PENDAHULUAN
I.1
Banjir merupakan hal yang biasa terjadi di Negara yang memiliki curah hujan tinggi
seperti Indonesia.Untuk menanggulangi bahaya banjir, diperlukan perencanaan yang
teleti dan mendetail agar ketika terjadi banjir, tidak terjadi bencana yang merugikan
bagi masyarakat sekitar.Selain itu, dewasa ini banyak terjadi alih fungsi lahan dari
lahan hijau menjadi permukiman, sehingga menyebabkan penyerapan air hujan
kedalam tanah berkurang, sehingga hujan yang tadinya tidak berpotensi banjir
menjadi banjir. Agar upaya pencegahan banjir bisa maksimal , diperlukan suatu
metode analisis banjir yang akurat dan bisa disesuaikan dengan perubahan tata guna
lahan yang terjadi. Perubahan tata guna lahan mendasari perlunya modifikasi
terhadap metode dan pendekatan analisis yang terkait dengan air agar pendekatan
lebih akurat.Metoda yang sering digunakan di Indonesia untuk menghitung debit
banjir diantaranya adalah metode ITB 1 dan ITB 2.
I.2
RUMUSAN MASALAH
Perubahan tata guna lahan mendasari perlunya modifikasi terhadap metode dan
pendekatan analisis yang terkait dengan air agar pendekatan lebih akurat.Metoda
yang sering digunakan di Indonesia untuk menghitung debit banjir diantaranya adalah
metode ITB 1 dan ITB 2. Pada Metode ITB 1 dan ITB 2, parameter tata guna lahan
tidak diperhitungkan dalam perhitungan debit aliran. Sementara itu pada metode
lainnya seperti metode SCS, tata guna lahan menjadi suatu parameter yang sensitif
untuk menghitung debit aliran. Dalam penelitian ini, parameter tata guna lahan milik
1
metode SCS akan ditambahkan pada perhitungan debit puncak pada metode ITB 1
dan ITB 2 untuk dianalisis pengaruhnya terhadap perubahan debit banjir.
I.3
MAKSUD PENELITIAN
Menerapkan metode ITB 1 dan ITB 2 dengan Harga Kp (Faktor Debit Puncak) yang
dihitung Secara eksak dan Numerik serta menambahkan parameter tata guna lahan
milik SCS dan melakukan permodelan debit banjir di wilayah kajian.
I.4
TUJUAN PENELITIAN
PEMBATASAN MASALAH
I.6
I.7
SISTEMATIKA PENULISAN
BAB 2
GAMBARAN UMUM WILAYAH KAJIAN
I.8
Daerah aliran sungai Ciliwung Hulu memiliki beberapa outlet, dalam penelitian ini
outlet yang digunakan adalah outlet Katulampa, berada di kelurahan Katulampa,
Kecamatan Bogor Timur, Kota Bogor. Luas DAS Ciliwung Hulu, 16375 ha dengan
panjang total sungai mencapai kira-kira 96,25 km. Secara geografis DAS ini terletak
pada 635'-650' LS dan 10630'-10705' BT. Aliran sungai Ciliwung pada sub-DAS
Ciliwung hulu melalui tiga wilayah Kecamatan yaitu Kecamatan Cisarua, Ciawi, dan
Kedung halang. Wilayah sub-DAS Ciliwung dibatasi oleh wilayah wilayah:
Sub-DAS Cisadane hulu, sebelah Selatan dan Barat
Sub-DAS Cibeet, sebelah Utara
Sub-DAS Citarum, sebelah Timur Sungai-sungai di DAS Ciliwung hulu umumnya
mengalir dari timur ke barat yang berasal dari gunung Mandalawangi, gunung Gede
dan gunung Pangrango. DAS Ciliwung hulu berada pada ketinggian 333 3002
meter dari permukaan laut. Menurut daerah tangkapannya DAS Ciliwung hulu terbagi
atas 4 sub-DAS yaitu:
Sub-DAS Ciesek
Sub-DAS Ciliwung Hulu
Sub-DAS Cibogo Cisarua
Sub-DAS Ciseuseupan Cisukabirus 28
Wilayah sub-DAS Ciliwung mencakup tiga Kecamatan di Kabupaten Bogor dan satu
Kecamatan di Kodya Bogor, yaitu: Kecamatan Cisarua, Kecamatan CiaKecamatan
Kedung halang, dan Kota Bogor Timur.
Untuk gambaran lebih jelasnya, peta DAS Ciliwung Hulu seperti pada sedangkan
data karakteristik seperti pada
berikut :
I.8.3
Pada penelitian ini, digunakan peta tata guna lahan DAS Ciliwung Hulu tahun 2006
dan 2010, Kondisi tata guna lahan secara umum di wilayah pekerjaan meliputi:
persawahan, perkebunan, hutan, semak belukar, pemukiman dan sebagainya. Peta tata
guna lahan didapat dari Bakosurtanal dengan skala 1 : 250.000 dan juga dalam bentuk
peta digital dalam file Autocad (Peta Tahun 2001), Peta ini digunakan untuk
mengetahui kondisi dari tata guna lahan di daerah Studi. Kondisi data dari wilayah
tersebut cukup lengkap pada Gambar 2.2. Secara umum kondisi tata guna lahan di
DAS Katulampa masih didominasi oleh hutan, di DAS ini juga terdiri atas sawah,
belukar dan tegalan serta pemukiman.
Gambar 2.2Peta Tata Guna Lahan DAS Ciliwung Hulu Tahun 2006
Gambar 2.3Peta Tata Guna Lahan DAS Ciliwung Hulu Tahun 2010
I.8.4
Kondisi jenis tanah di wilayah studi didapat dengan menginterpretasi peta jenis tanah
yang di dapat dari Laporan Cisadane-Cimanuk Integrated Water Resources
Development (BTA-155), volume VII Appendix Hydrology dan Volume IX Appendix
Erosion. (1989). Kondisi jenis tanah perlu untuk diketahui untuk pemodelan dalam
program HEC-HMS, dimana dari jenis tanah ini dapat diperoleh golongan tanah
untuk mendapatkan suatu nilai CN (Curve Number) di lokasi yang ditinjau.
Karakteristik dari tanah ini, dalam artian tekstur dan struktur tanah, mempengaruhi
penyebaran pori-pori tanah yang akan berpengaruh pula pada infiltrasi. Tekstur
menentukan besar kecilnya pori yang menyebabkan perbedaan kapasitas infiltrasi,
sedangkan struktur tanah sangat dipengaruhi oleh agregat partikel-partikel tanah.
Jenis tanah di daerah studi di dominasi oleh Litosol dan kompleks regosol abu-abu,
andosol coklat kekuning-kuningan, latosol coklat hitam kemerah-merahan dan
regosol abu-abu dan asosiasi latosol coklat.Sedangkan texture, drainase dan
permeabilitynya dapat dilihat pada Tabel 2.4Jenis Tanah Di Daerah Studi
10
I.8.5
KETERSEDIAAN DATA
Data Hujan
Data hujan yang berhasil dikumpulkan dalam mengestimasi ketersediaan air di
beberapa titik potensi waduk DAS Ciliwung hulu adalah data hujan bulanan dari
stasiun hujan yang berada disekitarnya baik di dalam area DAS maupun luar DAS
dengan jarak yang relatif berdekatan sebanyak 19 pos hujan. Data hujan tersedia
selama rntang waktu 28 tahun dari tahun 1982 2010.Beberapa pos hujan yang
cukup jauh dari lokasi pekerjaan tidak dimasukkan dalam perhitungan namun
dijadikan pertimbangan dalam pembuatan isohit/poligon Thiesen.Daftar pos hujan
tersebut seperti disajikan pada Tabel 2.5 Daftar Pos Hujan di Sekitar DAS Ciliwung
Hulu
11
12
muka air Jam jaman Januari 2006, untuk data bulan Februari sampai dengan
Desember disajikan di Lampiran -1.
Tabel 2.7 Data elevasi muka air Jam jaman Januari 2006
I.9
DAS BALANGAN
14
I.9.3
Pada penelitian ini, digunakan peta tata guna lahan Balangan tahun 2006 dan 2010,
Kondisi tata guna lahan secara umum di wilayah pekerjaan meliputi: persawahan,
perkebunan, hutan, semak belukar, pemukiman dan sebagainya. Peta tata guna lahan
didapat dari Bakosurtanal dengan skala 1 : 250.000 dan juga dalam bentuk peta
digital dalam file Autocad Peta ini digunakan untuk mengetahui kondisi dari tata guna
lahan di daerah Studi. Kondisi data dari wilayah tersebut cukup lengkap pada Gambar
2.5. Secara umum kondisi tata guna lahan di DAS Balangan disajikan pada Tabel 2.8
dan Tabel 2.9berikut :
15
16
I.9.4
KETERSEDIAAN DATA
Data hujan yang tersedia adalah data hujan dari stasiun duga air Juai, data hujan
tersedia dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2014, perhitungan hujan maksimalnya
adalah sebagai berikut :
Tabel 2.10 Data Curah Hujan Maksimum Sta. Juai tahun 2004 - 2014
17
TINJAUAN PUSTAKA
dan transpirasi. Pemanasan air laut oleh sinar matahari merupakan kunci proses siklus
hidrologi tersebut dapat berjalan secara terus menerus.Air yang berada di atmosfer
mengalami kondensasi membentuk awan, kemudian menjadi hujan atau disebut
presipitasi. Hujan dari atmosfer tidak semuanya akan sampai ke bumi karena ada
sebagian akan berkondensasi kembali (virga), sebagian lagi hujan ada yang tertahan
oleh permukaan vegetasi pada suatu lahan (intersepsi). Air hujan yang sampai ke
permukaan tanah sebagian akan masuk ke dalam tanah (infiltrasi) sebagian lagi akan
menjadi aliran permukaan (run off). Air yang masuk ke dalam tanah mengisi air tanah
(ground water) mengalir secara perlahan-lahan di dalam tanah kemudian keluar dari
tanah di tempat-tempat yang lebih rendah.Air tersebut kemudian mengalami
penguapan (evaporasi) dan pada tumbuhan disebut transpirasi. Air yang menguap ini
akan menuju ke atmosfer kembali.
Menurut Sosrodarsono dan Takeda (2006) sebagian air hujan yang sampai ke
permukaan tanah akan masuk ke dalam tanah (infiltrasi). Sisanya yang tidak
terinfiltrasi akan mengisi permukaan tanah, kemudian mengalir ke daerah-daerah
yang rendah, masuk ke sungai-sungai dan akhirnya sampai ke laut. Tidak semua air
yang mengalir akan sampai ke laut. Dalam perjalanan ke laut sebagian akan menguap
dan kembali ke udara. Sebagian air yang masuk ke dalam tanah keluar melalui sungai
(interflow). Tetapi sebagian besar akan tersimpan sebagai air tanah (groundwater)
yang akan keluar ke permukaan tanah melalui daerah yang lebih rendah
(groundwater run off) sedikit demi sedikit dalam jangka waktu yang lama.
