Mandiri SK 2
Mandiri SK 2
Menurut
Luka
memar
adalah
apabila
terjadi
kerusakan
jaringan
subkutan
Abrasi
Luka yang tidak begitu dalam, hanya superfisial. Luka ini tidak sampai pada
jaringan subkutis tetapi akan terasa sangat nyeri karena banyak ujung-ujung
saraf yang rusak.
Avulsi
Apabila kulit dan jaringan bawah kulit terkelupas, tetapi sebagian masih
berhubungan dengan tulang kranial. Intak kulit pada kranial terlepas setelah
kecederaan.
Fraktur linier
Fraktur dengan bentuk garis tunggal. Fraktur linier dapat terjadi jika gaya
langsung yang bekerja pada tulang kepala cukup besar tetapi tidak
menyebabkan tulang kepala bending dan tidak terdapat fraktur yang masuk ke
dalam rongga intrakranial.
Fraktur diastasis
Jenis fraktur yang terjadi pada sutura tulang tengkorak yang menyebabkan
pelebaran sutura-sutura tulang kepala. Pada usia dewasa sering terjadi pada
sutura lambdoid dan dapat mengakibatkan terjadinya hematum epidural.
Fraktur kominutif
Jenis fraktur tulang kepala yang memiliki lebih dari satu fragmen dalam satu
area fraktur.
Fraktur impresi
Fraktur ini terjadi akibat benturan dengan tenaga besar yang langsung
mengenai tulang kepala. Dapat menyebabkan penekanan atau laserasi pada
durameter dan jaringan otak.
GCS 9-12
GCS 3-8
a. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik yang meliputi kesadaran, tensi, nadi, pola dan frekuensi respirasi,
pupil (besar, bentuk dan reaksi cahaya), defisit fokal serebral dan cedera ekstrakranial. Hasil
pemeriksaan dicatat dan dilakukan pemantauan ketat pada hari-hari pertama. Bila terdapat
perburukan salah satu komponen, penyebabnya dicari dan segera diatasi.
b. Pemeriksaan Penunjang
X-ray tengkorak
Peralatan diagnostik yang digunakan untuk mendeteksi fraktur dari dasar tengkorak
atau rongga tengkorak. CT scan lebih dipilih bila dicurigai terjadi fraktur karena CT
scan bisa mengidentifikasi fraktur dan adanya kontusio atau perdarahan. X-Ray
tengkorak dapat digunakan bila CT scan tidak ada ( State of Colorado Department of
Labor and Employment, 2006).
CT-scan
Pemeriksaan CT scan tidak sensitif untuk lesi di batang otak karena kecilnya struktur
area yang cedera dan dekatnya struktur tersebut dengan tulang di sekitarnya.
Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI mampu menunjukkan lesi di substantia alba dan batang otak yang sering luput
pada pemeriksaan CT Scan. Ditemukan bahwa penderita dengan lesi yang luas pada
hemisfer, atau terdapat lesi batang otak pada pemeriksaan MRI, mempunyai prognosa
yang buruk untuk pemulihan kesadaran, walaupun hasil pemeriksaan CT Scan awal
normal dan tekanan intrakranial terkontrol baik (Wilberger dkk., 1983 dalam
Sastrodiningrat, 2007).
Pemeriksaan Proton Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS) menambah dimensi
baru pada MRI dan telah terbukti merupakan metode yang sensitif untuk mendeteksi
Cedera Akson Difus (CAD). Mayoritas penderita dengan cedera kepala ringan
sebagaimana halnya dengan penderita cedera kepala yang lebih berat, pada
pemeriksaan MRS ditemukan adanya CAD di korpus kalosum dan substantia alba.
Kepentingan yang nyata dari MRS di dalam menjajaki prognosa cedera kepala berat
masih harus ditentukan, tetapi hasilnya sampai saat ini dapat menolong menjelaskan
berlangsungnya defisit neurologik dan gangguan kognitif pada penderita cedera
kepala ringan ( Cecil dkk, 1998 dalam Sastrodiningrat, 2007 ).
Pneumoencephali
Corpus alienum
Luka tembak
Pasien dalam kategori ini, biasanya disertai cedera multipel. Bila didapatkan fraktur servikal,
segera pasang kerah fiksasi leher, bila ada luka terbuka dan ada perdarahan, dihentikan
dengan balut tekan untuk pertolongan pertama. Tindakan sama dengan cedera kranioserebral
sedang dengan pengawasan lebih ketat dan dirawat di ICU.
Tindakan di ruang unit gawat darurat :
1. Resusitasi dengan tindakan A = Airway, B = Breathing dan C = Circulation
a. Jalan napas (Airway)
Jalan napas dibebaskan dari lidah yang turun ke belakang dengan posisi kepala ekstensi.
