Anda di halaman 1dari 8

1.

Nyeri
a. Pengertian Nyeri
Nyeri merupakan suatu kondisi perasaan yang tidak nyaman disebabkan oleh
stimulus tertentu. Stimulus nyeri dapat berupa stimulus yang bersifat fisik maupun
mental. Nyeri bersifat subjektif, sehingga respon setiap orang tidak sama saat
merasakan nyeri. Nyeri tidak dapat diukur secara objektif, misalnya dengan
menggunakan pemeriksaan darah. Orang yang merasakan nyeri yang dapat mengukur
intensitas nyeri yang dialaminya (Potter & Perry, 2006). Nyeri diartikan sebagai suatu
keadaan yang tidak menyenangkan akibat terjadinya rangsangan fisik maupun dari
serabut saraf dalam tubuh ke otak dan diikuti oleh reaksi fisik, fisiologis, maupun
emosional (Hidayat, 2008).
Nyeri merupakan sensasi tidak menyenangkan yang terlokalisasi pada suatu
bagian tubuh. Nyeri sering dijelaskan dalam istilah proses destruktif jaringan
(misalnya seperti ditusuk-tusuk, panas terbakar, melilit, seperti disobek-sobek, seperti
diremas-remas) atau suatu reaksi badan atau emosi yang tidak stabil (misalnya
perasaan takut, mual). Nyeri merupakan mekanisme fisiologis yang bertujuan untuk
melindungi diri. Apabila seseorang sedang merasakan nyeri, akan terjadi perubahan
perilaku pada orang tersebut. Misalnya, seseorang yang kakinya terkilir akan
menghindari aktivitas mengangkat barang yang memberi beban pada kakinya untuk
mencegah cedera yang lebih berat. Nyeri dapat mengganggu hubungan personal dan
mempengaruhi makna kehidupan (Potter & Perry, 2006).
b. Fisiologi Nyeri
Impuls nyeri berasal dari nociceptor melalui dua jenis serat
afferent yaitu tipe myelinated nerve fiber ( delta fiber) atau jalur

nyeri cepat yang berukuran besar dan bermielin 30 meter perdetik,


melalui jalur c fiber yang menghantarkan rasa nyeri dari polimodal
nociceptor

dan

memiliki

kecepatan

yang

lambat.

Permulaan

perangsangan nyeri dirasakan tibatiba memberikan suatu sensasi


ganda yaitu sensasi nyeri tertusuk

yang cepat di ikuti sensasi

terbakar (Masud, 1993; Guyton, 1995; Sherwood, 2001).


Sherwood (2001) serat-serat aferent primer bersinaps dengan
antar

neuron

ordo

Neurotransmitter
substansi

P.

kedua

yang

Jalur

di

tanduk

dorsal

dikeluarkan ujung aferen

nyeri

asenden

korda
nyeri

spinalis.
adalah

memiliki tujuan di korteks

somatosensorik, talamus, dan formasio

retikularis. Peran korteks

dalam persepsi nyeri belum jelas walaupun

korteks sendiri

penting dalam penentuan lokalisasi nyeri. Nyeri terbakar berakhir


di formasio diretikularis dan nukleus intralaminer talamus. Daerah
ini merupakan bagian akhir dari isyarat sistem pengantar nyeri
yang mempunyai efek kuat dalam menggiat seluruh sistem nyeri
baik

untuk membangunkan seseorang dari tidurnya, untuk

menciptakan

keadaan

gembira,

dan

meningkatkan

sistem

pertahanan yang dirancang untuk menjauhkan orang dari rasa nyeri


(Masud, 1993; Guyton, 1995). Dengan demikian tubuh manusia
merasa sakit sebenarnya menunjukkan

kewaspadaan tubuh

terhadap adanya potensi sel atau jaringan terhadap

kerusakan.