I.11 Aliran Permukaan
Aliran permukaan (run off) adalah bagian dari air hujan yang mengalir di atas
permukaan tanah (Murtiono 2008). Air hujan yang menjadi run off sangat bergantung
kepada intensitas hujan, penutupan tanah, dan ada tidaknya hujan yang terjadi
19
sebelumnya (kadar air tanah sebelum terjadinya hujan). Kadar air tanah sebelum
terjadinya hujan biasa disebut AMC (Antecedent Moisture Content).
Jumlah dan kecepatan aliran permukaan selain bergantung kepada luas areal
tangkapan, juga yang tidak kalah pentingnya kepada koefisien run off dan intensitas
hujan maksimum. Aliran permukaan dengan jumlah dan kecepatan yang besar sering
menyebabkan pemindahan atau pengangkutan massa tanah secara besar-besaran.
Inilah yang sering diistilahkan dengan banjir. Banjir ini meluapkan sedimentasi
depresi alami, saluran-saluran, anak-anak sungai, sungai-sungai, dan selanjutnya
waduk-waduk
Menurut Arsyad (2010) faktor-faktor yang mempengaruhi aliran permukaan adalah:
1.
2.
Temperatur
3.
4.
5.
6.
I.12 Infiltrasi
Menurut ilmu hidrologi, infiltrasi merupakan aliran air ke dalam tanah melalui
permukaan tanah.Didalam infiltrasi dikenal dua istilah yaitu kapasitas infiltrasi dan
laju infiltrasi, yang dinyatakan dalam mm/jam.Kapasitas infiltrasi adalah laju
infiltrasi maksimum yang ditentukan oleh jenis tanah dimana terjadinya ilfiltrasi,
sedangkan lajua infiltrasi adalah kecepatan infiltrasi yang nilainya tergantung pada
kondisi tanah dan kapasitas hujan. Suatu tanah dalam kondisi kering memiliki daya
serap yang tinggi sehingga laju infiltrasi semakin besar, dan akan berkurang perlahanlahan apabila tanah tersebut jenuh terhadap air.
Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi laju infiltrasi yaitu kedalaman genangan
dan tebal lapisan jenuh, kelembaban tanah, pemampatan oleh hujan, penyumbatan
oleh butir halus, tanaman penutup, topografi, dan intensitas hujan.
Kedalaman genangan dan tebal lapisan jenuh
Dapat dipahami pada saat awal turunnya hujan, penyerapan air oleh tanah (laju
infiltrasi) terjadi dengan cepat.Sehingga semakin dalam genangan dan tebal lapisan
jenuh maka laju infiltrasi semakin berkurang.
Kelembaban tanah
Semakin lembab kondisi suatu tanah, maka laju infiltrasi akan semakin berkurang
karena tanah tersebut semakin dekat dengan keadaan jenuh.
Pemampatan oleh hujan dan penyumbatan oleh butir halus
Pemampatan tanah oleh hujan adalah keadaan turunnya hujan membuat tanah
semakin
padat.Sehingga
pori-pori
tanah
mengecil,
dan
menghambat
laju
infiltrasi.Butiran halus yang terbentuk pada saat tanah kering juga menghambat laju
infiltrasi karena pada saat terjadinya hujan, butiran tersebut masuk kedalam tanah dan
memperkecil pori-pori tanah.
Tanaman penutup
21
Banyaknya tanaman seperti rumput dan pohon-pohon besar yang terdapat pada
daerah terjadinya hujan dapat memperbesar laju infiltrasi. Karena biasanya pada
tanah seperti ini banyak terdapat tanah humus dan sarang serangga.Sehingga
membantu masuknya air kedalam tanah.
Topografi dan intensitas hujan
Topografi adalah keadaan pemukaan/ kontur tanah, dan intensitas hujan adalah
besarnya hujan yang turun dalam satuan waktu.Apabila hujan yang turun besar dan
topografi tanah terjal, maka laju infiltrasi kecil. Karena topografi yang terjal akan
mengalirkan air dengan cepat sehingga waktu infiltrasi kurang. Begitu juga
sebaliknya, topografi yang landai bahkan datar dapat menghasilkan ilfiltrasi lebih
besar.
Kapasitas infiltrasi dapat diukur dengan menggunakan infiltrometer dan analisis
hidrograf. Infiltrometer ini dibedakan menjadi dua macam yaitu infiltrometer
genangan dan simulator hujan (rainfall simulators)
I.13 Daerah Aliran Sungai
Daerah aliran sungai (DAS) merupakan suatu wilayah daratan yang dipisahkan oleh
pemisah alam topografi seperti punggungan bukit atau gunung, yang menerima,
menampung dan mengalirkan air hujan melalui suatu jaringan sungai utama ke suatu
outlet, yaitu laut/danau (Asdak 2002).
Menurut Asdak (2002) DAS mempunyai karakteristik yang spesifik dalam
hubungannya dengan jenis tanah, tataguna lahan, topografi, kemiringan dan panjang
lereng.Karakter DAS tersebut dalam merespon curah hujan yang jatuh di tempat
tersebut dapat memberikan pengaruh terhadap besar kecilnya evapotranspirasi,
infiltrasi, perkolasi, laju aliran permukaan, aliran permukaan, kandungan air tanah,
dan aliran sungai.
22
Suatu DAS dapat dianggap sebagai ekosistem yang saling terkait antara ekosistem
alam dengan ekosistem buatan manusia, dimana manusia dengan segala aktivitasnya
akan mempengaruhi tanggapan atau respon DAS terhadap input air hujan yang jatuh
di dalam DAS. Aktivitas manusia tersebut merupakan manifestasi dari tindakan
pengelolaan terhadap sumber daya alam yang ada di dalamnya baik vegetasi, tanah
maupun air dalam rangka pengelolaan DAS (Murtiono 2002).
Komponen biotik maupun abiotik dalam ekosistem DAS sangat berpengaruh terhadap
perubahan siklus hidrologi. Jika ekosistem DAS mengalami perubahan, maka
komponen-komponen dalam siklus hidrologi juga akan berubah. Perubahan
ekosistem DAS umumnya diakibatkan oleh aktivitas manusia dalam upaya
penggunaan lahan yang ada dalam suatu DAS.Bertambahnya jumlah manusia
menuntut bertambahnya kebutuhan manusia terhadap lahan.Hal inilah yang menjadi
dasar utama terjadinya perubahan penggunaan lahan (Murtiono 2008).
Perubahan penggunaan lahan dampaknya akan mulai dirasakan secara bertahap.
Perubahan musim kemarau dan musim hujan, khusunya di daerah tropik mengalami
defisit dan surplus air.Pada musim kemarau mulai mengalami kekeringan (defisit) dan
pada musim hujan mengalami banjir (surplus).Untuk itu perlu dilakukan pengeloaan
DAS secara terpadu dalam mengalami permasalahan tersebut, agar sistem hidrologi
dalam suatu ekosistem DAS tetap baik (Murtiono 2008).
I.14 Hujan Wilayah
Data curah hujan dan debit merupakan data yang sangat penting dalam perencanaan
waduk. Analisis data hujan dimaksudkan untuk mendapatkan besaran curah
hujan.Perlunya menghitung curah hujan wilayah adalah untuk penyusunan suatu
rancangan pemanfaatan air dan rancangan pengendalian banjir (Sosrodarsono &
Takeda, 2006).Metode yang digunakan dalam perhitungan curah hujan rata-rata
wilayah daerah aliran sungai (DAS) ada tiga metode, yaitu metode rata-rata aritmatik
23
A1P1 A2 P 2 .. AnPn
AT
(3.1)
Dengan :
P
: hujan wilayah
I.16
Hujan Rencana
Perhitungan curah hujan rencana digunakan untuk meramal besarnya hujan dengan
periode ulang tertentu. Berdasarkan curah hujan rencana tersebut kemudian dicari
intensitas hujan yang digunakan untuk mencari debit banjir rencana (Sosrodarsono &
Takeda, 2006). Dalam ilmu statistik dikenal beberapa macam distribusi frekuensi dan
empat jenis distribusi yang banyak digunakan dalam bidang hidrologi, yaitu distribusi
normal, distribusi Log-Normal, distribusi Log-Person III, dan distribusi Gumbel.
Sebelum menghitung curah hujan wilayah dengan distribusi yang ada dilakukan
terlebih dahulu pengukuran dispersi untuk mendapatkan parameter-parameter yang
digunakan dalam perhitungan curah hujan rencana).
XT X KN *S
(3.2)
dengan :
KN
: koefisien kekerapan normal dan dirumuskan seperti berikut :
C 0 C1W C 2W 2
KN W
1 d1W d 2W 2 d 3W 3
(3.3)
25
1
W ln 2
p
1
W ln
2
(1 p )
(3.4)
C0
= 2,515517
d1
= 1,432788
C1
= 0,802853
d2
= 0,189269
C2
= 0,010328
d3
= 0,001308
(3.5)
X T X K LN * S
(3.6)
dengan :
K LN
: Koefisien kekerapan Log Normal Dua
Untuk mendapatkan besaran kekerapan jenis sebaran ini, seri data yang ada dibuat
dalam bentuk ln terlebih dahulu untuk mendapatkan harga rata-rata dan simpangan
bakunya. Koefisien kekerapan log normal 2 dirumuskan seperti di bawah ini :
SY * K N
K LN
SY2
SY
0, 5
(3.7)
Kofisien kekerapan log Normal dua ini sedikit kompleks, untuk mempermudah dapat
digunakan kekerapan normal (KN), tetapi rumus umumnya berubah seperti berikut :
26
XT e
X Y K N *SY
(3.8)
dengan :
XY
SY
Sebaran peluang ini menghasilkan estimasi paling besar diantara sebaran peluang
yang lain jadi pemilihannya harus sangat hati-hati karena dapat menyebabkan
overdesign.
Persamaan estimasi banjir/hujan rencana periode T tahun :
X T X KG * S
(3.9)
K G 0,45 0,7797 ln ln 1
T
(3.10)
dengan :
KG
: koefisien kekerapan Gumbel
T
27
X T X K P3 * S
(3.11)
K P3
C 1
C
K N K 1 S K N3 6 K N S
6 3
6
2
N
C
C
K 1 S K N S
6
6
2
N
1 C
S
3 6
(3.12)
dengan pengertian :
CS
: koefisien kemencengan (Skewness coeficient)
Sebaran Peluang Log Pearson III
Pada sebaran peluang ini hampir sama dengan sebaran peluang Log Normal dua
parameter yaitu seri data diubah kedalam bentuk ln dan dihitung rata-rata serta
simpangan bakunya. Koefisien kekerapan menggunakan koefisien Pearson III.
Persamaan estimasi banjir/hujan rencana periode T tahun :
XT e
X Y K P 3 *SY
(3.13)
dengan pengertian:
XY
SY
28
Chi-Square
Metode ini menganggap pengamatan membentuk variable acak dan dilakukan secara
statistik dengan mengikuti asimtot distribusi chi square dengan derajad kebebasan kp-1, p adalah jumlah parameter yang diesitimasi dari data. Uji statistik ini
berdasarkan pada bobot jumlah kuadrad perbedaan antara pengamatan dan teoritisnya
yang dibagi dalam kelompok kelas. Uji kecocokan ini dapat dilihat pada rumus
seperti berikut :
k
h
2
i 1
Oi Ei 2
Ei
(3.14)
dengan pengertian:
h
Oi
Ei
29
Jika hasilnya besar menunjukkan bahwa distribusi yang dipilih tidak cocok, tetapi
sayang bahwa uji ini dapat memberikan hasil yang baik jika mempunyai panjang
pencatatan (n) yang besar.
