalan : jalur yang yang direncanakan atau digunakan untuk lalu lintas kendaraan dan
orang. Untuk saluran air minum, saluran air limbah, jaringan listrik, jaringan telepon, gas
dan lain-lain ditempatkan diantara garis sempadan pagar dan saluran air hujan.

b. Tipe Jalan
Berdasarkan jenis intensitas dan kecepatan kendaraan jalan dibagi menjadi :
Jalan Arteri atau jalan bebas hambatan :
jalan yang digunakan untuk intensitas yang besar dan kecepatan kendaraan yang
tinggi. Lebar badan jalan (ROW) 80-120 ft ( 20,32-30,48 m).

Jalan Kolektor :
merupakan penghubung kendaraan dari jaln minor ke jalan bebas hambatan,
merupakan jalan masuk ke suatu areal perumahan. Lebar badan jalan 60-80 ft (15,2420,32 m).

Jalan Minor :
merupakan jalan utamn areal perumahan dan merupakan jalan masuk ke persil
rumah. Lebar badan jalan 50-60 ft (12,7-15,24 m).
Jalan penghubung marginal :
Merupakan jalan minor yang terletak sejajar dengan jalan arteri yang berfungsi
sebagai penyediaan akses ke persil di sepanjang jalan arteri yang melindungi
pemakai jalan dari padatnya arus lalu lintas. Lebar badan jalan 40 ft (10,16 m).
Gang/lorong :
merupakan jalan minor yang digunakan untuk akses servis kendaraan ke bagian
belakang atau samping persil.

Berdasarkan hubungannya dengan perumahan :


Jalan penghubung lingkungan perumahan : jalan yang menghubungkan lingkungan
perumahan dengan jalan lokal setempat.
ROW ( Right of way )/ Lebar badan jalan minimum : 13 m
Lebar perkerasan aspal minimum
: 6m
Lebar perkerasan bahu jalan @
: 1m

Jalan poros lingkungan perumahan : jalan yang menghubungkan masing-masing


satuan permukiman atau lingkungan perumahan
ROW ( Right of way )/ Lebar badan jalan minimum : 11 m
Lebar perkerasan aspal minimum
: 4,5m
Lebar perkerasan bahu jalan @
:1 m

Jalan lingkungan perumahan : jalan yang ada di dalam satuan permukiman atau
lingkungan perumahan. Jalan lingkungan perumahan dibagi menjadi 3 jenis yaitu :
a. Jalan lingkungan perumahan I : adalah jalan di dalam lingkungan perumahan
yang dipergunakan untuk segala macam kendaraan roda empat.
ROW minimum
: 7,5 m
Lebar perkerasan minimum
: 3,5 m
b. Jalan lingkungan perumahan II : jalan di dalam lingkungan perumahan yang
digunakan untuk menampung arus manusia dari jalan setapak menuju suatu
fasilitas lingkungan.
ROW minimum
: 3,6 m
Lebar perkerasan minimum
: 1,5 m
c. Jalan lingkungan perumahan III : jalan yang dipergunakan untuk pejalan kaki.
ROW minimum
: 3,6 m
Lebar perkerasan minimum
: 0,9 m

Konstruksi jalan minimum harus memperhitungkan :


Kepadatan tanah
Kepadatan lalu lintas
Pemilihan material
c. Pola Jalan dalam Perumahan
Jalan merupakan prasarana penting pada perumahan dengan adanya jalan akan
mempermudah pencapaian ke rumah, di samping itu jalan dapat menentukan pola
perumahan.
Jalan berbentuk grid : merupakan perencanaan yang sangat sederhana tetapi
memiliki kelemahan antara lain disain yang monoton tetapi sangat efisien dalam
pemakaian lahan.
Jalan berbentuk kurva : memberikan efek yang natural terutama untuk mendukung
topografi yang ekstrim. Tetapi pemakaian bentuk ini pada lahan datar akan terjadi
pemborosan dan harus dengan pertimbangan disain yang cermat.
Jalan berbentuk Cul-de-sac : memberikan privasi yang tinggi dan pembagian jalur
lalu lintas yang tegas. Jalan yang tertutup membuat perbedaan yang jelas untuk
pemakaian yang terbatas sehingga ukuran jalan akan lebih kecil dan mempermudah
pemasangan penerangan jalan.
Jalan berbentuk putaran (Loop) : memberikan privasi, keamanan dan kemudahan
untuk berputar dibandingkan dengan Cul-de-sac.Sirkulasi kendaraan menjadi lebih
baik dari dan ke jalan kolektor.Bentukan putaran dengan proporsi dan bentuk yang
bervariasi akan menyebabkan penciptaan disain yang menarik, dapat juga bagian
tengah putaran tersebut sediakan ruang terbuka.
d. Penerangan Jalan
Penerangan jalan merupakan salah satu elemen jalan yang mendukung pemakaian jalan pada
malam hari. Penempatan lampu jalan harus memperhatikan kuat pancar lampu yang
digunakan. Ketinggian tiang lampu jalan berkisar antara 25 sampai 35 ft (6,35 sampai 8,89
m), tetapi ukuran ini tergantung pada tipe lampu jalan, jarak tiang, ketinggian dudukan lampu
dan lokasi lintasan.
Jenis bahan tiang lampu jalan
Jenis
Keunggulan
Aluminium

Besi

Beton pre-stress

Kayu

Tahan terhadap korosi


Biaya perawatan rendah
Pemasangan mudah
Daya tahan tinggi
Kekuatan
tinggi
untuk
peletakan lampu dalam jarak
gantung yang lebar
Tidak
membutuhkan
perawatan
Tidak korosi
Daya tahan tinggi
Karakter alam dan tanpa
perawatan

Kelemahan
Daya tahan rendah
Kekuatan rendah untuk peletakan
lampu pada jarak gantung yang lebar
Membutuhkan pengecatan untuk
melawan korosi
Berat sehingga untuk pemasangan
membutuhkan alat khusus
Berat dan membutuhkan peralatan
berat untuk pemasangan
Sulit untuk penempatan tanda yang
lain
Butuh pengkondisian khusus untuk
peningkatan daya tahan terhadap
gangguan cuaca supaya tidak mudah
lapuk.

Halangan pohon
Cabang pohon yang rendah dan penempatan tiang pohon yang terlalu dekat dengan pohon
akan mengakibatkan sinar lampu terhalang dan akan mengurangi penyebaran sinar. Ukuran
standar bagi penempatan tiang lampu dengan pohon dapat dilihat pada gambar dibawah ini.

e. Vegetasi (Tanaman)

Tanaman sebagai Pengendali Angin : pengendalian angin oleh tanaman dilakukan


dengan cara menghalangi, mengarahkan, membelokan dan menyaring angin.
Pemakaian tanaman yang beragam dan peletakan tanaman merupakan cara yang efektif
dalam usaha mengendalikan angin. Pemakaian tanaman harus memprediksikan ukuran
bentuk dan rata-rata pertumbuham karena tanaman adalah elemen yang selalu tumbuh.
Beberapa keuntungan penempatan pohon diantara jalur pejalan kaki dan persil:
1. Rumah menjadi lebih tertutup dari polusi, kebisingan dan secara visual akibat
dari aktivitas di jalan.
2. Tanaman mendapatkan kondisi tanah yang lebih baik untuk perkembangan
akar- akarnya.
3. Lebih sedikit terjadi bentuiran dengan penyediaan jaringan lainnya.
4. Pemotongan bagian atas tanaman akan lebih mudah.

Tanaman sebagai pembatas pandangan: tanaman dapat dipakai sebagai pembatas


visual untuk bagian-bagian yang tidak didinginkan misalnya tempat pembuangan
sampah, area servis, bagian yang dalam masa konstruksi, gudang, fasilitas pembangkit
tenaga listrik dan lain-lain.

Tanaman sebagai wadah penciptaan privasi : dengan membentuk pembatasaan bagi


area-area dengan fungsi yang khusus.

A. Jalan Setapak (pedestrian)


Kualitas jalan setapak tergantung pada elemen pendukung yang ada disekeliling yaitu
gedung, dinding, tanaman, jalan mobil, parkir, kepemilikan dan pemakai. Beberapa
pertimbangan yang harus yang dilakukan dalam disain jalan setapak adalah:
a. Lokasi
Daerah perkotaan (koridor):elemen disekitar jalan setapak adalah elemen buatan
seperti dinding dan sudut bangunan
Daerah taman:elemen disekitarnya adalah pohon, semak, rumput dan kontur tanah.
b. Pemakai

Pergerakan Horisontal :
Anak-anak : Pergerakan yang berliku-liku menarik untuk memenuhi rasa ingin
tahu.
Dewasa : Pergerakan yang lurus yang langsung ke tujuan.

Orang tua : Pergerakan yang lebih lambat, beristirahat, tujuan bukan prioritas
utama.

Pergerakan Vertikal :
Anak-anak : bentukan naik turun secra dinamis merangsang anak untuk bergerak.
Dewasa : bentukan naik turun dengan tangga.
Orang tua, ibu hamil, penyandang cacat, anak memakai sepeda dan lain-lain :
bentukan dengan ramp (lantai miring) dengan perbandingan kemiringan 1 : 10
atau tangga dengan kemiringan yang datar.

c. Tujuan
Tergesa-gesa : pergerakan yang langsung ke tujuan yang menjadi sasaran pemakai.
Berkelok-kelok : pergerakan yang lebih lambat dipakai untuk berjalan dengan santai
tidak terburu-buru.
Istirahat : dipakai untuk daerah perbelanjaan atau orang tua.
Mengamati pemandangan : pergerakan dengan adanya satu daerah perberhentian
untuk menikmati suatu elemen yang menarik.
Sosialisasi : jalan setapak menuju ke pintu dan pelebaran jalan yang dipakai untuk
bercakap-cakap.
Privasi : membuat jalan sekunder sebagai elemen untuk memperkuat teritori.

4.6 UTILITAS KAWASAN


A. Sistem Penyediaan Air Minum
a. Pengertian dan persyaratan
Air Minum : air yang dibenarkan untuk diminum , memasak damn keperluan rumah tangga.
Persyaratan kapasitas saluran air minum kota guna melayani kebutuhan air minum di
lingkungan perumahan :
Sambungan rumah dengan kapasitas minimum 100 liter/orang/hari
Sambungan halaman dengan kapasitas minimum 60 liter/orang/hari
Sambungan kran umum dengan kapasitas minimum 30 liter/orang/hari
Keperluan air bersih rata-rata dalam sehari di Indonesia adalah 100 liter dengan perincian :
Minum
:
5 liter
Masak
:
5 liter
Membersihkan/mencuci
:
15 liter
Mandi
:
30 liter
Kakus
:
45 liter
Jumlah :
100 liter

Air minum yang layak harus memenuhi beberapa persyaratan antara lain :
Syarat fisik : jika air tidak berwarna, tidak mempunyai rasa, tidak berbau, jernih, suhu
air di bawah suhu udara.
Syarat kimia : tidak mengandung zat kimia atau mineral yang berbahaya bagi kesehatan
misalnya CO2, H2S, NH4 dan lain-lain.
Syarat bakteriologis : tidak mengandung bakteri E.coli yang melampaui batas.

b. Persyaratan teknis
Sambungan rumah
Sambungan halaman
Sambungan kran umum
Harus tersedia sistem Tidak harus tersedia Lokasi berjarak minimal
plumbing dalam rumah
sistem plambing rumah
100 m dari rumah yang
dilayani
Ukuran pipa saluran air Ukuran pipa saluran air Setiap
kran
umum
minum kota minimal 18 minum kota minimal 12,5 melayani maksimal 20 rumah
mm
mm
Dilengkapi
dengan
Adanya meteran air Adanya meteran air meteran air
dengan ukuran 12,5 mm
dengan ukuran 12,5 mm
Terdapat minimal 2 kran
Untuk pipa tertanam Untuk pipa tertanam
dapat digunakan jenis pipa dapat digunakan jenis pipa
PVC
PVC
Meteran
air
harus
Meteran
air
harus
dipasang tertutup
dipasang tertutup

c. Sistem Penyediaan
Sistem penyediaan air bersih meliputi semua yang dibutuhkan untuk instalasi, perawatan dan
distribusi air ke pemakai. Beberapa prinsip dari sistem penyediaan air bersih adalah :
1. Sumber air yang meliputi sungai, danau, dan sumur serta fasilitas lain yang
berkaitan dengan sumber tersebut.
2. Jaringan utama yang meliputi terowongan air ( Aqueduct ), kanal, dan pipa yang
digunakan untuk menyalurkan air dari sumber ke fasilitas pengolahan.
3. Fasilitas pengolahan air yang mengolah air dari sumber menjadi air bersih yang
layak pakai.
4. Jaringan distribusi merupakan jaringan dari air yang sudah diolah ke pemakai
5. Sambungan tapak merupakan sambungan dari jaringan distribusi ke persil pemakai
Jenis jaringan distribusi penyediaan air bersih tegantung pada pola jalan, kepadatan
penduduk, topografi dan lain-lain. Beberapa pola sistem distribusi air bersih adalah :
1. Pola bercabang dengan saluran penyedia utama yang tidak bersambungan
2. Pola grid dengan saluran penyedia utama terpusat
3. Pola grid dengan saluran penyedia utama berbentuk loop
Pola distribusi grid dapat berupa penyediaan air dengan satu saluran utama dan dua saluran
utama. Penyediaan air bersih dengan satu saluran utama memiliki kelemahan banyaknya
saluran ke rumah berada di bawah jalan sehingga kalau terjadi kerusakan harus membongkar
jalan untuk perbaikan, kelemahan ini diperbaiki pada penyediaan air dengan dua saluran
utama.
d. Kran Kebakaran
Kran Kebakaran : kran yang dipasang pada jaringan air minum sebagai fasilitas kebakaran.
Kran kebakaran harus ditempatkan pada jarak 100 m untuk bangunan-bangunan komersial
atau dipasang pada jarak 200 m untuk daerah perumahan dan ditempatkan sedemikian rupa
mudah dilihat dan dapat dicapai oleh unit mobil pemadam kebakaran.