Jika perlu dipasang pipa orofaring atau pipa endotrakheal. Bersihkan sisa muntahan, darah,
lendir atau gigi palsu. Jika muntah, pasien dibaringkan miring. Isi lambung dikosongkan
melalui pipa nasogastrik untuk menghindari aspirasi muntahan.
b. Pernapasan (Breathing)
Gangguan pernapasan dapat disebabkan oleh kelainan sentral atau perifer.Kelainan sentral
disebabkan oleh depresi pernapasan yang ditandai dengan pola pernapasan Cheyne Stokes,
hiperventilasi neurogenik sentral, atau ataksik. Kelainan perifer disebabkan oleh aspirasi,
trauma dada, edema paru, emboli paru, atau infeksi.
Tata laksana:
Oksigen dosis tinggi, 10-15 liter/menit, intermiten
Cari dan atasi faktor penyebab
Kalau perlu pakai ventilator
c. Sirkulasi (Circulation)
Hipotensi dapat terjadi akibat cedera otak. Hipotensi dengan tekanan darah sistolik <90 mm
Hg yang terjadi hanya satu kali saja sudah dapat meningkatkan risiko kematian dan
kecacatan. Hipotensi kebanyakan terjadi akibat faktor ekstrakranial, berupa hipovolemia
karena perdarahan luar atau ruptur alat dalam, trauma dada disertai tamponade jantung/
pneumotoraks, atau syok septik. Tata laksananya dengan cara menghentikan sumber
perdarahan, perbaikan fungsi jantung, mengganti darah yang hilang, atau sementara dengan
cairan isotonik NaCl 0,9%.
1.8. Menjelaskan komplikasi trauma kepala.
a. Kejang
Kejang yang terjadi dalam minggu pertama setelah trauma disebut early seizure, dan yang
terjadi setelahnya disebut late seizure. Early seizure terjadi pada kondisi risiko tinggi, yaitu
ada fraktur impresi, hematoma intrakranial, kontusio di daerah korteks; diberi profilaksis
fenitoin dengan dosis 3x100 mg/hari selama 7-10 hari.
b. Infeksi
Profilaksis antibiotik diberikan bila ada risiko tinggi infeksi, seperti pada fraktur tulang
terbuka, luka luar, fraktur basis kranii. Pemberian profilaksis antibiotik ini masih
kontroversial. Bila ada kecurigaan infeksi meningeal, diberikan antibiotik dengan dosis
meningitis.
c. Gastrointestinal
Pada pasien cedera kranio-serebral terutama yang berat sering ditemukan gastritis erosi dan
lesi gastroduodenal lain, 10-14% di antaranya akan berdarah. Kelainan tukak stres ini
merupakan kelainan mukosa akut saluran cerna bagian atas karena berbagai kelainan
patologik atau stresor yang dapat disebabkan oleh cedera kranioserebal. Umumnya tukak
stres terjadi karena hiperasiditas. Keadaan ini dicegah dengan pemberian antasida 3x1 tablet
peroral atau H2 receptor blockers (simetidin, ranitidin, atau famotidin) dengan dosis 3x1
ampul IV selama 5 hari.
2. Memahami dan memepelajari fraktur basis cranii
2.1. Menjelaskan definisi fraktur basis cranii.
Fraktur basis cranii/Basilar Skull Fracture (BSF) merupakan fraktur akibat benturan
langsung pada daerah daerah dasar tulang tengkorak (oksiput, mastoid, supraorbita). Dalam
beberapa studi telah terbukti fraktur basis cranii dapat disebabkan oleh berbagai mekanisme
termaksud ruda paksa akibat fraktur maksilofacial, ruda paksa dari arah lateral cranial dan
dari arah kubah cranial, atau karena beban inersia oleh kepala.
Adalah hasil dari trauma tumpul energi tinggi dengan kompresi aksial, lateral bending, atau
cedera rotational pada pada ligamentum Alar. Fraktur tipe ini dibagi menjadi 3 jenis
berdasarkan morfologi dan mekanisme cedera. Klasifikasi alternative membagi fraktur ini
menjadi displaced dan stable, yaitu, dengan dan tanpa cedera ligamen. Tipe I fraktur sekunder
akibat kompresi aksial yang
pukulan langsung
meskipun fraktur basioccipital lebih luas, fraktur tipe II diklasifikasikan sebagai fraktur yang
stabil karena ligament alar dan membrane tectorial tidak mengalami kerusakan. Tipe III
adalah cedera avulsi sebagai akibat rotasi paksa dan lateral bending. Hal ini berpotensi
menjadi fraktur tidak stabil.