Smirnov Kolmogorov
Uji kecocokan ini adalah uji kecocokan non parametric karena tidak mengikuti
distribusi tertentu. Uji ini menghitung besarnya jarak maximum secara vertical antara
pengamatan dan teotitisnya dari distribusi sampelnya. Perbedaan jarak maksimum
untuk Smirnov Kolmogorov tertera pada rumus 3.15 :
Dn max P( x) P0 ( x)
(3.15)
dengan pengertian:
Dn
P(x)
P0(x) :
Distribusi dikatakan cocok jika nilai Dn lebih kecil dari D kritisnya pada derajat
kepercayaan yang diinginkan.
I.18 Banjir
Banjir dapat diberi batasan sebagai laju aliran permukaan yang menyebabkan aliran
sungai melebihi kapasitas saluran-saluran drainase (Lee 1990).Menurut Lee (1990) di
bagian hulu yang berhutan tidak banyak dibangun tanggul oleh manusia dan banjirbanjir yang utama sedikit menyebabkan kerusakan.Tetapi di bagian hilir, banjir
merupakan bencana alam yang paling merusak.
Debit puncak sering terjadi di DAS-DAS yang berhutan dengan presipitasi lebih
besar, tanah-tanah lebih dangkal, dan topografi lebih curam (Lee 1990).Sebagian
30
besar
banjir
dapat
dikendalikan
dengan
menggunakan
bangunan-bangunan
terlibat
telah
menghalangi
penggunaan
prosedur-prosedur
yang
31
Hidrograf
32
hujan, tinggi muka air dan debit sungai, namun parameter yang paling umum
digunakan adalah debit sungai.
Hidrograf debit dapat digunakan untuk mengetahui perubahan debit di sungai sebagai
akibat terjadinya hujan selama waktu tertentu. Dalam siklus hidrologi, terlihat bahwa
aliran sungai tersebut terjadi akibat limpasan air hujan baik langsung maupun tak
langsung.Pada Gambar 3.1 ditunjukan gambar typikal hidrograp banjir akibat
distribusi hujan tertentu.
Sebuah hidrograf dapat dibagi atas dua komponen aliran yaitu limpasan permukaan
(runoff) dan base flow. Bila pengaruh turunnya air hujan terhadap aliran disungai
digambarkan terhadap waktu, maka akan diperoleh hidrograf aliran yang mempunyai
komponen kurva yang jika disederhanakan akan berbentuk seperti ditunjukan pada
Gambar 3.2sebagai berikut :
33
Bila pengaruh turunnya air hujan terhadap aliran disungai digambarkan terhawadap
waktu maka akan diperoleh hidrograf aliran yang mempunyai komponen kurva
sebagai berikut :
Rising curve : kurva yang menggambarkan naiknya debit aliran permukaan sejak
tercapainya hujan sampai dengan tercapainya puncak
Puncak aliran : saat dicapainya debit maksimum akibat pengaruh hujan.
Recession curve : kurva yang menggambarkan turunnya debit aliran permukaan sejak
tercapainya puncak sampai dengan akhir pengaruh hujan
Lag time (tl) : waktu antara pertengahan terjadinya hujan sampai dengan terjadinya
debit puncak
34
Time to peak (tp) : waktu antara mulai terjadinya hujan sampai dengan terjadinya
puncak aliran
Time of concentration : Menurut definisi yaitu SCS waktu antara berkahirnya hujan
sampai dengan terjadinya puncak debit
Recession time (tf) : waktu antara terjadinya puncak aliran sampai dengan
berakhirnya pengaruh hujan terhadap aliran
Time based (tb) : total waktu terjadinya pengaruh hujan terhadap aliran kesluruhan
aliran akibat hujan.
Besaran komponen tersebut dan bentuk dari kurva hidrograf menggambarkan proses
terjadinya aliran di sungai sebagai akibat turunnya hujan dalam DAS. Proses tersebut
sangat dipengaruhi oleh karakteristik hujan dan DAS dari hidrograf yang
bersangkutan. Karakteristik hujan bisaanya dapat digambarkan melalui besaran, lama
dan distribusi hujan dalam DAS, sedangkan karakteristik DAS dapat dideskripsikan
melalui beberapa parameter, yaitu : porositas tanah, kemiringan lahan, tataguna lahan,
morfologi sungai.
I.19.3 Kegunaan Hidrograf
Dalam perencanaan dibidang sumber daya air pada umumnya dan perencanaan
dibidang sumber daya air, seringkali diperlukan data debit banjir rencana alam bentuk
hidrograf . Debit banjir rencana tersebut akan digunakan sebagai dasar rencana
bangunan pelimpah, terowongan pengelak, elevasi powerhouse dekat tail race yang
penting dalam perencanaan sumber daya air.
Banjir rencana dengan periode ulang tertentu dapat dihitung dan data debit sungai
untuk waktu yang panjang atau data hujan. Apabila data debit banjir tersedia cukup
panjang (>20 tahun), debit banjir maximum tahunan bisa dicatat dan debit banjir
maximum rencana dapat langsung dihitung dengan metode analisis probabilitas.
35
Mengingat pada umumnya dilokasi yang akan dihitung debit banjirnya seringkali
tidak terdapat stasiun pencatatan debit, maka metoda perhitungan yang umum dipakai
dalam analisa debit banjir dari curah hujan maksimum harian rencana. Jika data
karakteristik daerah aliran sungai, seperti luas, panjang sungai dan nilai infiltrasi,
besarnya debit banjir dapat dihitung kemudian dengan berbagai model perhitungan
debit banjir.
I.19.4 Hidrograf Satuan
Hidrograf aliran menggambarkan suatu distribusi waktu dari aliran (dalam hal ini
debit) di sungai dalam suatu DAS pada suatu lokasi tertentu.Hidrograf aliran suatu
DAS merupakan bagian penting yang diperlukan dalam berbagai perecanaan bidang
Sumber Daya Air.Terdapat hubungan erat antara hidrograf dengan karakteristik suatu
DAS, dimana hidrograf banjir dapat menunjukkan respon DAS terhadap masukan
hujan tersebut.
I.19.4.1 Definisi
Menurut definisi hidrograf satuan adalah hidrograf limpasan langsung (tanpa aliran
dasar) yang tercatat di ujung hilir DAS yang ditimbulkan oleh hujan efektif sebesar
satu satuan (1 mm, 1 cm, atau 1 inchi) yang terjadi secara merata di seluruh DAS
dengan intensitas tetap dalam suatu satuan waktu (misal 1 jam) tertentu.
I.19.4.2 Asumsi
Beberapa asumsi yang digunakan dalam hidrograf satuan adalah adalah sebagai
berikut :.
Hujan Effektif : Hujan efektif terdistribusi secara merata pada seluruh DAS. Dengan
anggapan ini maka hidrograf satuan tidak berlaku untuk DAS yang sangat luas,
karena sulit untuk mendapatkan hujan merata di seluruh DAS.
36
38
0.0
160.0
Hujan Eff (mm)
Infiltrasi (mm)
Nakayas u20.0
(Alpha=2.0)
40.0
140.0
60.0
120.0
80.0
R (mm) 100.0
ITB-2
ITB-1
100.0
80.0
120.0
60.0
140.0
40.0
160.0
20.0
180.0
0.0
200.0
Q (m3/s)
(3.16)
Q=
k=0
Dimana:
Qn = ordinat storm hidrograf
Pi = kelebihan curah hujan
Un = Ordinat unit hidrograf
Dalam prakteknya perhitungan diatas dapat dilakukan dengan cara matrik atau
dengan menggunakan tabel superposisi Contoh hasil superposisi hidrograf ditunjukan
pada Gambar 3.6.
40
41
Cara ini dikembangkan oleh Victor Mockus dari Soil Conservation Service salah satu
lembaga
dibawah
Departement
Pertanian
Amerika
Serikat.Victor
Mockus
Tab
el 3.1Koordinat Tidak Berdimensi Dari HSS SCS Curvilinear (Natakusumah ,
Dantje Kardana. Hatmoko, Waluyo. Harlan, Dhemi 2014)
43
Dari peta DAS Sungai yang akan dianalisa, dapat diperoleh beberapa elemen-elemen
penting yang dapat digunakan menentukan bentuk dari hidrograf satuan itu yaitu
1) Time Lag (TL),
2) Waktu puncak (Tp)
3) Waktu dasar (Tb).
Data karakteristik fisik DAS
Untuk menghitung HSS SCS diperlukan data karakteristik fisik DAS yang
bergantung dari rumus time lag yang dibgunakan.Beberapa karakteristik fisik DAS
yang umum digunakan antara alin adalah luas DAS, kemiringan sungai dan panjang
sungai.
44
0.3
(3.17)
Dimana :
Ct : koefisien penyesuaian waktu (untuk proses kalibrasi); TL = time lag (Jam)
L : Panjang Sungai (km)
Lc : Jarak Titik Berat ke outlet (km)
Untuk durasi hujan satuan Tr (misal 1 jam), maka waktu puncak HSS SCS
didefiniskan sebagai berikut :
254922,86 CN 0.7
L0.8
Tp=
(3.18)
Qp=
2.083 A DAS
Tp
(3.19)
Dimana :
Qp : Debit puncak hidrograf satuan (m3/s)
R : Curah Hujan satuan (mm)
Tp : Waktu Puncak (jam)
A Das1: Luas DAS (km2)
Bilangan Kurva Aliran Permukaan (BK), atau lebih dikenal sebagai CN (Runoff
Curve Number) ditentukan dengan memperhatikan Kelompok Hidrologi Tanah
(KHT), AMC, dan penggunaan lahan. Kelompok Hidrologi Tanah (KHT) terdiri dari
empat kelompok yang diberi simbol A, B, C, dan D. Sifat-sifat tanah yang bertalian
dengan kelompok tersebut dan hubungannya dengan laju infiltrasi minimum disajikan
pada Tabel 1.Kandungan air tanah sebelumnya (AMC) mempengaruhi volume dan
laju aliran permukaan.Faktor tersebut sangat penting dalam metode SCSCN.SCS
membagi AMC tersebut kedalam tiga kelompok AMC yang diberi simbol dengan
angka Romawi I, II, dan III.Kriteria masing-masing kelompok AMC disajikan dalam
Tabel 3.2(Arsyad 2010).Selain itu SCS juga telah menentukan CN aliran
permukaan untuk berbagai komplek tanahpenutup tanah sesuai dengan
AMCnya.
