Anda di halaman 1dari 22

perbedaan mediasi advokasi litigasi dan

non litigasi
21 Desember 2011 pukul 11:27

PERBEDAAN MEDIASI LITIGASI DAN NON LITIGASI,


PERBEDAAN ADVOKASI LITIGASI DAN NON LITIGASI

1. PERBEDAAN MEDIASI LITIGASI DAN NON LITIGASI

1. Pengertian Mediasi
Mediasi adalah cara penyelesaian dengan melibatkan pihak ketiga, yaitu pihak
ketiga yang dapat diterima (accertable) Artinya para pihak yang bersengketa
mengizinkan pihak ketiga untuk membantu para rihak yang bersengketa dan
membantu para pihak untuk mencapai penyenyelesaian. Meskipun demikianak
septabilitas tidak berarti- para pihak selalu berkehendak untuk melakukan atau
menerima sepenuhnya apa yang dikemukakan pihak ketiga. Mediasi menurut PerMa
No.2 Tahun 2003 : Yaitu suatu penyelesaian sengketa melalui proses perundingan
para pihak dibantu oleh mediator.

1. Mediasi Litigasi

Setiap perkara perdata dilatar belakangi oleh ketidak puasan seseorang atau
beberapa orang (pihak penggugat) terhadap seseorang atau beberapa orang lain
(pihak tergugat), yang menurut pihak penggugat ada hak-haknya yang telah
dilanggar oleh pihak tergugat, atau ada kewajiban tergugat kepada penggugat yang
tidak dilaksanakan oleh tergugat.
Penggugat karena telah berkali-kali meminta haknya kepada tergugat, tidak juga
berhasil kemudian mengajukan gugatan ke Pengadilan, dengan harapan Hakim
dapat mengembalikan hak penggugat atau menghukum tergugat memenuhi
kewajibannya.
Kemudian Hakim dibebani kewajiban untuk dapat mendamaikan para pihak melalui
jalur mediasi, dan boleh jadi para pihak menunjuk mediator yang bukan Hakim atau
orang lain di luar Pengadilan.
Lain hal dengan Pengadilan di Jepang, masyarakat lebih memilih mengajukan
permohonan minta didamaikan oleh Pengadilan (Permohonan konsiliasi/Cote) bukan
mengajukan gugatan, dan umumnya berhasil. Persidangan konsiliasi/Cote
dipimpinoleh seorang Hakim dan didampingi oleh dua orang konsiliator, dua orang
konsiliator tersebut ada diantaranya pensiunan Hakim, atau Pengacara yang
kawakan, atau dokter ahli, atau ahli pertanahan, tokoh masyarakat, dlsb. Para

konsiliator diberi honor oleh Pemerintah Jepang. Ada juga perdamaian yang terjadi di
Pengadilan Jepang berdasarkan gugatan, dan hasil perdamaiannya disebut Wakai.
Mahkamah Agung dengan PERMA Nomor 2 Tahun 2003 memakai system mediasi, hal
itu yang akan dibahas dalam Bab berikutnya.
Pengadilan telah memanggil pihak-pihak untuk bersidang, kemudian para pihak atau
wakilnya datang menghadap, maka Ketua Majelis Hakim wajib menunda persidangan
guna menempuh perdamaian dengan para pihak menunjuk mediator, boleh jadi
kesepakatan para pihak atau wakilnya untuk menunjuk salah seorang Hakim di
Pengadilan atau Panitera / Panitera Pengganti, atau orang lain di luar daftar mediator
yang ada di Pengadilan. Perihal tentang mediasi adalah menggali kehendak UU
(Pasal 30 HIR / Pasal 154 R.Bg)
Praktek yang telah lama berjalan, adalah Upaya Majelis Hakim menasehati pihakpihak berperkara dalam persidangan pertama tersebut, kemudian menawarkan
kepada para pihak atau wakilnya agar mau menyelesaikan sengketanya secara
damai. Proses menasehati dan menawarkan perdamaian inilah yang menurut
pandangan Mahkamah Agung, sebagai upaya yang belum sungguh-sungguh
pelaksanaannya oleh Majelis Hakim Pengadilan Tingkat Pertama, dan oleh karenanya
lahirlah PERMA Nomor 2 Tahun 2003 tersebut. Mediasi adalah penyelesaian
sengketa melalui proses perundingan para pihak dengan dibantu oleh mediator.
Dari pengertian mediasi sebagaimana tersebut diatas, mengandung makna, yakni
para pihak diharapkan dapat mencapai kesepakatan yang menguntungkan bagi
kedua belah pihak melalui jalur perundingan dengan dibantu oleh seorang mediator.
Dengan adanya kesepakatan yang telah dibuat oleh kedua belah pihak diharapkan
dapat meminimalisir terbuangnya waktu serta biaya yang akan dikeluarkan oleh
mereka dalam menyelesaikan sengketa.
Beberapa hal yang harus mendapat perhatian penuh dari pimpinan pengadilan,
antara lain :

Telah memiliki daftar mediator;


Menyediakan tempat untuk pelaksanaan mediasi;

Pada prinsipnya apabila para pihak atau wakilnya hadir dalam persidangan pertama,
kemudian majelis hakim berupaya menasehati dan mengarahkan para pihak agar
memilih penyelesaian secara damai, maka jika para pihak sepakat untuk berdamai
dan minta kepada Pengadilan agar menerbitkan akta perdamaian, Pengadilan cukup
sekali bersidang pada hari itu saja dengan produk akta perdamaian. Sekiranya para
pihak sepakat untuk membuat perdamaian sendiri di luar persidangan dan
penggugat mencabut gugatannya, hal tersebut juga dibolehkan. Bedanya produk
Pengadilan berupa akta perdamaian, sengketa kedua belah pihak benar-benar
berakhir, sudah tidak dimungkinkan lagi untuk diajukan kembali ke Pengadilan
manapun, baik tingkat pertama, banding maupun kasasi, hal demikianlah yang
dimaksudkan dengan pasal 130 ayat (1) HIR / pasal 154 ayat (1) R.Bg jo. Pasal 130
ayat (3) / pasal 154 ayat (3) R.Bg jo. Pasal 43 ayat (1) UU Nomor 4 Tahun 1985.

Sedangkan perdamaian antara kedua belah pihak yang terjadi di luar persidangan
pengadilan, biasa disebut dengan istilah dading. Perdamaian dading mengikat
kedua belah pihak yang berdamai, diharapkan keduanya tunduk dan mematuhi isi
kesepakatan yang mereka perbuat, tetapi jika salah satupihak tidak mau
melaksanakan isi kesepakatan tersebut, maka pihak yang merasa dirugikan tidak
dapat memohon kepada Pengadilan untuk dieksekusi, dan sekalipun surat
perdamaian tersebut dibuat dihadapan Notaris. Yang merasa dirugikan dapat
mengajukan gugatan baru.
Segala perdamaian diantara para pihak mempunyai suatu kekuatan suatu putusan
Hakim dalam hukum yang penghabisan, tidak dapatlah dibantah dengan alasan
kekhilafan mengenai hukum atau dengan alasan salah satu pihak dirugikan (Pasal
1858 KUHPerdata).
Bila upaya perdamaian tersebut tidak berhasil, barulah ditempuh upaya mediasi :
Ketua atau Anggota Majelis tidak diperbolehkan bertindak sebagai mediator.

Problemnya : di lingkungan Peradilan Agama, Hakim masih sangat terbatas, para


pihak sepakat Hakim A lah yang mereka sukai sebagai penengah, padahal Hakim A
adalah Ketua atau Anggota Majelis perkara tersebut. Perlu ada pengecualian untuk
Pengadilan Agama yang masih kekurangan tenaga Hakim.
Mediator harus telah memiliki sertifikat.

