Anda di halaman 1dari 14

A.

PANCASILA DI ERA PRA KEMERDEKAAN


Soekarno pernah mengatakan jangan sekali-kali meninggalkan sejarah. Dari
perkataan tersebut dapat dimaknai bahwa sejarah mempunyai fungsi yang beragam
bagi kehidupan. Seperti diungkap seorang filsuf Yunani yang bernama Cicero (106-43
SM) yang mengungkapkan Historia Vitae Magistra, yang bermakna, sejarah
memberikan kearifan. Pengertian yang lebih umum yaitu sejarah merupakan guru
kehidupan. Sejarah memperlihatkan dengan nyata bahwa semua bangsa
memerlukan suatu konsepsi dan cita-cita. Jika mereka tidak memilikinya atau jika
konsepsi dan cita-cita itu menjadi kabur dan usang, maka bangsa itu adalah dalam
bahaya (Soekarno, 1989: 64).
Cita-cita ideal sebagai landasan moralitas bagi kebesaran bangsa diperkuat oleh
cendekiawan-politisi Amerika Serikat, John Gardner, No nation can achieve
greatness unless it believes in something, and unless that something has moral
dimensions to sustain a great civilization (tidak ada bangsa yang dapat mencapai
kebesaran kecuali jika bangsa itu mempercayai sesuatu, dan sesuatu yang
dipercayainya itu memiliki dimensi-dimensi moral guna menopang peradaban besar)
(Madjid dalam Latif, 2011: 42).
Kuat dan mengakarnya Pancasila dalam jiwa bangsa menjadikan Pancasila terus
berjaya sepanjang masa. karena ideologi Pancasila tidak hanya sekedar confirm and
deepen identitas Bangsa Indonesia
sepanjang masa. Sejak Pancasila digali dan dilahirkan kembali menjadi Dasar dan
Ideologi Negara, maka ia membangunkan dan membangkitkan 2 identitas yang
tertidur dan yang terbius selama kolonialisme (Abdulgani, 1979: 22).

Nilai-Nilai Pancasila dalam sejarah Perjuangan Bangsa


Menurut sejarah pada kira-kira abad VII-XII, bangsa Indonesia telah
mendirikan kerajaan Sriwijaya di Sumatera Selatan dan kemudian pada abad XIIIXVI didirikan pula kerajaan Majapahit di Jawa Timur. Kedua zaman itu merupakan
tonggak sejarah bangsa Indonesia karena bangsa Indonesia masa itu telah memenuhi
syarat-syarat sebagai suatu bangsa yang mempunyai negara. Kedua kerajaan itu
telah merupakan negara-negara berdaulat, bersatu serta mempunyai wilayah yang

meliputi seluruh Nusantara ini, kedua zaman kerajaan itu telah mengalami kehidupan
masyarakat yang sejahtera.
Menurut Mr. Muhammad Yamin berdirinya negara kebangsaan Indonesia tidak
dapat dipisahkan dengan kerajaan-kerajaan lama yang merupakan warisan nenek
moyang bangsa Indonesia. Negara kebangsaan Indonesia terbentuk melalui tiga
tahap yaitu: Pertama, zaman Sriwijaya di bawah Wangsa Syailendra (600-1400).
Kedua, negara kebangsaan zaman Majapahit (1293-1525). Kedua tahap negara
kebangsaan tersebut adalah negara kebangsaan lama. Ketiga, negara kebangsaan
modern yaitu negara Indonesia merdeka 17 Agustus 1945 (Sekretariat Negara.RI.
1995:11).

1. Masa Kerajaan Sriwijaya


Pada abad ke VII berdirilah kerajaan Sriwijaya dibawah kekuasaan wangsa
Syailendra di Sumatera. Kerajaan yang berbahasa Melayu Kuno dan huruf pallawa
adalah kerajaan maritime yang mengandalkan jalur perhubungan laut. Kekuasaan
Sriwijaya menguasai selat Sunda (686), kemudian Selat Malaka (775). Sistem
perdagangan telah diatur dengan baik, dimana pemerintah melalui pegawai raja
membentuk suatu badan yang dapat mengumpulkan hasil kerajinan rakyat sehingga
rakyat mengalami kemudahan dalam pemasarannya. Dalam sistem pemerintahan
sudah terdapat pegawai pengurus pajak, harta benda kerajaan, rohaniawan yang
menjadi pengawas teknis pembangunan gedung-gedung dan patung-patung suci
sehingga saat itu kerajaan dapat menjalankan sistem negaranya dengan nilai-nilai
Ketuhanan (Kaelan,1999:27)
Pada zaman Sriwijaya telah didirikan Universitas Agama Budha yang sudah
dikenal di Asia. Pelajar dari Universitas ini dapat melanjutkan ke India, banyak guruguru tamu yang mengajar di sini dari India, seperti Dharmakitri. Cita-cita
kesejahteraan bersama dalam suatu negara telah tercermin pada kerajaan Sriwijaya
sebagai terebut dalam perkataan marvuat vannua Criwijaya ssiddhayatra subhiksa
(suatu cita-cita negara yang adil dan makmur).(1999:27).
Unsur-unsur yang terdapat di dalam Pancasila yaitu: Ke-Tuhan-an,
Kemanusiaan, Persatuan, Tata pemerintahan atas dasar musyawarah dan keadilan
sosial telah terdapat sebagai asas-asas yang menjiwai bangsa Indonesia, yang dihayati
serta dilaksanakan pada waktu itu, hanya saja belum dirumuskan secara kongkrit.