Tabel 3.2 Klasifikasi Tanah
46
Nilai AMC dihitung dengan menjumlahkan curah hujan selama lima hari sebelumnya
yang kemudian dipadankan dengan batas besarnya curah hujan pada musim tumbuh
yang tertera pada Tabel 3.3Curve Number (CN) diperoleh dengan cara overlay antara
peta penggunaan lahan dengan peta kelompok hidrologi tanah DAS Ciliwung. Hasil
overlay berupa peta sebaran nilai CN di DAS Ciliwung dengan atribut penggunaan
lahankelompok hidrologi tanah (LUKHT). Atribut LUKHT dipadankan dengan
atribut CN. Setelah semua nilai CN pada setiap LUKHT ditentukan, kemudian dicari
nilai CN rata-rata tertimbang dengan menggunakan persamaan
Selama hujan turun, sebagian dari hujan akan meresap ke dalam tanah dan sebagian
lagi akan mengalir ke permukaan dan sebagiannya akan mengalir di atas permukaan
tanah yang dinamakan dengan hujan efektif yang akan mengalir ke sungai menjadi
banjir.
47
Besarnya kehilangan hujan yang meresap ke tanah sesuai didistribusikan sukar untuk
diperkirakan dengan teliti, sebagai pendekatan digunakan Metode SCS-CN (Soil
Conservation Service Curve Number) yang dikembangkan oleh US Department of
Agriculture.Metode ini didasarkan pada keseimbangan air dan dua hipotesis dasar.
Q=
( P0,2 S)2
(P+0,8 S)
(3.20)
S=
25400
254
CN
(3.21)
dengan
P : presipitasi (mm),
Ia : initial abstraksi (mm)
F : kumulatif infiltrasi
Q : direct runoff (mm)
S : potensial maksimum retensi setelah dimulainya runoff (mm)
:rasio abstraksi,
CN :Curve Number yang ditentukan oleh jenis tanah
CN I =
4.2 CN II
100.0058 CN II
(3.22)
48
CN II =
23 CN II
10+ 0.13 CN II
(3.23)
CN i A i
(3.24)
i=1
CN TA=
Dengan :
CNTA : Bilangan kurva rata rata tertimbang
CNi : Bilangan kurva untuk setiap polygon penggunaan lahan jenis tanah
Ai : Luas setiap polygon penggunaan lahan jenis tanah
Nilai CN untuk setiap tutupan lahan menurut SCS adalah sebagai berikut :
Tabel 3.4Nilai CNII menurut SCS (Rallison, R.E. and N. Mille 1981)
49
lapangan twtapi menganalisa bentuk dasar HSS, yang hasilnya akan sama yaitu
bahwa bentuk dasar HSS dapat dibagi menjadi dua type yaitu, HSS dengan bentuk :
HSS puncak tumpul
HSS dengan bentuk puncak lancip (sharp peak)
Untuk menghindari menemukan/mengulangi hasil yang sama, pengembangan
perhitungan hidrograf satuan sintetis dengan cara ITB dilakukan dengan pendekatan
reverse engineering process. Reverse engineering adalah suatu proses disain yang
memiliki pengertian sebagai berikut :
Metoda perhitungan hidrograf satuan sintetis dengan cara ITB tidak dikembangkan
berdasarkan analisa bentuk dasar HSS hasil observasi lapangan, namun berdasarkan
pengamatan atas prinsip kerja, struktur, fungsi dan cara operasi berbagai metoda
perhitungan dan hasil perhitungan berbagai hidrograf satuan sintetis yang umum
digunakan, yang semua menyatakan dikembangkan dari hasil observasi lapangan.
Tujuannya adalah membangun suatu metoda perhitungan hidrograf satuan sintetis
baru yang dapat melakukan hal yang sama tanpa menduplikasi metoda lain yang
sudah yang sudah ada.
jika bidang asli dipetakan kedalam bidang komputasi yang bernilai antara 0 dan 1.
Perhitungan integrasi dan / atau diffrensiasi dilakukan pada bidang normal tersebut
dan kemudian hasilnya dikembalikan ke bidang semula.
52
Gambar 3.8Kesetaraan Luas HSS-Segitiga dengan HSS-Segitiga TakBerdimensi (Natakusumah , Dantje Kardana. Hatmoko, Waluyo. Harlan, Dhemi
2014)
Luas bidang dibawah kurva yang telah dinormalkan dapat dihitung dari rumus luas
segitiga sebagai berikut :.
A HSS=( 41)=2 (tanpa satuan)
(3.25)
Volume hidrograf satuan VHSS (memiliki dimensi m3) dapat diperoleh dengan cara
yang lebih mudah yaitu mengalikan AHSS dengan Qp dan Tp, atau tanpa satuan)
53
( )
V =Qp Tp A HSS = 5
m
( 2 s )( 2 ) =20 m3
s
(3.26)
(3.27)
(3.28)
54
dimana AHSS adalah luas HSS tak berdimensi. Untuk hujan efektif satuan R=1 mm
pada suatu DAS luas ADAS (km2), maka volume hujan efektif satu satuan R=1 mm
yang jatuh merata diseluruh DAS (VDAS) dapat dinyatakan sebagai berikut :
V DAS =R x A DAS=1000 A DAS
(m3)
(3.29)
(3.30)
Akibatnya formulasi umum yang berlaku untuk semua bentuk HSS adalah
Q p=
R A DAS
3.6 T p A HSS
(3.31)
Kp R A DAS
Tp
(3.32)
Dimana :
R : Curah Hujan satuan (1.0 mm)
Qp : Debit puncak hidrograf satuan (m3/s)
Tp : waktu mencapai puncak (jam)
55
I.20.5
Luas HSS
Bentuk kurva HSS banyak ditentukan oleh akurasi harga Kp. Jika harga eksak Kp
diketahui, maka harga Qp yang benar diketahui dan bentuk kurva hidrograf akan
dikontrol oleh harga yang benar tersebut. Ketelitian integrasi numerik sangat
bergantung pada jumlah titik yang digunakan dalam integrasi, semakin banyak titik
semakin akurat.Namun unuk mengetui berapa harga yang benar, jawabnya adalah
yang mendekati hasil eksak. Pentingnya harga Kp dan Qp yang dihitung secara eksak
sebenarnya terjadi untuk kasus kalibrasi memerlukan harga Cp yang sangat rendah
khususnya untuk HSS ITB 2.
Luas dibawah kurva HSS yang menunjukan volume HSS sebenarnya dapat dihitung
dengan mudah dengan metoda trapesium banyak pias, dan hasilnya sangat akurat.Jika
hasil integrasi numerik sangat akurat, maka timbul pertanyaan apa guna Kp Dan Qp
yang dihitung secara eksak ?.Ada sejumlah alasan mengapa hal itu penting.
56
1) Bentuk kurva HSS banyak ditentukan oleh akurasi harga Kp. Jika harga eksak
Kp diketahui, maka harga Qp yang benar diketahui dan bentuk kurva
hidrograf akan dikontrol oleh harga yang benar tersebut.
2) Ketelitian integrasi numerik sangat bergantung pada jumlah titik yang
digunakan dalam integrasi, semakin banyak titik semakin akurat. Namun unuk
mengetui berapa harga yang benar, jawabnya adalah yang mendekati hasil
eksak.
Pentingnya harga Kp dan Qp yang dihitung secara eksak sebenarnya terjadi untuk
kasus kalibrasi memerlukan harga Cp yang sangat rendah khususnya untuk HSS ITB2. Untuk HSS ITB-1 dengan kurva NRSCS hal ini tidak terlalu terlihat.
57
.
Gambar 3.11Hasil Perhitungan Debit Banjir metode ITB 1 dengan Nilai KP = 1
(3.33)
Sedang untuk HSS ITB-2 rumusan time lag yang digunakan adalah
T L= Ct (0.0394 L + 0.201L0.5 )
(3.34)
dimana :
TL = time lag (jam)
Ct = koefisien penyesuaian waktu (untuk proses kalibrasi)
L= panjang sungai (km);
Waktu puncak HSS ITB-1 didefiniskan sebagai berikut :
Tp = TL + 0.50 Tr
(3.35)
(3.36)
Selanjutnya waktu Dasar Hidrograf Satuan (Tb) didefinisikan sampai harga tak
berhingga (Tb=), namun untuk perhitungan prakstis (Tb) dibatasi antara 10 s/d 20
Tb dan dalam tukisan ini harga yang digunakan sebagai berikut : :
Tb = 10*Tp
(3.37)
59
q ( t )={texp(1t)}
(t> 0 s/d )
=3.700
(3.38)
persamaan diatas digunakan pula oleh NRSCS sebagai alternative lain selain kurva
SCS Curvilinear yang diberikan dalam bentuk tabel. Perlu dicatat, sebelumnya
persamaan yang digunakan untuk HSS ITB-1 adalah :
1 Cp
q ( t )=exp {2t }
t
(t> 0 s/d )
=2.000
(3.39)
Persamaan kurva diatas tidak bisa diintegrasikan secara eksak sehingga harus
diintegrasi secara numerik.
HSS ITB-2 memiliki persamaan bentuk dasar yang dinyatakan dengan dua persamaan
yaitu persamaan lengkung naik dan lengkung turun sebagai berikut :
Lengkung Naik : q(t) = t
Lengkung Turun : q ( t )=exp {1t }
(0 t 1)
Cp
(t > 1 s/d )
=2 .400 (3.40)
=0.880
(3.41)
Jika ketiga persamaan diatas digambarkan dalam satu gambar, didapat tiga bentuk
kurva seperti ditunjukan pada Gambar 3.10. Pada gambar tersebut sumbu horizontal
t=T/Tp dan vertical q=Q/Qp masing-masing adalah waktu dan debit yang telah
dinormalkan (tak berdimensi).
60
R A DAS
3.6 T p A HSS
(3.42)
Dimana :
61
(t> 0 s/d )
=2.000 (3.43)
Harga eksak AHSS hasil integrasi persamaan tersebut tidak bisa ditemukan, sehingga
AHSS hanya bisa diperoleh secara numerik dan harga tsb selanjutnya dianggap
sebagai harga eksak.
Jika bentuk dasar yang digunakan adalah bentuk dapat digunakan pesamaan Kurva
digunakan NRSCS sebagai alternative selain kurva SCS Curvilinear
q ( t )={texp(1t)}Cp
(t> 0 s/d )
62
=3.700
(3.44)
Harga eksak AHSS hasil integrasi persamaan tersebut dapat diketahui. Jika m = Cp,
maka harga eksak integrasi persamaan tersebut diketahui sebagai berikut :
e m (m+1.0)
q ( t ) dt= {texp(1t) } dt=
mm+ 1
0
m
A HSS
(3.45)
Dimana fungsi (m+1.0) adalah fungsi Gamma tak lengkap (Incompletee Gamma
function of Second Kind) dengan dua input parameter m+1 dan 0. Perlu dicatat
bahwa NRSC hanya memberikan hasil numerik Kp yang diturunkan integrasi
numerik persamaan diatas.