Problemnya : persyaratan tersebut tidak tercantum dalam definisi mediator. Pasal 1


ayat (5) menyatakan :Mediator adalah pihak yang bersifat netral dan tidak
memihak, yang berfungsi membantu para pihak dalam mencari berbagai
kemungkinan penyelesaian sengketa. Menurut hemat penulis, upaya perdamaian
yang telah dicanangkan sejak Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002,
kemudian diganti dengan PERMA Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan, perlu segera ditindaklanjuti dengan mempedomani PERMA tersebut, dan
ketentuan keharusan menunggu adanya pensertifikatan, justru menghambat
pelaksanaan mediasi, perlu adanya terobosan bagi Pengadilan guna mengatasi
hambatan tersebut, dengan berpatokan kepada definisi mediator tersebut diatas.
Adapun beberapa prinsip dari lembaga mediasi, adalah:
1. Pada prinsipnya mediasi bersifat sukarela

Pada prinsipnya inisiatif pilihan penyelesaian sengketa melalui mediasi tunduk pada
kesepakatan para pihak. Hal ini dapat dilihat dari sifat kekuatan mengikat dari
kesepakatan hasil mediasi didasarkan pada kekuatan kesepakatan berdasarkan Pasal
1338 KUHPerdata. Dengan demikian pada prinsipnya pilihan mediasi tunduk pada
kehendak atau pilihan bebas para pihak yang bersengketa. Mediasi tidak bisa
dilaksanakan apabila salah satu pihak saja yang menginginkannya.
Pengertian sukarela dalam proses mediasi juga ditujukan pada kesepakatan
penyelesaian. Meskipun para pihak telah memilih mediasi sebagai cara penyelesaian
sengketa mereka, namun tidak ada kewajiban bagi mereka untuk menghasilkan
kesepakatan dalam proses mediasi tersebut. Sifat sukarela yang demikian didukung

fakta bahwa mediator yang menengahi sengketa para pihak hanya memiliki peran
untuk membantu para pihak menemukan solusi yang terbaik atas sengketa yang
dihadapi para pihak. Mediator tidak memiliki kewenangan untuk memutuskan
sengketa yang bersangkutan seperti layaknya seorang hakim atau arbiter. Dengan
demikian tidak ada paksaan bagi para pihak untuk menyelesaikan sengketa mereka
dengan cara mediasi.
Dalam hukum di Indonesia, praktek mediasi pada umumnya juga didasarkan pada
pilihan sukarela para pihak yang bersengketa. Dalam konteks sengketa konsumen
pengguna mediasi bersifat sukarela sebagaimana diatur dalam pasal 45 ayat (2) UU
No. 8 Tahun 1999 yang berbunyi:
Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar
pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.
1. Lingkup sengketa pada prinsipnya bersifat keperdataan

Jika dilihat dari berbagai peraturan setingkat Undang-undang yang mengatur


tentang mediasi di Indonesia dapat disimpulkan bahwa pada prinsipnya sengketasengketa yang dapat diselesaikan melalui mediasi adalah sengketa keperdataan.
Pasal 30 ayat (2) UU No. 23 Tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup
menyebutkan bahwa penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak berlaku
terhadap tindak pidana lingkungan hidup. Demikian pula pada pasal 75 ayat (1) UU
No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan sebagaimana dirubah dengan UU No. 19
Tahun 2004 mengatakan penyelesaian sengketa kehutanan di luar pengadilan tidak
berlaku terhadap tindak pidana sebagaimana diatur dalam UU kehutanan tersebut.
UU No. 30 Tahun 1999 meskipun tidak tegas seperti kedua UU terdahulu, namun dari
ketentuan pasal 5 ayat (1) berbunyi: sengketa yang dapat diselesaikan melalui
arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut
hukum dan perundang-undangan dikuasai oleh pihak yang bersengketa, dapat
dipahami bahwa sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah
sengketa perdagangan dan sengketa hak yang bersifat keperdataan saja.
1. Proses sederhana

Sifat sukarela dalam mediasi memberikan keleluasaan pada pihak untuk


menentukan sendiri mekanisme penyelesaian sengketa mediasi yang mereka
inginkan. Dengan cara ini, para pihak yang bersengketa tidak terperangkap dengan
formalitas acara sebaimana dalam proses litigasi. Para pihak dapat menentukan
cara-cara yang lebih sederhana dibandingkan dengan proses beracara formal di
Pengadilan. Jika penyelesaian sengketa melalui litigasi dapat selesai bertahun-tahun,
jika kasus terus naik banding, kasasi, sedangkan pilihan penyelesaian sengketa
melalui mediasi lebih singkat, karena tidak terdapat banding atau bentuk lainnya.
Putusan bersifat final and binding yang artinya putusan tersebut bersifat inkracht
atau mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Istilqh final berarti putusan tersebut
tidak membutuhkan upaya hukum lanjutan. Pengertian mengikat atau Binding

adalah memberikan beban kewajiban hukum dan menuntut kepatuhan dari subjek
hukum. Di dalam Hukum Acara Perdata dikenal teori res adjudicate pro veritare
habetur, yang artinya apabila suatu putusan sudah tidak mungkin diajukan upaya
hukum, maka dengan sendirinya putusan tersebut telah mempunyai kekuatan
hukum yang tetap (inkracht van gewijsde) dan oleh karenanya putusan tersebut
mengikat para pihak yang bersengketa.
Sebagai konsekuensi cara yang lebih sederhana ini, maka mediasi sering dianggap
lebih murah dan tidak banyak makan waktu jika dibandingkan dengan proses litigasi
atau berperkara di Pengadilan.
1. Proses mediasi tetap menjaga kerahasiaan sengketa para pihak
Mediasi dilaksanakan secara tertutup sehingga tidak setiap orang dapat menghindari
sessi-sessi perundingan mediasi. Hal ini berbeda dengan badan peradilan dimana
sidang umumnya dibuka untuk umum. Sifat kerahasiaan dari proses mediasi
merupakan daya tarik tersendiri, Karena para pihak yang bersengketa pada
dasarnya tidak suka jika persoalan yang mereka hadapi dipublikasikan kepada
umum.
1. Mediator bersifat menengahi

Dalam sebuah proses mediasi, mediator menjalankan peran untuk menengahi para
pihak yang bersengketa. Peran ini diwujudkan melalui tugas mediator yang secara
aktif membantu para pihak dalam memberikan pemahamannya yang benar tentang
sengketa yang mereka hadapi dan memberikan alternative solusi yang terbaik bagi
penyelesaian sengketa diajukan mediator sepenuhnya berada dan ditentukan sendiri
oleh kesepakatan para pihak yang bersengketa. Mediator tidak dapat memaksakan
gagasannya sebagai penyelesaian sengketa yang harus dipatuhi.
Prinsip ini kemudian menuntut mediator adalah orang yang memiliki pengetahuan
yang cukup luas tentang bidang-bidang terkait yang dipersengketakan oleh para
pihak.
Bila diperhatikan berbagai macam cara untuk penyelesaian sengketa memiliki
keunggulan dan kelemahan masing-masing, misalnya pencapaian consensus
bersama yang terjadi dalam Hukum Adat Indonesia, di samping menyelesaikan
sengketa tertentu, juga membantu membangun dan melindungi komunitas, tetapi
kadang kala yang muncul dalam upaya untuk memperoleh kesepakatan hanya
berupa bentuk pemaksaan yang terselubung, yaitu para pihak yang bersengketa
dipaksa menyetujui demi kepentingan pihak komunitas. Pada beberapa kasus seperti
ini, kebutuhan dan kepentingan pihak yang bersengketa mungkin tidak terpenuhi
sama sekali. Hal ini tentunya merugikan pihak yang bersengketa.
Tugas mediator telah diatur di dalam Bab III PERMA Nomor 2 Tahun 2003, ada
beberapa hal yang tidak diatur di daalam PERMA. Menurut hemat penulis perlu
ditempuh oleh para mediator, yaitu antara lain:

Tugas pertama seorang mediator: adalah memberikan nasehat dan mengarahkan


para pihak atau wakilnya agar mau menyelesaikan sengketanya secara damai,
setelah selesai memberikannasehat atau pengarahan, kemudian pihak tergugat
dipersilahkan menunggu di luar ruangan dan mediator melanjutkan dengan
memberikan kesempatan kepada pihak penggugat atau kuasanya mengungkapkan
sejelas-jelasnya permasalahan yang menjadi sengketa sejak awal hingga keadaan
yang sekarang, kemudian mediator memberikan pandangannya bagaimana
sebaiknya mengatasi permasalahan tersebut sehingga pihak penggugat tidak
dirugikan dan pihak tergugat juga diberi kemudahan-kemudahan memenuhi
tuntutan tersebut. Kemudian penggugat disuruh menunggu di luar dan tergugat atau
kuasanya dipanggil masuk, mediator mempersilahkan tergugat memberikan
keterangannya sehubungan dengan adanya tuntutan pihak penggugat. Bila ada halhal yang janggal atau kurang jelas keterangan tergugat mediator mengajukan
pertanyaan- pertanyaan atau minta kejelasan dari tergugat tentang hal-hal yang
belum ditanggapi oleh tergugat, setelah selesai, mediator menawarkan beberapa
solusi agar sengketa tersebut dapat selesai secara damai.
Tugas kedua seorang mediator: adalah memanggil kedua belah pihak memasuki
ruang mediasi, mediator mempersilahkan pihak penggugat atau kuasanya
mengajukan poin-poin tuntutannya dan bila ada solusi damai yang ditawarkannya
hendaknya diajukan secara tertulis, bila ada hal yang dianggap mediator belum
konkrit, mediator meminta agar penggugat mengulangi dan menjelaskan hal
tersebut. Selanjutnya agar tergugat memberikan tanggapannya serta solusi damai
yang ditawarkannya secara tertulis, dan mediator meminta kejelasan hal-hal yang
dianggap kurang jelas.
Tugas ketiga seorang mediator: adalah mengelompokkan bagian-bagian yang telah
disepakati, bila semua bagian telah disepakati berarti mediator berhasil
mendamaikan para pihak, bila masih ada bagian yang belum disepakati maka
pertemuan dilanjutkan pada hari dan tanggal yang telah disepakati bersama, dan
mediator mengingatkan kepada para pihak untuk berfikir kembali dan mengajukan
tawaran jalan keluar atas hal-hal yang belum disepakati tersebut secara tertulis dan
diajukan kepada mediator pada hari dan tanggal yang telah disepakati tersebut.
Prosedur Mediasi di pengadilan
Peraturan Mahkamah Agung RI. No.2 Tahun 2003 Tentang Prosedur Mediasi di
pengadilan, konsideranya adalah; untuk mengurangi penumpukan perkara,
merupakan salah satu cara menyelesaikan perkara lebih cepat dan murah,
bersesuian dengan Pasal 130 HIR atau pasal P 153 RBg.
Sifat Mediasi :
1. Wajib (Mandatory) atas seluruh perkara perdata yang diajukan kepengadilan
Tk.1
2. Hakim mewajibkan para pihak menempuh lebih dahulu proses mediasi;
3. Hakim wajib memunda siadang dan memberikan kesempatan para pihak
untuk mediasi;
4. Hakim wajib memberikan penjelasan ttg prosedur mediasi dan biayanya;

5. Apabila para pihak diwakili Penasehat Hukum maka setriap keputusan yang
diambil harus memperoleh persetujuan tertulis dari para pihak;
6. Proses mediasi pada dasarnya tidak bersifat terbuka untu umum, kecuali para
pihak menghendaki lain, sedangkan mediasi untuk kepentingan publik
terbuka untuk umum.
Hak memilih mediator oleh para pihak :
1. Mediator ditunjuk (disepakati) oleh para pihak, dapat dari dalam peradilan
(hakim) yang sudah mendapat sertifikat sebagai mediator, atau pihak dari
luar pengadilan yang sudah bersetrifikat;
2. Jika para pihak dapat sepakat dalam memilih mediator maka ketua majelis
hakim dapat menetapkan menunjuk mediator yang terdaftar dalam PN
tersebut;
3. Waktu paling lama satu hari kerja setelah sidang pertama;
4. Ketua atau anggota majelis hakim di larang sebagai mediator
Kewajiban Mediator :
1. Mediator wajib menyusin jadwal mediasi;
2. Mediator wajib mendorong dan menelurusi serta mengali kepentingan para
pihak;
3. Mediator wajib mencari berbagi pilihan penyelesain;
4. Mediator wajib merumuskan kesepakatan secara tertulis;
5. Mediator wajib memuat klausa pencabutan perkara;
6. Mediator wajib memeriksa kesepakan untuk menghindari jika ada klausa yang
bertentangam dengan hukum;
7. Setelah 22 hari melalui mediasi tidak berhasil, maka mediator wajib
menyatakan secara tertulis bagwa mediasi telah gagal dan memberikan
pemberitahuan kepada majelis hakim;
8. Jika mediasi gagal, maka semua fotokopi, notulen, catatan mediator wajib
dimusnahkan
Waktu dan Tempat Mediasi :
1. Paling lama 30 hari, bagi mediator di luar PN dapat di perpanjang;
2. 22 hari setelah ditunjuknya mediator;
3. 7 hari setelah mediator ditunjuk para pihak wajib menyerahkan fotokopi
dokumen perkara (duduk perkara, susrt-surat, dll );
4. Mediasi dapat diselengarakan disalah satu ruangan pengadialan atau tempat
lain yang disepakati para pihak

Hal-hal lain yang perlu di perhatikan :


1. Para pihak dapat di dampingi oleh penasehat hukum
2. Para pihak wajib menhadap kembali kepada majelis haim yang memeriksa
perkara;
3. Kesepakatan hasil mediasi di tandatangani oleh para pihak dan dapat
dikukuhkan majelis hakim sebagai akta perdamaian;
4. Mediator dapat melakukan kaukus;
5. Mediator dengan kesepakatan para pihak dapat mengundang ahli;
6. Jika mediasi gagal, maka pernyataan dan pengakuan para pihak tidak dapat
digunakan sebagai alat bukti persidangan;
7. Mediator tidak dapat dijadikan saksi di pengadilan;
8. Mediasi di pengadilan tidak di pungut biaya, sedangkan di tempat lain biaya
di bebenkan kepada para pihak;
9. Mediasi oleh hakim tidak dipungut biaya, sedangkan mediator bukan hakim
ditangung oleh para pihak atas kesepakatan.

1. Mediasi Non litigasi

Mediasi non litigasi adalah cara penyelesaian sengketa diluar peradilan. Pihak ketiga
yang netral dan berfungsi sebagai penengah atau memfasilitasi mediasi tersebut
yang biasa disebut mediator. Pihak ketiga tersebut hanya boleh memberikan saransaran yang bersifat sugestif, karena pada dasarnya yang memutuskan untuk
mengakhiri sengketa adalah para pihak. Pihak ketiga tersebut juga harus netral
sehingga dapat memberikan saran-saran yang objektif dan tidak terkesan memihak
salah satu pihak. Mediasi merupakan prosedur wajib dalam proses pemeriksaan
perkara perdata, bahkan dalam arbitrase sekalipun dimana hakim atau arbiter wajib
memerintahkan para pihak untuk melaksanakan mediasi dan jika mediasi tersebut
gagal barulah pemeriksaan perkara dilanjutkan. Tidak semua orang bisa menjadi
mediator professional karena untuk dapat menjadi mediator dibutuhkan semacam
sertifikasi khusus.
Mediasi perkara di luar pengadilan dapat juga dilakukan melalui badan arbitrase.
Arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa yang mirip dengan litigasi, hanya saja
litigasi ini bisa dikatakan sebagai "litigasi swasta" Dimana yang memeriksa perkara
tersebut bukanlah hakim tetapi seorang arbiter. Untuk dapat menempuh prosesi
arbitrase hal pokok yang harus ada adalah "klausula arbitrase" di dalam perjanjian
yang dibuat sebelum timbul sengketa akibat perjanjian tersebut, atau "Perjanjian
Arbitrase" dalam hal sengketa tersebut sudah timbul namun tidak ada klausula
arbitrase dalam perjanjian sebelumnya. Klausula arbitrase atau perjanjian arbitrase
tersebut berisi bahwa para pihak akan menyelesaikan sengketa melalui arbitrase

sehingga menggugurkan kewajiban pengadilan untuk memeriksa perkara tersebut.


Jika perkara tersebut tetap diajukan ke Pengadilan maka pengadilan wajib menolak
karena perkara tersebut sudah berada di luar kompetensi pengadilan tersebut akibat
adanya klausula arbitrase atau perjanjian arbitrase. Beberapa keunggulan arbitrase
dibandingkan litigasi antara lain:
1. Arbitrase relatif lebih terpercaya karena Arbiter dipilih oleh para pihak yang
bersengketa. Arbiter dipilih oleh para pihak sendiri dan merupakan jabatan
yang tidak boleh dirangkap oleh pejabat peradilan manapun. Dalam hal para
pihak tidak bersepakat dalam menentukan arbiter maka arbiter akan ditunjuk
oleh ketua Pengadilan Negeri. Hal ini berbeda dengan litigasi karena para
pihak tidak dapat memilih hakim yang memeriksa perkara. Calon arbiter yang
ditunjuk juga boleh menolak penunjukan tersebut.

1. Arbiter merupakan orang yang ahli di bidangnya sehingga putusan yang


dihasilkan akan lebih cermat. Dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dinyatakan bahwa
salah satu syarat untuk menjadi arbiter adalah berpengalaman aktif di
bidangnya selama 15 tahun. Hal ini tentunya berbeda dengan hakim yang
mungkin saja tidak menguasai bidang yang disengketakan sehingga harus
belajar bidang tersebut sebelum memeriksa perkara.

1. Kepastian Hukum lebih terjamin karena putusan arbitrase bersifat final dan
mengikat para pihak. Pihak yang tidak puas dengan putusan arbitrase tidak
dapat mengajukan upaya hukum. namun putusan tersebut dapat dibatalkan
jika terjadi hal-hal tertentu seperti dinyatakan palsunya bukti-bukti yang
dipakai dalam pemeriksaan setelah putusan tersebut dijatuhkan atau putusan
tersebut dibuat dengan itikad tidak baik dari arbiter.

1. Sedangkan kelemahannya antara lain:

a)
Biaya yang relatif mahal karena honorarium arbiter juga harus ditanggung para
pihak (atau pihak yang kalah).
b)
Putusan Arbitrase tidak mempunyai kekuatan eksekutorial sebelum didaftarkan
ke Pengadilan Negeri.
c)
Ruang lingkup arbitrase yang terbatas hanya pada sengketa bidang komersial
(perdagangan, ekspor-impor, pasar modal, dan sebagainya).

1. Makna Penting Mediasi sebagai alternative penyelesaian sengketa

Tidak bisa dipungkiri bahwa upaya penyelesaian suatu perkara demikian sulit, rumit
dan berbelit-belit, demikianlah kira kira pendapat sebagian orang sehingga muncul
wacana bahwa upaya yang telah dilakukan untuk sedapat mungkin menyelesaikan
sengketa tanpa melalui proses ligitasi, sebagai contoh dalam menghadapi suatu
sengketa para pihak yang berperkara khususnya piak Penggugat sebagai pihak yang
berinisiatif berperkara untuk sedapat mungkin mengakhiri sengketa dengan jalur
perdamaian. Karena bagaimanapun juga penyelesaian perkara dengan jalur
perdamaian senantiasa akan mendatangkan keuntungan bagi kedua belah pihak.
Begitupun halnya keuntungan dari segi biaya, tentunya biaya yang akan dikeluarkan
akan lebih murah, karena tidak mengeluarkan biaya yang terlalu banyak dan yang
lebih penting lagi perdamaian akan mampu memulihkan hubungan baik diantara
pihak yang berperkara, lebih-lebih bila mana para pihak yang berperkara tersebut
adalah mereka yang nota bene sesama mitra usaha yang memerlukan suasana
hubungan yang bersifat kolegalitas, bisa dibanyangkan apabila muncul persoalan
diantara mereka kemudian diselesaikan melalui proses persidangan yang pada
akhirnya berakibat pada dua kubu menang dan kalah. Hal ini tentunya akan
berakibat pada pecahnya hubungan yang bersifat kolegalitas diantara mereka.
Demikian pula halnya hubungan baik antara keluarga akan menjadi renggang
bahkan putus, manakala mereka dalam menyelesaikan suatu sengketa misalnya
adanya perebutan harta warisan dan lain-lain. Untuk mencegah agar jangan sampai
hubungan keluarga menjadi berantakan hanya karena memperebutkan suatu hak
seperti yang disebutkan dalam contoh diatas, maka penyelesaian secara damai jauh
lebih bermanfaat dibandingkan sebaliknya.
Pentingnya mediasi dalam konteks ini dimaknai bukan sekedar upaya untuk
meminimalisir perkara-perkara yang masuk ke Pengadilan baik itu pada Pengadilan
tingkat pertama maupun tingkat banding, sehingga badan peradilan dimaksud
terhindar dari adanya timbunan perkara, namun lebih dari itu Mediasi dipahami dan
diterjemahkan dalam proses penyelesaian sengketa secara menyeluruh dengan
penuh kesungguhan untuk mengakhiri suatu sengketa yang tengah berlangsung.
Walaupun dalam kenyataannya setiap perkara yang masuk ke Pengadilan Negeri
sebagian besar tidak dapat didamaikan lagi dengan upaya perundingan, namun itu
bukan berarti upaya ini kita matikan sama sekali, akan tetapi justru itu yang menjadi
tantangan bagi mediator khususnya hakim untuk bisa memainkan perannya sebagai
mediator yang ulung dengan menerapkan kemampuan dan kemahirannya secara
maksimal.
Oleh karena itu Mediasi hendaknya dijadikan sebagai lembaga pertama dan terakhir
dalam menyelesaikan sengketa antara para pencari keadilan, karena penyelesaian
sengketa melalui proses litigasi banyak yang tidak berakhir manis, fenomena yang
tak jarang kita temukan bisa menjadi suatu gambaran betapa nestapa yang sering
mengiringi para pihak yang berperkara, di satu sisi bagi pihak yang menang ia
mengeluarkan biaya yang tinggi terkadang tidak sesuai dengan nilai ekonomis
barang yang diperebutkan dan di sisi lain bagi pihak yang kalah sering tidak dapat
menerima kekalahan yang menyebabkan adanya tekanan psikologis dan timbulnya
depresi yang akhirnya bermuara pada bentuk-bentuk tindakan anarkis. Hal demikian
tentulah bukan menjadi harapan kita, karena konflik yang terjadi antar individu bisa

memicu konflik yang lebih luas, seperti antar kelompok, dampak buruk dari hal
itupun tak ayal dapat terhindar, putusnya jalinan silaturrahmi hubungan
persaudaraan, kerugian moril dan materiil adalah contoh akibat negative dari
persoalan di atas. Untuk itu, upaya preventif dalam setiap upaya penyelesaian
persoalan harus dikedepankan, mencegah penyebab konflik berarti mencegah
adanya kemudaratan.
Prinsipnya suatu peraturan dibuat adalah untuk dijalankan, demikian juga halnya
dengan PERMA Nomor 2 Tahun 2003. Islam adalah agama damai, yang berperkara di
Pengadilan adalah Agama adalah orang-orang yang beragama Islam dan masih
dalam ikatan keluarga, peluang untuk dapat didamaikan lebih besar dibandingkan
dengan perkara-perkara pada Peradilan Umum, oleh karenanya upaya mendamaikan
secara sungguh-sungguh sangat diharapkan, sekalipun menurut tehnik dan cara
tersendiri di luar PERMA tersebut, hal ini Pengadilan Agama dapat dikecualikan,
karena ada kekhususan, khusus menangani orang-orang Islam (orang-orang yang
cinta damai), dan khusus sengketa dalam keluarga (family law).
1. PERBEDAAN ADVOKASI LITIGASI DAN NON LITIGASI

1. Pengertian Advokasi

Advokasi secara bahasa artinya yaitu sokongan pendampingan, anjuran, pembelaan.


Dalam ketenagakerjaan, advokasi adalah suatu kegiatan atau serangkaian tindakan
yang berupa anjuran, pendampingan, pernyataan maupun pembelaan yang
dilakukan terhadap pekerja/anggota atau organisasi terhadap suatu
kondisi/permasalahan tertentu.
Advokasi terbagi dua yaitu:
1. Advokasi ligitasi yaitu segala bentuk advokasi dalam acara persidangan di
pengadilan
2. Advokasi non ligitasi yaitu segala bentuk advokasi di luar acara persidangan
di pengadilan

1. Advoksasi Litigasi

Advokasi Litigasi adalah salah satu bentuk advokasi hukum yang dilakukan melalui
proses pengadilan, bahkan sebelum kasus atau satu perkara di sidangkan ke
pengadilan, pendampingan klien atas pemeriksaan atau penyidikan di tingkat
kepolisian, serta proses penuntutan di tingkat kejaksaan dapat juga dikatagorikan
sebagai bentuk litigasi.
Di dalam melaksanakan advokasi hukum dalam bentuk litigasi ini jelas dibutuhkan
keahlian dan ketrampilan serta pengetahuan tentang prosedur hukum beracara
mulai dari tingkat kepolisian, kejaksaan, hingga tingkat pengadilan. Lazimnya proses

advokasi hukum yang demikian ini dilakukan oleh kelompok professional yang
memiliki izin untuk itu, yang biasanya dikenal dengan sebutan advokat atau
penasehat hukum.
Penasehat hukum biasanya dalam mengadvokasi kliennya mulai dari:
1. Pemeriksaan Pendahuluan
Adalah pemeriksaan tahap awal terhadap seorang tersangka yang dilakukan oleh
penyidik. Kedudukan dari seorang tersangka dalam pemeriksan pendahuluan
menurut sistem H.I.R, adalah sebagai obyeknya yang harus diperiksa atau obyek
pemeriksaan artinya sebagai barang yang harus diperiksa wujudnya berhubung
dengan adanya suatu persangkaan.
1. Pemeriksaan Persidangan
Adalah pemeriksaan terhadap seorang terdakwa didepan sidang pengadilan, dimana
hakim mengadili perkara yang diajukan kepadanya. Pemeriksaan persidangan ini
berarti serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa dan memutus
perkara pidana. Pada persidangan ini terdakwa bebas memilih penasihat hukum
untuk membantu terdakwa apabila hakim yang memeriksa menyalahi wewenang
dan juga mengarah berat sebelah dengan penuntutan, sehingga akan merugikan
hak azasi terdakwa dan terdakwa akan kehilangan hak azasinya. Peranan advokasi
hukum dalam hal ini membantu melancarkan persidangan dan berusaha sekuat dan
segala kemampuannya untuk membantu meringankan penderitaan terdakwa.
1. Pemeriksaan biasa

Apabila pengadilan negeri berpendapat bahwa perkara yang diajukan kepadanya


termasuk wewenangnya, maka ketua pengadilan negeri menunjuk hakim yang akan
menyidangkan perkara tersebut dan hakim yang bersangkutan menetapkan hari
sidang, memeritahkan penuntut umum memanggil terdakwa dan saksi untuk datang
dipersidangan dengan surat panggilan yang sah yang harus deterima yang
bersangkutan selambat lambatnya tiga hari sebelum sidang. ( pasal 145, pasal
146, pasal 152, UU, No.8 th 1981 ). Acara pemeriksaan biasa dimulai dengan
pembukaan sidang oleh hakim ketua sidang yang menyatakan sidang dibuka untuk
umum, kecuali dalam perkara kesusilaan atau terdakwanya anak anak yang
menurut undang undang harus disidangkan secara tertutup. Yang lebih dahulu
diperiksa dalam sidang pengadilan adalah terdakwa, lalu saksi korban, lalu saksi
saksi lain baik yang meringankan maupun yang memberatkan terdakwa. Penuntut
umum dan penasihat hukum mendapat kesempatan bertanya juga. Pada permulaan
sidang, hakim ketua menanyakan identitas terdakwa secara lengkap dan
mengingatkan agar terdakwa memperhatikan segala yang didengar dan dilihat
dalam sidang. Kemudian hakim ketua sidang minta kepada penuntut umum untuk
membacakan surat dakwaan dan menanyakan kepada terdakwa apakah sudah

mengerti tentang dakwaan itu. Apabila tidak mengerti, maka penuntut umum atas
permintaan hakim ketua sidang wajib memberi penjelasan yang diperlukan.
Selanjutnya terdakwa atau penasihat hukumnya dapat mengajukan keberatan
bahwa pengadilan tidak berwenang memeriksa perkaranya atau dakwaan tidak
dapat diterima atau surat dakwaan harus dibatalkan dan kepada penuntut umum
diberi kekuasaan untuk menanyakan pendapatnya. Atas keberatan tersebut hakim
mempertimbangkan dan untuk selanjutnya mengambil keputusan. Apabila hakim
menyatakan keberatan tersebut diterima, maka perkara itu tidak diperiksa lebih
lanjut, dan apabila tidak diterima atau hakim berpendapat hat tersebut baru dapat
diputus setelah selesai pemeriksaan, maka sidang dilanjutkan. Apabila penuntut
umum berkeberatan terhadap keputusan hakim tersebut, maka ia dapat mengajukan
perlawanan kepada pengadilan tinggi melalui pengadilan negeri yang bersangkutan.
Terdakwa atau penasihat hukumnya dapat juga mengajukan perlawanan terhadap
keputusan hakim tersebut kepada pengadila tinggi dan dalam waktu empat belas
hari sejak diajukannya perlawanan tersebut apabila pengadilan tinggi menerimanya,
maka dengan surat penetapannya membatalkan putusan pengadilan negeri dan
memerintahkan pengadilan negeri yang berwenang untuk memeriksa perkara itu.
Perlawanan terdakwa tersebut dapat diajukan bersama sama dengan permintaan
banding. Apabila pengadilan yang berwenang memeriksa perkara itu berkedudukan
didaerah hukum pengadilan tinggi lain, maka kejaksaan negeri mengirimkan perkara
tersebut kepada kejaksaan negeri dalam daerah hukum pengadilan negeri yang
berwenang ditempat itu.
Keputusan hakim dapat berupa salah satu dari tiga kemungkinan, yaitu :
1)
Pembebasan atau putusan bebas, jika kesalahan terdakwa tidak terbukti.
2)
Lepas dari tuntutan hukum, jika perbuatan terdakwa terbukti tetapi bukan
merupakan tindak pidana.
3)
Pemidanaan atau pidan, jika kesalahan terdakwa terbukti secara sah dan
meyakinkan.

1. Advokasi Non litigasi

Di samping melalui Litigasi, juga dikenal Alternatif penyelesaian sengketa di Luar


Pengadilan yang lazim disebut Non Litigasi. Alternatif penyelesaian sengketa Non
Litigasi adalah suatu pranata penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau dengan
cara mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri. Dewasa
ini cara penyelesaian sengketa melalui peradilan mendapat kritik yang cukup tajam,
baik dari praktisi maupun teoritisi hokum. Peran dan fungsi peradilan, dianggap
mengalami beban yang terlampau padat (overloaded), lamban dan buang
waktu (waste of time), biaya mahal(very expensif) dan kurng
tanggap (unresponsive) terhadap kepentingan umum, atau dianggap terlalu
formalistis (formalistic) dan terlampau teknis (technically).

Dalam pasal (1) angka (10) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, disebutkan
bahwa masyarakat dimungkinkan memakai alternatif lain dalam melakukan
penyelesaian sengketa. Alternatif tersebut dapat dilakukan dengan cara konsultasi,
negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.
Berikut adalah contoh strategi dalam advokasi non litigasi bagi PTK-PNF oleh LKBH:
Menurut Fiona Boyle et al., advokasi hukum tidak lain adalah seni tentang persuasi di
dalam konteks hukum, yakni suatu persuasi yang berakar kepada pemahaman suatu
kasus, dan pengetahuan yang cukup terhadap peraturan perundang-undangan, serta
kemampuan persuasif sebelum kasus tersebut diperiksa di dalam pengadilan atau
tribunal.
Berdasarkan rumusan yang demikian ini kemampuan advokasi sangat erat dengan
unsur pengetahuan dan pemahaman terhadap hukum yang berlaku. Kemampuan
advokasi hukum lainnya yang tidak kalah pentingnya adalah kemampuan interview,
menyusun ilustrasi kasus (kronologi kasus), serta kemahiran di bidang penelitian dan
analisis kasus hukum. Kemampuan tersebut pada prinsipnya dapat memberikan arah
dan fokus advokasi yang efektif, yakni menentukan apakah suatu kasus adalah
kasus hukum atau bukan; bentuk advokasi hukum yang dibutuhkan; serta strategi
mana yang dianggap paling sesuai untuk mencapai hasil yang diinginkan.
Faktor lain yang tidak kalah pentingnya di dalam proses advokasi adalah faktor
persiapan yang sudah dilakukan oleh pihak yang akan melakukan advokasi. Tidak
dapat dipungkiri bahwa keberhasilan suatu advokasi sangat ditentukan oleh
bagusnya persiapan yang dilakukan sebelum advokasi dilakukan. Hal ini kiranya
sangat sesuai dengan ungkapan yang menyatakan bahwa persiapan yang memadai
merupakan setengah langkah dari keberhasilan. Adapun jenis persiapan yang perlu
dilakukan di dalam melakukan advokasi antara lain meliputi identifikasi kasus,
yakni usaha untuk mendapatkan ilustrasi tentang anatomi kasus; menginventarisir
bahan-bahan hukum; menganalisis alat-alat bukti; menyusun atau mengkonstruksi
advokasi hukum serta memprediksi berbagai kemungkinan yang bakal terjadi
terhadap jalannya kasus. Di samping itu persiapan penting lainnya adalah
mempersiapkan diri si pemberi advokasi bahwa dirinya benar-benar yakin dan
memiliki waktu dan kemampuan untuk menyelesaikan kasus yang tengah
dihadapainya, atau setidaknya dia memiliki referensi alternatif, manakala kasus yang
ditangani tersebut terhenti di tengah jalan, maka advokasi substitusi sudah siap
untuk menggantikannya.
Untuk lebih jelasnya berikut ini akan diuraikan secara sederhana beberapa tahapan
penting untuk dilakukan di dalam melakukan advokasi, yaitu:
1. Identifikasi dan analisis kasus;
2. pemberian pendapat hukum (legal memorandum); dan
3. praktek pendampingan hukum.

1. Tahap Identifikasi dan Analisis Kasus

Bahwa langkah pertama yang harus dilakukan di dalam proses advokasi hukum ialah
melakukan identifikasi permasalahan atau kasus hukum yang hendak ditangani.
Asumsinya adalah semakin awal diketahui seluruh aspek kasus hukum yang menjadi
obyek advokasi, maka semakin fokus dan akurat advis dan langkah hukum yang
akan dilakukan.
Sebagaimana diketahui, bahwa setiap kasus hukum tidak selalu berdimensi tunggal,
akan tetapi tidak jarang suatu kasus mencakup di dalamnya lebih dari satu dimensi
hukum, baik dimensi pidana, perdata bahkan juga dimensi hukum administrasi.
Sebagai contoh sederhana, kasus hukum kekerasan di dalam proses belajarmengajar --pemukulan peserta didik yang dilakukan oleh oknum pendidik dengan
dalih penegakan disiplin- setidaknya ada tiga aspek hukum yang bisa dikenakan
dalam kasus ini, yaitu aspek pidana (penganiayaan); aspek perdata (ganti rugi atas
dasar pebuatan melawan hukum); serta aspek hukum administrasi (pemberian
skorsing, penghentian sementara tugas mengajar).
Akan tetapi tidak jarang pula suatu persoalan yang dimintakan advokasi hukum
justru sama sekali bukan termasuk bidang garapan advokasi hukum melainkan
garapan bidang institusi lainnya. Misalnya permasalahan keinginan sejumlah PTKPNF untuk diangkat statusnya menjadi pegawai negeri sipil. Jelas yang demikian ini
bukan fokus advokasi hukum, melainkan bagian dari urusan biro kepegawaian. Oleh
karena masalah tersebut bukan ranah hukum, akan tetapi masuk ke dalam katagori
ranah administrasi.
Berdasarkan hal demikian ini, langkah identifikasi aspek hukum suatu kasus adalah
sangat penting di dalam proses advokasi hukum. Proses identifikasi yang akurat dan
obyektif, akan menghasilkan langkah dan strategi yang tepat di dalam proses
advokasi hukum, yaitu:
1)
Sejak dini sudah dapat dipastikan bahwa kasus tersebut perlu dilakukan
advokasi hukum ataukah tidak;
2)
Bahwa jika kasus tersebut adalah kasus hukum, maka aspekhukum apakah
yang perlu diprioritaskan advokasi hukumnya;
3)
Jika kasus tersebut di luar bidang keahliannya perlukah meminta bantuan
tenaga yang lebih expert;
4)
Ataukah tidak sebaiknya kasus tersebut disarankan untuk ditangani oleh pihak
yang lebih berkompeten, dan seterusnya.
Selanjutnya langkah yang mesti ditempuh pasca identifikasi aspek hukum suatu
kasus adalah fase analisis kasus (case analysis . Bahwa tahap analisis kasus ini
dilakukan adalah untuk mengetahui secara obyektif duduk persoalan atau fakta
empiris dari suatu kasus dengan cara mengumpulkan informasi dan berbagai alat
bukti yang berkaitan dengan kasus tersebut.
Kemudian setelah itu dilakukan pula proses inventarisasi peraturan hukum maupun
jurisprudensi yang berhubungan dengan kasus yang perlu diadvokasi tersebut.
Bahkan perburuan informasi melalui literatur dan studi kepustakaan adalah sesuatu
yang niscaya di dalam menganalis suatu kasus, karena ada kemungkinan kasus

yang tengah dihadapi ternyata pernah terjadi atau setidaknya mirip dengan kasus di
tempat lain. Seterusnya jika dirasa perlu, konsultasi dengan kaum intelektual hukum
yang ahli di bidangnya perlu dilakukan untuk memperoleh kejelasan suatu kasus.
Berdasarkan serangkaian investigasi fakta dan norma hukum tersebut, maka kasus
tersebut setidaknya telah diketemukan jawabannya secara hipotetis atau secara
apriori, yakni:
1)
tentang kedudukan klien, posisinya kuat (pihak yang benar) ataukah justru
lemah (pihak yang salah);
2)
alat-alat bukti apakah yang mesti dihadirkan untuk memperkuat posisi klien;
3)
strategi apakah yang perlu ditempuh di dalam proses advokasi tersebut;
4)
prediksi mengenai probabilitas berhasil tidaknya advokasi hukum itu, dan
seterusnya.
Berdasarkan uraian di atas dapatlah disimpulkan, bahwa langkah identifikasi
masalah dan analisis kasus pada dasarnya adalah ketrampilan hukum atau lebih
tepatnya ketrampilandi bidang penelitian hukum.
1. Tahap Pemberian Pendapat Hukum (Legal Memorandum)

