Halifah - Bab I - V
Halifah - Bab I - V
PENDAHULUAN
yang konsumsinya dianggap bermanfaat secara intrinsik, dan demerit goods yaitu
barang yang konsumsinya dianggap membahayakan. (Samuelson dan Nordhaus,
2001).
Salah satu hal paling kontroversial mengenai demerit goods berkenaan
dengan kecanduan. Rokok adalah jenis barang yang mengandung zat adiktif.
Perokok berat yang kecanduan mungkin sangat menyesali kebiasaan yang
diperoleh itu; namun, seperti itulah tabiat kecanduan, sulit untuk menghilangkan
kebiasaan itu jika sudah menjadi mapan.
Pasar untuk zat-zat adiktif adalah bisnis besar. Dan setiap tahunnya
permintaan akan barang yang mengandung zat tersebut seperti rokok senantiasa
meningkat. Hal tersebut dapat dilihat pada grafik sebagai berikut.
Gambar 1.2
Tingkat Konsumsi Rokok Indonesia Tahun 1999 2008
(milyar batang)
300
250
200
214 220
198 202
239 240
150
Konsumsi rokok
100
50
0
1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
pada tahun 2003 dan mencapai 240 milyar batang tahun 2008. Tingkat konsumsi
rokok yang tinggi di masyarakat ini menunjukkan bahwa rokok merupakan
produk yang permintaannya tinggi dan sudah menjadi salah satu kebutuhan
masyarakat.
Berdasarkan Data Kementerian Kesehatan tahun 2010, pada 2001 tercatat
perokok aktif berjumlah 31,5 persen dari penduduk, sedang pada tahun 2010
angkanya sudah melonjak menjadi 34,7 persen. Artinya, sepertiga orang Indonesia
adalah perokok aktif. (Artikel: Persentase Jumlah Perokok Usia Muda
Meningkat Tajam, 2011).
Merokok merupakan salah satu bentuk perilaku manusia, yang dalam teorinya
dikenal sebagai teori perilaku konsumen (the theory of consumer behavior).
Menurut Olson (1999) dalam Arios (2011), salah satu konsep penting dalam studi
perilaku konsumen adalah sikap konsumen. Sikap konsumen akan menentukan
perilaku pembeliannya, sehingga untuk mempengaruhi perilaku ini, dilakukan
terlebih dahulu pengaruh kepada sikapnya. Sikap merupakan ekspresi yang
menunjukkan apakah seseorang menginginkan atau tidak terhadap suatu obyek,
seperti produk, kategori produk, dan merek. Sikap terbentuk dari pengalaman
langsung terhadap produk, informasi yang diperoleh dari orang lain, dan
pengenalan melalui media massa (iklan). Perilaku merokok yang terbentuk juga
berawal dari persepsi konsumen terhadap rokok, di mana persepsi tersebut berupa
kesan (image) dan informasi tentang rokok.
mikro,
permintaannya negatif maka barang itu disebut dengan barang normal (normal
good). Namun jika hubungan tersebut positif maka barang tersebut dinamakan
dengan barang inferior (inferior good). Komoditas rokok menurut Ahsan (2006)
merupakan barang normal karena semakin tinggi harga barang tersebut maka
jumlah permintaannya akan semakin berkurang, akan tetapi pengaruh kenaikan
harga terhadap permintaan rokok diperkirakan kecil, artinya elastisitas permintaan
karena harga (price elasticity of demand)-nya kecil, karena barang tersebut
bersifat adiktif
Pendapatan konsumen akan menentukan besarnya daya beli yang dimilikinya.
Sehingga untuk barang normal, peningkatan pendapatan konsumen akan
meningkatkan permintaan barang tersebut. Sebaliknya untuk barang inferior,
peningkatan pendapatan konsumen justru akan menurunkan permintaan terhadap
barang tersebut.
Merokok merupakan salah satu bentuk perilaku yang kurang baik karena
masyarakat sudah mengetahui dengan jelas bahaya kesehatan yang ditimbulkan
oleh rokok. Beberapa penyakit yang disebabkan oleh kebiasaan merokok antara
lain jantung, gangguan pembuluh darah, kanker mulut, kanker paru-paru, kanker
laring, kanker osefagus, kanker pankreas, bronchitis, tekanan darah tinggi,
impotensi serta gangguan kehamilan hingga cacat pada janin. Penyakit yang
semakin parah memerlukan biaya penyembuhan yang semakin besar. Berdasarkan
hasil survei Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia tahun 2007, sebanyak
1.127 orang meninggal setiap hari akibat rokok. Dari 1.127 orang yang meninggal
itu, 67 persennya merupakan laki-laki (Prabandari, 2009).
Dalam mencapai tujuan Pembangunan Kesehatan Indonesia yakni penduduk
yang
memiliki
derajat
kesehatan
yang
optimal,
pemerintah
telah
rokok
(jumlah
batang
yang
dihisap
perhari
yaitu
47,3%
Sementara, data jumlah perokok di kota Makassar yaitu 22,1% atau 287.300
orang dengan rata-rata konsumsi 10,6 batang/hari atau sekitar 3 juta batang rokok
mengepul di udara tiap hari di kota metropolitan tersebut. Dari jumlah perokok
tersebut, sebanyak 2,2% berusia 10-14 tahun, dengan rata konsumsi rokok 5,2
batang perhari, sedangkan berdasarkan frekuensi merokok sebanyak 0,8% mulai
merokok tiap hari pada usia 5 9 tahun dan 7,7% pada usia 10 14 tahun
(Maidin, 2011).
Berdasarkan uraian tersebut maka penulis tertarik untuk meneliti Analisis
Faktor yangMempengaruhi Permintaan Rokok Masyarakat Di Kota Makassar
Tahun 2012.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pemilihan atas berbagai barang dan jasa yang dibutuhkan adalah hal
pertama yang dilakukan seseorang dalam usaha memenuhi kebutuhannya.
Perilaku permintaan konsumen terhadap barang dan jasa akan dipengaruhi oleh
beberapa faktor, diantaranya: pendapatan, selera konsumen, dan harga barang,
disaat kondisi yang lain tidak berubah (ceteris paribus). Perilaku konsumen ini
didasarkan pada Teori Perilaku Konsumen (the theory of consumer behavior) yang
menjelaskan bagaimana seseorang dengan pendapatan yang diperolehnya, dapat
membeli berbagai barang dan jasa sehingga tercapai kepuasan tertentu sesuai
dengan apa yang diharapkannya. (Pindyck dan Rubinfeld, 2007).
Ada dua pendekatan pokok mengenai teori permintaan konsumen yang
dikemukakan oleh Richard Bilas yang pertama adalah teori permintaan konsumen
analisis guna batas, dan yang kedua adalah teori permintaan konsumen analisis
kurva indiferen. Teori permintaan konsumen analisis guna batas disebut sebagai
pendekatan cardinal atau sering juga dikenal dengan marginal utility. Marginal
utility merupakan tambahan kepuasan yang diperoleh konsumen karena tambahan
unit barang yang diperoleh konsumen karena tambahan unit barang yang
dikonsumsi oleh konsumen tersebut. secara matematis kepuasan konsumen dapat
dituliskan sebagai berikut:
TU = U1 + U2 + U3 + . + Un
Di mana TU = total utilty, sedangkan U1 - Un adalah utilty atas suatu barang
yang dikonsumsi. Kepuasan maksimum diperoleh ketika tambahan kepuasan atas
konsumsi suatu barang sama dengan harga barang yang dibayarkan (untuk
konsumsi satu jenis barang). Secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut:
MU = P
Sedangkan, teori permintaan konsumen analisis kurva indiferen sering juga
dikenal dengan sebutan pendekatan ordinal. Pendekatan ordinal muncul sebagai
Y2
IC
Qx
Berbicara mengenai 0
permintaan
tidak
X1
X2 akan pernah lepas dari hukum
permintaan. Samuelson (2001, menyebutkan hukum permintaan berbunyi: Jika
harga suatu komoditi naik (dan hal-hal lain tidak berubah), pembeli cenderung
10
lebih sedikit membeli komoditi tersebut. demikian halnya jika harga turun, dan
hal-hal lain tidak berubah, jumlah barang yang dibeli akan meningkat.
Banyaknya komoditi tertentu yang dibeli orang tergantung pada harganya.