Apabila kran kebakaran tidak dimungkinkan karena tidak tersedia air minum lingkungan,
maka pada jarak-jarak di atas dibuat sumur-sumur sebagai sumber air. Sumur gali umum :
jumlah rumah yang dilayani tidak lebih dari 8 rumah dan berjarak minimal 50 m dari rumahrumah yang dilayani.
e. Sumur
Beberapa pertimbangan dalam penentuan jenis sumur :
1. Karakter lapisan tanah
2. Situasi hidrologi dan level air tanah
3. Keadaan saluran pembuangan karean sumber air bersih membutuhkan perlindungan
terhadap kemungkinan pencemaran
4. Biaya konstruksi dan material
Sumur dapat dikategorikan berdasar metode konstruksi, dibagi menjadi :
1. Sumur gali (Dug Wells) : merupakan sumber air yang mudah terkena pencemaran
sehingga membutuhkan proteksi yang kedap air.
Sumur gali yang dibuat harus dengan persyaratan sebagai berikut :
Sekeliling sumur harus dibuat lantai rapat air selebar minimum 1,2 m dari dinding
sumur.
Dinding sumur harus dibuat dari konstruksi yang aman, kuat dan rapat air ke atas
80 cm dan ke bawah minimum 2 m dari muka lantai.
Lubang sumur harus dilengkapi dengan tutup yang dapat dibuka dari bahan yang
kuat dan tahan lama.
Sumur gali harus ditempatkan pada jarak minimum 10 m dari tangki septik dan 15
m dari bidang resapan ( tergantung pada sifat tanahnya ).
2. Sumur tumbuk ( Driven Wells ) : digunakan pada karakter tanah yang mempunyai
butiran kasar, biasa digunakan pada tanah berpasir misalnya di pantai. Sumur ini
dipakai untuk memenuhi kebutuhan air dalam jumlah yang banyak. Diameter sumur
yang kecil sehingga lobang sumur harus dilindungi oleh pipa galvanis. Kedalaman
sumur tidak lebih dari 7,6 m. Perlindungan dan persyaratan letak yang dibutuhkan
sama dengan sumur gali.
3. Sumur bor ( Drilled Wells ) : merupakan jenis sumber air yang terbaik. Sumur bor
pada dasarnya berupa pipa besi yang dimasukan ke dalam tanah dengan cara
mengebor sehingga dapat menembus lapisan batu. Air yang dihasilkan bebas dari
pencemaran karena merupakan air tanah dalam.
Karakter Sumur
Karakter
Kedalaman
Diameter
Tipe lapisan tanah
Tanah liat
Tanah berpasir
Kerikil
Batuan

Sumur gali
0 - 12,7 m
0,7 - 5 m

Sumur tumbuk
0 - 7,6 m
3,8 - 5 cm

Sumur bor
0 - 254 m
10,16 - 45,7 cm

Bisa
Bisa
Bisa
Tidak Bisa

Bisa
Bisa
Bisa
Tidak Bisa

Bisa
Bisa
Bisa
Bisa

Jarak minimum
Karakter
Batas persil
Resapan
Pembuangan sampah
Saluran pembuangan
Kedap air
Saluran pembuangan
tak kedap air

Sumur gali
25,4 m
50,8 m
50,8 m
12,7 m

Sumur tumbuk
12,7 m
50,8 m
50,8 m
12, 7 m

Sumur bor
5,08 m
25,4 m
25,4 m
2,54 m

25,4 m

25,4 m

12,7 m

B. Sistem pembuangan Air limbah


a. Pengertian
Air Limbah : semua jenis air buangan yang berasal dari manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan,
air buangan pabrik dan buangan kimia.
Air Limbah rumah tangga :
Kotoran manusia, air dapur dan buangan dari kamar mandi
Pembuangan air limbah lingkungan :
Tiap sistem pembuangan yang ditujukan untuk melayani pembuangan air limbah lingkungan
untuk diolah dan kemudian dibuang sedemikian rupa sehingga air tersebut aman bagi
kesehatan.
b. Sistem Pembuangan
Sistem pembuangan terdiri dari pengumpulan dan pengolahan. Sistem pembuangan terbagi
menjadi jaringan pembuangan air limbah dan jaringan pembuangan air hujan atau
menggabungkan kedua jenis buangan tersebut dalam satu jaringan yang biasanya terdapat
pada kota-kota tua.
Bila memakai sistem gabungan maka biaya yang dikeluarkan lebih murah, membutuhkan
ukuran pipa yang besar dan menyulitkan pemeliharaan. Bila memakai sistem terpisah maka
ukuran pipa yang dipakai lebil kecil dan memudahkan pemeliharaan.
Lubang periksa ( Bak kontrol ), berfungsi untuk pemeriksaan dan pembersihan saluran
pembuangan. Bentuk lubang sebaiknya lingkaran dengan ukuran yang memudahkan orang di
dalamnya untuk beraktivitas diameter minimum 4 feet.
c.

Persyaratan sistem pembuangan air limbah lingkungan


Ukuran pipa pembawa minimal 200 mm
Sambungan harus kedap air
Pada jalur pipa pembawa harus dilengkapi dengan lubang pemeriksa pada setiap
pergantian arah pipa dan mininum berjarak 50 m pada bagian pipa yang lurus
Air limbah harus melalui sistem pengolahan yang memenuhi standar yang berlaku
sebelum dibuang ke perairan terbuka.

d. Cara Pembuangan air Limbah


1. Pengenceran ( Disposal by dilution ) : air limbah dibuang ke sungai, danau atau laut. Air
limbah akan megalami purifikasi alami. Syarat-syarat yang harus dipenuhi :
Sungai atau danau tidak boleh digunakan untuk keperluan lain
Air harus cukup sehingga pengencerannya minimal 30-40 kali
Air mengalir sehingga cukup kandungan oksigen.

2. Cesspool : menyerupai sumur dibuat pada tanah yang poreus atau berpasir agar air
buangan mudah dan cepat meresap ke dalam tanah. Bagian atasnya di beton, bila sudah
penuh ( 6 bulan ) lumpur disedot keluar atau membuat secara berangkai. Jarak dari
sumber air minimum 45 m dari pondasi rumah minimal 6 m.
3. Tangki septik ( Septic tank ): sebuah bak yang terbuat dari bahan yang rapat air,
berfungsi sebagai bak pengendap yang ditujukan untuk menampung kotoran padat untuk
mendapatkan suatu pengolahan secara biologis dalam waktu tertentu. Bila tidak
memungkinkan tangki septik tank dan resapan di setiap rumah maka harus dibuat tangki
septik tank dan daerah resapan bersama yang dapat melayani beberapa rumah.
Persyaratan tangki septik
Luas halaman cukup luas untuk bidang resapan
Jarak tangki septik dan bidang resapan minimal 10 m dari sumur gali
Kondisi air tanah sedemikian rupa sehingga resapan harus bisa bekerja secara baik
Volume tangki septik minimum 1,5 m3
Tinggi air dalam tangki minimum 1 m
Tangki harus dibuat dari bahan kedap air
Tutup tangki harus dilengkapi dengan lubang penghawaan dan lubang periksa,
lubang periksa harus berdiameter 45 cm. Kalau berbentuk persegi ukuran lubang
periksa adalah 45 cm x 45 cm.
Pipa masuk harus terletak pada ketinggian kira-kira 2, 5 cm lebih tinggi dari pipa
keluar.
Penentuan ukuran tangki septik
Kapasitas air limbah yang diolah ke dalam tangki septik adalah 30-40 liter/orang/hari
Ditensi ( waktu pengeraman ) diperhitungkan 1-1,5 hari
Banyaknya lumpur yang mengendap diperhitungkan 10-20 liter/orang /tahun
Perbandingan ukuran ideal untuk tangki septik adalah panjang : lebar = 2 : 1 atau 3 :
1
Kedalaman total ( tinggi cairan ditambah tinggi ruang bebas air ) minimum 1,80 m
Untuk memudahkan pengurasan maka dasar tangki septik perlu dibuat miring ke arah
memanjang.
Cara perhitungan
Banyak penghuni rumah 10 orang, banyak air limbah yang harus diolah :
10 x 30 = 300 liter/orang/tahun = 0,3 m3 /orang/hari
Ditensi 1,5 hari = 0,3 m3 x 1,5 hari = 0,45 m3
Pengurasan lumpur dilaksanakan 2 tahun sekali
Jumlah lumpur : 10 x 10 liter x 2 tahun = 200 liter = 0,2 m3 /tahun
Kapasitas tangki = 0,45 + 0,2 = 0,6 m3

Ukuran tangki
Tinggi air bekas dalam tangki : 1,50 m
Luas permukaan air bekas dalam tangki : 0,6 m3 / 1,50 m = 0,4 m2
Lebar tangki septik ditentukan 0,4 m jadi panjang tangki septik 0,4 m2 / 0,4 m = 1 m
Ukuran tangki septik adalah 1m x 0,4m x 1,5m ( panjang : lebar : dalam )
4. Sumur resapan ( Seepage pit ) : sumur yang hanya menerima air limbah yang telah
mengalami pengolahan misalnya dari tangki septik sehingga fungsinya hanya tempat
peresapan. Dibuat di tanah poreus dengan diameter 1 2,5 m dan kedalaman 2,5 m.
Lama pemakaian 6 10 tahun.
Persyaratan bidang resapan
Bidang resapan harus dibuat sesuai dengan daya resap tanah, luas bidang resapan
minimum 12 m2.
Bidang resapan harus dapat menampung pembuangan air kotor 1.000 liter/hari.
Waktu minimum resap
tanah tiap 2,5 cm (menit)
1
2
3
4
5
10
15
20
25
30
40
50
60

Luas bidang resapan ( m2/ 1.000


liter )
5
7
8,5
10
11
15
19
22
24
27
31
35
38

Pada bidang resapan, minimum harus dibuat 2 jalur galian untuk pipa resapan
Panjang total lubang galian harus minimum 20 cm dalam keadaan tanah normal
Lebar galian minimum 60 cm, dalam galian adalah 45 cm
Jarak sumbu 2 jalur galian minimum 1,5 m
Di bawah pipa resapan harus diberi lapisan dari bahan yang kasar ( diameter 1,5 5
cm ) setebal 5 cm dan di atas pipa resapan ditimbun dengan bahan yang sama
minimum 5 cm.

