PENDAHULUAN
BAB II
ANEMIA
2.1 Definisi
Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa
eritrosit (red cell mass) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa
oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer (penurunan oxygen carrying
capacity).
2.2 Kriteria
Parameter yang paling umum untuk menunjukkan penurunan massa eritrosit
adalah kadar hemoglobin, disusul oleh hematokrit dan hitung eritrosit. Harga normal
hemoglobin sangat bervariasi
KELOMPOK
Laki-laki dewasa
Wanita dewasa tidak hamil
Wanita hamil
Morfologi Sel
o
1.
Anemia hipokronik -
mikrositer
Thalassemia major
Anemia
Anemia sideroblastik
Anemia pasca perdarahan akut
normokromik
Anemia aplastik
normositer
2.
3.
Jenis Anemia
Anemia makrositer
a. Bentuk megaloblastik
- anemia def. Asam folat
- anemia def. B12
- anemia pernisiosa
b. Bentuk non-megaloblastik
- Anemia pada penyakit hati kronik
- Anemia pada hipotiroidisme
- Anemia pada sindrom mielodisplastik
merupakan
penyebab
anemia
yang
terbanyak.
Anemia
Anemia jenis ini dapat disebabkan oleh kehilangan darah atau hemolisis. Pada
kedua keadan ini akan didapatkan peningkatan jumlah retikulosit. Kehilangan
darah dapat terjadi secara akut maupun kronis. Pada fase akut, belum ditemukan
peningkatan retikulosit yang bermakna karena diperlukan waktu untuk terjadinya
peningkatan eritropoietin dan proliferasi sel dari sumsum tulang. Sedangkan pada
fase kronis gambarannya akan menyerupai anemia defisiensi besi.
Gambaran dari anemia hemolitik dapat bermacam-macam, dapat akut maupun
kronis. Pada anemia hemolisis kronis, seperti pada sferositosis herediter, pasien
datang bukan karena keadaan anemia itu sendiri, melainkan karena komplikasi
yang ditimbulkan oleh pemecahan sel darah merah dalam jangka waktu lama,
seperti splenomegali, krisis aplastik, dan batu empedu. Pada keadaan yang
disebabkan karena autoimun, hemolisis dapat terjadi secara episodik (self
limiting).
hematokrit x 10
Jumlah eritrosit x 10 6
6
(N: 90 + 8 fl)
b. Mean Cell Hemoglobin (MCH) =
hemoglobin x 10
Jumlah eritrosit x 10 6
(N: 30 + 3 pg)
c. Mean Cell Hemoglobin Concentration (MCHC) =
hemoglobin x 10
Hematokrit
(N: 33 + 2%)
C. Leukosit (N : 4500 11.000/mm3)
D. Trombosit (N : 150.000 450.000/mm3)
2. Sediaan Apus Darah Tepi
a. Ukuran sel
b. Anisositosis
c. Poikolisitosis
d. Polikromasia
3. Hitung Retikulosit ( N: 1-2%)
4. Persediaan Zat Besi
a. Kadar Fe serum ( N: 9-27mol/liter )
b. Total Iron Binding Capacity ( N: 54-64 mol/liter)
c. Feritin Serum ( N : 30 mol/liter ; : 100 mol/liter)
5. Pemeriksaan Sumsum Tulang
a. Aspirasi
-
E/G ratio
Morfologi sel
Pewarnaan Fe
b. Biopsi
-
Selularitas
Morfologi
Bila MCV < 80, maka disebut mikrositosis dan bila > 100 dapat disebut sebagai
makrositosis. Sedangkan MCH dan MCHC dapat menilai adanya defek dalam
sintesa hemoglobin (hipokromia)
II.
III.
Hitung Retikulosit
Pemeriksaan ini merupakan skrining awal untuk membedakan etiologi anemia.
