berasal dari Provinsi Sumatera Barat. Suku ini terkenal karena adatnya yang matrilineal,
walau orang-orang Minang sangat kuat memeluk agama Islam. Adat basandi syara', syara'
basandi Kitabullah (Adat bersendikan hukum, hukum bersendikan Al Qur'an) merupakan
cerminan Adat Minangkabau yang berlandaskan Islam.
Suku Minang terutama menonjol dalam bidang pendidikan dan perdagangan. Lebih dari
separuh jumlah keseluruhan anggota suku ini berada dalam perantauan. Minang perantauan
pada umumnya bermukim di kota-kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Pekanbaru, Medan,
Batam, Palembang, dan Surabaya. Untuk di luar wilayah Indonesia, suku Minang banyak
terdapat di Malaysia (terutama Negeri Sembilan) dan Singapura. Di seluruh Indonesia dan
bahkan di mancanegara, masakan khas suku ini yang populer dengan sebutan masakan
Padang, sangatlah digemari.
Minangkabau merupakan tempat berlangsungnya perang Paderi yang terjadi pada tahun 1804
- 1837. Kekalahan dalam perang tersebut menyebabkan suku ini berada dibawah kekuasaan
pemerintah kolonial Hindia-Belanda.
Daftar isi
[sembunyikan]
1 Suku dalam Etnis Minangkabau
2 Etimologi
3 Asal Usul
4 Sosial Kemasyarakatan
5 Minangkabau Perantauan
o
7 Lihat pula
8 Literatur
9 Pranala luar
10 Catatan kaki
Suku Koto
Suku Piliang
Suku Bodi
Suku Caniago
Dalam masa selanjutnya, munculah satu kelarasan baru bernama Lareh Nan Panjang,
diprakarsai oleh Datuk Sakalok Dunia nan Bamego-mego. Sekarang suku-suku dalam
Minangkabau berkembang terus dan sudah mencapai ratusan suku, yang terkadang sudah
sulit untuk mencari persamaannya dengan suku induk. Di antara suku-suku tersebut adalah:
Suku Tanjung
Suku Sikumbang
Suku Sipisang
Suku Bendang
Suku Guci
Suku Panai
Suku Jambak
Suku Kampai
Suku Payobada
Suku Mandailiang
Suku Mandaliko
Suku Sumagek
Suku Dalimo
Suku Simabua
Suku Salo
Etimologi
Nama Minangkabau berasal dari dua kata, minang (menang) dan kabau (kerbau). Nama itu
berasal dari sebuah legenda. Konon pada abad ke-13, kerajaan Singasari melakukan ekspedisi
ke Minangkabau. Untuk mencegah pertempuran, masyarakat lokal mengusulkan untuk
mengadu kerbau Minang dengan kerbau Jawa. Pasukan Majapahit menyetujui usul tersebut
dan menyediakan seekor kerbau yang besar dan agresif. Sedangkan masyarakat Minang
menyediakan seekor anak kerbau yang lapar dengan diberikan pisau pada tanduknya. Dalam
pertempuran, anak kerbau itu mencari kerbau Jawa dan langsung mencabik-cabik perutnya,
karena menyangka kerbau tersebut adalah induknya yang hendak menyusui. Kecemerlangan
masyarakat Minang tersebutlah yang menjadi inspirasi nama Minangkabau.
Namun dari beberapa sumber lain menyebutkan bahwa nama Minangkabau sudah ada jauh
sebelum peristiwa adu kerbau itu terjadi, dimana istilah yang lebih tepat sebelumnya adalah
"Minangkabwa", "Minangakamwa", "Minangatamwan" dan "Phinangkabhu". Istilah
Minangakamwa atau Minangkamba berarti Minang (sungai) Kembar yang merujuk pada dua
sungai Kampar yaitu Kampar Kiri dan Sungai Kampar Kanan. Sedangkan istilah
Minangatamwan yang merujuk kepada Sungai Kampar memang disebutkan dalam prasasti
Kedukan Bukit dimana disitu disebutkan bahwa Pendiri Kerajaan Sriwijaya yang bernama
Dapunta Hyang melakukan migrasi massal dari hulu Sungai Kampar (Minangatamwan) yang
terletak di sekitar daerah Lima Puluh Kota, Sumatera Barat.
Asal Usul
Suku Minang merupakan bagian dari masyarakat Deutro Melayu (Melayu Muda) yang
melakukan migrasi dari daratan China Selatan ke pulau Sumatera sekitar 2.500-2.000 tahun
yang lalu. Diperkirakan kelompok masyarakat ini masuk dari arah Timur pulau Sumatera,
menyusuri aliran sungai Kampar atau Minangkamwa (Minangatamwan) hingga tiba di
dataran tinggi Luhak nan Tigo (darek). Kemudian dari Luhak nan Tigo inilah suku Minang
menyebar ke daerah pesisir (pasisie) di pantai barat pulau Sumatera, yang terbentang dari
Barus di utara hingga Kerinci di selatan.
