Anda di halaman 1dari 2

Jujur , saya nyesel sehabis nonton pilemnya!

Sudah lama - tepatnya kelas 2 SMP- 'Tenggelamnya


Kapal Van Der Wijck' kuingat kuat sebagai karya Hamka, selain Dibawah Lindungan Ka'bah. Ya
cuma sebatas menghapal pengarang dan judul karyanya. Tak lebih dan tak kurang. Hanya
sekedar untuk mengikuti prosesi tanya jawab belajar mengajar bahasa Indonesia. "Siapa penulis
'Layar Terkembang'?" Murid-murid serentak menjawab: "Sutan Takdir Alisyahbana!". "Sengsara
Membawa Nikmat?" Muridpun berteriak lantang,"Tulis Sutan Sati bu Guru..!". "Kalo Aman
Datuk Madjoindo?" "Si Doel Anak Djakarta ...!" Begitulah, kami hanya diajarkan untuk hapal
pengarang dan karyanya saja. Berikut klusterisasi pengarangnya ke dalam kelompok-kelompok
sempalan macam pujangga lama, angkatan balai pustaka, pujangga baru, angkatan-angkatan
periode berikutnya. Kayak kritikus sastra saja kami saat itu bila sudah hapal diluar kepala semua
karya berikut penulisnya. Membacanya? Nah itulah penyesalan saya! Ternyata saya duluan
nonton pilemnya. Itupun pake acara terlambat pula. Pas adegan berteduh di warung sehabis
mengaji itulah cerita cinta bermula (versi masbuknya). Karya sastra yang sebenarnya
diperuntukkan sebagai kritik terhadap tradisi Minang saat itu seperti perlakuan terhadap orang
berketurunan blasteran dan peran perempuan dalam masyarakat, seolah menemukan relevansinya
dalam kehidupan sekarang. Apalagi adegan yang diramu dengan campuran tata artistik dan
musik yang ciamik, mampu menggali simpanan emosional penonton. Setidaknya ada 4 adegan
yang membuat penonton di kanan, kiri, dan bawah saya terisak menahan tangis (kursi favorit
saya, baris paling atas, tengah, bersebelahan langsung dengan anak tangga):
1. Saat Hayati mengantar kepergian Zainudin dari Batipuh. Romantisme yang mengharu biru
muncul dalam percakapan melayu yang puitis. Sumpah kedua insan yang sedang di mabuk cinta
muncul berbalutkan sumpah sehidup semati. Kerudung yang menjadi simbol kehormatan
perempuan Minang pun dilungsurkan Hayati untuk Zainudin, sebagai pengikat janji. Seolah
keduanya sudah pasti menjadi suami istri. "Kalau demikian, hari inilah saya terangkan di
hadapanmu, di hadapan cahaya matahari yang baru naik, di hadapan roh ibu bapa yang sudah
sama-sama berkalang tanah, saya katakan: Bahwa jiwaku telah diisi sepenuh-penuhnya oleh
cinta kepadamu. Cintaku kepadamu telah memenuhi hatiku, telah terjadi sebagai nyawa dan
badan adanya. Dan selalu saya berkata, biar Tuhan mendengarkan bahwa engkaulah yang akan
menjadi suamiku kelak, jika tidak sampai di dunia, biarlah di akhirat. Dan saya tiadakan khianat
kepada janjiku, tidak akan berdusta di hadapan Tuhan, dan di hadapan arwah nenek moyangku,"
ujar Hayati. "Berat sekali sumpahmu Hayati!" "Tidak berat, demikianlah yang sebenarnya, dan
jika engkau kekasihku, berjalan jauh atau dekat sekalipun, entah tidak kembali dalam masa
setahun, masa dua tahun, masa sepuluh tahun, entah hitam negeri Batipuh ini baru engkau
kembali kemari, namun saya tetap menunggumu. Carilah bahagia dan keberuntungan kita
kemana jua pun, namun saya tetap untukmu. Jika kita bertemu pula, saya akan tetap bersih dan
suci untukmu, kekasihku, untukmu... Pelajaran pertama: Jangan sekali-kali bersumpah atas nama
cinta. Meski betapa besar sayang dan cinta kita pada pasangan. Karena cinta bukanlah seperti
sinetron Indonesia. Yang mudah ditebak endingnya. 2. Korespondensi Hayati dan Zainudin
tatkala harus memutuskan pinangan Aziz. Tuan pilih sajalah istri yang lebih cantik dan lebih
kaya daripada saya, dan marilah kita tinggal bersahabat buat selamanya. Kepada Aziz tak usah
Tuan berkecil hati, dia tak salah dalam perkara ini. Tetapi sayalah yang telah mengambil putusan
yang tetap buat bersuami dia; lawan saya musyawarat ialah hati saya sendiri, sehingga saya
terima tawaran ninik mamak saya. Dan saya harap Tuan lupakan segala hal yang telah berlalu,
maafkan segala kesalahan dan keteledoran saya, sama kita pandang hal yang dahulu seakan-akan
tidak ada saja. Pelajaran kedua: berkompromilah dengan realitas. Karena kompromi adalah
realitas itu sendiri. Meskipun dibungkus dengan pertimbangan mudharat-manfaat, kompromi