Normalnya, retikulosit adalah sel darah merah yang baru dilepas dari sumsum
tulang. Retikulosit mengandung residual RNA yang akan dimetabolisme dalam
waktu 24-36 jam (waktu hidup retikulosit dalam sirkulasi). Kadar normal
retikulosit 1-2% yang menunjukkan penggantian harian sekitar 0,8-1% dari
jumlah sel darah merah di sirkulasi.
Indeks retikulosit merupakan perhitungan dari produksi sel darah merah. Nilai
retikulosit akan disesuaikan dengan kadar hemoglobin dan hematokrit pasien
berdasarkan usia, gender, sarta koreksi lain bila ditemukan pelepasan retikulosit
prematur (polikromasia). Hal ini disebabkan karena waktu hidup dari retikulosit
prematur lebih panjang sehingga dapat menghasilkan nilai retikulosit yang seolaholah tinggi.
RI = (% retikulosit x kadar hematokrit/45%) x (1/ faktor koreksi)
IV.
V.
nutrisi:
rendahnya
asupan
besi
total
dalam
makanan
atau
A. Metabolisme Besi
Besi terdapat dalam berbagai jaringan dalam tubuh berupa 1). Senyawa besi
fungsional, yaitu besi yang membentuk senyawa yang berfungsi dalam tubuh. 2). Besi
cadangan, senyawa besi yang dipersiapkan bila masukan besi berkurang. 3). Besi
transport, yakni besi yang berikatan dengan protein tertentu dalam fungsinya untuk
mengangkut besi dari satu kompartemen ke kompartemen lainnya. Normalnya
seorang laki-laki dewasa mempunyai kandungan besi 50mg/kgBB, sedangkan
perempuan dewasa adalah 35mg/kgBB.
Sumber besi dalam makanan terbagi ke dalam 2 bentuk:
1. Besi heme, terdapat dalam daging dan ikan. Tingkat absorpsinya tinggi (25% dari
kandungan besinya dapat diserap) karena tidak terpengaruh oleh faktor
penghambat sehingga mempunyai biovailabilitas tinggi.
2. Besi non-heme, berasal dari tumbuh-tumbuhan. Tingkat absorpsi rendah (hanya 12% dari kandungan besinya yang dapat diserap). Mekanisme absorpsinya sangat
rumit dan belum sepenuhnya dimengerti. Absorpsi sangat dipengaruhi oleh adanya
faktor pemacu absorpsi (meat factors, vitamin C) dan faktor penghambat (serat,
phytat, tanat).
o Fase corporeal: meliputi proses transportasi besi dalam sirkulasi, utilisasi besi
oleh sel yang membutuhkan, dan penyimpanan besi di dalam tubuh.
Dalam sirkulasi, besi tidak pernah berada dalam bentuk logam bebas,
melainkan berikatan dengan suatu glikoprotein (-globulin) pengikat besi yang
diproduksi oleh hepar (transferin). Besi bebas memiliki sifat seperti radikal bebas dan
dapat merusak jaringan. Transferin berperan mengangkut besi kepada sel yang
membutuhkan terutama sel progenitor eritrosit (normoblas) pada sumsum tulang.
Permukaan normoblas memiliki reseptor transferin yang afinitasnya sangat tinggi
terhadap besi pada transferin. Kemudian besi akan masuk ke dalam sel melalui proses
endositosis menuju mitokondria. Disini besi digunakan sebagai bahan baku
pembentukan hemoglobin.
Kelebihan besi di dalam darah disimpan dalam bentuk feritin (kompleks besiapoferitin) dan hemosiderin pada semua sel tubuh terutama hepar, lien, sumsum
tulang, dan otot skelet. Pada hepar feritin terutama berasal dari transferin dan
tersimpan pada sel parenkimnya, sedangkan pada organ yang lain, feritin terutama
terdapat pada sel fagosit mononuklear (makrofag monosit) dan berasal dari
pembongkaran eritrosit. Bila jumlah total besi melebihi kemampuan apoferitin untuk
menampungnya maka besi disimpan dalam bentuk yang tidak larut (hemosiderin).
