Anda di halaman 1dari 5

Bahaya Merokok

Seperti biasa, makan siang kali ini kuhabiskan di tempat keren bernama
Waroeng Steak and Shake. Sudah banyak deskripsi positif tentang
tempat makan keren ini. Aku termasuk salah satu yang setuju dengan
itu. Namun, kali ini makan siangku sedikit terganggu. Kenyamanan yang
seharusnya kudapatkan buyar.
Tak ada yang lebih memahitkan mulut, memualkan perut,
menyesakkan jantung, ketika seseorang muncul begitu saja saat jam
makan siang, saat rahangmu sedang sibuk mengunyah, saat makanan
di piring dan secangkir kopi memohon perhatian penuhmu.
Ah mau ngapain nih orang? Tak bisakah aku makan dengan
tenang kali ini saja? umpatku dalam hati.
Lalu perempuan berhijab itu mulai memperkenalkan diri. Ia
mengaku sebagai bagian dari gerakan anti-rokok. Benar saja, di
seberang jalan nampak sekelompok perempuan berhijab membagikan
pamflet.

Sebagian

lagi

berdiri

di

pinggir

jalan

dengan

senyum

ramahnya, membentangkan spanduk berisi ajakan berhenti merokok.


Aku tak bisa menyembunyikan ekspresi kesalku saat ia berbicara
ngalor-ngidul. Terpaksa kuabaikan saja dia. Melihatku tetap menikmati
makan siang, dia lantas melontarkan pertanyaan, Apakah anda
merokok?
Demi sopan santun, aku menahan garpu agar tak mencelat ke
bola matanya dan kugenggam erat piringku agar tak pecah jadi dua di
atas batok kepala orang itu. Aku hanya menggeram dan mengulang,
Merokok?
Kali ini aku sengaja membuatnya menunggu. Melihatku tetap
melanjutkan makan siang, ia lalu melontarkan pertanyaan berikutnya
yang dia anggap akan memancing jawaban yang lebih panjang dan

mencengangkan. Dia pun nekat bertanya, Setuju atau tidak rokok itu
bahaya? Apa bahaya merokok menurut anda?
Jemariku bergetar, menahan garpu, pisau, piring, gelas, dan
benda-benda dalam radiusku yang sangat mungkin kujadikan senjata
pembelaan diri atas serangan pertanyaan paling muskil dijawab tapi
selalu ditanyakan ini.
Bagiku butuh jerih payah luar biasa untuk berdebat soal rokok itu
bahaya atau tidak. Sering kali aku teringat busa dan buih di sudut
mulutku saat berdebat dengan orang yang anti-rokok. Its a waste of
time, pikirku. Aku juga dulunya seorang perokok berat. Seringkali aku
yang terkenal kritis di kalangan teman-temanku ini berdebat dengan
para aktivis anti-rokok. Dalih membantu perekonomian rakyat lah,
rokok tidak memabukkan lah, ada saja dalihnya.
Tanpa terburu-buru, kuselesaikan kunyahan, lalu minum air
seteguk. Begini mbak, aku mulai menjelaskan, saya dulu memang
perokok berat. Tapi sudah 1 tahun saya tidak merokok lagi.
Mendengarnya, dia kian mencondongkan badannya ke depan,
matanya berbinar antusias. Semakin yakinlah dia bahwa dia telah
menemukan orang yang tepat untuk diwawancarai.
Tapi saya tidak langsung menjawab pertanyaan anda. Saya ingin
mengembalikan pertanyaan tadi kepada anda. Menurut anda, apa
bahaya rokok? tanyaku.
Dia terkesiap. Tak siap. Namun rasa penasarannya sepertinya
terusik.

Tampak

pula

keinginan

kuatnya

untuk

mempertahankan

reputasi sebagai aktivis anti-rokok. Akhirnya, dia mengangguk setuju.


Panjang lebar dia menjelaskan bahaya rokok padaku. Mulai dari
ancaman penyakit yang bisa kita lihat di bungkus rokok ancaman dosa
karena mendzalimi perokok pasif. Jujur saja aku kurang tertarik dengan
penjelasannya. Sudah terlalu sering aku mendengar semua yang dia
jelaskan. Aku hanya berpura-pura mendengarkan. Tak jarang aku

memainkan gelas kosong dan sedotan untuk mengalihkan kejenuhanku.


Hingga akhirnya dia menutup penjelasannya, Nah, begitu menurut
saya, Mas.
Loh sudah? Sekarang gantian saya ya, jawabku santai.
Tampak

ekspresi

antusias

terpancar

dari

wajahnya.