Dokumen tertulis yang membuktikan terdapatnya unsur-unsur tersebut ialah Prasastiprasasti di Talaga Batu, Kedukan Bukit, Karang Brahi, Talang Tuo dan Kota Kapur
(Dardji Darmodihardjo.1974:22-23).
Pada hakekatnya nilai-nilai budaya bangsa semasa kejayaan Sriwijaya telah
menunjukkan nilkai-nilai Pancasila, yaitu:
1) Nilai Sila pertama, terwujud dengan adanya umat agama Budha dan Hindu hidup
berdampingan secara damai. Pada kerajaan Sriwijaya terdapat pusat kegiatan
pembinaan dan pengembangan agama Budha.
2) Nilai Sila Kedua, terjalinnya hubungan antara Sriwijaya dengan India (Dinasti
Harsha). Pengiriman para pemuda untuk belajar di India. Telah tumbuh nilai-nilai
politik luar negeri yang bebas dan aktif.
3) Nilai Sila Ketiga, sebagai negara martitim, Sriwijaya telah menerapkan konsep
negara kepulauan sesuai dengan konsepsi Wawasan Nusantara.
4) Nilai Sila Keempat, Sriwijaya telah memiliki kedaulatan yang sangat luas,
meliputi (Indonesia sekarang) Siam, semenanjung Melayu.
5) Nilai Sila Kelima, Sriwijaya menjadi pusat pelayanan dan perdagangan, sehingga
kehidupan rakyatnya sangat makmur.

2. Masa Kerajaan Majapahit


Sebelum kerajaan Majapahit berdiri telah muncul kerajaan-kerajaan di Jawa Tengah
dan Jawa Timur secara silih berganti, yaitu Kerajaan Kalingga (abad ke VII),
Sanjaya (abad ke VIII), sebagai refleksi puncak budaya dari kerajaan tersebut adalah
dibangunnya candi Borobudur (candi agama Budha pada abad ke IX) dan candi
Prambanan (candi agama Hindu pada abad ke X).
Di Jawa Timur muncul pula kerajaan-kerajaan, yaitu Isana (abad ke IX),
Dharmawangsa (abad ke X), Airlangga (abad ke XI). Agama yang diakui kerajaan
adalah agama Budha, agama Wisnu dan agama Syiwa telah hidup berdampingan
secara damai. Nilai-nilai kemanusiaan telah tercermin dalam kerajaan ini, terbukti
menurut prasasti Kelagen bahwa Raja Airlangga telah mengadakan hubungan dagang
dan bekerja sama dengan Benggala, Chola dan Champa. Sebagai nilai-nilai sila

