Logoterapi
Prof. Viktor E. Frankl adalah seorang profesor dari Fakultas Kedokteran-Universitas Vienna
dan juga cukup lama menjadi mahasiswa yang mempelajari filosofi eksistensial.Pada awal 1938
menggunakan istilah Existenz-Analyse dalam tulisannya.Beliau memperoleh gelar doktor filosofi, dan
juga gelar dokter sebagai neurologis dan psikiater. Kemudian Frankl bekerja sebagai Kepala Poliklinik
Neurologik Vienna dan mendapat julukan kehormatan The Third Viennese School of Psychotherapy.
Frankl memperkenalkan logoterapi yang mengakui adanya dimensi spiritual dan
memanfaatkannya untuk mengembangkan hidup bermakna (therapy through meaning). Dari asal
katanya, logoterapi berasal dari kata logos yang berarti meaning (makna) dan spirituality
(kerohanian). Logoterapi digolongkan pada Existential Psychiatry dan Humanistic Psychology
Viktor Frankl berpendapat bahwa kebutuhan manusia yang lebih mendasar adalah kebutuhan
untuk hidup bermakna atau berarti.Keinginan untuk mempunyai maknai merupakan salah satu
kekuatan motivasi yang ada dalam diri manusia bahkan lebih mendasar daripada prinsip
kesenangan (pleasure principle) dari Freud atau keinginan untuk berkuasa dari Adler. Menurut
Frankl, seseorang akan menjadi sakit apabila dia tidak lagi mempertanyakan keberadaannya. Hal ini
terjadi karena dia tidak dapat lagi berfungsi sebagaimana mestinya atau istilah Frankl manusia itu
sedang berada di dalam kekosongan eksistensial
1. Ajaran Logoterapi
Logoterapi berpandangan bahwa makna hidup (the meaning of life) dan hasrat untuk hidup
bermakna (the will to meaning) merupakan motif azasi manusia yang dapat dilihat dalam dimensi
spiritual atau noetic. Jadi, Frankl berpendapat bahwa ada dimensi lain selain dimensi somatik dan
psikis, yaitu dimensi spiritual. Tampaknya Frankl tidak memisahkan antara fisik, psikis dan spiritual
seorang manusia dan menganggapnya merupakan satu kesatuan yang utuh.Konflik dasar spiritual
yang muncul dari dalam diri seseorang dapat terjadi sebagai akibat ketidakmampuannya untuk
muncul secara spiritual mengatasi kondisi fisik dan psikisnya.
Konflik ini tidak berakar pada kerumitan psikologis, akan tetapi terpusat pada hal spiritual dan
etis. Apabila terdapat satu konflik spiritual dapat menyebabkan gangguan psikologis (neurosis) yang
disebut Frankl sebagai noogenic neurosis. Terapi ini bertujuan untuk memenuhi doroangan spiritual
yang dibawa oleh manusia sejak lahir dengan mengeksplorasi makna keberadaan manusia.
2. Ajaran dalam Logoterapi mempunyai 3 landasan filsafat, yaitu :
1. The freedom of will: kebebasan tetapi terbatas, bukan kebebasan dari sesuatu tetapi kebebasan
mengambil sikap terhadap sesuatu. Kebebasan yang dimaksud di sini adalah kebebasan yang
bertanggungjawab.
2. The will to meaning : merupakan motivasi dasar manusia. Yang dimaksudkan dengan keinginan untuk
bermakna adalah : tertuju kepada hal-hal yang berada di luar diri manusia tersebut, bukan berpusat
pada diri sendiri (self-centered)
3. The meaning of life : dapat ditemukan oleh manusia dalam kehidupannya, termasuk pada saat
mengalami penderitaan (rasa bersalah, sakit, kematian). Makna hidup setiap orang sifatnya unik,
personal, spesifik, dan temporer. Makna hidup tidak dapat diberikan oleh siapapun, jadi harus
ditemukan oleh diri sendiri.