Makin tinggi harga suatu barang, sementara hal lain dianggap konstan, makin
sedikit unit yang diinginkan konsumen untuk dibeli. Makin rendah harga
pasarnya, makin banyak unitnya yang diinginkan untuk dibeli. (Samuelson, 2001)
Hubungan kuantitatif antara harga dan kuantitas yang yang dibeli dianalisis
dengan menggunakan konsep elastisitas. Elastisitas permintaan mengukur
perubahan relatif dalam jumlah unit barang yang dibeli sebagai akibat perubahan
faktor-faktor yang mempengaruhinya (ceteris paribus). Secara spesifik, elastisitas
adalah suatu bilangan yang menunjukkan persentase perubahan yang terjadi pada
suatu variabel sebagai reaksi atas setiap 1 persen kenaikan pada variabel lain.
Elastisitas permintaan perlu dibedakan kepada tiga konsep yaitu: elastisitas
permintaan karena harga (price elasticity of demand), elastisitas permintaan
karena pendapatan (income elasticity of demand), dan elastisitas permintaan
karena harga silang (cross price elasticity of demand). (Pindyck dan Rubinfeld,
2007).
2.1.2 Konsep Permintaan Rokok
Rokok adalah komoditas perdagangan penting di dunia termasuk Indonesia
dan merupakan produk bernilai tinggi, sehingga bagi beberapa negara termasuk
Indonesia berperan dalam perekonomian nasional, yaitu sebagai salah satu sumber
devisa, sumber penerimaan pemerintah dan pajak (cukai), sumber pendapatan
petani dan lapangan kerja masyarakat (usaha tani dan pengolahan rokok).
(Rachmat, 2010).
Rokok merupakan barang normal, karena semakin tinggi harga barang
tersebut maka jumlah permintaannya akan semakin berkurang, akan tetapi
11
12
jumlah barang yang diminta. Jika pendapatan naik, jumlah barang yang diminta
mungkin naik dan mungkin turun. Jika jumlah barang yang diminta bergerak
searah dengan perubahan pendapatan, maka barang yang bersangkutan disebut
barang normal. Namun, jika berlawanan arah, maka barang bersangkutan disebut
barang bermutu rendah atau inferior good.
Oleh karena itu, ada hubungan (asosiasi) antara tingginya pendapatan
dengan besarnya permintaan akan tembakau, terutama dalam hal hasil olahan
tembakau berupa rokok. Jika pendapatan meningkat maka garis pendapatan akan
bergeser kekanan sehingga jumlah rokok yang diminta meningkat.
Kelompok
masyarakat
berpendapatan
tinggi (high-income)
mengkonsumsi lebih banyak rokok dibandingkan dengan kelompok masyarakat
berpendapatan
rendah
(low-income),
meskipun
fakta bahwa
Pendapatan
yang
beli
tinggi, dan
berhubungan dengan konsumsi rokok yang lebih besar. (Jha and Chaloupka, 2000
dalam Adioetomo, 2005)
Sebagian besar komoditi rokok merupakan barang normal di mana
kenaikan pendapatan akan meningkatkan demand untuk komoditi tersebut. Pada
masyarakat miskin, kenaikan pendapatan akan meningkatkan konsumsi rokok
sebesar 6% sementara untuk orang kaya hanya 2,1 % (Ahsan, 2006).
2.1.2.2 Hubungan antara Harga dengan Permintaan Rokok
13
14
15
dari 1 bungkus rokok. Berbagai masalah kesehatan yang ditimbulkan oleh rokok
sudah jelas terpapar dalam berbagai media literature. Mereka tahu tetapi tidak
mau tahu akan hal itu. Karena, sifat adiktif rokok membuat seseorang sulit untuk
meninggalkannya.
Melaui pendekatan direct medical cost atau biaya langsung medis kita
dapat mengetahui biaya individual yang dikeluarkan untuk penanganan masalah
kesehatan. Dimana biaya langsung medis adalah biaya yang dikeluarkan oleh
pasien terkait dengan jasa pelayanan medis, yang digunakan untuk mencegah atau
mendeteksi suatu penyakit seperti kunjungan pasien, obat-obat yang diresepkan,
lama perawatan. Kategori biaya-biaya langsung medis antara lain pengobatan,
pelayanan untuk mengobati efek samping, pelayanan pencegahan dan penanganan
(Orion, 1997).
Kesehatan adalah mahal harganya. Ungkapan yang tepat bagi mereka
yang merokok. Semakin berat dampak penyakit akibat rokok yang dirasakan
maka semakin besar pula keinginan masyarakat untuk menyembuhkan atau
mengatasinya. Untuk itu biaya yang dikeluarkan juga semakin besar. Biaya
kesehatan yang besar memacu keinginan untuk berhenti merokok dengan
mengurangi jumlah konsumsi rokok sehari-hari.
2.1.2.6 Hubungan antara Jenis Pekerjaan dengan Permintaan Rokok
Klasifikasi pekerja menurut status pekerjaan dapat dibagi atas dua
kelompok yaitu sektor informal dan formal (Bakir dan Manning, 1984). Yang
dimaksud pekerjaan formal adalah pekerjaan yang bergerak di bidang instansi
pemerintah, BUMN, perusahaan swasta, dan akademisi. Sedangkan yang
16
dimaksud dengan pekerjaan informal adalah pekerjaan yang bekerja di luar bidang
pekerjaan formal.
Jenis pekerjaan seseorang berpengaruh langsung terhadap permanent
income dan penghasilan rumah tangga. Hasil penelitian Bollen dan Glanville
(2002; 27), menunjukkan bahwa pekerjaan kepala rumahtangga/suami merupakan
variabel utama terhadap permanent income dan fertilitas. Artinya, status pekerjaan
suami berkorelasi positif terhadap penghasilan (income).
Melalui faktor permanent income atau disebut sebagai penghasilan
rumahtangga berpengaruh positif terhadap permintaan dalam hal permintaan
rokok. Terdapatnya pengaruh positif antara pendapatan atau penghasilan terhadap
tingkat permintaan rokok dengan asumsi bahwa pendapatan yang tinggi
umumnya terdapat pada kelompok masyarakat dengan jenis pekerjaan medium
dan higtprestige occupation yang tergolong dalam jenis pekerjaan formal,
sedangkan kelompok pekerjaan tersebut sebagian besar berada di daerah
perkotaan atau pada masyarakat industri maju.
2.1.2.7 Hubungan antara Efek Iklan dengan Permintaan Rokok
Rokok adalah salah satu produk dunia yang paling banyak diiklankan
dan dipromosikan. Iklan rokok adalah iklan yang mengiklankan rokok melalui
semua media yang dipakai untuk menarik perhatian orang lain terhadap rokok,
baik melalui media cetak seperti koran, brosur, dan poster; media elektronik
seperti televisi, radio, dan internet; media papan iklan (billboard) ukuran besar
maupun kecil yang terdapat di sepanjang jalan umum; dan sponsor langsung
perusahaan rokok pada acara-acara tertentu.
Dampak iklan rokok pada perokok, terutama perokok muda, telah
menjadi subyek perdebatan yang luas selama beberapa dekade terakhir.
17
rokok
18
Dalam teori perilaku konsumen, orang memilih barang dan jasa yang
mereka anggap paling bernilai. Konsumen mencari untuk memaksimalkan utilitas
mereka, dengan meningkatkan konsumsi mereka lebih banyak barang-barang
yang baik dan mengurangi konsumsi mereka akan barang-barang yang tidak baik.
(Samuelson dan Nordhaus, 2001).
Secara ekonomi, gaya hidup perokok dinilai mendorong ekonomi biaya
tinggi (israf) dan mubazir. Bahaya rokok lebih besar dari manfaatnya. Premis ini
dianalogikan pada ayat Al-Quran yang berbicara tentang minuman keras (khamr).
Diakui, minuman keras memiliki manfaat, tapi bahayanya lebih besar (QS.AlBaqarah. 2: 219). Untuk itu Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tahun 2009
mengeluarkan fatwa tentang rokok. Fatwa tersebut berupa merokok di depan
umum hukumnya haram. Merokok adalah hukumnya haram, karena:
1. Merokok termasuk kategori perbuatan melakukan
19
20
Artinya: Tidak ada bahaya terhadap diri sendiri dan terhadap orang lain
[HR Ibn Mjah, Ahmad, dan Mlik].
4. Dan yang terakhir, merokok bertentangan dengan unsur-unsur tujuan syariah
(Maqid asy-syarah), yaitu (1) perlindungan agama (hifz ad-dn), (2)
perlindungan jiwa/raga (hifz an-nafs), (3) perlindungan akal (hifz al-aql), (4)
perlindungan keluarga (hifz an-nasl), dan (5) perlindungan harta (hifz al-mal).
Berdasarkan ayat al-quran dan hadis tersebut di atas maka sudah
seharusnya seorang perokok menyadari untuk mengurangi konsumsi rokoknya.