keempat telah terwujud yaitu dengan diangkatnya Airlangga sebagai raja melalui
musyawarah antara pengikut Airlangga dengan rakyat dan kaum Brahmana.
Sedangkan nilai-nilai keadilan sosial terwujud pada saat raja Airlangga
memerintahkan untuk membuat tanggul dan waduk demi kesejahteraan pertanian
rakyat (Aziz Toyibin. 1997:28-29).
Pada abad ke XIII berdiri kerajaan Singasari di Kediri Jawa Timur yang ada
hubungannya dengan berdirinya kerajaan Majapahit (1293) Zaman Keemasan
Majapahit pada pemerintahan raja Hayam Wuruk dengan maha patih Gajah Mada.
Wilayah kekuasaan Majapahit semasa jayanya membentang dari semananjung
Melayu sampai ke Irian Jaya.
Pengamalan sila Ketuhanan Yang Maha Esa telah terbukti pada waktu agama
Hindu dan Budha hidup berdampingan secara damai, Empu Prapanca menulis
Negarakertagama (1365) yang di dalamnya telah terdapat istilah Pancasila. Empu
Tantular mengarang buku Sutasoma dimana dalam buku itu tedapat seloka persatuan
nasional yang berbunyi Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrua, artinya
walaupun berbeda-beda, namun satu jua dan tidak ada agama yang memiliki tujuan
yang berbeda. Hal ini menunjukkan realitas beragama saat itu. Seloka toleransi ini
juga diterima oleh kerajaan Pasai di Sumatera sebagai bagian kerajaan Majapihit yang
telah memeluk agama Islam.
Sila kemanusiaan telah terwujud, yaitu hubungan raja Hayam Wuruk dengan
baik dengan kerajaan Tiongkok, Ayoda, Champa dan Kamboja. Mengadakan
persahabatan dengan negara-negara tetangga atas dasar Mitreka Satata.
Sebagai perwujudan nilai-nilai Sila Persatuan Indonesia telah terwujud
dengan keutuhan kerajaan, khususnya Sumpah Palapa yang diucapkan oleh Gajah
Mada yang diucapkannya pada sidang Ratu dan Menteri-menteri pada tahun 1331
yang berisi cita-cita mempersatukan seluruh nusantara raya yang berbunyi : Saya
baru akan berhenti berpuasa makan palapa, jika seluruh nusantara bertakluk di
bawah kekuasaan negara, jika gurun, Seram, Tanjung, Haru, Pahang, Dempo, Bali,
Sundda, Palembang dan Tumasik telah dikalahkan (Muh. Yamin. 1960: 60).
Sila Kerakyatan (keempat) sebagai nilai-nilai musyawarah dan mufakat yang
dilakukan oleh sistim pemerintahan kerajaan Majapahit Menurut prasasti Brumbung
(1329) dalam tata pemerintahan kerajaan Majapahit terdapat semacam penasehat
kerajaan seperti Rakryan I Hino, I Sirikan dan I Halu yang berarti memberikan
nasehat kepada raja. Kerukuan dan gotong royong dalam kehidupan masyarakat telah

menumbuhkan adat bermusyawarah untuk mufakat dalam memutuskan masalah


bersama.
Sedangkan perwujudan sila keadilan sosial adalah sebagai wujud dari
berdirinya kerajaan beberapa abad yang tentunya ditopang dengan kesejahteraan dan
kemakmuran rakyatnya.
Berdasarkan uraian diatas dapat kita fahami bahwa zaman Sriwijaya dan
Majapahit adalah sebagai tonggak sejarah perjuangan bangsa Indonesia dalam
mencapai cita-citanya.

3. Sumpah Pemuda 1928


Pada tanggal 28 Oktober 1928 terjadilah penonjolan peristiwa sejarah
perjuangan bangsa Indonesia mencapai cita-citanya. Pemuda-pemuda Indonesia yang
di pelopori oleh Muh. Yamin, Kuncoro Purbopranoto dan lain-lain
mengumandangkan Sumpah Pemuda yang berisi pengakuan akan adanya Bangsa,
tanah air dan bahasa satu yaitu Indonesia.
Melalui sumpah pemuda ini makin tegaslah apa yang diinginkan oleh Bangsa
Indonesia, yaitu kemerdekaan tanah air dan bangsa itu diperlukan adanya persatuan
sebagai suatu bangsa yang merupakan syarat mutlak. Sebagai tali pengikat persatuan
itu adalah Bahasa Indonesia.
Realisasi perjuangan bangsa pada tahun 1930 berdirilah Partai Indonesia yang
disingkat dengan Partindo (1931) sebagai pengganti PNI yang dibubarkan.
Kemudian golongan Demokrat yang terdiri dari Moh. Hatta dan Sutan Syahrir
mendirikan PNI Baru, dengan semboyan kemerdekaan Indonesia harus dicapai
dengan kekuatan sendiri.

4. Sejarah Proses Persidangan Pertama BPUPKI (29 Mei-1 Juni


1945) dan Usulan-Usulan Rumusan Pancasila
Sebagai realisasi janji tersebut pada tanggal 29 April 1945 kepala pemerintah Jepang
untuk Jawa (Gunseikan) membentuk BPUPKI dengan anggota sebanyak 60 orang
yang merupakan wakil atau mencerminkan suku/golongan yang tersebar di wilayah
Indonesia. BPUPKI diketuai ileh DR Radjiman Wedyodiningrat sedangkan wakil
ketua R.P Suroso dan Penjabat yang mewakili pemerintahan Jepang "Tuan

Hchibangase". Dalam melaksanakan tugasnya dibentuk beberapa panitia kecil, antara


lain panitia sembilan dan panitia perancang UUD. Inilah langkah awal dalam sejarah
perumusan pancasila sebagai dasar negara. Secara ringkas proses perumusan tersebut
adalah sebagai berikut.
Mr. Muhammad Yamin, pada sidang BPUPKI tanggal 29 Mei 1945 menyampaikan
rumus asas dan dasar negara sebagai berikut :

Peri Kebangsaan.

Peri Kemanusiaan.

Peri Ketuhanan.

Peri Kerakyatan.

Kesejahteraan Rakyat.

