Anda di halaman 1dari 83

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Rokok adalah jenis barang yang unik terutama cara mengkonsumsinya. Setiap
tahunnya dari tahun 2002 sampai dengan tahun 2007 Indonesia menempati urutan
kelima konsumsi rokok terbesar setelah China, Amerika Serikat, Rusia, dan
Jepang. Hal tersebut dapat dilihat pada gambar 1.1 sebagai berikut:
Gambar 1.1
Lima Negara dengan Konsumsi Rokok Terbesar
(milyar batang)

Dalam suatu perekonomian pasar bebas, pemerintah pada umumnya


membiarkan rakyat memutuskan apa yang akan mereka beli dengan uangnya dan
demi kepentingan kebebasan pribadi pemerintah harus menghormati preferensipreferensi mereka. Dalam beberapa hal, secara hati-hati dan dengan keraguan
yang besar, pemerintah memutuskan untuk mengesampingkan keputusankeputusan pribadi orang dewasa. Hal ini menyangkut merit goods, yaitu barang

yang konsumsinya dianggap bermanfaat secara intrinsik, dan demerit goods yaitu
barang yang konsumsinya dianggap membahayakan. (Samuelson dan Nordhaus,
2001).
Salah satu hal paling kontroversial mengenai demerit goods berkenaan
dengan kecanduan. Rokok adalah jenis barang yang mengandung zat adiktif.
Perokok berat yang kecanduan mungkin sangat menyesali kebiasaan yang
diperoleh itu; namun, seperti itulah tabiat kecanduan, sulit untuk menghilangkan
kebiasaan itu jika sudah menjadi mapan.
Pasar untuk zat-zat adiktif adalah bisnis besar. Dan setiap tahunnya
permintaan akan barang yang mengandung zat tersebut seperti rokok senantiasa
meningkat. Hal tersebut dapat dilihat pada grafik sebagai berikut.
Gambar 1.2
Tingkat Konsumsi Rokok Indonesia Tahun 1999 2008
(milyar batang)
300
250
200

225 232 227


182

214 220
198 202

239 240

150

Konsumsi rokok

100
50
0

1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008

(Sumber: http://staff .ui.ac.id dalam Arios, 2011)

Konsumsi rokok di Indonesia pada tahun 2002 sempat mengalami penurunan


karena adanya peraturan dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang batasan penyiaran
produksi rokok. Akan tetapi konsumsi rokok di Indonesia kembali meningkat

pada tahun 2003 dan mencapai 240 milyar batang tahun 2008. Tingkat konsumsi
rokok yang tinggi di masyarakat ini menunjukkan bahwa rokok merupakan
produk yang permintaannya tinggi dan sudah menjadi salah satu kebutuhan
masyarakat.
Berdasarkan Data Kementerian Kesehatan tahun 2010, pada 2001 tercatat
perokok aktif berjumlah 31,5 persen dari penduduk, sedang pada tahun 2010
angkanya sudah melonjak menjadi 34,7 persen. Artinya, sepertiga orang Indonesia
adalah perokok aktif. (Artikel: Persentase Jumlah Perokok Usia Muda
Meningkat Tajam, 2011).
Merokok merupakan salah satu bentuk perilaku manusia, yang dalam teorinya
dikenal sebagai teori perilaku konsumen (the theory of consumer behavior).
Menurut Olson (1999) dalam Arios (2011), salah satu konsep penting dalam studi
perilaku konsumen adalah sikap konsumen. Sikap konsumen akan menentukan
perilaku pembeliannya, sehingga untuk mempengaruhi perilaku ini, dilakukan
terlebih dahulu pengaruh kepada sikapnya. Sikap merupakan ekspresi yang
menunjukkan apakah seseorang menginginkan atau tidak terhadap suatu obyek,
seperti produk, kategori produk, dan merek. Sikap terbentuk dari pengalaman
langsung terhadap produk, informasi yang diperoleh dari orang lain, dan
pengenalan melalui media massa (iklan). Perilaku merokok yang terbentuk juga
berawal dari persepsi konsumen terhadap rokok, di mana persepsi tersebut berupa
kesan (image) dan informasi tentang rokok.

Selain itu, perilaku konsumen juga menjelaskan bagaimana konsumen


mengalokasikan pendapatan mereka untuk membeli berbagai macam barang dan
jasa.
Konsumen memilih barang-barang yang dapat memaksimalkan kepuasan
mereka. Di mana barang tersebut bergantung pada pendapatan dan harga barang
itu sendiri. Selain pendapatan dan harga barang itu sendiri, harga barang substitusi
dan komplementer juga ikut mempengaruhi jumlah barang yang diminta. Dalam
teori ekonomi

mikro,

apabila hubungan antara

harga barang dengan

permintaannya negatif maka barang itu disebut dengan barang normal (normal
good). Namun jika hubungan tersebut positif maka barang tersebut dinamakan
dengan barang inferior (inferior good). Komoditas rokok menurut Ahsan (2006)
merupakan barang normal karena semakin tinggi harga barang tersebut maka
jumlah permintaannya akan semakin berkurang, akan tetapi pengaruh kenaikan
harga terhadap permintaan rokok diperkirakan kecil, artinya elastisitas permintaan
karena harga (price elasticity of demand)-nya kecil, karena barang tersebut
bersifat adiktif
Pendapatan konsumen akan menentukan besarnya daya beli yang dimilikinya.
Sehingga untuk barang normal, peningkatan pendapatan konsumen akan
meningkatkan permintaan barang tersebut. Sebaliknya untuk barang inferior,
peningkatan pendapatan konsumen justru akan menurunkan permintaan terhadap
barang tersebut.
Merokok merupakan salah satu bentuk perilaku yang kurang baik karena
masyarakat sudah mengetahui dengan jelas bahaya kesehatan yang ditimbulkan

oleh rokok. Beberapa penyakit yang disebabkan oleh kebiasaan merokok antara
lain jantung, gangguan pembuluh darah, kanker mulut, kanker paru-paru, kanker
laring, kanker osefagus, kanker pankreas, bronchitis, tekanan darah tinggi,
impotensi serta gangguan kehamilan hingga cacat pada janin. Penyakit yang
semakin parah memerlukan biaya penyembuhan yang semakin besar. Berdasarkan
hasil survei Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia tahun 2007, sebanyak
1.127 orang meninggal setiap hari akibat rokok. Dari 1.127 orang yang meninggal
itu, 67 persennya merupakan laki-laki (Prabandari, 2009).
Dalam mencapai tujuan Pembangunan Kesehatan Indonesia yakni penduduk
yang

memiliki

derajat

kesehatan

yang

optimal,

pemerintah

telah

mengkomunikasikan kepada masyarakat tentang bahaya merokok. Selain itu,


peraturan pemerintah mengenai larangan merokok juga telah dikeluarkan dalam
Peraturan Pemerintah No.19 Tahun 2003 (PP No.19 Tahun 2003) tentang
Pengamanan Rokok bagi Kesehatan. PP No.19 Tahun 2003 mengatur kandungan
nikotin dan tar, persyaratan produksi dan penjualan rokok, persyaratan iklan dan
promosi rokok, serta penetapan kawasan tanpa rokok. Bahkan demi mengurangi
tingkat konsumsi rokok di masyarakat, Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga
mengeluarkan fatwa haram merokok pada tahun 2009. (Arios, 2011).
Di Provinsi Sulawesi Selatan, Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2010,
diperoleh jumlah prevalensi penduduk umur > 15 tahun menurut jumlah
permintaan

rokok

(jumlah

batang

yang

dihisap

perhari

yaitu

47,3%

mengkonsumsi rokok 1 10 batang/hari, 46% (11 20 batang/hari), 2% (21 30


batang/hari) dan 4,6% (31+ batang/hari).

Sementara, data jumlah perokok di kota Makassar yaitu 22,1% atau 287.300
orang dengan rata-rata konsumsi 10,6 batang/hari atau sekitar 3 juta batang rokok
mengepul di udara tiap hari di kota metropolitan tersebut. Dari jumlah perokok
tersebut, sebanyak 2,2% berusia 10-14 tahun, dengan rata konsumsi rokok 5,2
batang perhari, sedangkan berdasarkan frekuensi merokok sebanyak 0,8% mulai
merokok tiap hari pada usia 5 9 tahun dan 7,7% pada usia 10 14 tahun
(Maidin, 2011).
Berdasarkan uraian tersebut maka penulis tertarik untuk meneliti Analisis
Faktor yangMempengaruhi Permintaan Rokok Masyarakat Di Kota Makassar
Tahun 2012.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi masalah pokok
penelitian ini adalah: Seberapa besar pengaruh pendapatan, harga rokok, harga
permen, harga minuman, biaya kesehatan, jenis pekerjaan, efek iklan, dan efek
fatwa terhadap permintaan rokok masyarakat di Kota Makassar?

1.3 Tujuan Penelitian


Berdasarkan rumusan masalah tersebut di atas, maka tujuan yang penulis
ingin capai dalam penelitian ini adalah: Untuk mengetahui dan menganalisis
besarnya pengaruh pendapatan, harga rokok, harga permen, harga minuman, biaya
kesehatan, jenis pekerjaan, efek iklan, dan efek fatwa terhadap permintaan rokok
masyarakat di Kota Makassar.

1.4 Manfaat Penelitian


Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi yang menarik
dan bahan masukan bagi masyarakat, pihak-pihak atau pun badan atau
instansi yang terkait dalam melihat perkembangan permintaan rokok di
masa yang akan datang.
2. Sebagai suatu karya ilmiah yang diharapkan dapat memperkaya khasanah
ilmu pengetahuan dan sebagai salah satu bahan bacaan yang berharga bagi
peneliti berikutnya.
3. Bagi peneliti sendiri merupakan sebuah pengalaman yang sangat berharga
dalam upaya menerapkan ilmu pengetahuan yang diperoleh selama
pendidikan di Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Teoritis


2.1.1 Teori Permintaan
Menurut Samuelson (2001), permintaan adalah Hubungan jelas antara
harga pasar suatu barang dengan jumlah yang diminta, dengan catatan faktor lain
tetap tidak berubah. Sedangkan menurut Salvator (2006), permintaan adalah
Jumlah suatu komoditi yang bersedia dibeli individu selama periode waktu
tertentu merupakan fungsi dari atau tergantung pada komoditi itu, pendapatan
nominal individu, harga komoditi lain, dan cita rasa individu.
Dari kedua pendapat tersebut diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa
permintaan pada hakekatnya adalah hubungan antara harga dan kuantitas.
Hubungan tersebut dapat digambarkan pada kurva permintaan.
Kurva permintaan dapat bergeser ke kiri atau ke kanan sebagai efek faktor
bukan harga. Secara umum faktor penentu permintaan yaitu harga barang itu
sendiri, harga barang lain yang berkaitan erat dengan barang tersebut, pendapatan
rumah tangga dan pendapatan rata-rata masyarakat, corak distribusi pendapatan
dalam masyarakat, cita rasa masyarakat, jumlah penduduk, dan ramalan mengenai
keadaan di masa yang akan datang (Palutturi, 2005).
Permintaan akan suatu komoditi selain dipengaruhi oleh harga komoditi itu
sendiri juga dipengaruhi oleh beberapa faktor lain yang sangat penting yaitu
pendapatan rata-rata, jumlah populasi, harga dan tersedianya barang pengganti,
selera individu dan beberapa pengaruh khusus (Samuelson, 2001).

Pemilihan atas berbagai barang dan jasa yang dibutuhkan adalah hal
pertama yang dilakukan seseorang dalam usaha memenuhi kebutuhannya.
Perilaku permintaan konsumen terhadap barang dan jasa akan dipengaruhi oleh
beberapa faktor, diantaranya: pendapatan, selera konsumen, dan harga barang,
disaat kondisi yang lain tidak berubah (ceteris paribus). Perilaku konsumen ini
didasarkan pada Teori Perilaku Konsumen (the theory of consumer behavior) yang
menjelaskan bagaimana seseorang dengan pendapatan yang diperolehnya, dapat
membeli berbagai barang dan jasa sehingga tercapai kepuasan tertentu sesuai
dengan apa yang diharapkannya. (Pindyck dan Rubinfeld, 2007).
Ada dua pendekatan pokok mengenai teori permintaan konsumen yang
dikemukakan oleh Richard Bilas yang pertama adalah teori permintaan konsumen
analisis guna batas, dan yang kedua adalah teori permintaan konsumen analisis
kurva indiferen. Teori permintaan konsumen analisis guna batas disebut sebagai
pendekatan cardinal atau sering juga dikenal dengan marginal utility. Marginal
utility merupakan tambahan kepuasan yang diperoleh konsumen karena tambahan
unit barang yang diperoleh konsumen karena tambahan unit barang yang
dikonsumsi oleh konsumen tersebut. secara matematis kepuasan konsumen dapat
dituliskan sebagai berikut:
TU = U1 + U2 + U3 + . + Un
Di mana TU = total utilty, sedangkan U1 - Un adalah utilty atas suatu barang
yang dikonsumsi. Kepuasan maksimum diperoleh ketika tambahan kepuasan atas
konsumsi suatu barang sama dengan harga barang yang dibayarkan (untuk
konsumsi satu jenis barang). Secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut:
MU = P
Sedangkan, teori permintaan konsumen analisis kurva indiferen sering juga
dikenal dengan sebutan pendekatan ordinal. Pendekatan ordinal muncul sebagai

akibat adanya kelemahan pada pendekatan kardinal, yang menyatakan kepuasan


total atau kepuasan tambahan bisa diukur dalam angka. Menurut pendekatan
ordinal kepuasan itu tidak perlu diukur, tetapi dibuat peringkat atau ranking
(ordinal magnitude). Konsumen harus mampu membuat keputusan untuk memilih
suatu barang yang dikonsumsi diantara berbagai pilihan yang dihadapi. Ekonom
Vilfredo Pareto (1848-1923) menemukan bahwa seluruh unsur penting dari teori
permintaan dapat dianalisis dengan tanpa konsep utilitas. Pareto mengembangkan
apa yang dewasa ini disebut kurva-kurva indiferens (indifference curves). Kurva
ini dapat menunjukkan selera dan ekuilibrium konsumen. Kurva indiferen
menunjukkan berbagai kombinasi dari komoditi X dan komoditi Y yang
menghasilkan utilitas atau kepuasan yang sama kepada konsumen. Kurva
indiferen yang lebih tinggi menunjukkan jumlah kepuasan yang semakin besar
dan sebaliknya kurva yang lebih rendah menunjukkan jumlah kepuasan yang lebih
rendah pula. (Samuelson dan Nordhaus, 2001).

Gambar. 2.1 Kurva Indiferen


Qy
Y1

Y2

IC

Qx
Berbicara mengenai 0
permintaan
tidak
X1
X2 akan pernah lepas dari hukum
permintaan. Samuelson (2001, menyebutkan hukum permintaan berbunyi: Jika
harga suatu komoditi naik (dan hal-hal lain tidak berubah), pembeli cenderung

10

lebih sedikit membeli komoditi tersebut. demikian halnya jika harga turun, dan
hal-hal lain tidak berubah, jumlah barang yang dibeli akan meningkat.
Banyaknya komoditi tertentu yang dibeli orang tergantung pada harganya.
Makin tinggi harga suatu barang, sementara hal lain dianggap konstan, makin
sedikit unit yang diinginkan konsumen untuk dibeli. Makin rendah harga
pasarnya, makin banyak unitnya yang diinginkan untuk dibeli. (Samuelson, 2001)
Hubungan kuantitatif antara harga dan kuantitas yang yang dibeli dianalisis
dengan menggunakan konsep elastisitas. Elastisitas permintaan mengukur
perubahan relatif dalam jumlah unit barang yang dibeli sebagai akibat perubahan
faktor-faktor yang mempengaruhinya (ceteris paribus). Secara spesifik, elastisitas
adalah suatu bilangan yang menunjukkan persentase perubahan yang terjadi pada
suatu variabel sebagai reaksi atas setiap 1 persen kenaikan pada variabel lain.
Elastisitas permintaan perlu dibedakan kepada tiga konsep yaitu: elastisitas
permintaan karena harga (price elasticity of demand), elastisitas permintaan
karena pendapatan (income elasticity of demand), dan elastisitas permintaan
karena harga silang (cross price elasticity of demand). (Pindyck dan Rubinfeld,
2007).
2.1.2 Konsep Permintaan Rokok
Rokok adalah komoditas perdagangan penting di dunia termasuk Indonesia
dan merupakan produk bernilai tinggi, sehingga bagi beberapa negara termasuk
Indonesia berperan dalam perekonomian nasional, yaitu sebagai salah satu sumber
devisa, sumber penerimaan pemerintah dan pajak (cukai), sumber pendapatan
petani dan lapangan kerja masyarakat (usaha tani dan pengolahan rokok).
(Rachmat, 2010).
Rokok merupakan barang normal, karena semakin tinggi harga barang
tersebut maka jumlah permintaannya akan semakin berkurang, akan tetapi

11

pengaruh kenaikan harga terhadap permintaan rokok diperkirakan kecil artinya


elastisitas permintaan karena harga (price elasticity of demand) kecil, karena
barang tersebut bersifat adiktif
Pendapatan konsumen akan menentukan besarnya daya beli yang
dimilikinya. Sehingga untuk barang normal, peningkatan pendapatan konsumen
akan menaikkan permintaan barang tersebut. Sebaliknya untuk barang inferior,
peningkatan pendapatan konsumen justru akan menurunkan konsumsinya.
Rokok yang dikonsumsi masyarakat cukup bervariasi dari berbagai merek.
Pada umumnya jenis rokok yang dikonsumsi dikelompokkan atas Sigaret Kretek
Mesin (SKM), Sigaret Kretek Tangan (SKT), Sigaret Putih Mesin (SPM). SKM
dan SKT adalah jenis rokok kretek yang bahan baku atau isinya berupa daun
tembakau dan cengkeh yang diberi saus untuk mendapatkan efek rasa dan aroma
tertentu. Tapi yang membedakannya adalah proses pembuatannya, SKM
menggunakan mesin pembuat rokok (contoh: Gudang Garam International,
Djarum Super, A Mild, Clas Mild, dll), sementara SKT adalah rokok yang proses
pembuatannya dengan cara digiling atau dilinting dengan menggunakan tangan
dan atau alat bantu sederhana. SPM adalah rokok yang bahan baku atau isinya
hanya daun tembakau yang diberi saus untuk mendapatkan efek rasa dan aroma
tertentu yang proses pembuatannya menggunakan mesin.
2.1.2.1 Hubungan antara Pendapatan dengan Permintaan Rokok
Pendapatan merupakan faktor yang sangat penting dalam menentukan
corak permintaan terhadap berbagai barang atau jasa. Perubahan pendapatan
selalu menimbulkan perubahan terhadap permintaan berbagai jenis barang.
Hubungan antara keduanya diselidiki pertama kali oleh Ernst Engel (1857) dalam
Rosyidi (2006). Ada hubungan khusus yang harus dicatat antara pendapatan dan

12

jumlah barang yang diminta. Jika pendapatan naik, jumlah barang yang diminta
mungkin naik dan mungkin turun. Jika jumlah barang yang diminta bergerak
searah dengan perubahan pendapatan, maka barang yang bersangkutan disebut
barang normal. Namun, jika berlawanan arah, maka barang bersangkutan disebut
barang bermutu rendah atau inferior good.
Oleh karena itu, ada hubungan (asosiasi) antara tingginya pendapatan
dengan besarnya permintaan akan tembakau, terutama dalam hal hasil olahan
tembakau berupa rokok. Jika pendapatan meningkat maka garis pendapatan akan
bergeser kekanan sehingga jumlah rokok yang diminta meningkat.
Kelompok
masyarakat
berpendapatan
tinggi (high-income)
mengkonsumsi lebih banyak rokok dibandingkan dengan kelompok masyarakat
berpendapatan

rendah

(low-income),

meskipun

fakta bahwa

kelompok berpendapatan tinggi memiliki pendidikan yang lebih baik. Di negara


maju, orang berpendidikan cenderung memiliki informasi lebih banyak dan
dengan demikian memperoleh pemahaman yang lebih akan bahaya merokok
terhadap kesehatan (health hazards). Di negara berkembang seperti Indonesia,
informasi tentang bahaya kesehatan dari merokok belum disebarluaskan secara
efektif.