Selain berasal dari Luhak nan Tigo, masyarakat pesisir juga banyak yang berasal dari India
Selatan dan Persia. Dimana migrasi masyarakat tersebut terjadi ketika pantai barat Sumatera
menjadi pelabuhan alternatif perdagangan selain Malaka, ketika kerajaan tersebut jatuh ke
tangan Portugis.
Sosial Kemasyarakatan
Daerah Minangkabau terdiri atas banyak nagari. Nagari ini merupakan daerah otonom dengan
kekuasaan tertinggi di Minangkabau. Tidak ada kekuasaan sosial dan politik lainnya yang
dapat mencampuri adat di sebuah nagari. Nagari yang berbeda akan mungkin sekali
mempunyai tipikal adat yang berbeda. Tiap nagari dipimpin oleh sebuah dewan yang terdiri
dari pemimpin suku dari semua suku yang ada di nagari tersebut. Dewan ini disebut dengan
Kerapatan Adat Nagari (KAN). Dari hasil musyawarah dan mufakat dalam dewan inilah
sebuah keputusan dan peraturan yang mengikat untuk nagari itu dihasilkan.
Minangkabau Perantauan
Jumlah Perantau
Rumah Gadang
Minangkabau perantauan merupakan istilah untuk suku Minangkabau yang hidup di luar
provinsi Sumatera Barat, Indonesia. Etos merantau orang Minangkabau sangatlah tinggi,
bahkan diperkirakan tertinggi di Indonesia. Dari hasil studi yang pernah dilakukan oleh
Mohctar Naim, pada tahun 1961 terdapat sekitar 32 % orang Minang yang berdomisili di luar
Sumatera Barat. Kemudian pada tahun 1971 jumlah itu meningkat menjadi 44 %.[2]
Berdasarkan sensus tahun 2000, suku Minang yang tinggal di Sumatera Barat berjumlah 3,7
juta jiwa.[3] Dengan perkiraan 7 juta orang Minang di seluruh dunia, berarti hampir separuh
orang Minang berada di perantauan. Melihat data tersebut, maka terdapat perubahan cukup
besar pada etos merantau orang Minangkabau dibanding suku lainnya di Indonesia. Sebab
menurut sensus tahun 1930, perantau Minangkabau hanya sebesar 10,5% dibawah orang
Bawean (35,9 %), Batak (14,3 %), dan Banjar (14,2 %).
Gelombang Rantau
Merantau pada etnis Minang telah berlangsung cukup lama. Migrasi besar-besaran pertama
terjadi pada abad ke-14, dimana banyak keluarga Minang yang berpindah ke pesisir timur
Sumatera hingga ke Negeri Sembilan, Malaysia. Bersamaan dengan gelombang migrasi ke
arah timur, juga terjadi perpindahan masyarakat Minang ke pesisir barat Sumatera. Di
sepanjang pesisir ini perantau Minang mendirikan koloni-koloni dagang, seperti di Meulaboh,
Aceh tempat keturunan Minang dikenal dengan sebutan Aneuk Jamee. Setelah Kesultanan
Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511, banyak keluarga Minangkabau yang
Perantauan Intelektual
Pada akhir abad ke-18, banyak pelajar Minang yang merantau ke Mekkah untuk mendalami
agama Islam, diantaranya Haji Miskin, Haji Piobang, dan Haji Sumanik. Setibanya di tanah
air, mereka menyebarluaskan pemikiran Islam yang murni, dan menjadi penyokong kuat
gerakan Paderi di Minangkabau. Gelombang kedua perantauan ke Timur Tengah terjadi pada
awal abad ke-20, yang dimotori oleh Abdul Karim Amrullah, Tahir Jalaluddin, dan
Muhammad Jamil Jambek. Banyak perantau Minang yang menetap dan sukses di Mekkah,
diantara mereka ialah Ahmad Khatib Al-Minangkabawi yang menjadi imam Mesjid AlHaram
Selain ke Timur Tengah, pelajar Minangkabau juga banyak yang merantau ke Eropa. Mereka
antara lain Abdoel Rivai, Mohammad Hatta, Sutan Syahrir, Roestam Effendi, dan Nazir
Pamuntjak. Intelektual lain, Tan Malaka, hidup mengembara di delapan negara Eropa dan
Asia, membangun jaringan pergerakan kemerdekaan Asia. Semua pelajar Minang tersebut,
yang merantau ke Eropa sejak akhir abad ke-19, menjadi pejuang kemerdekaan dan pendiri
Republik Indonesia.[5]
Sebab Merantau
Faktor Budaya
Ada banyak penjelasan terhadap fenomena ini, salah satu penyebabnya ialah sistem
kekerabatan matrilineal. Dengan sistem ini, penguasaan harta pusaka dipegang oleh kaum
perempuan sedangkan hak kaum pria dalam hal ini cukup kecil. Hal inilah yang
menyebabkan kaum pria Minang memilih untuk merantau. Kini wanita Minangkabau pun
sudah lazim merantau. Tidak hanya karena alasan ikut suami, tapi juga karena ingin
berdagang, meniti karier dan melanjutkan pendidikan.
