Anda di halaman 1dari 40

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ketika kaum muslimin membaiat Usman bin Affan sebagai khalifah
menggantikan Amirul Muminin Umar bin Khattab, politik penaklukan Islam terus
berlanjut di timur dan barat sehingga daulah Islam menjadi daulah yang kaya dan
luas. Selama 12 tahun pemerintahan khalifah Usman bin Affan tercatat kemajuan
yang dicapai untuk perkembangan Islam, terutama 6 tahun pertama dari
pemerintahannya. Adapun 6 tahun terakhir masa pemerintahannya yang dikenal
dengan periode II atau masa kemunduran muncul perasaan kecewa, tidak puas
dikalangan umat Islam terhadap pemerintahan dan kepemimpinannya. 1
Salah satu faktor yang menyebabkan

banyak rakyat kecewa terhadap

kepemimpinan Khalifah Usman adalah kebijaksanaannya mengangkat keluarga dari


Bani Umayyah, menjadi feodal dan pejabat. Mereka memandang khalifah telah
menjalankan politik nepotisme karena lebih banyak mementingkan kaum kerabat dan
famili dalam menjalankan roda pemerintahan. Awal dari timbulnya tuduhan
nepotisme yakni, ketika Khalifah Usman membagikan sejumlah jabatan penting di
pemerintahan kepada kerabatnya. Ia juga mengubah anggota syura yang dibentuk
oleh Abu Bakar dan Umar bin Khattab untuk membantu dan memberi nasehat
menjadi satu orang yaitu Marwan bin Hakam. Dialah orang pertama yang dimintai

Ahmad Amin, Islam dari Masa Kemasa, (cet. III; Bandung: Rosdakarya, 1993), h. 87

nasehatnya. Usman juga memecat Amr bin Ash dan mengangkat sepupu
sepersusuannya Abdullah bin as-Sarh. Abdullah bin as-Sarh memperlakukan rakyat
mesir dengan kasar, ia tidak menghiraukan himbauan Usman untuk memperlakukan
mereka dengan baik. Demikian pula tindakannya dalam mengangkat gubernur
Bashrah, Kufah, dan Syam.2
Bani Umayyah yang diangkat menjadi pejabat tinggi memanfaatkan
kesempatan, kekayaan mereka bertambah secara berlebihan, istana-istana dibangun
dan taman-taman subur dibuat sementara sebagian besar kaum muslimin hidup dalam
kemiskinan. Dalam keadaan demikian seorang Yahudi dari Yaman bernama Abdullah
bin Saba seorang yang suka memfitnah menyatakan diri masuk Islam, bahkan ia
sangat panatik agar kelihatan kesungguhannya.3
Kedatangan Abdullah bin Saba telah menghembuskan beni perpecahan di
kalangan umat Islam, dengan isu bahwa Khalifah Usman bin Affan harus segera turun
tahta dan jabatan khalifah harus dipegang oleh Ali bin Abi Thalib.

Ia pergi ke

pelosok-pelosok Hijaz, Irak, Syam mengajak kaum muslim untuk memberontak


kepada Usman. Tampaknya, ia gagal dalam meyakinkan orang-orang sehingga
mereka tidak memperdulikannya. Kemudian, ia pergi ke Mesir yang tampaknya
penduduknya marah kepada Usman atas pemecatan Amr bin Ash yang telah

Abdul Hakim al-Afifi, Mausuah Alf Huduts Islami, diterjemahkan oleh Irwan Kurniawan,
1000 Peristiwa dalam Islam, cet. I (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002), h. 91-92
3

A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (cet. IX; Jakarta :al-Husnah Zikrah, 1997), h. 227

memperlakukan mereka dengan baik. Ia pula perrgi ke kufah, basrah dan terus
mengajak mereka untuk memberontak melawan Usman bin Affan.4
Klimaks

dari

krisis

kepercayaan

rakyat

beberapa

daerah

terhadap

kepemimpinan Usman ditandai dengan timbulnya pemberontakan oleh ribuan orang


dari kufah, Basrah dan Mesir yang datang ke Madinah secara bersamaan mereka
mengepung kota itu dan rumah khalifah Usman. Pengepungan rumah khalifah Usman
bin Affan berlangsung selama empat puluh hari. Ketika tersebar informasi bahwa
telah didatangkan pasukan untuk menyelamatkan Khalifah yang terkepung, para
penentang menjadi tidak sabar. Dan para pemberontak berhasil membunuh Usman,
ketika sang Khalifah tengah membaca al-Quran.5
Setelah Usman bin Affan wafat. Orang-orang berkumpul dimedinah untuk
mendiskusikan siapa yang pantas menjadi Khalifah, namun mereka

tidak

menemukan orang yang lebih pantas dari pada Ali bin Abi Thalib. Kemudian
Mayoritas yang hadir membaiatnya menjadi khalifah. Ali dibaiat menjadi Khalifah
ditengah-tengah kekacauan akibat kaum pemberontak dan kerusuhan akibat kematian
Khalifah Usman, ditengah tengah kesimpang-siuran tentang siapa pembunuh Usman
bin Affan. Dan inilah nantinya yang menjadi masalah besar dimana pihak Aisyah,
Talhah dan Zubair menuntut agar pembunuh Usman segera diqishas, demikian pula
gubernur Syam, Muawiyah menuntut agar pembunuh Usman ditangkap dan diadili
4