Pendapatan

yang

tinggi mencerminkan daya

beli

tinggi, dan

berhubungan dengan konsumsi rokok yang lebih besar. (Jha and Chaloupka, 2000
dalam Adioetomo, 2005)
Sebagian besar komoditi rokok merupakan barang normal di mana
kenaikan pendapatan akan meningkatkan demand untuk komoditi tersebut. Pada
masyarakat miskin, kenaikan pendapatan akan meningkatkan konsumsi rokok
sebesar 6% sementara untuk orang kaya hanya 2,1 % (Ahsan, 2006).
2.1.2.2 Hubungan antara Harga dengan Permintaan Rokok

13

Hukum permintaan menjelaskan kaitan antara permintaan suatu barang


dengan harganya. Hukum ini merupakan suatu hipotesa yang menyatakan bahwa
semakin rendah harga suatu barang, maka semakin banyak permintaan terhadap
barang tersebut; sebaliknya semakin tinggi harga suatu barang, maka semakin
sedikit permintaan terhadap barang tersebut.
Dalam menganalisis permintaan suatu barang, perlu dibedakan antara
permintaan dan jumlah barang yang diminta. Permintaan menggambarkan
keseluruhan hubungan antara harga dengan jumlah permintaan, sedangkan jumlah
barang yang diminta adalah banyaknya permintaan pada suatu tingkat harga
tertentu.
Harga berperan dalam menentukan permintaan terhadap komoditi
rokok. Harga rokok itu sendiri dengan permintaan rokok berpengaruh negatif.
Karena rokok merupakan barang adiktif, pengaruh kenaikan harga terhadap
permintaan rokok diperkirakan kecil. Meningkatnya harga mungkin akan lebih
mengurangi permintaan dari kelompok yang berpendapatan rendah dibanding
dengan kelompok yang berpendapatan tinggi. (Ahsan, 2006).
2.1.2.3 Hubungan antara Harga Barang Substitusi dengan Permintaan
Rokok
Suatu barang merupakan barang substitusi bila salah satu barang
harganya naik akan memicu kenaikan jumlah permintaan barang lain. Terdapat
hubungan positif (atau searah) antara dua barang yang saling berhubungan
substitusi (Rosyidi, 2006).
Pada umumnya bila harga barang pengganti bertambah murah maka
barang yang digantikannya akan mengalami pengurangan dalam permintaan.
Adanya barang pengganti (subsitusi) dari suatu barang/jasa dapat mengubah
jumlah permintaan, kemudian berpengaruh pada harga dan penawaran.

14

Munculnya barang pengganti yang lebih murah, kemungkinan besar akan


mendorong sebagian besar konsumen untuk memilih barang subsitusi tersebut
(Sugiarto: 2005).
Dalam hal ini barang substitusi yang dimaksud adalah permen.
Kenaikan harga rokok akan menyebabkan konsumen mengurangi permintaannya
akan rokok dan, sebagai gantinya, mereka akan membeli barang pengganti atau
substitusinya, yakni permen. Jika harga barang pengganti itu sendiri mengalami
peningkatan maka tentu seorang perokok lebih memilih untuk kembali
mengkonsumsi rokok dibandingkan permen. Itu artinya jumlah rokok yang
diminta akan mengalami peningkatan jika harga permen mengalami peningkatan.
2.1.2.4 Hubungan antara Harga Barang Komplementer
dengan
Permintaan Rokok
Apabila suatu barang selalu digunakan bersama barang lainnya, maka
barang tersebut dinamakan barang pelengkap atau komplementer kepada barang
lain tersebut. Terdapat hubungan negatif (atau berlawanan arah) antara harga dan
jumlah dua barang yang saling berhubungan komplementer (Rosyidi, 2006).
Rokok dan kopi merupakan pelengkap yang baik satu sama lain.
Kenaikan harga kopi menyebabkan masyarakat jadi lebih sedikit membeli kopi.
Akibatnya, pembelian mereka terhadap rokok pun menurun pula. Sebaliknya, jika
harga kopi turun, orang akan jadi lebih sering membeli kopi. Akibatnya,
permintaan masyarakat akan rokok akan meningkat. Demikianlah akhirnya dapat
disimpulkan bahwa harga suatu barang bergerak secara berlawanan arah dengan
jumlah yang diminta dari barang pelengkap (komplemen)-nya.
2.1.2.5 Hubungan antara Biaya Kesehatan dengan Permintaan Rokok
Sudah banyak orang yang tahu bahaya yang ditimbulkan dari rokok.
Tapi hanya sedikit yang mau tahu berapa biaya kesehatan yang harus dikeluarkan

15

dari 1 bungkus rokok. Berbagai masalah kesehatan yang ditimbulkan oleh rokok
sudah jelas terpapar dalam berbagai media literature. Mereka tahu tetapi tidak
mau tahu akan hal itu. Karena, sifat adiktif rokok membuat seseorang sulit untuk
meninggalkannya.
Melaui pendekatan direct medical cost atau biaya langsung medis kita
dapat mengetahui biaya individual yang dikeluarkan untuk penanganan masalah
kesehatan. Dimana biaya langsung medis adalah biaya yang dikeluarkan oleh
pasien terkait dengan jasa pelayanan medis, yang digunakan untuk mencegah atau
mendeteksi suatu penyakit seperti kunjungan pasien, obat-obat yang diresepkan,
lama perawatan. Kategori biaya-biaya langsung medis antara lain pengobatan,
pelayanan untuk mengobati efek samping, pelayanan pencegahan dan penanganan
(Orion, 1997).
Kesehatan adalah mahal harganya. Ungkapan yang tepat bagi mereka
yang merokok. Semakin berat dampak penyakit akibat rokok yang dirasakan
maka semakin besar pula keinginan masyarakat untuk menyembuhkan atau
mengatasinya. Untuk itu biaya yang dikeluarkan juga semakin besar. Biaya
kesehatan yang besar memacu keinginan untuk berhenti merokok dengan
mengurangi jumlah konsumsi rokok sehari-hari.
2.1.2.6 Hubungan antara Jenis Pekerjaan dengan Permintaan Rokok
Klasifikasi pekerja menurut status pekerjaan dapat dibagi atas dua
kelompok yaitu sektor informal dan formal (Bakir dan Manning, 1984). Yang
dimaksud pekerjaan formal adalah pekerjaan yang bergerak di bidang instansi
pemerintah, BUMN, perusahaan swasta, dan akademisi. Sedangkan yang

16

dimaksud dengan pekerjaan informal adalah pekerjaan yang bekerja di luar bidang
pekerjaan formal.
Jenis pekerjaan seseorang berpengaruh langsung terhadap permanent
income dan penghasilan rumah tangga. Hasil penelitian Bollen dan Glanville
(2002; 27), menunjukkan bahwa pekerjaan kepala rumahtangga/suami merupakan
variabel utama terhadap permanent income dan fertilitas. Artinya, status pekerjaan
suami berkorelasi positif terhadap penghasilan (income).
Melalui faktor permanent income atau disebut sebagai penghasilan
rumahtangga berpengaruh positif terhadap permintaan dalam hal permintaan
rokok. Terdapatnya pengaruh positif antara pendapatan atau penghasilan terhadap
tingkat permintaan rokok dengan asumsi bahwa pendapatan yang tinggi
umumnya terdapat pada kelompok masyarakat dengan jenis pekerjaan medium
dan higtprestige occupation yang tergolong dalam jenis pekerjaan formal,
sedangkan kelompok pekerjaan tersebut sebagian besar berada di daerah
perkotaan atau pada masyarakat industri maju.
2.1.2.7 Hubungan antara Efek Iklan dengan Permintaan Rokok
Rokok adalah salah satu produk dunia yang paling banyak diiklankan
dan dipromosikan. Iklan rokok adalah iklan yang mengiklankan rokok melalui
semua media yang dipakai untuk menarik perhatian orang lain terhadap rokok,
baik melalui media cetak seperti koran, brosur, dan poster; media elektronik
seperti televisi, radio, dan internet; media papan iklan (billboard) ukuran besar
maupun kecil yang terdapat di sepanjang jalan umum; dan sponsor langsung
perusahaan rokok pada acara-acara tertentu.
Dampak iklan rokok pada perokok, terutama perokok muda, telah
menjadi subyek perdebatan yang luas selama beberapa dekade terakhir.

17

Komunitas kesehatan masyarakat mengatakan bahwa periklanan mendorong


seseorang untuk merokok dan memiliki pengaruh yang sangat signifikan pada
inisiasi merokok di kalangan pemuda. Industri ini, di sisi lain, berpendapat bahwa
iklan rokok adalah bentuk kompetisi yang tidak berdampak pada merokok secara
keseluruhan, melainkan hanya mempengaruhi pangsa pasar. Selain itu, industri
berpendapat bahwa iklan memberikan informasi yang berguna untuk perokok
tentang produk mereka, termasuk informasi mengenai tar dan kadar nikotin.
(Chaloupka, 1999).
Warner (1986a) mengemukakan beberapa mekanisme melalui mana
iklan dan promosi

rokok

dapat mempengaruhi konsumsi rokok. Dia

mengidentifikasi empat mekanisme langsung: (1) iklan dapat menarik perhatian


anak-anak dan dewasa muda untuk bereksperimen dengan merokok dan untuk
mulai membiasakan merokok, (2) dapat mengurangi keinginan perokok untuk
berhenti merokok, (3) dapat berfungsi sebagai petunjuk atau stimulus yang
menyebabkan peningkatan konsumsi sehari-hari oleh perokok, dan (4) dapat
menginduksi mantan perokok untuk melanjutkan kebiasaan mereka dengan
memperkuat daya tarik merokok. Dua mekanisme tidak langsung adalah: (1)
menghambat diskusi penuh konsekuensi kesehatan dari merokok di media
tergantung pada iklan rokok, dan (2) memberikan kontribusi terhadap lingkungan
sosial di mana merokok dianggap diterima secara sosial. Sementara, Andrews dan
Franke (1991) menemukan bahwa ada hubungan yang signifikan antara iklan dan
konsumsi rokok.
2.1.2.8 Hubungan antara Efek Fatwa dengan Permintaan Rokok

18

Dalam teori perilaku konsumen, orang memilih barang dan jasa yang
mereka anggap paling bernilai. Konsumen mencari untuk memaksimalkan utilitas
mereka, dengan meningkatkan konsumsi mereka lebih banyak barang-barang
yang baik dan mengurangi konsumsi mereka akan barang-barang yang tidak baik.
(Samuelson dan Nordhaus, 2001).
Secara ekonomi, gaya hidup perokok dinilai mendorong ekonomi biaya
tinggi (israf) dan mubazir. Bahaya rokok lebih besar dari manfaatnya. Premis ini
dianalogikan pada ayat Al-Quran yang berbicara tentang minuman keras (khamr).
Diakui, minuman keras memiliki manfaat, tapi bahayanya lebih besar (QS.AlBaqarah. 2: 219). Untuk itu Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tahun 2009
mengeluarkan fatwa tentang rokok. Fatwa tersebut berupa merokok di depan
umum hukumnya haram. Merokok adalah hukumnya haram, karena:
1. Merokok termasuk kategori perbuatan melakukan

khabais (segala yang

buruk) yang dilarang dalam (QS. Al-A'raaf. 7:157).

Artinya: dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan


mengharamkan bagi mereka segala yang buruk [QS. Al-A'raaf. 7:157].
2. Perbuatan merokok mengandung unsur menjatuhkan diri ke dalam
kebinasaan dan bahkan merupakan perbuatan bunuh diri secara perlahan
sehingga oleh karena itu bertentangan dengan larangan al-Quran dalam
(QS.Al-Baqarah. 2: 195 dan QS. An-Nisa. 4: 29).

19

Artinya: Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam


kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang berbuat baik [QS.Al-Baqarah. 2: 195].

Artinya: Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah


adalah Maha Penyayang kepadamu [QS. An-Nisa. 4: 29].
3. Perbuatan merokok membahayakan diri dan orang lain yang terkena paparan
asap rokok sebab rokok adalah zat adiktif dan berbahaya sebagaimana telah
disepakati oleh para ahli medis dan para akademisi dan oleh karena itu
merokok bertentangan dengan prinsip syariah dalam hadis Nabi saw bahwa
tidak ada perbuatan membahayakan diri sendiri dan membahayakan orang
lain. Oleh karena merokok jelas membahayakan kesehatan bagi perokok dan
orang sekitar yang terkena paparan asap rokok, maka pembelanjaan uang
untuk rokok berarti melakukan perbuatan mubazir (pemborosan) yang
dilarang dalam QS.Al-Isra. 17: 26-27.

Artinya: Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya,


kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu
menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros, karena sesungguhnya para
pemboros adalah saudara-saudara setan, dan setan itu sangat ingkar pada
Tuhannya [QS.Al-Isra. 17: 26-27].

20

Dan hadis riwayat Ibn Mjah, Ahmad, dan Mlik

Artinya: Tidak ada bahaya terhadap diri sendiri dan terhadap orang lain
[HR Ibn Mjah, Ahmad, dan Mlik].
4. Dan yang terakhir, merokok bertentangan dengan unsur-unsur tujuan syariah
(Maqid asy-syarah), yaitu (1) perlindungan agama (hifz ad-dn), (2)
perlindungan jiwa/raga (hifz an-nafs), (3) perlindungan akal (hifz al-aql), (4)
perlindungan keluarga (hifz an-nasl), dan (5) perlindungan harta (hifz al-mal).
Berdasarkan ayat al-quran dan hadis tersebut di atas maka sudah
seharusnya seorang perokok menyadari untuk mengurangi konsumsi rokoknya.

2.1.3

Struktur Pasar Industri Rokok


Pasar tembakau di Indonesia

berbentuk

oligopoli.