Bila jumlah besi plasma sangat rendah, besi sangat mudah dilepaskan dari feritin,
11
tidak demikian pada hemosiderin. Feritin dalam jumlah yang sangat kecil terdapat
dalam plasma, bila kadar ini dapat terdeteksi menunjukkan cukupnya cadangan besi
dalam tubuh.
B. Sintesis Hemoglobin
Sintesis hemoglobin dimulai sejak stadium pronormoblas, namun hanya
sedikit sekali rantai hemoglobin yang terbentuk. Begitu pula pada stadium normoblas
basofil. Baru pada stadium normoblas polikromatofil sitoplasma sel mulai dipenuhi
dengan hemoglobin ( 34%). Sintesa ini terus berlangsung hingga retikulosit
dilepaskan ke peredaran darah.
Pada tahap pertama pembentukan hemoglobin, 2 suksinil Ko-A yang berasal
dari siklus krebs berikatan dengan 2 molekul glisin membentuk molekul pirol. Empat
pirol bergabung membentuk protoporfin IX, yang selanjutnya akan bergabung dengan
besi membentuk senyawa heme. Akhirnya setiap senyawa heme akan bergabung
dengan rantai polipeptida panjang (globin) sehingga terbentuk rantai hemoglobin.
Rantai hemoglobin memiliki beberapa sub unit tergantung susunan asam amino pada
polipeptidanya. Bentuk hemoglobin yang paling banyak terdapat pada orang dewasa
adalah hemoglobin A (kombinasi 2 rantai dan 2 rantai ). Tiap sub unit mempunyai
molekul heme, oleh karena itu dalam 1 rantai hemoglobin memerlukan 4 atom besi.
Setiap atom besi akan berikatan dengan 1 molekul oksigen (2 atom O2).
12
untuk eritropoiesis
belum terganggu. Pada fase ini terjadi penurunan serum feritin, peningkatan
absorpsi besi dari usus, dan pengecatan besi pada apus sumsum tulang berkurang.
2. Iron deficient Erythropoiesis
Cadangan besi dalam tubuh kosong, tetapi belum menyebabkan anemia secara
laboratorik karena untuk mencukupi kebutuhan terhadap besi, sumsum tulang
melakukan mekanisme mengurangi sitoplasmanya sehingga normoblas yang
terbentuk menjadi tercabik-cabik, bahkan ditemukan normoblas yang tidak
memiliki sitoplasma (naked nuclei). Selain itu kelainan pertama yang dapat
dijumpai adalah penigkatan kadar free protoporfirin dalam eritrosit, saturasi
transferin menurun, total iron binding capacity (TIBC) meningkat. Parameter lain
yang sangat spesifik adalah peningkatan reseptor transferin dalam serum.
13
MCHC menurun pada anemia defisiensi besi yang lebih berat dan berlangsung
lama
14
disertai
penurunan
stadium
berikutnya.
Terdapat
pula
defisiensi besi yang akan memberikan hasil sideroblas negatif (normoblas yang
mengandung granula feritin pada sitoplasmanya, normal 40-60%).
7. Pemeriksaan mencari penyebab defisiensi, misalnya pemeriksaan feses, barium
enema, colon in loop, dll.
F. Diagnosis
Tiga tahap mendiagnosa suatu anemia defisiensi besi: 1). Menentukan adanya
anemia 2). Memastikan adanya defisiensi besi 3). Menentukan penyebab defisiensi.
Secara laboratoris dipakai kriteria modifikasi Kerlin untuk menegakkan diagnosa:
anemia hipokrom mikrositer pada SADT ATAU MCV <80 fl dan MCH < 31%
dengan satu atau lebih kriteria berikut:
1. Terdapat 2 dari 3 parameter di bawah ini:
Besi serum <50 mg/dl
TIBC >350 mg/dl
15
G. Diagnosis Diferensial
Anemia
Def. FE
Akibat peny.
