Anda di halaman 1dari 7

Pemanfaatan Antosianin pada Ubi Jalar Ungu (Ipomoea batatas L.

Poir)
untuk Terapi Diabetes Melitus tipe-2
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Diabetes melitus dikenal sebagai silent killer karena gejala yang
ditimbulkan sering tidak disadari oleh penderita dan saat diketahui sudah terjadi
komplikasi. Berdasarkan data dari WHO, Indonesia menempati urutan ke empat
terbesar dari jumlah penderita diabetes melitus dengan prevalensi 8,6% dari total
penduduk setelah India, Cina dan Amerika Serikat. WHO memprediksi kenaikan
jumlah penyandang diabetes melitus di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000
menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Senada dengan WHO, International
Diabetes Foundation (IDF) pada tahun 2009 memprediksi kenaikan jumlah
penyandang DM dari 7 juta pada tahun 2009 menjadi 12 juta pada tahun 2030.
Dari laporan tersebut menunjukkan peningkatan jumlah penyandang diabetes
melitus sebanyak 2-3 kali lipat pada tahun 2030 (PERKENI, 2011).
Besarnya prevalensi dan tingginya potensi peningkatan jumlah
penyandang diabetes di masa mendatang membutuhkan penanganan yang serius.
Inovasi pembuatan bentuk sediaan untuk penderita diabetes sungguh diperlukan
agar komplikasi diabetes dapat dicegah sehingga menyelamatkan banyak jiwa.
Salah satu inovasi yang dapat diajukan adalah pemanfaatan senyawa antosianin
yang terdapat pada ubi jalar ungu. Pemilihan ubi jalar ungu sebagai bahan dasar
didasari oleh ketersediaan ubi jalar ungu di Indonesia cukup melimpah. Ubi jalar
ungu .. (alasan menggunakan ubi jalar ungu)
2. Tujuan
Memanfaatkan senyawa antosianin yang terkandung dalam ubi jalar ungu
(Ipomoea batatas var Ayumurasaki) untuk terapi diabetes melitus tipe-2
Membuat sediaan farmasi berbahan dasar antosianin untuk terapi diabetes
melitus tipe-2
3. Manfaat

UBI JALAR UNGU (Ipomoea batatas L. Poir)


Ubi jalar ungu merupakan salat satu jenis ubi jalar yang banyak ditemukan
di Indonesia. Eksistensi ubi jalar ungu tidak kalah dengan ubi jalar warna putih,
kuning dan merah. Ubi jalar ungu diklasifikasikan sebagai berikut (Iriryanti,
2012) :
Kingdom
: Plantae
Divisio
: Spermatophyta
Subdivisio
: Angiospermae
Classis
: Dicotyledonnae
Ordo
: Convolvulales
Famili
: Convolvulaceae
Genus
: Ipomoea
Spesies
: Ipomoea batotas
Ubi jalar ungu sangat mudah ditemukan di Indonesia karena secara
geografis dan kondisi tanah yang sangat memungkinkan ubi jalar ungu untuk
tumbuh. Kota kota di Indonesia seperti Pandeglang, Malang, Banyuwangi,
Sleman, Tegal hingga kota yang berada di sepanjang jalur pantura memproduksi
ubi jalar ungu untuk dikonsumsi dan diperdagangkan sebagai komoditi yang
cukup menguntungkan. Harga jual ubi jalar ungu relatif lebih tinggi jika
dibandingkan dengan jenis ubi jalar yang lain. Selain itu berbagai macam olahan
dapat dibuat dari ubi jenis ini karena selain dari segi rasa, ubi jalar ungu memiliki
warna yang menarik. Hal ini menyebabkan tingginya produksi ubi jalar ungu di
Indonesia.
Warna khas yang dimiliki ubi jalar ungu berasal dari pigmen alami yang
disebut sebagai antosianin. Perbedaan konsentrasi antosianin menyebabkan
beberapa jenis ubi ungu memiliki gradasi warna yang berbeda pula (Hardoko et
al., 2010).
ANTOSIANIN
Antosianin merupakan pigmen yang memberikan warna merah
keunguan pada sayuran, buah-buahan, dan tanaman bunga. Antosianin merupakan
senyawa flavonoid yang dapat melindungi sel dari sinar ultraviolet (Astawan,
2008). Senyawa antosianin larut dalam air dan aman dikonsumsi sehingga pada
umumnya dimanfaatkan sebagai pewarna alami untuk makanan dan minuman
(Chiste et all, 2010). Selain dapat dimanfaatkan sebagai pewarna alami,
antosianin juga diketahui sebagai antidiabetes dan antioksidan (Sancho dan
Pastore, 2012). Antosianin ubi jalar ungu dilaporkan berpengaruh terhadap
glukosa, status antioksidan dan organ pankreas tikus diabetes yang diinduksi
aloksan (Herawati, et al., 2013). Shan et al. (2009) juga melaporkan bahwa
antosianin yang terdapat pada ubi jalar ungu berfungsi sebagai antioksidan alami.
Senyawa antosianin merupakan gugus glikosida yang terbentuk dari gugus
aglikon dan glikon. Antosianin memiliki struktur dasar, yaitu 2-phenylbenzo