sudah pasti mengorbankan idealitas. Jangan menyalahkan pihak yang telah mencederai
idealitasnya. Tapi bayangkan bila anda sendiri yang berada pada posisi harus kompromi dengan
realitas. Meskipun untuk itu terasa menyakitkan pihak lain. 3. Tergoncangnya jiwa Zainudin , tak
bisa menerima perkawinan Hayati-Aziz. Tapi penonton sebelah kanan saya keterlaluan. Mereka
memaknai adegan guncangan jiwa Zainudin dengan tertawa. Hanya dia yang tertawa. Mungkin
sense of humornya terlalu tinggi. Padahal adegannya adalah Zainudin yang lemah lunglai, dan
terbangun kala mendengar suara Hayati. Dengan pandangan kosong zainudin pun meratap iba:
"Oh, ya, Hayati! Kau datang tepat pada waktunya! Telah saya sediakan rumah buat tempat
tinggal kita. Sudah saya cukupkan alat-alat yang perlu dalam rumah itu. Nanti saya ambil
pakaian hitam saya, pakaian pengantin, ini Tuan Kadi (sambil mengisyaratkan matanya kepada
dokter), sudah lama menunggu kedatanganmu untuk melangsungkan ijab kabul. Sehabis nikah
kita akan berangkat ke Mengkasar, kita akan melihatn Butta Jum Pandang, akan ziarah ke
kuburan ayah bundaku! Kita letakan disana bunga berkarang! Cantiknya kau hari ini! Baju
berkurung begini memang sangat saya setujui! Bukankah dahulu seketika kita mula-mula
bertemu, kau memakai baju berkurung juga! Ini selendang, selendang sutra putih, memang ini
pakaian pengantin model sekarang" Pelajaran ketiga: Lupakan lah cinta yang tidak saling
memiliki. Omong kosong dengan mereka yang berkata:"Kurelakan engkau pergi dengannya.
Namun cintaku tetaplah untukmu". Cinta harus saling memiliki. Carilah cinta yang lain, bila
cinta yang engkau harap, ternyata telah menjadi milik orang lain. Namun janganlah mencari
cinta lain, bila belum tumbuh cinta pada sesuatu yang telah kau miliki. Karena cinta bagaikan
bunga karang. Ia bisa tumbuh dan berkembang. 4. Egoisme Zainudin, ditengah kepasrahan
Hayati. Sepeninggal aziz, menjandalah Hayati. Rasa bersalah mengkhianati janjinya, mendorong
Hayati menemui Zainudin. Bagaikan menemukan momentumnya, Zainudin menutup pintu maaf
Hayati dan berniat mengirimnya pulang ke Batipuh. "Mengapa engkau menjawab sekejam itu
kepadaku, Zainuddin? Lekas sekalikah pupus dari hatimu keadaan kita? Jangan kau jatuhkan
kepadaku hukuman yang begitu ngeri! Kasihanilah seorang perempuan yang ditimpa celaka
berganti-ganti ini." Zainuddin menekur, sambil mengeluh dia berkata,"Ya, demikianlah
perempuan, dia hanya ingat kekejaman orang kepada dirinya, walaupun kecil, dan dia lupa
kekejamannya sendiri kepada orang lain walaupun bagaimana besarnya." "Lupakah kau,"
katanya pula,"siapakah di antara kita yang kejam? Bukankah kau telah berjanji, seketika saya
diusir ninik mamakmu, sebab saya tak tentu asal, orang hina dina, tidak tulen Minangkabau.
Ketika itu kau antarkan daku ke simpang jalan. Kau berjanji akan menunggu kedatanganku,
meskipun akan berapa lamanya. Tetapi kemudian kau beroleh ganti yang lebih gagah, kaya raya,
berbangsa beradat, berlembaga berketurunan. Kau kawin dengan dia, kau sendiri memberi
keterangan bahwa perkawinan itu bukan paksaan orang lain, tetapi pilihan kau sendiri. Hampir
saya mati menanggung cinta, Hayati! Dua bulan lamanya saya tergeletak di atas tempat tidur.
Kau jenguk saya dalam sakitku, memperlihatkan kepadaku bahwa tangan kau telah berinai,
bahwa kau telah kepunyaan orang lain. Pelajaran 4: Ujian kesabarannya sebenarnya bukan pada
saat kita diremehkan, disalahkan, atau dihinakan. Tapi ujian kesabaran yang sesungguhnya
adalah ketika kita punya kesempatan untuk marah, untuk menghina , meremehkan bahkan
memukulnya, namun tidak kita lakukan. Jadi ingat nasihat kawan tatkala rasa marah membuncah
pada seseorang: Tulis rasa marahmu dengan sepenuh hati; Pilih kosakata yang menurutmu paling
menyakitkan hati dan memberimu rasa
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/juliantosupangat/pelajaran-dari-tenggelamnyakapal-van-der-wijck_552df3036ea834da7c8b4597

Anda mungkin juga menyukai