Persamaan bentuk dasar HSS ITB-2 adalah :
Lengkung Naik : q(t) = t
=2.400
(0 t 1)
Cp
Lengkung Turun : q ( t )=exp {1t (t > 1 s/d )
(3.46)
=0.880
(3.47)
Harga eksak integrasi persamaan tersebut diketahui. Jika m=, dan n=Cp maka
harga eksak integrasi persamaan tersebut diketahui sebagai berikut :
1
1
m+1
( 1n +1 ).1
n
n .( n)
1
n
(3.48)
q ( t ) dt=
0
A HSS=
0
63
Dimana fungsi
1 n
( ,1 )
n
64
A HSS=
1
(T T i )(Qi+1 Qi)
2 i=1 i+1
(3.49)
dan Qp (Debit Puncak) cara ITB dapat dibuat HSS SCS-ITB dan hasilnya ditunjukan
pada Gambar 3.12. Meski rumus debit puncak cara SCS dan ITB berbeda, namun
hasil akhirnya menunjukan kesesuaian hasil yang sangat baik. Dengan cara yang
sama telah berhasil dibuat HSS-Delmarva dan HSS Hickok-Keppel-Rafferty yang
bentuk kurvanya juga didefinisikan denganTabel yang berisi absis dan ordinat kurva
HSS dan hasil rekonstrusi dengan cara ITB memberikan hasil HSS-Delmarva dan
HSS Hickok-Keppel-Rafferty yang sangat mendekati bentuk yang asli.
Rumus Kp (Peak Rate Faktor) dan Qp (Debit Puncak) cara ITB bahkan dapat
dipergunakan untuk membuat bentuk HSS asalkan bentuk persamaannya diketahui.
Sebagai contoh, jika misalkan kurva bentuk HSS Nakayasu seperti pada Gambar 3.5
dijadikan bentuk kurva dasar, dengan Rumus Qp (Debit Puncak) dan Kp (Peak Rate
Faktor) cara ITB dapat dibuat HSS Nakayasu-ITB, dan hasilnya ditunjukan pada
Gambar 3.5. Meski rumus debit puncak cara Nakayasu yang asli dan rumus debit
puncak ITB berbeda, namun hasil akhirnya menunjukan kesesuaian hasil yang sangat
baik.
66
Gambar 3.14 :Bentuk hidrograf hasil superposisi HSS SCS-Asli dan hidrograf
hasil superposisi HSS SCS-ITB
I.20.6.6 Hidrograf Satuan Sintetis Nakayasu
Hidrograf satuan sintetis nakayasu dikembangkan berdasarkan beberapa sungai di
Jepang (Soemarto 1987). Penggunaan metode ini memerlukan beberapa karakteristik
parameter daerah alirannya, seperti :
Tenggang waktu dari permukaan hujan sampai puncak hidrograf (time of peak)
Tenggang waktu dari titik berat hujan sampai titik berat hidrograf ( time lag )
Luas daerah aliran sungai
Panjang alur sungai utama terpanjang ( length of the longest channel )
Bentuk persamaan HSS nakayasu adalah
67
Qp=
CA . Ro
3,6(0,3 Tp+T 0,3 )
(3.50)
Dimana :
Qp : debit banjir puncak (m3/detik)
Ro : hujan satuan (mm)
Tp : tenggang waktu dari permulaan hujan sampai puncak banjir (jam)
T0,3 : waktu yang diperlukan oleh penurunan debit, dari puncak sampai 30% dari debit
puncak (jam)
CA : luas daerah pengaliran sampai outlet (km2)
Untuk menentukan Tp dan T0,3 digunakan pendekatan rumus sebagai berikut :
TP = tg + 0.8 tr
(3.51)
T0,3 = tg
(3.52)
Tr = 0,5 tg sampai tg
(3.53)
Tg adalah time lag yaitu waktu antara hujan sampai debit puncak banjir ( jam ). Tg
dihitung dengan ketentuan sebagai berikut L
Sungai dengan panjang alur L > 15 km : tg = 0.4 + 0.0058 L
(3.54)
(3.55)
t 2.4
)
TP
(3.56)
(ttp)
T 0.3
(3.57)
2= Qp .0.3
Q d
(3.58)
3=Qp . 0.3
Qd
(3.59)
69
(3.60)
Dimana :
Q : debit puncak limpasan permukaan (m3/detik)
C : angka pengaliran (tanpa dimensi)
70
(3.61)
dimana :
Q : debit puncak limpasan permukaan dengan periode ulang T tahun atau debit
rencana dengan periode ulang T tahun (m3/detik)
C : angka pengaliran (tanpa dimensi)
A : luas daerah pengaliran (Km2)
I : intensitas curah hujan (mm/jam)
Besarnya nilai tc dapat dihitung dengan beberapa rumus, diantaranya :
1. Rumus Kirpich
71
2 0.385
0,87 L
t c=
1000 S
(3.62)
dengan :
tc : waktu konsentrasi (jam)
L : panjang lintasan air dari titik terjauh sampai titik yang ditinjau (km)
S : kemiringan rata- rata daerah lintasan air
2. Waktu konsentrasi dapat juga dihitung dengan membedakannya menjadi 2
komponen yaitu :
t c =t 0 +t c
dengan :
td=
(menit)
(3.63)
2
n
t 0= 3.28 L
3
S
(3.64)
Ls
(menit )
60 V
(3.65)
dimana :
n : angka kekasaran permukaan lahan
S : kemiringan lahan
L : panjang lintasan aliran di atas permukaan lahan (m)
Ls : panjang lintasan aliran didalam saluran / sungai (m)
V : kecepatan aliran didalam saluran (m/detik)
72
Ci Ai
(3.66)
Ai
i=1
73
Rumus Mononobe
I=
X 24 24 2/ 3
24 t c
(3.67)
dimana :
I : intensitas hujan (mm/jam)
X24 : hujan harian (mm)
tc : waktu konsentrasi (jam)
METODOLOGI PENELITIAN
mengumpulkan data primer dan data sekunder terkait wilayah kajian. Diantaranya
adalah :
75
1.
2.
3.
4.
5.
Data hujan
Data debit pengamatan
Data karakteristik DAS
Peta Landuse
Peta Topografi
Data hujan yang dipakai untuk analisa adalah data hujan DAS Ciliwung adalah
pencatatan hujan yang berasal dari pos duga air diwilayah DAS Ciliwung Hulu,
diantaranya adalah dari stasiun :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Katulampa
Gadog
Pasir Muncang
Citeko
Lemah Neundeut
Arcadomas
Panjang
Gunung Mas
Sedangkan data debit yang digunakan berasal dari AWLR ( Automatic Water Level
Recording ) dari Bendung Katulampa tahun 2006. Data yang diperoleh dari stasiun
tersebut adalah data elevasi muka air jam jaman yang kemudian diubah menjadi
data debit dengan menggunakan persamaan rating curve sebagai berikut :
Q=11.403 ( H +0.2)1.715
Dimana :
Q = Debit sungai ( m3/detik )
H = Tinggi muka air
Data Karakteristik DAS diperoleh dari analisis Arc GIS, yang meliputi :
Luasan DAS
76
Tutupan Lahan
Polygon Thiessen
Panjang Sungai
Peta landuse yang digunakan adalah peta landuse DAS Ciliwung hulu tahun 2006 dan
2010 yang diperoleh dari BBWS Ciliwung Cisadane. Sedangkan data hujan yang
dipakai untuk analisa adalah data hujan DAS Balangan adalah pencatatan hujan yang
berasal dari pos duga air stasiun Juai tahun 2004-2014.
hujan
maksimum
wilayahnya
sebagai
masukan
dari
analisis
frekuensi.Sedangkan untuk DAS Balangan memakai data hujan dari stasiun Juai.
tersebut, hasil perhitungan kemudian diuji keakuratannya dengan metode chi kuadrat
dan Smirnoff kolmogorof.
Hasil perhitungan yang paling akurat akan dipakai untuk analisis berikutnya.
I.24.3.1 Perhitungan debit banjir dengan metode ITB 1 dan ITB 2 dengan
menggunakan parameter landuse SCS untuk tutupan lahan DAS Ciliwung Hulu
tahun 2006 dan 2010 dan DAS Balangan tahun 2000 dan 2014.
Tahapan kedua adalah menghitung debit banjir metode ITB 1 dan ITB 2 dengan
menggunakan parameter infiltrasi milih metode SCS. Adapun metode orisinil ITB 1
dan ITB 2 menggunakan metode Horton sebagai metode acuan perhitungan
ingiltrasinya, pada perhitungan infiltrasi metode SCS, kondisi tanah dibagi menjadi 3
bagian yaitu AMC I, AMC II dan AMC II, dimana pada setiap kondisi tanah
mempunyai nulai curve number ( CN ) yang berbeda beda tergantung dari tutupan
lahannya.
I.24.3.2 Proses Kalibrasi dengan data debit observasi dari Bendung Katulampa
Tahun 2006.
Proses kalibrasi dilakukan dengan data debit hasil observasi dari Bendung
Katulampa, data debit yang digunakan adalah data debit jam jaman tanggal 14 Januari
2006 sampai dengan 15 Januari 2006. Parameter model yang digunakan sama dengan
parameter model yang digunakan untuk menghitung debit banjir metode ITB 1 dan
ITB 2 pada DAS Ciliwung Hulu tahun 2006.
79
BAB V
ANALISIS DATA
80
Hasil pembuatan polygon thiessen untuk DAS CIliwung Hulu disajikan pada Gambar
5.1berikut :
81
82
Dari Tabel 5.6diatas, diketahui bahwa distribusi yang paling sesuai untuk
memodelkan hujan rencana di wilayah kajian adalah dengan metode distribusi Log
Pearson 3.
I.25.7 Hujan efektif
Curah hujan efektif adalah bagian dari curah hujan total yang menghasilkan limpasan
langsung dengan kata lain hujan total dikurangi kehilangan pada awal hujan akibat
adanya infiltrasi. Untuk mendapatkan curah hujan efektif, data curah hujan rancangan
yang telah ditentukan dikurangi dengan faktor kehilangan air akibat infiltrasi untuk
setiap jam pada distribusi hujan. Dalam contoh kasus ini akan digunakan distribusi
hujan 6 jam dengan infiltrasi yang dihitung dengan cara SCS dan Horton seperti
ditunjukkan pada Tabel berikut :
84
I.25.8.2 Hasil Perhitungan Harga KP Secara Eksak dan Numerik pada Banjir
Metode ITB 1
Perhitungan banjir dilakukan secara eksak dan numerik, hasil dari perhitungan secara
eksak ITB 1 dan ITB 2 yang telah ditambahkan parameter landuse SCS kemudian
dibandingkan dengan hasil perhitungan numerik untuk mengetahui pengaruh harga
KP yang dihitung secara eksak dan numerik terhadap debit puncak hasil analisis.
