Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Oleh
Indra Gumilar
NIM : 95115002
Daftar Isi
A. Pendahuluan
Makna agraria dari segi bahasa memiliki beberapa pengertian. Kata agraria apabila
diambil dari bahasa Belanda adalah kata akker yang berarti tanah pertanian. Hal yang sama
juga diambil dari bahasa Yunani yaitu kata agros. Sedangkan arti kata agraria yang berasal
dari bahasa latin yaitu agger yang berarti tanah atau sebidang tanah.
Kelebihan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) atau Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 dalam memandang pengertian agraria adalah sangat luas yaitu terdapat pada
Pasal 1 ayat (2) yang mengartikan agraria meliputi bumi, air dan ruang angkasa serta
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Undang-Undang Pokok Agraria merupakan
hukum yang mengatur kepentingan terkait agraria di Indonesia. Undang-undang ini lahir
menggantikan peraturan agraria peninggalan Belanda dan merupakan undang-undang
mengenai sumbr daya alam pertama yang lahir sejak proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Dalam mengatur kepentingan mengenai agraria ini diperlukan pembentukan hukum
agraria. Hukum agraria berkembang sesuai perjalanan sejarahnya. Sejarah merupakan bukti
dari sebuah perkembangan karena yang terjadi pada masa kini merupakan hasil dari yang
telah dilalui pada masa lalu. Begitupun dengan hukum agraria, pengaturan yang ada saat ini
merupakan hasil dari sejarah perubahan-perubahan pengaturannya. Hampir semua unsur
dalam kehidupan hukum negara ini merupakan hasil dari akulturasi budaya dan kebiasaan
yang dibawa oleh bangsa-bangsa lain yang pernah masuk dan mendirikan pemerintahan di
Indonesia. Pengaturan agraria sendiri telah melewati beberapa periode yang memberi
pengaruh sangat besar pada ketentuan hukum agraria yang ada saat ini.
Dalam sejarahnya, pengaturan agraria yang sangat erat dengan urusan pertanahan ini
mengalami perkembangan yang diawali dengan pengaturan buatan penjajah yang menguasai
sebagian besar wilayah tanah Indonesia (pra kemerdekaan), serta terus berkembang seiring
bangsa Indonesia bebas dari penjajahan dan mulai membuat sendiri hukum agrarianya (pasca
kemerdekaan). Namun seiring perkembangan hukum, bertambah pula peraturan yang
mengatur mengenai sumber daya alam dan bahkan peraturan tersebut dibuat tanpa
memandang UUPA sebagai payung hukum pengaturan sumber daya alam sehingga terjadi
tumpang tindih UUPA dengan peraturan lainnya. Sebagai contoh adalah peraturan mengenai
kehutanan, perkebunan, dan pertambangan memiliki konsep dan tata cara dalam mengelola
dan menguasai tanah.
Perkembangan aturan mengenai agraria di Indonesia mengalami kemajuan dengan
inovasi-inovasi yang diciptakan dalam rangka mempertahankan tujuan dasar pokok agraria
yakni membawa kemakmuran, kebahagiaan, keadilan dan kepastian hukum bagi bangsa dan
negara. Tujuan hukum agraria tersebut diharapkan mejadi sarana untuk mewujudkan cita-cita
bangsa dan negara sebagaimana diamanatkan oleh pembukaan UUD 1945 yaitu memajukan
kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia.
1. Zaman Kerajaan
Perkembangan hukum agraria sudah dimulai sejak zaman kerajaan, di mana tanah
bukanlah benda yang diperdagangkan karena masih melimpahnya tanah-tanah yang belum
dimiliki. Masyarakat pada masa kerajaan menjalani kehidupannya berdasarkan ketentuan
raja. Sebagai pemimpin tertinggi dalam sebuah wilayah, raja berdaulat penuh atas semua hal
yang ada dalam wilayah yuridiksinya. Begitupun dalam pengurusan tanah, raja telah
menentukan batas dan bagian masing-masing bagi rakyatnya. Pola pembagian wilayah yang
menonjol pada masa awal-awal kerajaan di Jawa adalah berupa pembagian tanah ke dalam
beragam penguasaan atau pengawasan, yang diberikan ke tangan pejabat- pejabat yang
ditunjuk oleh raja atau yang berwenang di istana (Paigeaud 1960, Moertono 1968).
Berdasarkan uraian tersebut di atas, berikut ini digambarkan pola pengaturan tanah
pada zaman kerjaan di Indonesia (Gambar 2) :
Tanah
Tidak Diperdagangkan
2. Zaman Penjajahan
Masa kejayaan kerajaan-kerajaan mulai terganggu oleh bangsa Belanda yang
berdatangan ke Indonesia sekitar abad 17 dengan alasan untuk berdagang dan
mengembangkan perusahaan dagangnya. Sejarah hukum agraria kolonial pun diawali oleh
perkumpulan dagang yang disebut Veerenigde Ooost-Indische Compagnie (VOC) antara
tahun 1602-1799.