Pasar

oligopoli adalah pasar di mana penawaran satu jenis barang dikuasai oleh
beberapa perusahaan. Tiga perusahaan (Sampoerna/Philip Morris International,
Gudang Garam, dan Djarum) memegang 64 persen pangsa pasar, dan tujuh
perusahaan memegang 84 persen pasar tembakau. Pasar yang kompetitif
digambarkan oleh perubahan pangsa pasar rokok sepanjang masa. (Tabel 2.1).
Tabel. 2.1 Pangsa Pasar Perusahaan Rokok Besar,
1979-2009
Perusahaan Rokok (tahun

1979

21

1989

1998

2005

2009

didirikan)
Gudang Garam (1958)
Djarum (1951)
British American Tobacco (BAT, 1905)
Bentoel (1930)
Sampoerna (1913)
Sampoerna/Philip Morris International
(2005)
Philip Morris International (1998)
Sumatra Tobacco Trading Company
(STTC)
Noyorono
Total
Lainnya

12
13
15
8
1

28
28
3
11
3

47
13
NA
3
12

41
15
4
3
-

21
19
2
6
-

15

24

NA

NA

NA

10

NA

NA

NA

4
63
37

3
80
20

2
77
23

4
88
12

7
84
15

Sumber: Tobacco Economics in Indonesia 2008, detik finance 2009

Kekuatan untuk melakukan lobi merek industri rokok didukung oleh

terkonsentrasinya pangsa pasar pada beberapa perusahaan serta aliansi antara


perusahaan rokok. Asumsi dalam teori oligopoli adalah bahwa kenaikan cukai
akan dibebankan kepada konsumen dalam bentuk kenaikan harga dalam jumlah
yang sama atau lebih besar daripada kenaikan harga dalam jumlah yang sama atau
lebih besar daripada kenaikan harga/cukai, terutama dalam pasar di mana perilaku
antar perusahaan lebih terkoordinir. Menurut teori ekonomi, harga untuk
tembakau dapat ditetapkan di bawah besarnya keuntungan yang bisa diperoleh
dalam jangka pendek karena konsumsi tembakau bersifat adiktif. Nantinya
perusahaan dapat mengkompensasi hilangnya keuntungan tersebut dengan
meningkatkan harga sampai melebihi biaya marjinal.
2.1.4 Kegagalan pasar Industri rokok
Prinsip ekonomi tentang kebebasan konsumen menyatakan bahwa
konsumen sendirilah yang membuat keputusan terbaik tentang bagaimana ia
membelanjakan uangnya. Argument tersebut didasarkan pada dua asumsi.
Pertama, konsumen mengambil keputusan tersebut berdasarkan pengetahuan yang
penuh atas biaya dan manfaat dari keputusan yang diambilnya. Asumsi kedua

22

adalah individu akan menanggung sendiri semua risiko atas keputusan konsumsi
mereka; artinya si individu mengetahui bahwa orang lain tidak akan menanggung
beban atas tindakan individu tersebut. Konsumsi tembakau melanggar kedua
asumsi tersebut. (Tobacco Economic in Indonesia, 2010).
Pemberian informasi sehingga seseorang dapat menentukan pilihan
sendiri (informed choice) membutuhkan penerangan atau informasi yang akurat.
Namun, bahaya kesehatan terkait dengan konsumsi tembakau pada umumnya
amat kurang dimengerti. Remaja di Jawa usia 13 hingga 17 tahun dapat berulang
kali mengulang kembali tulisan peringatan kesehatan yang tertera pada bungkus
rokok, namun mereka berpendapat bahwa mengkonsumsi rokok satu hingga dua
bungkus per hari tidaklah berbahaya bagi kesehatan. (Britton, 2007).
Peraturan dan kebijakan pemerintah yang ada sangat sangat lemah
untuk hal-hal yang berkaitan dengan informasi kepada konsumen. Dalam hal
peraturan yang mengharuskan menterakan peringatan bahaya merokok bagi
kesehatan pada setiap kemasan produk-produk rokok, hanya satu jenis peraturan
peringatan bahaya merokok yang diharuskan untuk digunakan. Peraturan ini
berbunyi merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi, dan
gangguan kehamilan dan janin. Pesan-pesan yang efektif sangat dibutuhkan
untuk menginformasikan risiko kesehatan yang baru akan terlihat 25 sampai 30
tahun sejak pertama kali merokok hingga mulai mengidap berbagai jenis penyakit
terkait dengan merokok.
Asumsi kedua yang mendukung kedaulatan konsumen adalah
konsumen sendiri yang menanggung semua risiko dan biaya-biaya yang timbul
atas keputusannya untuk mengkonsumsi suatu barang atau jasa. Namun,
kenyataannya perokok mengakibatkan biaya secara fisik dan finansial tidak hanya

23

untuk dirinya sendiri melainkan juga untuk orang lain dan masyarakat secara luas.
Kerugian ekonomi akibat konsumsi rokok (baik perokok maupun non perokok)
saat ini mencapai Rp186 triliun. Jumlah yang besar disebabkan karena rendahnya
kesadaran akan dampak buruk merokok bagi perokok aktif maupun perokok pasif,
serta kurangnya kebijakan udara bersih.
2.1.5

Kontroversi Industri Rokok


Industri rokok di Indonesia tumbuh dengan pesat, dari semula hanya

industri rumah tangga menjadi industri berskala besar nasional dan multinasional.
Sejalan dengan itu industri rokok juga telah berperan dalam perekonomian
nasional sebagai penyumbang penerimaan negara melalui cukai. Tumbuhnya
industri rokok juga diikuti oleh berkembangnya pertanaman tembakau yang
diusahakan petani di banyak daerah, dan telah berperan sebagai lapangan kerja
dan sumber pendapatan masyarakat serta perekonomian daerah. Perkembangan
penerimaan cukai rokok dalam negeri dapat dilihat pada gambar 2.2 sebagai
berikut:
Gambar 2.2 Realisasi Penerimaan Cukai Rokok Dalam
Negeri Tahun 2000-2011 (Rp. Trilyun)

Alasan utama pemerintah mengintervensi pasar tembakau adalah untuk


Sumber: http://www.seatca.org

menghasilkan penerimaan cukai. Selanjutnya bagi hasil cukai tembakau akan


dialokasikan pada perbaikan industry tembakau, termasuk kualitas bahan baku,
pembangunan industri tembakau, pembangunan lingkungan sosial, sosialisasi
program cukai, dan pemusnahan produk illegal dan pita cukai palsu.

24

Selain itu skala cukai tembakau juga dirancang untuk menciptakan


lapangan kerja yang telah menjadi fokus kebijakan pemerintah pusat. Pada tahun
1992, pembatasan pada pasar kretek dilonggarkan untuk meningkatkan
penyerapan tenaga kerja.
Melalui dampak negatifnya terhadap kesehatan, konsumsi tembakau
diperkirakan mengurangi produktivitas tenaga kerja dan mengakibatkan dampak
ekonomi jangka panjang pada tingkat rumah tangga berupa penurunan pendapatan
dan tabungan. Laporan Millenium Development Goals (MDGs) Indonesia tahun
2004 dan tahun 2005 yang ditandatangani Presiden RI membahas isu kemiskinan
sebagai akibat dari konsumsi tembakau. Laporan itu menekankan pada tingginya
tingkat pengeluaran untuk tembakau dari rumah tangga miskin yang seharusnya
pengeluaran untuk tembakau dari rumah tangga miskin yang seharusnya dapat
dimanfaatkan untuk kesehatan, pendidikan, makanan, dan kebutuhan lainnya.
Kedua, laporan tersebut merekomendasikan pengenaan cukai tembakau untuk
menaikkan harga sebagai upaya untuk mengurangi dampak negatif konsumsi
tembakau terhadap kesehatan dan kesejahteraan. (Indonesia Progress Report on
the Millenium Development Goals, 2004 and 2005).
Perusahaan multinasional rokok yang umumnya dimiliki dan berbasis di
negara maju telah mengantisipasi dinamika masyarakat di negara maju. Untuk itu
mereka telah berupaya mengembangkan basis produksi dan pasarnya ke negara
berkembang dan negara kurang maju. Perusahaan multinasional telah berupaya
menembus monopoli dan dominasi perusahaan rokok nasional di banyak negara
berkembang untuk masuk dan mengembangkan pasarnya. Dalam dekade terakhir,
Industri rokok multinasional telah mengalihkan pasarnya dari negara maju ke

25

negara lain terutama ke negara berpenduduk besar terutama China, India dan
Indonesia. Hal ini terlihat dari terjadinya pergeseran dalam produksi, konsumsi,
ekspor dan impor dari dominasi negara maju ke negara sedang berkembang.
Dengan jumlah penduduk besar dan adanya budaya merokok yang tinggi,
Indonesia dinilai merupakan pasar potensial rokok.
Situasi ini menjadikan industri tembakau menjadi industri yang
kontroversi di satu sisi merupakan asset nasional yang berperan dalam
perekonomian nasional dan di sisi lain berdampak buruk terhadap lingkungan dan
kesehatan baik penurunan derajat kesehatan maupun timbulnya biaya kesehatan
yang besar. (Rachmat, 2010).
2.2 Tinjauan Empiris
Penelitian mengenai permintaan rokok hingga saat ini masih belum banyak
dilakukan. Setelah melakukan studi literatur, terdapat beberapa hasil penelitian
yang cukup relevan dengan permintaan rokok yang dilakukan peneliti, baik
dengan komoditas yang berbeda. Penjelasan berikut akan memaparkan beberapa
hasil penelitian terkait yang juga dijadikan sebagai bahan rujukan.
Chaloupka (1992), meneliti hubungan antara peraturan udara bersih dalam
ruangan dan permintaan rokok. Dia menggunakan data dari Second National
Health and Nutrition Examination Survey (NHANES2) dan data harga rokok pada
tiap negara bagian di Amerika Serikat. Model yang dipakai dalam studi ini adalah
rational addiction yang dikembangkan oleh Becker dan Murphy (1988).
Kesimpulan studi ini menunjukkan bahwa peraturan udara bersih dalam ruangan
terbukti secara signifikan menurunkan rata-rata konsumsi rokok. Dampak dari
pemberlakuan aturan ini berbeda menurut jenis kelamin. Rata-rata konsumsi
rokok laki-laki secara signifikan menurun karena pemberlakuan aturan ini,

26

sedangkan bagi perempuan tidak terpengaruh sama sekali. Harga rokok juga
terbukti secara signifikan menurunkan konsumsi rokok namun terbatas untuk lakilaki.
Hu dan Tsai (2000), berusaha menentukan faktor-faktor yang menentukan
konsumsi rokok di daerah pedesaan Cina. Mereka menemukan bahwa 57% lakilaki dan 3% perempuan di pedesaan Cina adalah perokok. Sementara konsumsi
rokok rata-ratanya adalah lima belas batang per hari dan pengeluaran rokok ratarata 227yuan. Dengan menggunakan model two part mereka menyimpulkan
bahwa penduduk pedesaan Cina mengkonsumsi lebih sedikit daripada penduduk
di perkotaan. Pendidikan dan pekerjaan adalah faktor yang sangat mempengaruhi
permintaan rokok di pedesaan Cina.
Bonaporte (2005), dengan menggunakan model two part menemukan bahwa
pria lebih cenderung menjadi perokok daripada wanita dan keluarga yang
berpendidikan tinggi memiliki kecenderungan lebih kecil menjadi perokok.
Sementara itu, faktor pendidikan terbukti secara signifikan mempunyai pengaruh
yang negatif dengan permintaan rokok, di mana semakin tinggi pendidikan maka
semakin rendah permintaan. Sebagai tambahan, keluarga yang dipimpin oleh
kepala keluarga yang berstatus menikah lebih besar kemungkinannya untuk
merokok dibandingkan dengan keluarga yang dipimpin oleh kepala keluarga yang
berstatus tidak menikah.
Adioetomo, et al (2005), dalam Cigarette Consumption, Taxation and
Household Income: Indonesia Case Study, menggunakan data cross section
Susenas 1999 untuk menganalisis konsumsi rokok secara lebih detail. Selain harga
rokok, model OLS (Ordinary Least Square) juga mengikutsertakan pengeluaran
rumah tangga, pengaruh cukai, wilayah, pulau terbesar, tempat tinggal, jenis

27

kelamin, umur dan pendidikan sebagai variabel independen. Mereka melaporkan


bahwa harga tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap keputusan rumah
tangga dalam mengkonsumsi rokok, tetapi harga mempengaruhi jumlah rokok
yang dikonsumsi (conditional price elasticity sebesar -0,05). Peningkatan 10%
harga rokok akan mengurangi total konsumsi tembakau sebesar 6%. Pengurangan
akan lebih tinggi -hampir 7%- di kalangan rumah tangga yang berpendapatan
rendah, dan rendah -sekitar 3%- di kalangan rumah tangga yang berpendapatan
tinggi. Peningkatan konsumsi rokok terjadi ketika pendapatan naik: peningkatan
10% pendapatan rumah tangga akan meningkatkan konsumsi sebesar 6.5%,
dengan efek sangat kuat di kalangan rumah tangga berpendapatan rendah dengan
peningkatan sebesar 9%, tetapi perubahan kecil terjadi di antara rumah tangga
berpenghasilan tinggi dengan peningkatan kurang dari 9%.
Ahsan (2006) dalam tesis Pengaruh Faktor Sosial Ekonomi terhadap
Perilaku Merokok Individu: Analisis Data Susenas 2004, menyatakan bahwa
faktor-faktor yang signifikan mempengaruhi konsumsi rokok adalah harga rokok,
pendapatan, umur mulai merokok setiap hari, bekerja, lokasi tempat tinggal, umur,
tingkat pendidikan, dan kondisi tempat tinggal. Sebagai tambahan faktor-faktor
yang berhubungan positif dengan konsumsi rokok responden adalah pendapatan,
pendidikan menengah dan bekerja. Harga rokok secara negatif signifikan
mempengaruhi permintaan rokok. Dia menemukan bahwa elastisitas harga rokok
terhadap permintaannya = -0.42. Sehingga peningkatan harga rokok 10% akan
menurunkan konsumsi rokok 4.2%. Menurut kelompok pendapatan, dampak
peningkatan harga rokok bagi mereka yang miskin (kuartil 1) daripada mereka

28

yang kaya (kuartil 5). Peningkatan harga rokok 10% akan menurunkan konsumsi
rokok 4.6% untuk mereka yang miskin, sementara untuk mereka yang kaya 4.2%.
2.3 Kerangka Pikir
Penelitian ini mengacu kepada teori permintaan yang mendasarkan bahwa
perubahan jumlah barang yang diminta (dikonsumsi) dipengaruhi oleh beberapa
hal. Karena keterbatasan data yang dapat diperoleh dalam penelitian ini, maka
faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan rokok ditentukan oleh pendapatan,
harga rokok, harga barang substitusi (permen), harga barang komplementer
(minuman), biaya kesehatan, jenis pekerjaan, efek iklan, dan efek fatwa.

Gambar 2.3
Kerangka Pikir Analisis Faktor yang Mempengaruhi Permintaan
Rokok Masyarakat Di Kota Makassar
Pendapatan (X1)
Harga Rokok (X2)
Harga Permen (X3)

Permintaan
Rokok (Y)

Harga Minuman (X4)


Biaya Kesehatan (X5)

Ket:

Jenis Pekerjaan (X6) Variabel Dependen


Efek Iklan (X7)

Variabel Independen

2.4 Hipotesis

Efek Fatwa (X8)

29

Hipotesis merupakan dugaan awal yang masih bersifat sementara yang akan
dibuktikan kebenarannya setelah data empiris diperoleh. Dalam penelitian ini
hipotesis yang digunakan untuk menjawab pertanyaan adalah:
1. Diduga bahwa variabel pendapatan (X1), harga barang substitusi/permen
(X3), jenis pekerjaan (D1), efek iklan (D2), dan efek fatwa (D3) berpengaruh
positif dan signifikan terhadap permintaan rokok masyarakat di Kota
Makassar.
2. Diduga
bahwa

variabel

harga

rokok

(X2),

harga

barang

komplementer/minuman (X4), biaya kesehatan (X5) berpengaruh negatif dan


signifikan terhadap permintaan rokok masyarakat di Kota Makassar.

30

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi Penelitian


Penelitian ini dilakukan di Kota Makassar. Kota Makassar terdiri dari 14
kecamatan dan 143 kelurahan. Lokasi penelitian yang dianggap mewakili Kota
Makassar berdasarkan penelitian adalah Kecamatan Tamalate, Kecamatan
Rappocini, Kecamatan Tallo, Kecamatan Panakkukang, Kecamatan Manggala,
dan Kecamatan Biringkanaya.
Lokasi tersebut diambil karena memiliki jumlah penduduk tertinggi,
mempunyai kawasan elit dan slum area yang jelas, dan perokok aktif pria banyak
tersebar di daerah tersebut.
3.2 Populasi dan Sampel
3.2.1 Populasi
Dalam penelitian ini, populasi yang diambil adalah perokok aktif pria di
Kota Makassar.
3.2.2 Sampel
Dalam penelitian ini, pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan
metode sampel acak sederhana (simple random sampling) kepada perokok aktif
pria yang mengkonsumsi rokok lebih dari 1 tahun. Jumlah sampel yang akan

31

diteliti sebanyak 144 responden yang tergambar dalam tabel distribusi sampel
sebagai berikut:
Tabel 3.1
Distribusi Sampel Berdasarkan Kecamatan di Kota Makassar
DISTRIBUSI SAMPEL
Pusat Kota
- Kawasan Elit
- Kawasan Slum/Kumuh
Pinggiran Kota
- Kawasan Elit
- Kawasan Slum/Kumuh
TOTAL

Ket:

(1)

KECAMATAN
(2)
(3)
(4)
(5)

TOTAL
(6)

6
6

6
6

6
6

6
6

6
6

6
6

36
36

6
6

6
6

6
6

6
6

6
6

6
6

36
36

24

24

24

24

24

24

144

(1) Kecamatan Tamalate


(2) Kecamatan Rappocini
(3) Kecamatan Tallo

(4) Kecamatan Panakkukang


(5) Kecamatan Manggala
(6) Kecamatan Biringkanaya

3.3 Metode Pengumpulan Data


Pengumpulan data yang relevan untuk menunjang analisa untuk menganalisa
dan memecahkan masalah, maka metode yang digunakan dalam penelitian ini
adalah:
3.3.1 Penelitian lapangan (field research)
Yaitu pengambilan data di daerah/lokasi penelitian dengan teknik
pengumpulan data secara observasi, interview dan kuisioner.
Observasi adalah teknik yang digunakan untuk mendeskripsikan tentang
keadaan lapangan dengan pengamatan yang dilakukan penulis terhadap perokok
aktif yang senantiasa bersifat obyektif faktual. Tujuannya untuk memperoleh
gambaran yang lengkap mengenai keadaan lokasi penelitian.
Wawancara (interview) adalah teknik yang digunakan untuk mendapatkan
informasi yang akurat dan lengkap mengenai perokok aktif, maka dilakukan
wawancara terhadap narasumber dan responden.

32

Kuisioner digunakan untuk merekam data tentang kegiatan responden.


