dikutip Mid Jamal (1985) dari Moh Yamin (1951)-bahwa pada suatu malam sebelum tahun
517 Masehi, dua orang wanita bernama Wan Empu dan Wan Malini memandang dari
rumahnya di atas Bukit Si Guntang itu bernyala-nyala seperti api, sedang nyala itu rupanya
adalah cahaya swarna. Swarna inilah yang telah mengundang semakin banyaknya bangsa
asing ke katulistiwa.
Menurut Moh Yamin, swarna (emas) adalah perlambangan api. Dapat diambil kesimpulan
bahwa dari mana titik pelita memang dari tanglung yang berapi. Tanglung adalah sungai
yang terkena pancaran sinar emas yang akan terlihat seperti api dari jauh.
Jauh sebelum ini (2000 SM- 250 SM) percampuran Melayu Tua dan Melayu Muda telah
menghuni daerah Minangkabau. Kebudayaan neolitikum yang bercorak matrilineal telah
menjadi Zeitgeist di bumi Minangkabau. Kaum ibu (perempuan) telah dimuliakan bahkan
jauh sebelum kedatangan Islam.
Pencapaian terjauh dari eksistensi Minangkabau adalah, bahwa zaman tidak pernah
mengubah kebudayaan Minang dari dulunya sejak-jika benar menurut beberapa perkiraan
peneliti-bah Nabi Nuh surut. Dan pada akhirnya dapat dibenarkan bahwa batang tubuh dan
roh zaman sejarah Minangkabau adalah suatu Konstanta ZA. Falsafah Minangkabau tidak
pernah terpengaruh oleh yang datang dan tidak berubah oleh yang pergi. Tak lapuk oleh hujan
tak lekang oleh panas. Yang berlayar dari laut, yang turun dari bukit, adalah revelasi kodrati
yang menjadikan peradaban itu asri dan utuh.
Untuk mengenal sejarah Minang, maka banyak hal yang harus diperbaharui. Banyak hal yang
tidak bisa diungkapkan karena memang Tambo merupakan sebuah aporia. Bukan karena
kurangnya bukti, tapi karena minimnya orang yang berusaha untuk menguak segala hal yang
tersirat dalam tambo. Masih minim orang (peneliti) yang mau dan mampu untuk melihat dari
segala sisi sesi kehidupan Minang untuk mengungkapkan dan menyadari sebuah Zetetis.
Sedang para penyair pun semakin banyak yang membuat gundah sejarah.
Harus dipertimbangkan dan dipertanyakan kembali, apakah sebuah eksistensi itu hanya harus
dilihat dari satu sudut dan patahan saja? Jika logika pesisir sebagai metaphor yang datang
dari laut bagaimana dengan pelita tanglung dari merapi? Zetetis tidak akan muncul dari
satu pandangan saja. Bagaimana dengan darek, luhak, dan rantau? Atau lebih jauh lagi
bagaimana dengan Saylendra dari Mahameru? Bagaimana dengan Dapunta Hyang?
Ramayana?
Swanadwipa, telur itik, laut, dan merapi, adalah sejarah yang menjadi mitos, bukan
sebaliknya. Sedang Tambo yang membawa kaba menjelma menjadi syair yang tidak berasal
dari satu roh bahasa saja, tapi kumpulan roh-roh yang membentuk pelita di merapi atau
menjadi paco dari lautan.
Menurut hemat saya, tanglung tidak dialirkan untuk satu teritorial saja, pelita tidak menerangi
satu pulau saja, dan Tambo bukanlah kaba untuk wilayah Minang yang telah disepakati ini
saja. Inilah wilayah apostrophi dalam falsafah alam takambang jadi guru. Dunia telah
merefleksikan Minangkabau begitu juga sebaliknya. Empat milenium adalah waktu yang
lama. Sejak dari chaos sampai kujaga dan kubela, Minang tetap satu, yaitu sebuah falsafah
dan fakta sejarah yang rumit yang tertuang dalam Tambo.
Sejak kedatangan Hindu, Budha atau Syiwa Budha, dan terakhir Islam, kelanggengan adat
nan usali masih tetap asri; beberapa musim berganti, berapa kali pula masa beralih (Mid
Jamal;1985).
Parole Tambo
Oktavianus dalam bukunya Analisis Wacana Lintas Bahasa mengutip pendapat Fromkin
tentang bahasa; dalam sejarah peradaban manusia, mitos dan kepercayaan yang dianut oleh
kebanyakan masyarakat menyatakan bahwa bahasa adalah sumber kehidupan dan kekuatan.
Kemudian Spradly berpendapat bahwa bahasa dapat membentuk realitas, mengontrol
perilaku, merealisasikan tindakkan dan mengubah situasi.
Manusia Minang memang telah bergilir-berubah. Tapi Minang itu sendiri masih konstan
untuk menjemput kembali sejarah yang kelam di bawah bayang-bayang kesusasteraan
Tambo. Seperti yang dikatakan Ronggowarsito, seorang penyair abad 19, sebagaimana yang
dikutip oleh Goenawan Moehammad, bahwa yang kita alami sebenarnya adalah keheningan
yang sekaligus kebeningan, kehampaan yang sekaligus berisi.
Apa yang merupakan aposteriori dan apriori sebuah perjalanan panjang (empat milenium)
Bumi Minangkabau, harus mencapai titik paling jernih sebuah kebudayaan. Semua benda
bereksistensi, karena eksistensi tersirat dalam di dalam definisi benda; suatu benda bukanlah
benda kalau ia tidak bereksistensi (Lorens Bagus; 2000). Sedang tambo telah membutikan
keberadaannya melalui falsafah, pengaruh yang jelas, dan diri manusia Minangkabau itu
sendiri sebagai yang hidup.
Bukti yang paling jelas dari pencapaian sejarah adalah; sejauh ini ambiguitas dalam tambo
bukanlah sebuah kenyataan yang tidak mampu diungkapkan, tapi sebuah fakta yang sulit
dibahasakan dan diucapkan. Parole itu terasa, tapi seolah tidak dapat disentuh.
Kenapa? Bukan karena keambiguitasan itu memang benar-benar hanya sesuatu yang ambigu,
tapi karena belum didapatnya titik paling temu terhadap pengkajian tambo. Tambo adalah
dogma dramatise yang telah melukiskan bentuk paling murni dari eksistensi mistik
Minangkabau. Tambo adalah hal paling imanen sekaligus transenden yang telah
menumbuhkan akar-akar kokoh Sejarah Minangkabau. Tambo bukanlah reifikasi tampa
referen. Tambo adalah sebuah eksistensi. Hanya saja sejarah masih terbaca kacau.
Benang kusut yang harus diselesaikan. Siapa yang akan melakukan kontinensi?
(jJbrJl; 2008)
www.padangekspres.co.id
~ by Is Sikumbang on May 21, 2008.
Posted in Adat Minangkabau, Adat Secara Umum
Tags: adat minang, minangkabau, Tambo
Leave a Reply