2.1.3
berbentuk
oligopoli.
Pasar
oligopoli adalah pasar di mana penawaran satu jenis barang dikuasai oleh
beberapa perusahaan. Tiga perusahaan (Sampoerna/Philip Morris International,
Gudang Garam, dan Djarum) memegang 64 persen pangsa pasar, dan tujuh
perusahaan memegang 84 persen pasar tembakau. Pasar yang kompetitif
digambarkan oleh perubahan pangsa pasar rokok sepanjang masa. (Tabel 2.1).
Tabel. 2.1 Pangsa Pasar Perusahaan Rokok Besar,
1979-2009
Perusahaan Rokok (tahun
1979
21
1989
1998
2005
2009
didirikan)
Gudang Garam (1958)
Djarum (1951)
British American Tobacco (BAT, 1905)
Bentoel (1930)
Sampoerna (1913)
Sampoerna/Philip Morris International
(2005)
Philip Morris International (1998)
Sumatra Tobacco Trading Company
(STTC)
Noyorono
Total
Lainnya
12
13
15
8
1
28
28
3
11
3
47
13
NA
3
12
41
15
4
3
-
21
19
2
6
-
15
24
NA
NA
NA
10
NA
NA
NA
4
63
37
3
80
20
2
77
23
4
88
12
7
84
15
22
adalah individu akan menanggung sendiri semua risiko atas keputusan konsumsi
mereka; artinya si individu mengetahui bahwa orang lain tidak akan menanggung
beban atas tindakan individu tersebut. Konsumsi tembakau melanggar kedua
asumsi tersebut. (Tobacco Economic in Indonesia, 2010).
Pemberian informasi sehingga seseorang dapat menentukan pilihan
sendiri (informed choice) membutuhkan penerangan atau informasi yang akurat.
Namun, bahaya kesehatan terkait dengan konsumsi tembakau pada umumnya
amat kurang dimengerti. Remaja di Jawa usia 13 hingga 17 tahun dapat berulang
kali mengulang kembali tulisan peringatan kesehatan yang tertera pada bungkus
rokok, namun mereka berpendapat bahwa mengkonsumsi rokok satu hingga dua
bungkus per hari tidaklah berbahaya bagi kesehatan. (Britton, 2007).
Peraturan dan kebijakan pemerintah yang ada sangat sangat lemah
untuk hal-hal yang berkaitan dengan informasi kepada konsumen. Dalam hal
peraturan yang mengharuskan menterakan peringatan bahaya merokok bagi
kesehatan pada setiap kemasan produk-produk rokok, hanya satu jenis peraturan
peringatan bahaya merokok yang diharuskan untuk digunakan. Peraturan ini
berbunyi merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi, dan
gangguan kehamilan dan janin. Pesan-pesan yang efektif sangat dibutuhkan
untuk menginformasikan risiko kesehatan yang baru akan terlihat 25 sampai 30
tahun sejak pertama kali merokok hingga mulai mengidap berbagai jenis penyakit
terkait dengan merokok.
Asumsi kedua yang mendukung kedaulatan konsumen adalah
konsumen sendiri yang menanggung semua risiko dan biaya-biaya yang timbul
atas keputusannya untuk mengkonsumsi suatu barang atau jasa. Namun,
kenyataannya perokok mengakibatkan biaya secara fisik dan finansial tidak hanya
23
untuk dirinya sendiri melainkan juga untuk orang lain dan masyarakat secara luas.
Kerugian ekonomi akibat konsumsi rokok (baik perokok maupun non perokok)
saat ini mencapai Rp186 triliun. Jumlah yang besar disebabkan karena rendahnya
kesadaran akan dampak buruk merokok bagi perokok aktif maupun perokok pasif,
serta kurangnya kebijakan udara bersih.
2.1.5
industri rumah tangga menjadi industri berskala besar nasional dan multinasional.
Sejalan dengan itu industri rokok juga telah berperan dalam perekonomian
nasional sebagai penyumbang penerimaan negara melalui cukai. Tumbuhnya
industri rokok juga diikuti oleh berkembangnya pertanaman tembakau yang
diusahakan petani di banyak daerah, dan telah berperan sebagai lapangan kerja
dan sumber pendapatan masyarakat serta perekonomian daerah. Perkembangan
penerimaan cukai rokok dalam negeri dapat dilihat pada gambar 2.2 sebagai
berikut:
Gambar 2.2 Realisasi Penerimaan Cukai Rokok Dalam
Negeri Tahun 2000-2011 (Rp. Trilyun)
24
25
negara lain terutama ke negara berpenduduk besar terutama China, India dan
Indonesia. Hal ini terlihat dari terjadinya pergeseran dalam produksi, konsumsi,
ekspor dan impor dari dominasi negara maju ke negara sedang berkembang.
Dengan jumlah penduduk besar dan adanya budaya merokok yang tinggi,
Indonesia dinilai merupakan pasar potensial rokok.
Situasi ini menjadikan industri tembakau menjadi industri yang
kontroversi di satu sisi merupakan asset nasional yang berperan dalam
perekonomian nasional dan di sisi lain berdampak buruk terhadap lingkungan dan
kesehatan baik penurunan derajat kesehatan maupun timbulnya biaya kesehatan
yang besar. (Rachmat, 2010).
2.2 Tinjauan Empiris
Penelitian mengenai permintaan rokok hingga saat ini masih belum banyak
dilakukan. Setelah melakukan studi literatur, terdapat beberapa hasil penelitian
yang cukup relevan dengan permintaan rokok yang dilakukan peneliti, baik
dengan komoditas yang berbeda. Penjelasan berikut akan memaparkan beberapa
hasil penelitian terkait yang juga dijadikan sebagai bahan rujukan.
Chaloupka (1992), meneliti hubungan antara peraturan udara bersih dalam
ruangan dan permintaan rokok. Dia menggunakan data dari Second National
Health and Nutrition Examination Survey (NHANES2) dan data harga rokok pada
tiap negara bagian di Amerika Serikat. Model yang dipakai dalam studi ini adalah
rational addiction yang dikembangkan oleh Becker dan Murphy (1988).
Kesimpulan studi ini menunjukkan bahwa peraturan udara bersih dalam ruangan
terbukti secara signifikan menurunkan rata-rata konsumsi rokok. Dampak dari
pemberlakuan aturan ini berbeda menurut jenis kelamin. Rata-rata konsumsi
rokok laki-laki secara signifikan menurun karena pemberlakuan aturan ini,
26
sedangkan bagi perempuan tidak terpengaruh sama sekali. Harga rokok juga
terbukti secara signifikan menurunkan konsumsi rokok namun terbatas untuk lakilaki.
Hu dan Tsai (2000), berusaha menentukan faktor-faktor yang menentukan
konsumsi rokok di daerah pedesaan Cina. Mereka menemukan bahwa 57% lakilaki dan 3% perempuan di pedesaan Cina adalah perokok. Sementara konsumsi
rokok rata-ratanya adalah lima belas batang per hari dan pengeluaran rokok ratarata 227yuan. Dengan menggunakan model two part mereka menyimpulkan
bahwa penduduk pedesaan Cina mengkonsumsi lebih sedikit daripada penduduk
di perkotaan. Pendidikan dan pekerjaan adalah faktor yang sangat mempengaruhi
permintaan rokok di pedesaan Cina.
Bonaporte (2005), dengan menggunakan model two part menemukan bahwa
pria lebih cenderung menjadi perokok daripada wanita dan keluarga yang
berpendidikan tinggi memiliki kecenderungan lebih kecil menjadi perokok.
Sementara itu, faktor pendidikan terbukti secara signifikan mempunyai pengaruh
yang negatif dengan permintaan rokok, di mana semakin tinggi pendidikan maka
semakin rendah permintaan. Sebagai tambahan, keluarga yang dipimpin oleh
kepala keluarga yang berstatus menikah lebih besar kemungkinannya untuk
merokok dibandingkan dengan keluarga yang dipimpin oleh kepala keluarga yang
berstatus tidak menikah.
Adioetomo, et al (2005), dalam Cigarette Consumption, Taxation and
Household Income: Indonesia Case Study, menggunakan data cross section
Susenas 1999 untuk menganalisis konsumsi rokok secara lebih detail. Selain harga
rokok, model OLS (Ordinary Least Square) juga mengikutsertakan pengeluaran
rumah tangga, pengaruh cukai, wilayah, pulau terbesar, tempat tinggal, jenis
27
28
yang kaya (kuartil 5). Peningkatan harga rokok 10% akan menurunkan konsumsi
rokok 4.6% untuk mereka yang miskin, sementara untuk mereka yang kaya 4.2%.