Trait Thalassemia
Sideroblastik
kronik
Derajat anemia
Ringan-berat
Ringan
Ringan
Ringan
MCV
/ N
MCH
/N
/N
Besi Serum
< 30
< 50
N/
N/
TIBC
> 360
< 300
N/
N/
Saturasi Transferin
< 15%
/N 10-20%
>20%
>20%
Besi sum-sum
+ kuat
+ dgn ring
tulang
sideroblast
Feritin serum
<20 g/I
N 20-200 g/I
>50g/I
>50g/I
Elektrofoesis HB
Hb.A2
Protoporfirin
eritrosit
H. Terapi
1. Terapi kausal, untuk mencari penyebab kekurangan besi yang diderita. Bila
tidak dapat menyebabkan kekambuhan.
2. Pemberian preparat besi:
Oral: merupakan pilihan pertama karena efektif, murah, dan aman,
terutama sulfas ferosus. Dosis anjuran 3x200mg/hari yang dapat
meningkatkan eritropoiesis hingga 2-3 kali dari normal. Pemberian
dilakukan sebaiknya saat lambung kosong (lebih sering menimbulkan
efek samping) paling sedikit selama 3-12 bulan. Bila terdapat efek
samping
gastrointestinal
(mual,
muntah,
konstipasi)
pemberian
mg/hari.
Parenteral,misal preparat ferric gluconate atau iron sucrose (IV pelan
atau IM). Pemberian secara IM menimbulkan nyeri dan warna hitam
pada lokasi suntikan. Indikasi pemberian parenteral:
a. Intoleransi terhadap preparat oral
b. Kepatuhan berobat rendah
c. Gangguan pencernaan, seperti kolitis ulseratif (dapat kambuh
dengan pemberian besi)
d. Penyerapan besi terganggu, seperti gastrektomi
e. Kehilangan darah banyak
f. Kebutuhan besi besar yang harus dipenuhi dalam jangka waktu
BAB IV
ANEMIA MEGALOBLASTIK
A. Definisi
Anemia megaloblastik adalah anaemia yang disebabkan abnormalitas hematopoesis
dengan karakteristik dismaturasi nukleus dan sitoplasma sel mieloid dan eritroid
sebagai akibat gangguan sintesis DNA.
B. Etilogi
.
17
b.
c.
pirimetamin,
triamteren,
pentamidin,
trimetoprin),
e.
f.
C. Patofisiologi
Absorbsi kobalamin di ileum memerlukan faktor intrinsik (FI) yaitu
glikoprotein yang disekresi lambung. Faktor intrinsik akan mengikat 2 melekul
kobalamin. Proses Absorbsi kobalamin adalah sebagai berikut :
-
Kemudian TC II-Cbl complex diuptake oleh sel, pada sel hepatosit dan sel
epitel pada tubulus proksimal ginjal, berikatan dengan TC II receptor dan
kobalamin dilepaskan ke dalam sel
Dalam sel ini, kobalamin dirubah menjadi bentuk koenzim, koenzim inilah
yang berperan dalm sintesin DNA, methyl-Cbl dan 5'-deoxyadenosyl-Cbl
berperan dalam mengkonversi homosistein ke metionin, dan metilmalonil
CoA ke suksinil CoA.
19
yang
mengakibatkan
defisiensi
kobalamin.
Defisiensi
kobalamin
20
21
Bisanya penderita
datang berobat karena keluhan neuropsikiatri, keluhan epigastrik, diare dan biukan
oleh keluhan aneminya. penyakit biasanya terjadi perlahan-lahan. Keluhan lain berupa
rambut cepat memutih, lemah badan, penurunan berat badan. Pada defisiensi B12,
diagnosis ditegakkan rata-rata setelah 15 bulan dari onset gejala, biasanya didapatkan
triad : lemah badan, sore tongue, parestesi sampai gangguan berjalan. Pada Anemia
megaloblastik ditemukan :
-
SADT : eritrosit yang besar berbentuk lonjong, trombosit dan lekosit aga
menurun, hipersegmentasi netrofil, Giant stab-cell, retikulosit menurun.