Dia

mengangguk, kemudian mengatur posisi duduknya. Badannya sedikit


condong ke depan. Tangannya siap di atas meja sehingga nampak
bahunya agak sedikit naik.
Iya, rokok memang berbahaya. Saya setuju sekali dengan anda,
Mbak, ujarku mantap. Sekali lagi wajah aktivis tersebut siang itu
langsung berbinar.
Begini, lanjutku, merokok itu nggak bisa dilakukan sambil
terburu-buru. Anda bisa makan, minum, mandi, bepergian, bahkan
bekerja dengan cepat dan tergesa. Tapi tidak untuk merokok. Merokok
mesti dilakukan seperti... hmmm... gerakan-gerakan shalat. Harus
tumaninah istilahnya, Mbak. Sedot, tenang, pengendapan sesaatbaru
nyebul. Hisap lagi, tenang dan pengendapan lagisebul lagi. Begitu
terus-menerus. Lihat, ngudud sama sekali bukan aktivitas yang cocok
untuk orang yang gegabah dan grusa-grusu.
Loh, maaf, katanya bahaya, Mas? Kok malah nggak bahas
bahayanya? Si aktivis itu tampak tidak sabar.
Sebentar, sambil tersenyum dan memberikan kode tangan agar
dia diam dulu sejenak, untuk menghabiskan satu batang rokok, ratarata dibutuhkan 20-25 kali hisapan. Kalau seorang perokok ngudud 10
batang saja setiap hari, artinya minimal ada 200-250 kali saat jeda
tumaninah per harinya. Dua ratus kali setiap hari, Mbak! Nah,
bayangkan saja jika ia menempuh hidup seperti itu belasan atau bahkan
puluhan tahun. Apakah sampeyan yakin yang demikian itu tidak turut
membentuk bangunan bawah sadar dan karakter pribadinya?
Bahanyanya, Mas! Please, bahayanyaini saya rekam loh.

Jadi, ya nggak usah gampang heran kalau banyak pemikir


muncul dari kalangan perokok. Sebab perokok itu bukan semacam
speedboat yang melesat cepat di permukaan, melainkan lebih dekat
dengan sifat kapal selam. Ia bergerak pelan namun pasti di kedalaman.
Makhluk-makhluk kapal selam itu terbiasa tenang, jernih mencermati
setiap hal, sekaligus punya daya imajinasi tinggi.
Kali ini tampak ekspresi gusar dari si aktivis tersebut. Namun, dia
sepertinya masih ingin berusaha meminta pendapatku soal bahaya
rokok. Kali ini dia dengan halus memaksaku berpendapat tentang
bahaya rokok.
Iya Mas, tapi tolong kali ini saya minta pendapat anda soal
bahaya rokok, ujarnya hampir putus asa.
Sebentar, anda tahu Albert Einstein? tanyaku sambil menahan
tawa atas ekspresi gusarnya.
Iya Mas, saya tahu. Lalu apa hubungannya dengan rokok? dia
bertanya keheranan.
Tahukah anda? Dia menemukan teori Relativitas, serta teori
bahwa semesta berbentuk melengkung saat ia leyeh-leyeh sambil
kebal-kebul

dengan

pipa

rokoknya,

kali

ini

si

aktivis

nampak

kebingungan. Seperti ada keraguan atas perkataanku barusan.


Oke, contoh lain, lanjutku, ada Derrida, Sigmund Freud, Che
Guevara, John F. Kennedy, bahkan Soekarno yang menempa ilmu
tumaninahnya lewat asap tembakau.
Si aktivis nampak semakin bingung bercampur kesal. Tangannya
menggenggam keinginan kuat untuk menghentikan penjelasanku.
Namun, sepertinya ia sedang menunggu waktu yang tepat. Aku masih
tetap melanjutkan penjelasanku.
Masih banyak lagi contohnya, lanjutku mantap, dari kalangan
sastra-pemikir, ada Hemingway, Mark Twain, Chairil Anwar bahkan

Pramoedya Ananta Toer, semuanya pun menjalani metode yang sama.


Jadi, bisa disimpulkan bahwa
Stop! Stop! Please, Mas, stop! I said, ba-ha-ya! Please explain the
ba-ha-ya!!!
Hehe iya iya Mbak, maaf, saya tegaskan bahwa rokok memang
berbahaya, ekspresi kesal si aktivis sedikit memudar.
Kuhela nafas sejenak lalu ku selesaikan perkataanku, sebab yang
paling berbahaya dari seorang manusia bukanlah paru-paru atau
jantungnya, melainkan pikiran-pikirannya.
Si aktivis hanya terdiam. Entah apa yang dipikirkan waktu itu. Ada
hening sejenak. Kali ini dia sedikit tertunduk. Atas nama keramahtamahan, kuberanikan diriku memecah hening itu, Bagaimana, Mbak?
Ada yang mau ditanyakan lagi?
Tidak, Mas. Cukup. Terima kasih atas waktunya, sedikit lesu dia
melangkah pergi meninggalkanku, dan makan siangku yang hampir
buyar kenikmatannya.

Anda mungkin juga menyukai