VOC mulai menaklukan raja-raja dari kerajaan-kerajaan kecil dengan cara
mengharuskan menandatangani perjanjian (tractaat) bahwa mereka (raja dan rakyatnya)
harus tunduk dan patuh kepada VOC dengan sistem perdagangan Verpelichte Leverantie dan
Contingenten, yaitu menyerahkan hasil bumi dengan harga yang sudah dipatok atau
ditentukan dan hasil bumi yang diserahkan dipandang sebagai pajak tanah. Kemudian hukum
perdata Belanda (Burgerlijk Wetboek) mulai diberlakukan untuk seluruh wilayah kekuasaan
VOC, penekanan praktek penegakkannya adalah pada perolehan tanah untuk hubungan
keagrariaan bagi pengumpulan hasil bumi untuk dijual di pasaran Eropa.
Dengan hukum barat itu, maka hak-hak tanah yang dipegang oleh rakyat dan raja-raja
Indonesia tidak dipedulikan. Namun rakyat Indonesia masih dibiarkan untuk hidup menurut
hukum adat dan kebiasaannya. Seluruh lahan di daerah kerajaan yang berada di bawah
kekuasaan VOC itu diklaim menjadi milik VOC sehingga bebas digunakannya, termasuk
untuk dijual kepada pihak selain masyarakat Indonesia. Salah satu bentuk kegiatan penjualan
tanah itu dilakukan melalui Lembaga Tanah Partikelir sejak tahun 1621, dengan dominasi
pembeli dari pedagang kaya orang Arab dan Cina, namun tidak ada surat bukti jual beli
karena pada masa itu belum ada pejabat notaris. Maka tanah partikelir itu dicatat dalam
catatan eigendom milik Belanda.
Setelah bangkrutnya VOC pada awal abad ke-19, kekuasaan pemerintah Belanda
dipatahkan oleh bala tentara Inggris dan pada tahun 1811 Belanda harus menyerahkan Pulau
Jawa kepada Inggris. Di bawah pemerintahan Raffles dibentuklah sebuah panitia dengan
tugas melakukan penyelidikan statistik mengenai keadaan agraria, dan atas hasil penyelidikan
itu Raffles berkesimpulan bahwa semua tanah adalah milik raja atau pemerintah Inggris (teori
Domein). Raffles mewujudkan pemikiran tentang pajak yang dikenal dengan nama Landrent
3
(pajak tanah). Landrent tidak langsung dibebankan kepada para petani pemilik tanah, para
kepala desa diberi kekuasaan untuk menetapkan jumlah sewa yang wajib dibayar oleh tiap
petani. Berdasarkan ketentuannya itu, penduduk pribumi hanya dianggap menumpang dan
dibebani tanggung jawab untuk membayar pajak dalam pemakaian tanah raja atau pemerintah
Inggris.
Kemudian dengan dibentuknya perjanjian pada 13 Agustus 1814 antara Inggris dan
Belanda, maka semua jajahan Belanda yang diwaktu peperangan terakhir diduduki oleh
Inggris akan dikembalikan kepada Belanda. Masa pemerintahan Van den Bosch, pada tahun
1830 diterapkan sebuah sistem tanam paksa (Cultuurstelsel), yakni dengan pemiadaan
pembayaran pajak dari para petani di desa namun digantikan dengan kewajiban menanami
1/5 tanahnya dengan tanaman seperti nila, kopi, tembakau, teh, tebu dan sebagainya untuk
kemudian diserahkan kepada pemerintah (untuk di ekspor ke Eropa).
Begitu banyak hasil kekayaan alam Indonesia dikeruk secara sia-sia karena para
petani tidak mendapatkan imbalan atas hasil tanaman yang diberikannya pada Belanda.
Sistem ini mendatangkan kritik habis-habisan, antara lain oleh Edouward Douwes Dekker
(Multatuli), lalu akhirnya sebagai jawabannya dikeluarkan kebijakan Regerings Reglement
yang dalam Pasal 64 dinyatakan bahwa Gubernur Jenderal dilarang menjual tanah kecuali
tanah sempit bagi perluasan kota dan industri dan boleh menyewakan tanah berdasarkan
Ordonnantie (peraturan) kecuali tanah hak ulayat.
Kebijakan itu digunakan untuk membina tata hukum kolonial dalam mengontrol
kekuasaan dan kewenangan raja dan aparat eksekutif atas daerah jajahan. Dalam Hukum
Pertanahan Belanda di Indonesia, pelaksanaannya dimulai secara sah sejak tahun 1848 ketika
diberlakukannya Undang-Undang Hukum Perdata Belanda (Nederlands Burgelijk WetboekBW) yang baru dan di Indonesia disebut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia
(KUHPInd.). Kodifikasi hukum berlangsung untuk pertama kali, BW berlaku khusus untuk
golongan Eropa, kemudian berlaku juga untuk golongan Timur Asing (sejak tahun 1855),
sedangkan untuk golongan Bumiputera berlaku hukum masing-masing (yakni hukum adat).