2.3 Kerangka Pikir
Penelitian ini mengacu kepada teori permintaan yang mendasarkan bahwa
perubahan jumlah barang yang diminta (dikonsumsi) dipengaruhi oleh beberapa
hal. Karena keterbatasan data yang dapat diperoleh dalam penelitian ini, maka
faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan rokok ditentukan oleh pendapatan,
harga rokok, harga barang substitusi (permen), harga barang komplementer
(minuman), biaya kesehatan, jenis pekerjaan, efek iklan, dan efek fatwa.
Gambar 2.3
Kerangka Pikir Analisis Faktor yang Mempengaruhi Permintaan
Rokok Masyarakat Di Kota Makassar
Pendapatan (X1)
Harga Rokok (X2)
Harga Permen (X3)
Permintaan
Rokok (Y)
Ket:
Variabel Independen
2.4 Hipotesis
29
Hipotesis merupakan dugaan awal yang masih bersifat sementara yang akan
dibuktikan kebenarannya setelah data empiris diperoleh. Dalam penelitian ini
hipotesis yang digunakan untuk menjawab pertanyaan adalah:
1. Diduga bahwa variabel pendapatan (X1), harga barang substitusi/permen
(X3), jenis pekerjaan (D1), efek iklan (D2), dan efek fatwa (D3) berpengaruh
positif dan signifikan terhadap permintaan rokok masyarakat di Kota
Makassar.
2. Diduga
bahwa
variabel
harga
rokok
(X2),
harga
barang
30
BAB III
METODE PENELITIAN
31
diteliti sebanyak 144 responden yang tergambar dalam tabel distribusi sampel
sebagai berikut:
Tabel 3.1
Distribusi Sampel Berdasarkan Kecamatan di Kota Makassar
DISTRIBUSI SAMPEL
Pusat Kota
- Kawasan Elit
- Kawasan Slum/Kumuh
Pinggiran Kota
- Kawasan Elit
- Kawasan Slum/Kumuh
TOTAL
Ket:
(1)
KECAMATAN
(2)
(3)
(4)
(5)
TOTAL
(6)
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
36
36
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
36
36
24
24
24
24
24
24
144
32
Data Sekunder
Data sekunder merupakan sumber data penelitian yang diperoleh peneliti
secara tidak langsung melalui media perantara atau diperoleh dan dicatat oleh
pihak lain (Indriantoro, 1999). Dalam penelitian ini data diperoleh dari Badan
Pusat Statistik Kota Makassar, Departemen Kesehatan, jurnal, laporan-laporan,
dokumen-dokumen, buku-buku dan literatur-literatur lain yang membahas
mengenai materi penelitian dan data pendukung lainnya yang dianggap dapat
mendukung penelitian ini.
33
.(1)
....(2)
= Konstanta / intersep
1, 2, 3, 4, 5, 6 , 7, 8 : Parameter
X1
= Pendapatan (rupiah)
34
X2
X3
X4
X5
D1
= Jenis Pekerjaan
D2
= Efek Iklan
D3
= Efek Fatwa
= Error term
35
36
37
Uji Multikolinearitas
Multikolinearitas adalah tidak adanya hubungan linear antar variabel
independen dalam suatu model regresi. Untuk mengetahui atau mendeketsi ada
tidaknya multikolinearitas dapat dilakukan dengan melihat korelasi antar variabel
bebas (Correlation Matrix) dimana apabila kurang dari 0,80 maka tidak terdapat
multikolinearitas dan sebaliknya apabila hubungan variabel di atas 0.80 maka
terdapat multikolinearitas. Selain itu, untuk mendeteksi adanya multikolinearitas
dapat dilakukan dengan cara lain, yakni dengan membandingkan nilai koefisien
determinasi parsial (r2) dengan nilai koefisien determinasi majemuk (R 2), jika r2
lebih kecil dari nilai R2 maka tidak terdapat multikolinearitas.
3.6.2
Uji Heteroskedastisitas
Heteroskedastisitas terjadi apabila varian tidak konstan atau berubah-ubah
atau keadaan dimana faktor gangguan tidak memiliki varian yang sama. Untuk
mendeteksi heteroskedasitas pada model persamaan regresi dilakukan dengan Uji
White Test menggunakan White Heteroskedasticity-Consistent Standard Errors &
Covariance.
38
Uji Autokolerasi
Uji autokorelasi digunakan untuk melihat adanya autokorelasi antara
variabel bebas yang diurutkan berdasarkan waktu. Hal ini dapat dilihat dalam
pengujian terhadap nilai Durbin Watson (Uji DW). Nilai DW kemudian
dibandingkan dengan nilai d-tabel. Hasil perbandingan akan menghasilkan
kesimpulan seperti kriteria sebagai berikut:
1. Jika DW < dL, berarti terdapat autokorelasi positif
2. Jika DW > (4 - dL), berarti terdapat autokorelasi negatif
3. Jika dU < DW < (4 - dL), berarti tidak terdapat autokorelasi
4. Jika dL < DW < dU atau (4 dU) berarti tidak dapat disimpulkan
apakah terjadi autokorelasi atau tidak. Jika demikian, sebaiknya
menggunakan uji statistik yang lain.
3.7 Definisi Variabel
3.7.1 Permintaan Rokok (Y) adalah banyaknya jumlah batang rokok yang
3.7.2
3.7.3
3.7.4
39
3.7.6
3.7.7
rupiah (Rp).
Jenis Pekerjaan Pekerjaan (D1)
Jenis pekerjaan adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh perokok
aktif pria yang dinyatakan dalam dua indikator, yaitu D 1 = 1 jika
pekerjaan formal, D1 = 0 jika pekerjaan informal. Yang dimaksud
pekerjaan formal adalah pekerjaan yang bergerak di bidang instansi
pemerintah, BUMN, perusahaan swasta, dan akademisi yang terdiri atas
TNI/POLRI,
PNS,
Pegawai
BUMN,
Pegawai
Swasta,
dan
40
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
41
Luas Area
(Km2)
1,82
2,25
20,21
9,23
2,52
2,63
1,99
2,10
5,94
5,83
17,05
24,14
48,22
31,84
175,77
Persentase Terhadap
Luas Kota Makassar
1,04
1,28
11,50
5,25
1,43
1,50
1,14
1,19
3,38
3,32
9,70
13,73
27,43
18,11
100
42
Penduduk
Kecamatan
Mariso
Mamajang
Tamalate
Rappocini
Makassar
2009
2010
55.431
61.294
154.464
145.090
84.143
55.875
58.998
170.878
151.091
81.700
43
Laju
Pertumbuhan
Penduduk
2009-2010
0,56
-0,32
2,55
1,52
-0,15
Rumah
Tangga
12.026
13.015
41.298
33.926
17.087
Ratarata
anggota
Rumah
Tangga
5
5
4
4
5
050
060
070
080
090
100
101
110
111
Ujung
Pandang
Wajo
Bontoala
Ujung Tanah
Tallo
Panakkukang
Manggala
Biringkanaya
Tamalanrea
7371
Makassar
29.064
26.904
-0,66
5.594
35.533
62.731
49.103
137.333
136.555
100.484
130.651
90.473
29.359
54.197
46.688
134.294
141.382
117.075
167.741
103.192
-1,83
-0,83
0,23
-0,23
0,98
3,90
5,45
2,02
5.923
11.074
9.359
27.493
33.758
25.363
39.272
30.879
5
5
5
5
4
5
4
3
1.272.473
1.339.473
1,65
306.879
Nampak dari tabel 4.3. di mana Kecamatan Tamalate memiliki jumlah penduduk
terbesar di Kota Makassar atau 12,76 persen dari total penduduk namun luas
wilayahnya hanya meliputi sekitar 11,50 persen dari total luas wilayah Kota
Makassar. Dilihat dari tingkat kepadatan penduduk, nampak pada tabel 4.3. bahwa
Kecamatan Makassar memiliki kepadatan penduduk yang tertinggi yaitu 32.421
jiwa per km2 dan Kecamatan Tamalanrea memiliki kepadatan penduduk terendah
yaitu 3.241 jiwa per km2.
Tabel 4.3 Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Menurut Kecamatan
di Kota Makassar 2010
Kode
Wil
010
020
030
031
040
050
060
070
080
090
100
101
110
Kecamatan
Mariso
Mamajang
Tamalate
Rappocini
Makassar
Ujung Pandang
Wajo
Bontoala
Ujung Tanah
Tallo
Panakkukang
Manggala
Biringkanaya
Luas
Area
(Km2)
1,82
2,25
20,21
9,23
2,52
2,63
1,99
2,1
5,94
5,83
17,05
24,14
48,22
%
1,04
1,28
11,50
5,25
1,43
1,50
1,14
1,19
3,38
3,32
9,70
13,73
27,43
44
Jumlah
Pendudu
k
55.875
58.998
170.878
151.091
81.700
26.904
29.359
54.197
46.688
134.294
141.382
117.075
167.741
%
4,17
4,40
12,76
11,30
6,10
2,01
2,19
4,04
3,50
10,02
10,55
8,74
12,52
Kepadata
n
Penduduk
(org/Km2)
30.701
26.221
8.455
16.370
32.421
10.230
14.753
25.808
7.860
23.035
8.292
4.850
3.479
111
Tamalanrea
31,84 18,11
7371
Makassar
175,77
100
Sumber: Makassar dalam angka 2011
4.1.2
103.192
1.339.473
7,70
100
3.241
7.621
Karakteristik Responden
Responden dalam penelitian ini terdiri atas perokok aktif pria yang
Persentase
6,25
15,28
36,81
6,25
35,42
100
Persentase
20,83
43,75
23,61
10,42
1,39
100
46
Persentase
31,25
68,75
100
47
Persentase
2,78
18,75
5,56
18,75
5,56
12,50
20,14
2,78
5,56
7,64
100
Frekuensi
2
34
36
36
36
144
Q1 0 - 400.000
Q2 400.001 - 1.037.500
Q3 1.037.501 - 2.050.000
Q4 2.050.001 - 4.025.000
Q5 4.025.001 - 12.000.000
Jumlah
Sumber: Data Primer 2012 (Diolah)
48
Persentase
1,39
23,61
25
25
25
100
49
11 responden dengan JTK 1 orang atau 7,64% dari total seluruh responden. 29
responden dengan JTK 2 orang atau 20,13% dari total seluruh responden. 28
responden dengan JTK 3 orang atau 19,45% dari total seluruh responden. 14
responden dengan JTK 4 orang atau 9,73% dari total seluruh responden. 14
responden dengan JTK 5 orang atau 9,73% dari total seluruh responden. 1
responden dengan JTK 7 orang atau 0,69% dari total seluruh responden. 1
responden dengan JTK 8 orang atau 0,69% dari total seluruh responden.
4.1.2.7 Distribusi Responden Berdasarkan Klasifikasi Lokasi
Klasifikasi lokasi yang dimaksud adalah responden yang tinggal di
daerah pusat kota dan pinggiran kota. Pusat kota merupakan bagian wilayah kota
yang memiliki lokasi strategis dan aksesibilitas tinggi (Hartshorn, 1980 dalam
Insaf, 2004). Sedangkan pinggiran kota adalah kota yang wilayahnya terletak
diperbatasan dengan kota lain yang hirarkinya memiliki karakteristik adanya
wilayah pedesaan serta intensitas wilayah terbangun lebih rendah dari kota
pusatnya. (Rug, 1979 dalam Insaf, 2004).
Tabel Tabel 4.10 Distribusi Responden Berdasarkan Klasifikasi Lokasi
Klasifikasi Lokasi
Kawasan
Frekuensi
Pusat Kota
72
Pinggiran Kota
72
Jumlah
144
Sumber: Data Primer 2012 (Diolah)
Persentase
50
50
100
Berdasarkan tabel 4.10 di atas terdapat 72 responden atau 50% dari total
seluruh responden berada di kawasan pusat kota. Dan 72 responden atau 50% dari
total seluruh responden berada di kawasan pinggiran kota.
50
51
Persentase
50
50
100
Berdasarkan tabel 4.9 di atas terdapat 72 responden atau 50% dari total
seluruh responden berada pada kwasan elit. Dan 72 responden atau 50% dari total
seluruh responden berada pada kwasan kumuh.
4.1.3
KARAKTERISTIK
RESPONDEN
Tamat SD/Sederajat
Tamat SMP/Sederajat
Tamat SMA/Sederajat
Diploma
Sarjana
15
12
15
19
20
52
Kelompok Umur
15 24
25 34
35 44
45 54
55 atau lebih
11
17
19
17
14
Status Pernikahan
Belum Menikah
Menikah
13
18
Jenis Pekerjaan
TNI/POLRI
PNS/Pensiunan
Pegawai BUMN
Pegawai Swasta
Pelajar/Mahasiswa
Wiraswasta
Buruh
Petani
Nelayan
Lainnya
13
20
22
17
12
19
13
21
17
12
Kuartil Pendapatan
Q1
Q2
Q3
Q4
Q5
0 - 400.000
400.001 - 1.037.500
1.037.501 - 2.050.000
2.050.001 - 4.025.000
4.025.001 - 12.000.000
8
11
16
15
24
Jumlah Tanggungan Keluarga
0
1
2
3
4
5
7
8
13
15
19
18
18
20
20
16
Kondisi Tempat Tinggal
Kawasan Elit
Kawasan Kumuh
19
14
Klasifikasi Lokasi
Pusat Kota
Pinggiran Kota
17
16
53
kedua adalah petani dengan rata-rata permintaan rokok adalah 21 batang per hari.
Kemudian urutan ketiga adalah PNS/Pensiunan dengan rata-rata 20 batang rokok
per hari. Selanjutnya yang keempat adalah wiraswasta dengan rata-rata 19 batang
rokok per hari, kelima adalah pegawai swasta dan nelayan dengan rata-rata 17
batang per hari, keenam adalah TNI/POLRI dan buruh dengan rata-rata 13 batang
per hari. Dan yang terakhir adalah pelajar/mahasiswa dan pekerja lainnya dengan
rata-rata 12 batang per hari (Tabel 4.12).
Menurut kuartil pendapatan, kuartil pertama (Q1) atau kelompok
pendapatan terendah permintaan rokoknya paling sedikit dengan rata-rata 8 batang
per hari, dan kuartil kelima (Q5) atau kelompok pendapatan tertinggi permintaan
rokoknya paling banyak dengan rata-rata 24 batang per hari. Sementara itu kuartil
kedua (Q2) rata-rata permintaan rokoknya adalah 11 batang per hari. kemudian
kuartil ketiga (Q3) adalah 16 batang per hari dan kuartil keempat (Q4) rata-rata
permintaan rokoknya adalah 15 batang per hari (Tabel 4.12).
Menurut jumlah tanggungan keluarga (JTK), responden dengan JTK 5 dan 7
orang permintaan rokoknya paling banyak dengan rata-rata 20 batang per hari.
Selanjutnya responden dengan JTK 2 rata-rata permintaan rokok terbanyak kedua
dengan rata-rata 19 batang per hari. Ketiga adalah responden yang memiliki JTK
3 dan 4 orang dengan rata-rata 18 batang per hari. Keempat adalah responden
dengan JTK 8 orang rata-rata permintaan rokoknya 16 batang per hari. Kelima
adalah responden dengan JTK 1 orang dengan rata-rata permintaan rokok 15
batang per hari. Dan yang terakhir adalah responden yang tidak memiliki
54
4.1.4
55
Kuartil Pendapatan
Frekuensi
Q1
Q2
Q3
Q4
Q5
Jumlah Batang
Rokok/Hari
Responden
0 - 400.000
400.001 - 1.037.500
1.037.501 - 2.050.000
2.050.001 - 4.025.000
4.025.001 - 12.000.000
Total
Sumber: Data Primer 2012 (Diolah)
1
34
36
36
36
144
Rata-rata
1,39
23,61
25,00
25,00
25,00
100
8
11
16
15
24
74
10,81
14,86
21,62
20,27
32,43
100
Berdasarkan tabel. 4.13 diketahui bahwa dari 144 responden (100%). Yang
memiliki pendapatan antara Rp. 0,- sampai Rp. 400.000,- sebanyak 2 responden
dengan rata-rata permintaan 8 batang per hari. Kemudian dari 34 responden yang
memiliki pendapatan antara Rp. 400.001,- sampai Rp. 1.037.500,- mempunyai
rata-rata permintaan rokok 11 batang per hari. Sebanyak 36 responden (25%)
memiliki pendapatan antara Rp. 1.037.501,- sampai Rp. 2.050.000 mempunyai
rata-rata permintaan rokok 16 batang per hari. Responden yang berpendapatan
antara Rp.2.050.001,- sampai Rp.4.025.000,- mempunyai rata-rata permintaan
rokok sebesar 15 batang per hari. Dan responden yang berpendapatan antara
Rp.4.025.001,- sampai Rp.12.000.000,- mempunyai rata-rata permintaan yaitu 24
batang per hari.
Hal tersebut menunjukkan bahwa perokok laki-laki yang berpendapatan di
kuartil kelima (Q5) atau pendapatan antara Rp.4.025.001 sampai Rp.12.000.000,mempunyai rata-rata permintaan rokok terbesar. Dan perokok laki-laki yang
berada pada kuartil pendapatan pertama (Q1) mempunyai rata-rata permintaan
rokok terendah.
4.1.4.2 Hubungan Antara Harga Rokok Dengan Permintaan Rokok
56
Tabel 4.14 berikut ini adalah distribusi reponden dilihat dari harga rokok
dengan rata-rata permintaan rokok setiap hari oleh masyarakat di Kota Makassar..
Tabel 4.14 Distribusi Responden Berdasarkan Kelompok Harga Rokok
Jumlah Batang
Rokok/Hari
Responden
Frekuensi
Rata-rata
2,78
18,75
73,61
4,86
100
17
16
16
25
74
22,97
21,62
21,62
33,78
100
57
Jumlah Batang
Rokok/Hari
Responden
Frekuensi
Rata-rata
93
64,58
14
36
25
20
13
9,03
25
1,39
10
100
69
Total
144
Sumber: Data Primer 2012 (Diolah)
%
20,2
9
28,9
9
36,2
3
14,4
9
100
Berdasarkan tabel 4.15 di atas, dapat dilihat bahwa dari 144 responden
(100%), sebanyak 93 responden (64,58%) membeli permen pada kisaran harga
Rp. 500 Rp. 2.499 dengan rata-rata permintaan rokok 14 batang per hari.
Sebanyak 36 responden (25%) membeli permen pada kisaran harga Rp. 2.500
Rp. 4.499 dengan rata-rata konsusmi rokok 20 batang per hari. Selanjutnya,
sebanyak 13 responden (9,03%) membeli permen pada kisaran harga Rp. 4.500
Rp. 6.499 dengan rata-rata permintaan rokok 25 batang per hari. Dan sebanyak 2
responden membeli permen pada kisaran harga > Rp. 6.500 dengan rata-rata
permintaan rokok 10 batang per hari.
58
Tabel 4.16 berikut ini adalah distribusi reponden dilihat dari harga
minuman dengan rata-rata permintaan rokok setiap hari oleh masyarakat di Kota
Makassar.
Tabel 4.16 Distribusi Responden Berdasarkan Kelompok Harga Minuman
Kelompok Harga
Minuman
Jumlah Batang
Rokok/Hari
Responden
Frekuensi
93
36
10
%
64,5
8
25,0
0
6,94
Total
144
Sumber: Data Primer 2012 (Diolah)
3,47
100
Rata-rata
16
19
13
17
65
%
24,6
2
29,2
3
20,0
0
26,1
5
100
59
Tabel 4.17 berikut ini adalah distribusi reponden dilihat dari biaya
kesehatan dengan rata-rata permintaan rokok setiap hari oleh masyarakat di Kota
Makassar.
Jumlah Batang
Rokok/Hari
Responden
Frekuensi
Rata-rata
81,25
10,42
6,25
2,08
100
16
18
20
14
68
23,53
26,47
29,87
20,59
100
Responden
60
Jumlah Batang
Rokok/Hari
Frekuensi
73
Pekerjaan Formal
71
Pekerjaan Non-Formal
144
Total
Sumber: Data Primer 2012 (Diolah)
%
50,69
49,31
100
Rata-rata
18
15
33
%
54,55
54,54
100
Pendapat
Jumlah Batang
Rokok/Hari
Responden
Frekuensi
Setuju
84
Tidak Setuju
60
Total
144
Sumber: Data Primer 2012 (Diolah)
Rata-rata
58,33
41,67
100
17
16
33
50
50
100
61
Tabel 4.20 berikut ini adalah distribusi reponden dilihat dari respon
terhadap fatwa haram merokok MUI yang dapat mempengaruhi rata-rata
permintaan rokok setiap hari oleh masyarakat di Kota Makassar.
Responden
Pendapat
Frekuensi
Setuju
50
Tidak Setuju
94
Total
144
Sumber: Data Primer 2012 (Diolah)
Rata-rata
34,72
65,28
100
15
17
32
53,13
46,87
100
minat
merokok.
Dengan
melihat
perbandingan
rata-rata
4.2 Pembahasan
4.2.1 Hasil Regresi
Untuk mengetahui pengaruh dari tiap-tiap variabel X terhadap variabel Y
maka dilakukanan perhitungan regresi linear berganda dengan menggunakan
Eviews 3.0. Hasil perhitungan regresi linear berganda mengenai faktor-faktor
62
Tabel 4.21
Rekapitulasi Data Hasil Regresi Linear Berganda
Variabel
Coefficient
Std. Error
t-Statistik
Prob.
-2.802114
3.450204
-0.812159
0.4181
X1
0.387515
0.067260
5.761418
0.0000
X2
0.106833
0.358468
0.298028
0.7661
X3
0.213690
0.069840
3.059701
0.0027
X4
-0.213271
0.085534
-2.493410
0.0139
X5
-0.102683
0.034453
-2.980399
0.0034
D1
0.019167
0.076321
0.251136
0.8021
D2
-0.015800
0.069634
-0.226908
0.8208
D3
-0.132197
0.072719
-1.817929
0.0713
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
0.397833
0.362149
0.406610
F-statistik
11.14879
2.077558
144
Df
136
1.977561
63
4.2.2
Interpretasi Hasil
Berdasarkan data pada Tabel 4.22 maka diperoleh model dari perhitungan
-0.213271*lnX4
0.387515*lnX1 +
-
0.102683*lnX5
0.106833*lnX2 +
+
0.019167*D1
0.015800*D2 - 0.132197*D3 + e
4.2.2.1 Konstanta atau Intersep
Hasil regresi menunjukkan bahwa tanpa adanya pengaruh dari variabelvariabel bebas (pendapatan, harga rokok, harga permen, harga minuman, biaya
kesehatan, jenis pekerjaan, efek iklan, dan efek fatwa) permintaan rokok
masyarakat di Kota Makassar adalah sebesar -2.802114. Hasil perhitungan
empiris tersebut sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa permintaan akan
suatu komoditi selain dipengaruhi oleh harga komoditi itu sendiri juga
dipengaruhi oleh beberapa faktor lain yang sangat penting yaitu pendapatan ratarata, jumlah populasi, harga dan tersedianya barang pengganti, selera individu dan
beberapa pengaruh khusus (Samuelson, 2001).
Berbicara mengenai permintaan, berarti berbicara mengenai seorang
konsumen melakukan sejumlah permintaan terhadap sejumlah barang atau jasa
yang dibutuhkan, agar kebutuhan dapat terpenuhi pada suatu waktu tertentu. Jika
yang diperlukan itu adalah barang X, maka terdapat variabel yang turut
menentukan jumlah permintaan barang yang dimaksud. Misalnya tingkat
64
pendapatan orang yang bersangkutan, harga barang itu sendiri, selera, dan lain
sebagainya. Demikian pula dengan permintaan rokok dipengaruhi oleh beberapa
faktor yakni pendapatan, harga rokok, harga permen sebagai barang substitusi,
harga minuman seperti kopi, teh dan susu sebagai barang komplementer, biaya
kesehatan, jenis pekerjaan, dan dua faktor non-ekonomi seperti efek iklan dan
efek fatwa. Hasil perhitungan yang empiris menunjukkan bahwa jika tanpa ada
pengaruh variabel-variabel bebas sebagaimana telah disebutkan maka permintaan
rokok bernilai negatif. Untuk itu masyarakat memerlukan pertimbanganpertimbangan dalam membeli rokok. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
secara simultan variabel pendapatan, harga rokok, harga permen, harga minuman,
biaya kesehatan, jenis pekerjaan, efek iklan, dan efek fatwa mempunyai pengaruh
yang cukup berarti terhadap jumlah permintaan rokok.
4.2.2.2 Pendapatan (X1)
Dari hasil regresi, pendapatan (X1) mempunyai nilai koefisien sebesar
0,387515 dengan nilai tstatistik sebesar 5,761418 dengan tingkat signifikansi di mana
tingkat probabilitas adalah sebesar 0,0000 dimana nilainya < 0,05 sehingga dapat
dikatakan signifikan pada = 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan
pendapatan terhadap permintaan rokok masyarakat di Kota Makassar adalah
posiitif dan signifikan. Sehingga dapat dikatakan bahwa jika pendapatan naik 1%
maka permintaan rokok juga naik sebesar 0,387515% dengan asumsi citeris
paribus. Oleh karena variabel pendapatan (X1) terbukti berpengaruh positif dan
signfikan terhadap permintaan rokok (Y) maka hipotesis diterima.
4.2.2.3 Harga Rokok (X2)
Hasil regeresi harga rokok (X2) menunjukkan bahwa nilai koefisien
sebesar 0,106833 dan tstatistik sebesar 0,298028 dengan tingkat signifikansi di mana
65
tingkat probabilitas adalah sebesar 0,7661 dimana nilainya > 0,05 sehingga dapat
dikatakan tidak signifikan pada = 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa harga rokok
tidak berpengaruh signfikan terhadap permintaan rokok masyarakat di Kota
Makassar. Oleh karena tidak terdapatnya hubungan yang signifikan antara harga
rokok dengan permintaan rokok maka hipotesis yang diajukan ditolak.
4.2.2.4 Harga Permen (X3)
Hasil regresi harga permen (X3) menunjukkan nilai koefisien sebesar
0,213690 dan tstatistik sebesar 3,059701 dengan tingkat signifikansi di mana tingkat
probabilitas adalah sebesar 0,0027 dimana nilainya < 0,05 sehingga dapat
dikatakan signifikan pada = 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan antara
harga permen dengan permintaan rokok masyarakat di Kota Makassar adalah
positif dan signifikan. Sehingga dapat dikatakan bahwa jika harga permen naik
1% maka permintaan rokok akan naik sebesar 0, 213690 %. Oleh karena variabel
harga permen (X3) terbukti berpengaruh positif dan signfikan terhadap
permintaan rokok (Y) maka hipotesis diterima.
4.2.2.5 Harga Minuman (X4)
Hasil regresi harga minuman (X4) menunjukkan nilai koefisien sebesar
(-0,213271) dan tstatistik sebesar 2,493410 dengan tingkat signifikansi di mana
tingkat probabilitas adalah sebesar 0,0139 dimana nilainya < 0,05 sehingga dapat
dikatakan signifikan pada = 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan antara
harga minuman dengan permintaan rokok masyarakat di Kota Makassar adalah
negatif dan signifikan. Sehingga dapat dikatakan bahwa jika harga minuman naik
1% maka permintaan rokok akan turun sebesar 0,213271%. Oleh karena variabel
harga minuman (X4) terbukti berpengaruh negatif dan signfikan terhadap
permintaan rokok (Y) maka hipotesis diterima.
4.2.2.6 Biaya Kesehatan (X5)
66
67
X1
X2
X3
X4
X5
D1
D2
D3
Y
X1
X2
X3
X4
X5
D1
1.000000
0.472886
0.125047
0.454495
-0.027359
0.071555
0.165396
0.472886
1.000000
0.101498
0.536286
0.458653
0.596471
0.405266
0.125047
0.101498
1.000000
0.088556
-0.080488
0.022198
0.041533
0.454495
0.536286
0.088556
1.000000
0.082287
0.340135
0.283030
-0.027359
0.458653
-0.080488
0.082287
1.000000
0.436078
0.315149
0.071555
0.596471
0.022198
0.340135
0.436078
1.000000
0.357774
0.165396
0.405266
0.041533
0.283030
0.315149
0.357774
1.000000
0.013887
0.037007
-0.112915
0.006137
0.009712
-0.049872
0.021147
-0.128369
0.036914
-0.082748
0.084399
0.024923
0.154509
0.030415
68
D2
D3
0.013887
-0.128369
0.037007
0.036914
-0.112915
-0.082748
0.006137
0.084399
0.009712
0.024923
-0.049872
0.154509
0.021147
0.030415
1.000000
0.024656
Di mana:
Y
: Permintaan Rokok
X1
: Pendapatan
X2
: Harga Rokok
X3
: Harga Permen
X4
: Harga Minuman
X5
: Biaya Kesehatan
D1
: Jenis Pekerjaan
D2
: Efek Iklan
D3
: Efek Fatwa
Berdasarkan tabel 4.22 di atas, dapat diketahui bahwa tidak ada masalah
69
0.024656
1.000000
4.0
3.5
3.0
2.5
1.0
2.0
0.5
1.5
0.0
-0.5
-1.0
-1.5
20
40
60
80
Residual
100
Actual
120
140
Fitted
Dependent Variable: Y
Method: Least Squares
Date: 04/08/12 Time: 01:33
Sample: 1 144
Included observations: 144
Variable
Coefficient
C
-2.802114
X1
0.387515
X2
0.106833
X3
0.213690
X4
-0.213271
Std. Error
3.450204
0.067260
0.358468
0.069840
0.085534
70
t-Statistic
-0.812159
5.761418
0.298028
3.059701
-2.493410
Prob.
0.4181
0.0000
0.7661
0.0027
0.0139
X5
D1
D2
D3
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
Sum squared resid
Log likelihood
Durbin-Watson stat
-0.102683
0.019167
-0.015800
-0.132197
0.397833
0.362149
0.406610
22.31973
-70.09449
1.646289
0.034453 -2.980399
0.076321
0.251136
0.069634 -0.226908
0.072719 -1.817929
Mean dependent var
S.D. dependent var
Akaike info criterion
Schwarz criterion
F-statistic
Prob(F-statistic)
0.0034
0.8021
0.8208
0.0713
2.685096
0.509117
1.098535
1.284148
11.14879
0.000000
0.097702
0.084191
4.2.4
minuman, biaya kesehatan, jenis pekerjaan, efek iklan, dan efek fatwa, dilakukan
analisis regresi linear berganda/Ordinary Least Square (OLS). Di mana dalam
71
analisis ini, yang menjadi variabel terikat (dependent variable) adalah jumlah
permintaan rokok masyarakat di Kota Makassar (Y), sedangkan variabel bebasnya
(independent variable) adalah pendapatan (X1), harga rokok (X2), harga permen
(X3), harga minuman (X4), biaya kesehatan (X5), jenis pekerjaan (D1), efek iklan
(D2), dan efek fatwa (D3).
72
73
pendapatan (X1) tehadap permintaan rokok (Y) adalah signifikan. Hal ini
menunjukkan bahwa pada tingkat kepercayaan 95% atau : 5%, variabel
bebas (X1) berpengaruh positif dan signifikan terhadap variabel terikat (Y).
2. Nilai koefisien untuk variabel harga rokok (X2) adalah 0,106833. Nilai
koefisien X2 > 0, di mana jika nilai koefisien n > 0 maka hubungannya
positif. Sementara nilai tstatistik harga rokok (X2) adalah sebesar 0,298028.
Nilai tstatistik ini lebih kecil dari nilai ttabel pada : 5% dan df = 136 . Di mana
jika tstatistik < ttabel maka tidak terdapat hubungan yang signifikan. Hal ini
berarti bahwa antara variabel harga rokok (X2) dengan permintaan rokok
(Y) tidak terdapat hubungan yang signifikan.
3. Nilai koefisien untuk variabel harga permen (X3) adalah sebesar 0,213690.
Nilai koefisien X3 > 0 di mana jika nilai koefisien n > 0 maka
hubungannya positif. Hal ini berarti variabel harga permen (X3) mempunyai
hubungan positif dengan permintaan rokok (Y). Sementara nilai t statistik harga
permen (X3) adalah sebesar 3,059701 di mana nilainya lebih besar dari nilai
ttabel sebesar 1,977561 yang berarti terdapat hubungan signfikan antara
variabel harga permen (X3) dan permintaan rokok (Y). Berdasarkan hal
tersebut maka variabel bebas X3 berpengaruh positif dan signifikan
terhadap permintaan rokok (Y).
4. Dari hasil regresi pada tabel 4.22, nilai koefisien variabel harga minuman
(X4) adalah -0,213271. Nilai koefisien X4 < 0, di mana jika n < 0 maka
hubungannya negatif. Hal ini berarti variabel harga minuman (X4)
mempunyai hubungan negatif dengan permintaan rokok (Y). Sementara
nilai tstatistik harga minuman (X4) adalah 2,493410. Karena nilai t statistik variabel
X4 > nilai ttabel maka variabel harga minuman (X4) berpengaruh signifikan
74
terhadap permintaan rokok (Y). Hal ini menunjukkan bahwa pada tingkat :
5%, variabel harga minuman (X4) berpengaruh negatif dan signifikan
terhadap permintaan rokok (Y).
5. Nilai koefisien variabel biaya kesehatan (X5) adalah -0,102683, di mana
jika n < 0 maka hubungannya negatif. Hal ini berarti variabel biaya
kesehatan (X5) mempunyai hubungan negatif terhadap permintaan rokok
(Y). Sementara nilai tstatistik biaya kesehatan (X5) sebesar 2,980399 > ttabel
1,977561 yang artinya terdapat hubungan yang signifikan antara variabel
biaya kesehatan (X5) dengan variabel permintaan rokok (Y). hal ini
menunjukkan bahwa pada tingkat kepercayaan 95%, variabel bebas (X5)
berpengaruh negatif dan signifikan terhadap variabel terikat (Y).
6. Nilai koefisien untuk variabel jenis pekerjaan (D1) adalah 0,019167. Nilai
koefisien D1 > 0, di mana jika nilai koefisien n > 0 maka hubungannya
positif. Sementara nilai tstatistik jenis pekerjaan (D1) adalah sebesar 0,251136.
Nilai tstatistik ini lebih kecil dari nilai ttabel pada : 5% dan df = 136 yaitu
sebesar 1,977561. Di mana jika t statistik < ttabel maka tidak terdapat hubungan
yang signifikan. Hal ini berarti bahwa antara variabel jenis pekerjaan (D1)
dengan permintaan rokok (Y) tidak terdapat hubungan yang signifikan.
7. Nilai koefisien untuk variabel efek iklan (D2) adalah -0,015800. Nilai
koefisien D2 < 0, di mana jika nilai koefisien n < 0 maka hubungannya
negatif. Sementara nilai tstatistik efek iklan (D2) adalah sebesar 0,226908.
Nilai tstatistik ini lebih kecil dari nilai ttabel sebesar 1,977561. Di mana jika tstatistik
< ttabel maka tidak terdapat hubungan yang signifikan. Hal ini berarti bahwa
antara variabel bebas (D2) dengan permintaan rokok (Y) tidak terdapat
hubungan yang signifikan.
75
8. Nilai koefisien untuk varaibel efek fatwa (D3) adalah -0,132197. Nilai
koefisien D3 < 0, di mana jika nilai koefisien n < 0 maka hubungannya
negatif. Sementara nilai tstatistik efek fatwa (D3) adalah sebesar 1,817929.
Nilai tstatistik ini lebih kecil dari nilai ttabel sebesar 1,977561 . Di mana jika
tstatistik < ttabel maka tidak terdapat hubungan yang signifikan. Hal ini berarti
bahwa antara variabel bebas (D3) dengan permintaan rokok (Y) tidak
terdapat hubungan yang signifikan.
Maka dapat disimpulkan bahwa variabel yang secara statistik berpengaruh
signifikan terhadap permintaan rokok masyarakat di Kota Makassar adalah
pendapatan (X1), harga permen (X3), harga minuman (X4) dan biaya kesehatan
(X5).
4.2.4.3 Deteksi Signifikansi Simultan (Uji Statistik F)
Pengujian terhadap pengaruh semua variabel independen di dalam model
dapat dilakukan dengan uji simultan (uji F). Uji statistik F pada dasarnya
menunjukkan apakah semua variabel bebas yang dimasukkan dalam model
mempunyai pengaruh secara bersama-sama terhadap variabel terikat. Dari hasil
regresi pengaruh pendapatan, harga rokok, harga permen, harga minuman, biaya
kesehatan, jenis pekerjaan, efek iklan, dan efek fatwa terhadap frekuensi
permintaan rokok masyarakat di Kota Makassar, maka diperoleh F-tabel sebesar
2,077558 (: 5% dan df: 144 - 8=136) sedangkan F-statistik / F-hitung sebesar
11,14879.
Maka dapat disimpulkan bahwa variabel bebas (X1, X2, X3, X4, X5, D1,
D2, dan D3) secara simultan (bersama-sama) berpengaruh terhadap variabel
terikat (Y) karena nilai F-hitung > F-tabel.
76
Adioetomo,
2005)
bahwa
Kelompok
masyarakat
berpendapatan
77
78
menyatakan bahwa terdapat hubungan negatif (atau berlawanan arah) antara harga
dan jumlah dua barang yang saling berhubungan komplementer (Rosyidi, 2006).
Hal demikian terjadi pada perubahan harga minuman pendamping rokok akan
mempengaruhi perubahan permintaan rokok.
4.2.5.5 Biaya Kesehatan (X5)
Sesuai hipotesis yang diajukan bahwa biaya kesehatan terbukti
berpengaruh negatif dan signifikan terhadap permintaan rokok masyarakat di Kota
Makassar. Biaya kesehatan yang besar akan muncul ketika seorang perokok
mengkonsultasikan kesehatan ke dokter parktek atau rumah sakit yang dapat
mengeluarkan biaya tinggi. Dalam jangka panjang, permintaan rokok akan
berkurang apabila pengeluaran akibat dampak penyakit yang ditimbulkan rokok
dirasakan seorang perokok semakin tinggi.
Melalui pendekatan direct medical cost yakni biaya pengobatan dan
perawatan yang dikeluarkan oleh masyarakat secara individual, hasil observasi di
lapangan menunjukkan bahwa bagi perokok berat yang telah mengkonsumsi
rokok sejak lama, beban penyakit akibat rokok yang dirasakan juga semakin berat.
Semakin berat beban penyakit yang dirasakan, keinginan untuk sembuh dan
mengobatinya juga semakin tinggi. Dari keinginan untuk pengobatan dan
perawatan itulah timbul biaya kesehatan. Walaupun beberapa responden
menggunakan Askes atau Jamkesmas dalam penggunaan pelayanan kesehatan,
tetapi tetap saja mereka harus menanggung biaya pengobatan lanjutan seperti
pembelian obat paten dan chek-up rutin. Karena baik Askes maupun Jamkesmas,
ada beberapa jenis obat dan administrasi lain yang tidak ditanggung oleh pihak
rumah sakit sehingga pengguna pelayanan kesehatan sendiri yang harus
menanggungnya.
79
Oleh karena itu, biaya kesehatan atau pengeluaran kesehatan yang besar
memacu keinginan untuk mengurangi konsumsi rokok sehari-hari dan mengurangi
pembelian rokok.
4.2.5.6 Jenis Pekerjaan (D1)
Hasil regresi menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan signifikan antara
pekerjaan formal dan pekerjaan informal. Artinya semakin baik pekerjaan seorang
perokok tidak menjamin permintaan rokoknya akan tinggi. Banyak pekerjaan
diluar sektor formal yang permintaan rokoknya juga tinggi. Hal ini tidak sejalan
dengan penelitian Ahsan (2006) yang menemukan bahwa pekerjaan secara
statistik signifikan terhadap permintaan rokok, dan penelitian Hu dan Tsai (2000)
yang menemukan bahwa Pendidikan dan pekerjaan adalah faktor yang sangat
mempengaruhi permintaan rokok di pedesaan Cina.
4.2.5.7 Efek iklan (D2)
Hasil regresi menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan signifikan antara
tanggapan setuju dengan iklan rokok dan tidak setuju dengan iklan rokok
mempengaruhi permintaan rokok. Artinya bagi seorang perokok, dengan atau
tanpa iklan ia akan tetap mencari rokok karena tak dapat lepas dari cengkraman
barang tersebut. Hal ini tidak sejalan dengan penelitian Andrews dan Franke
(1991) yang menemukan bahwa ada hubungan yang signifikan antara iklan dan
permintaan rokok.
4.2.5.8 Efek Fatwa (D3)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan signifikan
antara tanggapan setuju dengan fatwa MUI dan tidak setuju dengan fatwa MUI
mempengaruhi permintaan rokok. Artinya bagi seorang perokok, fatwa MUI tidak
secara signifikan mempengaruhi jumlah rokok yang dikonsumsi. Dalil-dalil
mengenai haramnya merokok dianggap tidak relevan, karena dalil-dalil dalam Al
80
81
pengaruh
positif
dan
signifikan
terhadap
82
5.2 Saran
1. Diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai analisis permintaan rokok
terutama variabel harga rokok, biaya kesehatan, jenis pekerjaan, efek iklan
dan efek fatwa sehingga hasilnya lebih bagus lagi.
2. Kepada pemerintah dan masyarakat diperlukan kerjasama yang baik dalam
upaya mengurangi dampak negatif rokok.
3. Kampanye anti rokok diperlukan bagi mereka yang termasuk dalam kelas
menengah (kuartil 2 4). Oleh karena studi ini menemukan bahwa mereka
yang termasuk dalam kuartil 2 4 memiliki rata-rata permintaan rokok yang
tinggi. Kampanye ini dapat dilakukan dengan cara-cara yang sesuai dengan
karakteristik mereka seperti pentingnya pengalihan pengeluaran untuk rokok
ke hal-hal yang produktif seperti pendidikan dan kesehatan.
83