Menurut Rudolf Mrazek, sosiolog Belanda, dua tipologi budaya Minang, yakni dinamisme
dan anti-parokialisme melahirkan jiwa merdeka, kosmopolitan, egaliter, dan berpandangan
luas, hal ini menyebabkan tertanamnya budaya merantau pada masyarakat Minangkabau.[6]
Semangat untuk merubah nasib dengan mengejar ilmu dan kekayaan, serta pepatah Minang
yang mengatakan Ka rantau madang dahulu, babuah babungo alun (lebih baik pergi
merantau karena dikampung belum berguna) mengakibatkan pemuda Minang untuk pergi
merantau sedari muda.
Faktor Ekonomi
Penjelasan lain adalah pertumbuhan penduduk yang tidak diiringi dengan bertambahnya
sumber daya alam yang dapat diolah. Jika dulu hasil pertanian dan perkebunan, sumber
utama tempat mereka hidup dapat menghidupi keluarga, maka kini hasil sumber daya alam
yang menjadi penghasilan utama mereka itu tak cukup lagi memberi hasil untuk memenuhi
kebutuhan bersama, karena harus dibagi dengan beberapa keluarga. Selain itu adalah
tumbuhnya kesempatan baru dengan dibukanya daerah perkebunan dan pertambangan.
Faktor-faktor inilah yang kemudian mendorong orang Minang pergi merantau mengadu nasib
di negeri orang. Untuk kedatangan pertamanya ke tanah rantau, biasanya para perantau
menetap terlebih dahulu di rumah dunsanak yang dianggap sebagai induk semang. Para
perantau baru ini biasanya berprofesi sebagai pedagang kecil.
Penulis dan jurnalis Minang banyak mempengaruhi perkembangan bahasa Indonesia. Mereka
mengembangkan bahasa Indonesia melalui berbagai macam profesi dan bidang keahlian.
Marah Rusli, Abdul Muis, Sutan Takdir Alisjahbana, Idrus, Hamka, dan A.A Navis sebagai
penulis novel. Chairil Anwar dan Taufik Ismail lewat puisi, serta Abdul Rivai, Djamaluddin
Adinegoro, Rosihan Anwar dan Ani Idrus sebagai jurnalis.
Di Indonesia dan Malaysia, disamping orang Tionghoa, orang Minang juga terkenal sebagai
pengusaha ulung. Banyak pengusaha Minang sukses berbisnis di bidang perdagangan tekstil,
rumah makan, perhotelan, pendidikan, dan rumah sakit. Abdul Latief dan Tunku Tan Sri
Abdullah merupakan figur sukses pengusaha Minangkabau.
Banyak pula orang Minang yang sukses di dunia hiburan, baik sebagai sutradara, produser,
penyanyi, maupun artis. Diantara mereka ialah Usmar Ismail, Asrul Sani, Arizal, Ani
Sumadi, Soekarno M. Noer, dan Dorce Gamalama.
Orang Minangkabau juga berkontribusi besar di Malaysia dan Singapura, antara lain Tuanku
Abdul Rahman (Yang Dipertuan Agung pertama Malaysia), Yusof bin Ishak (presiden
pertama Singapura), Zubir Said (komposer lagu kebangsaan Singapura Majulah Singapura),
Rais Yatim, Tan Sri Abdul Samad Idris dan Adnan bin Saidi. Di negeri Belanda, Roestam
Effendi yang mewakili Partai Komunis Belanda, menjadi satu-satunya orang Indonesia yang
pernah duduk sebagai anggota parlemen.[8]
Lihat pula
Pedagang Minangkabau
Adat Minangkabau
Literatur
(de) Dieter Weigel: Reisemosaik bei den Minangkabau. Sumatra. Heiteres, Ernstes,
Alltgliches, Unglaubliches. Jahn und Ernst, Hamburg 1998, ISBN 3-89407-208-3
(Erlebnisbericht)
Pranala luar