Pendapat hukum atau legal memorandum sesungguhnya adalah salah satu jenis
penulisan esai yang berkenaan dengan isu hukum. Memo hukum ini biasanya ditulis
bedasarkan hasil kajian dan penelusuran hukum oleh mahasiswa hukum maupun
advokat. Isi memo hukum tersebut antara lain berkenaan dengan isu atau
permasalahan hukum, kesimpulan, diskusi penerapan hukum terhadap suatu
peristiwa, catatan atau kemungkinan implikasi hukum kasus tersebut, serta
rekomendasi yang dihasilkan berdasarkan diskusi.
Dalam kaitannya dengan tahapan advokasi sebelum ini, yaitu tahap identifikasi dan
analisis kasus, maka pendapat hukum atau memo hukum ini tidak lain adalah
catatan pihak pemberi layanan advokasi terhadap kliennya mengenai posisi kasus,
prediksi kasus, catatan-catatan kritis atas kasus tersebut, serta rekomendasi yang
disarankan untuk dilakukan oleh klien.
Bahwa pemberian pendapat hukum ini harus diberikan secara obyektif dan tidak
boleh ditutup-tutupi, termasuk konsekuensi atau dampak yang akan terjadi
manakala kasus tersebut terpaksa diselesaikan melalui mekanisme advokasi hukum.
Dengan demikian, diharapkan keputusan yang diambil klien betul-betul obyektif,
tidak emosional dan tidak obsesif atau wishful thinking.
1. Tahap Pendampingan Hukum

Bahwa pada tahap ini, pihak penyedia layanan advokasi hukum (LKBH) telah
menyatakan kesediaanya untuk melakukan advokasi hukum sebagaimana

dikehendaki oleh pihak klien. Berkenaan dengan implementasi advokasi hukum ini
ada baiknya diperhatikan, hal-hal yang perlu ditegaskan di dalam proses advokasi
agar dapat berjalan efektif. Yaitu:
1)
Aspek legitimasi proses advokasi hukum melalui pemberian surat kuasa;
2)
Aspek kontraktual yang berisi kesepakatan mengenai hak dan kewajiban
masing-masing pihak;
3)
Aspek logistik atau yang berkenaan dengan masalah finansial yang dibutuhkan
selama proses advokasi tersebut.
Dalam kaitan ini, ada baiknya sebagai ilustrasi perbandingan, diketengahkan
ketentuan, syarat, prosedur advokasi hukum yang dilakukan oleh LKBH Universitas
Muhammadiyah Malang yang menjadi partner Direktorat PTK-PNF, yakni antara lain:
Bahwa advokasi hukum diberikan kepada:
1)
Tenaga pendidik yang masih berstatus PTK-PNF, yang dibuktikan dengan surat
keputusan atau surat tugas PTK-PNF yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang;
2)
Terdapat permasalahan hukum atau permasalahan profesi yang terkait dengan
pelaksanaan tugas sebagai PTK-PNF; dan Layanan advokasi hukum tidak dikenai
biaya apapun.Sementara itu prosedur advokasi hukum diberikan kepada PTK-PNF
dengan cara: PTK-PNF yang bersangkutan atas inisiatif sendiri atau atas permintaan
asosiasi mengajukan permohonan advokasi hukum, baik secara lisan maupun
secara tertulis; LKBH segera melakukan verifikasi terhadap permohonan yang
diajukan; Jawaban atau rekomendasi dari LKBH diberikan secara tertulis paling
lambat tujuh hari setelah permohonan masuk.
Selanjutnya penanganan kasus melalui advokasi hukum yang dilakukan LKBH,
setidaknya harus memenuhi empat indicator, yakni:
1)
Aspek kemendesakan (urgensi);
2)
Aspek tingkat ancaman;
3)
Aspek hasil analisis kasus; dan
4)
Aspek rekomendasi.
Strategi Advokasi Hukum
Strategi yang digunakan di dalam proses advokasi hukum tentunya sangat
ditentukan oleh pendekatan yang dilakukan di dalam keseluruhan proses advokasi.
Strategi yang dipilih juga bergantung kepada cara pandang terhadap advokasi itu
sendiri, yakni berkaitan dengan seberapa besar harapan yang akan diperoleh berupa
konsesi, pemberian timbal balik, maupun solusi yang mungkin bisa dicapai. Dengan
kata lain strategi dapat dimaknai sebagai taktik yang digunakan untuk mencapai
hasil yang terbaik sesuai dengan yang diharapkan.
Sesungguhnya di dalam literatur tidak dijumpai model strategi advokasi hukum, oleh
karena proses advokasi hukum tidak berkaitan dengan teknik meyakinkan pihak
lawan dengan bujukan, ancaman atau pun tawaran berupa pemberian suatu konsesi
tertentu. Advokasi hukum justru melakukan persuasi kepada pihak lawan dengan
menggunakan dalil-dalil hukum dan fakta-fakta obyektif untuk memaksa lawan
melakukan tindakan tertentu. Model strategi yang dikenal dalam proses advokasi,
justru dijumpai di dalam salah satu varian advokasi hukum yaitu proses negoisasi.

Jika strategi negoisasi itu dianalogikan terhadap proses advokasi hukum, maka
strategi advokasi hukum dibedakan atas lima macam, yakni:
1. Strategi Kompetitif;
2. Strategi Kooperatif;
3. Strategi Pemecahan Masalah (Problem Solving);
4. Strategi Mengelak (avoiding);
5. Strategi Akomodatif.

1. Strategi Kompetitif;
Strategi ini menggunakan pendekatan diameteral atau saling berhadap-hadapan
antara pihak yang satu dengan pihak lainnya. Kedudukan masing-masing pihak
berada di antara posisi ekstrim yaitu menang atau kalah. Tujuan yang hendak
dicapai melalui strategi kompetitif adalah untuk menghancurkan kepecayaan diri
pihak lawan. Di samping itu juga diharapkan memperoleh keuntungan sebanyak
mungkin dari pihak lawan yang kalah.
Kelebihan strategi adalah:
1)
Sangat membantu penyelesaian kasus terutama kasus kecil atau sederhana;
2)
Bersifat intimidatif, terutama dalam kondisi perimbangan kekuatan yang
timpang; dan Efektif digunakan pada awal advokasi hukum, ketika pihak lawan
belum mengetahui kekuatan atau kelemahan yang sesungguhnya.
Sedangkan kekurangan strategi ini adalah:
1)
Tidak kreatif untuk mencari solusi alternatif;
2)
Tidak realistis;
3)
Sulit untuk dilakukan dalam waktu yang agak lama;
4)
Dapat menimbulkan reaksi yang tidak diharapkan.
1. Strategi Kooperatif;
Pendekatan kooperatif di sini dimaksudkan untk memperoleh hasil yang terbaik dari
masing-masing pihak. Para pihak bertujuan untuk membuat kesepakatan yang saling
menguntungkan satu sama lain, dengan cara mengabaikan konflik, saling berusaha
mempercayai, menawarkan konsiliasi, kemauan untuk saling memberi, saling
terbuka.
Adapun keuntungan strategi kooperatif antara lain:
1)
Kemustahilan terjadinya dead lock;
2)
Terjaganya hubungan baik para pihak;
3)
Minimnya ketegangan dan tingkat stress di antara para pihak.
Sementara itu sisi kelemahannya pendekatan ini, ialah:
1)
Para pihak dipersepsikan lemah tidak berdaya;
2)
Membutuhkan informasi yang memadai tentang pihak lain;
3)
Berisiko tinggi jika salah satu pihak beriktikad tidak baik sedangkan
kesepakatan belum selesai seluruhnya.

1. Strategi Pemecahan Masalah


Strategi ini berkonsentrasi untuk menemukan solusi kreatif di dalam usahanya
memberikan bagian atau interest kepada kedua belah pihak. Tujuan utama strategi
ini ialah menganggap suatu pemasalahan itu dapat dipisahkan dari manusia
sebagaimana kata orang bijak, bahwa tidak ada persoalan yang tidak ada jalan
keluarnya-- tentunya melalui berbagai opsi yang dituangkan dalam kesepakatan
kontraktual.
Karakteristik strategi ini antara lain:
1)
Berusaha untuk memahami pihak lainnya secara emphati;
2)
Menghargai ikatan emosional di antara para pihak;
3)
Fokus terhadap masing-masing kepentingan pihak lain;
4)
Menekankan kepada komunikasi yang baik; dan
5)
Melahirkan solusi kreatif dan inovatif.
Sementara itu keunggulan strategi ini ialah:
1)
Tidak saling menjatuhkan, dead lock dapat dihindari;
2)
Fokus kepada permasalahan utama;
3)
Kreatif.
Sedangkan kelemahan stategi ini, adalah:
1)
Membutuhkan informasi lebih banyak ;
2)
Sulit dilakukan jika pihak lain tidak menghendaki strategi ini;
3)
Tidak realistis, agaknya sulit ditemui proses advokasi yang menghasilkan
kepuasan di antara para pihak yang bertikai.
1. D.

