Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH KEPANITERAAN KLINIK SENIOR

Pengendalian Vektor
Oleh:
IDA KATARINA
NIM. 110100059

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT/ILMU


KEDOKTERAN KOMUNITAS/ILMU KEDOKTERAN PENCEGAHAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2016

MAKALAH KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


Pengendalian Vektor

Oleh:
IDA KATARINA
NIM. 110100059

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT/ILMU


KEDOKTERAN KOMUNITAS/ILMU KEDOKTERAN PENCEGAHAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2016

Pengendalian Vektor
Makalah ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memenuhi persyaratan
dalam mengikuti kegiatan Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di Departemen Ilmu
Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara.
Oleh:
IDA KATARINA
NIM. 110100059

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT/ILMU


KEDOKTERAN KOMUNITAS/ILMU KEDOKTERAN PENCEGAHAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2016

LEMBAR PENGESAHAN
Judul

: Pengendalian Vektor

Nama

: IDA KATARINA

NIM

: 110100059

Medan,

Oktober 2016

Pembimbing

dr. Ismiralda Siregar, M.Kes


NIP. 1970 0928 199031001

KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas karuniaNya penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Pengendalian Vektor
sebagai salah satu syarat untuk memenuhi persyaratan dalam mengikuti kegiatan
Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat,
Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada dr. Ismiralda Siregar, M.Kes, selaku dosen pembimbing
makalah, atas kesediaan beliau meluangkan waktu dan pikiran untuk
membimbing, mendukung, dan memberikan masukan kepada penulis sehingga
makalah ini dapat diselesaikan dengan sebaik-baiknya.
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih belum sempurna,
baik dari segi materi maupun tata cara penulisannya. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan makalah ini di
kemudian hari. Semoga makalah ini dapat memberikan sumbangsih bagi
perkembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang kesehatan. Atas bantuan
dan segala dukungan dari berbagai pihak baik secara moral maupun spiritual,
penulis mengucapkan terima kasih.

Medan,

Oktober 2016

Penulis

DAFTAR ISI

Halaman
LEMBAR PENGESAHAN............................................................................ i
KATA PENGANTAR...................................................................................... ii
DAFTAR ISI.................................................................................................... iii
BAB 1 PENDAHULUAN............................................................................... 4
1.1. Latar Belakang............................................................................... 4
1.2. Tujuan Penulisan............................................................................ 5
1.3. Manfaat Penulisan.......................................................................... 5
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA......................................................................
2.1. Definisi Vektor..............................................................................
2.2. Jenis-Jenis Vektor..........................................................................
2.3. Cara Penularan Penyakit...............................................................
2.4. Pengendalian Vektor.....................................................................

6
6
6
10
11

BAB 3 KESIMPULAN.................................................................................. 18

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 19

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang
Setiap tahun, lebih dari satu triliun penduduk di dunia terinfeksi dan lebih dari

juta penduduk meninggal akibat penyakit transmisi vektor.1 Menurut WHO, penyakit
akibat transmisi vektor berupa 17% dari semua kasus penyakit infeksi. Penyakit
mematikan akibat transmisi vektor ialah malaria yang membunuh lebih dari 1,2 juta
jiwa per tahun, paling sering pada anak-anak Afrika usia dibawah lima tahun adalah
demam dengue, bersama DHF, adalah penyakit akibat transmisi faktor yang paling
progresif. Akibat dari desain irigasi dan sistem pengairan yang buruk, kependudukan
yang padat, pembuangan air yang buruk, serta penyimpanan air merupakan faktor
kontribusi terhadap penyakit akibat transmisi vektor seperti malaria, dengue, dan
leishmaniasis.2
Dalam dua dekade terakhir, banyak penyakit akibat transmisi vektor yang
muncul dan menyebar ke bagian baru dari dunia. Perubahan lingkungan
menyebabkan peningkatan jumlah dan penyebaran dari vektor. Seperti contohnya
dengue; pada tahun 2012, dengue menempati urutan pertama sebagai penyakit yang
potensial menjadi epidemik di dunia dimana penyakit ini telah terjadi peningkatan
insidens 30 kali lipat kasus dalam 50 tahun terakhir. Vektor utama dari dengue yaitu
Aedes aegypti telah ditemukan pada lebih dari 20 negara Eropa dan baru-baru ini
ditemukan telah membawa Chikungunya ke pulau Caribbean; dimana kasus tersebut
merupakan kasus pertama pada benua Amerika. Sedangkan di Indonesia pada tahun
2013, jumlah penderita DBD yang dilaporkan sebanyak 112.511 kasus dengan jumlah
kematian 871 orang (Incidence Rate/Angka kesakitan= 45,85 per 100.000 penduduk
dan CFR/angka kematian= 0,77%).12,13
Penyakit lain yang ditularkan melalui serangga merupakan penyakit endemis
pada daerah tertentu antara lain seperti malaria, kaki gajah dan terakhir ini ditemukan