Fraktur clivus
Digambarkan sebagai akibat ruda paksa energi tinggi dalam kecelakaan kendaraann bermotor.
Longitudinal, transversal, dan tipe oblique telah dideskripsikan dalam literatur. Fraktur
longitudinal memiliki prognosis terburuk, terutama bila melibatkan sistem vertebrobasilar.
Defisit pada nervus cranial VI dan VII biasanya dijumpai pada fraktur tipe ini.
Jenis jenis fraktur tulang tengkorak :
Fraktur tulang tengkorak dapat terjadi pada calvarium (atap tengkorak), disebut Fraktur
Calvarium dan fraktur pada basis cranium (dasar tengkorak), disebut Fraktur Basis Cranium.
a. Fraktur Calvarium.
Beberapa contoh fraktur calvarium
Fraktur Liniair
Bila fraktur merupakan sebuah garis (celah) saja. Fraktur liniair yang berbahaya ialah fraktur
yang melintas os temporal; pada os temporal terdapat alur yang dilalui Arteri Meningia
Media. Bila fraktur memutuskan Arteri Meningia Media maka akan terjadi perdarahan hebat
yang akan terkumpul di ruang diantara dura mater dan tulang tengkorak , disebut perdarahan
epidural.
Fraktur Berbentuk Bintang (Stellate Fracture)
Bila fraktur berpusat pada satu tempat dan garis garis frakturnya nya menyebar secara
radial.
Fraktur Impressie
Pada fraktur impressie ,fragment-fragment fraktur melekuk kedalam dan menekan jaringan
otak. Fraktur bentuk ini dapat merobek dura mater dan jaringan otak di bawahnya dan dapat
menimbulkan prolapsus cerebri (jaringan otak keluar dari robekan duramater dan celah
fraktur) dan terjadi perdarahan.
Fraktur Os Petrossum
Puncak (Apex ) os petrosum sangat rapuh sehingga LCS dan darah masuk kedalam rongga
telinga tengah dan memecahkan Membrana Tympani; dari telinga keluar LCS bercampur
darah (Otorrhoea).
Di atas sella tursica terdapat kelenjar Hypophyse yang terdiri dari 2 bagian pars anterior dan
pars posterior (Neuro Hypophyse). Pada fraktur sella tursica yg biasa terganggu adalah pars
posterior sehingga terjadi gangguan sekresi ADH (Anti Diuretic Hormone) yang
menyebabkan Diabetes Insipidus.
Syndrome ini adalah akibat fraktur basis tengkorak di fossa media yang memecahkan Arteri
Carotis Interna yang berada di dalam Sinus Cavernosus sehingga terjadi hubungan langsung
arteri vena (disebut Arterio-Venous Shunt dari Arteri Carotis Interna dan Sinus Cavernsus
> Carotid Cavernous Fistula).
Mata tampak akan membengkak dan menonjol, terasa sakit , conjunctiva berwarna merah.
Bila membran stetoskop diletakkan diatas kelopak mata atau pelipis akan terdengar suara
seperti air mengalir melalui celah yang sempit yang disebut Bruit ( dibaca BRUI ).
Gejala-gejala klinis sebagai akibat pecahnya A.Carotis Interna didalam Sinus Cavernosus ,
yang terdiri atas : mata yang bengkak menonjol , sakit dan conjunctiva yang terbendung
(berwarna merah) serta terdengar bruit , disebut Sinus Cavernosus Syndrome,
Fraktur Fossa Posterior.
Garis fraktur biasanya melintas bagian posterior apex os petrossum sampai os mastoid,
menyebabkan LCS bercampur darah keluar melalui celah fraktur dan berada diatas mastoid
sehingga dari luar tampak warna kebiru biruan dibelakang telinga , disebut Battles Sign.
di Foramen Magnum terdapat Medula Oblongata, sehingga getaran fraktur akan merusak
Medula Oblongata , menyebabkan kematian seketika.
2.3.Menjelaskan manifestasi fraktur basis cranii.
Pasien dengan fraktur pertrous os temporal dijumpai dengan otorrhea dan memar pada
mastoids (battle sign). Presentasi dengan fraktur basis cranii fossa anterior adalah dengan
rhinorrhea dan memar di sekitar palpebra (raccoon eyes). Kehilangan kesadaran dan Glasgow
Coma Scale dapat bervariasi, tergantung pada kondisi patologis intrakranial.
Fraktur longitudinal os temporal berakibat pada terganggunya tulang pendengaran dan
ketulian konduktif yang lebih besar dari 30 dB yang berlangsung lebih dari 6-7 minggu.tuli
sementara yang akan baik kembali dalam waktu kurang dari 3 minggu disebabkan karena
hemotympanum dan edema mukosa di fossa tympany. Facial palsy, nystagmus, dan facial
numbness adalah akibat sekunder dari keterlibatan nervus cranialis V, VI, VII.