pyrylium yang ditandai oleh adanya dua cincin benzena yang dihubungkan
dengan tiga atom karbon yang membentuk cincin. Gugus aglikon yang menyusun
benzena berupa asil yang terdiri dari senyawa aromatik yang bersifat asam seperti
asam p-kumarat, kafeat, ferulat, sinapat dan galat serta senyawa alifatik yang
bersifat asam seperti asam malonat, asetat, malat suksinat dan oksalat. Sedangkan
gugus gula yang menyusun senyawa antosianin biasanya berupa monosakarida
seperti glukosa, galaktosa, arabinosa dan fruktosa. Molekul gula ini biasanya
terikat pada atom C-3.

Gambar 1. Struktur dasar senyawa antosianin


Namun sifat pewarna alami seperti antosianin dapat terdegradasi karena
beberapa faktor yaitu pH, suhu, struktur, cahaya, oksigen, pelarut, enzim dan ion
logam (He et al., 2010). Dalam larutan, antosianin memiliki lima bentuk
kesetimbangan, bergantung pada pH. Adapun kelima bentuk antosianin yaitu
kation flavilium, basa karbinol, kalkon, basa quinonoidal dan quinonoidal anionik.
Pada pH 1-2 bentuk dominan antosianin berupa kation flavilium, di mana
antosianin berada pada bentuk yang paling stabil dan paling berwarna. Ketika pH
> 4, senyawa antosianin akan berubah menjadi bentuk kalkon yang berwarna
kuning. Semakin tinggi pH, maka warna antosianin akan memudar menjadi biru
(bentuk quinouid) bahkan tidak berwarna (basa karbinol). Oleh sebab itu,
antosianin merupakan senyawa yang stabil pada kondisi asam.
Faktor suhu juga dapat menggeser kesetimbangan antosianin sehingga
antosianin disebut sebagai senyawa yang bersifat thermolabil. Suhu yang terlalu
tinggi dapat mendegradasi ikatan glikosidik pada antosianin sehingga terbentuklah
senyawa senyawa aglikon yang tidak stabil. Selain itu, ikatan pada cincin
aglikon akan terbuka sehingga membentuk gugus karbinol dan kalkon.
Pembentukan kedua gugus ini menyebabkan antosianin menjadi tidak berwarna.
Degradasi ini dapat berlangsung apabila terdapat oksidator yang lebih kuat
sehingga menyebabkan warna senyawa menjadi coklat. Karenanya, dalam
pengolahan antosianin dapat menghasilkan produk yang optimal apabila
dilakukan pada suhu yang tidak terlalu tinggi.

DIABETES MELITUS
Diabetes adalah penyakit gangguan metabolisme di mana glukosa tidak
dapat diubah menjadi energi karena pankreas tidak mampu menghasilkan insulin
atau karena resistensi insulin. Berdasarkan WHO dan American Diabetes
Association (ADA), penggolongan diabetes melitus dibedakan menjadi diabetes
tipe satu, disebabkan oleh autoimmune atau idiopatk dan diabetes tipe dua,
disebabkan oleh resistensi insulin (Barry J. Goldstein, 2007).
Seseorang dapat didiagnosis menderita diabetes apabila kadar glukosa
plasma acak 200mg/dL, kadar glukosa plasma puasa 126 mg/dL, kadar gula
plasma 2 jam setelah tes Oral Glucose Tolerant Test (OGTT) 200 mg/dL dan
pemeriksaan HbA1C 6.5%. Kadar glukosa plasma acak didapat dari
pemeriksaan kadar gula darah secara acak, tanpa memperhatikan kapan penderita
terakhir makan. Kadar glukosa puasa diperiksa dengan mengambil sample darah
ketika penderita tidak mendapat asupan kalori minimal 8 jam. Sedangkan OOGT
didapat dari pemeriksaan kadar gula darah setelah penderita diberi larutan glukosa
khusus. Pengambilan sample darah akan dilakukan sesudah 1 jam dan 2 jam
setelah meminum larutan.
Tabel 1. Kriteria penderita prediabetes dan diabetes
Gula Darah
Two-hour Oral Glucose
A1C (%)
Puasa (mg/dL)
Challenge (mg/dL)
Normal
<100
<140
<5.6
Prediabetes
100 125
140 199
5.7 6.4
Diabetes
>126
>200
6.5
Sumber : Diabetes Management in Primary Care, 2nd edition by Jeff Unger