3. Logoterapi sebagai Salah Satu Metode Konseling
Dalam logoterapi pasien dibantu untuk menemukan nilai-nilai baru dan mengembangkan
filosofi konstruktif dalam kehidupannya. Oleh karena itu, seorang logoterapis tidaklah mengobati
gejala-gejala yang tampak pada pasien atau klien secara langsung, akan tetapi mengadakan
perubahan sikap neurotik pasien terlebih dahulu. Pasien bertanggungjawab pada dirinya sendiri dan
logoterapis memberikan dorongan untuk memilih, mencari dan menemukan sendiri makna konkrit dari
eksistensi pribadinya. Seorang logoterapis membantu klien untuk menyusun 3 macam nilai yang akan
memberi arti pada eksistensi, yaitu : creative values, experiental values, dan attitudinal values.
Dalam proses terapi, klien diperlihatkan bagaimana membuat hidup menjadi penuh arti
dengan the experience of love. Pengalaman ini akan membuatnya mampu menikmati ketulusan,
keindahan dan kebaikan dan mampu mengerti akan manusia dengan keunikan-keunikan pribadinya.
Dengan demikian, diharapkan klien dapat melihat bahwa penderitaan mungkin sangat berguna untuk
membantunya dalam mengubah sikap hidup.Sebagai contoh, situasi yang tidak dapat diperbaiki yang
disebut oleh Frankl sebagai takdir mungkin harus diterima. Dimana kita tidak lagi dapat mengubah
takdir dengan perbuatan, apapun keadaannya, sikap yang tepat untuk menghadapi takdir adalah kita
harus dapat menerimanya
4. Tahapan Konseling Logoterapi
Ada empat tahap utama didalam proses konseling logterapi diantaranya adalah:
Tahap perkenalan dan pembinaan rapport. Pada tahap ini diawali dengan menciptakan suasana
nyaman untuk konsultasi dengan pembina rapport yang makin lama makin membuka peluang untuk
sebuah encounter. Inti sebuah encounter adalah penghargaan kepada sesama manusia, ketulusan
hati, dan pelayanan. Percakapan dalam tahap ini tak jarang memberikan efek terapi bagi konseli.
Tahap pengungkapan dan penjajagan masalah. Pada tahap ini konselor mulai membuka dialog
mengenai masalah yang dihadapi konseli. Berbeda dengan konseling lain yang cenderung
membeiarkan konseli sepuasnya mengungkapkan masalahnya, dalam logoterapi konseli sejak awal
diarahkan untuk menghadapi masalah itu sebagai kenyataan.
Pada tahap pembahasan bersama, konselor dan konseli bersama-sama membahas dan menyamakan
persepsi atas masalah yang dihadapi. Tujuannya untuk menemukan arti hidup sekalipun dalam
penderitaan.
Tahap evaluasi dan penyimpulan mencoba memberi interpretasi atas informasi yang diperoleh
sebagai bahan untuk tahap selanjutnya, yaitu perubahan sikap dan perilaku konseli. Pada tahaptahap ini tercakup modifikasi sikap, orientasi terhadap makna hidup, penemuan dan pemenuhan
makna, dan pengurangan symptom.
Jadi, tujuan dari logoterapi adalah membangkitkan kemauan untuk bermakna dalam individu
tersebut, yang bersifat khusus dan pribadi bagi masing-masing orang.Seseorang dapat bertahan
dalam kondisi-kondisi yang paling tidak menguntungkan hanya bila tujuan ini terpenuhi. Namun
sebelumnya, seorang konselor sebaiknya mampu mengeksplorasi dinamika proses intrapsikis dan
menyelidiki hubungan interpersonal klien melalui psikoterapi tradisional dengan teknik psikoanalitik.
Oleh karena itu, tampaknya Frankl, tidak sama sekali meninggalkan teori Freud dalam
psikoanalitiknya, tetapi keberhasilan logoterapi sangat dipengaruhi oleh keberhasilan terapis dalam
mengeksplorasi konflik intrapsikis dari klien.