Fraktur tranversal os temporal melibatkan saraf cranialis VIII dan labirin, sehingga
menyebabkan nystagmus, ataksia, dan kehilangan pendengaran permanen (permanent neural
hearing loss).
Fraktur condylar os oksipital adalah cedera yang sangat langka dan serius.Sebagian
besar pasien dengan fraktur condylar os oksipital, terutama dengan tipe III, berada dalam
keadaan koma dan terkait cedera tulang belakang servikalis.Pasien ini juga memperlihatkan
cedera lower cranial nerve dan hemiplegia atau guadriplegia.
Sindrom Vernet atau sindrom foramen jugularis adalah keterlibatan nervus cranialis
IX, X, dan XI akibat fraktur.Pasien tampak dengan kesulitan fungsi fonasi dan aspirasi dan
paralysis ipsilateral dari pita suara, palatum mole (curtain sign), superior pharyngeal
Radiografi: Pada tahun 1987, foto x-ray tulang tengkorak merujukan pada kriteria
panel memutuskan bahwa skull film kurang optimal dalam menvisualisasikan fraktur
basis cranii. Foto xray skull tidak bermanfaat bila tersedianya CT scan.
MRI: MRI atau magnetic resonance angiography merupakan suatu nilai tambahan
untuk kasus yang dicurigai mengalami cedera pada ligament dan vaskular. Cedera
pada tulang jauh lebih baik divisualisasikan dengan menggunakan CT scan.
Pemeriksaan lainnya
Perdarahan dari telinga atau hidung pada kasus dicurigai terjadinya kebocoran CSF, dapat
dipastikan dengan salah satu pemeriksaan suatu tehnik dengan mengoleskan darah tersebut
pada kertas tisu, maka akan menunjukkan gambaran seperti cincin yang jelas yang melingkari
darah, maka disebut halo atau ring sign. Kebocoran dari CSF juga dapat dibuktikan
dengan menganalisa kadar glukosa dan dengan mengukur transferrin.
2.5. Menjelaskan tatalaksana fraktur basis cranii.
Terapi medis
Pasien dewasa dengan simple fraktur linear tanpa disertai kelainan struktural
neurologis tidak memerlukan intervensi apapun bahkan pasien dapat dipulangkan untuk
berobat jalan dan kembali jika muncul gejala. Sementara itu, pada bayi dengan simple fraktur
linier harus dilakukan pengamatan secara terus menerus tanpa memandang status neurologis.
Status neurologis pasien dengan fraktur basis cranii tipe linier biasanya ditatalaksana secara
conservative, tanpa antibiotik. Fraktur os temporal juga dikelola secara konservatif, jika
disertai rupture membran timpani biasanya akan sembuh sendiri.
Simple fraktur depress dengan tidak terdapat kerusakan struktural pada neurologis
pada bayi ditatalaksana dengan penuh harapan. Menyembuhkan fraktur depress dengan baik
membutuhkan waktu, tanpa dilakukan elevasi dari fraktur depress. Obat anti kejang
dianjurkan jika kemungkinan terjadinya kejang lebih tinggi dari 20%. Open fraktur, jika
terkontaminasi, mungkin memerlukan antibiotik disamping tetanus toksoid. Sulfisoxazole
direkomendasikan pada kasus ini. Fraktur condylar tipe I dan II os occipital ditatalaksana
secara konservatif dengan stabilisasi leher dengan menggunakan collar atau traksi halo.
Terapi Bedah
Peran operasi terbatas dalam pengelolaan skull fraktur. Bayi dan anak-anak dengan
open fraktur depress memerlukan intervensi bedah. Kebanyakan ahli bedah lebih suka untuk
mengevaluasi fraktur depress jika segmen depress lebih dari 5 mm di bawah inner table dari
adjacent bone. Indikasi untuk elevasi segera adalah fraktur yang terkontaminasi, dural tear
dengan pneumocephalus, dan hematom yang mendasarinya.
Kadang kadang, craniectomy dekompressi dilakukan jika otak mengalami kerusaksan
dan pembengkakan akibat edema. Dalam hal ini, cranioplasty dilakukan dikemudian hari.
Indikasi lain untuk interaksi bedah dini adalah fraktur condylar os oksipital tipe unstable (tipe
III) yang membutuhkan arthrodesis atlantoaxial. Hal ini dapat dicapai dengan fiksasi dalamluar.
Menunda untuk dilakukan intervensi bedah diindikasikan pada keadaan kerusakan
ossicular (tulang pendengaran) akibat fraktur basis cranii jenis longitudinal pada os temporal.
Ossiculoplasty mungkin diperlukan jika kehilangan berlangsung selama lebih dari 3 bulan
atau jikamembrane timpani tidak sembuh sendiri. Indikasi lain adalah terjadinya kebocoran
CSF yang persisten setelah fraktur basis cranii. Hal ini memerlukan secara tepat lokasi
kebocoran sebelum intervensi bedah dilakukan.
Nervus cranialis lain mungkin juga terlibat dalam fraktur basis cranii. Fraktur pada
ujung pertosus os temporale mungkin melibatkan ganglion gasserian. Cedera nervus cranialis
VI yang terisolasi bukanlah akibat langsung dari fraktur, tapi mungkin akibat skunder karena
terjadinya ketegangan pada nervus.
Nervus kranialis (IX, X, XI,dan XII) dapat terlibat dalam fraktur condylar os
oksipital, seperti yang dijelaskan sebelumnya dalam Vernet dan sindrom Collet-Sicard (vide
supra). Fraktur os sphenoidalis dapat mempengaruhi nervus cranialis III, IV,dan VI dan juga
dapat mengganggu arteri karotis interna dan berpotensi menghasilkan pembentukan
pseudoaneurysma dan fistula caroticocavernous (jika melibatkan struktur vena). cedera
carotiddiduga terdapat pada kasus kasus dimana fraktur berjalan melalui kanal karotid, dalam
hal ini, CT-angiografi dianjurkan.
3. Memahami dan mempelajari perdarahan intrakranial.
3.1 Menjelaskan definisi perdarahan intrakranial.
Perdarahan intrakranial adalah perdarahan (patologis) yang terjadi di dalam kranium,
yang mungkin ekstradural, subdural, subaraknoid, atau serebral (parenkimatosa). Perdarahan
intrakranial dapat terjadi pada semua umur dan juga akibat trauma kepala seperti
kapitis,tumor otak dan lain-lain.
8-13% ICH menjadi penyebab terjadinya stroke dan kelainan dengan spectrum yang
luas. Bila dibandingkan dengan stroke iskemik atau perdarahan subaraknoid, ICH umumnya
lebih banyak mengakibatkan kematian atau cacat mayor. ICH yang disertai dengan edema
akan mengganggu atau mengkompresi jaringan otak sekitarnya, menyebabkan disfungsi
neurologis. Perpindahan substansi parenkim otak dapat menyebabkan peningkatan ICP dan
sindrom herniasi yang berpotensi fatal.
Kelainan pembuluh darah yang kecil seperti angioma, biasanya lokasi perdarahannya
lobar. Umumnya terjadi pada usia muda. Lokasi perdarahan biasanya superfisial.
Tumor intrakranial (jarang terjadi perdarahan pada tumor otak; dijumpai sekitar 610%). Yang paling sering menimbulkan perdarahan yaitu tumor ganas, baik primer
ataupun metastase; jarang pada meningioma
primer pada otak yang paling sering menimbulkan perdarahan yaitu glioblastoma
multiform, lokasi perdarahan umumnya deep cortical seperti basal ganglia, corpus
callosum. Tumor metastase yang paling sering menimbulkan perdarahan yaitu tumor
sel germinal, sekitar 60% dan lokasi perdarahan umumnya sucortical.
-
Anti koagulan. Pemakaian obat oral antikoagulan yang lama dengan warfarin sering
menyebabkan perdarahan otak; dijumpai sekitar 9% dari kasus. Resiko terjadinya
perdarahan dengan pemakaian antikoagulan oral dalam jangka panjang, 8-11 kali
dibandingkan dengan yang tidak menggunakan obat tersebut pada usia yang sama.
Lokasi perdarahan paling sering pada serebellum. Mekanisme terjadinya perdarahan
ini masih belum diketahui.
Agen fibrinolitik. Ini termasuk Streptokinase, Urokinase dan tissue type plasminogen
aktivator (tPA) yang digunakan dalam pengobatan coronary, arteri dan venous
trombosis. Kemampuan obat-obat ini yaitu menghancurkan klot dan relatif
menurunkan tingkatan sistemik hipofibrinogenemia, sehingga sangat ideal dalam
pengobatan trombosis akut. Komplikasi utama, walaupun jarang, adalah perdarahan
intraserebral. Dijumpai 0,4%-1,3% penderita dengan miokard infark yang diobati
dengan tPA. Perdarahan yang cenderung terjadi setelah pemberian tPA 40% sewaktu
dalam pemberian infus, 25% terjadai dalam 24 jam setelah pemberian. 70-90% lokasi
perdarahan lobar, 30% perdarahannya multiple dan mortality 40-65%. Mekanisme
terjadinya perdarahan ini masih belum diketahui.