Perhitungan bidang resapan


Penentuan panjang bidang resapan menggunakan rumus :

L =

L
N
Q
T
D

:
:
:
:
:

N Q T
200 D

Panjang bidang resapan


Jumlah orang yang dilayani
Kuantitas air limbah ( Air bekas )
Faktor resapan tanah
kedalaman efektif bidang galian resapan

Contoh :
Berdasarkan perhitungan dari tangki septik diatas didapat:
N = 10 orang
Q = 30 lt/orang/hari
T = berdasarkan penelitian di lokasi harus lebih cepat dari 4 menit/cm, jadi
tentukan saja 3 menit/cm
D = ditentukan 0,50 m
Maka panjang bidang resapan :
L =

N Q T
900
10 30 3
=
=
= 9m
200 D
100
200 0,5

Jadi :
L = panjang bidang resapan untuk 10 orang adalah 9 m
L = panjang bidang resapan bisa direncanakan setelah melalui pipa outlet masuk
kotak distribusi dan selanjutnya dari kotak distribusi disalurkan melalui 3 jalur
bidang resapan sehingga panjang bidang resapan tiap jalurnya hanya 3 m.
C. Sistem Pembuangan Air Hujan
Saluran pembuangan air hujan harus direncanakan berdasarkan frekuensi intensitas curah
hujan 2 tahunan. Saluran ini dapat berupa saluran terbuka maupun tertutup. Apabila
merupakan saluran tertutup maka tiap perubahan arah harus dilengkapi lubang pemeriksa dan
pada saluran yang lurus jarak lubang pemeriksa minimal 50 m. Lubang pemeriksa :adalah
lubang yang dibuat untuk memungkinkan orang masuk ke dalam untuk melakukan
pemeriksaan.
Sistem pembuangan air hujan harus dihubungkan dengan badan penerima (suatu fasilitas
yang tersedia untuk menerima, mengalirkan atau menampung air buangan) dan dapat
menyalurkan atau menampung air buangan sehingga maksud pengeringan daerah dapat
terpenuhi. Badan penerima dapat berupa sungai, danau, kolam yang mempunyai daya
tampung cukup.
D. Pembuangan Sampah
a. Pengertian
Sampah : semua zat atau benda yang sudah tidak terpakai baik yang berasal dari rumah
tangga atau hasil proses industri :
Garbage : sisa pengolahan atau makanan yang dapat membusuk.
Rubbish : adalah yang tidak membusuk, gelas / kaca, plastik yang tidak mudah
terbakar dan kayu yang mudah terbakar.
Agar sampah tidak membahayakan manusia, maka perlu pengaturan yaitu :
Penyimpanan
Pengumpulan
Pembuangan
b. Persyaratan
Fasilitas pembuangan sampah harus dibuat untuk menampung sementara sampah-sampah
yang dikumpulkan dari tiap rumah. Jumlah dan kapasitas tampung pengumpulan sampah

tergantung pada jumlah dan frekuensi pengangkutan ke tempat pembuangan. Fasilitas


pengangkutan sampah dapat berupa gerobak dorong dan mobil pengangkut sampah.
Frekuensi pengangkutan dari tiap-tiap rumah atau pengumpulan sampah harus diatur
maksimum 2 hari sekali. Penyimpanan sampah diperlukan tempat sampah ditiap rumah,
isinya cukup satu meter kubik. Pembuangan sampah biasanya dilakukan di daerah tertentu
sehingga tidak menganggu kesehatan, jarak yang sebaiknya untuk pedoman ialah sekitar 2
km dari perumahan, 15 km dari laut dan 200 m dari sumber air.
Penampungan sampah pada rumah paling kecil berukuran 40 liter untuk tempat sampah
yang sendiri-sendiri. Tempat sampah bersama paling banyak melayani 8 rumah dengan
ukuran paling kecil 320 liter. Konstruksi tempat sampah harus dengan bahan kedap air,
tertutup dan mudah dibuka. Penempatan tempat penampungan sampah harus mudah dicapai
petugas kebersihan dan tidak mengganggu lalu lintas.
c. Jenis-jenis pembuangan sampah
1. Penimbunan saniter ( Sanitary landfill ) : suatu cara pembuangan sampah yang
dilakukan pada tempat-tempat rendah dengan cara penimbunan berlapis. Setiap lapisan
timbunan sampah harus selalu diikuti oleh penimbunan tanah di atasnya. Persyaratan
penimbunan saniter :
Harus dipilih tanah rendah yang menyebabkan genangan air .
Lapisan sampah harus diusahakan kurang dari 2 m tiap lapis
Tebal lapisan tanah minimal 20 cm untuk menutup tiap lapisan sampah
Jarak minimum tempat pembuangan adalah 200 m dari lingkungan perumahan.
2. Incenerator : pembakaran sampah secara besar-besaran, melalui suatu pabrik yang
khusus untuk itu. Cara ini mahal tetapi banyak keuntungannya yaitu :
Volume dapat diperkecil sampai sepertiganya
Tidak membutuhkan tempat yang luas
Tidak dipengaruhi oleh cuaca
Panas yang dihasilkan dapat dimanfaatkan
Pengolahannya dapat dilakukan secara terpusat
3. Sistem riol ( sewerage ) : cara pembuangan air limbah yang harus termasuk perencanaan
kota.
Proses pengolahannya adalah sebagai berikut :
Penyaringan ( screening )
Pengendapan ( sedimentation )
Proses biologis secara aerob dan anaerob
Disaring dengan saringan pasir
Didisinpeksi
Pengenceran dibuang ke sungai, danau atau laut
4.7 FASILITAS LINGKUNGAN PERUMAHAN
A. Fasilitas Pendidikan
a. Sekolah taman kanak-kanak
Fasilitas pendidikan paling dasar yang diperuntukkan bagi anak-anak usia 5-6 tahun.
Terdiri dari dua ruang kelas masing-masing dapat menampung 35-40 murid per kelas dan
dilengkapi dengan ruang lainnya. Pencapaian maksimum adalah 500 m.

b. Sekolah dasar
Fasilitas pendidikan yang dipergunakan unutk anak usia 6-12 tahun. Terdiri dari 6 ruang
kelas yang masing-masing menampung 40 murid dan dilengkapi dengan ruang-ruang
lainnya. Pencapaian maksimum adalah 1.000 m.
c. Sekolah menengah pertama
Fasilitas pendidikan untuk menampung lulusan sekolah dasar. Terdiri dari 6 ruang kelas
yang dapat menampung 30 murid dan dipakai pagi dan sore.
d. Sekolah menengah ke atas
Fasilitas pendidikan untuk menampung lulusan sekolah menengah pertama. Terdiri dari 6
ruang kelas yang dapat menampung 30 murid dan dipakai pagi dan sore.

B. Fasilitas Kesehatan
a. Puskesmas pembantu : pencapaian maksimum adalah 1.500 m.
b. Puskesmas : membawahi 5 puskesmas pembantu, pencapaian maksimum adalah 3.000
m
c. Tempat praktek dokter : dapat bersatu dengan tempat tinggal dan dapat juga terpisah,
jarak maksimum adalah 1.500 m.
d. Rumah bersalin : pencapaian maksimum adalah 2.000 m.
e. Apotik : pencapaian maksimum adalah 1.500 m.
C. Fasilitas Perbelanjaan dan Niaga
a. Warung : fasilitas perbelanjaan yang terkecil melayani kebutuhan sehari-hari dari unit
lingkungan terkecil ( 50 keluarga ), pencapaian maksimum 300 m.
b. Pertokoan : fasilitas perbelanjaan yang lebih lengkap daripada warung, meskipun tetap
menjual kebutuhan sehari-hari, pencapaian maksimum 500 m.
c. Pusat perbelanjaan lingkungan : fungsi utama sebagai pusat perbelanjaan dan niaga
lingkungan yang menjual keperluan sehari-hari bahan makanan, kelontongan, alat
sekolah, alat rumah tangga dan lain-lain. Terdiri dari pasar dan pertokoan lengkap dengan
bengkel reparasi kecil seperti radio, kompor, setrika, dan lain-lain.
d. Pusat perbelanjaan dan niaga kecamatan : fungsi utama sama dengan pusat
perbelanjaan lingkungan hanya dilengkapi dengan fasilitas niaga yang lebih luas seperti
kantor, bank, dan industri kecil. Toko-toko tidak saja menjual kebutuhan sehari-hari
tetapi juga kebutuhan yang lebih komplek. Terdiri dari toko-toko, pasar, bengkel reparasi
dan servis juga unit produksi yang tidak menimbulkan polusi dan gangguan lain.
D. Fasilitas Pemerintah dan Pelayanan Umum
Dasar pendekatan penyediaan fasilitas ini adalah untuk melayani setiap unit administrasi
pemerintah yang terdiri dari :
Unit adminstrasi pemerintahan informil : Rukun Tetangga ( RT ) kelompok 50
keluarga dan Rukun Warga ( RW ) 500 keluarga.
Unit administrasi formil : kelurahan dan kecamatan .
Fasilitas yang disediakan bukan berdasarkan pada jumlah penduduk yang mampu
mendukung fasilitas :
a. Kelompok 500 keluarga ( tingkat RW )
Pos hansip dan balai pertemuan
Parkir umum dan kakus umum.

b.Kelompok 6.000 keluarga ( tingkat kelurahan )


Kantor kecamatan,
Kantor polisi
Kantor pos pembantu.
Pos pemadam kebakaran
Parkir umum dan kakus umum
c. Kelompok 24.000 keluarga ( tingkat kecamatan )
Kantor kecamatan
Kantor polisi
Kantor pos cabang
Kantor telepon cabang
Pos pemadam kebakaran
Parkir umum dan kakus umum
Gardu listrik
E. Fasilitas Peribadatan
Fasilitas ini untuk setiap daerah harus disesuaikan dengan agama yang dianut oleh
masyarakat di tempat tersebut. Bila penduduknya 80% beragama Islam maka dapat
digunakan angka-angka sebagai berikut :
Kelompok 500 keluarga ( 2.500 penduduk ) : langgar
Kelompok 6.000 keluarga ( 30.000 penduduk ) : masjid
Kelompok 24.000 keluarga ( 120.000 penduduk ) : masjid dan temapt ibadah lainnya.
F. Fasilitas Rekreasi dan Kebudayaan
a. Kelompok 6.000 keluarga : gedung serba guna
b. Kelompok 24.000 keluarga : gelanggang remaja

G. Fasilitas Olahraga dan Lapangan Terbuka


a. Kelompok 50 keluarga : taman atau tempat bermain
b. Kelompok 500 keluarga : taman dan tempat bermain
c. Kelompok 6.000 keluarga dan 24.000 keluarga : kesatuan antara taman, tempat
bermain dan lapangan olahraga yang lokasinya mengelompok dengan sekolah.
Pustaka :
Untermann, Richard and Small, Robert. Perencanaan Tapak untuk Perumahan (
Terjemahan ), Intermatra, Bandung, 1986.
Tremlett, George ( a.GLC Study ), A Introduction to Housing Layout , The
Architectural Press Ltd, London, 1987.
T. White, Edward, Site Analysis , Florida A & M University, Florida, 1983.
De Chihara, Joseph and Koppelmen. Lee, Standar Perencanaan Tapak
(Terjemahan), Penerbit Erlangga, Jakarta , 1990.
Departemen Pekerjaan Umum, Pedoman Teknik Pembangunan Rumah Sederhana
Tidak Bertingkat , Yayasan LPMB Bandung, 1993.
Departemen Pekerjaan Umum, Peraturan Bangunan Nasional, Badan Penelitam dan
Pengembangan PU , Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman, Bandung 1976.

BAGIAN LIMA
RUMAH DALAM PERANCANGAN PERMUKIMAN

5.1 ANALISA PENENTUAN PERSIL RUMAH


Lingkungan perumahan direncanakan untuk dihuni oleh masyarakat yang membutuhkan
tempat hunian. Seharusnya merencanakan lingkungan permukiman sudah siap huni dengan
sarana dan prasarana yang lengkap. Harga murah di lingkungan permukiman yang terencana,
penghuni harus mengeluarkan dana yang meliputi biaya :
1. Pembangunan rumah
2. Pembuatan infrastruktur
3. Perijinan
4. Pembebasan dan pematangan lahan dan sebagainya.

Semakin lengkap infrastruktur yang disediakan, semakin mahal dana yang harus dikeluarkan
untuk membeli rumah di daerah tersebut. Salah satu cara untuk menekan harga rumah adalah
mengurangi harga infrastruktur. Mengurangi biaya infrastruktur bukan berarti harus
menurunkan kualitas mutu bahan yang digunakan, tetapi dengan cara merencanakan pola
infrastruktur yang efisien. Merencanakan pola infrastruktur yang efisien dapat dilakukan
dengan penentuan ukuran persil yang efisien.
Pola infrastruktur pada hakekatnya sama dengan pola jaringan jalan, kecuali pada keadaan
khusus, misalnya lahan yang berkontur tajam, gambar di bawah ini dapat menjelaskan
kondisi potongan jalan.
Pada jaringan jalan terdapat jaringan listrik, jaringan pipa air bersih, jaringan saluran air
kotor, dan jarimgam telepon. Jadi, semakin panjang jalan akan membuat semakin panjang
jaringan yang lainnya. Selain itu semakin panjang jalan, menyebabkan semakin luas ruang
sirkulasi yang merupakan daerah yang tidak bisa dijual.