Dengan logoterapi, klien yang menghadapi kesukaran menakutkan atau berada dalam
kondisi yang tidak memungkinkannya beraktivitas dan berkreativitas dibantu untuk menemukan
makna hidupnya dengan cara bagaimana ia menghadapi kondisi tersebut dan bagaimana ia
mengatasi penderitaannya. Dengan cara ini, klien dibantu untuk menggunakan kejengkelan dan
penderitaannya sehari-hari sebagai alat untuk menemukan tujuan hidupnya. Peradaban kita saat ini
meyakinkan banyak orang untuk melihat penderitaan sebagai satu takdir yang tidak dapat dicegah
dan dielakkan.Akan tetapi logoterapi mengajarkan kepada klien untuk melihat nilai positif dari
penderitaan dan memberikan kesempatan untuk merasa bangga terhadap penderitaannya.
5. Teknik Logoterapi
1. Persuasif
Salah satu teknik yang digunakan dalam logoterapi adalah teknik persuasif, yaitu membantu
klien untuk mengambil sikap yang lebih konstruktif dalam menghadapi kesulitannya.Frankl,
menggambarkan hal ini dalam satu kasus tentang seorang perawat yang menderita tumor yang tidak
dapat dioperasi dan mengalami keputusasaan karena ketidakmampuannya untuk bekerja dalam
profesinya yang sangat terhormat.
2. Paradoxical-intention
Paradoxical intention pada dasarnya memanfaatkan kemampuan mengambil jarak (selfdetachment) dan kemampuan mengambil sikap terhadap kondisi diri sendiri dan
lingkungan.Paradoxical intention terutama cocok untuk pengobatan jangka pendek pasien fobia
(ketakutan irrasional). Dengan teknik ini, konselor mengupayakan agar klien yang mengalami fobia
mengubah sikap dari takut menjadi akrab dengan objek fobianya. Selain itu, teknik paradoxical
intention sangat bermanfaat untuk menolong klien dengan obsesif kompulsif (tindakan yang terusmenerus dilakukan walaupun sadar hal itu tidak rasional).Antisipasi yang menakutkan terhadap suatu
kejadian sering menyebabkan reaksi-reaksi yang berkembang dari peristiwa tersebut, misalnya
pasien dengan obsesi yang kuat cenderung untuk menghindari obsesif-kompulsifnya. Dengan teknik
paradoxical intention, mereka diajak untuk berhenti melawan, tetapi bahkan mencoba untuk
bercanda tentang gejala yang ada pada mereka, ternyata hasilnya adalah gejala tersebut akan
berkurang dan menghilang. Klien diminta untuk berpikir atau membayangkan hal-hal yang tidak
menyenangkan, menakutkan, atau memalukan baginya. Dengan cara ini klein mengembangkan
kemampuan untuk melawan ketakutannya, seperti yang terdapat juga dalam terapi perilaku
(behaviour therapy).
3. De-reflection
Teknik logoterapi lain adalah de-reflection, yaitu memanfaatkan kemampuan transendensi
diri (self-transcendence) yang dimiliki setiap manusia dewasa. Setiap manusia dewasa memiliki
kemampuan untuk membebaskan diri dan tidak lagi memperhatikan kondisi yang tidak nyaman, tetapi
mampu mengalihkan dan mencurahkan perhatiannya kepada hal-hal yang positif dan bermanfaat.Di
sini klien pertama-tama dibantu untuk menyadari kemampuan atau potensinya yang tidak digunakan
atau terlupakan.Ini merupakan suatu jenis daya penarik terhadap nilai-nilai pasien yang terpendam.
Sekali kemampuan tersebut dapat diungkapkan dalam proses konseling maka akan muncul suatu
perasaan unik, berguna dan berharga dari dalam diri klien. De-reflection tampaknya sangat
bermanfaat dalam konseling bagi klien dengan pre-okupasi somatik, gangguan tidur, dan beberapa
gangguan seksual, seperti impotensi dan frigiditas
CONTOH KASUS
Contoh kasus berikutnya dikutip dari hasil penelitian oleh Suprapto (2013) yang berjudul
konseling logoterapi untuk meningkatkan kebermaknaan hidup lansia
Menjadi tua adalah suatu hal yang tidak dapat dihindari. Saat memasuki periode lansia,
menjadi seseorang yang lebih berarti dalam hidup tampaknya sangat penting. Lansia akan
menghadapi berbagai persoalan yang terkait dengan beberapa perubahan yang dialami lansia,
yaitu perubahan dalam aspek fisik, kognitif, dan psikososial. Hal tersebut akan menimbulkan
berbagai dampak bagi lansia, salah satunya ialah perasaan tidak bermakna dalam hidup yang
dapat menyebabkan terjadinya gejala fisik. Subjek ialah lansia yang mengalami
ketidakbermaknaan hidup dan berdampak pada gejala fisik.