Mengenai pengaturan hukum adat terkait urusan keagrariaan, Ter Haar dan para
muridnya yang belajar di Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta (yang pada waktu itu bernama
Rechtshogeschool te Batavia) mulai bekerja di lapangan untuk mencatat kaidah-kaidah sosial
(adat) komunitas-komunitas dengan sanksi-sanksi. Van Vollenhoven telah menjelaskan sifat
atau ciri khusus sebagai tanda-tanda pengenal Hukum Pertanahan dan Keagrariaan Adat
Indonesia, yaitu :
1) Masyarakat hukum dengan pimpinan dan warganya dapat dengan bebas menggunakan
dan mengusahakan semua tanah hutan belukar yang belum dikuasai seseorang dalam
lingkungan masyarakat hukum untuk membukanya, mendirikan perkampungan atau desa,
berburu, mengumpulkan hasil hutan, menggembala dan merumput;
2) Orang asing hanya dapat melakukan hal-hal yang disebutkan sebelumnya setelah
mendapatkan izin dari masyarakat hukum, karena setiap pelanggarannya dinyatakan
sebagai suatu pelanggaran adat yang disebut maling utan;
3) Setiap orang asing, tetapi kadang-kadang terhadap warga masyarakat hukum pun,
diharuskan membayarkan uang pemasukan, untuk dapat memungut dan menikmati hasil
tanah dalam lingkungan masyarakat hukum adat;
4
4) Masyarakat hukum adat bertanggung jawab atas setiap pelanggaran hukum yang terjadi
dalam wilayah masyarakat hukum adat;
5) Masyarakat hukum adat tetap berhak menguasai dan mengawasi tanah-tanah pertanian
dalam lingkungan masyarakat hukumnya; dan
6) Tanah masyarakat hukum adat tidak boleh dijual lepaskan kepada pihak lain untuk
selama-lamanya.
Sebagai upaya untuk memperbesar keuntungan para pengusaha dan pedagang
Belanda dari kekayaan alam Indonesia, akhirnya pada 9 April 1870 pemerintah Belanda
meloloskan Undang-Undang Agraria yang selanjutnya dikenal sebagai Agrarische Wet yang
diberlakukan untuk Jawa dan Madura serta untuk seluruh wilayah jajahan Hindia Belanda
setelah lima tahun pembentukannya. Agrarische Wet Staatsblad 1870 No. 55 berisi tiga pasal
yang termaktub dalam Artikel 62 RR 1854 dan tambahan lima pasal baru. Selain itu,
kemudian ada juga Agrarische Reglement (peraturan agraria) yang diterbitkan untuk
mengatur hak milik pribumi di wilayah luar Jawa dan Madura.
Pada ayat (4) Agrarische Wet 1870 disebutkan bahwa Gubernur Jenderal akan
memberikan hak erfpacht selama 75 tahun.Kemudian perihal ketentuan pelaksanaannya
diatur dalam berbagai peraturan dan keputusan. Salah satu yang penting adalah Agararisch
Besluit (keputusan agraria) yang hanya berlaku di Jawa dan Madura, yang diundangkan
dalam Staatsblad 1870 No. 118, di mana dalam Pasal 1 dinyatakan bahwa .semua tanah
yang tidak terbukti bahwa atas tanah itu ada hak milik mutlak (eigendom), adalah hak domein
negara. Domein negara artinya milik mutlak negara, biasa dikenal dengan Domein
Verklaring.
Memasuki masa Perang Dunia II antara blok barat dan blok timur, kedudukan
Belanda mulai tergeser dan Indonesia jatuh di bawah kekuasaan penjajahan Jepang. Sejak
tahun 1942 Jepang mengambil alih seluruh kekuasaan pemerintahan kolonial.Pemerintahan
jepang mengeluarkan kebijakan yang mentolerir dan mendorong rakyat untuk menggarap
tanah-tanah perkebunan dan tanah terlantar yang menimbulkan persepsi bahwa rakyat bisa
memperoleh kembali tanah mereka yang dulu digusur oleh pemerintah kolonial Belanda.
Namun tetap saja para petani penghasil padi dikenakan kewajiban menyerahkan hasil
produksinya kepada pemerintah sebagai semacam pajak.
Berikut digambarkan pola pengaturan tanah pada zaman penjajahan (Gambar 3) :
1602
VOC masuk
Berlakunya
hukum
perdata
Belanda
(Burgerlijk
Wetboek
1811
Jawa
diserahkan
Kepada Inggris
(Raffles)
Berlakunya
pajak tanah
(Landrent)
1830
Pendudukan
Inggris Berakhir
Berlaku Sistem
Cultuurstelsel
oleh Van den
Bosch
1848
Diberlakukan UU Hk
Perdata Belanda
(Nederlands
Burgelijk WetboekBW)
Diberlakukannya
Agrarische Wet
untuk Jawa dan
Madura
Agrarische
Reglement untuk
mengatur hak milik
pribumi di luar
Jawa dan Madura
Agararisch Besluit
(keputusan
agraria) yang
hanya berlaku di
Jawa dan Madura
Lembaga pengatur
pertanahan :
Berdasarkan Ordonansi
Staatblad 1823 Nomor
164 dibentuk Kadastral
Dient
1942
1870
Jepang mengambil
alih kekuasaan
Diberlakukan
Osamu Sierei
nomor 2 Th 1942
tentang larangan
pemindahan hak
atas benda tetap/
tanah
Lembaga
pengatur
pertanahan : Jawatan
Pendaftaran Tanah di
bawah
Departemen
Kehakiman
3. Pasca Kemerdekaan
Dalam bidang keagrariaan selama masa penjajahan terdapat dualisme hukum agraria
yang berlaku yakni berdasarkan hukum adat yang melahirkan tanah hak milik adat, tanah
ulayat, tanah yayasan, tanah golongan dan sebagainya, serta berdasarkan hukum barat
(kolonial) yang melahirkan tanah hak eigendom (hak milik), tanah hak opstal, tanah hak
erfpacht, tanah hak gebruik (hak pakai), dan sebagainya. Terlepas dari penjajahan Jepang
(1945), Indonesia mendapatkan kemerdekaannya. Para pemimpin bangsa mulai memikirkan
untuk melakukan pembangunan hukum baru yang terlepas dari ketidakadilan hukum kolonial
termasuk hukum agraria kolonial.