Struktur SSP (sistem saraf pusat) sebagai penghubung antara

nociseptor perifer untuk persepsi nyeri juga sebagai faktor pressure


terhadap nyeri, tampaknya ketika jalur-jalur syaraf nyeri menekan
sewaktu

masuk

korda spinalis (Sherwood,

2001; Lewis et

al,

2011).
Perangsangan

listrik

terhadap

substansia

grisea

yang

mengelilingi akuaduktus serebri akan menimbulkan analgesia.


Sistem analgesik ini dipengaruhi opiat endogen yaitu endorfin,
enkefalin, dan dinorfin. Opiat dianggap sebagai neurotransmitter
analgesik, yang menekan substansi P sehingga menghambat rasa
nyeri (Kyriakidis et al, 2011). Nyeri post operasi yang dirasakan
pasien dapat diatasi dengan obat yang sifatnya menekan aktivasi
zat perantara di sepanjang jalur nyeri atau melalui non farmakologi
dengan mengalihkan nyeri atau distraksi.
c. Respon Nyeri
1) Respon fisiologis
Respon fisiologis dihasilkan oleh stimulasi pada cabang saraf simpatis dan sistem
saraf otonom. Hal ini terjadi karena pada saat impuls nyeri naik ke medula
spinalis menuju ke batang otak dan talamus, sistem saraf otonom menjadi
terstimulasi sebagai bagian dari respon stress. Apabila nyeri berlangsung terusmenerus, berat atau dalam, dan secara tipikal melibatkan organ-organ visceral
(misalnya, nyeri pada infark miokard), sistem saraf parasimpatis akan
menghasilkan suatu aksi (Potter & Perry, 2006).
2) Respon perilaku
Pada saat nyeri dirasakan, saat itu juga dimulai suatu siklus, yang apabila nyeri
tidak diobati atau tidak dilakukan upaya untuk menghilangkannya, dapat

mengubah kualitas kehidupan secara nyata. Nyeri dapat memiliki sifat yang
mendominasi, yang mengganggu kemampuan individu berhubungan dengan
orang lain dan merawat diri sendiri. Respon perilaku terhadap rasa nyeri menurut
Berman & Snyder (2011); Kozier & Erb (2009) cit. Widiyanto (2012), adalah
sebagai berikut : (1) Gigi mengatup; (2) Menutup mata dengan rapat; (3)
Menggigit bibir bawah; (4) Wajah meringis; (5) Merintih dan mengerang; (6)
Merengek; (7) Menangis; (8) Menjerit; (9) Imobilisasi tubuh; (10) Gelisah,
melempar benda, berbalik; (11) Pergerakan tubuh berirama; (12) Menggosok
bagian tubuh (13) Menyangga bagian tubuh yang sakit.
d. Faktor - Faktor Yang Mempengaruhi Nyeri
Nyeri merupakan sesuatu yang kompleks, banyak faktor yang mempengaruhi
pengalaman nyeri. Menurut Potter & Perry (2006), faktor- faktor yang mempengaruhi
nyeri, antara lain:
1) Usia
Usia merupakan variabel yang penting yang mempengaruhi nyeri. Perbedaan
perkembangan yang ditemukan di antara kedua kelompok usia dapat
mempengaruhi cara bereaksi terhadap nyeri (misalnya, anak-anak dan lansia).
2) Budaya
Keyakinan dan nilai-nilai budaya mempengaruhi cara individu mengatasi nyeri.
Individu mempelajari apa yang diharapkan dan apa yang diterima oleh
kebudayaannya. Ada perbedaan makna dan sikap yang dikaitkan dengan nyeri di
berbagai kelompok budaya.
3) Perhatian
Tingkat seseorang