Ibid

Suyuti Pulungan, Fiqh Siyasah Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Cet. V (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2002), h. 150

hingga terjadi peperangan yang berujung pada tahkim yang berakibat munculnya
kaum Khawarij. Keadaan demikian mewarnai kekhalifaannya hingga Ali bin Abi
Thalib wafat.
B. Rumusan Masalah
Sebagaimana rumusan masalah di atas maka dalam makalah ini kami akan
bahas beberapa topik pokok diantanya:
1. Bagaimana biografi Ali bin Abi Thalib dan pemerintahannya?
2. Bagaimana tantangan dari Talhah, Zubair dan Aisyah?
3. bagaimana pula tantangan dari Muawiyah?
4. bagaimana tantangan kaum Khawarij setelah peristiwa tahkim?

BAB II
ALI BIN ABI THALIB
(Tantangan dari Talhah CS, Muawiyah dan Khawarij)

A. Biografi Ali bin Abi Thalib dan Pemerintahannya


Ali adalah anak bungsu dari enam bersaudara6 pasangan Abu Thalib bin Abdul
Muththalib dan Fatimah binti Asad.7 Ia dilahirkan di Mekah, tepatnya di Kabah
(jumat 13 Rajab 600 M). ketika lahir ibunya memberi nama Haidarah, atau Haidar
yang berarti singa,seperti nama ayahnya, Asad, juga berarti singa. Tetapi Abu Talib
member nama 'Ali yang berarti luhur, tinggi dan agung, nama yang kemudian
lebih dikenal, nama yang memang sesuai dengan sifat-sifatnya. Ali adalah orang
pertama dari kalangan Kuraisy yang lahir dari ibu-bapa sama-sama dari Bani Hasyim.
Sebelum itu keluarga Bani Hasyim selalu bersemenda dengan keluarga lain di luar
mereka. Kuniahnya adalah Abu Hasan, ia digelari Abu Turab8 dan Karramallahu

Anak Abu Thalib ada empat orang laki-laki: yang tertua adalah Talib kemudian Aqil, jafar
dan yang bungsu adalah Ali. Disamping itu juga memiliki dua anak perempuan yang pertama bernama
Fakhitah, yang lebih dikenal dengan Ummu Hani dan yang kedua bernama Jamanah. lihat Ali Audah,
Ali bin Abi Thalib Sampai Kepada Hasan Husain Cet. V (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2008), h.
18-19
7

Perkawinan Abu Thalib bin Abdul Muththalib bin Hasyim dengan Fatimah binti Asad bin
Hasyim merupakan pertama kali terjadi antar sesama keluarga Hasyim, silsilah mereka bertemu pada
Hasyim meskipun Asad hanya saudara seayah dengan Abdul Muththalib. Lihat Muhammad Ridha, Ali
bin Abi Thalib Karramallahu Wajha, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1995), h. 5
8

Abu Turab adalah nama panggilan yang diberikan oleh Nabi saw, Abu yang berarti Bapak
Turab berarti debu. Nama panggilan yang diberikan Nabi untuk Ali ini asal mulanya ketika Nabi
menemukan Ali bin Abi Thalib sedang berbaring di lantai Masjid tanpa baju dan tanpa alas sehingga
badannya berlumurang debu, lalu Rasulullah menghapus debu itu dari pundaknya sambil berkata:
bangunlah wahai Abu Turab

Wajha.9 Ia adalah sepupu Nabi Muhammad saw sekaligus menantu Nabi, Ali bin abi
Thalib menikah dengan Fatimah, putri Rasulullah saw dengan Khadijah. Ali
bertunangan dengan Fatimah sebelum Perang Badar tetapi pernikahan mereka
dilangsungkan kira-kira tiga bulan selepas itu. Ketika itu Ali berusia 21 tahun dan
Fatimah berusia 15 tahun.
Ali lahir pada saat Nabi Muhammad berusia dua puluh sembilan tahun dan
sudah menikah dengan Khadijah selama empat tahun. Menurut suatu riwayat, Ibu Ali
masih terus melakukan thawaf (mengelilingi Kabah) ketika rasa sakit menjelang
kelahirannya mulai dirasakan sehingga terpaksa melahirkan dibawah naungan
Kabah. Riwayat lain menyebutkan bahwa Ali tidak dapat membuka matanya sampai
ia dibaringkan dipangkuan sepupunya , Muhammad. Sehingga wajah Muhammad
menjadi wajah yang pertama yang dia lihat.10 Sejak lahir, begitu membuka mata ia
sudah bergaul dengan Muhammad yang diasuh oleh ayahnya, setelah Muhammad
menikah dengan khadijah, Ali pun dipelihara oleh nabi Muhammad saw, hampir
9