penyakit virus Chikungunya yang ditularkan melalui gigitan nyamuk aedes aegypti,
disamping penyakit saluran pencernaan seperti disentri, kolera, demam tifoid dan
paratifoid yang ditularkan secara mekanis oleh lalat rumah.3
Oleh karena semakin tingginya penyakit yang diakibatkan oleh transmisi
vektor, perlu digalakkan pengendalian vektor. Pengendalian vektor penyakit menjadi
prioritas dalam upaya pengendalian penyakit karena potensi untuk menularkan
penyakit sangat besar seperti lalat, nyamuk, tikus, dan serangga lainnya. Kegiatan
pengendalian vektor dapat berupa penyemprotan, biological control, pemusnahan
sarang nyamuk, dan perbaikan lingkungan. Keberadaan lalat dan serangga-serangga
pengganggu lain merupakan vektor mekanik dari berbagai penyakit tertentu dan dari
sisi lain keberadaan serangga tersebut menyebabkan gangguan bagi sebagian orang.
Pengendalian dilakukan secepatnya setelah kegiatan survei vektor dilakukan dengan
berbagai cara termasuk menggunakan insektisida.5
1.2.

Tujuan Penelitian
Untuk lebih mengerti dan memahami mengenai Pengendalian Vektor, serta

untuk memenuhi persyaratan dalam mengikuti kegiatan Kepaniteraan Klinik Senior


(KKS) di Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran, Universitas
Sumatera Utara.
1.3.

Manfaat Penulisan
Untuk meningkatkan informasi di dunia ilmu pengetahuan terutama dalam hal

studi literatur, baik bagi penulis maupun pembaca dan masyarakat luas.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.

Definisi Vektor
Menurut Permenkes nomor 374 tahun 2010, Vektor adalah artropoda yang

dapat menularkan, memindahkah dan/atau menjadi sumber penular penyakit terhadap


manusia.4

Menurut

WHO,

vektor

adalah

organisme

hidup

yang

dapat

mentransmisikan penyakit infeksius antar manusia atau dari hewan ke manusia.


Banyak dari vektor tersebut adalah serangga yang menghisap darah dan menelan
mikroorganisme penyebab penyakit dari host yang sakit (manusia atau hewan) dan
kemudian menularkan penyakit ke host sehat sewaktu menghisap darah selanjutnya.
Vektor lain yang berperan adalah tungau, lalat, kumbang, dan keong air tawar.13
2.2.
Seperti

Jenis-Jenis Vektor
telah diketahui

vektor

adalah

Anthropoda

yang

dapat

memindahkan/menularkan suatu infectious agent dari sumber infeksi kepada induk


semang yang rentan. Jenis vektor terbagi menjadi:3,6,8,10,11,12
a. Vektor penyakit protozoa
1) Vektor malaria
Nyamuk anophelini yang berperan sebagai vektor malaria
hanyalah genus Anopheles. Nyamuk anophelini mengalami
metamorfosis sempurna. Waktu yang diperlukan untuk
pertumbuhan sejak telur diletakkan sampai dewasa bervariasi
antara 2-5 minggu, tergantung spesies, makanan yang tersedia
dan suhu udara. Umumnya anophelini aktif mengisap darah
hospes pada malam hari atau sejak senja sampai dini hari.
Aktivitas nyamuk ini sangat dipengaruhi oleh kelembaban
udara dan suhu. Jarak terbang nyamuk biasanya 0,5-3 km dan
umur nyamuk dewasa di alam bebas sekitar 1-2 minggu.

Perilaku

nyamuk

tergantung

dari

spesies

dan

tempat

perindukan larva.
2) Vektor tripanosomiasis
Vektor tripanosomiasis (penyakit tidur Afrika) adalah lalat Tse
tse, sedangkan vektor Tripanosomiasis Amerika adalah
Triatoma rubrofasciata.
3) Vektor leismaniasis
Lalat pasir (sand fly) adalah vektor Leismaniasis yang
berukuran kecil sekitar 1,5-4 mm, berwarna kuning/kelabu dan
seluruh badan berbulu. Habitat lalat ini terutama pada lubang
yang terdapat di onggokan tanah.
b. Vektor penyakit cacing
1) Vektor filariasis limfatik
Nyamuk anophelini dan non anophelini dapat berperan sebagai
vektor filariasis limfatik pada manusia dan filariasis binatang.
Vektor utama filariasis di daerah perkotaan adalah Culex
quinguefasciatus, sedangkan di pedesaan filariasis ditularkan
oleh spesies Anopheles. Waktu yang diperlukan untuk
pertumbuhan dari telur sampai dewasa lebih pendek (1-2
minggu). Tempat perindukan nyamuk non-anophelini berbeda
dari tempat perindukan anophelini. Non-anophelini dapat
bertelur di tempat-tempat perindukan berair jernih, maupun
berair keruh. Nyamuk ini mempunyai kebiasaan mengisap
darah hospes pada malam hari saja (Culex), ada yang mengisap
darah pada siang dan malam hari (Mansonia) dan ada yang
hanya pada siang hari (Aedes).
2) Vektor filariasis non-limfatik
Vektor filariasis ini adalah lalat genus Simulium (black fly) dan
Cysops (horse fly).
c. Vektor penyakit virus, riketsia dan bakteri
1) Vektor penyakit demam berdarah dengue
Vektor DBD adalah nyamuk Aedes aegypti yang mempunyai
warna dasar hitam dengan bintik-bintik putih terutama pada

kakinya. Pertumbuhan dari telur sampai dewasa memerlukan


waktu kira-kira 9 hari. Tempat perindukan nyamuk adalah
tempat-tempat berisi air bersih yang berdekatan dengan rumah
penduduk (500 meter dari rumah). Tempat perindukan tersebut
berupa tempat perindukan buatan manusia (tempayan/gentong
tempat penyimpanan air minum, bak mandi, pot bunga, kaleng,
botol , drum), juga berupa tempat perindukan alamiah
(tempurung kelapa, tonggak bambu dan lubang pohon berisi air
hujan). Nyamuk betina mengisap darah pada pagi (8.00-10.00)
dan siang hari (15.00-17.00). Umumnya jarak terbangnya
pendek yang sekitar 40 meter.
2) Vektor penyakit Japanese B encephalitis
Di indonesia, penyakit ini belum belum banyak dipelajari.
Vektor

dari

penyakit

ini

adalah

nyamuk

Culex

tritaeniorhynchus dan Culex gelidus. Kedua spesies nyamuk


diatas tempat perindukannya dekat kandang ternak seperti
kandang kerbau, sapi atau babi dan pengisapan darah dilakukan
pada malam hari baik didalam atau diluar rumah.
3) Vektor penyakit chikungunya
Vektor penyakit ini adalah Aedes aegypti, Culex, Anopheles,
dan Mansonia. Oleh karena jenis nyamuk yang menularkan
penyakit chikungunya bermacam-macam, wabah

wabah

penyakit chikungunya lebih mudah menyebar daripada


penyakit demam berdarah.
4) Vektor penyakit demam kuning
Walaupun belum pernah dilaporkan di Indonesia, nyamuk
Aedes aegypti menjadi vektornya tersebar di seluruh Indonesia.
5) Vektor penyakit demam semak
Vektor dari penyakit ini adalah tungau Leptotrombidium
akamusi,

L.deliensis

Leptotrombidium

dan

L.

mendapatkan

Fletscheri.
infeksi

Sejak

Riketsia

larva
sampai

menjadi larva generasi berikutnya masih tetap infektif. Inilah


penularan yang terjadi secara transovarian.
6) Vektor penyakit sampar
Pes disebabkan oleh Yersinia pestis. Vektor penyakit pes adalah
tikus spesies Xenopsylla cheopis, Stivalius cognatus dan
Neopsylla sondaica. Cara penularan penyakit pes adalah
propagatif. Pertumbuhan dari telur sampai menjadi dewasa
memerlukan waktu 18 hari.
d. Vektor mekanik
1) Musca
Musca domestica (lalat rumah) dapat menjadi vektor mekanik
amebiasis, disentri, toksoplasmosis dan penyakit cacing usus.
Lalat rumah mudah berkembang biak, tempat perindukannya di
timbunan sampah, tinja manusia dan binatang. Jarak terbang
sampai 10 km; umur lalat dewasa 2-4 minggu. Lalat dewasa
sangat aktif sepanjang hari terutama pada pagi hingga sore
hari. Pada malam hari tidak aktif, namun dapat aktif dengan
adanya sinar buatan. Serangga ini sangat tertarik pada makanan
manusia. Sehubungan dengan bentuk mulutnya, makanan lalat
hanya dalam bentuk cairan, makanan yang kering dibasahi oleh
lidahnya.
2) Periplaneta
Periplaneta (lipas) dapat menjadi vektor mekanik amebiasis,
lambliasis, toksoplasmosis, askariasis, dan isosporiasis.
2.3.

Cara Penularan Penyakit


Secara umum, vektor dapat menularkan penyakit melalui beberapa cara. Cara
penularan/transmisi penyakit terbagi menjadi 3, yaitu:3,6
a. Transmisi secara mekanik berlangsung dari penderita ke orang lain dengan
perantaraan bagian luar tubuh serangga. Agen penyakit yang paling banyak
ditularkan secara mekanik adalah Salmonella typhosa, E. coli dan Shigella

10

dystentry. Contoh dari penularan ini adalah telur cacing, kista protozoa dan
bakteri usu dapat dipindahkan dari tinja ke makanan melalui kaki atau badan
lalat rumah.
b. Transmisi secara biologik berlangsung bila agen penyakit mengalami
multiplikasi dan atau perkembangan. Ada tiga cara transmisi secara biologis,
yaitu:
1) Bila dilakukan setelah agen/parasit yang diisap mengalami proses
biologik dalam tubuh vektor, parasit(virus, bakteri, spiroket) hanya
membelah diri menjadi banyak, penularan disebut penularan
propagatif, misalnya Yersinia pestis dalam ginjal tikus.
2) Bila dalam tubuh vektor, parasit (Plasmodium,

Leishmania,

Trypanosoma) berubah bentuk (perubahan siklus) dan membelah diri


(multiplikasi) menjadi banyak, disebut penularan sikliko-propagatif,
misalnya Plasmodium falciparum dalam nyamuk Anopheles.
3) Bila di dalam tubuh vektor, parasit (Wuchereria, Brugia, Onchocerca)
hanya berubah bentuk menjadi bentuk infektif (perubahan siklus tanpa
mengalami multiplikasi), disebut penularan sikliko-developmental,
misalnya Wuchereria bancrofti dalam badan nyamuk Culex.
c. Transmisi transovarian terjadi sebagai berikut. Vektor yang terinfeksi akan
menularkan penyebab penyakit kepada keturunannya. Selanjutnya larva
infektif keturunannya itulah yang akan menularkan penyakit kepada manusia,
misalnya Rickettsia tsutsugamushi dalam larva infektif Leptodtrombidium.
2.4.

Pengendalian Vektor6
Pengendalian vektor adalah semua kegiatan atau tindakan yang ditujukan

untuk menurunkan populasi vektor serendah mungkin sehingga keberadaannya tidak


lagi berisiko untuk terjadinya penularan penyakit tular vektor di suatu wilayah atau
menghindari kontak masyarakat dengan vektor sehingga penularan penyakit dapat
dicegah.4 Pengendalian vektor bertujuan: 1) mengurangi atau menekan populasi
vektor serendah-rendahnya sehingga tidak berarti lagi sebagai penular penyakit, 2)
menghindarkan kontak antara vektor dan manusia.6

11

Pengendalian vektor dapat digolongkan dalam pengendalian alami (natural


control) dan pengendalian buatan (artificial = applied control). Termasuk
pengendalian alami adalah faktor-faktor ekologi yang bukan merupakan tindakan
manusia.
Pengendalian secara alami, berbagai contoh yang berhubungan dengan faktor
ekologi yang sangat penting artinya bagi perkembangan serangga adalah:
1. Adanya gunung, lautan, danau dan sungai yang luas yang merupakan
rintangan bagi penyebaran serangga
2. Ketidakmampuan mempertahankan hidup beberapa spesies serangga
di daerah yang terletak di ketinggian tertentu dari permukaan laut
3. Perubahan musim yang dapat menimbulkan gangguan pada beberapa
spesies serangga.
4. Iklim yang panas, udara kering dan tanah tandus tidak memungkinkan
perkembangbiakan sebagian besar serangga. Iklim yang panas atau
yang dingin untuk beberapa spesies tertentu tidak sesuai dengan
kelestarian hidupnya
5. Angin besar dan curah hujan yang tinggi dapat mengurangi jumlah
populasi serangga daerah
6. Adanya burung, katak, cicak, binatang lain yang merupakan pemangsa
serangga
7. Penyakit serangga
Pengendalian yang dilakukan atas usaha manusia dan dapat dibagi menjadi 7,
yaitu:
1. Pengendalian lingkungan (Environmental Control)
Pengendalian dilakukan dengan cara mengelola lingkungan, yaitu
memodifikasi atau memanipulasi lingkungan, sehingga terbentuk
lingkungan yang tidak cocok (kurang baik) yang dapat mencegah atau
membatasi perkembangan vektor. Cara ini paling aman terhadap
lingkungan, karena tidak merusak keseimbangan alam dan tidak
mencemari lingkungan.

12

a. Modifikasi Lingkungan (Environmental Modification)


Cara ini berkaitan dengan mengubah sarana fisik yang ada dan
hasilnya bersifat permanen. Sebagai contoh: 1) pengaturan
sistem irigasi, 2) penimbunan tempat-tempat yang dapat
menampung air dan tempat-tempat pembuangan sampah, 3)
penimbunan tempat pengaliran air yang menggenang menjadi
kering, 4) pengubahan rawa menjadi sawah dan 5) pengubahan
hutan menjadi tempat pemukiman.
b. Manipulasi Lingkungan (Environmental Manipulation)
Cara ini berkaitan dengan pembersihan atau pemeliharaan
sarana fisik yang telah ada supaya tidak terbentuk tempattempat perindukan atau tempat istirahat serangga, dan hasilnya
bersifat tidak permanen, sehingga harus dilakukan terus
menerus. Sebagai contoh: 1) membersihkan tanaman air yang
mengapung di danau seperti ganggang dan lumut yang dapat
menyulitkan perkembangan Anopheles sundaicus, 2) mengatur
kadar garam di lagoon yang dapat menekan populasi An.
subpictus dan An. sundaicus, 3) melestarikan kehidupan
tanaman bakau yang membatasi tempat perindukan An.
sundaicus, 4) membuang atau mencabut tumbuh-tumbuhan air
yang tumbuh di kolam atau rawa yang dapat menekan populasi
Mansonia spp. dan 5) melancarkan air dalam got yang
tersumbat agar tidak menjadi tempat perindukan Culex.
2. Pengendalian Kimiawi
Untuk pengendalian ini digunakan bahan kimia yang berkhasiat
membunuh serangga (insektisida) atau hanya untuk menghalau
serangga saja (repellent). Kebaikan cara pengendalian ini ialah dapat
dilakukan dengan segera, meliputi daerah yang luas, sehingga dapat
menekan populasi serangga dalam waktu singkat. Keburukannya
karena cara pengendalian ini hanya bersifat sementara, dapat

13

menimbulkan pencemaran lingkungan, kemungkinan timbulnya


resistensi serangga terhadap insektisida dan mengakibatkan matinya
beberapa pemangsa dan organisme yang bukan termasuk target.
Contoh cara ini: 1) menuangkan solar atau minyak tanah di permukaan
tempat perindukan sehingga oksigen dari udara, 2) pemakaian
parisgreen, temefos dan fention untuk membunuh larva nyamuk, 3)
penggunaan herbisida dan zat kimia yang mematikan tumbuhan air
tempat berlindung larva nyamuk di tempat perindukan, 4) penggunaan
insektisida berupada residual spray untuk nyamuk dewasa, 5)
penggunaan gel silika dan lesitin cair.
3. Pengendalian Mekanik
Pengendalian ini dilakukan dengan menggunakan alat yang langsung
dapat membunuh, menangkap atau menghalau, menyisir, dan
mengeluarkan serangga dari jaringan tubuh.

Contoh cara ini: 1)

memakai baju pelindung, 2) memasang kawat kasa di jendela.


4. Pengendalian Fisik
Cara pengendalian ini menggunakan alat fisika untuk pemanasan,
pembekuan dan alat listrik untuk pengadaan angin, penyinaran yang
dapat membunuh atau mengganggu kehidupan serangga. Suhu 60 o C
dan suhu beku dapat membunuh serangga, sedangkan suhu dingin
menyebabkan serangga tidak dapat melakukan aktivitasnya. Contoh
cara ini: 1) memasang hembusan angin keras di pintu masuk di hotel,
restoran dan pasar swalayan, 2) memasang lampu kuning untuk
menghalau nyamuk, 3) menggunakan bednets, 4) penutup makanan.
5. Pengendalian Biologik 6,13
Cara pengendalian ini dengan memperbanyak pemangsa dan parasit
sebagai musuh alami bagi vektor. Contoh dari cara ini: 1) parasit dari
golongan nematoda dapat menembus badan larva nyamuk dan hidup
sebagai parasit, 2) menggunakan organisme hidup untuk pengendalian
larva, seperti ikan yang makan larva (ikan nila, ikan mas, guppies), 3)

14

bakteri Bacillus menghasilkan racun terhadap larva, 4) pakis


mengambang bebas untuk mencegah pembiakan
6. Pengendalian Genetika
Pengendalian cara ini bertujuan mengganti populasi serangga yang
berbahaya dengan populasi batu yang tidak merugikan. Beberapa cara
mengubah kemampuan reproduksi dengan jalan memandulkan
serangga jantan. Pemandulan dapat dilakukan dengan menggunakan
bahan kimia (TEPA), radiasi (merusak DNA dalam kromosom sperma
atau mengubah letak susunan kromosom), mengawinkan antar strain
(sel telur tidak dapat ditembus sperma) atau antar spesies (hasilnya
didapatkan keturunan jantan yang steril).
7. Pengendalian Legislatif 6,7
Untuk mencegah tersebarnya serangga berbahaya dari satu daerah ke
daerah lain, pemerintah dapat melakukan karantina di pelabuhan laut
dan udara. Selain itu pemerintah juga membuat kebijakan dalam
rangka pengendalian vektor seperti kebijakan pengendalian vektor di
wilayah bandara dan pelabuhan yang tercantum dalam Permenkes
Nomor 356 tahun 2008 tentang organisasi dan tata kerja kantor
kesehatan pelabuhan. Berdasarkan keputusan Dirjen PP&PL Nomor
HK.03.05/D/I.4/2659/2007 tentang Petunjuk Teknis Disinseksi Kapal
Laut dan Pesawat Udara disebutkan bahwa sebagai pelaksana kegiatan
karatina kesehatan, KKP wajib melaksanakan fungsi karantina
kesehatan.
Tindakan pencegahan penyakit DBD adalah dengan memutuskan rantai
penularan yaitu mencegah gigitan nyamuk vektor DBD, dengan pemberantasan
sarang nyamuk penular dan membasmi jentik nyamuk di tempat perindukannya.
Tindakan-tindakan pencegahan penyakit DBD adalah sebagai berikut:5,9,12,13
a) Kimiawi dengan pengasapan (fogging) menggunakan insektisida
(menggunakan malathion) dan larvasidasi. Pengasapan sangat efektif
dalam memutuskan rantai penularan karena semua nyamuk termasuk

15

yang aktif mati seketika bila kontak dengan partikel insektisida.


Penaburan larvasida berupa abate 1% dengan dosis 1 gram per 10 liter
air di tempat penampungan air seperti bak mandi, tempayan, drum dapat
mencegah timbulnya jentik selama 2-3 bulan. Namun cara tersebut tidak
menjamin terbasminya tempat perindukkan nyamuk oleh karena bau
yang ditimbulkan kurang sedap sehingga masyarakat tidak rutin
melaksanakannya.
b) Biologi dengan memelihara ikan larvavorus (gambusia affinis dan ikan
adu) dan dengan memiliki ternak sebagai tameng melindungi dari
serangan nyamuk
c) Fisik melalui upaya Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) yang dikenal
dengan kegiatan 3 M plus (menguras, menutup, dan mengubur) serta
memasang kawat kasa, ventilasi ruang yang memadai, menggunakan
kelambu, dan lain-lain.
Masalah yang muncul dan menjadi penyebab kegagalan pengendalian vektor
nyamuk adalah resistensi nyamuk terhadap insektisida yang digunakan.12
Usaha pemberantasan lalat harus merupakan salah satu program kesehatan
lingkungan dari tiap-tiap Dinas Kesehatan Rakyat. Kadang-kadang perlu diadakan
kampanye pembasmian lalat untuk menarik perhatian dan mendapatkan kerjasama
serta bantuan masyarakat dalam sebuah community fly control program. Usaha
pemberantasan lalat meliputi:5
1. Tindakan penyehatan lingkungan berupa menghilangkan tempattempat

pembiakan

lalat

dan

melindungi

makanan

terhadap

kontaminasi oleh lalat


2. Membasmi larva lalat dapat dilakukan dengan membuang kotoran
hewan ternak diatas lapangan terbuka atau ditimbun dalam tempat
yang tertutup rapat sehingga tidak memungkinkan lalat untuk
berkembang biak didalamnya. Timbunan kotoran hewan bisa
disemprot dengan diazinon dan matahion (sebagai emulsi) atau
insektisida lain (Ronnel, DDVP).

16

3. Membasmi lalat dewasa bisa dilakukan dengan penyemprotan udara:


a. Di dalam rumah: dengan 0,1% pyrethrum dengan synergizing
agents
b. Di luar rumah: fogging dengan suspensi dari 5% DDT, 2%
lindane atau 5% malathion
c. Residual spraying dengan organofosfat: Diazinon 1%, Dibrom
1%, Dimethoote, malathion 5%.
d. Khusus untuk perusahaan susu sapi dipakai residual spraying
diazinon, ronnel dan malathion.
e. Tali yang diresapi dengan insektisida (inprenated cords):
merupakan variasi dari residual spraying. Tali-tali ini digantung
vertikal dari langit-langit rumah, cukup tinggi supaya tidak
tersentuh oleh kepala orang. Lalat suka sekali hinggap pada
tali-tali ini untuk mengaso, terutama pada malam hari.
f. Umpan lalat berupa gula, dalam bentuk kering atau basah,
dicampur dengan insektisida (diazinon, malathion, ronnel,
DDVP, Dibrom).

17

BAB 3
KESIMPULAN
Menurut Permenkes nomor 374 tahun 2010, Vektor adalah artropoda yang
dapat menularkan, memindahkah dan/atau menjadi sumber penular penyakit terhadap
manusia.
Pengendalian vektor adalah semua kegiatan atau tindakan yang ditujukan
untuk menurunkan populasi vektor serendah mungkin sehingga keberadaannya tidak
lagi berisiko untuk terjadinya penularan penyakit tular vektor di suatu wilayah atau
menghindari kontak masyarakat dengan vektor sehingga penularan penyakit dapat
dicegah.4 Pengendalian vektor bertujuan: 1) mengurangi atau menekan populasi
vektor serendah-rendahnya sehingga tidak berarti lagi sebagai penular penyakit, 2)
menghindarkan kontak antara vektor dan manusia.
Pengendalian vektor dapat digolongkan dalam pengendalian alami (natural
control) dan pengendalian buatan (artificial = applied control). Termasuk
pengendalian alami adalah faktor-faktor ekologi yang bukan merupakan tindakan
manusia.

18

DAFTAR PUSTAKA
1. WHO, 2014. A global brief on vector-borne disease. Available from:
http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/111008/1/WHO_DCO_WHD_2014.1
_eng.pdf Accessed 24 October 2016
2. WHO,
2016.
Vector-borne
disease.
Available
from:
http://www.who.int/heli/risks/vectors/vector/en/ Accessed 24 October 2016
3. Chandra, B., 2005. Vektor Penyakit Menular Pada Manusia.
4. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2012. Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 374/Menkes/PER/III/2010 tentang
Pengendalian Vektor. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan.
5. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Kurikulum & Modul:
Pelatihan Sanitasi Tanggap Darurat. Jakarta: Badan Pengembangan dan
Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan.
6. Sutanto, I., Ismid, I.S., Sjarifuddin, P.K., Sungkar, S., 2008. Buku Ajar
Parasitologi Kedokteran. Edisi Keempat. Jakarta: Balai Penerbit FK UI
7. Budiarty, T.I., 2012. Gambaran Manajemen Pengendalian Vektor di Bandara
Soekarno Hatta Tahun 2012. Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Program
Studi Kesehatan Masyarakat
8. Komariah, Pratita, S., Malaka, T., 2010. Pengendalian Vektor. Jurnal
Kesehatan Bina Husada Vol. 6 No.1, p 34-43
9. Nurmaini, 2003. Menitifikasi Vektor dan Pengendalian Nyamuk Anopheles
Aconitus Secara Sederhana. Medan: Bagian Kesehatan Lingkungan Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
10. Dinas Kesehatan Provinsi Bengkulu. 2015. Jenis-Jenis dan Gambar Nyamuk
yang
Sering
dijumpai.
Available
from:

19

http://dinkes.bengkuluprov.go.id/ver1/index.php/117-jenis-jenis-dan-gambarnyamuk-yang-sering-dijumpai Accessed: 24 October 2016.


11. Rahmawati, S.L., Nurjazuli, Raharjo, M., 2012. Evaluasi Manajemen
Lingkungan Pengendalian Vektor Dalam Upaya Pemberantasan Penyakit
Malaria di Kota Ternate. Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia Vol. 11 No.2
p172-181
12. Sukesi, T.W., 2012. Monitoring Populasi Nyamuk Aedes aegypti L. Vektor
Penyakit Demam Berdarah Dengue di Kelurahan Gedongkiwo Kecamatan
Mantrijeron Kota Yogyakarta. Yogyakarta: Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Ahmad Dahlan.
13. Tairas, S., Kandou, G.D., Posangi, J., 2015. Analisis Pelaksanaan
Pengendalian Demam Berdarah Dengue di Kabupaten Minahasa Utara.
Jikmu, Vol 5, No. 1, Januari 2015. P21-29
14.

Anda mungkin juga menyukai