G. Diannosis Banding
-
Leukemia akut
Eritroleukemia
Hipotiroidisme
Nefritis kronis
H. Terapi
1. Suportif : - transfusi bila ada hipoksia
- suspensi trombosit bila trombositopenia mengancam jiwa
2. Defisiensi B12 : Pemberian sianokobalamin atau hidroksokobalamin.
3. Defisiensi asam folat : Pemberian asam folat 1mg/hari selama 2-3 minggu,
kemudian dosis pemeliharaan 0,25-0,5 mg/hari
4. Terapi penyakit dasar
5. Menghentikan obat-obat penyebab anemia megaloblastik.
BAB V
Anemia Aplastik
A. Definisi
Anemia anaplastik merupakan anemia yang ditandai dengan pansitopenia (penurunan
jumlah sel-sel darah yaitu eritrosit, leukosit, dan trombosit) dan hiposelularitas dari
sumsum tulang. Anemia aplastik merupakan kegagalan hemopoiesis yang jarang
ditemukan namun berpotensi membahayakan jiwa
B. Epidemiologi
Insidesi anemia aplastik didapatkan bervariasi di seluruh dunia dan berkisar antara 2
sampai 6 kasus per satu juta penduduk per tahun. Anemia aplastik yang didapat
umumnya uncul pada usia 15 sampai 25 tahun dan puncak insiden kedua yaitu setelah
usia 60 tahun. Pada umumnya resiko bagi pria dan wanita untuk menderita anemia
aplastik adalah sama.
C. Etiologi
Penyebab anemia aplastik pada umumnya adalah idiopatik (kurang lebih pada 75%
kasus), namun selain itu anemia aplastik juga dapat disebabkan oleh:
a. Didapat
1. Radiasi
23
Kriteria
< 25%
E. Patofisiologi
Karakteristik dari anemia aplastik adalah hiposelular dari sumsum tulang yang
digantikan oleh jaringan lemak. Anemia aplastik dihipotesiskan sebagai suatu
penyakit autoimun terhadap sel benih hematopoietik. Menurut penelitian, supresi dari
sel-sel hemopoiesis disebabkan oleh sel T sitotoksik yang teraktivasi. Sel T ini akan
menghasilkan interferon gamma (IFN-) dan tumor necrosis factor (TNF) yang
bersifat menginhibisi langsung sel- sel hemopoietik.
24
Supresi hematopoietik oleh IFN- dan TNF juga merangsang reseptor Fas
pada sel hemopoietik CD34 sehingga menghasilkan tiga proses. Pertama,
perangsangan reseptor Fas akan menginduksi terjadinya apoptosis. Kedua, akan
terjadi induksi produksi dari nitric oxide synthetase dan nitrit oksida oleh sumsum
tulang sehingga terjadilah sitotoksisitas yang diperantarai oleh sistem imun. Ketiga,
perangsang reseptor Fas akan mengaktivasi jalur intraseluler yang menyebabkan
penghentian siklus sel.
Selain itu, sel T sitotoksik juga menghasilkan interleukin-2 (IL-2) yang
beeerfungsi mengaktifkan klon-klon sel T yang kemudian juga akan mengeluarkan
TNF dan IFN- dan menginhibisi sel-sel hemopoietik.