Pemerintah Indonesia di bawah pemerintahan Presiden Soekarno membentuk panitia
Agraria yang mengalami beberapa kali pergantian, yakni Panitia Yogya (1948), Panitia
Agraria Jakarta (1951), Panitia Suwahyo (1955), Rancangan Soenarjo (1958), dan Rancangan
Soedjarwo (1960). Pembentukan panitia tersebut diusung untuk menghasilkan sebuah hukum
agraria yang berjiwa keindonesiaan. Setelah melalui proses selama 12 tahun, akhirnya
terbitlah Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
(biasa disebut UUPA) yang disahkan dan diundangkan sebagai induk dari hukum agraria
Indonesia. Dengan berlakunya UUPA, berarti telah dicabut segala peraturan hukum agraria
kolonial yang pernah berlaku di Indonesia.
Salah satu dasar pertimbangan dalam merumuskan UUPA ini adalah bahwa hukum
agraria tersebut harus pula merupakan pelaksanaan dari pada Dekrit Presiden tanggal 5 Juli
1959, ketentuan dalam pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 dan Manifesto Politik Republik
Indonesia, sebagai yang ditegaskan dalam pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1960, yang
mewajibkan negara untuk mengatur pemilikan tanah dan memimpin penggunaannya, hingga
semua tanah diseluruh wilayah kedaulatan bangsa dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat, baik secara perseorangan maupun secara gotong-royong.
Pada masa pasca kemerdekaan ini terdapat beberapa lembaga yang dibentuk untuk
mengatur bidang agraria di Indonesia yaitu :
1) Pada tahun 1951 1952 dibentuk Menteri Negara Urusan Agraria
2) Pada tahun 1955 berdasarkan Keppress No. 55 Tahun 1955 dibentuk Kementerian
Agraria
3) Pada tahun 1962 - 1963 Kementerian Agraria digabung menjadi Kementerian Pertanian
dan Agraria
4) Pada tahun 1964 Kementerian Agraria dihidupkan kembali
Berikut digambarkan riwayat perkembangan hukum agraria pada masa pasca
kemerdekaan Indonesia (Gambar 4) :
5. Zaman Reformasi
Jatuhnya pemerintahan Soeharto oleh gerakan reformasi pada tahun 1998 telah
menjadi tonggak untuk melakukan tinjauan terhadap peraturan agraria yang dianggap sudah
menyimpang karena dipergunakan sebagai instrumen kekuasaan. Tuntutan untuk melakukan
reforma agraria di Indonesia bermuara pada lahirnya Ketetapan MPR Nomor IX Tahun 2001
tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Lahirnya ketetapan
tersebut memberikan dasar bagi semua pihak untuk terus melakukan usahanya dalam
mewujudkan peraturan baru yang menggantikan peraturan yang ada sebelumnya.
Dalam Ketetapan MPR Nomor IX Tahun 2001 ditetapkan arahan kebijakan sebagai
berikut :
1) Melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai pengaturan perundangan yang berkaitan
dengan agraria dalam rangka sinkronisasi kebijakan antar sektor demi terwujudnya
peraturan perundangan yang didasarkan pada prinsip pembaharuan agraria dan
pengelolaan sumber daya alam.
2) Melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaa dan pemanfaatan
tanah (landreform) yang berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan tanah untuk
rakyat.
3) Menyelenggarakan pendataan pertanahan melalui inventarisasi dan registrasi penguasaan,
pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah secara komprehensif dan sistematis dalam
rangka pelaksanaan landreform.
4) Menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumber daya agraria yang timbul
selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik di masa mendatang guna
menjamin terlaksananya penegakan hukum dengan didasarkan atas prinsip pembaharuan
agraria dan pengelolaan sumber daya alam.
5) Memperkuat kelembagaan dan kewenangannya dalam rangka mengemban pelaksanaan
pembaharuan agraria dan menyelesaikan konflik-konflik sumber daya alam yang terjadi.
6) Mengupayakan dengan sungguh-sungguh pembiayaan dalam melaksanakan program
pembaharuan agraria dan penyelesaian konflik-konflik sumber daya alam yang terjadi.
Ketetapan MPR tersebut di atas memberikan arti penting bagi peraturan keagrariaan
di Indonesia pada masa mendatang. Pada zaman reformasi ini terdapat beberapa lembaga
yang dibentuk untuk mengatur bidang agraria di Indonesia yaitu :
1) Pada tahun 1999 ditetapkan Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) dirangkap Menteri
Dalam Negeri
2) Pada tahun 2006 dibentuk BPN yang dipimpin oleh Kepala BPN
3) Pada tahun 2015 berdasarkan Perpres 17 tahun 2015 dibentuk Kementerian Agraria dan
Tata Ruang
Berikut digambarkan sejarah perkembangan hukum agraria pada zaman reformasi
(Gambar 6) :
10
14
15
Bentuk tumpang tindih antara UUPA dan UU Kehutanan dapat digambarkan pada
gambar berikut (Gambar 8) :
16
Bentuk tumpang tindih antara UUPA dan UU Kehutanan dapat digambarkan pada gambar
berikut (Gambar 9) :
17
UU POKOK-POKOK AGRARIA
Pasal 29
Hak guna usaha diberikan untuk waktu
paling lama 25 tahun
Untuk perusahaan yang memerlukan waktu
yang lebih lama dapat diberikan hak guna
usaha untuk waktu paling lama 35 tahun
Atas permintaan pemegang hak dan
mengingat keadaan perusahaannya jangka
waktu yang dimaksud dalam ayat 1 dan 2
pasal ini dapat diperpanjang dengan waktu
paling lama 25 tahun
UU POKOK-POKOK AGRARIA
Pasal 29
Hak pakai dapat diberikan selama jangka
waktu yang tertentu atau selama tanahnya
dipergunakan untuk keperluan yang tertentu
Dapat disimpulkan bahwa pengaturan perolehan hak atas tanah bagi penanam modal
dalam hal penetapan hak-hak, perpanjangan dan pembatalan hak tidak mengacu pada
UUPA.
Penetapan hubungan hukum antara orang dengan bumi, air dan ruang angkasa (hutan,
tambang, laut dsb) seharusnya merupakan yurisdiksi UUPA. Undang-Undang Kehutanan,
Minerba dan SDA lainnya seharusnya mempunyai batas kewenangan hanya dalam
pengaturan pemanfaatan sumber daya alam yang menjadi kewenangannya.
Menurut Prof. DR. Maria SW. Sumardjono, SH., MCL., MPA, bahwa dalam
menyelesaikan permasalahan tumpang tindih peraturan yang terkait dengan keagrariaan
adalah dengan membentuk suatu kementerian yang mempunyai tugas pokok dan fungsi
mengkoordinasikan kebijakan dan peraturan perundang-undangan di bidang sumber daya
alam dan penerapannya.
18
E. Administrasi Pertanahan
Untuk memudahkan penyelenggaraan pengelolaan pertanahan, diperlukan
penyelenggaraan administrasi pertanahan yang baik. Beberapa definisi administrasi
pertanahan menurut beberapa sumber:
1. S.E. Nichols ( University of New Brunswick):
Land administration is concerned with the management of land tenure system, including
arrangement for monitoring and enforcing many of the law and regulations affecting
tenure (Rizal Anshari, 2007).
2. Final report Proyek Administrasi Pertanahan bagian C Bappenas dan BPN:
Land administration is the management of the land tenure system (Rizal Anshari,
2007).
3. United Nations:
Land Administration is the process of determining recording and disseminating
information about the ownership, value and use of land implementing land management
policies (Rizal Anshari, 2007).
4. Dale and Mc. Laughlin :
The processes of land administration include the regulating of land and property
development, the use and conservation of the land, the gathering of revenues from the
land through sales, leasing and taxation, and the resolving of conflicts concerning the
ownership and use of land.
Sasaran administrasi pertanahan adalah:
1. Untuk setiap bidang tanah tersedia catatan mengenai aspek-aspek ukuran fisik,
penguasaan, penggunaan, jenis hak dan kepastian hukumnya, yang dikelola dalam sistem
informasi pertanahan yang lengkap.
2. Terdapat mekanisme prosedur/tata cara kerja pelayanan di bidang pertanahan yang
sederhana, cepat dan murah, namun tetap menjamin kepastian hukum, yang dilaksanakan
secara tertib dan konsisten.
3. Penyimpanan warkah-warkah yang berkaitan dengan pemberian hak.
4. Pensertipikatan tanah telah dilakukan secara tertib, beraturan dan terjamin keamanannya.
Ada tiga kunci kepentingan atas tanah yang harus dikelola oleh setiap negara, yaitu
tenure, value, dan use (Dale dan McLaughlin, 1999) (Gambar 10) :
Terdapat saling ketergantungan antara ketiga kepentingan atas tanah tersebut, dan
masing-masing mempunyai arti penting bagi individu maupun negara. Bagaimana individu
menggunakan tanah yang mereka kuasai sama pentingnya dengan bagaimana dan pada harga
berapa mereka dapat menjual atau membelinya. Sedangkan untuk penggunaannya akan diatur
oleh pemerintah. Sedangkan nilai tanah sendiri akan tergantung kepada status
kepemilikannya dan penggunaan apa saja yang dapat diterapkan terhadap tanah tersebut.
Dari ketiga atribut tanah tersebut, komponen-komponen administrasi pertanahan
mempunyai peran yang dominan. Dalam hal kepemilikan, komponen juridikal akan berperan,
karena kadaster juridical merupakan penyokong sistem pendaftaran tanah. Dihubungkan
dengan nilai tanah, diketahui bahwa nilai akan berkorelasi dengan status kepemilikan tanah
yang diperjualbelikan. Sedangkan untuk penilaian dan pemajakannya merupakan
tanggungjawab komponen kadaster fiskal. Komponen regulator akan berperan dalam
pengembangan dan penggunaan (use) tanah, misalnya mengenai zoning serta informasi lain
yang berhubungan dengan penegakan peraturan. Dan akhirnya semua komponen saling
mendukung dalam meningkatkan pembangunan di suatu negara.