Pengisian kuisioner dilakukan secara terstruktur dengan mempergunakan daftar
pertanyaan yang telah disiapkan.
3.3.2 Penelitian kepustakaan (library research)
Yaitu penelitian melalui beberapa buku bacaan, literatur dan keteranganketerangan ilmiah untuk memperoleh teori yang melandasi dalam menganalisa
data yang diperoleh dari lokasi penelitian.
3.4 Jenis dan Sumber Data
3.4.1 Data Primer
Data primer merupakan sumber data penelitian yang diperoleh secara
langsung dari sumber asli (tidak melalui perantara). Data primer secara khusus
dikumpulkan oleh peneliti untuk menjawab pertanyaan penelitian (Indiriantoro,
1999). Dalam penelitian ini data diambil berdasarkan kuesioner yang
diwawancarakan kepada responden. Data primer tersebut meliputi identitas
responden, tingkat pendapatan konsumen, jumlah rokok yang dikonsumsi dan
total biaya yang dikeluarkan untuk konsumsi rokok dalam sehari. Data ini
bersumber dari konsumen rokok pria.
3.4.2

Data Sekunder
Data sekunder merupakan sumber data penelitian yang diperoleh peneliti

secara tidak langsung melalui media perantara atau diperoleh dan dicatat oleh
pihak lain (Indriantoro, 1999). Dalam penelitian ini data diperoleh dari Badan
Pusat Statistik Kota Makassar, Departemen Kesehatan, jurnal, laporan-laporan,
dokumen-dokumen, buku-buku dan literatur-literatur lain yang membahas
mengenai materi penelitian dan data pendukung lainnya yang dianggap dapat
mendukung penelitian ini.

33

3.5 Metode Analisis Data


Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis regresi
Ordinary Least Square (OLS). Analisis regresi merupakan metode untuk
menganalisis hubungan antar variabel. Hubungan tersebut diekspresikan dalam
bentuk persamaan yang menghubungkan variabel dependen dengan satu atau lebih
variabel independen.
Untuk mengidentifikasi variabel dependen dan variabel independen
digunakan model analisis inferensial, yaitu analisis regresi berganda yang
dinyatakan dalam bentuk fungsi sebagai berikut:
Y = f (X1, X2, X3, X4, X5, X6, X7,X8)

.(1)

atau secara eksplisit dapat dinyatakan dalam fungsi Cobb-Douglas berikut:


Y = 0 X11 X22 X33 X44 X55 D1 D2 D3 e

....(2)

Untuk mengestimasi koefisien regresi, Feldstein (1988) mengadakan transformasi


ke bentuk linear dengan menggunakan logaritma natural (ln) ke dalam model
sehingga diperoleh persamaan berikut:
LnY = Ln 0 + 1Ln X1 + 2 Ln X2 + 3 Ln X3 + 4 Ln X4 + 5 Ln X5 +
D1 + D2 + D3 + e .(3)
dimana:
Y

= Permintaan terhadap komoditi rokok (batang rokok)

= Konstanta / intersep

1, 2, 3, 4, 5, 6 , 7, 8 : Parameter
X1

= Pendapatan (rupiah)

34

X2

= Harga rokok (rupiah)

X3

= Harga barang substitusi (rupiah)

X4

= Harga barang komplementer (rupiah)

X5

= Biaya Kesehatan (rupiah)

D1

= Jenis Pekerjaan

D2

= Efek Iklan

D3

= Efek Fatwa

= Error term

Untuk dapat mengambil keputusan sebagai hasil dari pengujian hipotesis,


maka hal ini dapat dilakukan dengan melihat tingkat signifikansi dari koefisien
regresi antara variabel terikat dengan variabel bebas melalui beberapa pengujian,
yaitu :
1. Uji Statistik t
Uji ini digunakan untuk mengetahui apakah masing-masing variabel
independen secara sendiri-sendiri mempunyai pengaruh secara signifikan terhadap
variabel dependen. Dengan kata lain, untuk mengetahui apakah masing-masing
variabel independen dapat menjelaskan perubahan yang terjadi pada variabel
dependen secara nyata.

35

Untuk mengkaji pengaruh variabel independen terhadap dependen secara


individu dapat dilihat hipotesis berikut: H0 : 1 = 0 tidak berpengaruh, H1 : 1
> 0 berpengaruh positif, H1 : 1 < 0 berpengaruh negatif. Dimana 1
adalah koefisien variabel independen ke-1 yaitu nilai parameter hipotesis.
Biasanya nilai dianggap nol, artinya tidak ada pengaruh variable X 1 terhadap Y.
Bila thitung > ttabel maka Hi diterima (signifikan) dan jika thitung < ttabel Ho diterima
(tidak signifikan). Uji t digunakan untuk membuat keputusan apakah hipotesis
terbukti atau tidak, dimana tingkat signifikan yang digunakan yaitu 5%.
2. Uji Statistik F
Uji signifikansi ini pada dasarnya dimaksudkan untuk membuktikan secara
statistik bahwa seluruh variabel independen yaitu pendapatan (X1), harga rokok
(X2), harga barang substitusi (X3), harga barang komplementer (X4), biaya
kesehatan (X5), jenis pekerjaan (D1), efek iklan (D2), dan efek fatwa (D3)
berpengaruh secara bersama-sama terhadap variabel dependen yaitu permintaan
rokok (Y).
Uji F digunakan untuk menunjukkan apakah keseluruhan variabel independen
berpengaruh terhadap variabel dependen dengan menggunakan Level of
significance 5 persen, Kriteria pengujiannya apabila nilai F-hitung < F-tabel maka
hipotesis diterima yang artinya seluruh variabel independen yang digunakan tidak
berpengaruh secara signifikan terhadap variabel dependen. Apabila Fhitung >
Ftabel maka hipotesis ditolak yang berarti seluruh variabel independen

36

berpengaruh secara signifikan taerhadap variabel dependen dengan taraf


signifikan tertentu.
3. Koefisien Determinasi Square (R2)
Untuk mengetahui besarnya pengaruh variabel independen yaitu pendapatan
(X1), harga rokok (X2), harga barang substitusi (X3), harga barang komplementer
(X4), biaya kesehatan (X5), jenis pekerjaan (D1), efek iklan (D2), dan efek fatwa
(D3) berpengaruh secara bersama-sama terhadap variabel dependen yaitu
permintaan rokok (Y), maka digunakan analisis koefisien determinasi (R2).
Koefisien Determinan (R2) pada intinya mengukur kebenaran model analisis
regresi. Dimana analisisnya adalah apabila nilai R2 mendekati angka 1, maka
variabel independen semakin mendekati hubungan dengan variabel dependen
sehingga dapat dikatakan bahwa penggunaan model tersebut dapat dibenarkan.
Model yang baik adalah model yang meminimumkan residual berarti variasi
variabel independen dapat menerangkan variabel dependennya dengan sebesar
diatas 0,75 (Gujarati, 2003), sehingga diperoleh korelasi yang tinggi antara
variabel dependen dan variabel independen.
Akan tetapi ada kalanya dalam penggunaan koefisisen determinasi terjadi bias
terhadap satu variabel indipenden yang dimasukkan dalam model. Setiap
tambahan satu variabel indipenden akan menyebabkan peningkatan R2, tidak
peduli apakah variabel tersebut berpengaruh secara siginifikan terhadap varibel
dependen (memiliki nilai t yang signifikan).

37

3.6 Uji Asumsi Klasik


Pengujian asumsi klasik pada model regresi digunakan untuk menunjukkan
apakah hubungan antara variabel bebas memiliki hubungan yang valid atau tidak
terhadap variabel terikat. Adapun asumsi dasar yang harus dipenuhi, antara lain:
3.6.1

Uji Multikolinearitas
Multikolinearitas adalah tidak adanya hubungan linear antar variabel

independen dalam suatu model regresi. Untuk mengetahui atau mendeketsi ada
tidaknya multikolinearitas dapat dilakukan dengan melihat korelasi antar variabel
bebas (Correlation Matrix) dimana apabila kurang dari 0,80 maka tidak terdapat
multikolinearitas dan sebaliknya apabila hubungan variabel di atas 0.80 maka
terdapat multikolinearitas. Selain itu, untuk mendeteksi adanya multikolinearitas
dapat dilakukan dengan cara lain, yakni dengan membandingkan nilai koefisien
determinasi parsial (r2) dengan nilai koefisien determinasi majemuk (R 2), jika r2
lebih kecil dari nilai R2 maka tidak terdapat multikolinearitas.

3.6.2

Uji Heteroskedastisitas
Heteroskedastisitas terjadi apabila varian tidak konstan atau berubah-ubah

atau keadaan dimana faktor gangguan tidak memiliki varian yang sama. Untuk
mendeteksi heteroskedasitas pada model persamaan regresi dilakukan dengan Uji
White Test menggunakan White Heteroskedasticity-Consistent Standard Errors &
Covariance.

38

Selain itu, pengujian terhadap gejala heteroskedastisitas dapat juga


dilakukan dengan melihat pola residuak dari hasil estimasi regresi. Jika residual
bergerak konstan, maka tidak ada heteroskedasitisitas. Akan tetapi, jika residual
membentuk suatu pola tertentu, maka hal tersebut mengindikasikan adanya
heteroskedasitisitas.
3.6.3

Uji Autokolerasi
Uji autokorelasi digunakan untuk melihat adanya autokorelasi antara

variabel bebas yang diurutkan berdasarkan waktu. Hal ini dapat dilihat dalam
pengujian terhadap nilai Durbin Watson (Uji DW). Nilai DW kemudian
dibandingkan dengan nilai d-tabel. Hasil perbandingan akan menghasilkan
kesimpulan seperti kriteria sebagai berikut:
1. Jika DW < dL, berarti terdapat autokorelasi positif
2. Jika DW > (4 - dL), berarti terdapat autokorelasi negatif
3. Jika dU < DW < (4 - dL), berarti tidak terdapat autokorelasi
4. Jika dL < DW < dU atau (4 dU) berarti tidak dapat disimpulkan
apakah terjadi autokorelasi atau tidak. Jika demikian, sebaiknya
menggunakan uji statistik yang lain.
3.7 Definisi Variabel
3.7.1 Permintaan Rokok (Y) adalah banyaknya jumlah batang rokok yang
3.7.2

dikonsumsi setiap hari dengan pertimbangan variabel independen.


Pendapatan (X1)
Pendapatan adalah pendapatan rata-rata responden sebulan. Diukur

3.7.3

dengan satuan rupiah (Rp).


Harga Rokok (X2)
Harga rokok adalah harga rokok perbungkus dari jenis rokok yang
dikonsumsi setiap hari. Dalam hal ini harga rokok yang dikonsumsi

3.7.4

diukur dengan satuan rupiah (Rp).


Harga Barang Substitusi (X3)

39

Harga barang substitusi adalah harga barang pengganti rokok misalnya


permen atau yang lainnya. Dalam hal ini harga barang substitusi diukur
3.7.5

dengan satuan rupiah (Rp).


Harga Barang Komplementer (X4)
Harga barang komplementer adalah harga barang yang melengkapi
utilitas seseorang dalam mengkonsumsi rokok, misalnya kopi. Dalam hal

3.7.6

ini harga barang komplementer diukur dengan satuan rupiah (Rp).


Biaya Kesehatan (X5)
Biaya kesehatan adalah biaya yang dikeluarkan untuk konsultasi
kesehatan maupun check up kesehatan akibat penyakit yang berkaitan
dengan rokok. Dalam hal ini biaya kesehatan diukur dengan satuan

3.7.7

rupiah (Rp).
Jenis Pekerjaan Pekerjaan (D1)
Jenis pekerjaan adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh perokok
aktif pria yang dinyatakan dalam dua indikator, yaitu D 1 = 1 jika
pekerjaan formal, D1 = 0 jika pekerjaan informal. Yang dimaksud
pekerjaan formal adalah pekerjaan yang bergerak di bidang instansi
pemerintah, BUMN, perusahaan swasta, dan akademisi yang terdiri atas
TNI/POLRI,

PNS,

Pegawai

BUMN,

Pegawai

Swasta,

dan

Pelajar/Mahasiswa. Sedangkan yang dimaksud dengan pekerjaan


informal adalah pekerjaan yang bekerja di luar bidang pekerjaan formal
yang terdiri atas Wiraswasta, Buruh, Petani, Nelayan dan pekerjaan lain
3.7.8

diluar bidang pekerjaan formal.


Efek Iklan (D2)
Iklan adalah salah satu sumber informasi produk bagi konsumen. Iklan
berfungsi sebagai petunjuk atau stimulus yang menyebabkan peningkatan
konsumsi sehari-hari oleh perokok. Efek iklan diukur dengan dua

40

indikator yaitu D2 = 1 jika setuju iklan rokok mempengaruhi jumlah


3.7.9

rokok yang dikonsumsi, D2 = 0 jika tidak setuju.


Efek Fatwa (D3)
Fatwa yang dimaksud berupa merokok di depan umum hukumnya haram.
Efek fatwa diukur dengan dua indikator yaitu D3 = 1 jika setuju fatwa
haram merokok MUI mempengaruhi jumlah rokok yang dikonsumsi, D3
= 0 jika tidak setuju.

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian


4.1.1 Gambaran Umum Daerah Penelitian
4.1.1.1 Luas Wilayah
Kota Makassar secara geografis terletak pada posisi 1190241738 Bujur
Timur 508619 Lintang Selatan. Luas Wilayahnya sekitar 175,77 Km2 atau
kira-kira 0,28% dari luas Provinsi Sulawesi Selatan. Luas wilayah Kota Makassar
yang tercatat 175,77 Km2 memiliki 14 kecamatan. Posisi Kota Makassar terletak
di bagian barat Provinsi Sulawesi Selatan dengan batas-batas administrasi sebagai
berikut:
Sebelah Utara (Kecamatan Biringkanaya) : Berbatasan dengan Kabupaten Maros.
Sebelah Selatan (Kecamatan Tamalate)

: Berbatasan dengan Kabupaten Gowa.

Sebelah Timur (Kecamatan Manggala)

: Berbatasan dengan Kabupaten Maros.

Sebelah Barat (Kecamatan Tallo)

: Berbatasan dengan Selat Makassar.

Kecamatan yang memiliki wilayah paling luas adalah Kecamatan


Biringkanaya dengan luas area 48,22 Km2 atau 27,43 persen dari luas kota

41

Makassar. Berikutnya adalah Kecamatan Tamalanrea dengan luas wilayah sebesar


31,84 Km2 atau 18,11 persen dari luas Kota Makassar dan yang menempati urutan
ketiga adalah Kecamatan Manggala 24,14 Km2 atau 13,73 persen dari luas Kota
Makassar. Sedangkan kecamatan yang memiliki luas paling kecil adalah
Kecamatan Mariso dengan luas wilayah sebesar 1,82 Km 2 atau 1,04 persen dari
luas kota Makassar. Disusul dengan Kecamatan Wajo sebesar 1,99 Km 2 atau 1,13
persen dari luas Kota Makassar. Dan yang Kecamatan Bontoala merupakan
kecamatan terkecil ketiga dengan luas wilayah sebesar 2,10 Km 2 atau 1,19 persen
dari luas Kota Makassar. Untuk memperjelas penjelasan tersebut, dapat dilihat
pada tabel 4.1 berikut.
Tabel 4.1 Luas Wilayah dan Persentase Terhadap Luas Wilayah Menurut
Kecamatan Di Kota Makassar (Km2)
Kode
Kecamatan
Wil
010
Mariso
020
Mamajang
030
Tamalate
031
Rappocini
040
Makassar
050
Ujung Pandang
060
Wajo
070
Bontoala
080
Ujung Tanah
090
Tallo
100
Panakkukang
101
Manggala
110
Biringkanaya
111
Tamalanrea
7371
Makassar
Sumber: Makassar dalam angka 2011

Luas Area
(Km2)
1,82
2,25
20,21
9,23
2,52
2,63
1,99
2,10
5,94
5,83
17,05
24,14
48,22
31,84
175,77

Persentase Terhadap
Luas Kota Makassar
1,04
1,28
11,50
5,25
1,43
1,50
1,14
1,19
3,38
3,32
9,70
13,73
27,43
18,11
100

4.1.1.2 Jumlah Penduduk


Penduduk Kota Makassar tahun 2010 adalah sebesar 1.339.473 jiwa yang
terdiri dari 661.379 jiwa laki dan 677.995 jiwa perempuan. Jumlah rumah tangga

42

di Kota Makassar tahun 2010 mencapai 306.879 rumah tangga. Dengan


Kecamatan Tamalate memiliki posisi nomor satu untuk jumlah penduduk terbesar
di Kota Makassar yakni sebanyak 170.878 jiwa pada tahun 2010. Sementara
Kecamatan Biringkanaya menempati posisi kedua dengan jumlah penduduk
sebesar 167.741 jiwa pada tahun 2010, disusul dengan Kecamatan Rappocini
dengan jumlah penduduk sebesar 151.091 jiwa. Kecamatan yang memiliki jumlah
rumah tangga terbesar di Kota Makassar adalah Kecamatan Tamalate dengan
jumlah rumah tangga sebesar 41.298 rumah tangga. Disusul dengan Kecamatan
Biringkanaya dengan jumlah rumah tangga sebesar 39.272 rumah tangga dan
Kecamatan Rappocini terbesar ketiga dengan jumlah rumah tangga sebesar 33.926
rumah tangga.
Laju pertumbuhan penduduk di Kota Makassar yang paling tinggi untuk
periode 2000-2010 adalah Kecamatan Biringkanaya dengan laju pertumbuhan
penduduk sebesar 5,45 persen per tahun. Sedang kecamatan yang memiliki laju
pertumbuhan terkecil adalah Kecamatan Bontoala dengan laju pertumbuhan
penduduk sebesar -0,83 persen per tahun. Berikut adalah tabel yang menunjukkan
jumlah penduduk dan jumlah tangga di Kota Makassar.
Tabel 4.2 Jumlah Penduduk, Laju Pertumbuhan Penduduk, Rumah Tangga
dan Rata-rata Anggota Rumah Tangga Di Kota Makassar Tahun 2010.
Kode
Wil
010
020
030
031
040