Berdasarkan hasil analisis dari kasus diatas menunjukkan bahwa konseling logoterapi
dapat meningkatkan kebermaknaan hidup pada lansia. Konseling logoterapi diberikan pada
subjek karena konseling ini merupakan konseling yang diberikan pada individu yang
mengalami ketidakjelasan makna dan tujuan hidup. Hal tersebut menyebabkan subjek
mengalami kehampaan dan kehilangan gairah hidup. Konseling logoterapi juga diberikan
pada subjek karena konseling ini tidak diterapkan untuk kasus patologis berat yang
membutuhkan psikoterapi. Selain itu, konseling logoterapi memiliki karakteristik jangka
pendek, berorientasi masa depan dan berorientasi pada makna hidup (Bastaman, 2007).
Dalam pendekatan humanistik eksistensial, subjek mengalami neurosis noogenik yaitu
gangguan yang disebabkan tidak terpenuhinya keinginan subjek untuk hidup bermakna,
gangguan tersebut berupa beberapa keluhan fisik yang dialami subjek. Penanganan yang
diberikan
pada
subjek
ialah
konseling
logoterapi
dengan
menggunakan
metode dereflection. Metode ini memanfaatkan kemampuan transendensi diri yang terdapat
pada setiap individu dewasa seperti subjek dimana subjek diarahkan untuk tidak
memperhatikan kondisi yang menimbulkan ketidaknyamanan (Bastaman, 2007). Melalui
metode tersebut subjek lebih memperhatikan hal-hal yang positif dan bermanfaat dan
mengalami perubahan sikap, yaitu dari sikap yang terlalu memperhatikan diri menjadi sikap
yang memiliki komitmen terhadap suatu yang penting bagi subjek. Dalam kasus ini, hal yang
penting bagi subjek ialah menentukan tujuan hidup dan menemukan makna hidupnya
kembali. Metode dereflection lebih adaptif untuk dilakukan, dimana subjek lebih mudah
menerima kondisi dirinya, karena metode tersebut tidak membutuhkan banyak hal yang
berkaitan dengan kontrol terhadap pribadinya sebagai seorang lansia. Melalui metode
dereflection, subjek dapat melihat hal yang berarti dalam kehidupan mereka dan dapat
mengatasi kehampaan eksistensial yang dialaminya. Konseling logoterapi membantu subjek
untuk menemukan sendiri makna hidupnya, menyadari bahwa mereka memiliki kebebasan
dalam menentukan pilihan hidup dan bertanggung jawab terhadap pilihan hidup tersebut
(Sugioka, 2011).
Hasil dari konseling logoterapi ini didukung oleh kemauan dan motivasi subjek untuk
meningkatkan kebermaknaan hidupnya serta dukungan dari anggota keluarga subjek. Istri
subjek menyatakan bahwa terdapat perubahan subjek ke arah yang lebih baik berkaitan
dengan sikapnya terhadap istri dan anak-anak subjek. Istri subjek tidak lagi menemui
kebiasaan subjek untuk memeriksakan kondisi fisiknya secara berlebihan ke puskesmas.
Istri subjek juga menyatakan bahwa subjek kini lebih dapat mengendalikan emosi
daripada sebelumnya. Selain dari proses konseling logoterapi, peningkatan kondisi subjek
tersebut dipengaruhi oleh pihak lain, yaitu penjelasan dari saudara subjek yang berprofesi
dokter yang dapat meyakinkan subjek bahwa gejala fisik yang dikeluhkannya bukan
merupakan gejala dari penyakit kronis tertentu. Serta percakapan yang sering dilakukan
subjek dengan temannya dimana subjek diajarkan untuk mengubah sikapnya dalam menjalani
hidup dan dalam menyikapi orang lain. Subjek menyadari bahwa masukan dari dua pihak
tersebut serta proses konseling yang telah dilakukan memiliki manfaat yang besar terhadap
dirinya untuk menjadi lebih baik di waktu yang akan datang.
Selanjutnya berdasarkan Kuesioner Kebermaknaan Hidup yang diisi oleh subjek, terdapat
perbedaan yang signifikan pada beberapa poin di awal konseling dengan di akhir konseling.
Hal tersebut menunjukkan bahwa subjek belum menemukan tujuan hidupnya sebelum
diberikan konseling dan telah mampu menentukan tujuan hidupnya secara jelas setelah
diberikan konseling, yaitu dapat membahagiakan keluarga, dapat bermanfaat bagi orang lain,
serta lebih dekat dengan Tuhan. Pada poin lain juga terdapat perbedaan yang signifikan,
dimana hasil pengisian kuesioner menunjukkan bahwa pada awal konseling subjek belum
menemukan makna hidupnya dan pada akhir konseling subjek telah menemukan makna
hidupnya. Sedangkan hasil pengisian kuesioner secara keseluruhan, kondisi subjek
menunjukkan adanya perubahan pada awal dan akhir konseling. Subjek telah mampu
menentukan tujuan hidupnya secara jelas dan telah menemukan makna hidupnya kembali.
Selama proses konseling logoterapi, peneliti dan subjek memiliki hubungan yang
akrab, terbuka, saling menghargai, memahami dan menerima, sehingga proses konseling
dapat dilakukan secara fleksibel. Konseling bersifat direktif dimana peneliti memberikan
pengarahan pada subjek mengenai hal-hal yang dapat dilakukan subjek sebagai proses untuk
menemukan makna hidupnya. Peneliti berperan sebagai participating partneryang menarik
keterlibatan dengan subjek sedikit demi sedikit setelah subjek mulai menyadari dan
menemukan makna hidupnya (Bastaman, 2007).
Keterbatasan dalam penelitian ini ialah faktor eksternal yang tidak dapat dikontrol oleh
peneliti, yang kemungkinan dapat mempengaruhi hasil konseling. Faktor eksternal tersebut
ialah pengaruh dari keluarga, saudara, serta sahabat subjek. Keluarga, terutama istri subjek,
memberikan dukungan setiap saat agar subjek dapat menerima kondisi fisiknya dan
menjalani hidup dengan lebih tenang. Selama proses konseling, keluarga mendukung subjek
untuk melakukan hal-hal yang positif dan bermanfaat sehingga kebermaknaan hidup subjek
meningkat. Saudara subjek yang berprofesi dokter juga memberikan pengaruh terhadap hasil
konseling. Saudara subjek tersebut melakukan pemeriksaan terhadap kondisi fisik subjek dan
tidak menemukan kemungkinan yang mengarah pada penyakit kronis tertentu. Saudara
subjek menjelaskan bahwa gejala fisik yang dialami subjek akibat kondisi fisik subjek yang
mengalami penurunan karena memasuki masa lansia, dan meyakinkan bahwa subjek tidak
perlu mengkhawatirkan gejala-gejala tersebut. Selanjutnya sahabat subjek yang sering
melakukan percakapan dengan subjek juga memberikan dukungan pada subjek. Ia
meyakinkan bahwa subjek dapat memiliki kehidupan yang lebih tenang dengan menerima
kondisi fisiknya yang menurun. Sahabat subjek yang mengalami kelumpuhan tersebut
menyampaikan bahwa ia dapat menjalani hidupnya dengan melakukan hal-hal yang
bermanfaat, sehingga ia berharap subjek dengan kondisi fisik yang lebih baik juga dapat
melakukan hal-hal yang bermanfaat.