dan
gejala
yang
menyerupai
TIA
(transient
ischemic
menggambarkan
luasnya
kerusakan
pembuluh
darah,
juga
Terjadinya cedera kepala difus disebabkan karena gaya akselerasi dan deselarasi gaya
rotasi dan translasi yang menyebabkan bergesernya parenkim otak dari permukaan
terhadap parenkim yang sebelah dalam. Maka cedera kepala difus dikelompokkan
menjadi :
Cedera akson difus (difuse aksonal injury) DAI
Difus axonal injury adalah keadaan dimana serabut subkortikal yang
menghubungkan inti permukaan otak dengan inti profunda otak (serabut
proyeksi), maupun serabut yang menghubungkan inti-inti dalam satu hemisfer
(asosiasi) dan serabut yang menghbungkan inti-inti permukaan kedua hemisfer
(komisura) mengalami kerusakan. Kerusakan sejenis ini lebih disebabkan
karena gaya rotasi antara initi profunda dengan inti permukaan .
Kontsuio cerebri
Kontusio cerebri adalah kerusakan parenkimal otak yang disebabkan karena
efek gaya akselerasi dan deselerasi. Mekanisme lain yang menjadi penyebab
kontosio cerebri adalah adanya gaya coup dan countercoup, dimana hal
tersebut menunjukkan besarnya gaya yang sanggup merusak struktur parenkim
otak yang terlindung begitu kuat oleh tulang dan cairan otak yang begitu
kompak. Lokasi kontusio yang begitu khas adalah kerusakan jaringan
parenkim otak yang berlawanan dengan arah datangnya gaya yang mengenai
kepala.
Edema cerebri
Edema cerebri terjadi karena gangguan vaskuler akibat trauma kepala.Pada
edema cerebri tidak tampak adanya kerusakan parenkim otak namun terlihat
pendorongan hebat pada daerah yang mengalami edema.Edema otak bilateral
lebih disebabkan karena episode hipoksia yang umumnya dikarenakan adanya
renjatan hipovolemik.
Iskemia cerebri
Iskemia cerebri terjadi karena suplai aliran darah ke bagian otak berkurang
atau terhenti.Kejadian iskemia cerebri berlangsung lama (kronik progresif)
dan disebabkan karena penyakit degeneratif pembuluh darah otak.
dan
dimulainya
kekacauan
pada
diencephalic
karena
herniasi
Hemiparesis
Gangguan neurologis biasanya collateral hemipareis, tergantung dari efek pembesaran
massa pada daerah corticispinal. Ipsilateral hemiparesis sampai penjendalan dapat juga
menyebabkan tekanan pada cerebral kontralateral peduncle pada permukaan tentorial.
Anisokor pupil
Yaitu pupil ipsilateral melebar. Pada perjalananya, pelebaran pupil akan mencapai
maksimal dan reaksi cahaya yang pada permulaan masih positif akan menjadi negatif.
Terjadi pula kenaikan tekanan darah dan bradikardi.pada tahap ahir, kesadaran menurun
sampai koma yang dalam, pupil kontralateral juga mengalami pelebaran sampai
akhirnya kedua pupil tidak menunjukkan reaksi cahaya lagi yang merupakan tanda
kematian.
Perdarahan subdural :
Gejala klinisnya sangat bervariasi dari tingkat yang ringan (sakit kepala) sampai
penutunan kesadaran. Kebanyakan kesadaran hematom subdural tidak begitu hebat deperti
kasus cedera neuronal primer, kecuali bila ada effek massa atau lesi lainnya.Gejala yang
timbul tidak khas dan meruoakan manisfestasi dari peninggian tekanan intrakranial seperti :
sakit kepala, mual, muntah, vertigo, papil edema, diplopia akibat kelumpuhan n. III, epilepsi,
anisokor pupil, dan defisit neurologis lainnya.kadang kala yang riwayat traumanya tidak
jelas, sering diduga tumor otak.
3.6. Menjelaskan diagnosis perdarahan intrakranial.
Pemeriksaan penunjang
Level hematokrit, kimia, dan profil koagulasi (termasuk hitung trombosit) penting dalam
penilaian pasien dengan perdarahan epidural, baik spontan maupun trauma.
Cedera kepala berat dapat menyebabkan pelepasan tromboplastin jaringan, yang
mengakibatkan DIC. Pengetahuan utama akan koagulopati dibutuhkan jika pembedahan akan
dilakukan. Jika dibutuhkan, faktor-faktor yang tepat diberikan pre-operatif dan intra-operatif.