Penduduk
Kecamatan

Mariso
Mamajang
Tamalate
Rappocini
Makassar

2009

2010

55.431
61.294
154.464
145.090
84.143

55.875
58.998
170.878
151.091
81.700

43

Laju
Pertumbuhan
Penduduk
2009-2010
0,56
-0,32
2,55
1,52
-0,15

Rumah
Tangga
12.026
13.015
41.298
33.926
17.087

Ratarata
anggota
Rumah
Tangga
5
5
4
4
5

050
060
070
080
090
100
101
110
111

Ujung
Pandang
Wajo
Bontoala
Ujung Tanah
Tallo
Panakkukang
Manggala
Biringkanaya
Tamalanrea

7371

Makassar

29.064

26.904

-0,66

5.594

35.533
62.731
49.103
137.333
136.555
100.484
130.651
90.473

29.359
54.197
46.688
134.294
141.382
117.075
167.741
103.192

-1,83
-0,83
0,23
-0,23
0,98
3,90
5,45
2,02

5.923
11.074
9.359
27.493
33.758
25.363
39.272
30.879

5
5
5
5
4
5
4
3

1.272.473

1.339.473

1,65

306.879

Persebaran penduduk antar kecamatan relatif tidak merata. Hal ini

Sumber : Makassar dalam angka 2011

Nampak dari tabel 4.3. di mana Kecamatan Tamalate memiliki jumlah penduduk
terbesar di Kota Makassar atau 12,76 persen dari total penduduk namun luas
wilayahnya hanya meliputi sekitar 11,50 persen dari total luas wilayah Kota
Makassar. Dilihat dari tingkat kepadatan penduduk, nampak pada tabel 4.3. bahwa
Kecamatan Makassar memiliki kepadatan penduduk yang tertinggi yaitu 32.421
jiwa per km2 dan Kecamatan Tamalanrea memiliki kepadatan penduduk terendah
yaitu 3.241 jiwa per km2.
Tabel 4.3 Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Menurut Kecamatan
di Kota Makassar 2010
Kode
Wil
010
020
030
031
040
050
060
070
080
090
100
101
110

Kecamatan
Mariso
Mamajang
Tamalate
Rappocini
Makassar
Ujung Pandang
Wajo
Bontoala
Ujung Tanah
Tallo
Panakkukang
Manggala
Biringkanaya

Luas
Area
(Km2)
1,82
2,25
20,21
9,23
2,52
2,63
1,99
2,1
5,94
5,83
17,05
24,14
48,22

%
1,04
1,28
11,50
5,25
1,43
1,50
1,14
1,19
3,38
3,32
9,70
13,73
27,43
44

Jumlah
Pendudu
k
55.875
58.998
170.878
151.091
81.700
26.904
29.359
54.197
46.688
134.294
141.382
117.075
167.741

%
4,17
4,40
12,76
11,30
6,10
2,01
2,19
4,04
3,50
10,02
10,55
8,74
12,52

Kepadata
n
Penduduk
(org/Km2)
30.701
26.221
8.455
16.370
32.421
10.230
14.753
25.808
7.860
23.035
8.292
4.850
3.479

111
Tamalanrea
31,84 18,11
7371
Makassar
175,77
100
Sumber: Makassar dalam angka 2011

4.1.2

103.192
1.339.473

7,70
100

3.241
7.621

Karakteristik Responden
Responden dalam penelitian ini terdiri atas perokok aktif pria yang

tersebar merata di 6 (enam) kecamatan di Kota Makassar. Selanjutnya responden


akan didistribusi berdasarkan tingkat pendidikan formal, kelompok umur, status
pernikahan, jenis pekerjaan, kuartil pendapatan, jumlah tanggungan keluarga,
kondisi tempat tinggal dan klasifikasi lokasi.
4.1.2.1 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Formal
Tingkat Pendidikan formal yang dimaksud adalah tingkat pendidikan
yang diselesaikan oleh responden. Berikut tabel distribusi responden menurut
tingkat pendidikan formal.
Tabel. 4.4 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Formal
Tingkat Pendidikan Formal
Tingkat Pendidikan
Frekuensi
9
Tamat SD/Sederajat
22
Tamat SMP/Sederajat
53
Tamat SMA/Sederajat
9
Diploma
51
Sarjana
144
Jumlah
Sumber: Data Primer 2012 (Diolah)

Persentase
6,25
15,28
36,81
6,25
35,42
100

Berdasarkan tabel di atas jumlah sebanyak 9 responden menyelesaikan tingkat


pendidikan sekolah dasar (SD) dengan persentase 6,25% dari total seluruh
responden. 22 responden tamat SMP/Sederajat atau 15,28% dari total seluruh
45

responden. Sebanyak 53 responden menyelesaikan tingkat pendidikan sekolah


menengah atas (SMA)/Sederajat dengan persentase 36,81% dari total seluruh
responden. 9 responden menyelesaikan pendidikan formal diploma dengan
persentase 6,25% dari total seluruh responden. Dan 51 responden menyelesaikan
tingkat pendidikan sarjana atau 35,42% dari total seluruh responden.
4.1.2.2 Distribusi Responden Berdasarkan Kelompok Umur
Kelompok umur yang dimaksud adalah perokok laki-laki yang berumur
antara 15 55 tahun ke atas.
Tabel 4.5 Distribusi Responden Berdasarkan Kelompok Umur
Kelompok Umur
Kelompok Umur
Frekuensi
15 24
30
25 34
63
35 44
34
45 54
15
55 atau lebih
2
Jumlah
144
Sumber: Data Primer 2012 (Diolah)

Persentase
20,83
43,75
23,61
10,42
1,39
100

Berdasarkan tabel 4.5 di atas, responden berumur antara 15 24 tahun


berjumlah 30 orang atau 20,83% dari total seluruh responden. 63 responden
berumur 25 34 tahun atau 43,75% ari total seluruh responden. 34 responden
berumur antara 35 44 tahun atau 23,61% dari total seluruh responden. 15
responden berumur 45 54 tahun atau 10,42% dari total seluruh responden dan 2
responden berumur 55 tahun atau lebih dengan persentase 1,39% dari total seluruh
responden.
4.1.2.3 Distribusi Responden Berdasarkan Status Pernikahan
Status pernikahan yang dimaksud adalah mereka perokok laki-laki yang
telah atau belum menikah.

46

Tabel 4.6 Distribusi Responden Berdasarkan Status Pernikahan


Status Pernikahan
Status
Frekuensi
Belum Menikah
45
Menikah
99
Jumlah
144
Sumber: Data Primer 2012 (Diolah)

Persentase
31,25
68,75
100

Berdasarkan tabel di atas sebanyak 45 responden belum menikah dengan


persentase 31,25% dari total seluruh responden. Dan 99 responden menikah atau
68,75% dari total seluruh responden.
4.1.2.4 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Pekerjaan
Jenis pekerjaan yang dimaksud adalah perokok laki-laki dalam golongan
tenaga kerja yaitu angkatan kerja yang bekerja dan mempunyai penghasilan serta
perokok laki-laki dalam golongan tenaga kerja yang bukan angkatan kerja karena
sekolah tetapi mempunyai pendapatan.
Tabel 4.7 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Pekerjaan
Jenis Pekerjaan
Pekerjaan
Frekuensi
TNI/POLRI
4
PNS/Pensiunan
27
Pegawai BUMN
8
Pegawai Swasta
27
Pelajar/Mahasiswa
8
Wiraswasta
18
Buruh
29
Petani
4
Nelayan
8
Lainnya
11
Jumlah
144
Sumber: Data Primer 2012 (Diolah)

47

Persentase
2,78
18,75
5,56
18,75
5,56
12,50
20,14
2,78
5,56
7,64
100

Dari tabel 4.7 di atas sebanyak 4 responden berprofesi sebagai anggota


TNI/POLRI atau 2,78% dari total seluruh responden. Sebanyak 27 responden atau
18,75% dari total seluruh responden PNS/Pensiunan. 8 responden pegawai
BUMN atau 5,56% dari total seluruh responden. 27 responden pegawai swasta
atau 18,75% dari total seluruh responden. 8 responden pelajar/mahasiswa dengan
persentase 5,56% dari total seluruh responden. 18 responden wiraswasta atau
memiliki usaha sendiri dengan persentase 12,50% dari total seluruh responden. 29
responden bekerja sebagai buruh atau 20,14% dari total seluruh responden. 4
responden petani atau 2,78% dari total seluruh responden. 8 responden nelayan
atau 5,56% dari total seluruh responden. Dan 11 responden lainnya yang
seluruhnya diisi oleh responden masyarakat kumuh yaitu pemulung, tukang
becak, tukang ojek dan supir bentor, dengan persentase 7,64% dari total seluruh
responden.
4.1.2.5 Distribusi Responden Berdasarkan Kuartil Pendapatan
Pendapatan yang dimaksud disini adalah pendapatan dari hasil bekerja
dan/atau usaha lain dan pendapatan berupa uang saku bulanan dari orangtua atau
usaha lain jika ada untuk mereka yang pelajar/mahasiswa.
Tabel 4.8 Distribusi Responden Berdasarkan Kuartil Pendapatan
Kuartil Pendapatan
Kuartil

Frekuensi
2
34
36
36
36
144

Q1 0 - 400.000
Q2 400.001 - 1.037.500
Q3 1.037.501 - 2.050.000
Q4 2.050.001 - 4.025.000
Q5 4.025.001 - 12.000.000
Jumlah
Sumber: Data Primer 2012 (Diolah)

48

Persentase
1,39
23,61
25
25
25
100

Berdasarkan tabel di atas, responden yang memiliki pendapatan antara 0


400.000 sebanyak 2 responden atau 1,39% dari total seluruh responden.
Selanjutnya responden yang memiliki pendapatan antara 400.001 1.037.500
sebanyak 34 responden atau 23,61% dari total seluruh responden.. Pendapatan
antara 1.037.501 2.050.000 sebanyak 36 responden atau 25% dari total seluruh
responden. Responden terbanyak terdapat pada kuartil pendapatan ke empat (Q4)
yaitu antara 2.050.001 4.025.000 dengan jumlah responden sebanyak 36 orang
atau 25% dari total seluruh responden. Dan terakhir responden dengan pendapatan
antara 4.025.001 12.000.000 sebanyak 36 responden atau 25% dari total seluruh
responden.
4.1.2.6 Distribusi Responden Berdasarkan Jumlah Tanggungan Keluarga
Jumlah tanggungan keluarga yang dimaksud adalah mereka yang telah
atau belum menikah mempunyai atau tidak mempunyai tanggungan keluarga.
Tabel Tabel 4.9 Distribusi Responden Berdasarkan Jumlah Tanggungan
Keluarga
Jumlah Tanggungan Keluarga
JTK
Frekuensi
Persentase
0
46
31,94
1
11
7,64
2
29
20,13
3
28
19,45
4
14
9,73
5
14
9,73
7
1
0,69
8
1
0,69
Jumlah
144
100
Sumber: Data Primer 2012 (Diolah)

Berdasarkan tabel di atas, responden dengan jumlah tanggungan keluarga


(JTK) 0 adalah sebanyak 46 responden atau 31,94% dari total seluruh responden.

49

11 responden dengan JTK 1 orang atau 7,64% dari total seluruh responden. 29
responden dengan JTK 2 orang atau 20,13% dari total seluruh responden. 28
responden dengan JTK 3 orang atau 19,45% dari total seluruh responden. 14
responden dengan JTK 4 orang atau 9,73% dari total seluruh responden. 14
responden dengan JTK 5 orang atau 9,73% dari total seluruh responden. 1
responden dengan JTK 7 orang atau 0,69% dari total seluruh responden. 1
responden dengan JTK 8 orang atau 0,69% dari total seluruh responden.
4.1.2.7 Distribusi Responden Berdasarkan Klasifikasi Lokasi
Klasifikasi lokasi yang dimaksud adalah responden yang tinggal di
daerah pusat kota dan pinggiran kota. Pusat kota merupakan bagian wilayah kota
yang memiliki lokasi strategis dan aksesibilitas tinggi (Hartshorn, 1980 dalam
Insaf, 2004). Sedangkan pinggiran kota adalah kota yang wilayahnya terletak
diperbatasan dengan kota lain yang hirarkinya memiliki karakteristik adanya
wilayah pedesaan serta intensitas wilayah terbangun lebih rendah dari kota
pusatnya. (Rug, 1979 dalam Insaf, 2004).
Tabel Tabel 4.10 Distribusi Responden Berdasarkan Klasifikasi Lokasi
Klasifikasi Lokasi
Kawasan
Frekuensi
Pusat Kota
72
Pinggiran Kota
72
Jumlah
144
Sumber: Data Primer 2012 (Diolah)

Persentase
50
50
100

Berdasarkan tabel 4.10 di atas terdapat 72 responden atau 50% dari total
seluruh responden berada di kawasan pusat kota. Dan 72 responden atau 50% dari
total seluruh responden berada di kawasan pinggiran kota.

50

4.1.2.8 Distribusi Responden Berdasarkan Kondisi Tempat Tinggal


Kondisi tempat tinggal yang dimaksud adalah responden yang tinggal di
kawasan elit dan kumuh baik di pusat kota maupun pinggiran kota. Sementara
yang termasuk indikator elit sebagaimana disebutkan Koestoer (1997) dalam
Warsono (2006) adalah domisili responden yang tinggal di daerah perumahan
dengan syarat memiliki keteraturan bentuk secara fisik. Artinya, sebagian besar
rumah menghadap secara teratur kearah kerangka jalan yang ada dan sebagian
besar terdiri dari bangunan permanen, berdinding tembok, dan dilengkapi dengan
penerangan listrik. Sedangkan indikator

slum area/kumuh sebagaimana

disebutkan Yudohusodo (1991) dalam Warsono (2006) adalah domisili responden


yang tinggal dikawasan hunian tidak berstruktur, tidak berpola dengan letak
rumah dan jalan-jalannya tidak beraturan, tidak tersedianya fasilitas umum,
prasarana dan sarana permukiman tidak mendukung, bentuk fisiknya tidak layak,
kondisi fisik lingkungannya semakin memburuk karena kurang pemeliharaan,
umur bangunan yang menua, ketidak acuhan, atau karena terbagi-bagi menjadi
unit pekarangan rumah atau kamar yang semakin mengecil.

Tabel Tabel 4.11 Distribusi Responden Berdasarkan Kondisi Tempat Tinggal


Kondisi Tempat Tinggal
Kawasan
Frekuensi
Elit
72
Slum/Kumuh
72
Jumlah
144
Sumber: Data Primer 2012 (Diolah)

51

Persentase
50
50
100

Berdasarkan tabel 4.9 di atas terdapat 72 responden atau 50% dari total
seluruh responden berada pada kwasan elit. Dan 72 responden atau 50% dari total
seluruh responden berada pada kwasan kumuh.
4.1.3

Permintaan Rokok Berdasarkan Karakteristik Responden


Berikut adalah tabel rata-rata permintaan rokok per hari masyarakat di

Kota Makassar berdasarkan karakteristik responden.


Untuk semua responden yang merokok setiap hari, rata-rata permintaan
rokoknya adalah 16 batang per hari. Menurut tingkat pendidikan formal laki-laki
dengan pendidikan sarjana memiliki rata-rata permintaan rokok terbesar yaitu 20
batang rokok per hari. Dan laki-laki dengan latar pendidikan tamat SMP/Sederajat
memiliki rata-rata permintaan rokok terkecil yaitu 12 batang per hari (Tabel 4.12).
Sementara itu, menurut kelompok umur, terlihat bahwa rata-rata permintaan
rokok perokok laki-laki berumur 35-44 tahun lebih tinggi yaitu 19 batang per hari.
Dan yang terendah adalah perokok laki-laki yang berumur 15-24 tahun yaitu 11
batang per hari (Tabel 4.12). Dan usia mulai merokok untuk perokok laki-laki di
Kota Makassar adalah usia 17 tahun.