Dalam meningkatkan pembangunan, peran administrasi pertanahan dapat mendukung
dalam penyediaan informasi pertanahan. Administrasi pertanahan harus mampu memainkan
peran penting dalam infrastruktur pembangunan yang berkelanjutan. Dalam konteks ini
pembangunan berkelanjutan mengandung arti pembangunan yang dapat secara efektif
menggabungkan faktor-faktor ekonomi, sosial, politik, konservasi, serta manajemen sumber
daya dalam pembuatan keputusan pembangunan. Untuk itu diperlukan informasi yang
relevan dan akurat. Peran penting administrasi pertanahan diperlukan dalam hal ini bersamasama dengan teknologi informasi, infrastruktur data spasial, sistem kadaster multi guna, dan
sistem bisnis informasi pertanahan.
Peran administrasi pertanahan dalam mendukung infrastruktur pembangunan yang
berkelanjutan dapat digambarkan dalam diagram berikut (Gambar 11) :
20
21
Komponen administrasi pertanahan dalam mendukung pembangunan yang berkelanjutan meliputi Land Tenure, Land Value, Land Use
dan Land Development beserta gambaran kegiatan dan lembaga yang berwenng dalam pengaturannya digambarkan melalui diagram berikut :
Land Tenure
(Penguasaan Tanah)
Pemberian Hak-Hak
Atas Tanah
Pelaksanaan
Pendaftaran dan
Peralihan Hak Atas
Tanah
Survei dan Pengukuran
Bidang Tanah
Penyelesaian Konflik
Pertanahan
Land Value
(Penilaian Tanah)
Land Use
(Penggunaan Tanah)
Penilaian Tanah
Penetapan Pajak
Tanah dan Bangunan
Pengaturan Penggunaan
Tanah (Pertanian,
Kehutanan, Non Pertanian
dan Non Kehutanan)
melalui Perencanaan Tata
Ruang (RTRWN, RTRWP,
RTRWK)
Land Development
(Pengembangan Tanah)
Pembangunan
Infrastruktur
Perubahan
Penggunaan Tanah
Izin Lokasi
Pengadaan Tanah
Bappenas
Kementerian PU dan
Perumahan Rakyat
Kementerian Agraria &
Tata Ruang /BPN
Pemerintah Daerah
Gambar 12. Empat (4) komponen administrasi pertanahan dalam mendukung pembangunan berkelanjutan
22
F. Pengadaan Tanah
1. Definisi Pengadaan Tanah
Pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum dilaksanakan
berdasarkan UU no. 2/2012. Pengadaan tanah untuk kepentingan umum menurut UU No.
2/2011 adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak
dan adil kepada pihak yang berhak. Pihak yang Berhak adalah pihak yang menguasai atau
memiliki objek pengadaan tanah. Dalam proses pengadaan tanah dilakukan kegiatan
pelepasan hak orang yang memiliki tanah.
Pelepasan Hak menurut UU No. 2/2011 adalah kegiatan pemutusan hubungan hukum
dari pihak yang berhak kepada negara melalui Lembaga Pertanahan, yaitu Badan Pertanahan
Nasional. Pemegang hak atas tanah wajib melepaskan tanahnya pada saat pelaksanaan
pengadaan tanah untuk kepentingan umum setelah pemberian ganti kerugian atau
berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Ganti rugi adalah penggantian terhadap kerugian baik bersifat fisik dan/atau non fisik
sebagai akibat pengadaan tanah kepada yang mempunyai tanah, bangunan, tanaman, dan/atau
benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah yang dapat memberikan kelangsungan hidup
yang lebih baik dari tingkat kehidupan sosial ekonomi sebelum terkena pengadaan tanah.
Lembaga/Tim Penilai Harga Tanah adalah lembaga/tim yang profesional dan
independen untuk menentukan nilai/harga tanah yang akan digunakan sebagai dasar guna
mencapai kesepakatan atas jumlah/besarnya ganti rugi
2. Tujuan Pengadaan Tanah
Pengadaan tanah dilakukan dengan tujuan menyediakan tanah bagi pelaksanaan
pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran bangsa, negara, dan
masyarakat dengan tetap menjamin kepentingan hukum pihak yang berhak.
3. Dasar Hukum Pengadaan Tanah
Dasar hukum mengenai kegiatan pengadaan tanah yaitu :
a. UU No. 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum
b. Perpres No.71 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
c. Perpres No. 99 Tahun 2014 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Perpres No.71
Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum
d. Perpres No. 30 Tahun 2015 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Perpres No.71
Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum
e. Permen Agraria dan Tata ruang / BPN No. 6 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas
Peraturan KaBPN No. 5 Tahun 2012 Tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengadaan
Tanah
f. Peraturan Menteri Keuangan No. 13-PMK.02-2013 Tentang Biaya Operasional dan Biaya
Pendukung Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum yang Bersumber dari APBN
23
g. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 72 Tahun 2012 Tentang Biaya Operasional dan
Biaya Pendukung Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum yang Bersumber dari APBD
4. Obyek Pengadaan Tanah
Yang menjadi obyek pengadaan tanah adalah tanah, ruang atas tanah dan bawah
tanah, bangunan, tanaman, benda yang berkaitan dengan tanah, atau lainnya yang dapat
dinilai. Khusus mengenai definisi ruang atas tanah dan bawah tanah adalah ruang yang ada di
bawah permukaan bumi dan/atau ruang yang ada di atas permukaan bumi sekedar diperlukan
untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah.