Setelah menyampaikan pidatonya, Mr. Muhammad Yamin menyampaikan usul


tertulis naskah Rancangan Undang-Undang Dasar. Di dalam Pembukaan Rancangan
UUD itu, tercantum rumusan lima asas dasar negara yang berbunyi :

Ketuhanan Yang Maha Esa.

Kebangsaan Persatuan Indonesia.

Rasa Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab.

Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam


permusyawaratan perwakilan.
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Mr. Soepomo, pada tanggal 31 Mei 1945 antara lain dalam pidatonya menyampaikan
usulan lima dasar negara, yaitu sebagai berikut :

Paham Negara Kesatuan.

Perhubungan Negara dan Agama.

Sistem Badan Permusyawaratan.

Sosialisasi Negara.

Hubungan antar Bangsa.

Ir. Soekarno, dalam sidang BPUPKI pada tanggal 1 Juni 1945 mengusulkan rumusan
dasar negara adalah sebagai berikut :

Kebangsaan Indonesia.

Internasionalisme atau peri kemanusiaan.

Mufakat atau demokrasi.

Kesejahteraan Sosial. Ketuhanan yang berkebudayaan.

B. PANCASILA DI ERA KEMERDEKAAN


Dalam perjalanan kehidupan bangsa Indonesia pasca kemerdekaan, Pancasila
mengalami banyak perkembangan. Sesaat setelah kemerdekaan Indonesia pada 1945,
Pancasila melewati masa-masa percobaan demokrasi. Pada waktu itu, Indonesia
masuk ke dalam era percobaan demokrasi multi-partai dengan sistem kabinet
parlementer. Partai-partai politik pada masa itu tumbuh sangat subur, dan proses
politik yang ada cenderung selalu berhasil dalam mengusung kelima sila sebagai
dasar negara (Somantri, 2006). Pancasila pada masa ini mengalami masa
kejayaannya.
Selanjutnya, pada akhir tahun 1959, Pancasila melewati masa kelamnya
dimana Presiden Soekarno menerapkan sistem demokrasi terpimpin. Pada masa itu,
presiden dalam rangka tetap memegang kendali politik terhadap berbagai kekuatan
mencoba untuk memerankan politik integrasi paternalistik (Somantri, 2006). Pada
akhirnya, sistem ini seakan mengkhianati nilai-nilai yang ada dalam Pancasila itu
sendiri, salah satunya adalah sila permusyawaratan.
Kemudian, pada 1965 terjadi sebuah peristiwa bersejarah di Indonesia dimana
partai komunis berusaha melakukan pemberontakan. Pada 11 Maret 1965, Presiden
Soekarno memberikan wewenang kepada Jenderal Suharto atas Indonesia. Ini
merupakan era awal orde baru dimana kemudian Pancasila mengalami mistifikasi.
Pancasila pada masa itu menjadi kaku dan mutlak pemaknaannya. Pancasila pada
masa pemerintahan presiden Soeharto kemudia menjadi core-values (Somantri,
2006), yang pada akhirnya kembali menodai nilai-nilai dasar yang sesungguhnya
terkandung dalam Pancasila itu sendiri. Pada 1998, pemerintahan presiden Suharto
berakhir dan Pancasila kemudian masuk ke dalam era baru yaitu era demokrasi,
hingga hari ini.

C. Pancasila Era Orde Lama


Terdapat dua pandangan besar terhadap Dasar Negara yang berpengaruh terhadap
munculnya Dekrit Presiden. Pandangan tersebut yaitu mereka yang memenuhi

anjuran Presiden/ Pemerintah untuk kembali ke Undang-Undang Dasar 1945


dengan Pancasila sebagaimana dirumuskan dalam Piagam Jakarta sebagai Dasar
Negara. Sedangkan pihak lainnya menyetujui kembali ke Undang-Undang Dasar
1945, tanpa cadangan, artinya dengan Pancasila seperti yang dirumuskan dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar yang disahkan PPKI tanggal 18 Agustus 1945
sebagai Dasar Negara. Namun, kedua usulan tersebut tidak mencapai kuorum
keputusan sidang konstituante (Anshari, 1981: 99). Majelis (baca: konstituante) ini
menemui jalan buntu pada bulan Juni 1959. Kejadian ini menyebabkan Presiden
Soekarno turun tangan dengan sebuah Dekrit Presiden yang disetujui oleh kabinet
tanggal 3 Juli 1959, yang kemudian dirumuskan di Istana Bogor pada tanggal 4 Juli
1959 dan diumumkan secara resmi oleh presiden pada tanggal 5 Juli 1959 pukul
17.00 di depan Istana Merdeka (Anshari, 1981: 99-100). Dekrit Presiden tersebut
berisi:

1. Pembubaran konstituante;
2. Undang-Undang Dasar 1945 kembali berlaku; dan
3. Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara. Sosialisasi terhadap paham Pancasila yang konklusif menjadi prelude
penting bagi upaya selanjutnya; Pancasila dijadikan ideologi negara yang tampil
hegemonik. Ikhtiar tersebut tercapai ketika Ir. Soekarno memberi tafsir Pancasila
sebagai satu kesatuan paham dalam doktrin Manipol/USDEK. Manifesto politik
(manipol) adalah materi pokok dari pidato Soekarno tanggal 17 Agustus 1959
berjudul Penemuan Kembali Revolusi Kita yang kemudian ditetapkan oleh Dewan
Pertimbangan Agung (DPA) menjadi Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).
Belakangan, materi pidato tersebut dikukuhkan dalam Penetapan Presiden (Penpres)
Nomor 1 tahun 1960 dan Ketetapan MPRS No. 1/MPRS1960 tentang GBHN (Ali,
2009: 30). Manifesto politik Republik Indonesia tersebut merupakan hasil perumusan
suatu panitia yang dipimpin oleh D.N. Aidit yang disetujui oleh DPA pada tanggal 30
September 1959 sebagai haluan negara (Ismaun, 1978: 105).
Oleh karena itu, mereka yang berseberangan paham memilih taktik gerilya di
dalam kekuasaan Ir. Soekarno. Mereka menggunakan jargon-jargon Ir. Soekarno
dengan agenda yang berbeda. Taktik demikian digunakan oleh sebagian besar
kekuatan politik. Tidak hanya PKI, mereka yang anti komunisme pun sama (Ali,
2009: 33). Walaupun kepentingan politik mereka berbeda, kedua arus tersebut sama-

sama menggunakan Pancasila sebagai justifikasi. Ir. Soekarno menghendaki


persatuan di antara beragam golongan dan ideologi termasuk komunis, di bawah satu
payung besar, bernama Pancasila (doktrin Manipol/USDEK), sementara golongan
antikomunis mengkonsolidasi diri sebagai kekuatan berpaham Pancasila yang lebih
murni dengan menyingkirkan paham komunisme yang tidak ber-Tuhan (ateisme)
(Ali, 2009: 34). Dengan adanya pertentangan yang sangat kuat ditambah carut
marutnya perpolitikan saat itu, maka Ir. Soekarno pun dilengserkan sebagai Presiden
Indonesia, melalui sidang MPRS.

D. PANCASILA PADA MASA ORDE BARU


Pada masa orde baru, upaya pemerintah mengenai Pancasila, diliputi oleh
paradigma yang esensinya adalah bagaimana menegakkan stabilitas guna mendukung
rehabilitasi dan pembangunan ekonomi Indonesia. Pemerintah melakukan
rekonstruksi dan pemahaman yang menyeluruh terhadap Pancasila sebagai dasar
Negara dalam politik bernegara melalui P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila) atau Ekaprasetya Pancakarsa yang ditetapkan melalui TAP MPR Nomor
II/MPR/1978 pada tanggal 22 Maret 1978.
Penerapan awal P4 dalam pengamalan Pancasila memang baik akan tetapi
seiring berlalunya waktu, pengamalan Pancasila melenceng dari kebijakan-kebijakan
yang dikeluarkan yang tidak sesuai dengan jiwa Pancasila. Walaupun terjadi
peningkatan kesejahteraan rakyat dan penghormatan dari dunia Internasional, tetapi
kondisi politik dan keamanan dalam negeri Indonesia tetap rentan, akibat sistem
pemerintahan sentralistik dan otoritarian. Pancasila ketika orde baru ditafsirkan sesuai
kepentingan kekuasaan pemerintah dan tertutup bagi tafsiran lain.
Pancasila justru dijadikan sebagai indoktrinasi. Pemerintah menggunakan
Pancasila sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaannya. Ada beberapa metode
yang digunakan dalam indoktrinasi Pancasila, yaitu sebagai berikut.
(1) Melalui ajaran P4 yang dilakukan di sekolah-sekolah melalui pembekalan atau
seminar.
(2) Asas tunggal. Pada bulan Agustus 1982 pemerintah menjalankan asa tunggal
yaitu pengakuan terhadap Pacasila sebagai asa tunggal, bahwa setiap partai
politik harus mengakui posisi Pancasila sebagai pemersatu bangsa.
(3) Stabilisasi. pemerintah melarang adanya kritikan-kritikan yang dapat
menjatuhkan pemerintah. Karena pemerintah beranggapan bahwa kritikan
terhadap pemerintah menyebabkan ketidakstabilan di dalam negara. Dan

untuk menstabilkannya pemerintah menggunakan kekuatan militer sehingga


tak ada yang berani untuk mengkritik pemerintah.
Demokratisasi akhirnya tidak berjalan di Indonesia, dan pelanggaran HAM
(Hak Asasi Manusia) terjadi di berbagai tempat yang dilakukan oleh aparat
pemerintah atau negara. Pancasila seringkali digunakan sebagai legitimator atau
pembenaran atas berbagai tindakan yang menyimpang. Pancasila dianggap sebagai
sesuatu yang sakral serta digunakan sebagai alasan untuk stabilitas nasional daripada
sebagai ideologi yang memberikan ruang kebebasan untuk berkreasi.