Tabel 4.12 Permintaan Rokok Berdasarkan Karakteristik Responden

KARAKTERISTIK
RESPONDEN

RATA-RATA PERMINTAAN ROKOK


(Batang Per Hari)
Tingkat Pendidikan Formal

Tamat SD/Sederajat
Tamat SMP/Sederajat
Tamat SMA/Sederajat
Diploma
Sarjana

15
12
15
19
20

52

Kelompok Umur
15 24
25 34
35 44
45 54
55 atau lebih

11
17
19
17
14
Status Pernikahan

Belum Menikah
Menikah

13
18
Jenis Pekerjaan

TNI/POLRI
PNS/Pensiunan
Pegawai BUMN
Pegawai Swasta
Pelajar/Mahasiswa
Wiraswasta
Buruh
Petani
Nelayan
Lainnya

13
20
22
17
12
19
13
21
17
12
Kuartil Pendapatan

Q1
Q2
Q3
Q4
Q5

0 - 400.000
400.001 - 1.037.500
1.037.501 - 2.050.000
2.050.001 - 4.025.000
4.025.001 - 12.000.000

8
11
16
15
24
Jumlah Tanggungan Keluarga

0
1
2
3
4
5
7
8

13
15
19
18
18
20
20
16
Kondisi Tempat Tinggal

Kawasan Elit
Kawasan Kumuh

19
14
Klasifikasi Lokasi

Pusat Kota
Pinggiran Kota

17
16

Sumber: Data Primer 2012 (Diolah)

Untuk status pernikahan perokok laki-laki yang menikah rata-rata


permintaan rokoknya lebih tinggi yaitu sebesar 18 batang per hari dibanding
perokok laki-laki yang belum menikah yaitu 13 batang per hari (Tabel 4.12).
Menurut jenis pekerjaan, rata-rata permintaan rokok untuk perokok laki-laki
di Kota Makassar cukup bervariasi di mana pegawai BUMN memiliki rata-rata
permintaan rokok paling besar dengan rata-rata 22 batang per hari. Tertinggi

53

kedua adalah petani dengan rata-rata permintaan rokok adalah 21 batang per hari.
Kemudian urutan ketiga adalah PNS/Pensiunan dengan rata-rata 20 batang rokok
per hari. Selanjutnya yang keempat adalah wiraswasta dengan rata-rata 19 batang
rokok per hari, kelima adalah pegawai swasta dan nelayan dengan rata-rata 17
batang per hari, keenam adalah TNI/POLRI dan buruh dengan rata-rata 13 batang
per hari. Dan yang terakhir adalah pelajar/mahasiswa dan pekerja lainnya dengan
rata-rata 12 batang per hari (Tabel 4.12).
Menurut kuartil pendapatan, kuartil pertama (Q1) atau kelompok
pendapatan terendah permintaan rokoknya paling sedikit dengan rata-rata 8 batang
per hari, dan kuartil kelima (Q5) atau kelompok pendapatan tertinggi permintaan
rokoknya paling banyak dengan rata-rata 24 batang per hari. Sementara itu kuartil
kedua (Q2) rata-rata permintaan rokoknya adalah 11 batang per hari. kemudian
kuartil ketiga (Q3) adalah 16 batang per hari dan kuartil keempat (Q4) rata-rata
permintaan rokoknya adalah 15 batang per hari (Tabel 4.12).
Menurut jumlah tanggungan keluarga (JTK), responden dengan JTK 5 dan 7
orang permintaan rokoknya paling banyak dengan rata-rata 20 batang per hari.
Selanjutnya responden dengan JTK 2 rata-rata permintaan rokok terbanyak kedua
dengan rata-rata 19 batang per hari. Ketiga adalah responden yang memiliki JTK
3 dan 4 orang dengan rata-rata 18 batang per hari. Keempat adalah responden
dengan JTK 8 orang rata-rata permintaan rokoknya 16 batang per hari. Kelima
adalah responden dengan JTK 1 orang dengan rata-rata permintaan rokok 15
batang per hari. Dan yang terakhir adalah responden yang tidak memiliki

54

tanggungan keluarga memiliki rata-rata permintaan rokok paling rendah dengan


rata-rata 13 batang per hari (Tabel 4.12).
Menurut kondisi tempat tinggal responden, perokok laki-laki yang tinggal di
kawasan elit mempunyai rata-rata permintaan lebih besar yaitu 19 batang per hari
dibandingkan perokok laki-laki yang tinggal di daerah kumuh yaitu 14 batang per
hari (Tabel 4.12).
Menurut lokasi tempat tinggal, perokok laki-laki yang tinggal di pusat kota
mempunyai rata-rata permintaan lebih besar yaitu 17 batang per hari
dibandingkan perokok laki-laki yang tinggal di kawasan pinggiran kota yaitu 16
batang per hari (Tabel 4.12).

4.1.4

Hubungan Antar Variabel


Berdasarkan penelitian lapangan yang dilakukan bahwa permintaan rokok

sebagian besar responden sedikit banyak dipengaruhi oleh beberapa faktor,


diantaranya pendapatan, harga rokok, harga barang substitusi/permen, harga
barang komplementer/minuman, biaya kesehatan, dan jenis pekerjaan. Selain itu,
faktor efek iklan dan efek fatwa haram merokok oleh MUI juga sangat
mempengaruhi permintaan rokok seseorang.
4.1.4.1 Hubungan Antara Pendapatan Dengan Permintaan Rokok
Tabel 4.13 berikut ini adalah distribusi reponden dilihat dari pendapatan
keluarga dengan rata-rata permintaan rokok setiap hari oleh masyarakat di Kota
Makassar.
Tabel 4.13. Distribusi Responden Berdasarkan Kuartil Pendapatan

55

Kuartil Pendapatan

Frekuensi
Q1
Q2
Q3
Q4
Q5

Jumlah Batang
Rokok/Hari

Responden

0 - 400.000
400.001 - 1.037.500
1.037.501 - 2.050.000
2.050.001 - 4.025.000
4.025.001 - 12.000.000
Total
Sumber: Data Primer 2012 (Diolah)

1
34
36
36
36
144

Rata-rata

1,39
23,61
25,00
25,00
25,00
100

8
11
16
15
24
74

10,81
14,86
21,62
20,27
32,43
100

Berdasarkan tabel. 4.13 diketahui bahwa dari 144 responden (100%). Yang
memiliki pendapatan antara Rp. 0,- sampai Rp. 400.000,- sebanyak 2 responden
dengan rata-rata permintaan 8 batang per hari. Kemudian dari 34 responden yang
memiliki pendapatan antara Rp. 400.001,- sampai Rp. 1.037.500,- mempunyai
rata-rata permintaan rokok 11 batang per hari. Sebanyak 36 responden (25%)
memiliki pendapatan antara Rp. 1.037.501,- sampai Rp. 2.050.000 mempunyai
rata-rata permintaan rokok 16 batang per hari. Responden yang berpendapatan
antara Rp.2.050.001,- sampai Rp.4.025.000,- mempunyai rata-rata permintaan
rokok sebesar 15 batang per hari. Dan responden yang berpendapatan antara
Rp.4.025.001,- sampai Rp.12.000.000,- mempunyai rata-rata permintaan yaitu 24
batang per hari.
Hal tersebut menunjukkan bahwa perokok laki-laki yang berpendapatan di
kuartil kelima (Q5) atau pendapatan antara Rp.4.025.001 sampai Rp.12.000.000,mempunyai rata-rata permintaan rokok terbesar. Dan perokok laki-laki yang
berada pada kuartil pendapatan pertama (Q1) mempunyai rata-rata permintaan
rokok terendah.
4.1.4.2 Hubungan Antara Harga Rokok Dengan Permintaan Rokok

56

Tabel 4.14 berikut ini adalah distribusi reponden dilihat dari harga rokok
dengan rata-rata permintaan rokok setiap hari oleh masyarakat di Kota Makassar..
Tabel 4.14 Distribusi Responden Berdasarkan Kelompok Harga Rokok

Kelompok Harga Rokok

Jumlah Batang
Rokok/Hari

Responden
Frekuensi

Rp. 8.000 Rp.9.999


4
Rp. 10.000 Rp.11.999
27
Rp. 12.000 Rp. 13.999
106
> Rp. 14.000
7
Total
144
Sumber: Data Primer 2012 (Diolah)

Rata-rata

2,78
18,75
73,61
4,86
100

17
16
16
25
74

22,97
21,62
21,62
33,78
100

Berdasarkan tabel 4.14 di atas, dapat dilihat bahwa responden membeli


rokok pada harga terendah Rp. 8.000. Dari 144 responden (100%), sebanyak 106
responden (73,61%) membeli rokok pada kisaran harga Rp. 12.000 Rp. 13.999
dengan rata-rata permintaan rokok 16 batang per hari. 27 responden (18,75%)
membeli rokok pada kisaran harga Rp. 10.000 Rp. 11.999 dengan rata-rata
permintaan rokok 16 batang per hari. Selanjutnya, sebanyak 4 responden (2,78%)
membeli rokok pada kisaran harga Rp. 8.000 Rp. 9.999 dengan rata-rata
permintaan rokok 17 batang per hari. Dan sebanyak 4 responden (2,78%)
membeli rokok pada kisaran harga > Rp. 14.000 dengan rata-rata konsusmi rokok
sebesar 25 batang per hari.

4.1.4.3 Hubungan Antara Harga Permen Dengan Permintaan Rokok


Tabel 4.15 berikut ini adalah distribusi reponden dilihat dari harga permen
dengan rata-rata permintaan rokok setiap hari oleh masyarakat di Kota Makassar.
Tabel 4.15 Distribusi Responden Berdasarkan Kelompok Harga Permen

57

Jumlah Batang
Rokok/Hari

Responden

Kelompok Harga Permen

Frekuensi

Rata-rata

Rp. 500 Rp. 2.499

93

64,58

14

Rp. 2.500 Rp. 4.499

36

25

20

Rp. 4.500 Rp.6.499

13

9,03

25

> Rp. 6.500

1,39

10

100

69

Total
144
Sumber: Data Primer 2012 (Diolah)

%
20,2
9
28,9
9
36,2
3
14,4
9
100

Berdasarkan tabel 4.15 di atas, dapat dilihat bahwa dari 144 responden
(100%), sebanyak 93 responden (64,58%) membeli permen pada kisaran harga
Rp. 500 Rp. 2.499 dengan rata-rata permintaan rokok 14 batang per hari.
Sebanyak 36 responden (25%) membeli permen pada kisaran harga Rp. 2.500
Rp. 4.499 dengan rata-rata konsusmi rokok 20 batang per hari. Selanjutnya,
sebanyak 13 responden (9,03%) membeli permen pada kisaran harga Rp. 4.500
Rp. 6.499 dengan rata-rata permintaan rokok 25 batang per hari. Dan sebanyak 2
responden membeli permen pada kisaran harga > Rp. 6.500 dengan rata-rata
permintaan rokok 10 batang per hari.

4.1.4.4 Hubungan Antara Harga Minuman Dengan Permintaan Rokok

58

Tabel 4.16 berikut ini adalah distribusi reponden dilihat dari harga
minuman dengan rata-rata permintaan rokok setiap hari oleh masyarakat di Kota
Makassar.
Tabel 4.16 Distribusi Responden Berdasarkan Kelompok Harga Minuman
Kelompok Harga
Minuman

Jumlah Batang
Rokok/Hari

Responden
Frekuensi

Rp. 1.000 Rp. 3.999

93

Rp. 4.000 Rp. 6.999

36

Rp. 7.000 Rp. 9.999

10

> Rp. 10.000

%
64,5
8
25,0
0
6,94

Total
144
Sumber: Data Primer 2012 (Diolah)

3,47
100

Rata-rata
16
19
13
17
65

%
24,6
2
29,2
3
20,0
0
26,1
5
100

Berdasarkan tabel 4.16 di atas sebanyak 93 responden (64,58%) membeli


minuman pendamping rokok pada kisaran harga Rp. 1.000 Rp. 3.999 dengan
rata-rata permintaan rokok 16 batang per hari. Sebanyak 36 responden (25%)
membeli minuman pendamping rokok pada kisaran harga Rp. 4.000 Rp. 6.999
dengan rata-rata permintaan rokok 19 batang per hari. Selanjutnya sebanyak 10
responden ( 6,94%) membeli minuman pendamping rokok pada kisaran harga Rp.
7.000 Rp. 9.999 dengan rata-rata permintaan rokok 13 batang per hari. Dan
sebanyak 5 responden (3,47%) membeli minuman pendamping rokok pada
kisaran harga > Rp. 10.000 dengan rata-rata permintaan rokok 17 batang per hari.
4.1.4.5 Hubungan Antara Biaya Kesehatan Dengan Permintaan Rokok

59

Tabel 4.17 berikut ini adalah distribusi reponden dilihat dari biaya
kesehatan dengan rata-rata permintaan rokok setiap hari oleh masyarakat di Kota
Makassar.

Tabel 4.17 Distribusi Responden Berdasarkan Kelompok Biaya Kesehatan


Kelompok Biaya
Kesehatan

Jumlah Batang
Rokok/Hari

Responden
Frekuensi

Rp. 0 Rp. 99.999


117
Rp. 100.000 Rp. 199.999
15
Rp.200.000 Rp. 299.999
9
> Rp. 300.000
3
Total
144
Sumber: Data Primer 2012 (Diolah)

Rata-rata

81,25
10,42
6,25
2,08
100

16
18
20
14
68

23,53
26,47
29,87
20,59
100

Berdasarkan tabel 4.17 di atas, sebanyak 117 responden (81,25%)


mengeluarkan biaya kesehatan untuk pengobatan penyakit akibat rokok antara
Rp.0 Rp.99.999. Sebanyak 15 responden (10,42%) mengeluarkan biaya
kesehatan untuk pengobatan penyakit akibat rokok antara Rp.100.000
Rp.199.999. Selanjutnya, sebanyak 9 responden (6,25%) mengeluarkan biaya
kesehatan untuk pengobatan penyakit akibat rokok antara Rp.200.000
Rp.299.999. Dan sebanyak 3 responden mengeluarkan biaya kesehatan untuk
pengobatan penyakit akibat rokok > Rp.300.000.
4.1.4.6 Hubungan Antara Jenis Pekerjaan Dengan Permintaan Rokok
Tabel 4.18 berikut ini adalah distribusi reponden dilihat jenis pekerjaan
dengan rata-rata permintaan rokok setiap hari oleh masyarakat di Kota Makassar.
Tabel 4.18 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Pekerjaan
Jenis Pekerjaan

Responden

60

Jumlah Batang
Rokok/Hari

Frekuensi
73
Pekerjaan Formal
71
Pekerjaan Non-Formal
144
Total
Sumber: Data Primer 2012 (Diolah)

%
50,69
49,31
100

Rata-rata
18
15
33

%
54,55
54,54
100

Berdasarkan tabel.4.18 diketahui bahwa 73 responden (54,55%) dengan


pekerjaan formal mempunyai rata-rata permintaan rokok terbanyak yaitu 18
batang per hari. Dan sebanyak 71 responden (54,54%) mempunyai rata-rata
permintaan rokok sebanyak 15 batang per hari.
4.1.4.7 Hubungan Antara Efek Iklan Dengan Permintaan Rokok
Tabel 4.19 berikut ini adalah distribusi reponden dilihat dari respon
terhadap iklan rokok yang dapat mempengaruhi rata-rata permintaan rokok setiap
hari oleh masyarakat di Kota Makassar.
Tabel 4.19 Distribusi Responden Berdasarkan Pendapat tentang Iklan Rokok

Pendapat

Jumlah Batang
Rokok/Hari

Responden
Frekuensi

Setuju
84
Tidak Setuju
60
Total
144
Sumber: Data Primer 2012 (Diolah)

Rata-rata

58,33
41,67
100

17
16
33

50
50
100

Berdasarkan tabel 4.19 di atas sebanyak 84 responden (58,33%) setuju


bahwa iklan rokok yang semakin imajinatif dan komersial mempengaruhi jumlah
rokok yang dihisap dengan jumlah permintaan rata-rata 17 batang per hari dan 60
responden (41,67%) tidak setuju bahwa iklan rokok mempenaruhi jumlah rokok
yang dihisap dengan jumlah rokok yang dipermintaan rata-rata 16 batang per hari.
4.1.4.8 Hubungan Antara Efek Fatwa Dengan Permintaan Rokok

61

Tabel 4.20 berikut ini adalah distribusi reponden dilihat dari respon
terhadap fatwa haram merokok MUI yang dapat mempengaruhi rata-rata
permintaan rokok setiap hari oleh masyarakat di Kota Makassar.

Tabel 4.20 Distribusi Responden Berdasarkan Pendapat tentang Fatwa


Haram Merokok oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Jumlah Batang
Rokok/Hari

Responden

Pendapat

Frekuensi
Setuju
50
Tidak Setuju
94
Total
144
Sumber: Data Primer 2012 (Diolah)

Rata-rata

34,72
65,28
100

15
17
32

53,13
46,87
100

Berdasarkan tabel 4.20 di atas sebanyak 50 responden (34,72%) setuju


bahwa fatwa haram merokok oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) mempengaruhi
minat merokok dengan jumlah permintaan rata-rata 15 batang per hari. Dan
sebanyak 94 responden (65,28%) tidak setuju bahwa fatwa haram merokok
mempengaruhi

minat

merokok.

Dengan

melihat

perbandingan

rata-rata

permintaan rokok tersebut, konsumen yang setuju ternyata mengkonsumsi rokok


lebih sedikit dibandingkan responden yang tidak setuju.

4.2 Pembahasan
4.2.1 Hasil Regresi
Untuk mengetahui pengaruh dari tiap-tiap variabel X terhadap variabel Y
maka dilakukanan perhitungan regresi linear berganda dengan menggunakan
Eviews 3.0. Hasil perhitungan regresi linear berganda mengenai faktor-faktor

62

yang mempengaruhi permintaan rokok masyarakat di Kota Makassar secara


terperinci hasil regresi dapat di lihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 4.21
Rekapitulasi Data Hasil Regresi Linear Berganda
Variabel

Coefficient

Std. Error

t-Statistik

Prob.

-2.802114

3.450204

-0.812159

0.4181

X1

0.387515

0.067260

5.761418

0.0000

X2

0.106833

0.358468

0.298028

0.7661

X3

0.213690

0.069840

3.059701

0.0027

X4

-0.213271

0.085534

-2.493410

0.0139

X5

-0.102683

0.034453

-2.980399

0.0034

D1

0.019167

0.076321

0.251136

0.8021

D2

-0.015800

0.069634

-0.226908

0.8208

D3

-0.132197

0.072719

-1.817929

0.0713

R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression

0.397833
0.362149
0.406610

F-statistik

11.14879

F-tabel (0,05; 7; 136)

2.077558

144

Df

136

t tabel (0,05; 136)

1.977561

* Signifikansi pada level 5%

C adalah konstanta/intersep, X1 adalah pendapatan, X2 adalah harga rokok, X3


adalah harga permen/barang substitusi, X4 adalah harga minuman/barang
komplementer, X5 adalah biaya kesehatan, D1 adalah jenis pekerjaan, D2 adalah
efek iklan dan D3 adalah efek fatwa.