Pada orang dewasa, perdarahan epidural jarang menyebabkan penurunan yang
signifikan pada level hematokrit dalam rongga kranium kaku. Pada bayi, yang volume
darahnya terbatas, perdarahan epidural dalam kranium meluas dengan sutura terbuka yang
menyebabkan kehilangan darah yang berarti.Perdarahan yang demikian mengakibatkan
ketidakstabilan hemodinamik; karenanya dibutuhkan pengawasan berhati-hati dan sering
terhadap level hematokrit.
Pencitraan
Radiografi
o Radiografi kranium selalu mengungkap fraktur menyilang bayangan vaskular
cabang arteri meningea media. Fraktur oksipital, frontal atau vertex juga
mungkin diamati.
o Kemunculan sebuah fraktur tidak selalu menjamin adanya perdarahan
epidural. Namun, > 90% kasus perdarahan epidural berhubungan dengan
fraktur kranium. Pada anak-anak, jumlah ini berkurang karena kecacatan
kranium yang lebih besar.
CT-scan
o CT-scan merupakan metode yang paling akurat dan sensitif dalam
mendiagnosa perdarahan epidural akut. Temuan ini khas. Ruang yang
ditempati perdarahan epidural dibatasi oleh perlekatan dura ke skema bagian
dalam kranium, khususnya pada garis sutura, memberi tampilan lentikular atau
bikonveks. Hidrosefalus mungkin muncul pada pasien dengan perdarahan
epidural fossa posterior yang besar mendesak efek massa dan menghambat
ventrikel keempat.
o CSF tidak biasanya menyatu dengan perdarahan epidural; karena itu hematom
kurang densitasnya dan homogen. Kuantitas hemoglobin dalam hematom
menentukan jumlah radiasi yang diserap.
o Tanda densitas hematom dibandingkan dengan perubahan parenkim otak dari
waktu ke waktu setelah cedera. Fase akut memperlihatkan hiperdensitas (yaitu
tanda terang pada CT-scan). Hematom kemudian menjadi isodensitas dalam 24 minggu, lalu menjadi hipodensitas (yaitu tanda gelap) setelahnya. Darah
hiperakut mungkin diamati sebagai isodensitas atau area densitas-rendah, yang
mungkin mengindikasikan perdarahan yang sedang berlangsung atau level
hemoglobin serum yang rendah.
o Area lain yang kurang sering terlibat adalah vertex, sebuah area dimana
konfirmasi diagnosis CT-scan mungkin sulit. Perdarahan epidural vertex dapat
disalahtafsirkan sebagai artefak dalam potongan CT-scan aksial tradisional.
Bahkan ketika terdeteksi dengan benar, volume dan efek massa dapat dengan
mudah disalahartikan. Pada beberapa kasus, rekonstruksi coronal dan sagital
dapat digunakan untuk mengevaluasi hematom pada lempengan coronal.
MRI : perdarahan akut pada MRI terlihat isointense, menjadikan cara ini kurang tepat untuk
mendeteksi perdarahan pada trauma akut. Efek massa, bagaimanapun, dapat diamati ketika
meluas.
3.7. Menjelaskan tatalaksana perdarahan intrakranial.
Terapi Obat-obatan
Pengobatan perdarahan epidural bergantung pada berbagai faktor. Efek yang kurang
baik pada jaringan otak terutama dari efek massa yang menyebabkan distorsi struktural,
herniasi otak yang mengancam-jiwa, dan peningkatan tekanan intrakranial.
Dua pilihan pengobatan pada pasien ini adalah (1) intervensi bedah segera dan (2)
pengamatan klinis ketat, di awal dan secara konservatif dengan evakuasi tertunda yang
memungkinkan.Catatan bahwa perdarahan epidural cenderung meluas dalam hal volume
lebih cepat dibandingkan dengan perdarahan subdural, dan pasien membutuhkan pengamatan
yang sangat ketat jika diambil rute konservatif.
Tidak semua kasus perdarahan epidural akut membutuhkan evakuasi bedah segera.Jika
lesinya kecil dan pasien berada pada kondisi neurologis yang baik, mengamati pasien dengan
pemeriksaan neurologis berkala cukup masuk akal.
Meskipun manajemen konservatif sering ditinggalkan dibandingkan dengan penilaian
klinis, publikasi terbaru Guidelines for the Surgical Management of Traumatic Brain Injury
merekomendasikan bahwa pasien yang memperlihatkan perdarahan epidural < 30 ml, < 15
mm tebalnya, dan < 5 mm midline shift, tanpa defisit neurologis fokal dan GCS > 8 dapat
ditangani secara non-operatif. Scanning follow-up dini harus digunakan untukmenilai
meningkatnya ukuran hematom nantinya sebelum terjadi perburukan.Terbentuknya
perdarahan epidural terhambat telah dilaporkan.Jika meningkatnya ukuran dengan cepat
tercatat dan/atau pasien memperlihatkan anisokoria atau defisit neurologis, maka
pembedahan harus diindikasikan.Embolisasi arteri meningea media telah diuraikan pada
stadium awal perdarahan epidural, khususnya ketika pewarnaan ekstravasasi angiografis telah
diamati.