E. Pancasila di Era Reformasi


Pancasila lahir dari banyak macamnya (pluralitas) keinginan masyarakat yang ingin
memiliki tatanan sosial yang lebih menjamin setiap sila yang ada didalam Pancasila
yaitu kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan yang ditopang oleh
keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa, dalam satu wadah bangsa dan negara
Indonesia. Oleh karena itu, untuk mengembalikan suasana masyarakat yang memiliki
cita ideal dan semangat yang sama ketika hari kemerdekaan Indonesia, digalakkanlah
gerakan reformasi pada hari kamis, 21 Oktober 1998.
Apa itu reformasi ? Mari kita kaji secara terminologis, arti reformasi berasal dari kata
reformation dengan akar katareform yang artinya make or become better by
removing or putting right what is bad or wrong . Pengertian reformasi secara umum
adalah suatu gerakan untuk memformat ulang, menata ulang atau menata kembali
hal-hal yang menyimpang untuk dikembalikan pada format atau bentuk semula,
sesuai dengan nilai-nilai ideal yang dicita-citakan rakyat, yakni Pancasila sebagai
konsensus nasional. Atas dasar pengertian reformasi diatas, suatu gerakan reformasi
memiliki kondisi atau syarat syarat sebagai berikut:
1. Gerakan reformasi terjadi akibat terjadinya penyimpangan pada era
sebelumnya yaitu orde baru dan orde lama. Berbagai sebab tersebut, bisa
berupa distorsi kebijakan (ketidaksesuaian atau ketidakcocokan kebijakan)
maupun hukum. Hal tersebut terjadi pada masa orde baru, di mana rezim
pemerintahan dalam mengelola negara menggunakan pendekatan
kekeluargaan sehingga semakin menguatkan pola-pola nepotisme, kolusi, dan
korupsi (KKN) yang tidak sesuai dengan makna dan semangat Pancasila dan
Undang Undang Dasar 1945.
2. Gerakan reformasi harus dilakukan dengan semangat dan cita-cita yang
(berlandasan ideologis) tertentu, yakni Pancasila sebagai ideologi, dasar, dan
filsafat bangsa dan negara Indonesia.
3. Gerakan reformasi dilakukan dengan berdasar pada suatu kerangka struktural
tertentu (dalam hal ini Undang Undang Dasar 1945) sebagai kerangka acuan
reformasi.

4. Gerakan Reformasi dilakukan ke arah suatu perubahan kondisi serta keadaan


yang lebih baik dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara, yakni antara lain tatanan politik, ekonomi Indonesia, sosial,
budaya, serta kehidupan keagamaan.
5. Gerakan reformasi pada hakikatnya dilakukan dengan semangat mendekatkan
dari kondisi ideal nilai-nilai Pancasila yang memiliki prinsip sesuai ke-5
silanya.
Pengertian gerakan reformasi secara praksis dan aplikatif berarti mengembalikan
tatanan kenegaraan ke arah sumber nilai yang merupakan platform kehidupan
bersama bangsa Indonesia, yang selama diselewengkan demi kekuasaan sekelompok
orang, baik pada masa Orde Lama maupun Orde Baru. Negara Indonesia ingin
mengadakan suatu perubahan, yakni merekonstruksi kehidupan berbangsa dan
bernegara. Agar terwujud masyarakat madani (cari pengertian masyarakat madani)
yang sejahtera, masyarakat yang bermartabat kemanusiaan yang menghargai hak-hak
asasi manusia, masyarakat yang demokratis yang bermoral religius serta masyarakat
yang bermoral kemanusiaan dan beradab.
Bila berbicara sebab akibat atau kausalitas, melihat dari sejarah terjadinya gerakan
reformasi, sesungguhnya reformasi ada sebagai aksi atau bentuk perlawanan
terhadap penerapan dan penggunaan GBHN 1998 pada Pembangunan jangka Panjang
II Pelita ke-7 di Negara Indonesia sehingga memunculkan krisis ekonomi Indonesia
dan Asia terutama Asia Tenggara sehingga menyebabkan stabilitas politik menjadi
semakin rapuh dan goyah. Sistem politik dikembangkan ke arah sistem Birokratik
Otoritarian dan suatu sistem Korporatik.
Sistem tersebut ditandai dengan konsentrasi kekuasaan dan partisipasi di dalam
pembuatan keputusan-keputusan nasional yang berada hampir seluruhnya pada
tangan penguasa negara, kelompok militer, kelompok cerdik cendikiawan dan
kelompok pengusaha oligopolistik yang bekerjasama dengan masyarakat bisnis
internasional.
Keberhasilan gerakan reformasi diawali dengan peristiwa gerakan demonstrasi
massal di seluruh pelosok negeri Indonesia yang dilakukan oleh hampir seluruh
lapisan masyarakat, termasuk aktivis mahasiswa dan puncaknya terjadi pendudukan
gedung DPR RI, sehingga berakibat tumbangnya (lebih tepatnya mundur dari jabatan)
Presiden Soeharto pada Kamis, 21 Mei 1998, dan kemudian digantikan oleh Wakil
Presiden Prof. Dr. Baharuddin Jusuf Habibie dan kemudian menjabat sebagai
presiden. Tidak lama setelahnya terjadi pembentukan Kabinet Reformasi
Pembangunan.
Pemerintahan Presiden B.J. Habibie merupakan pemerintahan transisi yang akan
mengantarkan rakyat Indonesia untuk melakukan reformasi secara menyeluruh,
terutama perubahan paket Undang Undang politik 1985, kemudian diikuti dengan