Input data hujan yang digunakan untuk perhitungan numerik adalah hujan dengan
sebaran distribusi log pearson 3 dengan nilai infiltrasi metode SCS , adapun KP yang
digunakan adalah sebesar 1 satuan, input data dan hasil perhitungan disajikan sebagai
berikut :
86
87
Dari data pada Tabel 5.8danTabel 5.9tersebut dibuat perhitungan debit banjir untuk
kala ulang 2, dan 100 tahun, hasilnya sebagai berikut :
88
T (Jam)
1357
246
R (mm)
200
180
160
140
Hujan Eff (mm)
120
100
80
60
40
20
0
Infiltrasi (mm)
0
20
40
ITB 1 Numerik60
80
100
120
140
160
180
200
ITB 1 Eks ak
Q (m3/s)
Gambar 5.2Debit Banjir ITB 1 Eksak dan Numerik Kala Ulang 2 Tahun
T (Jam)
1357
246
400
350
300
Hujan Eff (mm)
R (mm) 250
200
150
100
50
0
Infiltras i (mm)
0
20
40
ITB 1 Numerik
60
80
100
120
140
160
180
200
ITB 1 Eks ak
Q (m3/s)
Gambar 5.3Debit Banjir ITB 1 Eksak dan Numerik Kala Ulang 100 Tahun
Hasil dari perhitungan dalam angka adalah sebagai berikut :
89
I.25.8.3 Hasil Perhitungan Harga KP Secara Eksak dan Numerik pada Banjir
Metode ITB 2
Input data dan karakteristik DAS yang digunakan sama dengan saat menghitung
secara numerik, yang membedakan adalah nilai luas HSS dihitung secara eksak,
untuk membuat perbandingan yang realitis, maka harga KP dibuat sama dengan pada
saat menghitung numerik yaitu sebesar 1 satuan. Dari data pada Tabel 5.11dan Tabel
5.12tersebut dibuat perhitungan debit banjir untuk kala ulang 2 dan 100 tahun,
hasilnya sebagai berikut :
91
T (Jam)
1357
246
250
0
20
200
40
R (mm) 150
Infiltrasi (mm)
60
ITB 2 Numerik
80
ITB 2 Eks ak
Q (m3/s)
100
100
120
140
50
160
180
200
Gambar 5.4Debit Banjir ITB 2 Eksak dan Numerik Kala Ulang 2 Tahun
T (Jam)
1357
246
450
400
350
Hujan
300 Eff (mm)
R (mm) 250
200
150
100
50
0
0
20
40
60
ITB 2 Numerik
ITB 2 Eksak
80
Q (m3/s)
100
120
140
160
180
200
Infiltras i (mm)
92
Gambar 5.5Debit Banjir ITB 2 Eksak dan NumerikKala Ulang 100 Tahun
I.25.8.4 Hasil Perhitungan Unit Hidrograf Dengan Cara ITB Secara Eksak Kala
Ulang 100 Tahun
Untuk menganalisa pengaruh nilai KP terhadap nilai debit puncak banjir yang
dilakukan dengan perhitungan eksak dan numerik, maka hasil perhitungan banjir
dibandingkan, nilai KP yang digunakan untuk masing masing pendekatan adalah 1
satuan, perbandingan hasil perhitungan sebagai berikut :
93
94
I.25.9 Analisis Pengaruh Parameter Landuse SCS pada Metode ITB 1 dan ITB
2
Seperti yang sudah dijelaskan pada BAB 4 LANDASAN TEORI, SCS membagi
kondisi tanah menjadi 3 kondisi yang berbeda, yaitu AMC (antecedent moisture
condition) I yaitu keadaan tanah kering, AMC II kondisi tanah rata rata, dan AMC
II yaitu kondisi tanah sangat basah, dimana pada masing masing kondisi tanah
tersebut akan mempunyai nilai CN ( Curve Number ) yang berbeda.Untuk
menganalisis besarnya pengaruh penggunaan parameter landuse milik SCS tersebut,
dilakukan perhitungan debit banjir pada ketiga kondisi tanah tersebut. NIlai CN untuk
masing masing AMC disajikan pada Tabel 5.15
Tabel 5.15Nilai CN pada setiap tipe penggunaan lahan di DAS Ciliwung 2006
Tabel 5.16Nilai CN p ada setiap tipe penggunaan lahan di DAS Ciliwung 2010
95
Nilai CN tertimbang DAS Ciliwung untuk kondisi AMC I, II dan III masing-masing
didapatkan sebesar 61.65, 77.82 dan 87.52.Menurut Arsyad (2010), AMC I
merupakan kondisi pada saat tanah dalam keadaan kering tetapi tidak sampai pada
titik layu dan pernah ditanami dengan hasil yang memuaskan. AMC II yaitu kondisi
dalam keadaan rata-rata, sedangkan AMC III merupakan kondisi pada saat hujan
lebat atau hujan ringan dengan temperatur rendah telah terjadi dalam lima hari
terakhir dan tanah jenuh air. Kondisi AMC III merupakan kondisi yang berpeluang
menyebabkan volume
I.25.9.1 Hasil Perhitungan Debit Banjir metode ITB 1 dan ITB 2 pada Kondisi
Tanah AMC I Tahun 2006.
Hasil perhitungan debit banjir ITB 1 dan ITB 2 Eksak pada kondisi tanah AMC I
adalah sebagai berikut :
96
97
98
T (Jam)
1357
246
60
50
0
Hujan Eff (mm)
ITB 1 Numerik
ITB 1 Eksak
40
60
40
80
R (mm)
30
ITB 2 Eksak
20
Q (m3/s)
100
ITB 2 Numerik
120
Nakayas u
20
140
160
10
180
200
Gambar 5.6 Perbandingan Debit Banjir ITB 1 dan ITB 2 pada Kondisi Tanah
AMC I Kala Ulang 2 Tahun
T (Jam)
160
140
120
100
R (mm)
80
ITB 2 Eksak60
40
20
0
0
Hujan Eff (mm)
ITB 1 Numerik
ITB 1 Eks ak
50
100
ITB 2 Numerik
Nakayas u
150
200
99
Q (m3/s)
Gambar 5.7Perbandingan Debit Banjir ITB 1 dan ITB 2 pada Kondisi Tanah
AMC I Kala Ulang 100 Tahun
Tabel 5.21Rekapitulasi Hasil Perhitungan Debit Banjir Puncak Kondisi AMC I
I.25.9.2 Hasil Perhitungan Debit Banjir metode ITB 1 dan ITB 2 pada Kondisi
Tanah AMC II Tahun 2006.
100
101
Hasil perhitungan debit banjir ITB 1 dan ITB 2 Eksak pada kondisi tanah AMC II
ditunjukkan pada Gambar 5.8Perbandingan Debit Banjir ITB 1 dan ITB 2 pada
Kondisi Tanah AMC II Kala Ulang 2 Tahun danGambar 5.9berikut, sementara hasil
rekapitulasinya pada Gambar 5.8.
T (Jam)
1357
246
140
ITB 1 Numerik
120
100
R (mm)
80
60
ITB 2 Numerik
Nakayasu
40
20
0
102
0
20
40
60
80
100
120
140
160
180
200
ITB 1 Eksak
ITB 2 Eks ak
Q (m3/s)
Gambar 5.8Perbandingan Debit Banjir ITB 1 dan ITB 2 pada Kondisi Tanah
AMC II Kala Ulang 2 Tahun
T (Jam)
1357
246
300
ITB 1 Numerik
250
R (mm)
200
150
ITB 2 Numerik
Nakayas u
100
50
0
0
ITB 1 Eksak
ITB 2 Eksak
20
40
60
Q (m3/s)
80
100
120
140
160
180
200
Gambar 5.9Perbandingan Debit Banjir ITB 1 dan ITB 2 pada Kondisi Tanah
AMC II Kala Ulang 100 Tahun
Tabel 5.25Rekapitulasi Hasil Perhitungan Debit Banjir Puncak Kondisi AMC II
103
I.25.9.3 Hasil Perhitungan Debit Banjir metode ITB 1 dan ITB 2 pada Kondisi
Tanah AMC III.
Hasil perhitungan debit banjir ITB 1 dan ITB 2 Eksak pada kondisi tanah AMC III
ditunjukkan pada Gambar 5.10 sampai Gambar 5.1 berikut, sementara hasil
rekapitulasinya pada Tabel 5.29.
104
105
106
T (Jam)
1357
246
200
180
160
140
R (mm) 120
100
ITB 2 Eks ak
80
60
40
20
0
ITB 1 Numerik
ITB 2 Numerik
Nakayasu
0
ITB 1 Eks ak
20
40
60
Q (m3/s)
80
100
120
140
160
180
200
Gambar 5.10Perbandingan Debit Banjir ITB 1 dan ITB 2 pada Kondisi Tanah
AMC III Kala Ulang 2 Tahun
T (Jam)
1357
246
400
350
ITB 1 Numerik
ITB 2 Numerik
Nakayasu
300
R (mm) 250
200
ITB 2 Eksak
150
100
50
0
107
0
ITB 1 Eksak
20
40
60
80
Q (m3/s)
100
120
140
160
180
200
Gambar 5.11Perbandingan Debit Banjir ITB 1 dan ITB 2 pada Kondisi Tanah
AMC III Kala Ulang 100 Tahun
Tabel 5.29Rekapitulasi Hasil Perhitungan Debit Banjir Puncak Kondisi AMC III
I.25.9.4 Hasil Perhitungan Debit Banjir metode ITB 1 dan ITB 2 pada Kondisi
Tanah AMC I Tahun 2010.
108
109
Hasil perhitungan debit banjir ITB 1 dan ITB 2 Eksak pada kondisi tanah AMC I
ditunjukkan pada Gambar 5.38 sampai 5.43 berikut, sementara hasil rekapitulasinya
pada Tabel 5.22.
T (Jam)
1357
246
70
60
0
20
Hujan Eff (mm)
ITB 1 Numerik
50
ITB 1 Eks ak
40
ITB 2 Eks ak
60
80
R (mm) 40
Q (m3/s)
100
30
ITB 2 Numerik
120
Nakayasu
140
20
160
10
180
200
Gambar 5.12Perbandingan Debit Banjir ITB 1 dan ITB 2 pada Kondisi Tanah
AMC I Kala Ulang 2 Tahun
110
T (Jam)
1357
246
200
180
R (mm)
0
Hujan Eff (mm)
ITB 1 Numerik
20
160
40
140
60
120
80
100
100
80
ITB 2 Eks ak
ITB 2 Numerik
Nakayasu
ITB 1 Eks ak
Q (m3/s)
120
60
140
40
160
20
180
200
Gambar 5.13Perbandingan Debit Banjir ITB 1 dan ITB 2 pada Kondisi Tanah
AMC I Kala Ulang 100 Tahun
111
I.25.9.5 Hasil Perhitungan Debit Banjir metode ITB 1 dan ITB 2 pada Kondisi
Tanah AMC II Tahun 2010.
112
113
Hasil perhitungan debit banjir ITB 1 dan ITB 2 Eksak pada kondisi tanah AMC II
ditunjukkan pada Gambar 5.14 sampai Gambar 5.15 berikut, sementara hasil
rekapitulasinya pada Tabel 5.37.
T (Jam)
1357
246
160
140
ITB 1 Numerik
ITB 2 Numerik
Nakayas u
120
R (mm) 100
80
ITB 2 Eksak
60
40
20
0
0
ITB 1 Eksak
20
40
60
80
Q (m3/s)
100
120
140
160
180
200
Gambar 5.14Perbandingan Debit Banjir ITB 1 dan ITB 2 pada Kondisi Tanah
AMC II Kala Ulang 2 Tahun
114
T (Jam)
1357
246
350
300
ITB 1 Numerik
250
R (mm) 200
150
ITB 2 Numerik
Nakayas u
100
50
0
0
20
40
60
80
100
120
140
160
180
200
ITB 1 Eks ak
ITB 2 Eks ak
Q (m3/s)
Gambar 5.15Perbandingan Debit Banjir ITB 1 dan ITB 2 pada Kondisi Tanah
AMC II Kala Ulang 100 Tahun
115
I.25.9.6 Hasil Perhitungan Debit Banjir metode ITB 1 dan ITB 2 pada Kondisi
Tanah AMC III.