Strategi Mengelak (Avoiding)

Strategi ini tujuan utamanya adalah mencari-cari alasan untuk menolak berbagai
bentuk kemajuan riil yang dicapai dalam proses advokasi. Dalam praktek strategi
sudah jarang dipakai, karena strategi ini digunakan dalam keadaan terdesak, dan
sifatnya hanya mengulur-ulur waktu saja (buying time).
Adapun kelebihan strategi ini ialah:
1. Dapat meletakkan pihak lawan dalam posisi di bawah tekanan (under
pressure);
2. Memaksa pihak lawan untuk mengambil inisitif;
3. Dapat menunda pelaksanaan kesepakatan melalui cara mengulur waktu.
Sedangkan keburukan strategi ini adalah:
1)
Dapat memberikan keleluasan pihak lawan untuk mengendalikan pihak yang
mengelak;
2)
Adanya ancaman untuk diselesaikan lewat jalur pengadilan dengan kekuatan
sita dan eksekusinya;
3)
Bertentangan dengan hukum acara yang menganjurkan penyelesaian kasus
secara sederhana dan tidak berbelit-belit;
4)
Strategi ini tidak etis.

1. E.

Strategi Akomodatif

Strategi ini sering dipadankan dengan strategi kooperatif yang dilakukan secara
ekstrem. Strategi akomodatif melibatkan kesepakatan terhadap penawaran pihak
lawan secara ekstrem. Yaitu kemungkinan penerimaan tawaran pihak lawan tanpa
persyaratan apapun. Karakteristik strategi ini mungkin hanya digunakan oleh
keompok advokasi hukum yang kurang berpengalaman. Kelebihan strategi ini tida
ada, sedangkan kelemahannya terletak pada kegagalannya untuk meraih hasil yang
baik, hampir-hampir tidak mungkin diperoleh.
1. KESIMPULAN

Setiap perkara perdata dilatar belakangi oleh ketidak puasan seseorang atau
beberapa orang (pihak penggugat) terhadap seseorang atau beberapa orang lain
(pihak tergugat), yang menurut pihak penggugat ada hak-haknya yang telah
dilanggar oleh pihak tergugat, atau ada kewajiban tergugat kepada penggugat yang
tidak dilaksanakan oleh tergugat.
Penggugat karena telah berkali-kali meminta haknya kepada tergugat, tidak juga
berhasil kemudian mengajukan gugatan ke Pengadilan, dengan harapan Hakim
dapat mengembalikan hak penggugat atau menghukum tergugat memenuhi
kewajibannya
Mediasi adalah cara penyelesaian dengan melibatkan pihak ketiga, yaitu pihak
ketiga yang dapat diterima (accertable) Artinya para pihak yang bersengketa
mengizinkan pihak ketiga untuk membantu para rihak yang bersengketa dan
membantu para pihak untuk mencapai penyenyelesaian. Meskipun demikianak
septabilitas tidak berarti- para pihak selalu berkehendak untuk melakukan atau
menerima sepenuhnya apa yang dikemukakan pihak ketiga.
Pada prinsipnya inisiatif pilihan penyelesaian sengketa melalui mediasi tunduk pada
kesepakatan para pihak. Hal ini dapat dilihat dari sifat kekuatan mengikat dari
kesepakatan hasil mediasi didasarkan pada kekuatan kesepakatan berdasarkan Pasal
1338 KUHPerdata. Dengan demikian pada prinsipnya pilihan mediasi tunduk pada
kehendak atau pilihan bebas para pihak yang bersengketa. Mediasi tidak bisa
dilaksanakan apabila salah satu pihak saja yang menginginkannya
Dalam sebuah proses mediasi, mediator menjalankan peran untuk menengahi para
pihak yang bersengketa. Peran ini diwujudkan melalui tugas mediator yang secara
aktif membantu para pihak dalam memberikan pemahamannya yang benar tentang
sengketa yang mereka hadapi dan memberikan alternative solusi yang terbaik bagi
penyelesaian sengketa diajukan mediator sepenuhnya berada dan ditentukan sendiri
oleh kesepakatan para pihak yang bersengketa. Mediator tidak dapat memaksakan
gagasannya sebagai penyelesaian sengketa yang harus dipatuhi.

advokasi adalah suatu kegiatan atau serangkaian tindakan yang berupa anjuran,
pendampingan, pernyataan maupun pembelaan yang dilakukan terhadap
pekerja/anggota atau organisasi terhadap suatu kondisi/permasalahan tertentu.
Advokasi terbagi dua yaitu:
1. Advokasi ligitasi yaitu segala bentuk advokasi dalam acara persidangan di
pengadilan
2. Advokasi non ligitasi yaitu segala bentuk advokasi di luar acara persidangan
di pengadilan

Di samping melalui Litigasi, juga dikenal Alternatif penyelesaian sengketa di Luar


Pengadilan yang lazim disebut Non Litigasi. Alternatif penyelesaian sengketa Non
Litigasi adalah suatu pranata penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau dengan
cara mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri. Dewasa
ini cara penyelesaian sengketa melalui peradilan mendapat kritik yang cukup tajam,
baik dari praktisi maupun teoritisi hokum. Peran dan fungsi peradilan, dianggap
mengalami beban yang terlampau padat (overloaded), lamban dan buang
waktu (waste of time), biaya mahal(very expensif) dan kurng
tanggap (unresponsive) terhadap kepentingan umum, atau dianggap terlalu
formalistis (formalistic) dan terlampau teknis (technically).

DAFTAR PUSTAKA
Adnan Buyung Nasution, SH, Bantuan Hukum Di Indonesia,
LP3ES, Jakarta, 2007.
Bambang Poernomo, Pola Dasar Teori Dan Asas Hukum Acara Pidana,
Liberty, Yogyakarta, 1984.
Erni Widhayanti, SH, Hak Hak Tersangka/ Terdakwa Di Dalam KUHAP,
Liberty, Yogyakarta, 1988.
Fiona Boyle, et al., A Practical Guide to Lawyering Skills, Cavendish Publishing
Martiman Prodjohamindjojo, SH, Kedudukan Tersangka Dan Terdakwa Dalam
Pemeriksaan, Ghalia, Indonesia, Jakarta, 1982.
Milovanovic, dalam Adi Sulistyono, Mengembangkan Paradigma Non Litigasi di
Indonesia, cetakan 1 LPP UNS dan UNS Press, Surakarta 2007
PERMA 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan
PERMA 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan Agama
Soerjono Soekanto, Prof, Dr, SH, MA, Bantuan Hukum Suatu Tinjauan Sosial
Yuridis, Ghalia, Indonesia, Jakarta, 1983.
Sudikno M, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta 2003.
Undang Undang Dasar 1945.
Undang Undang No. 8, tahun 1981, tentang KUHAP,
Penerbit Karya Anda, Surabaya, Indonesia.
Undang Undang No. 14, tahun 1970, tentang Ketentuan Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman.
UU nomor 30 Tahun 1999 tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa

UU nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat


UU nomor 3 Tahun 2006 tentang Pengadilan Agama
UU no tahun 1998 tentang kemerdekaan Penyampaian pendapat di muka umum
UU no 4 tahun 2004 tentang kekuasaan Kehakiman
Valeri Miller dan Jane Covey, Pedoman Advokasi: Perencanaan, Tindakan, dan
Refleksi, Yayasan Obor Indonesia, 2005.

Anda mungkin juga menyukai