reformasi ekonomi Indonesia yang menyangkut perlindungan hukum. Yang lebih


mendasar, reformasi dilakukan pada kelembagaan tinggi dan tertinggi negara yaitu
pada susunan DPR dan MPR, yang dengan sendirinya harus dilakukan melalui
pemilu secepatnya.
Dalam sejarah panjang stabilitas Negara Indonesia ini, Orde Reformasi memiliki
kesamaan alasan utama kemunculan dengan rezim atau era yang lain, yaitu ingin
mengoreksi atau memperbaiki hal hal yang salah atau kurang tepat di masa ataupun
era sebelumnya. Contohnya saja, orde baru yang hadir akibat adanya keinginan untuk
memperbaiki moral dan mental bangsa dan masyarakat ekonomi politiknya. Akan
tetapi, sayang sekali harapan berbeda dari kenyataan, maka orde baru kemudian
dikoreksi oleh era reformasi.
Dalam orde atau era reformasi tersebut dalam sejarahnya, dilakukan pengembangan
dalam hak-hak rakyat di wilayah tataran elit maupun dalam tataran rakyat bawah
Rakyat bebas untuk berserikat dan berkumpul dengan mendirikan partai politik LSM,
dan lain-lain.
Penegakan hukum telah lebih terjamin khususnya bila dibandingkan pada zaman orde
lama dan orde baru. Akan tetapi tidak dapat kita nafikan bahwa para elit
politik/pejabat masih menyayangi KKN dari pada negaranya sehingga terjadi
inkonsistensi dalam penegakan hukum.
Dalam bidang sosial budaya, di satu sisi kebebasan berbicara, bersikap, dan bertindak
amat memacu kreativitas masyarakat. Namun, di sisi lain justru menimbulkan
semangat primordialisme. Benturan antar-suku, antar-umat beragama, antarkelompok, dan antar-daerah terjadi di berbagai tempat. Kriminalitas meningkat dan
pengerahan massa menjadi cara untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang
berpotensi tindakan kekerasan. Fakta empiris yang dihadapi saat ini adalah
munculnya ego kedaerahan dan primordialisme sempit. Munculnya indikasi tersebut
sebagai salah satu gambaran menurunnya pemahaman tentang Pancasila sebagai
suatu ideologi, dasar falsafah negara, azas, paham negara.
Padahal seperti diketahui Pancasila sebagai sistem yang terdiri atas lima sila
(sikap/prinsip/pandangan hidup) dan merupakan suatu keutuhan yang saling menjiwai
dan dijiwai itu digali dari kepribadian bangsa Indonesia yang majemuk bermacam
etnis/ suku bangsa, agama, dan budaya yang bersumpah menjadi satu bangsa, satu
tanah air, dan satu bahasa persatuan, sesuai dengan Bhinneka Tunggal Ika.
Menurunnya rasa persatuan dan kesatuan di antara sesama warga bangsa saat ini
adalah yang ditandai dengan adanya konflik di beberapa daerah, baik konflik
horizontal maupun konflik vertikal, seperti halnya yang masih terjadi di Papua dan
Maluku. Berbagai konflik yang terjadi dan telah banyak menelan korban jiwa antarsesama warga bangsa dalam kehidupan masyarakat, seolah-olah wawasan kebangsaan