116
Hasil perhitungan debit banjir ITB 1 dan ITB 2 Eksak pada kondisi tanah AMC III
ditunjukkan pada Gambar 5.16 dan Gambar
rekapitulasinya pada Tabel 5.41.
117
3
6
T (Jam)
250
200
R (mm)
ITB 1 Numerik
ITB 2 Numerik
Nakayas u
150
100
ITB 2 Eksak
50
0
0
20
ITB 1 Eks ak
40
60
80
Q (m3/s)
100
120
140
160
180
200
Gambar 5.16Perbandingan Debit Banjir ITB 1 dan ITB 2 pada Kondisi Tanah
AMC III Kala Ulang 2 Tahun
T (Jam)
1357
246
450
400
350
300
R (mm)
250
200
ITB 2 Eksak
150
100
50
0
ITB 1 Numerik
ITB 2 Numerik
Nakayas u
118
0
ITB 1 Eks ak
20
40
60
80
Q (m3/s)
100
120
140
160
180
200
Gambar 5.17Perbandingan Debit Banjir ITB 1 dan ITB 2 pada Kondisi Tanah
AMC III Kala Ulang 100 Tahun
Tabel 5.41Rekapitulasi Hasil Perhitungan Debit Banjir Puncak Kondisi AMC III
I.25.9.7 Perbandingan Hasil Perhitungan Debit Banjir metode ITB 1 dan ITB 2
pada Kondisi Tanah AMC I, II dan III.
119
Pada tahun 2006 sampai 2010 di DAS Ciliwung Hulu terjadi perubahan tata guna
lahan, sehingga menyebabkan perubahan debit puncak banjir, perubahannya seperti
berikut :
Tabel 5.44Perubahan Tata Guna Lahan DAS Ciliwung terbesar selama Periode
Tahun 2006 - 2010
Dari Tabel diatas dapat disimpulkan bahwa debit puncak yang terjadi pada tahun
2010 lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2006, baik dari hasil perhitungan
numerik maupun eksak. Hasil tersbut mengacu kepada perubahan tata guna lahan
DAS Ciliwung hulu dimana pada tahun 2010 DAS Ciliwung banyak lahan hutan
beralih fungsi menjadi sawah sehingga berakibat kurangnya kapasitas tanah
menyerap air.
121
T (Jam)
1357
246
400
350
300
R (mm) 250
200
ITB 1 AMC II
150
100
50
0
Infiltrasi (mm)
ITB 1 AMC
0 III
ITB 1 AMC I
50
Q (m3/s)
100
150
200
3
6
T (Jam)
400
350
Infiltrasi (mm)
300
60
80
250
R (mm)
0
20
40
200
ITB 2 AMC
I
150
100
120
ITB 2 AMC II
Q (m3/s)
140
160
100
50
180
200
Infiltras i (mm)
ITB 2 AMC II
123
0
ITB 1 AMC III
20
40
60
Q (m3/s)
80
100
120
140
160
180
200
0
Hujan Eff (mm)
Infiltras i (mm)
ITB 2 AMC
20III
ITB 2 AMC I
40
350
60
300
80
R (mm) 250
Q (m3/s)
100
200
120
ITB 2 AMC II
150
140
100
160
50
180
200
124
Dari hasil diatas, disimpulkan bahwa pada perubahan kondisi tanah akan
mengakibatkan perubahan pada hidrograf, diantaranya adalah perubahan time lag dan
time to peak, pada kondisi tanah yang kering (AMC I) dengan nilai CN yang relatih
lebih kecil dari kondisi lainnya, baik lag time maupun time to peaknya besar, semakin
besar CN maka time lag dan time to peak-nya bertambah.
125
Hasil perhitungan hujan maksimal untuk DAS Balangan disajikan pada Tabel 5.47
berikut :
Tabel 5.47Hujan Maksimum DAS Balangan
126
Sebagai dasar dalam perhitungan banjir, maka dilakukan analisis frekuensi yang
bertujuan untuk mengetahui periode ulang hujan maksimal 2, 5, 10, 25, 50, dan 100
tahunan. Hasil perhitungan analisa frekuensi DAS Balangan adalah sebagai berikut :
Tabel 5.48Parameter Statistik Untuk Beberapa Metode Distribusi Das Balangan
I.26.3 Hasil Pengujian Chi Kuadrat dan Smirnoff untuk Hujan DAS Balangan
Hasil pengujian chi kuadrat dan Smirnof untuk hujan DAS Balangana adalah sebagai
berikut :
Dari Tabel 5.51 diatas, dapat simpulkan bahwa metode distribusi yang paling sesuai
untuk DAS Balangan adalah metode Distribusi Log Pearson Tipe III.
I.26.4 Analisa Debit Banjir Rancangan DAS Balangan
Untuk menetukan debit banjir rencana dilakukan analisa debit puncak banjir dengan
beberapa metoda yang berbeda yaitu :
128
I.26.5 Hasil Perhitungan Harga KP Secara Eksak dan Numerik pada Banjir
Metode ITB 1
Perhitungan banjir dilakukan secara eksak dan numerik, hasil dari perhitungan secara
eksak ITB 1 dan ITB 2 kemudian dibandingkan dengan hasil perhitungan numerik
untuk mengetahui pengaruh harga KP yang dihitung secara eksak dan numerik
terhadap debit puncak hasil analisis.
Input data hujan yang digunakan untuk perhitungan numerik adalah hujan dengan
sebaran distribusi log pearson 3, adapun KP yang digunakan adalah sebesar 1 satuan,
input data dan hasil perhitungan disajikan sebagai berikut :
129
Dengan menggunakan input data tersebut, maka perhitungan banjir dapat dilakukan,
meotde yang digunakan adalah metode ITB 1 dan ITB 2 dengan menggunakan nilai
KP hasil perhitungan eksak dan numerik. Hasil perhitungan dibatasi pada keadaan
ekstrim ( Kala ulang 2 tahun dan 100 tahun). Paramater model yang digunakan dalam
perhitungan adalah sebagai berikut :
131
T (Jam)
1357
246
180
160
140
Hujan
120Eff (mm)
R (mm)
100
80
60
40
20
0
0
20
40
60
ITB 1 Numerik
ITB 1 Eks ak
80
Q (m3/s)
100
120
140
160
180
200
Infiltras i (mm)
Gambar 5.23Perbandingan Debit Banjir ITB 1 Eksak dan ITB 1 Numerik Kala
Ulang 2 Tahun
T (Jam)
1357
246
600
0
20
40
60
ITB 1 Numerik
ITB 1 Eksak
Q (m3/s)
80
100
120
140
160
180
200
500
R (mm)
Hujan
400Eff (mm)
Infiltras i (mm)
300
200
100
0
132
Gambar 5.24Perbandingan Debit Banjir ITB 1 Eksak dan ITB 1 Numerik Kala
Ulang 100 Tahun
Berdasarkan pada hasil perhitungan harga KP secara eksak dan numerik, pada metode
ITB 1.perhitungan KP tersebut tidak menghasilkan perbedaan yang signifikan,
dengan rata rata selisih terkecil adalah 0 % dan selesih terbesar sebesar 0.03%.
I.26.6 Hasil Perhitungan Harga KP Secara Eksak dan Numerik pada Banjir
Metode ITB 2
Input data untuk perhitungan banjir dengan harga KP secara eksak dan numerik pada
metode ITB 2 dicantumkan dalam Tabel 5.54 dan Tabel 5.55 sedangkan hasil
perhitungan dan selisih perhitungan adalah sebagai berikut :
133
134
T (Jam)
1357
246
180
160
140
Hujan
120Eff (mm)
R (mm)
100
80
60
40
20
0
0
20
40
60
ITB 2 Numerik
ITB 2 Eks ak
80
Q (m3/s)
100
120
140
160
180
200
Infiltrasi (mm)
Gambar 5.25Perbandingan Debit Banjir ITB 2 Eksak dan ITB 2 Numerik Kala
Ulang 2 Tahun
135
T (Jam)
1357
246
700
0
20
40
60
ITB 2 Numerik
ITB 2 Eks ak
80
Q (m3/s)
100
120
140
160
180
200
600
500
Infiltrasi (mm)
R (mm) 400
300
200
100
0
Gambar 5.26Perbandingan Debit Banjir ITB 2 Eksak dan ITB 2 Numerik Kala
Ulang 100 Tahun
136
Berdasarkan pada hasil perhitungan harga KP secara eksak dan numerik, pada metode
ITB 2.perhitungan KP tersebut tidak menghasilkan perbedaan yang signifikan,
dengan rata rata selisih terkecil adalah 0.03 % dan selesih terbesar sebesar 0.8%.
I.26.7 Analisis Pengaruh Parameter Landuse SCS pada Metode ITB 1 dan ITB
2 pada DAS Balangan
Seperti yang sudah dijelaskan pada BAB 4 LANDASAN TEORI, SCS membagi
kondisi tanah menjadi 3 kondisi yang berbeda, yaitu AMC (antecedent moisture
condition) I yaitu keadaan tanah kering, AMC II kondisi tanah rata rata, dan AMC
II yaitu kondisi tanah sangat basah, dimana pada masing masing kondisi tanah
tersebut akan mempunyai nilai CN ( Curve Number ) yang berbeda.Untuk
menganalisis besarnya pengaruh penggunaan parameter landuse milik SCS tersebut,
dilakukan perhitungan debit banjir pada ketiga kondisi tanah tersebut. NIlai CN untuk
masing masing AMC pada DAS Balangan adalah sebagai berikut :
137
Input data metode ITB 1 dan ITB 2 sama seperti sebelumnya sedangkan input data
untuk metode Nakyasu adalah sebagai berikut :
138
Dengan menggunakan parameter tersebut, maka dihitung debit banjir dengan metode
ITB 1, ITB 2 dan Nakayasu dengan menggunakan parameter landuse SCS, untuk
berbagai macam kondisi tanah (AMC I, II, dan III).Dalam BAB ini, perhitungan
139
AMC diwakili oleh AMC III. Perhitungan dilakukan untuk kala ulang ekstrim , yaitu
kala ulang 2 tahun dan 100 tahun untuk setiap tahun pengamatan dan setiap kondisi
AMC.