Batasan luas obyek pengadaan tanah adalah 5 Ha. Untuk luas objek pengadaan tanah
di bawah 5 Ha dapat dilakukan langsung oleh instansi yang memerlukan tanah dengan para
pemegang hak atas tanah mengikuti prosedur pengadaan tanah (Pasal 1 Peraturan Presiden
No. 40 Tahun 2014). Pengadaan tanah secara langsung adalah dengan cara jual beli atau tukar
menukar atau cara lain yang disepakati kedua belah pihak. Tanah yang menjadi objek
pengadaan tanah terdiri dari :
- Tanah milik masyarakat umum dan swasta
- Tanah milik instansi pemerintah dan pemerintah daerah
- Tanah milik BUMN/BUMD
- Tanah kas desa
Pengadaan tanah untuk kepentingan umum dilaksanakan berdasarkan asas
kemanusiaan, keadilan, kemanfaatan, kepastian, keterbukaan, kesepakatan, keikutsertaan,
kesejahteraan, keberlanjutan, dan keselarasan.
Yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah kepentingan bangsa, negara, dan
masyarakat yang harus diwujudkan oleh pemerintah dan digunakan sebesar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat dan hanya dapat digunakan untuk pembangunan:
a. pertahanan dan keamanan nasional;
b. jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur kereta api, stasiun kereta api, dan fasilitas
operasi kereta api;
c. waduk, bendungan, bendung, irigasi, saluran air minum, saluran pembuangan air dan
sanitasi, dan bangunan pengairan lainnya;
d. pelabuhan, bandar udara, dan terminal;
e. infrastruktur minyak, gas, dan panas bumi;
f. pembangkit, transmisi, gardu, jaringan, dan distribusi tenaga listrik;
g. jaringan telekomunikasi dan informatika Pemerintah;
h. tempat pembuangan dan pengolahan sampah;
i. rumah sakit Pemerintah/Pemerintah Daerah;
j. fasilitas keselamatan umum;
k. tempat pemakaman umum Pemerintah/Pemerintah Daerah;
l. fasilitas sosial, fasilitas umum, dan ruang terbuka hijau publik;
m. cagar alam dan cagar budaya;
n. kantor Pemerintah/Pemerintah Daerah/desa;
o. penataan permukiman kumuh perkotaan dan/atau konsolidasi tanah, serta perumahan
untuk masyarakat berpenghasilan rendah dengan status sewa;
24
tenure,especially the distribution of land ownership, thereby achieving the objective of more
equality. Jadi inti dari kegiatan landreform adalah redistribusi tanah, sebagai upaya
memperbaiki struktur penguasaan dan pemilikan tanah di tengah masyarakat, sehingga
kemajuan ekonomi dapat diraih dan lebih menjamin keadilan.
2. Tujuan Landreform
Tujuan landreform yang diselenggarakan di Indonesia adalah untuk mempertinggi
penghasilan dan taraf hidup para petani terutama petani kecil dan petani penggarap tanah,
sebagai landasan atau prasyarat untuk menyelenggarakan pembangunan ekonomi menuju
masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan pancasila.
3. Program Landreform
Sesuai dengan tujuan tersebut di atas dan mengingat situasi dan kondisi agraria di
Indonesia, maka program landreform meliputi :
1) Larangan penguasaan tanah melebihi batas maksimum;
2) Larangan pemilikan tanah secara guntai/absentee;
3) Redistribusi tanah-tanah yang selebihnya dari batas maksimum, tanah-tanah yang terkena
larangan absentee, tanah-tanah bekas Swapraja dan tanah-tanah Negara;
4) Pengaturan soal pengembalian dan penebusan tanah-tanah pertanian yang digadaikan;
5) Pengaturan kembali perjanjian bagi hasil tanah pertanian; dan
6) Penetapan luas minimum pemilikan tanah pertanian dan larangan melakukan perbuatanperbuatan yang menyebabkan terpecahnya pemilikan tanah-tanah pertanian menjadi
bagian-bagian yang terlampau kecil.