klien

memfokuskan

perhatiannya

pada

nyeri

dapat

mempengaruhi persepsi nyeri. Fokus perhatian pasien terhadap nyeri akan

meningkatkan dan mempengaruhi persepsi terhadap nyeri. Semakin fokus


perhatian pasien post operasi sectio caesarea terhadap nyeri maka akan dirasa
meningkat nyerinya. Perhatian yang meningkat dihubungkan dengan nyeri yang
meningkat, sedangkan upaya pengalihan dihubungkan dengan respon nyeri yang
menurun.
4) Pengalaman sebelumnya
Setiap individu belajar dari pengalaman nyeri. Pengalaman nyeri sebelumnya
tidak selalu berarti bahwa individu akan menerima nyeri dengan lebih mudah
pada masa mendatang. Ada dua kemungkinan yang terjadi ketika individu
mengalami nyeri di masa mendatang, yaitu individu akan lebih siap untuk
melakukan tindakan - tindakan yang diperlukan untuk menghilangkan nyeri dan
individu akan lebih mudah menginterpretasikan nyeri atau individu akan
mengalami ansietas bahkan rasa takut ketika mengalami nyeri di masa
mendatang.
5) Pola Koping
Pola koping mempengaruhi individu dalam mengatasi nyeri. Nyeri dapat
menyebabkan ketidakmampuan, baik sebagian ataupun keseluruhan. Individu
akan menemukan berbagai cara untuk mengembangkan koping terhadap efek fisik
dan psikologis nyeri.
e. Klasifikasi Nyeri
Nyeri dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
1) Klasifikasi nyeri berdasarkan durasi
a) Nyeri akut
b) Nyeri kronis
2) Klasifikasi nyeri berdasarkan asalnya
a) Nyeri nosiseptif
b) Nyeri neuropatik
3) Klasifikasi nyeri berdasarkan ringan beratnya

a) Nyeri ringan
b) Nyeri sedang
c) Nyeri berat

f. Skala Pengukuran Nyeri


Numeric Rating Scale (NRS) digunakan untuk menilai intensitas atau derajat
keparahan nyeri dan memberi kesempatan kepada klien untuk mengidentifikasi
keparahan nyeri yang dirasakan (Potter & Perry, 2006). Menurut Strong et al (2002)
cit. Datak (2008), NRS merupakan skala nyeri yang paling sering dan lebih banyak
digunakan di klinik, khususnya pada kondisi akut, NRS digunakan untuk mengukur
intensitas nyeri sebelum dan sesudah intervensi. NRS mudah digunakan dan
didokumentasikan.

Gambar 2.1 Numeric rating scale (NRS)


g. Manajemen Nyeri
1) Manajemen farmakologis
Manajemen nyeri secara farmakologis efektif untuk nyeri sedang dan berat,
namun manajemen nyeri secara farmakologis tidak bertujuan untuk meningkatkan
kemampuan pasien sendiri untuk mengontrol nyerinya (Van Kooten, 1999 cit.
Anggorowati dkk, 2007). Penanganan yang sering digunakan untuk menurunkan
nyeri biasanya menggunakan obat analgesik yang terbagi menjadi dua golongan
yaitu analgesik non narkotik dan analgesik narkotik baik secara intravena
maupun intramuskuler. Pemberian obat-obatan penurunan rasa
sakit post operasi bagi pasien dapat mengurangi keluhan nyeri,
dan biasanya akan diberikan 2 sampai 6 jam tergantung pada
obat, rute, dan dosis (Berman & Snyder, 2011; Masukawa &
Wilson,

2010). Sedangkan lama waktu kerja obat analgesik

secara parenteral selama 6 jam, penggunaan analgesik yang


secara

terus

menerus

dapat

mengakibatkan

ketagihan

obat

(Cunningham et al, 2006).


2) Manajemen nonfarmakologis
Manajemen nyeri nonfarmakologis

Modulasi Psikologi Nyeri

Modulasi Sensorik Nyeri

Relaksasi
Terapi manual
Terapi Quasi Intervensi
manual bukan
Intervensi
manual dan strategi lain
Hipnoterapi
Imaginasi
Gambar 2.2 Manajemen Nyeri Nonfarmakologis
Umpan balik biologis
Sumber:
dimodifikasi oleh Sulistyo
dan
Psikoprofilaksis
Masase Mander (2003)
Akupresur
Berteriak
TENS
Suharti
(2013).
Sentuhan terapeutik
Akupuntur
Distraksi dengan suara
Kompres panas atau dingin
Hidroterapi
Posisi, postur dan ambulasi

Anda mungkin juga menyukai