meliputi seluruh Nusantara ini, kedua zaman kerajaan itu telah mengalami kehidupan
masyarakat yang sejahtera.
Menurut Mr. Muhammad Yamin berdirinya negara kebangsaan Indonesia tidak
dapat dipisahkan dengan kerajaan-kerajaan lama yang merupakan warisan nenek
moyang bangsa Indonesia. Negara kebangsaan Indonesia terbentuk melalui tiga
tahap yaitu: Pertama, zaman Sriwijaya di bawah Wangsa Syailendra (600-1400).
Kedua, negara kebangsaan zaman Majapahit (1293-1525). Kedua tahap negara
kebangsaan tersebut adalah negara kebangsaan lama. Ketiga, negara kebangsaan
modern yaitu negara Indonesia merdeka 17 Agustus 1945 (Sekretariat Negara.RI.
1995:11).
Dokumen tertulis yang membuktikan terdapatnya unsur-unsur tersebut ialah Prasastiprasasti di Talaga Batu, Kedukan Bukit, Karang Brahi, Talang Tuo dan Kota Kapur
(Dardji Darmodihardjo.1974:22-23).
Pada hakekatnya nilai-nilai budaya bangsa semasa kejayaan Sriwijaya telah
menunjukkan nilkai-nilai Pancasila, yaitu:
1) Nilai Sila pertama, terwujud dengan adanya umat agama Budha dan Hindu hidup
berdampingan secara damai. Pada kerajaan Sriwijaya terdapat pusat kegiatan
pembinaan dan pengembangan agama Budha.
2) Nilai Sila Kedua, terjalinnya hubungan antara Sriwijaya dengan India (Dinasti
Harsha). Pengiriman para pemuda untuk belajar di India. Telah tumbuh nilai-nilai
politik luar negeri yang bebas dan aktif.
3) Nilai Sila Ketiga, sebagai negara martitim, Sriwijaya telah menerapkan konsep
negara kepulauan sesuai dengan konsepsi Wawasan Nusantara.
4) Nilai Sila Keempat, Sriwijaya telah memiliki kedaulatan yang sangat luas,
meliputi (Indonesia sekarang) Siam, semenanjung Melayu.
5) Nilai Sila Kelima, Sriwijaya menjadi pusat pelayanan dan perdagangan, sehingga
kehidupan rakyatnya sangat makmur.
keempat telah terwujud yaitu dengan diangkatnya Airlangga sebagai raja melalui
musyawarah antara pengikut Airlangga dengan rakyat dan kaum Brahmana.
Sedangkan nilai-nilai keadilan sosial terwujud pada saat raja Airlangga
memerintahkan untuk membuat tanggul dan waduk demi kesejahteraan pertanian
rakyat (Aziz Toyibin. 1997:28-29).
Pada abad ke XIII berdiri kerajaan Singasari di Kediri Jawa Timur yang ada
hubungannya dengan berdirinya kerajaan Majapahit (1293) Zaman Keemasan
Majapahit pada pemerintahan raja Hayam Wuruk dengan maha patih Gajah Mada.
Wilayah kekuasaan Majapahit semasa jayanya membentang dari semananjung
Melayu sampai ke Irian Jaya.
Pengamalan sila Ketuhanan Yang Maha Esa telah terbukti pada waktu agama
Hindu dan Budha hidup berdampingan secara damai, Empu Prapanca menulis
Negarakertagama (1365) yang di dalamnya telah terdapat istilah Pancasila. Empu
Tantular mengarang buku Sutasoma dimana dalam buku itu tedapat seloka persatuan
nasional yang berbunyi Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrua, artinya
walaupun berbeda-beda, namun satu jua dan tidak ada agama yang memiliki tujuan
yang berbeda. Hal ini menunjukkan realitas beragama saat itu. Seloka toleransi ini
juga diterima oleh kerajaan Pasai di Sumatera sebagai bagian kerajaan Majapihit yang
telah memeluk agama Islam.
Sila kemanusiaan telah terwujud, yaitu hubungan raja Hayam Wuruk dengan
baik dengan kerajaan Tiongkok, Ayoda, Champa dan Kamboja. Mengadakan
persahabatan dengan negara-negara tetangga atas dasar Mitreka Satata.