5. Petekie, ekimosis
6. Perdarahan retina
7. Perdarahan serviks
8. Darah pada feses
9. Pucat pada kulit dan mukosa membran
10. Cafe au lait spot dan perawakan yang pendek (Fanconi syndrome)
G. Pemeriksaan Laboratorium
1. Sediaan apus darah tepi
Pada stadium awal penyakit, pansitopenia tidak selalu ditemukan. Jenia anemia
adalah normokrom normositer. Kadang-kadang ditemukan
pula adanya
3. Faal hemostasis
Waktu
perdarahan
memanjang
dan
retraksi
bekuan
trombositopenia
4. Pemeriksaan etiologi virus
H. Diagnosa
Diagnosa dapat ditegakkan bila memenuhi kriteria dibawah ini:
26
memburuk
karena
27
rh
GM-CSF
(rekombinan
Human
Granulocyte-Macrophage
Colony
Stimulating Factor)
J. Prognosis
Tergantung pada tingkatan hipoplasia, makin berat prognosis makin jelek.
Pada umumnya penderita meninggal karena infeksi, perdarahan atau akibat dari
komplikasi transfusi.
Prognosa dari anemia aplastik akan menjadi buruk bila ditemukan 2 dari 3
kriteria berupa jumlah neutrofil <500/uL, jumlah platelet <20,000/uL, and corrected
reticulocyte count <1% (atau absolute reticulocyte count <60,000/uL).
Perjalanan penyakit bervariasi, 25% penderita bertahan hidup selama 4 bulan,
25% selama 4-12 bulan, 35% selama lebih dari 1 tahun, 10-20% mengalami perbaikan
spontan (parsial/komplit)
BAB VI
Anemia Hemolitik
Anemia
hemolitik
peningkatan
28
berkurang. Lisis dari sel darah merah normal terjadi di makrofag sumsum tulang, hati
dan lien.
A. Etiologi dan Klasifikasi
Pada prinsipnya anemia hemolisis dapat terjadi karena 1) Defek molekular
hemoglobinopati atau enzimopati 2) Abnormalitas struktur dan fungsi membranmembran 3) faktor lingkungan seperti trauma mekanik atau autoantibodi.
Berdasarkan etiologinya anemia hemolisis dapat dikelompokkan menjadi :
1. Anemia hemolisis herediter,
yang termasuk kelompok ini adalah:
a) Defek enzim / enzimopati
1. Defek jalur Embden Meyerhof
.
b) Hemoglobinopati
- Thalasemia
- Anemia Sickle cell
-
Hemoglobinopati lain
Enzim ini mengkatalisis langkah akhir dan merupakan satu dari dua enzim yang
menghasilkan ATP. Defisiensi enzim ini pada sel darah merah menyebabkan
penimbunan zat antara glikolisis, termasuk 2,3-BPG. Peningkatan kadar 2,3-BPG
menurunkan
afinitas
hemoglobin
terhadap
oksigen,
dan
secara
parsial
Gambar 10 : Glikolisis
1.
2.
3.
pada eritrosit individu yang sehat, pembentukan ion superoksida yang terjadi
terus menerus dari oksidasi nonenzimatik hemoglobin merupakan sumber
spesies oksigen reaktif. Sistem pertahan glutation terganggu akibat defisiensi
30
adanya kompensasi dengan peningkatan sel darah merah oleh sumsum tulang. Jika
destruksi sel darah masih dalam kapasitas sumsum tulang untuk meningkatkan output,
maka akan terjadi suatu keadaan hemolitik tanpa anemia. Ini disebut sebagai
compensated haemolytic disease. Sumsum tulang bisa meningkatkan outputnya
sebanyak 6 hingga 8 kali lipat dengan meningkatkan proposi sel untuk eritropoiesis
(erythroid hyperplasia) dan dengan menambah volume untuk aktivitas sumsum
tulang. Ditambah dengan pelepasan prematur sel darah merah immatur (retikulosit).
Sel tersebut lebih besar dari sel yang matur dan mewarnai dengan biru muda pada
apus darah tepi. Hasil tersebut disebut sebagai polychromasia. Retikulosit dapat
dihitung secara akurat sebagai persentase dari semua sel darah merah pada apus darah
dengan menggunakan pewarnaan supravital untuk RNA residual. (cth; methylene
biru)
C. Lokasi Hemolisis
1. Hemolisis Ekstravaskular
Pada kebanyakan kondisi hemolitik, destruksi sel darah merah adalah di
ekstravaskular. Sel darah merah disingkirkan dari sirkulasi oleh makrofag di RES,
khususnya lien.