Diharapkan setelah konseling dihentikan, subjek dapat mempertahankan atau
meningkatkan kebermaknaan hidupnya sehingga menjadi pribadi yang lebih terbuka dan
menyenangkan, bersedia melakukan pengalaman baru (Reker & Woo, 2011), selalu memiliki
harapan menjadi lebih baik dan bersedia untuk memperbaiki diri, berguna dan bermanfaat
bagi lingkungan sekitar (Bastaman, 2007). Selain itu, sebagai proses meningkatkan
kebermaknaan hidupnya, subjek diharapkan dapat mempertahankan ketertarikan, aktivitas,
dan interaksi sosial selama periode lansia (Feldman, 2003) serta mampu menemukan makna
yang positif dari kehidupan dan kematian, bahkan dalam kondisi fisik yang tidak baik, seperti
penurunan fungsi tubuh (Wong, 2007).
Kondisi Subjek Sebelum Dan Setelah Konseling
Sebelum konseling
1. Subjek sering mencari pelayanan medis karena merasakan berbagai keluhan fisik: sakit
kepala (pusing), punggung kaku, nyeri di persendian tangan & kaki, dada sesak, perut
kembung, lambung perih, lemah pada bagian kaki, suara serak
2. Subjek tidak dapat menerima kenyataan bahwa keadaan keluarga tidak tercukupi secara
finansial karena subjek tidak mampu memberikan nafkah bagi keluarganya
3. Subjek menjadi mudah marah dan merasa tidak dihormati sebagai kepala keluarga karena
istri dan anak-anaknya sering tidak menuruti perkataan subjek
4. Permasalahan yang dihadapi subjek membuatnya merasa tidak berharga, merasa tujuan
hidupnya tidak terpenuhi dan merasa hidupnya tidak bermakna
1.
2.
3.
4.
Pemberian intervensi
Konseling logoterapi diberikan dalam 4 langkah, yaitu:
Mengambil jarak atas gejala (distance from symptoms) dimana konselor membantu
menyadarkan subjek bahwa gejala sama sekali tidak identik dan mewakili diri subjek, namun
semata-mata merupakan kondisi yang dialami dan dapat dikendalikan
Modifikasi sikap (modification of attitude) dimana konselor membantu subjek untuk
mendapatkan pandangan baru atas diri dan kondisinya, selanjutnya subjek menentukan sikap
baru untuk menentukan arah dan tujuan hidupnya
Pengurangan gejala (reducing symptoms) dimana konselor menggunakan teknik logoterapi
berupa dereflection untuk menghilangkan atau mengurangi dan mengendalikan gejala pada
subjek
Orientasi terhadap makna (orientation toward meaning) dimana konselor bersama subjek
membahas bersama nilai-nilai dan makna hidup yang secara potensial ada dalam kehidupan
subjek, memperdalam dan menjabarkannya menjadi tujuan- tujuan yang lebih konkrit.
Setelah konseling
1. Keluhan yang dirasakan subjek telah berkurang dan mampu diabaikan oleh subjek
sehingga tidak memenuhi kriteria diagnosa untuk gangguan psikologis
2. Subjek telah mampu menerima kondisi bahwa ia tidak mampu memberikan nafkah bagi
keluarganya dan lebih memperhatikan hal-hal yang dapat dilakukannya untuk
membahagiakan keluarganya
3. Subjek dapat mempertahankan pengendalian emosi yang telah berhasil dilakukannya agar
dapat terus dilakukan dalam kehidupan sehari-hari
4. Pernyataan dari anggota keluarga bahwa terdapat perubahan subjek ke arah yang lebih baik
berkaitan dengan sikapnya terhadap anggota keluarga
5. Subjek telah memiliki tujuan hidup, yaitu membahagiakan dan mensejahterakan keluarga
meski tidak berupa materi, dapat bermanfaat bagi orang lain, dan lebih dekat dengan Tuhan
Sumber:
Hana uswatun hasanah suprapto, madiun, jawa timur. Jurnal konseling logo terapi untuk meningkatkan
kebermaknaan hidup lansia. Volume1 (2), 190-198. Magister psikologi UMM. 2013
Abidin, Zainal. 2007. Analisis eksistensial. Jakarta: Raja Grafindo Persada