yang dilandasi oleh nilai-nilai Pancasila yang lebih mengutamakan kerukunan telah
hilang dari kehidupan masyarakat Indonesia.
Orde Reformasi yang baru berjalan 12 tahun lebih telah memiliki empat presiden.
Namun, berbagai perkembangan fenomena kehidupan ekonomi Indonesia, politik,
sosial, budaya, etnisitas masih jauh dan cita ideal nilai-nilai Pancasila sebagai
ideologi dasar negara yang sesungguhnya. Pancasila secara formal tetap dianggap
sebagai dasar dan ideologi negara, tetapi hanya sebatas pada retorika pernyataan
politik.
Ideologi negara yang seharusnya menjadi acuan dan landasan seluruh elemen bangsa
Indonesia khususnya para negarawan dan para politisi serta pelaku ekonomi
Indonesia dalam berpartisipasi membangun negara, justru menjadi kabur dan
terpinggirkan. Hasilnya NKRI mendapat tantangan yang berat. Timor-Timur yang
telah lama bergabung dalam NKRI melalui perjuangan dan pengorbanan lepas
dengan sekejap pada masa reformasi tersebut. Daerah-daerah lain juga mengancam
akan berdiri sendiri bila tuntutannya tidak dipenuhi oleh pemerintah pusat. Tidak
segan-segan, sebagian masyarakat menerima aliran dana asing dan rela
mengorbankan kepentingan bangsanya sebagai imbalan dolar. Dalam bahasa intelijen,
Indonesia saat ini tengah mengalami apa yang dikenal dengan subversi asing, yakni
kita saling menghancurkan negara sendiri karena campur tangan secara halus pihak
asing.
Di sisi lain, berbagai gerakan radikal atas nama agama makin mengemuka, seperti
Jamaah Islamiyah (JI) serta jaringan Al- Qaedah lainnya, Jamaah Ahmadiyah
dengan penodaan agama terhadap Islam dan terakhir yang kian marak saat ini adalah
Negara Islam Indonesia (NII) yang korbannya bukan saja masyarakat tradisional yang
sangat mudah dihegemoni, tetapi justru mahasiswa di berbagai perguruan tinggi pun
menjadi basis jaringan yang diandaikan. Berbagai fenomena di atas, kiranya menjadi
referensi utama untuk melakukan retrospeksi secara nasional seluruh komponen
bangsa ini, tanpa terkecuali. Retrospeksi adalah jalan satu-satunya untuk
memperbaiki keadaan bangsa ini ke depan. Baik-buruknya bangsa ke depan, adalah
sangat bergantung pada kegigihan dan kesungguhan komitmen generasi saat ini untuk
menemukan kembali jati diri bangsa melalui penanaman nilai-nilai Pancasila dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Hal itu bisa dilakukan dengan
menjadikan Pendidikan Pancasila sebagai salah satu mata kuliah wajib di kampus
agama dan umum, baik negeri maupun swasta

Daftar Pustaka
1. Latif, Yudi. 2011. Negara Paripurna (Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas
Pancasila), PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
2. Saksono. Ign. Gatut. 2007. Pancasila Soekarno (Ideologi Alternatif Terhadap
Globalisasi dan Syariat Islam). CV Urna Cipta Media Jaya
3. Syarbaini, Syahrial. 2012. Pendidikan Pancasila (Implementasi Nilai-Nilai
Karakter Bangsa) di Perguruan Tinggi, Ghalia Indonesia, Bogor.
4. Undang-Undang No 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi
5. Nanda, Refsa. 2015. Proses Perumusan Pancasila Sebagai Dasar Negara.
http://www.materikelas.com/2015/10/proses-perumusan-pancasilasebagai.html. Diakses pada tanggal 8 September 2016
6. Soekarno, Ir. 2007. Lahirnya Pancasila: Pidato di Hadapan Sidang BPUPKI
1 Juni 1945, dalam Revolusi Indonesia: Nasionalisme, Marhaen, dan
Pancasila, Yogyakarta: Galar Press, pp 27-55
7. Somantri, Gumilar Rusliwa. 2006. Pancasila dalam Perubahan Sosial-Politik
Indonesia Modern, dalam Restorasi Pancasila: Mendamaikan Politik dan
Modernitas, Jakarta: Brighten Press, pp 1-32
8. Fauzi, Nabil. 2013. Modul perkuliahan : Pancasila dalam Kajian Sejarah
Indonesia-2. http://www.mercubuana.ac.id/. Diakses pada tanggal 7
September 2016.
9. Fatih Muhammad. 2015. Sejarah Pancasila Masa Orde Baru dan Reformasi.
http://www.learniseasy.com/2015/11/sejarah-pancasila-masa-orde-baru-danreformasi.html . Diakses pada tanggal 6 September 2016.
10. Riskiana.
2015.
Pancasila
Pada
Era
Orde
Baru.
http://www.slideshare.net/kiki2804/pancasila-pada-era-orde-baru.
Diakses
pada tanggal 6 September 2016.
11. Fatih, Muhammad. 2015. Sejarah Pancasila Dalam Orde Baru dan Reformasi.
http://www.learniseasy.com/2015/11/sejarah-pancasila-masa-orde-baru-danreformasi.html Diakses pada tanggal 8 September 2016.

Anda mungkin juga menyukai