I.26.7.1 Analisis Pengaruh Parameter Landuse SCS pada Metode ITB 1 dan
ITB 2 pada DAS Balangan tahun 2000 untuk AMC III
T (Jam)
1357
246
1,800
1,600
20
1,400
40
1,200
60
ITB 1 Eksak
R (mm) 1,000
ITB 2 Eks ak
80
Nakayasu
Q (m3/s)
100
800
120
600
140
400
160
200
180
200
Gambar 5.27Perbandingan Debit Banjir ITB 1 , ITB 2 dan Nakayasu pada Kala
Ulang 2 Tahun pada AMC III
140
T (Jam)
1357
246
4,000
ITB 1 Numerik
20
ITB 1 Eks ak
ITB 2 Eksak
40
3,000
60
2,500
80
2,000
100
Nakayas u 1,500
120
R (mm)
Q (m3/s)
140
1,000
160
500
180
200
Gambar 5.28Perbandingan Debit Banjir ITB 1 , ITB 2 dan Nakayasu pada Kala
Ulang 100 Tahun pada AMC III
141
Tabel 5.60Hasil Perhitungan Metode ITB 1, ITB 2 dan Nakayasu pada kondisi
tanah AMC III untuk tutupan lahan DAS Balangan Tahun 2000
Untuk perhitungan debit banjir pada tutupan lahan DAS Balangan tahun 2014 adalah
sebagai berikut :
T (Jam)
1357
246
2,000
1,800
1,600
1,400
Hujan Eff (mm)
R (mm) 1,200
1,000
800
600
400
200
0
ITB 1 Eksak
0
20
40
ITB 2 Eks ak60
80
100
120
140
160
180
200
Nakayasu
Q (m3/s)
Gambar 5.29 Perbandingan Debit Banjir ITB 1 , ITB 2 dan Nakayasu pada Kala
Ulang 2 Tahun pada AMC III tahun 2014
142
T (Jam)
1357
246
4,000
3,500
3,000
Hujan Eff (mm)
R (mm) 2,500
2,000
1,500
1,000
500
0
ITB 1 Numerik
ITB 1 Eks ak
0
20
40
ITB 2 Eksak
Nakayasu
60
Q (m3/s)
80
100
120
140
160
180
200
Gambar 5.30Perbandingan Debit Banjir ITB 1 , ITB 2 dan Nakayasu pada Kala
Ulang 2 Tahun pada AMC III tahun 2014
Tabel 5.61Hasil Perhitungan Metode ITB 1, ITB 2 dan Nakayasu pada kondisi
tanah AMC III untuk tutupan lahan DAS Balangan Tahun 2014
Untuk analisis lebih lanjut pengaruh dari tata guna lahan terhadap debit banjir
puncak, maka hasil perhitungan tahun 2000 dan 2014 dibandingkan, seperti yang
dicantumkan sebagai berikut :
143
Dari hasil perbandingan Tabel 5.63 dapat dilihat bahwa perubahan debit banjir pada
metode ITB 1, ITB 2 dan Nakayasu untuk tahun 2000 dan 2014 mengalami
perubahan yang cukup besar , untuk metode ITB 1, selisih tersesar yaitu sebsar 1.59%
dan tekecil sebesar 0.93%. Untuk metode ITB 2, selisih terbesar adalah 1.6%
sedangkan selisih terkecila dalah 0,93%. Sedangkan untuk Nakayasu, selisih terbesar
adalah 1.61% dan selisih terkecil sebesar 0.94%.
Hasil perhitungan cukup sesuai dengan kondisi dilapangan, dimana tidak terjadi
perubahan lahan secara signifikan pada periode tahun 2000 sampai dengan tahun
2014 di DAS Balangan.
I.27 Kalibrasi Hasil Perhitungan
Untuk membuktikan bahwa hasil penelitian bias digunakan secara umum, maka
pamaeter yang digunakan untuk perhitungan sebelumnya akan dipakai untuk
menghitung banjir sesaat, dengan pembanding yaitu data debit actual dari DAS
Ciliwung hulu pada tanggal 14 Januari 2006 dimulai dari pukul 16.00 sampai dengan
15 januari 2006 puluk 16.00. Data debit yang digunakan adalah sebagai berikut :
3
6
T (Jam)
1.4
Hujan Eff (mm)
1.2
0
20
Nakayasu (Alpha=2.0)
ITB-1
40
60
80
Q (m3/s)
100
120
140
160
180
200
Infiltrasi (mm)
1.0
R (mm) 0.8
ITB-2
0.6
Pengukuran
0.4
0.2
0.0
145
Gambar 5.31Perbandingan Debit Banjir ITB 1 , ITB 2 dan Nakayasu dan Debit
Pengukuran DAS Ciliwung Hulu 14-15 Januari Tahun 2006 pada Kondisi AMC
I
T (Jam)
1357
246
1.4
Hujan Eff (mm)
0
Nakayasu (Alpha=2.0)
Infiltrasi (mm)
1.2
1.0
R (mm) 0.8
ITB-2
ITB-1
20
40
60
Q (m3/s)
80
100
120
140
160
180
200
Pengukuran
0.6
0.4
0.2
0.0
Gambar 5.32Perbandingan Debit Banjir ITB 1 , ITB 2 dan Nakayasu dan Debit
Pengukuran DAS Ciliwung Hulu 14-15 Januari Tahun 2006 pada Kondisi AMC
II
146
T (Jam)
1357
246
1.4
Hujan Eff (mm)
1.2
0
Infiltrasi (mm)
Nakayasu (Alpha=2.0)
20
40
1.0
60
R (mm) 0.8
80
ITB-2
ITB-1
Q (m3/s)
100
0.6Pengukuran
120
140
0.4
160
0.2
180
0.0
200
Gambar 5.33Perbandingan Debit Banjir ITB 1 , ITB 2 dan Nakayasu dan Debit
Pengukuran DAS Ciliwung Hulu 14-15 Januari Tahun 2006 pada Kondisi AMC
III
Tabel 5.64Nilai CN DAS Ciliwung Tahun 2006 untuk Setiap Kondisi Tanah
Dari analisis yang telah dilakukan, didapatkan bahwa hidrograf yang paling
mendekati debit pengukuran adalah hidrograf dengan nilai CN pada kondisi AMC III
yaitu sebesar 87.52.Hal itu sesuai dengan kenyataan dilapangan bahwa kondisi tanah
saat pengukuran adalah basah, karena terjadi di musim penghujan.
147
Apabila merujuk kepada Gambar 5.32, hasil perhitungan metode ITB 2 dan Nakayasu
cukup mendekati hasil observasi, sedangkan hasil dari metode ITB 1 cukup besar
perbedaannya, maka dilakukan kalibrasi terhadap pamater ITB 1, untuk lebih
menyesuaikan dengan kondisi actual.Hasilnya adalah sebagai berikut :
T (Jam)
1357
246
1.4
1.2Hujan Eff (mm)
0
Infiltrasi (mm)
20
Nakayasu (Alpha=2.0)
ITB-1
40
1.0
60
R (mm) 0.8
80
Q (m3/s)
100
ITB-2
0.6Pengukuran
120
0.4
140
160
0.2
180
0.0
200
148
149
Tabel 5.68Hasil Perhitungan Banjir DAS Ciliwung Hulu Tahun 2006 dan 2010
Tabel 5.71 Hasil Perhitungan Banjir DAS Ciliwung Hulu Tahun 2006 dan 2010
151
Tabel 5.72 Hasil Perhitungan Banjir DAS Balangan 2010 dan 2014
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
152
I.28 KESIMPULAN
Berdasarkan kajian yang dilaukan, didapat beberapa kesimpulan, antara lain :
Pengaruh nilai KP yang dihitung secara eksak dan numeric tidak berdampak
signifikan terhadap debit banjir yang dihasilkan. Hasilnya adalah berikut :
Untuk metode ITB 1, nilai selisih hasil perhitungan eksak dan numeric terbesar yaitu
sebesar 0.11 m3/detik atau sebesar 0.035%, sedangkan selisih terkecil adalah 0.06
m3/detik atau sebesar 0.031%
Untuk metode ITB 1, nilai selisih hasil perhitungan eksak dan numeric terbesar yaitu
sebesar 3.25 m3/detik atau sebesar 0.86%, sedangkan selisih terkecil adalah 1.81
m3/detik atau sebesar 0.81%.
Perubahan tata guna lahan pada DAS Ciliwung hulu yang sangat besar, yaitu
penambahan semak belukar dari 137.4 Ha pada 2006 menjadi 580.45Ha pada tahun
2010 atau bertambah sebesar 76.5% dan Pembukaan lahan terbuka dari 10 Ha pada
tahun 2006 menjadi 2987 Ha pada tahun 2010 atau sebesar 99.66%.
Perubahan tata guna lahan pada DAS Ciliwung hulu menyebabkan meningkatnya
debit banjir hasil perhitungan, pada metode ITB 1, terjadi kenaikan debit banjir ratarata 32.8 m3/detik dari tahun 2006 atau sebesar 11.26%. Pada metode ITB 2 terjadi
kenaikan rata rata sebesar 32.79 m3/detik atau sebesar 11.26%.
Dapat dilihat bahwa perubahan debit banjir pada metode ITB 1, ITB 2 dan Nakayasu
untuk tahun 2000 dan 2014 mengalami perubahan yang cukup besar , untuk metode
ITB 1, selisih tersesar yaitu sebsar 1.59% dan tekecil sebesar 0.93%. Untuk metode
153
ITB 2, selisih terbesar adalah 1.6% sedangkan selisih terkecila dalah 0,93%.
Sedangkan untuk Nakayasu, selisih terbesar adalah 1.61% dan selisih terkecil sebesar
0.94%.Hasil perhitungan cukup sesuai dengan kondisi dilapangan, dimana tidak
terjadi perubahan lahan secara signifikan pada periode tahun 2000 sampai dengan
tahun 2014 di DAS Balangan.
Perubahan tata guna lahan menyebabkan terjadinya perubahan pada kondisi tanah,
sehingga tanah memiliki nilai CN yang berbeda.Semakin kecil nilai CN, debit banjir
yang terjadi semakin kecil , time lag lebih panjang dan time to peak semakin panjang,
sementara itu, semakin besar nilai CN suatu kondisi tanah, maka debit banjir yang
terjadi semakin besar, time lag semakin kecil dan time to peak semakin singkat
dikarenakan kemampuan tanah dalam menahan air hujan yang turun berkurang
sehingga proporsi air hujan yang bertransformasi menjadi limpasan langsung semakin
besar.
Pada proses kalibrasi dengan hasil debit pengukuran yang telah dilakukan, nilai CN
yang paling mendekati kondisi actual wilayah kajian adalah sebesar 87.52 atau pada
kondisi tanah AMC III. Hal itu sesuai dengan waktu pengukuran yang dilakukan yaitu
pada tanggal 14 Januari 2006 sampai dengan 15 Janjuari 2006, atau pada musim
basah.
Diperlukan kalibrasi pada metode ITB 1 untuk lebih menyesuaikan dengan debit
actual di wilayah kajian. Nilai Ct yang paling sesuai untuk metode ITB 1 dalam
memodelkan debit actual DAS Ciliwung Hulu adalah sebesar 0.78
154
I.29 SARAN
Pencatatan data debit actual sangat berguna untuk perhitungan, maka dari itu,
diperlukan data dengan runtut waktu yang panjang agar penelitian yang dilakukan
bisa menghasilkan hasil yang lebih baik.
Diperlukan perencanaan wilayah jangka panjang yang baik dengan memperhitungkan
keseimbangan antara kebutuhan lahan dengan kegunaan lahan dalam menyerap air
untuk meminimalisasi limpasan langsung yang besar saat terjadi hujan deras.
Diperlukan pengembalian fungsi hutan dari lahan terbuka pada DAS Ciliwung Hulu
untuk mengurangi limpasan langsung yang terjadi sehingga meminimalisir debit
banjir yang terjadi pada DAS Ciliwung Hulu.
155