A. Perhitungan Luas Ruangan


Luas ruang sirkulasi ditentukan oleh ukuran persil dan pola pembagian persil.
1. Ukuran persil :
Yang dimaksud dengan ukuran persil adalah ukuran panjang dan ukuran lebar. Apabila
ukuran persil 200 m2 maka ada beberapa kemungkinan ukuran, contohnya : panjang x
lebar =
a. 1x 200
b. 2 x 100
c. 3 x 66,6
d. 4 x 50
e. 5 x 40
f. 6 x 33,3
g. 7 x 28,57

h. 8 x 25
i. 9 x 22,2
j. 10x 20
k. 11 x 18,18
l. 12 x 16,66
m.13 x 15,36
n. 14 x 14,28

o. 15 x 13,3
p. 16 x 12,5
q. 17 x 11,76
r. 18 x 11,11
s.19 x 10,52
t. 20 x 10

u. 21 x 9,52
v. 22 x 9,09
w. 23 x 8,69
x. 24 x 8,33
y. 25 x 8
z. 26 x 7,65

Ukuran seperti pada contoh (a), (b) dan (c) adalah tidak logis Karena persil akan berupa
lorong panjang yang tidak mungkin didirikan bangunan rumah tinggal yang memenuhi
syarat.
Ukuran pada contoh (d) masih kurang dapat diterima karena masih berupa lorong dan
sukar untuk didirikan bangunan.
Ukuran pada contoh (e) sampai (t) adalah ukuran yang logis untuk didirikan
rumah tinggal.
Ukuran (u) sampai (z) adalah ukuran yang kurang dapat diterima karena terlalu lebar,
tetapi pendek sehingga kalau dikurangi garis sempadan jalan luasan sisa pada persil
tidak memenuhi syarat didirikan rumah tinggal.

2. Pola Pembangunan persil


Untuk mempermudah perhitungan diambil sampel pembagian persil dengan sistem grid
seperti pada gambar.

P : Panjang jaringan jalan as samping ke as jalan samping


Lm : Lebar jalan muka
Ls : Lebar jalan samping
L : Lebar persil
p : Panjang persil
S : Sirkulasi

3. Ruang Sirkulasi
Luas jalan disekelilingi kelompok persil. Kalau melihat gambar pada butir 2 maka ruang
sirkulasi :
S=(P 1

Lm 2 ) + ( 2p 1

= ( P Lm ) + ( 2p Ls )

Ls 2 )

Persentase ruang sirkulasi terhadap seluruh lahan adalah :


Luas ruang sirkulasi / luas lahan 100%
Luas ruang sirkulasi

= ( P Lm ) + ( 2p Ls )

Luas lahan

= P 2p + ( 1

Lm 2 )

= P ( 2p + Lm )
S=

( P Lm) (2 p Ls)
100%
P (2 p Lm)

Untuk mengetahui ukuran mana yang ruang sirkulasinya paling efisien, rumus di atas
dapat dicobakan pada setiap ukuran persil.
Supaya tidak terlalu banyak, dicoba pada ukuran :

a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.

L
L
L
L
L
L
L

p= 5
p= 8
p = 10
p = 12
p = 14
p = 16
p = 20

40
25
20
16,66
14,28
12,5
10

Ditentukan : Lm > Ls
Lm = 8 m dan Ls = 6 m
Mencari Sa :
L = 5 m , p = 40 m
P = ( 6 1 ) + Ls = ( 6 5 ) + 6 = 36 m
Sa

( P Lm) (2 p Ls)
100%
P (2 p Lm)
(36 8) (2 40 6)
=
100%
36 {(2 40) 8}
(288 480)
=
100%
(36 88)
768
=
100%
3168
=

= 24,248 %
Dengan cara dan rumus yang sama didapat :
Sb = 23,74 %
Sc = 24,24 %
Sd = 25,56 %
Se = 26,86 %
Sf = 28,69 %
Sg = 31,97 %

Apabila
Xa
Xb
Xc
Xd
Xe
Xf
Xg

p = x, maka dari semua perhitungan di atas adalah :


L

= 40/5
=8
, Sa = 24,24 %
= 25/8
= 3,125 , Sb = 23,74 %
= 20/10
=2
, Sc = 24,24 %
= 16,66/12
= 1,38
, Sd = 25,56 %
= 14,28/14
= 1,02
, Se = 26,86 %
= 12,5/16 = 0,78
, Sf = 28,69 %
= 10/20
= 0,5
, Sg = 31,97 %

Ditentukan Lm < Ls
Lm = 6 m dan Ls = 8 m
Dengan cara dan rumus seperti butir 3.1 didapat
Xa = 40/5
=8
, Sa = 27,64 %
Xb = 25/8
= 3,125 , Sb = 24,45 %
Xc = 20/10
=2
, Sc = 23,27 %
Xd = 16,66/12
= 1,38
, Sd = 23,73 %
Xe = 14,28/14
= 1,02
, Se = 24,36 %
Xf = 12,5/16 = 0,78
, Sf = 25,55 %
Xg = 10/20
= 0,5
, Sg = 27,88 %

Kesimpulan
Dari analisa pada butir 3.1 dan 3.2 dapat dibuat grafik sebagai berikut :
Pada grafik a, titik terendah pada X 3 dan pada grafik b, titik terendah pada X 2,
dari kedua grafik di atas dapat disimpulkan bahwa S terendah apabila x = 2 sampai 3.
4. Contoh penerapan
a. Ukuran persil seragam
Tidak ada hirarki ukuran persil
Lingkungan homogen
b. Ukuran persil bervariasi
Ada hirarki ukuran persil dan jalan
Jumlah persil lebih banyak, persentase jalan lebih kecil
Lingkungan heterogen

5.2 MENGHITUNG HARGA RUMAH DAN PERSIL


A. Faktor Penentu
a) Biaya pembangunan rumah :
terdiri dari biaya konstruksi dan biaya kelengkapan bangunan ( kabel listrik, pipa air
bersih, saluran air kotor, penangkal petir, pagar, septik tank. Sumur peresapan,
saluran gas, dan lain-lain )
b) Biaya Infrastruktur :
terdiri dari biaya galian dan urugan, pembuatan jalan, pembuatan jembatan, saluran
drainase, sistem air limbah, jaringan listrik, jaringan air bersih, dan saluran gas.
c) Biaya lain-lain :
meliputi biaya-biaya yang secara tidak langsung terlihat penggunaannya, tetapi harus
dibayar oleh calon penghuni rumah meliputi :
biaya pengadaan lahan
biaya proses perencanaan ( pengukuran dan pemetaan, biaya penyelidikan tanah,
perencanaan dan perijinan )

biaya hak guna bangunan


biaya pertamanan
biaya persampahan
biaya pemeliharaan fasilitas sosial.

Khusus biaya pengadaan lahan harus dikalikan dengan faktor perubahan nilai tanah.
Adapun faktor perubahan nilai tanah berbeda-beda untuk setiap status kota dan kondisi
lingkungan sekitar. Faktor ini tidak dapat ditentukan dengan pasti, tetapi hanya
berdasarkan perkiraan seperti tabel berikut :
Tingkat perkembangan
lingkungan
Status kota
1. Kota metropolitan
(< 1.500.000 jiwa )
2. Kota besar
( 500.000 1.500.000 )
3. Kota sedang
( 100.000 500.000 )
4. Kota kecil
( >100.000 jiwa )

Sudah berkembang

Sedang berkembang

Belum berkembang

1,0 %

1,5 %

2,5 %

0,7 %

1,0 %

2,0%

0,5 %

0,7 %

1,5 %

0,3 %

0,5 %

1,0 %

Sumber : Buku Pedoman Perencanaan Perum Perumnas tahun 1982/1983

B. Analisa perhitungan
a. Harga tanah matang tanpa rumah :
Kondisi ini bila infrastruktur sudah dibangun. Dengan demikian harga tanah matang
adalah harga seluruh lahan pemukiman yang telah lengkap prasarananya, tetapi
belum dibangun rumah.
Harga tanah matang : biaya pengadaan lahan ditambah faktor perubahan nilai tanah,
ditambah total biaya infrastruktur dan harga proses perencanaan.
Tm

= { Pt ( 1 + F ) } + I + P

Tm
Pt
F
I
P

= harga tanah matang


= biaya pengadaan tanah
= faktor perubahan nilai
= biaya infrastruktur
= biaya perencanaan

Harga tanah matang per meter persegi = TM / Luas tanah produktif


TM = harga tanah matang total
Luas produktif = Luas seluruh lahan yang dapat dijual ( luas seluruh lahan
dikurangi luas ruang sirkulasi dan ruang terbuka )
b. Harga persil tanpa rumah :
Harga tanah matang per meter persegi dikalikan luas tipe persil.
c. Harga persil dan rumah :
harga pembangunan rumah ditambah harga persil tanpa rumah.

Contoh soal
Lahan luas 10 Ha dibeli seharga Rp. 100.000.000, akan dibangun beberapa tipe persil
dan tipe rumah. Setelah direncanakan dengan seksama, hasilnya sebagai berikut :
Ruang sirkulasi
: 24 %
Ruang terbuka ( tanah, lapangan, olahraga )
: 5%
Fasilitas komersil
: 5%
Fasilitas sosial
: 6%
Daerah perumahan
: 60 %
Perumahan terdiri atas persil dengan luas 150, 120, dan 300 m2 . Atas dasar rencana di
atas, prasarana mulai dibangun hingga lahan tersebut siap didirikan perumahan. Biayabiaya yang dikeluarkan sampai tahap tersebut adalah :

Biaya perencanaan
: Rp 36.000.000,Biaya prasarana :
Biaya urugan dan galian
: Rp 20.000.000, Biaya pembuatan jalan dan jembatan
: Rp 50.000.000, Biaya pembuatan saluran
: Rp 20.000.000, Biaya pemasangan jaringan listrik
: Rp 50.000.000, Biaya pemasangan jaringan air bersih: Rp 30.000.000, Biaya pemasangan jaringan telepon
: Rp 60.000.000,Biaya hak guna bangunan
: Rp
40.000,- / unit
Biaya pembangunan rumah :
Biaya pada persil 150 m2
: Rp 18.000.000, Biaya pada persil 200 m2
: Rp 24.000.000, Biaya pada persil 300 m2
: Rp 36.000.000,-

Berapa biaya yang harus saudara keluarkan untuk membeli persil dan rumah tipe 150 m2?
Jawaban :
Lahan produktif

= 10 ha ( 24 % 10 ha ) (5 % 10 ha )
= 10 ha 24.000 m2 5.000 m2
= 71.000 m2

Harga tanah matang


= { PT ( 1 + F ) } + I + P
TM
= { Rp 100.000.000,- ( 1 + 1,5 % )} + ( Rp 20.000.000,- + Rp
50.000.000,- + Rp 30.000.000 + Rp 60.000.000,- ) + Rp
36.000.000,= Rp 101.500.000,- + Rp 230.000.000,- + Rp 36.000.000,= Rp 367.500.000,-