Sebagai perwujudan nilai-nilai Sila Persatuan Indonesia telah terwujud
dengan keutuhan kerajaan, khususnya Sumpah Palapa yang diucapkan oleh Gajah
Mada yang diucapkannya pada sidang Ratu dan Menteri-menteri pada tahun 1331
yang berisi cita-cita mempersatukan seluruh nusantara raya yang berbunyi : Saya
baru akan berhenti berpuasa makan palapa, jika seluruh nusantara bertakluk di
bawah kekuasaan negara, jika gurun, Seram, Tanjung, Haru, Pahang, Dempo, Bali,
Sundda, Palembang dan Tumasik telah dikalahkan (Muh. Yamin. 1960: 60).
Sila Kerakyatan (keempat) sebagai nilai-nilai musyawarah dan mufakat yang
dilakukan oleh sistim pemerintahan kerajaan Majapahit Menurut prasasti Brumbung
(1329) dalam tata pemerintahan kerajaan Majapahit terdapat semacam penasehat
kerajaan seperti Rakryan I Hino, I Sirikan dan I Halu yang berarti memberikan
nasehat kepada raja. Kerukuan dan gotong royong dalam kehidupan masyarakat telah
Peri Kebangsaan.
Peri Kemanusiaan.
Peri Ketuhanan.
Peri Kerakyatan.
Kesejahteraan Rakyat.
Mr. Soepomo, pada tanggal 31 Mei 1945 antara lain dalam pidatonya menyampaikan
usulan lima dasar negara, yaitu sebagai berikut :
Sosialisasi Negara.
Ir. Soekarno, dalam sidang BPUPKI pada tanggal 1 Juni 1945 mengusulkan rumusan
dasar negara adalah sebagai berikut :
Kebangsaan Indonesia.
1. Pembubaran konstituante;
2. Undang-Undang Dasar 1945 kembali berlaku; dan
3. Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara. Sosialisasi terhadap paham Pancasila yang konklusif menjadi prelude
penting bagi upaya selanjutnya; Pancasila dijadikan ideologi negara yang tampil
hegemonik. Ikhtiar tersebut tercapai ketika Ir. Soekarno memberi tafsir Pancasila
sebagai satu kesatuan paham dalam doktrin Manipol/USDEK. Manifesto politik
(manipol) adalah materi pokok dari pidato Soekarno tanggal 17 Agustus 1959
berjudul Penemuan Kembali Revolusi Kita yang kemudian ditetapkan oleh Dewan
Pertimbangan Agung (DPA) menjadi Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).
Belakangan, materi pidato tersebut dikukuhkan dalam Penetapan Presiden (Penpres)
Nomor 1 tahun 1960 dan Ketetapan MPRS No. 1/MPRS1960 tentang GBHN (Ali,
2009: 30). Manifesto politik Republik Indonesia tersebut merupakan hasil perumusan
suatu panitia yang dipimpin oleh D.N. Aidit yang disetujui oleh DPA pada tanggal 30
September 1959 sebagai haluan negara (Ismaun, 1978: 105).
Oleh karena itu, mereka yang berseberangan paham memilih taktik gerilya di
dalam kekuasaan Ir. Soekarno. Mereka menggunakan jargon-jargon Ir. Soekarno
dengan agenda yang berbeda. Taktik demikian digunakan oleh sebagian besar
kekuatan politik. Tidak hanya PKI, mereka yang anti komunisme pun sama (Ali,
2009: 33). Walaupun kepentingan politik mereka berbeda, kedua arus tersebut sama-
yang dilandasi oleh nilai-nilai Pancasila yang lebih mengutamakan kerukunan telah
hilang dari kehidupan masyarakat Indonesia.
Orde Reformasi yang baru berjalan 12 tahun lebih telah memiliki empat presiden.
Namun, berbagai perkembangan fenomena kehidupan ekonomi Indonesia, politik,
sosial, budaya, etnisitas masih jauh dan cita ideal nilai-nilai Pancasila sebagai
ideologi dasar negara yang sesungguhnya. Pancasila secara formal tetap dianggap
sebagai dasar dan ideologi negara, tetapi hanya sebatas pada retorika pernyataan
politik.