4. Dasar Hukum Landreform
Dasar pelaksanaan program landreform di Indonesia berdasarkan peraturan dan
program pemerintah saat ini yaitu :
1) UUD 1945 Pasal 33
2) TAP MPR RI No. IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria (Reforma Agraria) dan
Pengelolaan Sumber Daya Alam
3) UU No. 2/1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian;
4) Undang-undang No. 56/Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian
(Lembaran Negara Tahun 1960 No. 174, Tambahan Lembaran Negara No. 2117);
5) PP No. 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti
Kerugian (Lembaran Negara Tahun 1961 No. 280, Tambahan Lembaran Negara
6) Nomor 2702);
7) PP No. 41/1964 tentang Perubahan dan tambahan PP No. 224/1961;
8) PP No. 4/1977 tentang Pemilikan Tanah Pertanian secara Guntai (Absentee) Bagi Para
Pensiunan Pegawai Negeri;
9) Peraturan Menteri Dalam Negeri (PMDN) No. 15/1974 tentang Pedoman Tindak Lanjut
Pelaksanaan Landreform;
10) Inpres No. 13 tahun 1980 tentang Pedoman Pelaksanaan UU no. 2/1960;
11) Keppres No. 54/1980 tentang Kebijaksanaan Pencetakan Sawah;
26
12) Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 11 Tahun
1997 Tentang Penertiban Tanah-tanah Obyek Redistribusi Landreform
13) Peraturan Kepala BPN No. 3/1991 tentang Pengaturan Penguasaan Tanah dan Obyek
Landreform Secara Swadaya;
14) Keputusan Bersama Menteri Pertanian dan Kepala BPN No. 515/Kpts/HK.060/9/2004
dan No.2/SKB/BPN/2004 Tentang Pelaksanaan Program Persertipikatan Tanah Dalam
Rangka Pemberdayaan Petani Untuk Mendukung Pembangunan Pertanian
15) Program Nawacita Presiden RI Jokowi, Program Indonesia Kerja dan Indonesia
Sejahtera Melalui Rfeormasi Agraria 9 Juta Ha untuk Rakyat Tani dan Buruh Tani,
Rumah Susun Bersubsidi dan Jaminan Sosial.
5. Obyek Landreform
Obyek landreform adalah tanah-tanah yang terkena ketentuan peraturan perundangundangan landreform sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 1 Peraturan Pemerintah
Nomor 224 Tahun 1961 yaitu :
a. Tanah Kelebihan Maksimum
b. Tanah Absentee
c. Tanah Swapraja dan Bekas Swapraja
d. Tanah-tanah Negara lainnya.
6. Reforma Agraria
Agrarian reform, atau adakalanya disebut reforma agraria dan pembaruan agraria
(istilah resmi sebagaimana tercantum dalam Tap MPR No. IX tahun 2001), memiliki
pengertian yang lebih luas, yang mencakup dua tujuan pokok yaitu bagaimana mencapai
produksi yang lebih tinggi, dan bagaimana agar lebih dicapai keadilan (Cohen, 1978).
Dalam konteks pembaruan agraria, peningkatan produksi tidak akan mampu dicapai
secara optimal apabila tidak didahului oleh landreform. Sementara, keadilan juga tidak
mungkin dapat dicapai tanpa landreform. Jadi, landreform tetaplah menjadi langkah dasar
yang menjadi basis pembangunan pertanian dan pedesaan. Dalam pembaruan agraria
tercakup permasalahan redistribusi tanah, peningkatan produksi dan produktifitas,
pengembangan kredit untuk pertanian, pajak lahan, hubungan penyakapan dan regulasi baru
sistem pengupahan buruh tani, dan konsolidasi tanah.
Reforma Agraria dimaknai sebagai asset reform ditambah dengan access reform.
Asset reform. Land Reform atau Asset Reform merupakan proses distribusi atau redistribusi
tanah untuk menata kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah
(P4T) berdasarkan hukum dan perundang-undangan pertanahan. Acces Reform adalah proses
penyediaan akses bagi penerima manfaat Reforma Agraria (subyek) terhadap segala hal yang
memungkinkan mereka untuk mengembangkan tanahnya sebagai sumber kehidupan seperti
partisipasi ekonomi, politik, modal, pasar, teknologi, pendampingan, peningkatan kapasitas
dan kemampuan.
27
Penerima manfaat adalah petani miskin atau petani penggarap yang tidak memiliki
tanah seperti yang dimaksud dalam PP No 224 Tahun 1961 pasal 8 dan 9. Masyarakat atau
petani tersebut memiliki kewajiban untuk :
a. Meningkatkan hasil produksi
b. Membayar ganti rugi pada pemerintah (jika bukan tanah negara)
c. Memanfaatkan tanah secara optimal
Kegiatan Reformasi Agraria telah menjadi dasar dan sekaligus pemacu perwujudan
tujuan dan strategi pembangunan bangsa. Adapun tujuan Reformasi Agraria, yaitu :
1) Menata ulang ketimpangan struktur P4T kearah yang lebih berkeadilan
2) Mengurangi kemiskinan
3) Menciptakan lapangan kerja
4) Mengurangi sengketa dan konflik pertanahan
5) Memperbaiki akses rakyat kepada sumber-sumber ekonomi terutama tanah
6) Meningkatkan ketahanan pangan dan energi rumah tangga
7) Memperbaiki dan menjaga kualitas lingkungan hidup
Berikut gambaran konsep reforma agraria di Indonesia (Gambar 13) :
28
REDISTRIBUSI
FASILITASI
ASET REFORM
AKSES REFORM
REFORMA
AGRARIA
Dasar Hukum
Pancasila
UUD 1945
UUPA
UU 56/60
Program Pemerintah
Peraturan PerUU lainnya
Daftar Pustaka
Arnowo, Hadi dan Waskito. 2015. Cara Praktis Memahami Bidang Agraria (Pertanahan).
Badan Pertanahan Nasional, Direktorat Landreform. 2009. Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan
Lubis, Muhammad Yamin dan Lubis, Abdul Rahim. 2011. Pencabutan Hak, Pembebasan,
dan Pengadaan Tanah.
30