Penderita diabetes pada umumnya mengalami polifagia (sering makan),


poliuria (sering buang air kecil), polidipsia (sering minum), mengalami penurunan
berat badan yang drastis, sering merasa letih dan lelah, serta menderita
hiperglikemi. Gejala ini disebabkan oleh tingginya kadar glukosa dalam darah
penderita namun tidak dapat diubah menjadi energi.
Pada penderita diabetes melitus tipe-2 terjadi hiperinsulinemia, di mana
kadar insulin dalam darah tinggi akan tetapi, insulin tidak dapat membawa
glukosa masuk ke dalam sel. Hal ini disebabkan oleh tingginya konsentrasi insulin
mengakibatkan reseptor insulin melakukan pengaturan sendiri yang disebut
sebagai down regulation yang selanjutnya menyebabkan densensititasi reseptor
insulin, penurunan aktifasi kinase reseptor dan translokasi glucose transporter.
Mekanisme ini yang selanjutnya disebut sebagai resistensi insulin. Dampak dari
resistensi insulin adalah peningkatan kadar glukosa dalam darah, yang disebut
sebagai hiperglikemi. Tingginya kadar glukosa dalam darah dalam jangka waktu
yang lama akan menyebabkan sel beta pankreas mengalami adaptasi berupa
penurunan sensitifitas sekresi insulin ketika adanya glukosa dalam darah.
Hiperglikemi pada diabetes tipe-2 juga menyebabkan autooksidasi
glukosa, glikasi protein dan aktivasi jalur metabolisme poliol. Hal ini akan
mempercepat pembentukan senyawa radikal bebas yang akan berakibat pada

modifikasi lipid, DNA dan protein di berbagai jaringan. Modifikasi molekuler


tersebut menyebabkan ketidakseimbangan antara antioksidan protektif dan
pemebentukan radikal bebas sehingga terjadi stress oksidatif yang dapat memicu
kerusakan mikrovaskular dan makrovaskular dan berujung pada komplikasi
diabetes. Komplikasi ini dapat dicegah dengan mengatur pola makan, di mana
penderita mengkonsumsi makanan yang tinggi antioksidan untuk meningkatkan
kadar antioksidan protektif dalam tubuh.
Antioksidan secara kimiawi berarti senyawa pemberi elektron. Namun
pada artian biologis, antioksidan berarti senyawa yang meredam dampak negatif
dari oksidasi, termasuk penghambatan kerusakan oksidatif terhadap molekul
target. Pada penderita diabetes tipe-2, radikal bebas yang terbentuk akibat
autooksidasi glukosa dapat memperparah kerusakan sel beta pankreas sehingga
resistensi insulin semakin meningkat.
Pemanfaatan antosianin untuk terapi diabetes tipe-2 ini disebabkan oleh
sifat antioksidan yang dapat menghambat berbagai radikal bebas dengan
mendonasikan elektronnya atau mentransfer atom hidrogen dari gugus hidroksil.
Akibatnya, radikal bebas menjadi lebih stabil dan tidak akan menyerang membran
maupun komponen sel.
METODE EKSTRAKSI ANTOSIANIN
Ekstraksi merupakan proses proses pemisahan bahan dari campurannya.
Ekstraksi memiliki berbagai macam metode, di antaranya yaitu maserasi,
perklorasi, reflux, soxhletasi, digesti, infus, dan dekok. Namun pada proses
ektraksi antosianin dari ubi ungu, lebih tepat bila menggunakan metode maserasi
kinetik. Metode maserasi kinetik dipilih karena masalah efisiensi waktu.
Penggunaan metode maserasi kinetik bisa mempercepat proses ekstraksi.

Gambar 2. Perbandingan penggunaan metode maserasi kinetik (kiri) dan


maserasi klasik (kanan)
Maserasi merupakan proses ekstraksi dengan cara perendaman serbuk
simplisia dalam pelarut polar. Untuk mengekstraksi antosianin diperlukan pelarut
organik seperti etanol. Tujuan penggunaan etanol adalah untuk melarutkan
dinding dan komponen sel tanpa merusak kandungan antosianin karena sifat
antosianin yang stabil pada kondisi asam.
Pada proses ekstrasi antosianin, digunakan proses maserasi kinetik yaitu
proses masterasi yang dilakukan dengan pengadukan secara konstan sehingga