Harga tanah matang/m2 = Rp 367.500.000 / 71.000


= Rp 5.176,-

Harga persil 150 m2

= TM / 71.000 150
= Rp 776.408,-

Harga persil dan rumah

= Rp 776.408,- + Rp 18.000.000,- + Rp 40.000,= Rp 18.816.408,-

Catatan :
Harga di atas belum termasuk biaya-biaya yang harus dikeluarkan perusahaan
pembangun lingkungan permukiman seperti :
Biaya Over head
Biaya kontungensi fisik
Biaya kontungensi harga
Biaya alokasi investasi
Biaya buangan pinjaman bank
Biaya lain-lain
Biaya- biaya tambahan tersebut harus ditambahkan pada harga persil dan rumah.
C. Menghitung Angsuran Harga Rumah
Pembelian rumah dapat ditempuh dengan dua cara yaitu secara kontan dan secara angsuran.
Pembelian secara kontan sangat mudah bagi pembeli maupun penjual. Pembelian secara
angsuran sangat mudah bagi pembeli karena tidak perlu mengeluarkan dan besar sekaligus,
tetapi bagi pihak penjual memerlukan sedikit perhitungan supaya tidak mengalami kerugian.
a. Dasar perhitungan
Perhitungan angsuran berdasarkan teori matematika bunga khususnya teori rangkaian
pembayaran seragam ( Uniform Series of Payment ). Teori ini mempunyai empat metode
yaitu :
Rangkaian faktor jumlah kompon ( Rangkaian seragam atau Series Compound
Amount factor (Uniform Series :teori ini menghitung berapa jumlah modal yang
terkumpul apabila setiap akhir periode waktu (bulan /tahun) diinvestasikan sejumlah
dengan tingkat bunga tertentu.
Faktor dana diendapkan (Sinking Fund Factor) : untuk menghitung berapa jumlah
modal seragam yang harus diinvestasikan setiap akhir periode waktu (bulan/tahun)
dengan tingkat bunga tertentu, supaya dihasilkan suatu jumlah yang dikehendaki pada
akhir periode N.
Faktor pemulihan modal ( Capital Recovery Factor ) : untuk menghitung berapa jumlah
yang harus dibayarkan setiap periode waktu ( bulan/tahun ) selama periode N dan tingkat
bunga tertentu agar sejumlah modal yang dipinjam saat ini dapat lunas.
Rangkaian faktor nilai sekarang ( rangkaian seragam ) atau Series Present Worth
Factor ( Uniform Series ) : untuk menghitung jumlah nilai pinjaman saat ini, apabila
setiap akhir periode waktu ( bulan/tahun ) harus membayar suatu jumlah selama periode
N dengan tingkat bunga tertentu.
b. Teori yang dipakai
Untuk menghitung berapa angsuran yang harus dibayar setiap bulan, dipakai metode ke 3
yaitu faktor pemulihan modal ( Capital Recovery Factor ). Kebalikan dari metode tersebut
adalah metode ke 4 yaitu rangkaian faktor nilai sekarang, apabila ingin mengetahui harga
sekarang dari jumlah angsuran yang dibayarkan dalam jangka waktu tertentu.
1. Menghitung angsuran per bulan : memakai teori faktor pemulihan modal
Rumus : A

P i ( 1 i )N
( 1 i ) N 1

Keterangan :
A
: Harga rumah dan persil
i
: Tingkat bunga
N
: Jangka Waktu

Contoh Soal
Harga rumah dan persil ( sudah termasuk keuntungan pengusaha ), apabila dibayar
kontan adalah Rp 20.000.000,- atau boleh dibayar secara berangsur selama 5 tahun
dengan bunga 15 %. Berapa angsuran yang harus dibayar tiap bulan ?
Jawab :

P i ( 1 i )N
( 1 i ) N 1

Rp 20.000.000,- 0,15 ( 1 0,15) 5


( 1 0,15) 5 1
Rp 20.000.000,- 0,3017
=
1,01136

= Rp 5.966.223,69,Angsuran tiap bulan =

Rp 5.966.223,69,12

= Rp 497.185,31,-

2. Menghitung harga sekarang bila diketahui angsuran per bulan menggunakan teori
rangkaian faktor nilai sekarang
Rumus : P = A

( 1 i )N 1
i ( 1 i )N

Keterangan :
P
= Harga saat ini
A
= Angsuran
i
= Tingkat bunga
N
= Jangka waktu
Contoh soal :
Angsuran yang harus dibayar setiap bulan untuk pembelian selama masa 5 tahun adalah
Rp 400.000,- dengan bunga 15 % per tahun. Berapa sebenarnya nilai kontan rumah
tersebut ?
Jawab :

( 1 i )N 1
P = A
i ( 1 i )N
( 1 0,15 ) 5
0,15 ( 1 0,15 ) 5
1,01136
12
= Rp 400.000,-
0,3017
= Rp 400.000,-

= Rp 16.090.580,-

5.3 PENENTUAN TIPE RUMAH


Pada perencanaan permukiman hal yang paling penting adalah memberikan jenis rumah yang
tepat dengan kebutuhan penghuni hal ini untuk menghindari perubahan-perubahan.
Perubahan rumah akan menyebabkan dampak negatif terhadap lingkungan fungsional, visual,
dan sosial. Pemecahan yang menjadi kecenderungan saat ini metode pembangunan yang
bertumpu pada masyarakat memberikan keleluasaan bagi masyarakat untuk menentukan
sendiri jenis hunian yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya. Hal yang penting
untuk mengetahui jenis kebutuhan calon penghuni.
A. Identifikasi Kebutuhan
a. Kebutuhan teritori
Teritorialitas merupakan kebutuhan yang penting bagi setiap manusia. Teritorialitas
dapat berkaitan dengan kepemilikan, pandangan kebisingan dan bau. Secara fisik
teritorialitas dibatasi oleh pagar, deretan pohon, perbedaan ketinggian, dinding dan
bentuk rumah.
Ruang luar teritorialitas dapat berwujud taman depan, teras dan balkon yang membatasi
teritori keluarga tersebut dengan keluarga yang lain. Sedangkan untuk ruang dalam
teritori merupakan pembedaan pemakai masing-masing ruang untuk setiap anggota
keluarga. Pada perumahan kepadatan tinggi rendahnya pembatasan ruang pribadi
penghuni akan menyebabkan masalah-masalah sosial.
b. Orientasi
Orientasi rumah berkaitan dengan sinar matahari, pergerakan udara, potensi pandangan di
sekitar rumah. Setiap ruangan pada rumah sebaiknya memiliki bukaan guna memasukan
sinar matahari dan memudahkan pergerakan udara. Potensi taman pribadi dan ruanganruangan terbuka lainnya dapat menjadi arah pandang bagi ruangan ruangan yang
membutuhkan arah pandang yang baik.
c. Identitas
Sebagai makhluk individu setiap manusia berusaha mempertahankan identitasnya supaya
memiliki perbedaan dengan manusia lainnya. Rumah merupakan salah satu media
manusia untuk menunjukkan identitas diri. Manusia condonng mencari identitas dalam
rumah melalui pemilihan gaya dari rumag tersebut.
Semakin majunya teknologi membuat bentuk rumah semakin beranekaragam.
d. Kemudahan
Kemudahan yang dimaksudkan adalah kemudahan fisik untuk menunjang penghuni
melakukan aktivitas sehari-hari. Kemudahan tergantung pada perkembangan umur
manusia. Sebagai contoh ketinggian rak buku atau bukaan jendela mungkin dala ukuran
yang tepat bagi orang dewasa tetapi tidak untuk anak-anak. Kemudahan disini bukan
hanya tergantung pada akomposisi ruangan tetapi juga pada detail bagian bangunan
misalnya peletangan jendela yang tinggi akan menguntungkan karena dapat lebih
maksimal memasukan sinar tetapi sulit dibersihkan.
e. Kemudahan pencapaian
Kemudahan pencapaian sangat dibutuhkan pada setiap area permukiman untuk setiap
jenis penghuni mulai anak-anak sampai orang tua, dari orang normal sampai orang cacat.
Kebutuhan ini membutuhkan hubungan langsung pada unit-unit rumah dan sirkulasi

vertikal untuk rumah yang bertingkat. Kebutuhan ini membutuhkan derajat kemudahan
tergantung pada pemakai rumah atau ruangan.
f.

Keamanan
Rasa aman akan lingkungan perumahan dari gangguan manusia lain dan gangguan alam
yang merusak. Seharusnya permukiman tersebut aman dari gangguan kriminal, polusi
udara dan air, longsor, gempa bumi dan lain-lain.

B. Identifikasi tipe keluarga

Tinggi

Tipe keluarga

Cukup

Rendah

Penghasilan

Menengah

Pembahasan tipe penghuni dalam bagian ini didasarkan pada siklus perkembangan
keluarga. Pada siklus ini dapat diasumsikan jumlah anggota keluarga sehingga hal ini
menentukan banyaknya aktivitas yang akhirnya akan berpengaruh terhadap kebutuhan
dan luasan ruangan.

Bujangan muda

Pasangan Muda

Pasangan muda, anak kecil

Pasangan pertengahan, usia anak belasan

Pasangan pertengahan, usia anak remaja

Pasangan tua

Bujangan tua

Ruang tidur
Ruang Tamu
Ruang Makan
Dapur
Kamar Mandi

Ruang Belajar

Ruang Keluarga
Tabel hubungan aktivitas dengan ruang
( Sumber : Ricarhd Utermann 1983 : 45 )

Bermain

Belajar

Masak

Makan

Tamu

Ruang

Tidur

Kegiatan

Kebersiha
n

Tabel hubungan umur keluarga dengan tingkat penghasilan


( Sumber : Ricarhd Utermann 1983 : 45 )

Komposisi ruangan dalam ( interior ) pada rumah dapat dibagi menjadi


Ruang ruang primer yaitu ruang tamu, ruang makan, dapur, ruang tidur dan kamar
mandi.
Ruang sekunder yaitu ruang belajar, ruang serba guna, ruang keluarga, gudang,
garasi.
Ruang sirkulasi yaitu tangga, gang,
Sedangkan untuk ruang yang berada di luar tetapi pembatasan dengan ruang dalam
misalnya halaman dalam, teras pintu masuk, halaman yang dipagari.

C. Mengenali jenis rumah


Pengetahuan terhadap jenis rumah merupakan hal yang penting untuk dapat menetapkan
tipe rumah yang tepat bagi tiap-tiap penghuni. Tipe rumah dapat dibagi menjadi beberapa
kategori yaitu :
a. Berdasarkan luas
Kalangan pengembang perumahan di Indonesia membagi tipe rumah berdasarkan
luas bangunan dan luas persil misalnya Rumah Tipe 39/90 berarti rumah dengan luas
bangunan 36 m2 dan persil seluas 90 m2.
b. Berdasarkan tingkat penghasilan
Salah satu program pemerintah adalah komposisi yang harus dipenuhi oleh
pengembang di Indonesia adalah 1 : 3 : 6 maksudnya bila sebuah pengembang
membangun 1 rumah mewah maka diwajibkan membangun 3 rumah menengah dan 6
rumah sederhana. Pembagian tipe rumah berdasarkan tingkat penghasilan berkaitan
dengan luas bangunan, kualitas bahan bangunan dan komposisi ruangan. Bagi
masyarakat berpenghasilan rendah saat ini ada rumah sangat sederhana dan rumah
inti. Wujud rumah dapat berupa rumah vertikal dan horizontal dengan sistem
kepemilikan dengan milik pribadi atau sewa.
c. Berdasarkan jumlah lantai
Berdasarkan jumlah lantai rumah dapat dibagi menjadi rumah horizontal dan rumah
vertikal. Pembagian jenis rumah ini didasarkan pada persyaratan kepadatan untuk
perumahan pada kepadatan penduduk tinggi solusi yang dipakai adalah rumah
vertikal dengan wujud rumah susun.
Rumah susun merupakan bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu
lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional
dalam daerah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan yang masing-masing
dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian yang
dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama ( UU no.16 th
1985 )
Tipe bangunan : berdasarkan pencapaian unit ke unit hunian maka tipe dasar bangunan
dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu:

Tipe Slab : mencerminkan denah yang menggunakan koridor di tengah atau diluar.
Tipe Point Block : karakteristik bentuk bangunan ini adalah terdapatnya inti di
tengah dengan unit-unit yang mengelilinginya.

Tipe rumah susun berdasarkan sasaran pemakai


Rumah susun mewah/ Apartemen : rumah susun dengan fasilitas penunjang yang
mewah. Fasilitas sosial, hiburan, olahraga yang sangat memanjakan penghuni.
Biasanya untuk orang asing dengan sistem sewa.
Rumah susun menengah/ Flat : rumah susun dengan fasilitas yang sama dengan
rumah susun mewah tetapi dengan kualitas yang lebih rendah , biasanya
diperuntukan untuk kalangan berpenghasilan tinggi.

Menurut Samuel Pane dalam Apartment, Their design and Development, sistem kepemilikan
rumah susun terdiri dari :

Sistem sewa : hak milik untuk jangka waktu tertentu dengan pembayaran sewa secara
berkala, terbagi menjadi :
Sewa biasa :membayar uang sewa kepada pengelolah sesuai perjanjian.
Sewa beli : uang sewa menjadi angsuran sehingga mencapai harga tertentu unit
tersebut menjadi milik penghuni.
Sewa kontrak : membayar sewa sesuai dengan waktu kontrak setelah waktu tersebut
habis bisa dilanjutkan lagi.
Sistem Kooperatif : kepemilikan rumah susun yang penyelenggaraan dan pengelolaan
dilakukan oleh suatu koperasi, kepemilikan unit tersebut oleh anggota koperasi.
Sistem Kondomonium : suatu sistem kepemilikan yang terdiri atas bagian-bagian yang
merupakan satuan yang dapat digunakan secara terpisah adanya surat hipotik dan fasilitas
umum yang dimiliki bersama.

Faktor-faktor perancangan rumah susun


Penghuni :
perancangan rumah susun harus memperhatikan jumlah dan komposisi anggota
keluargadan aktivitasnya.
Bangunan :
Ruang dalam : ruangan dimana orang dapat merasakan adanya batasan-batasan yang
membatasi ruang gerak dirinya.
Ruang dalam rumah susun dapat dibedakan menjadi Ruang unit hunian dan ruang
kelompok bersama.
Persyaratan ruang : seperti bangunan lainnya ruangan yang ada harus memenuhi
persyaratan penerangan dan penghawaan.
Perlengkapan bangunan : terdiri dari instalasi ( air bersih, pembuangan air kotor, listrik,
telepon dan gas ), pengamanan bangunan dari bahaya kebakaran dan pembuangan
limbah.
5.4 KOORDINASI MODULAR DALAM PERENCANAAN RUMAH
Pengadaan rumah terutama untuk golongan berpenghasilan rendah masih banyak menghadapi
masalah karena terjadi perbedaan harga rumah dan tingkat penghasilan penghuni. Suatu
penelitian yang pernah diadakan memberikan kesimpulan bahwa dalam masa 10 tahun
perbandingan kenaikan harga rumah dengan peningkatan penghasilan masyarakat adalah 5 :
1. Hal ini menunjukkan semakin rendahnya daya beli masyarakat.

Harga rumah dipengaruhi banyak hal yaitu : biaya perizinan, teknologi konstruksi, harga
tanah, bunga bank dan lain-lain. Guna menekan harga rumah beberapa usaha yang dilakukan
adalah menyederhanakan kualitas bahan bangunan, kecepatan pemabngunan, dan lain-lain.
Salah satu usaha mengurangi harga rumah adalah mengurangi biaya konstruksi yang dapat
dilakukan dengan : Efisiensi rencana rumah dengan memperhatikan modul bahan untuk
mengurangi bahan sisa, pemakaian bahan yang melihat potensi daerah dan mempunyai
fleksibilitas tinggi dan metode kerja yang cepat untuk mengurangi biaya upah penghematan
harga rumah dituinjau dari segi konstruksi bangunan.
Perencanaan rumah terutama rumah sederhana dibutuhkan suatu rencana yang efisien dengan
mempertimbangkan pemakaian bahan semaksimal mungkin. Keadaan di Indonesia dalam
pembangunan perumahan terjadi pemborosan pada bahan bangunan karena kecerobohan
memotong kayu, pemborosan semen, batu bata dan lain-lain. Berdasarkan kondisi ini maka
diperlukan penambahan kriteria modular dalam perencanaan desain rumah.
Koordinasi modular : suatu sistem yang dimaksudkan untuk mengkoordinasikan ukuran
dari bagian-bagian bangunan buatan pabrik yang disambungkan.
Hal ini adalah suatu metode standar dimensi komponen bangunan dan bangunannya, yang
penerapannya satu sama lainnya saling terkait melalui suatu ukuran yang umum. Satuan ini
digunakan dalam penentuan seluruh ukuran, merupakan faktor dimensional dan kelipatan
ukuran yang disebut Modul dasar.
Sistem koordinasi modular merupakan salah satu alternatif yang dapat dipakai guna
mengurangi volume bahan sisa. Koordinasi modular ini dapat menekan biaya konstruksi
dengan efisisensi pemakaian bahan sehingga dimensi material menjadi pertimbangan utama
dalam perencanaan dengan demikian akan dapat meminimalisasi bahan sisa dan akhirnya
mengurangi biaya konstruksi.
Pola-pola modular sebenarnya sudah diterapkan dalam bangunan tradisional misalnya dalam
arsitektur jepang yang dikenal dengan sistem KEN yang diwujudkan dengan pemakaian
komponen-komponen bangunan yang menggunakan kelipatan ukuran Tatami dan dalam
arsitektur Bali dikenal dengan satuan dasar Hasta.
Secara internasional nilai modul dasar yang disimbolkan M ditetapkan 10 cm atau 100 cm.
Besaran ini ditentukan secara umum pada bangunan dan komponen bangunan dengan
pertimbangan unsur fleksibilitas dan ketepatan yang maksimal.hal penting dalam sistem ini
adalah cara peletakan bahan dalam koordinasi modular, pada dasarnya ada dua cara peletakan
yaitu :
1. Meletakan garis tengah material di atas grid, cara ini adalah cara yang paling umum
sering digunakan dalam perencanaan struktur untuk meletakan garis gaya secara tepat
guna mendapatkan struktur yang stabil. Cara ini memiliki kelemahan dengan tidak
tepatnya ukuran dimensi ruang yang terjadi karena dimensi material yang berbeda-beda
dan sering tidak modular.
2. Meletakan material diantara dua garis grid dengan batasan tebal material tidak lebih
besar dari modul. Sebaliknya bila material lebih tipis dibandingkan dengan besar modul,
dimensi ruang akan lebih mudah untuk diperkirakan karena ukuran minimum ruang akan
merupakan kelipatan dari modul terpilih.

Selain peletakan material hal lain yang harus diperhatikan adalah ukuran peletakan bukaan
yang ada dengan memperhatikan model-model yang sudah ada.
Perencanaan berdasarkan sistem modul menurut Byron Bloofiel dalam bukunya Modul
Coordinator dibagi menjadi tiga tahap yaitu :
1. Pemilihan dimensi untuk menentukan struktur, panjang dinding, posisi partisi dan
menghapus detail-detail yang tidak perlu.
2. Mengidentifikasi detail-detail khusus dengan mengembangkan gambar kerja.
3. Detail yang dipilih dari standar-standar yang ada dari katalog atau pengembangan sendiri.

Menurut P.a Stone, eksperimen pemakaian bahan modular dalam pembangunan rumah yang
telah dilaksanakan di Eropa dan Amerika dapat menurunkan penghematan upah sebesar 21 %
dan secara keseluruhan terjadi penurunan biaya konstruksi sebesar 10 %. Penghematan yang
dilakukan dengan koordinasi modular meliputi tiga aspek yaitu :
1. Pengurangan bahan sisa : hal ini jelas mengurangi biaya konstruksi karena
berkurangnya kebutuhan bahan yang harus dibeli.
2. Penghematan tenaga kerja : dengan bahan sisa yang relatif berkurang maka beberapa
jenis pekerjaan akan mengalami penurunan misalnnya berkurangnya pekerjaan
pemotongan bahan karena bahan yang dipakai sudah sesuai dengan modul dari ukuran
ruang sehingga dapat menghemat jumlah pekerja yang ada.
3. Penghematan waktu pelaksanaan : dalam hal ini sebenarnya ada dua pendapat berbeda
disatu sisi dengan koordinasi modular yang repetisi dan penyederhanaan komponen
bangunan akan mempercepat pekerjaan. Di lain pihak koordinasi modular dalam
pelaksanaannya membutuhkan tingkat ketelitian yang tinggi sehingga membutuhkan
kualitas tenaga kerja yang lebih baik.

5.5 PERSYARATAN RUMAH SEHAT


Keadaan perumahan adalah salah satu faktor yang menentukan keadaan higiene dan sanitasi
lingkungan. Perumahan yang terlalu rapat dan sempit mengakibatkan tingginya kejadian
penyakit, kecelakaan dan lain-lain. Rumah sehat harus memenuhi beberapa persyaratan yaitu:
A. Kebutuhan Fisiologis
Yaitu suhu ruangan tidak banyak berubah berkisar antara 18 20 0C. Suhu ruangan ini
tergantung pada :
Suhu udara luar
Pergeseran udara
Kelembaban udara
Suhu benda disekitarnya
Cukup mendapatkan penerangan terutama pada pagi hari cukup sinar matahari
Cukup terjadi pertukaran hawa dengan terjadinya pertukaran udara segar. Memiliki
jendela yang luas keseluruhan 15 % dari luas lantai.
Cukup menjadi isolasi suara.

B. Kebutuhan Psikologi
Rumah merupakan tempat berkumpul keluarga dan saling berhubungan. Untuk
menunjang hal ini dibutuhkan :
Cara pengaturannya harus memenuhi rasa keindahan
Adanya jaminan kebebasan setiap anggota keluarga
Ruangan bagi anggota keluarga yang telah dewasa harus sendiri-sendiri sehingga tidak
terganggu privasinya
Harus ada tempat keluarga berkumpul
Harus ada ruang tamu, untuk kehidupan bermasyarakat.
C. Menghindari terjadinya kecelakaan
Konstruksi dan bahan bangunan harus kuat
Ada sarana pencegahan terjadinya kecelakaan di sumur, kolam dan lain-lain terutama
untuk anak-anak
Tidak mudah terbakar
Ada alat pemadam kebakaran.
D. Menghindari terjadinya penyakit
Adanya sumber air yang sehat, cukup kualitas dan kuantitas
Adanya tempat pembuangan kotoran, sampah dan air limbah yang baik.
Cukup luas, Luas ruangan per orang dikatakan cukup berada diantara 7 10 m2.

5.6 PERATURAN DALAM PERANCANGAN RUMAH


Salah satu elemen yang sering diabaikan oleh perencanaan dalam disain suatu rumah adalah
peraturan dan persyaratan bangunan dalam hal ini peraturan bangunan suatu daerah.
Peraturan ini sebenarnya merupakan unsur pengendalian yang dilakukan pemerintah untuk
mendapatkan rumah yang layak huni.
A. Koefisien Dasar Bangunan ( KDB )
Koefisien dasar bangunan merupakan perbandinagn antara luas dasar bangunan pada
permukaan tanah dengan luas lahannya. Koefisien ini mengatur besarnya ruang terbuka pada
suatu bangunan yang tergantung pada fungsi, letak, dan jumlah lantai. Ketentuan koefisien
dasar bangunan berkaitan dengan persyaratan ruang terbuka dan persil tempat berdirinya
bangunan.
Penetapan ruang terbuka berfungsi sebagai wadah penyerapan air dan memasukkan sinar
matahari ke dalam bangunan. Selain itu koefisien dasar bangunan berfungsi sebagai
pengendali kepadatan bangunan yang mencakup aspek bahaya terhadap kebakaran,
kesehatan, estetika dan sebagainya.
a. KDB pada Peraturan Bangunan Nasional
Untuk rumah tinggal biasa luas denah bangunan hanya diperkenankan maksimal 50 %
dari luas persil.
b. KDB pada Peraturan Bangunan Bandung
Ketentuannya dapat dilihat pada gambar berikut ini, KDB dalam tabel tersebut masih
harus menambahkan luas persil yang terdapat di luar garis sempadan muka bangunan.

1. KDB pada RDTRK Cibeunying : didasarkan pada tinggi bangunan, jarak bebas,
Koefisien Lantai Bangunan ( KLB ), dan cara membangun. Ketentuannya dapat
dilihat dalam gambar sebagai berikut :
2. KDB pada Pedoman Teknik Pembangunan Perumahan Sederhana Tidak
Bertingkat : pedoman ini menentukan bagian persil yang tertutup bangunan
maksimum 60 % dari seluruh persil.

B. Jarak Antar Bangunan


Garis sempadan merupakan salah satu ketentuan teknis pada peraturan bangunan, keberadaan
garis sempadan ini cukup penting karena pada dasarnya setiap bangunan mempunyai jarak
satu sama lainnya. Garis sempadan dapat digolongkan menjadi dua bagian yaitu garis
sempadan bangunan dan sempadan pagar.
Jarak bangunan merupakan jarak terkecil antara permukaan denah bangunan dari bangunanbangunan di sekitarnya. Fungsi jarak antar bangunan ini adalah untuk :

Bahaya kebakaran : agar dapat mencegah penjalaran kebakaran, bila terjadi antar
bangunan tidak memiliki jarak maka kedua dinding yang berhimpitan harus merupakan
dinding tahan api dan terdiri dari dua lapis.

Ventilasi

Cahaya matahari :digunakan untuk memasukkan cahaya matahari ke dalam ruangan


baik secara langsung maupun tidak langsung.

Sirkulasi manusia di dalam halaman : kebutuhan area halaman untuk keleluasaan


bergerak bagi penghuni untuk aktivitas sehari-hari.

: untuk menjamin pembaharuan udara bersih dalam ruangan.

1. Jarak bangunan pada Pedoman Teknik Pembangunan Perumahan Sederhana Tidak


Bertingkat ketentuan pada pedoman ini berdasarkan luas persil rumah.

Rumah dengan luasan persil sampai 90 m2 , garis sempadan muka rumah adalah 1,5
m dan jarak samping rumah adalah 1 m bila tidak terdapat cucuran atap, bila ada
cucuran atap jarak samping tersebut adalah 1,5 m.

Rumah untuk luasan lebih dari 90 m2 , jarak garis sempadan muka rumah adalah 3
m dari batas muka persil, jarak samping rumah adalah 2 m.
2. Jarak bangunan pada Peraturan Bangunan Bandung : tidak ada ketentuan mengenai jarak
garis sempadan muka rumah, tetapi ada penjelasan mengenai pelampauan terhadap
ketentuan garis sempadan muka rumah. Dalam Peraturan Bangunan Bandung juga
terdapat ketentuan tentang jarak garis sempadan belakang rumah yaitu setengah jarak
antara garis sempadan muka rumah dengan batas belakang persil. Penambahan bangunan
di belakang garis sempadan belakang rumah dapat dilihat pada tabel berikut :
3. Jarak bangunan pada Petunjuk Perencanaan Bangunan dan Lingkungan untuk
pencegahan bahaya kebakaran pada rumah dan gedung : ketentuan jarak bangunan
berdasarkan jarak dan tinggi bangunan dalam upaya pencegahan bahaya kebakaran,
ketentuannya dapat dilihat pada tabel berikut :

BEBAN HUNIAN BERDASAR PERSYARATAN BAHAYA KEBAKARAN


SUMBER : DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM, 1987 : 26
Jenis Penggunaan ruangan/lantai suatu bangunan
Hunian meliputi apartemen dan flat sebagai tempat
tinggal
Hunian meliputi kamar hotel, flat dengan kamar tunggal
dan asrama dan RUMAH BIASA
Pendidikan meliputi sekolah dan sarana penunjang
Kebudayaan meliputi kesenian dan pertunjukkan umum
Perkantoran meliputi kegiatan dan sarana penunjang
kantor
Pertokoan meliputi kegiatan dan lobby pada bangunan
umum
Restaurant dan kantin
Pergudangan, garasi umum dan ruang pamer kendaraan
Perindustrian meliputi pabrik, bengkel dan perakitan

Luas penghuni per orang ( m 2 )


6
3
1,5
1
10
2,5
5
28
3

C. Luasan Rumah dan Beban Hunian


Luasan rumah merupakan luas permukaan denah rumah yang terdiri dari dari luasan ruanganruangan. Beban hunian merupakan perbandingan luas rumah dengan jumlah penghuni yang
berkaitan dengan kenyamanan penghuni, kesehatan dan keamanan terhadap bahaya
kebakaran.
1. Luasan rumah pada Peraturan Bangunan Nasional :
Ketentuan pada peraturan ini berdasarkan jumlah ruang kediaman. Ruang kediaman
adalah : setiap ruangan untuk aktivitas tidur, makan atau melaksankan pekerjaan rumah
tangga atau pekerjaan sosial lainnya, kecuali ruang-ruang mandi, kakus, cuci, dapur dan
gang-gang
dan ruang-ruang sejenis yang penggunaannya tidak terus-menerus.
Berdasarkan jumlah ruang kediaman maka luas rumah minimum :
Rumah dengan 1 ruang kediaman luas lantai minimal 15 m2
Rumah dengan 2 ruang kediaman luas lantai minimal 18 m2
Rumah dengan jumlah ruang kediaman lebih dari 2, untuk setiap penambahan 1
ruangan kediaman luas minimal bertambah 6 m2.
2. Beban hunian pada Petunjuk Perencanaan Bangunan dan Lingkungan untuk
pencegahan Bahaya Kebakaran pada rumah dan Gedung :
Kebutuhan luas ruangan untuk setiap penghuni rumah adalah 3 m2 per orang.
3. Beban hunian pada persyaratan kesehatan :
Perbandingan luas ruangan untuk setiap penghuni berdasarkan persyaratan kesehatan
adalah minimal 7m2 per orang.

D. Persyaratan Penghawaan dan Pencahayaan Alami


Persyaratan pencahayaan dan penghawaan alami dalam tiap ruangan merupakan persyaratan
mutlak sebuah rumah berkaitan erat dengan kenyamanan penghuni di dalam ruangan dan
faktor kesehatan. Ruangan yang tidak memiliki bukaan untuk pencahayaan dan penghawaan

alami akan lembab dan panas karena sirkulasi udara berfungsi untuk mengurangi kadar air
dan udara panas dalam ruangan.
Selain itu ruangan akan gelap pada siang hari karena tidak mendapat cahaya matahari yang
masuk ruangan. Pemecahannya dapat dengan pencahayaan dan penghawaan buatan, hal ini
akan memboroskan pemakaian energi listrik yang akhirnya akan terjadi pemborosan
keuangan penghuni.

Senarai pustaka :

Pemerintah Kota Madya Bandung, Peraturan Bangunan Bandung

Departemen Pekerjaan Umum, Pedoman Teknik Pembangunan Perumahan


Sederhana tidak Bertingkat . Yayasan LPMB, Bandung, 1983.

Departemen Pekerjaan Umum, Perencanaan Bangunan dan Lingkungan untuk


Pencegahan Bahaya Kebakaran pada Bangunan dan Gedung . Yayasan Badan
Penerbit PU, Jakarta, 1987.

Sukarni, Maryati. Kesehatan Keluarga dan Lingkungan , Kanisius Yogyakarta.


Yogyakarta, 1994.

De Chiara. Joseph and Koppleman. Lee, Urban Planning and Design Criteria, Van
Nostrand Reinhold Company, New York, 1972.

Harris, Nicholas, Time Saver Standards for Landscape Architecture , McGraw-Hill


Book Company, New York, 1988.

Purwaningsih, Titi. Analisa Penentuan Ukuran Kavling dan Harga Rumah , Jurusan
Teknik Arsitektur ISTN, Jakarta, 1981.

Dirjen Cipta Karya, Rumah Susun , Jakarta, 1981.

Undang-Undang Republik Indonesia no 16, 1985 tentang Rumah Susun.

Yudohusodo, Siswono, Ir. Rumah Untuk Seluruh Rakyat , Bharakarta, Jakarta,


1991.

BAGIAN ENAM
PENEMUAN BAHAN BANGUNAN DAN SISTEM
KONSTRUKSI ALTERNATIF UNTUK PERUMAHAN

6.1 BAHAN BANGUNAN


Bahan bangunan merupakan elemen penting dari suatu rumah dan sangat menentukan harga
rumah. Perkembangan bahan bangunan di Indonesia dewasa ini semakin beragam bahanbahan pabrikasi yang beredar tetapi masih berharga mahal. Saat ini bahan bangunan utama
yang umum digunakan adalah bahan bangunan konvensional seperti batu bata, genteng,
batako, dan kayu. Bahan-bahan ini tanpa standar ukuran dan mutu yang baku sehingga dapat
menghambat proses pembangunan.
Beberapa aspek yang dapat ditilik dari pemakaian bahan bangunan yang efisien adalah
Bahan Baku, pemakaian bahan baku secara umum dapat menggunakan bahan yang berasal
dari alam ataupun buatan tetapi bahan-bahan ini adalah bahan yang dipakai pertama kali
bukan dari limbah hasil proses bahan yang pertama kali dipakai. Alternatif lain adalah
pemanfaatan bahan alam yang belum lazim dipakai dan berharga murah seperti alang-alang,
serabut kelapa dan lain-lain serta pemanfaatan bahan limbah, hal ini dapat mengurangi biaya
pengadaan bahan bangunan. Beberapa penelitian dan eksperimen bahan limbah dan bahan
alam murah sebagai bahan bangunan antara lain :
A. Pemakaian Limbah Tekstil : bahan ini berupa endapan lumpur yang dapat
dipakai sebagai pengganti semen dan pasir dalam pembuatan batako.
Lumpur endapan limbah tekstil dibakar sampai suhu tertentu selama 24 jam
kemudian hasil bakaran dicampur dengan semen, kapur, dan abu dengan
perbandingan 1 : 1 : 9 : 3, bila telah memenuhi persyaratan pemakaian semen akan
dihilangkan dam komposisi empat campuran ini dijadikan bahan dasar pembentukan
batako dan paving blok yang disebut Batali ....
Batali berukuran 90 x 180 x 390 mm mampu menahan gaya tekan maksimal 18 ton
berarti batali ini mampu menahan gaya tekan sebesar 35,36 kg/cm2. Kelebihan
lainnya Batali dapat dijual dengan harga Rp 200,- per buah, sedangkan paving blok
seharga Rp 100,- per buah, sebagai perbandingan batako mesin dijual sampai Rp
700,- per buah ( Majalah Properti November 1994 : )
B. Pemakaian kaleng minuman bekas : pemanfaatan bahan limbah ini adalah untuk
pembuatan plat lantai yang lebih murah dan dapat juga dimanfaatkan untuk
pembangunan rumah susun sederhana.
Sistem plat lantai dari kaleng bekas minuman ini sebenarnya bisa digunakan dalam
rumah susun. Selain mampu menekan biaya pembangunan, bahan bangunan ini bisa
menghemat sampai 30 % waktu. Satu persegi butuh 55 kaleng. Kaleng didapat dari
pemulung seharga Rp 10,- ( info Papan edisi Desember 1991 : 52 )
a. Bahan limbah sawit : sisa pembakaran limbah sawit dapat digunakan untuk
campuran dalam pembuatan genteng, selain harganya murah limbah ini pada daerah
perkebunan sawit sangat mudah didapat.

6.2 CARA PEMBUATAN


Indonesia sebagai negara berkembang yang merencanakan masuk sebagai negara industri
membutuhkan industrialisasi dalam pengadaan bahan bangunan guna meningkatkan kualitas
dan kuantitas bahan bangunan. Teknologi yang dipakai adalah teknologi tepat guna bukan
teknologi yang hanya dapat dipakai dalam industri besar.
Salah satu contoh yang telah berhasil dikembangkan oleh Habitect Park, Human Settlement
Development Division, Asian Institut Technology Bangkok dengan sistem SCHDS ( Selfcontain Housing Delivery System ), dengan membuat sebagian bahan bangunan yang sudah
menjadi komponen bangunan seperti kusen pintu dan jendela, tangga dan lain-lain.
6.3 METODE PELAKSANAAN
Proses pemasangan dan perakitan bahan-bahan bangunan yang dipengaruhi pemilihan bahan
semakin mudah dipasang maka akan semakin cepat pelaksanaan pembangunan. Di Indonesia
cara membangun konvensional masih banyak dilakukan yang memberi upah yang lebih
ringan tetapi dari segi pemakaian bahan serta waktu pelaksanaan belum efisien dan
melibatkan tenaga kerja yang tidak terampil. Beberapa contoh metode yang pernah
digunakan adalah :
A. Sebuah perusahaan pengembang di Sumatera Selatan, PT. Raswari menerapkan metode
pencetakan komponen rumah guna mengurangi pemakaian kayu dengan menggantikan
bahan bangunan konvensional seperti batako kayu dengan cetakan beton yang berupa
komponen bangunan dinding dan lainnya.
B. Sistem SCHDS menekan pembuatan bahan bangunan cetak yang dibuat di lokasi dengan
perakitan bahan tersebut dengan tenaga manusia tanpa harus memakai alat berat.