Ketika mengobati pasien dengan perdarahan epidural spontan, proses penyakit primer
yang mendasarinya harus dialamatkan sebagai tambahan prinsip fundamental yang telah
didiskusikan diatas.
Terapi Bedah
Berdasarkan pada Guidelines for the Management of Traumatic Brain Injury,
perdarahan epidural dengan volume > 30 ml, harus dilakukan intervensi bedah, tanpa
mempertimbangkan GCS. Kriteria ini menjadi sangat penting ketika perdarahan epidural
memperlihatkan ketebalan 15 mm atau lebih, dan pergeseran dari garis tengah diatas 5 mm.
Kebanyakan pasien dengan perdarahan epidural seperti itu mengalami perburukan status
kesadaran dan/atau memperlihatkan tanda-tanda lateralisasi.
Lokasi juga merupakan faktor penting dalam menentukan pembedahan.Hematom
temporal, jika cukup besar atau meluas, dapat mengarah pada herniasi uncal dan perburukan
lebih cepat.Perdarahan epidural pada fossa posterior yang sering berhubungan dengan
gangguan sinus venosus lateralis, sering membutuhkan evakuasi yang tepat karena ruang
yang tersedia terbatas dibandingkan dengan ruang supratentorial.
Sebelum adanya CT-scan, pengeboran eksplorasi burholes merupakan hal yang biasa,
khususnya ketika pasien memperlihatkan tanda-tanda lateralisasi atau perburukan yang
cepat.Saat ini, dengan teknik scan-cepat, eksplorasi jenis ini jarang dibutuhkan.
Saat ini, pengeboran eksplorasi burholes disediakan bagi pasien berikut ini :
Pasien dengan tanda-tanda lokalisasi menetap dan bukti klinis hipertensi intrakranial
yang tidak mampu mentolerir CT-scan karena instabilitas hemodinamik yang berat.
Kebanyakan dari komplikasi perdarahan epidural muncul ketika tekanan yang mereka
kerahkan mengakibatkan pergeseran otak yang berarti.Ketika otak menjadi subyek herniasi
subfalcine, arteri serebral anterior dan posterior mungkin tersumbat, menyebabkan infark
serebral.Herniasi kebawah batang otak menyebabkan perdarahan Duret dalam batang otak,
paling sering di pons.Herniasi transtentorial menyebabkan palsy nervus III kranialis
ipsilateral, yang seringnya membutuhkan berbulan-bulan untuk beresolusi sekali tekanan
dilepaskan. Palsy nervus III kranialis bermanifestasi sebagai ptosis, dilatasi pupil, dan
ketidakmampuan menggerakkan mata ke arah medial, atas, dan bawah.Pada anak-anak < 3
tahun,
fraktur
kranium
dapat
menyebabkan
kista
leptomeningeal
atau
fraktur
bertumbuh.Kista ini diyakini muncul ketika pulsasi dan pertumbuhan otak tidak mengijinkan
fraktur untuk sembuh, lalu menambah robek dura dan batas fraktur membesar. Pasien dengan
kista leptomeningeal biasanya memperlihatkan massascalp pulsatil.
4. Memahami dan mempelajari trias cushing.
4.1. Menjelaskan trias cushing.
Trias cushing merupakan kumpulan gejala yang diakibatkan oleh meningkatnya
tekanan intrakranial.
Hipertensi
Bradikardi
Depresi pernapasan
DAFTAR PUSTAKA
American College of Surgeons, 1997, Advance Trauma Life Suport. United States of
America: Firs Impression
Ariwibowo Haryo et all, 2008, Art of Therapy: Sub Ilmu Bedah. Yogyakarta: Pustaka
Cendekia Press of Yogyakarta
Bernath David, 2009, Head Injury, www.e-medicine.com
Boies adam., 2002, Buku Ajar Penyakit THT: Edisi 6, Jakarta: EGC.
Hafid A, 2007, Buku Ajar Ilmu Bedah: edisi kedua, Jong W.D. Jakarta: penerbit buku
kedokteran EGC
Ghazali Malueka, 2007, Radiologi Diagnostik, Yogyakarta: Pustaka Cendekia.
Japardi iskandar, 2004, Penatalaksanaan Cedera Kepala secara Operatif. Sumatra Utara:
USU Press.