serbuk tidak hanya direndam. Pengadukan ini bertujuan untuk mempercepat


terjadinya proses ekstraksi. Proses maserasi kinetik dianggap lebih
menguntungkan karena proses ini dapat menghindari terjadinya penguraian
senyawa karena panas, hal ini sesuai dengan kelemahan antosianin yang
cenderung termolabil.
Metode maserasi kinetik di mulai dengan perendaman serbuk simplisia
dalam larutan asam-etanol 15% HCl. Suspensi lalu diaduk pada alat penangas air
goyang pada suhu 50C selama sekitar 60 menit. Suspensi kemudian
disentrifugasi selama kurang lebih 15 menit. Setelah itu, supernatan yang
terbentuk dipisahkan dengan metode penyaringan menggunakan kertas saring.
Proses maserasi diulang dua kali kemudian supernatan yang dihasilkan
dikumpulkan dalam botol berkaca gelap. Kemudian supernatan diuapkan
menggunakan evaporator putar pada suhu 40C sampai diperoleh ekstrak
antosianin yang pekat.
METODE PEMBUATAN SEDIAAN KAPSUL DARI ANTOSIANIN
Setelah melalui proses ekstraksi, selanjutnya esktrak antosianin akan
masuk ke proses penyalutan. Hal ini ditujukan untuk melindungi antosianin dari
suhu dan cahaya. Pada penyalutan antosianin digunakan metode mikroenkapsulasi
spray drying.
Mikroenkapsulasi adalah suatu teknik untuk menyalut bahan yang
berukuran sangat kecil dengan diameter rata-rata 15-20 mikron atau kurang dari
setengah diameter rambut manusia (Yoshizawa 2002). Mikrokapsul merupakan
suatu partikel kecil yang mengandung zat aktif atau bahan inti yang dikelilingi
oleh suatu penyalut atau shell. Mikrokapsul terdiri atas 2 bahan utama yaitu bahan
inti dan bahan penyalut (Thies, 1996). Bahan inti merupakan bahan yang nantinya
akan disalut. Bahan inti bisa terdiri dari bahan aktif, bahan tambahan ataupun
bahan pengisi. Pada teknik mikroenkapsulasi, bahan penyalut yang digunakan
harus menghasilkan lapisan yang tipis agar kohesif dan tidak bereaksi terhadap
bahan inti. Teknologi mikroenkapsulasi
dapat melindungi material yang
dienkapsulasi dari banyak faktor seperti suhu, cahaya, perubahan pH, kelembaban,
mikroorganisme, dan juga dari pengaruh oksidasi (Pothakamuryans et al., 1995;
Diziezak, 1988 ).
Teknologi mikroenkapsulasi dengan spray drying merupakan teknologi
yang tepat untuk diterapkan dalam proses pembuatan sediaan berbahan dasar
antosianin karena mikroenkaspsulasi dapat melindungi antosianin dari pengaruh
suhu dan cahaya sehingga sediaan dapat disimpan dalam jangka waktu yang
cukup lama. Spray drying adalah metode enkapsulasi yang paling banyak
digunakan dalam industri makanan. Prosesnya ekonomis dan fleksibel,
menggunakan peralatan yang telah banyak tersedia, dan menghasilkan partikel
dengan kualitas yang baik (Rosenberg et al., 1990 dan Reineccius, 1988). Produk
yang dihasilkan adalah matriks polimer yang tercampur secara homogen yang
menyelimuti materi inti.

Gambar 3. Representasi mikrokapsul: (A) materi inti kontinu yang


dikelilingi oleh pelapis yang kontinu; (B) materi inti terdispersi dalam matriks
pelapis
Tahap mikroenkapsulasi ini dilakukan dengan mengikuti proses
mikroenkapsulasi vitamin C karena sifatnya yang menyerupai antosianin.
Diharapkan proses yang akan diterapkan nantinya akan meminimalisir kerusakan
antosianin. Sebelum proses spray drying dilakukan, ekstrak antosianin harus
direhidrasi terlebih dahulu. Ekstrak antosianin kemudian ditambahkan bahan
pengisi berupa campuran maltodekstrin dan capsul dengan perbandingan 1:1
sebanyak 10 % dari volume ekstrak. Penambahan maltodekstrin bertujuan untuk
melindungi antosianin dari proses oksidasi (Reineccius, 1991), sedangkan
penambahan capsul bertujuan untuk mengikat komponen-komponen yang akan
menjadi volatil pada saat proses spray drying dilakukan dan menstabilkan emulsi
yang terbentuk (Marchal et al., 1999). Selanjutnya, campuran tersebut perlu
diemulsikan menjadi suatu koloid dengan cara pemanasan singkat. Karena ekstrak
antosianin telah terenkapsulasi, maka ekstrak antosianin dapat dikeringkan pada
suhu tinggi tanpa khawatir akan terdegradasi. Setelah melewati proses
pengeringan dan kristalisasi, ekstrak akan berubah menjadi serbuk kering yang
siap digunakan. Serbuk kering yang telah melewati proses mikroenkapsulasi
kemudian dikemas dalam kapsul gelatin keras.
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai