KAJIAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Meningitis bakterial adalah suatu peradangan pada selaput otak yang
mengenai lapisan piamater dan ruang subaraknoid (Gambar 2.1) termasuk cairan
serebrospinal (Gambar 2.2) yang dapat disebabkan oleh bakteri yang menyebar
masuk ke dalam darah dan berpindah ke cairan otak (Marvin, 2009; Sez-Lorens dan
McCracken, 2003).
infeksi saluran pernapasan atau otitis media dengan gejala nyeri telinga atau keluhan
diare. Keluhan meningitis berupa demam tinggi (94%), nyeri kepala hebat, mual,
muntah (82%), diare, leher kaku (77%) (Ashwal dkk., 1993).
Tabel 2.1 Manifestasi klinis meningitis
(Dikutip dengan modifikasi dari Tunkel AR., 2005)
Sakit kepala
Panas
Kaku kuduk
Penurunan kesadaran
Muntah
Kejang
Gangguan Fokal neurologi
Papilledema
Frekuensi (%)
90
90
85
> 85
~ 35
~ 30
10 ~ 20
<5
Aliran cairan serebrospinal (berikutnya akan disebut CSS) dapat dilihat pada
Gambar 2.4. Cairan serebrospinal terutama dihasilkan pleksus koroid di ventrikel
lateral (Stefan dan Frorian, 2000). Proses meningitis bakterial dimulai dari masuknya
bakteri ke dalam susunan saraf pusat melalui tempat-tempat yang lemah yaitu di
makro vaskular otak atau pleksus koroid yang merupakan media yang baik bagi
bakteri karena mengandung kadar glukosa yang tinggi (Fenichel, 2009).
Sawar darah otak normal terdiri dari sel endotel dari kapiler darah otak (kecuali
pada hipofisis posterior, area postrema, pleksus koroid dan sirkumventrikular).
Astrosit akan membentuk tight junction yang padat yang menghalangi lewatnya zat
terlarut dalam darah (elektrolit dan protein) atau sel (Stefan dan frorian, 2000).
Dengan demikian lingkungan ekstrasel otak akan terpisah dari darah sehingga
Bakteri yang berkembang biak ataupun mati (lisis) melepaskan dinding sel atau
komponen membran sel (endotoksin dan asam teikhoat) yang menyebabkan
kerusakan jaringan otak serta menimbulkan peradangan di selaput meningen (Saharso
dan Hidayati, 1999).
Komponen membran dari bakteri merangsang sel endotel dan makrofag di
susunan saraf pusat (sel astrosit dan mikroglia) memproduksi mediator inflamasi
seperti interleukin-1 (IL-1) dan tumor necrosis factor (TNF) (Gambar 2.5). Mediator
inflamasi berperan dalam proses awal dari beberapa mekanisme yang menyebabkan
peningkatan tekanan intrakranial, yang selanjutnya mengakibatkan menurunnya
aliran darah otak (Saharso dan Hidayati, 1999; Liorens dan Ramilo, 1990).
Toksik dari bakteri awalnya menimbulkan hiperemi pembuluh darah selaput otak
disertai migrasi neutrofil ke ruang subaraknoid, selanjutnya merangsang timbulnya
kongesti dan meningkatkan permeabilitas pembuluh darah, mempermudah adesi sel
fagosit dan sel polimorfonuklear untuk menembus pembuluh darah melalui tight
junction dan memfagosit bakteri. Debris sel dan eksudat yang terbentuk dalam ruang
subaraknoid cepat meluas dan cenderung terkumpul di daerah konveks otak tempat
cairan serebrospinal diabsorbsi oleh vili araknoid, di dasar sulkus dan fisura Sylvii
serta sisterna basalis dan sekitar serebelum (Saharso dan Hidayati, 1999; Liorens dan
Ramilo, 1990).
Infeksi awal eksudat hampir seluruhnya adalah sel polimorfonuklear (PMN) yang
memfagosit bakteri. Secara berangsur-angsur sel polimorfonuklear digantikan oleh
sel limfosit, monosit dan histiosit yang jumlahnya akan bertambah banyak, dan
mengasilkan eksudat fibrinogen. Minggu ke dua infeksi, muncul sel fibroblast yang
berperan dalam proses organisasi eksudat, sehingga terbentuk jaringan fibrosis pada
selaput otak yang menyebabkan perlekatan yang terjadi di daerah sisterna basalis,
menimbulkan hidrosefalus komunikan, dan bila terjadi di aqueductus Sylvii, foramen
Luschka dan Magendi maka terjadi hidrosefalus obstruktif (Hartwig dan Wilson,
2002; Saharso dan Hidayati, 1999).
kadang menyebabkan trombosis arteri. Proses yang sama juga terjadi di vena. Fokus
nekrosis dan trombus dapat menyebabkan oklusi total atau parsial pada lumen
pembuluh darah, sehingga keadaan tersebut menyebabkan aliran darah otak menurun,
dan dapat menyebabkan terjadinya infark (Saharso dan Hidayati, 1999).
Infark vena dan arteri yang luas akan menyebabkan hemiplegi, dekortikasi atau
deserebrasi, buta kortikal, kejang dan koma. Kejang yang timbul selama hari pertama
tidak mempengaruhi prognosis, namun lama kejang atau kejang yang sulit dikontrol,
kejang menetap lebih dari empat hari, kejang yang timbul pertama pada sakit yang
sudah berlangsung lama, serta kejang fokal akan menyebabkan manifestasi sisa yang
menetap (Saharso dan Hidayati, 1999; Liorens dan Ramilo, 1990 ).
Infark dan trombosis vena kecil di korteks akan menimbulkan nekrosis iskemik
korteks serebri. Kerusakan korteks serebri akibat hipoksia, invasi kuman
mengakibatkan penurunan kesadaran, kejang fokal dan gangguan fungsi motorik
berupa paresis yang sering timbul pada hari ketiga sampai keempat, selain itu juga
menimbulkan gangguan sensorik dan gangguan fungsi intelektual berupa retardasi
mental dan gangguan tingkah laku dan gangguan fungsi intelektual. Kerusakan
langsung pada selaput otak dan vena di durameter atau araknoid yang berupa
tromboflebitis, robekan-robekan kecil dan perluasan infeksi araknoid menyebabkan
transudasi protein dengan berat molekul kecil ke dalam ruang subaraknoid dan
subdural sehingga timbul efusi subdural yang menimbulkan manifestasi neurologis
fokal, demam yang lama, kejang dan muntah (Stefan dan Florian, 2000).
supraoptikohipofisis
meskipun
susah lagi karena hanya datang dengan keluhan demam, rewel, letargi, malas minum
dan high-pitched cry. Keluhan lain yang harus digali yaitu riwayat penyakit infeksi
sebelumnya (Graham dkk., 1996; Kohrman dkk., 2007) misal keluhan diare, batukpilek, rinorrhea, otorrhea sebagai port of entry dari meningitis (Saharso dan
Hidayati, 1999).
2.4.2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik awal adalah Status present yaitu gangguan kesadaraan dapat
berupa hanya rewel sampai penurunan kesadaran yang dapat diukur sesuai dengan
Glasgow Coma Scale (GCS) pediatri (Tabel 2.2). Pemeriksaan lingkar kepala
dilakukan untuk menilai apakah ada hidrosefalus atau peningkatan tekanan intra
kranial. Anak kurang dari satu tahun sering didapatkan ubun ubun yang membonjol.
Peningkatan tekanan intrakranial menyebabkan papil edema pada pemeriksaan mata.
Strabismus akibat penekanan pada saraf abdusen dan dilatasi pupil yang tidak
berespon terhadap cahaya terjadi karena penekanan saraf okulomotorik. Bradikardi
dan hipertensi arteri dapat terjadi karena tekanan pada batang otak (Stefan dan
Florian, 2000; Saharso dan Hidayati, 1999 ).
Tanda rangsang meningeal dapat diperiksa dengan beberapa parasat antara lain
pemeriksaan kaku kuduk, tanda Kernig, tanda Brudzinski I dan Brudzinski II.
Pemeriksaan kaku kuduk (nuchal rigidity) dapat dilakukan dengan menekuk leher
secara pasif. Pemeriksaan kaku kuduk dikatakan positif bila terdapat tahanan
sehinggga dagu tidak dapat menempel pada dada. Tahanan juga terasa apabila leher
diposisikan hiperektensi, diputar atau digerakkan ke samping. Kaku kuduk dapat
Respon
Spontan
Terhadap suara
Terhadap sakit
Tidak ada
Terorientasi
Kata-kata
Suara-suara
Menangis
Tidak ada
Mengikuti perintah
Lokalisasi sakit
Fleksi terhadap sakit
Ekstensi terhadap sakit
Tidak ada
Nilai
4
3
2
1
5
4
3
2
1
5
4
3
2
1
11
1 sampai 2 tahun
12
2 sampai 5 tahun
13
14
Dikutip tanpa modifikasi dari Reilly, dkk. Child Nerv Syst., 1988; 4 : 30
kesadaran adalah sepuluh mililiter. Cairan serebrospinal ditampung dalam dua tabung
steril dan setelahnya jarum lumbal pungsi dapat dicabut dengan memasang kembali
stylet sebelumnya dan segera tutup tempat tusukan dengan kassa steril yang telah
diberi povidone iodine. Penderita diminta berbaring terlentang tanpa bantal selama
tiga puluh menit setelah pungsi lumbal (Kneen dkk., 2002; Michelson, 2006).
Meningitis bakterial didiagnosis apabila didapat CSS keruh dengan hasil
pemeriksaan analisis Nonne negatif atau positif dan pemeriksaan pandi yang positif.
Jumlah sel 100-10.000/mm3 dengan hitung jenis predominan polimofonuklear,
protein 100-500 mg/dl, glukosa <40 mg/dl. Baku emas untuk pemeriksaan meningitis
bakterial pewarnaan gram positif dengan, pertumbuhan bakteri dari biakan CSS serta
uji sensitivitas resistensi antibiotik sangat penting untuk pemberian terapi definitif.
Jumlah sel dapat normal dengan predominan limfosit bila telah mendapat terapi
antibiotik sebelumnya sehingga menyebabkan gambaran CSS tidak spesifik (Saharso
dan Hidayati, 1999 ).
2.5 Tatalaksana
Tatalaksana yang paling penting pada penderita meningitis adalah bantuan
hidup dasar yaitu mencegah kerusakan otak lebih lanjut dengan: 1). mempertahankan
jalan nafas yang adekuat adalah prinsip yang terpenting. Ventilasi mekanik bila
dibutuhkan terutama pada penderita dengan kejang atau penurunan kesadaran (Taylor
dan Ashwal, 1993); 2). Mempertahankan semua fungsi sistem vital (Martin dan Urs,
2006).
Sistem
kardiovaskular
dipertahankan
dengan
mempersiapkan
akses
intravaskular, terutama pada penderita yang datang dengan syok dapat diberikan
resusitasi cairan 20 ml/kg BB secepatnya dan dapat diulang dua kali (Pollard dkk.,
1999). Tatalaksana di unit gawat darurat mengacu pada periode emas yaitu resusitasi
enam puluh menit pertama. Fase hipovolemia dapat berlanjut ke fase syok yang
refrakter terhadap terapi cairan, merupakan indikasi pemberian inotropik (Hazinsky
dkk., 2002).
Pemeriksaan mikrobiologi membutuhkan waktu beberapa hari sehingga
apabila dicurigai meningitis bakterial, maka pemberian antibiotik harus segera (SaezLorens dan McCracken, 2003; Bernard dan James, 2006; Fenichel, 2009). Pemilihan
antibiotik empiris didasarkan pada data epidemiologi kultur atau pola kuman
setempat. Terapi definitif diberikan segera setelah ada hasil kultur dan tes kepekaan
antibiotik. Terapi meningitis bakterial bedasarkan Pedoman Pelayanan Medis Ilmu
Kesehatan Anak RSUP Sanglah 2011 pada anak umur 1-3 bulan, lini pertama dapat
dipergunakan Ampisilin 200-400 mg/kgbb/hari diberikan secara intravena setiap 6
jam dan sefotaksim 200 mg/kgbb/hari diberikan secara intravena setiap 8 jam.