2. Hemolisis Intravaskular
Apabila sel darah merah terdestruksi dalam sirkulasi, hemoglobin terlepas dan
akan terikat pada haptoglobin plasma tetapi mengalami saturasi. Hb plasma bebas
yang banyak ini akan difiltrasi oleh glomerulus ginjal dan masuk ke urin, walaupun
31
sebagian kecil direabsorbsi oleh tubulus renal. Dalam sel tubular renal, Hb pecah dan
terdeposit di sel sebagai haemosiderin. Sebagian Hb plasma yang bebas dioksidasi
menjadi methemoglobin, yang berpecah lagi menjadi globin dan ferrihaem.
Hemopexin plasma mengikat ferrihaem namun jika kapasitas pengikatannya melebihi
maka ferrihaem bersatu dengan albumin membentuk methaemalbumin. Hati berperan
penting dalam mengeliminasi Hb yang terikat dengan haptoglobin dan haemopexin
dan sisa Hb bebas.
C. Bukti hemolisis
Peningkatan destruksi sel darah merah menyebabkan;
4. peningkatan bilirubin serum (unconjugated)
5. kelebihan urobilinogen urin ( akibat pemecahan bilirubin di intestinal)
6. penurunan haptoglobin plasma
7. kenaikan LDH serum
Peningkatan produksi sel darah merah menyebabkan ;
1. retikulositosis
2. hiperplasia eritroid dari sumsum tulang
Pada beberapa anemia hemolitik terdapat sel darah merah abnormal seperti ;
1. sferosit
2. sickle sel
3. fragmen sel darah merah
D. Tanda dan Gejala Klinis
Dapat asimptomatik, maupun akut dan berat. Pada bentuk berat dan akut, pada
umumnya
berupa :
1. Mendadak mual, panas badan, muntah, menggigil, nyeri perut, pinggang dan
ekstrimitas, lemah badan, sesak nafas, pucat
2. Gangguan kardiovaskuler
3. BAK warna merah/gelap
Bentuk kronis, keluhan lemah badan berlangsung dalm periode beberapa
minggu sampai bulan. Bentuk asimptomatik biasanya tanpa gejala. Bentuk sedang
berat : pucat, subikterik, splenomegali, petekhie, purpura (Sindrom Evans), hemolisis
kongenital. Dapat terjadi komplikasi berupa kolelitihiasis/kolesistitis, hepatitis pasca
transfusi, hemokromatosis.
32
F. Diagnosis Banding
-
Anemia pernisiosa
Eritroleukemi
Anemia aplastik
Myelofibrosis
G. Terapi
1. Tergantung etiologi
a) Anemia Hemolitik autoimun :
-
meningkat,
Hb
setelah
meningkat
hari,
2-3 gr %/minggu.
Splenoktomi
pada
kasus
yang tidak
berespon
Imunosupresif :
memungkinkan splenoktomi
-
Plasmaferess
33
Sferositosis herediter.
2. Bila perlu transfusi darah : washed red cell (pada hemolitik autoimun) atau
packed red cell
3. Pada hemolisis kronik diberikan Asam Folat 0,15-0,3 mg/hari untuk
mencegah krisis megaloblastik
4. HUS (Hemolytic Uremic Syndrome) :
Adanya Triad : Hemolitik mikroangiopati, trombositopeni, GGA
Dialisis
34
DAFTAR PUSTAKA
1. Adamson WJ et al, 2005, Anemia and Polycythemia in Harrisons Principles
of Internal Medicine 16th edition ; NewYork : McGraw Hill.
2. Adamson, John W, 2005, Iron Deficiency and Other Hypoproliferative
Anemias in Harrisons Principles of