Ideologi negara yang seharusnya menjadi acuan dan landasan seluruh elemen bangsa
Indonesia khususnya para negarawan dan para politisi serta pelaku ekonomi
Indonesia dalam berpartisipasi membangun negara, justru menjadi kabur dan
terpinggirkan. Hasilnya NKRI mendapat tantangan yang berat. Timor-Timur yang
telah lama bergabung dalam NKRI melalui perjuangan dan pengorbanan lepas
dengan sekejap pada masa reformasi tersebut. Daerah-daerah lain juga mengancam
akan berdiri sendiri bila tuntutannya tidak dipenuhi oleh pemerintah pusat. Tidak
segan-segan, sebagian masyarakat menerima aliran dana asing dan rela
mengorbankan kepentingan bangsanya sebagai imbalan dolar. Dalam bahasa intelijen,
Indonesia saat ini tengah mengalami apa yang dikenal dengan subversi asing, yakni
kita saling menghancurkan negara sendiri karena campur tangan secara halus pihak
asing.
Di sisi lain, berbagai gerakan radikal atas nama agama makin mengemuka, seperti
Jamaah Islamiyah (JI) serta jaringan Al- Qaedah lainnya, Jamaah Ahmadiyah
dengan penodaan agama terhadap Islam dan terakhir yang kian marak saat ini adalah
Negara Islam Indonesia (NII) yang korbannya bukan saja masyarakat tradisional yang
sangat mudah dihegemoni, tetapi justru mahasiswa di berbagai perguruan tinggi pun
menjadi basis jaringan yang diandaikan. Berbagai fenomena di atas, kiranya menjadi
referensi utama untuk melakukan retrospeksi secara nasional seluruh komponen
bangsa ini, tanpa terkecuali. Retrospeksi adalah jalan satu-satunya untuk
memperbaiki keadaan bangsa ini ke depan. Baik-buruknya bangsa ke depan, adalah
sangat bergantung pada kegigihan dan kesungguhan komitmen generasi saat ini untuk
menemukan kembali jati diri bangsa melalui penanaman nilai-nilai Pancasila dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Hal itu bisa dilakukan dengan
menjadikan Pendidikan Pancasila sebagai salah satu mata kuliah wajib di kampus
agama dan umum, baik negeri maupun swasta
Daftar Pustaka
1. Latif, Yudi. 2011. Negara Paripurna (Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas
Pancasila), PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
2. Saksono. Ign. Gatut. 2007. Pancasila Soekarno (Ideologi Alternatif Terhadap
Globalisasi dan Syariat Islam). CV Urna Cipta Media Jaya
3. Syarbaini, Syahrial. 2012. Pendidikan Pancasila (Implementasi Nilai-Nilai
Karakter Bangsa) di Perguruan Tinggi, Ghalia Indonesia, Bogor.
4. Undang-Undang No 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi
5. Nanda, Refsa. 2015. Proses Perumusan Pancasila Sebagai Dasar Negara.
http://www.materikelas.com/2015/10/proses-perumusan-pancasilasebagai.html. Diakses pada tanggal 8 September 2016
6. Soekarno, Ir. 2007. Lahirnya Pancasila: Pidato di Hadapan Sidang BPUPKI
1 Juni 1945, dalam Revolusi Indonesia: Nasionalisme, Marhaen, dan
Pancasila, Yogyakarta: Galar Press, pp 27-55
7. Somantri, Gumilar Rusliwa. 2006. Pancasila dalam Perubahan Sosial-Politik
Indonesia Modern, dalam Restorasi Pancasila: Mendamaikan Politik dan
Modernitas, Jakarta: Brighten Press, pp 1-32
8. Fauzi, Nabil. 2013. Modul perkuliahan : Pancasila dalam Kajian Sejarah
Indonesia-2. http://www.mercubuana.ac.id/. Diakses pada tanggal 7
September 2016.
9. Fatih Muhammad. 2015. Sejarah Pancasila Masa Orde Baru dan Reformasi.
http://www.learniseasy.com/2015/11/sejarah-pancasila-masa-orde-baru-danreformasi.html . Diakses pada tanggal 6 September 2016.
10. Riskiana.
2015.
Pancasila
Pada
Era
Orde
Baru.
http://www.slideshare.net/kiki2804/pancasila-pada-era-orde-baru.
Diakses
pada tanggal 6 September 2016.
11. Fatih, Muhammad. 2015. Sejarah Pancasila Dalam Orde Baru dan Reformasi.
http://www.learniseasy.com/2015/11/sejarah-pancasila-masa-orde-baru-danreformasi.html Diakses pada tanggal 8 September 2016.