Diberikan empiris lini ke dua adalah Seftriakson 100 mg/kgbb/hari intravena setiap
12 jam. Antibiotik empiris lini pertama untuk anak umur lebih dari 3 bulan, adalah
Sefotaksim 200 mg/kgbb/hari diberikan secara intravena setiap 6 atau 8 jam, dengan
antibiotik empiris lini kedua Seftriakson 100 mg/kgbb/hari diberikan secara intravena
setiap 12 jam. Kortikosteroid deksametason diberikan dengan dosis 0,6 mg/kgbb/hari
diberikan secara intravena setiap 6 jam diberikan selama dua hari pertama, 30 menit
sebelum pemberian antibiotik (PPM RSUP Sanglah, 2011 ).
2.6
Prognosis
Faktor prognosis mayor yang memperburuk prognosis pada penderita meningitis
bakterial digambarkan dalam Tabel 2.3. (Algren dkk., 1993; Baraff dkk., 1993;
Kaaresen dan Flaegstad, 1995; Kornelisse dkk., 1995). Kepustakaan menunjukkan
faktor yang mempengaruhi prognosis meningitis bakterial, yaitu: 1). Umur penderita :
anak umur di bawah 1 tahun memiliki prognosis buruk dengan mortalitas sebesar 1530%. Bayi baru lahir memiliki angka kematian sebesar 20-40%, dari mereka yang
bertahan hidup akan mengalami gejala sisa neurologi yang permanen (Martin dan
Urs, 2006); 2). Jenis bakteri penyebab : bakteri penyebab berpengaruh prognosis,
dimana berdasarkan meta analisis memperlihatkan gejala sisa neurologi pada
meningitis yang disebabkan oleh S. pneumoniae (15-30%) lebih tinggi dibanding H.
influenzae (5-20%) (Kaaresen dan
gejala neurologi berat sebelum sakit, kejang > 30 menit, kejang yang tidak terkontrol
(Chin dkk., 2005; Farag dkk., 2005; Rivielloo dkk., 2006), koma, syok, leukosit CSS
<1000x 106 /L (Martin dan Urs, 2006); 4). Lamanya sakit sebelum mendapat
pengobatan : penderita yang didiagnosis meningitis dan mendapat terapi yang tepat
dalam 24 jam pertama setelah timbulnya gejala akan memiliki prognosis lebih baik
(gejala sisa 12%) dibanding penderita yang mendapat terapi setelah 3 hari atau lebih
(gejala sisa 59%) (Fenichel, 2009); 5). Manajemen terapi dan penanganan penyulit
(Marvin, 2009; Fenichel, 2009; Lorens, 2003).
Gejala sisa yang terjadi setelah meningitis bakterial meliputi tuli (15-30%), defisit
neurologi (5-30%), gangguan belajar (5-20%), serebral palsi (5-10%), buta (<5%),
dan hidrosefalus (2-3%) (Marvin, 2009; Fenichel, 2009; Lorens, 2003).
Tabel 2.3 Faktor-faktor prognosis mayor
Faktor resiko untuk prognosis buruk dari meningitis bakterial
Etiologi
Streptococcus pneumoniae
Gram-negative enteric bacteria
Jumlah bakteri
Penderita
Bayi baru lahir
Sistem imun yang menurun
Keadaan umun saat Penyakit kronis yang barat
penderita masuk rumah Kelainan neurologi
sakit
Koma
Keterlibatan kardiovakular
Tidak ada riwayat demam
Sel CSS <1000x106 /L
Management terapi
Indikasi ICU
Terapi antibiotic yang tidak adekuat
Terapi anti inflammatosi yang tidak
adekuat
Perjalanan
penyakit Respon antibiotik yang lambat
meningitis bakterial
Komplikasi yang berat
N
5
4
3
3
2
1
27
Anak (N = 43)
Sepsis
Omfalitis
Otitis media akut
Asfiksia
Prematur
Trombositopeni idiopatik
Penyakit paru kronis
Neuroblastoma post kraniotomi
Kelainan imun bawaan
Infeksi saluran kencing
Lain-lain
*Delapan penderita dengan lebih dari satu faktor predisposisi
(Dikutip dari penelitian Chang, 2004)
N
3
2
2
1
1
1
1
1
1
1
29