Pustaka :
Koesworo, J. Pudjo, Teknologi KonstruksiBangunan Perumahan Sederhana,
Universitas Katholik Soegijapranata, Semarang, 1993
Majalah Properti edisi 22, Batakko Limbah Alternatif Baru untuk Rumah Sederhana,
November 1995
Majalah Info Papan, Membangun Rumah dengan Kaleng Bekas , Jakarta, Desember
1991
Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman, Jurnal Penelitian Pemukiman Vol X
no 9-10, Bandung, September-Oktober 1994
Asmaniingprojo, Aswito, Industrialisasi Pembangunan Perumahan , makalah dalam
seminar nasional Perumahan dan Permukiman dalam Era Industrialisasi di Indonesia,
ITB Bandung, 1993

BAGIAN TUJUH
LINGKUNGAN PERMUKIMAN KUMUH

7.1 KAMPUNG KOTA


A. Pengertian dan Sejarah
Kampung kota merupakan kenyataan sosial kota-kota di Indonesia. Permukiman kampung
kota sudah menggejala sejak zaman Hindia-Belanda. Definisi yang tepat pada abad ke-20,
permukiman kampung kota adalah permukiman pribumi yang masih meneruskan tradisi
kampung halamannya sekalipun mereka tinggal di kota.
Kini pengertian kampung kota lebih lekat dengan suatu sistem permukiman yang struktur
sosial ekonominya tidak terorganisir, kemiskinan dan buruknya kualitas hidup menjadi salah
satu ciri khas kampung kota. Arti yang lebih tepat adalah : kampung kota merupakan
permukiman yang tumbuh di kawasan urban tanpa perencanaan infrastruktur dan
jaringan ekonomi kota.
Kampung kota sebagai gejala atau kenyataan sosial permukiman kota di Indonesia sudah
dikenal sejak laporan Tillema tahun 1931. sejak itu beberapa kotamadya melakukan
eksperimen perbaikan kampung, salah satunya adalah kampung kota Taman Sari di Batavia.
Kemudian eksperimen yang lebih terprogram dilakukan oleh arsitek Thomas H. Karsten di
Mlaten, Semarang tahun 1926.
Sejak zaman kolonial, kampung kota merupakan suatu kawasan yang sulit disentuh oleh
program pembangunan formal karena tidak terorganisirnya struktur fisik lingkungan tersebut.
Hal ini disebabkan penataan ruang tidak didukung oleh infrastruktur yang baik. Kondisi ini
menyebabkan rendahnya kualitas kesehatan kampung kota sehingga mudah timbulnya wabah
penyakit. Untuk menyentuhnya diperlukan suatu perencanaan dan perancangan fisik yang
dimungkinkan bila lahan tersebut jelas status hukumnya.
Kampung kota merupakan permukiman sektor informal dengan pekerjaan yang tidak tetap,
walaupun pendapat ini tidak selalu benar karena pegawai negeri dan swasta kecil juga
menjadi penghuni permukiman ini. Rendahnya kapasitas ekonomi masyarakat kampung kota
inilah yang membuat kreditor tidak memiliki dasar legal formal untuk memberikan bantuan.
Permasalahan kampung kota di Indonesia bukanlah semata-mata masalah pemerataan
ekonomi. Tetapi berangkat dari suatu kenyataan bahwa yang bermukim di kawasan kampung
kota itu bagian dari struktur ekonomi yang timpang. Artinya penduduk kampung kota
diperlukan oleh kehidupan kota dan telah membentuk tradisi dan karakter urban
Indonesia.
B. Permasalahan dan Potensi Kampung Kota
Pertama : kenyataan umum menunjukkan bahwa masyarakat kampung kota pada umumnya
para penduduk asli ( ketika daerah tersebut belum masuk pada struktur kota modern ) dan
eksodus desa yang mengalami modernisasi pertanian. Meskipun kebiasaan dan nilai
kehidupan tradisional agraris tinggal bertetangga masih ingin dipraktekkan. Tradisi hanya

bertahan selama semangat kerja sama dan tolong-menolong masih dirasa perlu baik untuk
hidup sehari-hari maupun untuk acara ritual.
Hal yang menarik untuk diamati adalah semangat hidup mereka untuk tetap bertahan. Tinggal
di kawasan padat ( 200 sampai 750 orang/Ha ) membentuk kemampuan untuk beradaptasi
privasi dan ruang. Kemampuan beradaptasi yang tinggi ini merupakan potensi yang dapat
digunakan untuk membentuk tempat tinggal yang tidak platonis, pengembangan ruangruang terbuka dengan bentuk yang bebas sesuai. Proses pembangunan struktur fisik tidak bisa
dilakukan secara massal tetapi lahir spontan untuk nilai aksesibilitas yang efektif.
Metode perencanaan dan lingkungan binaan secara partisipatif dengan melibatkan
masyarakat yang melibatkan konsultan pembangunan dalam proses penataan tidak hanya
lingkungan fisik tetapi terdapat juga pengembangan sosial ekonomi masyarakat. Metode
partisipasif pada perencanaan penataan kampung kota bukan sekedar kebutuhan untuk
menciptakan rasa saling memiliki, tetapi secara eksensial mampu membangun pengertian
bahwa mereka hidup dalam satu dunia hidup (Lebenswelt).
Kedua : pengaruh modernisasi terhadap masyarakat kampung kota yang semula tradisional
agraris dalam kebiasaan hidup, tidak lagi bisa bertahan dari proses perubahan. Perubahanperubahan ini merupakan peluang untuk membentuk kerja sama sosial ekonomi dan kultural
antara sektor modern dan sektor kampung ta.
Perkembangan nia moderni masyarakat kampung kota tidak dapat dihindari, ikl
globalisasi justru mendorong mereka untuk membentuk dunia bersama antar penghuni yang
merupakan potensi dimana perkembangan masyarakat modern yang semakin menarik diri ke
dunia yang semakin pribadi. Kondisi ini bila bertahan tidak berlebihan untuk menyebut masa
depan salah satu peradaban ada pada penghuni kampung kota.
Ketiga : kecenderungan investasi di daerah kampung kota merupakan masalah bagi
keberadaan kampung kota. Mengatasnamakan peremajaan kota, kampung-kampung kota
merupakan sasaran empuk para investor. Kecenderungan investasi ini dapat merupakan
proses penghancuarn potensi budaya bermukim atas dasar realita sosial ekonomi.
Penghancuran ini akan menghilangkan budaya khas kota Indonesia dalam budaya tinggal
dengan kepadatan yang tinggi.

Proses pembangunan kota atas nama peremajaan kota tidak memiliki suatu sumbangan besar
bagi kualitas hidup kota, bila tidak disertai dengan pembinaan masyarakat yang ada agar
terlibat aktif dan memiliki saham dalam proses perencanaan, perancangan, pembangunan
dan pemeliharaannya.
Hal ini berarti penghuni tidak perlu budaya bermukim produktif sesuai tujuan peradaban,
segala investasi yang akan ditanamkan dalam bentuk peremajaan kota perlu direncanakan
secara bertahap dengan melibatkan penduduk setempat. Dengan kota lain mempertahankan
keberadaan masyarakat kampung kota dengan persepsi aturan arsitekturalnya adalah suatu
pendekatan pembinaan satu dunia hidup ala Indonesia.
Berdasar tiga pemikiran di atas dimana budaya permukiman menjadi sentral dalam
pengembangan konsep dasar dan pendekatan pada perencanaan dan perancangan lingkungan

binaan maka lingkungan permukiman tidak hanya dilihat sebagai objek suatu karya seni
tetapi juga sebagai proses belajar dalam dunia hidup sebagai suatu komunitas.
Oleh karena itu, perencanaan dan perancangan arsitekturalnya bukan suatu sistem yang
selesai setelah realisasi fisiknya tetapi suatu proses berkesinambungan yang membutuhkan
pengembangan dalam dunia hidup yang bersangkutan.
Untuk maksud ini peranan arsitek sebagai konsultan pembangunan diharapkan selalu siap
belajar memahami proses sosiokultur yang ada dan yang akan terjadi.
Dengan demikian rencana dan rancangan permukiman perlu memperhatikan dan memberi
peluang pada penghuni untuk mampu memperkaya wadah dunianya sesuai dengan aspirasi
dan persepsi mereka.
7.2 PERMUKIMAN KUMUH
A. Pengertian
a. Lingkungan permukiman kumuh dapat didefinisikan sebagai lingkungan yang
berpenghuni padat ( melebihi 500 orang/Ha ), ciri-ciri lingkungan permukiman kumuh
antara lain
Kondisi sosial ekonomi rendah
Jumlah rumah yang sangat padat dan ukurannya di bawah standar
Prasarana lingkungan hampir tidak ada atau tidak memenuhi persyaratan teknis dan
kesehatan
Dibangun di atas tanah negara atau memiliki orang lain dan di luar perundangundangan yang berlaku.

Lingkungan permukiman kumuh sudah menjadi masalah bagi kota-kota besar di Indonesia (
Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan dan Palembang ) lokasi lingkungan ini berada
didekat aktivitas ekonomi seperti sepanjang kanan kiri rel kereta api, bantaran sungai, di
bawah kabel tegangan tinggi dan ruang-ruang terbuka.
Sebagai contoh Jakarta memiliki 4.400 Ha atau 7,1 % luas wilayahnya adalah lingkungan
permukiman kumuh.
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh BPPT mengidentifikasi penghuni lingkungan
permukiman kumuh cukup beraneka ragam pegawai negeri, swasta, buruh kasar, pedagang
kecil, tukang becak dan lain-lain dengan penghasilan Rp 150.000,- per bulan.
Penyebab tumbuhnya lingkungan permukiman kumuh antara lain urbanisasi dan migrasi
yang tinggi terutama bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah, sulit mencari
pekerjaan, sulitnya mencicil atau menyewa rumah, kurang tegasnya pelaksanaan peraturan
perundang-undangan program perbaikan yang hanya diminati oleh para pemilik rumah dan
disiplin warga yang rendah.
Dua beberapa pendekatan yang dapat dilakukan dalam mengatasi permasalahan lingkungan
permukiman kumuh adalah menggunakan teknologi dan penanganan sendiri.
Beberapa kendala dalam menangani dalam peremajaan lingkungan kumuh adalah
a. Permasalahan pembiayaan

Pemecahan yang dilakukan biasanya bangunan tinggi hal ini memerlukan biaya yang
besar.
Peremajaan lingkungan kumuh merupakan proyek besar karena menyangkut banyak
manusia sehingga harga harus dipertimbangkan secara matang mengenai manfaat
proyek.
Belum kuatnya dana pembangunan perumahan

b. Permasalahan teknis
Banyak proyek peremajaan lingkungan tanpa didahului survei sosial untuk
mengidentifikasikan karakteristik, kemampuan dan keinginan masyarakat setempat
Banyak proyek peremajaan lingkungan kurang memperhatikan kelengkapan
lingkungan seperti taman, ruang terbuka, pencegahan kebakaran, tempat pembuangan
sampahn dan tempat bermain anak karena fasilitas ini akan menambah biaya
peremajaan.
Keterbatasan lahan sehingga pemilihan lokasi untuk peremajaan lingkungan ini harus
tepat.
c. Permasalahan sosial budaya
Pendapat umum bahwa penggusuran itu jelek padahal usaha pemerintah adalah
menyediakan lingkungan hidup yang lebih baik.
Penciptaan rasa bersama pada masyarakat dalam suatu lingkungan yang baru.
Adanya dualisme antara penataan lingkungan dengan peremajaan lingkungan yang
bersifat hanya mengikuti standar teknis. Orang lebih senang tinggal di lingkungan
kumuh dari pada di lingkungan yang baru.
d. Permasalahan hukum
Sulitnya penegakkan hukum penghuni lingkungan kumuh hampir tidak mengerti
perundang-undangan yang berlaku.
Perlunya informasi kepemilikan khususnya pada pemecahan dengan bangunan sewa.

Beberapa alternatif pola peremajaan lingkungan kumuh adalah relokasi, pembebasan tanah,
konsolidasi tanah ( penataan kembali ) dan partisipasi masyarakat setempat dengan sistem
bank tanah.
Pustaka

Asmaniingprojo, Aswito, Industrialisasi Pembangunan Perumahan , Makalah dalam


seminar Nasional Perumahan dan Permukiman dalam Era Industrialisasi di Indonesia,
ITB Bandun, 1993.
Komarudin, Drs. Ma, Menelusuri Pembangunan Perumahan dan Permukiman,
Yayasan Rei Ptrakasindo, Jakarta, 1996
Yudohusodo, Siswono Ir. Rumah Untuk Seluruh Rakyat , Bharakarta, Jakarta, 1991.
P. Wiryomartono. A. Bagoes, Seni Bangunan dan Seni Binakota di Indonesia, Pt
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995.
Budiharjo, Eko. Percikan Masalah Arsitektur, Perumahan, Perkotaan , Gajah Mada
University Press, Jogjakarta, 1994.

Anda mungkin juga menyukai