sudah pasti mengorbankan idealitas. Jangan menyalahkan pihak yang telah mencederai
idealitasnya. Tapi bayangkan bila anda sendiri yang berada pada posisi harus kompromi dengan
realitas. Meskipun untuk itu terasa menyakitkan pihak lain. 3. Tergoncangnya jiwa Zainudin , tak
bisa menerima perkawinan Hayati-Aziz. Tapi penonton sebelah kanan saya keterlaluan. Mereka
memaknai adegan guncangan jiwa Zainudin dengan tertawa. Hanya dia yang tertawa. Mungkin
sense of humornya terlalu tinggi. Padahal adegannya adalah Zainudin yang lemah lunglai, dan
terbangun kala mendengar suara Hayati. Dengan pandangan kosong zainudin pun meratap iba:
"Oh, ya, Hayati! Kau datang tepat pada waktunya! Telah saya sediakan rumah buat tempat
tinggal kita. Sudah saya cukupkan alat-alat yang perlu dalam rumah itu. Nanti saya ambil
pakaian hitam saya, pakaian pengantin, ini Tuan Kadi (sambil mengisyaratkan matanya kepada
dokter), sudah lama menunggu kedatanganmu untuk melangsungkan ijab kabul. Sehabis nikah
kita akan berangkat ke Mengkasar, kita akan melihatn Butta Jum Pandang, akan ziarah ke
kuburan ayah bundaku! Kita letakan disana bunga berkarang! Cantiknya kau hari ini! Baju
berkurung begini memang sangat saya setujui! Bukankah dahulu seketika kita mula-mula
bertemu, kau memakai baju berkurung juga! Ini selendang, selendang sutra putih, memang ini
pakaian pengantin model sekarang" Pelajaran ketiga: Lupakan lah cinta yang tidak saling
memiliki. Omong kosong dengan mereka yang berkata:"Kurelakan engkau pergi dengannya.
Namun cintaku tetaplah untukmu". Cinta harus saling memiliki. Carilah cinta yang lain, bila
cinta yang engkau harap, ternyata telah menjadi milik orang lain. Namun janganlah mencari
cinta lain, bila belum tumbuh cinta pada sesuatu yang telah kau miliki. Karena cinta bagaikan
bunga karang. Ia bisa tumbuh dan berkembang. 4. Egoisme Zainudin, ditengah kepasrahan
Hayati. Sepeninggal aziz, menjandalah Hayati. Rasa bersalah mengkhianati janjinya, mendorong
Hayati menemui Zainudin. Bagaikan menemukan momentumnya, Zainudin menutup pintu maaf
Hayati dan berniat mengirimnya pulang ke Batipuh. "Mengapa engkau menjawab sekejam itu
kepadaku, Zainuddin? Lekas sekalikah pupus dari hatimu keadaan kita? Jangan kau jatuhkan
kepadaku hukuman yang begitu ngeri! Kasihanilah seorang perempuan yang ditimpa celaka
berganti-ganti ini." Zainuddin menekur, sambil mengeluh dia berkata,"Ya, demikianlah
perempuan, dia hanya ingat kekejaman orang kepada dirinya, walaupun kecil, dan dia lupa
kekejamannya sendiri kepada orang lain walaupun bagaimana besarnya." "Lupakah kau,"
katanya pula,"siapakah di antara kita yang kejam? Bukankah kau telah berjanji, seketika saya
diusir ninik mamakmu, sebab saya tak tentu asal, orang hina dina, tidak tulen Minangkabau.
Ketika itu kau antarkan daku ke simpang jalan. Kau berjanji akan menunggu kedatanganku,
meskipun akan berapa lamanya. Tetapi kemudian kau beroleh ganti yang lebih gagah, kaya raya,
berbangsa beradat, berlembaga berketurunan. Kau kawin dengan dia, kau sendiri memberi
keterangan bahwa perkawinan itu bukan paksaan orang lain, tetapi pilihan kau sendiri. Hampir
saya mati menanggung cinta, Hayati! Dua bulan lamanya saya tergeletak di atas tempat tidur.
Kau jenguk saya dalam sakitku, memperlihatkan kepadaku bahwa tangan kau telah berinai,
bahwa kau telah kepunyaan orang lain. Pelajaran 4: Ujian kesabarannya sebenarnya bukan pada
saat kita diremehkan, disalahkan, atau dihinakan. Tapi ujian kesabaran yang sesungguhnya
adalah ketika kita punya kesempatan untuk marah, untuk menghina , meremehkan bahkan
memukulnya, namun tidak kita lakukan. Jadi ingat nasihat kawan tatkala rasa marah membuncah
pada seseorang: Tulis rasa marahmu dengan sepenuh hati; Pilih kosakata yang menurutmu paling
menyakitkan hati dan memberimu rasa
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/juliantosupangat/pelajaran-dari-tenggelamnyakapal-van-der-wijck_552df3036ea834da7c8b4597