63

4.2.2

Interpretasi Hasil
Berdasarkan data pada Tabel 4.22 maka diperoleh model dari perhitungan

pengaruh pendapatan, harga rokok, harga permen, harga minuman, biaya


kesehatan, jenis pekerjaan, efek iklan dan efek fatwa terhadap permintaan rokok
masyarakat di Kota Makassar sebagai berikut:
LnY = -2.802114 +
0.213690*lnX3

-0.213271*lnX4

0.387515*lnX1 +
-

0.102683*lnX5

0.106833*lnX2 +
+

0.019167*D1

0.015800*D2 - 0.132197*D3 + e
4.2.2.1 Konstanta atau Intersep
Hasil regresi menunjukkan bahwa tanpa adanya pengaruh dari variabelvariabel bebas (pendapatan, harga rokok, harga permen, harga minuman, biaya
kesehatan, jenis pekerjaan, efek iklan, dan efek fatwa) permintaan rokok
masyarakat di Kota Makassar adalah sebesar -2.802114. Hasil perhitungan
empiris tersebut sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa permintaan akan
suatu komoditi selain dipengaruhi oleh harga komoditi itu sendiri juga
dipengaruhi oleh beberapa faktor lain yang sangat penting yaitu pendapatan ratarata, jumlah populasi, harga dan tersedianya barang pengganti, selera individu dan
beberapa pengaruh khusus (Samuelson, 2001).
Berbicara mengenai permintaan, berarti berbicara mengenai seorang
konsumen melakukan sejumlah permintaan terhadap sejumlah barang atau jasa
yang dibutuhkan, agar kebutuhan dapat terpenuhi pada suatu waktu tertentu. Jika
yang diperlukan itu adalah barang X, maka terdapat variabel yang turut
menentukan jumlah permintaan barang yang dimaksud. Misalnya tingkat

64

pendapatan orang yang bersangkutan, harga barang itu sendiri, selera, dan lain
sebagainya. Demikian pula dengan permintaan rokok dipengaruhi oleh beberapa
faktor yakni pendapatan, harga rokok, harga permen sebagai barang substitusi,
harga minuman seperti kopi, teh dan susu sebagai barang komplementer, biaya
kesehatan, jenis pekerjaan, dan dua faktor non-ekonomi seperti efek iklan dan
efek fatwa. Hasil perhitungan yang empiris menunjukkan bahwa jika tanpa ada
pengaruh variabel-variabel bebas sebagaimana telah disebutkan maka permintaan
rokok bernilai negatif. Untuk itu masyarakat memerlukan pertimbanganpertimbangan dalam membeli rokok. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
secara simultan variabel pendapatan, harga rokok, harga permen, harga minuman,
biaya kesehatan, jenis pekerjaan, efek iklan, dan efek fatwa mempunyai pengaruh
yang cukup berarti terhadap jumlah permintaan rokok.
4.2.2.2 Pendapatan (X1)
Dari hasil regresi, pendapatan (X1) mempunyai nilai koefisien sebesar
0,387515 dengan nilai tstatistik sebesar 5,761418 dengan tingkat signifikansi di mana
tingkat probabilitas adalah sebesar 0,0000 dimana nilainya < 0,05 sehingga dapat
dikatakan signifikan pada = 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan
pendapatan terhadap permintaan rokok masyarakat di Kota Makassar adalah
posiitif dan signifikan. Sehingga dapat dikatakan bahwa jika pendapatan naik 1%
maka permintaan rokok juga naik sebesar 0,387515% dengan asumsi citeris
paribus. Oleh karena variabel pendapatan (X1) terbukti berpengaruh positif dan
signfikan terhadap permintaan rokok (Y) maka hipotesis diterima.
4.2.2.3 Harga Rokok (X2)
Hasil regeresi harga rokok (X2) menunjukkan bahwa nilai koefisien
sebesar 0,106833 dan tstatistik sebesar 0,298028 dengan tingkat signifikansi di mana

65

tingkat probabilitas adalah sebesar 0,7661 dimana nilainya > 0,05 sehingga dapat
dikatakan tidak signifikan pada = 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa harga rokok
tidak berpengaruh signfikan terhadap permintaan rokok masyarakat di Kota
Makassar. Oleh karena tidak terdapatnya hubungan yang signifikan antara harga
rokok dengan permintaan rokok maka hipotesis yang diajukan ditolak.
4.2.2.4 Harga Permen (X3)
Hasil regresi harga permen (X3) menunjukkan nilai koefisien sebesar
0,213690 dan tstatistik sebesar 3,059701 dengan tingkat signifikansi di mana tingkat
probabilitas adalah sebesar 0,0027 dimana nilainya < 0,05 sehingga dapat
dikatakan signifikan pada = 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan antara
harga permen dengan permintaan rokok masyarakat di Kota Makassar adalah
positif dan signifikan. Sehingga dapat dikatakan bahwa jika harga permen naik
1% maka permintaan rokok akan naik sebesar 0, 213690 %. Oleh karena variabel
harga permen (X3) terbukti berpengaruh positif dan signfikan terhadap
permintaan rokok (Y) maka hipotesis diterima.
4.2.2.5 Harga Minuman (X4)
Hasil regresi harga minuman (X4) menunjukkan nilai koefisien sebesar
(-0,213271) dan tstatistik sebesar 2,493410 dengan tingkat signifikansi di mana
tingkat probabilitas adalah sebesar 0,0139 dimana nilainya < 0,05 sehingga dapat
dikatakan signifikan pada = 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan antara
harga minuman dengan permintaan rokok masyarakat di Kota Makassar adalah
negatif dan signifikan. Sehingga dapat dikatakan bahwa jika harga minuman naik
1% maka permintaan rokok akan turun sebesar 0,213271%. Oleh karena variabel
harga minuman (X4) terbukti berpengaruh negatif dan signfikan terhadap
permintaan rokok (Y) maka hipotesis diterima.
4.2.2.6 Biaya Kesehatan (X5)

66

Hasil regresi biaya kesehatan (X5) menunjukkan nilai koefisien sebesar


(-0,102683) dan tstatistik sebesar 2,980399 dengan tingkat signifikansi di mana
tingkat probabilitas adalah sebesar 0,0034 dimana nilainya < 0,05 sehingga dapat
dikatakan signifikan pada = 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan antara
biaya kesehatan dengan permintaan rokok masyarakat di Kota Makassar adalah
negatif dan signifikan. Sehingga dapat dikatakan bahwa jika biaya kesehatan naik
1% maka permintaan rokok akan turun sebesar 0,102683%. Oleh karena variabel
biaya kesehatan (X5) terbukti berpengaruh negatif dan signfikan terhadap
permintaan rokok (Y) maka hipotesis diterima.
4.2.2.7 Jenis Pekerjaan (D1)
Hasil regeresi jenis pekerjaan (D1) menunjukkan bahwa nilai koefisien
sebesar 0,019167 dan tstatistik sebesar 0,251136 dengan tingkat signifikansi di mana
tingkat probabilitas adalah sebesar 0,8021 dimana nilainya > 0,05 sehingga dapat
dikatakan tidak signifikan pada = 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa jenis
pekerjaan tidak berpengaruh signfikan terhadap permintaan rokok masyarakat di
Kota Makassar. Oleh karena tidak terdapatnya hubungan yang signifikan antara
jenis pekerjaan dengan permintaan rokok maka hipotesis yang diajukan ditolak.
4.2.2.8 Efek Iklan (D2)
Hasil regeresi efek iklan (D2) menunjukkan bahwa nilai koefisien
sebesar (-0,015800) dan tstatistik sebesar 0,226908 dengan tingkat signifikansi di
mana tingkat probabilitas adalah sebesar 0,8208 dimana nilainya > 0,05 sehingga
dapat dikatakan tidak signifikan pada = 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa efek
iklan tidak berpengaruh signfikan terhadap permintaan rokok masyarakat di Kota
Makassar. Oleh karena tidak terdapatnya hubungan yang signifikan antara efek
iklan dengan permintaan rokok maka hipotesis yang diajukan ditolak.

67

4.2.2.9 Efek Fatwa (D3)


Hasil regeresi efek fatwa (D3) menunjukkan bahwa nilai koefisien
sebesar (-0,132197) dan tstatistik sebesar 1,817929 dengan tingkat signifikansi di
mana tingkat probabilitas adalah sebesar 0,0713 dimana nilainya > 0,05 sehingga
dapat dikatakan tidak signifikan pada = 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa efek
fatwa tidak berpengaruh signfikan terhadap permintaan rokok masyarakat di Kota
Makassar. Oleh karena tidak terdapatnya hubungan yang signifikan antara efek
fatwa dengan permintaan rokok maka hipotesis yang diajukan ditolak.

4.2.3 Analisis Uji Asumsi Klasik


4.2.3.1 Uji Multikolineritas
Multikolinieritas adalah hubungan yang terjadi diantara variabel
independen atau variabel independen yang satu fungsi dari variabel independen
yang lain. Untuk mendeteksi multikolinearitas dengan menggunakan E-Views
dapat dilakukan dengan melihat korelasi antar variabel bebas (Correlation
Matrix). Pada tabel 4. Correlation Matrix memperlihatkan bahwa tidak terjadi
multikolinearitas pada model persamaan ini karena semua variabel bebas memiliki
korelasi yang lemah di bawah 0,80.
Tabel 4.22
Correlation Matrix
Obs

X1

X2

X3

X4

X5

D1

D2

D3

Y
X1
X2
X3
X4
X5
D1

1.000000
0.472886
0.125047
0.454495
-0.027359
0.071555
0.165396

0.472886
1.000000
0.101498
0.536286
0.458653
0.596471
0.405266

0.125047
0.101498
1.000000
0.088556
-0.080488
0.022198
0.041533

0.454495
0.536286
0.088556
1.000000
0.082287
0.340135
0.283030

-0.027359
0.458653
-0.080488
0.082287
1.000000
0.436078
0.315149

0.071555
0.596471
0.022198
0.340135
0.436078
1.000000
0.357774

0.165396
0.405266
0.041533
0.283030
0.315149
0.357774
1.000000

0.013887
0.037007
-0.112915
0.006137
0.009712
-0.049872
0.021147

-0.128369
0.036914
-0.082748
0.084399
0.024923
0.154509
0.030415

68

D2
D3

0.013887
-0.128369

0.037007
0.036914

-0.112915
-0.082748

0.006137
0.084399

0.009712
0.024923

-0.049872
0.154509

0.021147
0.030415

1.000000
0.024656

Di mana:
Y

: Permintaan Rokok

X1

: Pendapatan

X2

: Harga Rokok

X3

: Harga Permen

X4

: Harga Minuman

X5

: Biaya Kesehatan

D1

: Jenis Pekerjaan

D2

: Efek Iklan

D3

: Efek Fatwa
Berdasarkan tabel 4.22 di atas, dapat diketahui bahwa tidak ada masalah

multikollinearitas dalam persamaan regresi berganda. Hal ini dikarenakan nilai


matriks korelasi (correlation matrix) dari semua variabel adalah kurang dari 0,8.

4.2.3.2 Uji Heteroskedastisitas


Heteroskedasitas merupakan keadaan di mana semua gangguan yang
muncul dalam fungsi regresi populasi tidak memiliki varians yang sama.
Heteroskedastisitas terjadi apabila varian tidak konstan atau berubah-ubah.
Gambar 4.1 Grafik Residual Uji Heteroskedastisitas

69

0.024656
1.000000

4.0
3.5
3.0
2.5
1.0

2.0

0.5

1.5

0.0
-0.5
-1.0
-1.5
20

40

60

80

Residual

100

Actual

120

140

Fitted

Dengan melihat hasil tersebut, dapat diduga bahwa tidak terjadi


heteroskedastisitas pada hasil estimasi, di mana residualnya tidak membentuk
suatu pola. Dengan kata lain, residual cenderung konstan.
4.2.3.3 Uji Autokorelasi
Uji autokorelasi digunakan untuk melihat adanya autokorelasi antara
variabel bebas yang diurutkan berdasarkan waktu. Hal ini dapat dilihat dalam
pengujian terhadap nilai Durbin Watson (Uji DW) yang di bandingkan dengan
nilai d-tabel.

Dependent Variable: Y
Method: Least Squares
Date: 04/08/12 Time: 01:33
Sample: 1 144
Included observations: 144
Variable
Coefficient
C
-2.802114
X1
0.387515
X2
0.106833
X3
0.213690
X4
-0.213271

Std. Error
3.450204
0.067260
0.358468
0.069840
0.085534

70

t-Statistic
-0.812159
5.761418
0.298028
3.059701
-2.493410

Prob.
0.4181
0.0000
0.7661
0.0027
0.0139

X5
D1
D2
D3
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
Sum squared resid
Log likelihood
Durbin-Watson stat

-0.102683
0.019167
-0.015800
-0.132197
0.397833
0.362149
0.406610
22.31973
-70.09449
1.646289

0.034453 -2.980399
0.076321
0.251136
0.069634 -0.226908
0.072719 -1.817929
Mean dependent var
S.D. dependent var
Akaike info criterion
Schwarz criterion
F-statistic
Prob(F-statistic)

0.0034
0.8021
0.8208
0.0713
2.685096
0.509117
1.098535
1.284148
11.14879
0.000000

Uji DW sebesar 1,646289, dengan dL sebesar 1,6122 dan du sebesar


1,8461. Maka dapat disimpulkan bahwa dL < DW < dU di mana 1,6122 <
1,646289 < 1,8461. Hal ini berarti tidak dapat disimpulkan apakah terjadi
autokorelasi atau tidak. Berdasarkan hal tersebut maka dilakukan uji statistik lain
yaitu metode Bruesch Godfrey dengan uji serial correlation LM test. Metode ini
didasarkan pada nilai F dan Obs*R-Squared, di mana jika nilai probabilitas dari
Obs*R-Squared melebihi tingkat kepercayaan, maka tidak ada masalah
autokorelasi. Hasil dari uji serial correlation LM test dapat dilihat pada tabel
berikut:
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:
F-statistic
2.366984 Probability
Obs*R-squared
4.949334 Probability

0.097702
0.084191

Berdasarkan tabel LM tersebut nilai Obs*R-Squared adalah sebesar


0.084191 > 0,05. Hal tersebut menunjukkan bahwa pada tingkat keyakinan 95%,
tidak terdapat masalah autokorelasi.

4.2.4

Analisis Uji Statistik


Untuk menganalisis pengaruh pendapatan, harga rokok, harga permen, harga

minuman, biaya kesehatan, jenis pekerjaan, efek iklan, dan efek fatwa, dilakukan
analisis regresi linear berganda/Ordinary Least Square (OLS). Di mana dalam

71

analisis ini, yang menjadi variabel terikat (dependent variable) adalah jumlah
permintaan rokok masyarakat di Kota Makassar (Y), sedangkan variabel bebasnya
(independent variable) adalah pendapatan (X1), harga rokok (X2), harga permen
(X3), harga minuman (X4), biaya kesehatan (X5), jenis pekerjaan (D1), efek iklan
(D2), dan efek fatwa (D3).

4.2.4.1 Analisis Koefisien Determinasi (R2)


Koefisien determinasi (R2) pada intinya mengukur seberapa jauh
kemampuan model dalam menerangkan variasi variabel dependen. Nilai koefisien
determinasi adalah nol dan satu. Nilai R2 yang kecil berarti kemampuan variabelvariabel independen dalam menjelaskan variasi variabel dependen amat terbatas.
Nilai yang mendekati satu berarti variabel-variabel independen memberikan
hampir semua informasi yang dibutuhkan untuk memprediksi variasi variabel
dependen.
Dari hasil regresi pengaruh variabel pendapatan, harga rokok, harga
permen, harga minuman, biaya kesehatan, jenis pekerjaan, efek iklan, dan efek
fatwa terhadap permintaan rokok (Y) diperoleh nilai R2 sebesar 0.397833.
Menurut Gujarati (1995) dalam Wihandaru (2009), nilai koefisien
determinasi maupun koefisien determinasi disesuaikan yang tinggi adalah baik,
namun jika diperoleh nilai yang rendah bukan berarti model estimasi yang
digunakan salah.
Nilai koefisien determinasi yang diperoleh bisa dibilang rendah tetapi
pengaruhnya cukup berarti, artinya variasi variabel independen (bebas)

72

menjelaskan variasi permintaan rokok di Kota Makassar sebesar 39,78 persen.


Adapun sisanya variasi variabel lain dijelaskan diluar model sebesar 60,22 persen.
Untuk R2 sebesar 0.397833 ini dinyatakan bahwa model valid sebab data yang
digunakan adalah data primer. Dimana model yang valid apabila menggunakan
data primer lebih dari 0,25 (R2 > 0,25). Secara terperinci hasil regresi dapat dilihat
pada tabel 4.21.
4.2.4.2 Deteksi Signifikansi Parameter Individual (Uji Statistik t)
Uji t merupakan pengujian terhadap koefisien dari variabel bebas secara
parsial. Uji ini dilakukan untuk melihat tingkat signifikansi dari veriabel bebas
secara individu dalam mempengaruhi variasi dari variabel terikat. Dengan kata
lain, untuk mengetahui apakah masing-masing variabel terikat dapat menjelaskan
perubahan yang terjadi pada variabel bebas secara nyata. Dimana jika t hitung > ttabel
Hi diterima (signifikan) dan jika t hitung < ttabel H0 diterima (tidak signifikan). Uji t
digunakan untuk membuat keputusan apakah hipotesis terbukti atau tidak, dimana
tingkat signifikan yang digunakan yaitu 5%.
Dalam tabel hasil regresi pengaruh pendapatan, harga rokok, harga
permen, harga minuman, biaya kesehatan, jenis pekerjaan, efek iklan, dan efek
fatwa terhadap jumlah permintaan rokok masyarakat di Kota Makassar, dengan
:5% dan df = (n - k = 144 - 8 = 136), maka diperoleh nilai t-tabel sebesar
1,977561. Penjelasan uji t- dijelaskan pada penjelasan sebagai berikut:
1. Nilai Koefisien variabel pendapatan (X1) adalah 0,387515. Nilai koefisien
X1 > 0, di mana jika n > 0 maka hubungannya positif. Hal ini berarti
variabel pendapatan (X1) mempunyai hubungan positif dengan permintaan
rokok (Y). Sementara nilai tstatistik pendapatan (X1) adalah sebesar 5,761418.
Karena nilai tstatistik > ttabel yaitu 5,761418 > 1,977561 maka hubungan variabel

73

pendapatan (X1) tehadap permintaan rokok (Y) adalah signifikan. Hal ini
menunjukkan bahwa pada tingkat kepercayaan 95% atau : 5%, variabel
bebas (X1) berpengaruh positif dan signifikan terhadap variabel terikat (Y).
2. Nilai koefisien untuk variabel harga rokok (X2) adalah 0,106833. Nilai
koefisien X2 > 0, di mana jika nilai koefisien n > 0 maka hubungannya
positif. Sementara nilai tstatistik harga rokok (X2) adalah sebesar 0,298028.
Nilai tstatistik ini lebih kecil dari nilai ttabel pada : 5% dan df = 136 . Di mana
jika tstatistik < ttabel maka tidak terdapat hubungan yang signifikan. Hal ini
berarti bahwa antara variabel harga rokok (X2) dengan permintaan rokok
(Y) tidak terdapat hubungan yang signifikan.
3. Nilai koefisien untuk variabel harga permen (X3) adalah sebesar 0,213690.
Nilai koefisien X3 > 0 di mana jika nilai koefisien n > 0 maka
hubungannya positif. Hal ini berarti variabel harga permen (X3) mempunyai
hubungan positif dengan permintaan rokok (Y). Sementara nilai t statistik harga
permen (X3) adalah sebesar 3,059701 di mana nilainya lebih besar dari nilai
ttabel sebesar 1,977561 yang berarti terdapat hubungan signfikan antara
variabel harga permen (X3) dan permintaan rokok (Y). Berdasarkan hal
tersebut maka variabel bebas X3 berpengaruh positif dan signifikan
terhadap permintaan rokok (Y).
4. Dari hasil regresi pada tabel 4.22, nilai koefisien variabel harga minuman
(X4) adalah -0,213271. Nilai koefisien X4 < 0, di mana jika n < 0 maka
hubungannya negatif. Hal ini berarti variabel harga minuman (X4)
mempunyai hubungan negatif dengan permintaan rokok (Y). Sementara
nilai tstatistik harga minuman (X4) adalah 2,493410. Karena nilai t statistik variabel
X4 > nilai ttabel maka variabel harga minuman (X4) berpengaruh signifikan

74

terhadap permintaan rokok (Y). Hal ini menunjukkan bahwa pada tingkat :
5%, variabel harga minuman (X4) berpengaruh negatif dan signifikan
terhadap permintaan rokok (Y).
5. Nilai koefisien variabel biaya kesehatan (X5) adalah -0,102683, di mana
jika n < 0 maka hubungannya negatif. Hal ini berarti variabel biaya
kesehatan (X5) mempunyai hubungan negatif terhadap permintaan rokok
(Y). Sementara nilai tstatistik biaya kesehatan (X5) sebesar 2,980399 > ttabel
1,977561 yang artinya terdapat hubungan yang signifikan antara variabel
biaya kesehatan (X5) dengan variabel permintaan rokok (Y). hal ini
menunjukkan bahwa pada tingkat kepercayaan 95%, variabel bebas (X5)
berpengaruh negatif dan signifikan terhadap variabel terikat (Y).
6. Nilai koefisien untuk variabel jenis pekerjaan (D1) adalah 0,019167. Nilai
koefisien D1 > 0, di mana jika nilai koefisien n > 0 maka hubungannya
positif. Sementara nilai tstatistik jenis pekerjaan (D1) adalah sebesar 0,251136.
Nilai tstatistik ini lebih kecil dari nilai ttabel pada : 5% dan df = 136 yaitu
sebesar 1,977561. Di mana jika t statistik < ttabel maka tidak terdapat hubungan
yang signifikan. Hal ini berarti bahwa antara variabel jenis pekerjaan (D1)
dengan permintaan rokok (Y) tidak terdapat hubungan yang signifikan.
7. Nilai koefisien untuk variabel efek iklan (D2) adalah -0,015800. Nilai
koefisien D2 < 0, di mana jika nilai koefisien n < 0 maka hubungannya
negatif. Sementara nilai tstatistik efek iklan (D2) adalah sebesar 0,226908.
Nilai tstatistik ini lebih kecil dari nilai ttabel sebesar 1,977561. Di mana jika tstatistik
< ttabel maka tidak terdapat hubungan yang signifikan. Hal ini berarti bahwa
antara variabel bebas (D2) dengan permintaan rokok (Y) tidak terdapat
hubungan yang signifikan.

75

8. Nilai koefisien untuk varaibel efek fatwa (D3) adalah -0,132197. Nilai
koefisien D3 < 0, di mana jika nilai koefisien n < 0 maka hubungannya
negatif. Sementara nilai tstatistik efek fatwa (D3) adalah sebesar 1,817929.
Nilai tstatistik ini lebih kecil dari nilai ttabel sebesar 1,977561 . Di mana jika
tstatistik < ttabel maka tidak terdapat hubungan yang signifikan. Hal ini berarti
bahwa antara variabel bebas (D3) dengan permintaan rokok (Y) tidak
terdapat hubungan yang signifikan.
Maka dapat disimpulkan bahwa variabel yang secara statistik berpengaruh
signifikan terhadap permintaan rokok masyarakat di Kota Makassar adalah
pendapatan (X1), harga permen (X3), harga minuman (X4) dan biaya kesehatan
(X5).
4.2.4.3 Deteksi Signifikansi Simultan (Uji Statistik F)
Pengujian terhadap pengaruh semua variabel independen di dalam model
dapat dilakukan dengan uji simultan (uji F). Uji statistik F pada dasarnya
menunjukkan apakah semua variabel bebas yang dimasukkan dalam model
mempunyai pengaruh secara bersama-sama terhadap variabel terikat. Dari hasil
regresi pengaruh pendapatan, harga rokok, harga permen, harga minuman, biaya
kesehatan, jenis pekerjaan, efek iklan, dan efek fatwa terhadap frekuensi
permintaan rokok masyarakat di Kota Makassar, maka diperoleh F-tabel sebesar
2,077558 (: 5% dan df: 144 - 8=136) sedangkan F-statistik / F-hitung sebesar
11,14879.
Maka dapat disimpulkan bahwa variabel bebas (X1, X2, X3, X4, X5, D1,
D2, dan D3) secara simultan (bersama-sama) berpengaruh terhadap variabel
terikat (Y) karena nilai F-hitung > F-tabel.

76

4.2.5 Analisis Hasil Penelitian dengan Teori dan Penelitian Sebelumnya


4.2.5.1 Pendapatan (X1)
Dari hasil observasi ditemukan bahwa semakin tinggi pendapatan maka
jumlah rokok yang diminta juga meningkat. Hal ini sejalan dengan apa yang
dikemukakan oleh Rosyidi (2006) bahwa jika pendapatan meningkat maka
persentase pendapatan yang dibelanjakan untuk konsumsi non pangan juga akan
meningkat. Dimana kondisi ini lebih dikenal dengan Hukum Engel (Engels Law).
Berdasarkan hal tersebut, maka rokok dapat dikatakan barang normal
karena untuk kasus barang normal, peningkatan pendapatan akan meningkatkan
jumlah barang yang diminta.
Salah satu hal yang mendorong masyarakat untuk mengalokasikan
sebagian pendapatan yang dimilikinya untuk membeli rokok adalah adanya sifat
kecanduan meskipun seorang perokok menyadari bahwa rokok tersebut bersifat
membahayakan. Hal ini sejalan dengan penelitian (Jha and Chaloupka, 2000
dalam

Adioetomo,

2005)

bahwa

Kelompok

masyarakat

berpendapatan

tinggi (high-income) mengkonsumsi lebih banyak rokok dibandingkan dengan


kelompok masyarakat berpendapatan rendah (low-income). Dan penelitian ini
juga sejalan dalam penelitian (Ahsan, 2006) yang menemukan faktor-faktor yang
secara statistik signifikan mempengaruhi permintaan rokok adalah pendapatan,
harga, umur mulai merokok setiap hari, pekerjaan. Jenis kelamin, lokasi tempat
tinggal, umur, tingkat pendidikan, dan kondisi tempat tinggal.

77

4.2.5.2 Harga Rokok (X2)


Hasil penelitian menunjukkan bahwa harga rokok ternyata tidak
mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap permintaan rokok. Penelitian ini
tidak sejalan dengan penelitian (Ahsan, 2006) yang menemukan bahwa harga
rokok secara statistik signifikan mempengaruhi permintaan rokok. Dan hukum
permintaan yang menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat harga suatu barang,
maka semakin rendah permintaan terhadap barang tersebut, demikian sebaliknya.
Dari hasil wawancara yang dilakukan kepada responden, bahwa seorang perokok
akan berusaha untuk membeli rokok pada berbagai tingkat harga sesuai merek
rokok yang diminatinya.
4.2.5.3 Harga Permen (X3)
Sebagai barang substitusi dari rokok maka secara teoritis dengan adanya
peningkatan harga permen maka akan mempengaruhi permintaan rokok secara
signifikan. Hal ini sejalan dengan teori yang menyatakan bahwa pada umumnya
bila harga barang pengganti bertambah murah maka barang yang digantikannya
akan mengalami pengurangan dalam permintaan, sebaliknya semakin tinggi harga
barang pengganti maka barang yang digantikannya akan mengalami peningkatan
dalam permintaan. Adanya barang pengganti (subsitusi) dari suatu barang/jasa
dapat mengubah jumlah permintaan, kemudian berpengaruh pada harga dan
penawaran. Munculnya barang pengganti yang lebih murah, kemungkinan besar
akan mendorong sebagian besar konsumen untuk memilih barang subsitusi
tersebut (Sugiarto: 2005).
4.2.5.4 Harga Minuman (X4)
Dari hasil regresi ditemukan bahwa harga minuman berpengaruh negatif
dan signifikan terhadap permintaan rokok Hal ini sejalan dengan teori yang

78

menyatakan bahwa terdapat hubungan negatif (atau berlawanan arah) antara harga
dan jumlah dua barang yang saling berhubungan komplementer (Rosyidi, 2006).
Hal demikian terjadi pada perubahan harga minuman pendamping rokok akan
mempengaruhi perubahan permintaan rokok.
4.2.5.5 Biaya Kesehatan (X5)
Sesuai hipotesis yang diajukan bahwa biaya kesehatan terbukti
berpengaruh negatif dan signifikan terhadap permintaan rokok masyarakat di Kota
Makassar. Biaya kesehatan yang besar akan muncul ketika seorang perokok
mengkonsultasikan kesehatan ke dokter parktek atau rumah sakit yang dapat
mengeluarkan biaya tinggi. Dalam jangka panjang, permintaan rokok akan
berkurang apabila pengeluaran akibat dampak penyakit yang ditimbulkan rokok
dirasakan seorang perokok semakin tinggi.
Melalui pendekatan direct medical cost yakni biaya pengobatan dan
perawatan yang dikeluarkan oleh masyarakat secara individual, hasil observasi di
lapangan menunjukkan bahwa bagi perokok berat yang telah mengkonsumsi
rokok sejak lama, beban penyakit akibat rokok yang dirasakan juga semakin berat.
Semakin berat beban penyakit yang dirasakan, keinginan untuk sembuh dan
mengobatinya juga semakin tinggi. Dari keinginan untuk pengobatan dan
perawatan itulah timbul biaya kesehatan. Walaupun beberapa responden
menggunakan Askes atau Jamkesmas dalam penggunaan pelayanan kesehatan,
tetapi tetap saja mereka harus menanggung biaya pengobatan lanjutan seperti
pembelian obat paten dan chek-up rutin. Karena baik Askes maupun Jamkesmas,
ada beberapa jenis obat dan administrasi lain yang tidak ditanggung oleh pihak
rumah sakit sehingga pengguna pelayanan kesehatan sendiri yang harus
menanggungnya.

79

Oleh karena itu, biaya kesehatan atau pengeluaran kesehatan yang besar
memacu keinginan untuk mengurangi konsumsi rokok sehari-hari dan mengurangi
pembelian rokok.
4.2.5.6 Jenis Pekerjaan (D1)
Hasil regresi menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan signifikan antara
pekerjaan formal dan pekerjaan informal. Artinya semakin baik pekerjaan seorang
perokok tidak menjamin permintaan rokoknya akan tinggi. Banyak pekerjaan
diluar sektor formal yang permintaan rokoknya juga tinggi. Hal ini tidak sejalan
dengan penelitian Ahsan (2006) yang menemukan bahwa pekerjaan secara
statistik signifikan terhadap permintaan rokok, dan penelitian Hu dan Tsai (2000)
yang menemukan bahwa Pendidikan dan pekerjaan adalah faktor yang sangat
mempengaruhi permintaan rokok di pedesaan Cina.
4.2.5.7 Efek iklan (D2)
Hasil regresi menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan signifikan antara
tanggapan setuju dengan iklan rokok dan tidak setuju dengan iklan rokok
mempengaruhi permintaan rokok. Artinya bagi seorang perokok, dengan atau
tanpa iklan ia akan tetap mencari rokok karena tak dapat lepas dari cengkraman
barang tersebut. Hal ini tidak sejalan dengan penelitian Andrews dan Franke
(1991) yang menemukan bahwa ada hubungan yang signifikan antara iklan dan
permintaan rokok.
4.2.5.8 Efek Fatwa (D3)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan signifikan
antara tanggapan setuju dengan fatwa MUI dan tidak setuju dengan fatwa MUI
mempengaruhi permintaan rokok. Artinya bagi seorang perokok, fatwa MUI tidak
secara signifikan mempengaruhi jumlah rokok yang dikonsumsi. Dalil-dalil
mengenai haramnya merokok dianggap tidak relevan, karena dalil-dalil dalam Al

80

Quran dan Al Hadis yang dikemukakan merupakan dalil-dalil yang digunakan


dalam hukum perdagangan syariah, dan pemenggalan ayat al quran dianggap
sangat mendiskritkan kaum perokok. Contohnya pemenggalan Surah An Nisa
ayat 29

Artinya: Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah


adalah Maha Penyayang kepadamu [QS. An-Nisa. 4: 29].
yang seharusnya:

Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memakan


harta-harta kalian dengan cara yang batil, kecuali dengan perdagangan yang
kalian saling ridha. [QS. An-Nisa. 4: 29].
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan pada hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan
sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Dari beberapa faktor yang diteliti yaitu pendapatan, harga rokok, harga
permen, harga minuman, biaya kesehatan, jenis pekerjaan, efek iklan, dan
efek fatwa secara simultan berpengaruh signifikan terhadap permintaan

81

rokok masyarakat di Kota Makassar. Artinya kedelapan faktor yang diteliti


tersebut memberi pengaruh yang cukup berarti terhadap perubahan
permintaan rokok masyarakat di Kota Makassar.
2. Secara parsial, pendapatan, harga permen, harga minuman, dan biaya
kesehatan mempunyai pengaruh signifikan terhadap permintaan rokok.
Sedangkan harga rokok, jenis pekerjaan, efek iklan, dan efek fatwa tidak
mempunyai pengaruh signifikan terhadap permintaan rokok masyarakat di
Kota Makassar.
3. Pendapatan mempunyai

pengaruh

positif

dan

signifikan

terhadap

permintaan rokok masyarakat di Kota Makassar. Artinya jika pendapatan


rata-rata perokok meningkat maka permintaan rata-rata rokoknya juga akan
meningkat.
4. Harga permen mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap
permintaan rokok masyarakat di Kota Makassar. Artinya jika harga permen
meningkat maka permintaan rata-rata rokok juga akan meningkat.
5. Harga minuman mempunyai pengaruh negatif dan signifikan terhadap
permintaan rokok masyarakat di Kota Makassar. Artinya jika harga
minuman meningkat maka permintaan rata-rata rokok akan turun.
6. Biaya kesehatan mempunyai pengaruh negatif dan signifikan terhadap
permintaan rokok masyarakat di Kota Makassar. Artinya jika biaya
kesehatan meningkat maka permintaan rata-rata rokok akan turun.
7. Harga rokok tidak berpengaruh signifikan terhadap permintaan rokok
artinya dalam berbagai tingkat harga baik tinggi maupun rendah, seorang
perokok akan tetap membeli rokok karena sifat kecanduan yang dimiliki
rokok mendorong seorang perokok untuk terus membeli rokok.

82

8. Jenis pekerjaan tidak mempunyai pengaruh signifikan terhadap permintaan


rokok artinya tidak ada perbedaan signifikan rata-rata permintaan rokok
antara perokok yang bekerja di sektor ormal maupun informal.
9. Efek iklan tidak mempunyai pengaruh signifikan terhadap permintaan rokok
artinya tidak ada perbedaan signifikan antara masyarakat yang setuju dan
tidak setuju dengan efek iklan, karena dengan atau tanpa iklan seorang
perokok akan tetap mencari rokok.
10. Efek fatwa tidak mempunyai pengaruh signifikan terhadap permintaan
rokok artinya tidak ada perbedaan signifikan antara masyarakat yang setuju
dan tidak setuju dengan fatwa haram merokok MUI, karena diberlalukan
atau tidaknya fatwa tersebut tidak dapat merubah keinginan merokok
seseorang.

5.2 Saran
1. Diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai analisis permintaan rokok
terutama variabel harga rokok, biaya kesehatan, jenis pekerjaan, efek iklan
dan efek fatwa sehingga hasilnya lebih bagus lagi.
2. Kepada pemerintah dan masyarakat diperlukan kerjasama yang baik dalam
upaya mengurangi dampak negatif rokok.
3. Kampanye anti rokok diperlukan bagi mereka yang termasuk dalam kelas
menengah (kuartil 2 4). Oleh karena studi ini menemukan bahwa mereka
yang termasuk dalam kuartil 2 4 memiliki rata-rata permintaan rokok yang
tinggi. Kampanye ini dapat dilakukan dengan cara-cara yang sesuai dengan
karakteristik mereka seperti pentingnya pengalihan pengeluaran untuk rokok
ke hal-hal yang produktif seperti pendidikan dan kesehatan.

83

Anda mungkin juga menyukai