Karramallahu Wajha, Ada beberapa riwayat yang menjelaskan hal ini. Salah satu riwayat di
antaranya menjelaskan alasan tentang doa itu. Pertama, di antara semua sahabat Nabi saw, hanya Ali
bin Abi Thalib yang tidak pernah menyembah berhala. Dia masuk Islam dalam usia yang masih kecil
sehingga tak sempat beribadat kepada berhala. Artinya, wajahnya tak pernah disujudkan kepada
berhala. Ali kecil langsung sujud kepada Allah swt. kedua, Imam Ali adalah orang yang dikenal tak
pernah melihat aurat, baik aurat dirinya sendiri maupun aurat orang lain, (namun ini masih
diperselisihkan yang terkuat pandangan pertama). Konon, dalam sebuah pertemuan di Shiffin, pasukan
Imam Ali bertemu dengan pasukan Muawiyah. Sebelum perang berkecamuk, biasanya diadakan
mubarazah atau duel antara dua orang yang mewakili pasukan yang akan bertempur. Imam Ali
menantang Muawiyah ber-mubarazah namun Muawiyah tak berani dan Amr bin Ash
menggantikannya. Dalam duel itu, Amr terdesak dan mengalami kekalahan. Ketika Imam Ali hendak
memukulkan pedangnya ke kepala Amr, Amr lalu membuka auratnya sehingga Imam Ali segera
berbalik memalingkan wajahnya dan meninggalkan Amr. Karena Imam Ali tak mau melihat aurat,
selamatlah Amr.
10

Jalaluddin al-Suyuthi, Tarikh Khulafau, (Cet. I; Beirut: Dar al-Kutub al-ilmyah, 1988), h. 128

dalam semua kegiatan ia bersama dengan Nabi Muhammad saw. Ia yang pertama kali
masuk Islam dari kalangan anak-anak.11
Sejak usia belia, Ali bin Abi Thalib sudah menghayati indahnya kehidupan di
bawah naungan wahyu Illahi, Ketika Ali menginjak usia 6 tahun, Makkah dan
sekitarnya dilanda paceklik hebat. Sebagai akibatnya, kebutuhan pangan sehari-hari
sulit diperoleh. Bagi mereka yang berkeluarga besar dan ekonomi lemah, seperti
keluarga Abu Thalib, pukulan paceklik terasa parah sekali. Pada masa paceklik ini,
Nabi Muhammad s.a.w. telah berumah tangga dengan Khadijah binti Khuwalid
Beliau tak dapat melupakan budi pamannya yang telah memelihara dan mengasuh
beliau sejak kecil hingga dewasa. Bertahun-tahun beliau hidup di tengah-tengah
keluarga Abu Thalib, mengikuti suka-dukanya dan mengetahui sendiri bagaimana
keadaan penghidupannya. Dalam suasana paceklik ini, Nabi Muhammad s.a.w.
menyadari betapa beratnya beban yang dipikul pamannya, Abu Thalib, yang sudah
lanjut usia. Hati beliau terketuk dan segera mengambil langkah untuk meringankan
beban pamannya. Nabi Muhammad s.a.w. mengetahui, bahwa Abbas bin Abdul
Mutthalib, juga paman beliau, adalah seorang terkaya di kalangan Bani Hasyim.
Dibanding dengan saudara-saudaranya, Abbas mempunyai kemampuan ekonomis
yang lebih baik. Dengan tujuan untuk meringankan beban Abu Thalib, beliau temui
Abbas bin Abdul Mutthalib. Kepada pamannya itu beliau kemukakan betapa berat
derita yang ditanggung Abu Thalib sebagai akibat paceklik. Abbas bin Abdul
11

Muhammad Ridha, op. cit., h. 6

Mutthalib menyambut baik saran Nabi Muhammad s.a.w. Setetah melalui


perundingan dengan Abu Thalib, akhirnya terdapat kesepakatan: Ja'far bin Abi Thalib
diserahkan kepada Abbas, sedang Ali bin Abi Thalib diasuh oleh Nabi Muhammad
s.a.w. Sejak itu Ali diasuh oleh Nabi Muhammad s.a.w. dan isteri beliau, Khadijah
binti Khuwailid sampai tiba saat kematangannya untuk menghadapi kehidupan
sebagai orang dewasa. Selama masa itu beliau mengikuti perkembangan yang dialami
Rasul Allah s.a.w. dalam kehidupannya.12
Ali bin Abi Thalib dikenal pemberani, sewaktu Nabi saw mau meninggalkan
rumah pada malam peristiwa hijrah ke Madinah, Nabi saw berpesan kepada Ali
supaya tidur di perbaringannya. Ali dengan tenang menerima arahan Nabi saw dan
tidur dengan nyenyaknya sehingga orang-orang kafir Mekah menyerbu masuk ke
rumah Nabi saw dan menyergap Ali yang disangka Nabi saw itu. 13 Demikian pula
peranannya dalam peran badar bersama Nabi dan para sahabat, perang uhud, perang
parit dan tempat-tempat lainnya. Dalam perang khandak misalnya, tak ada yang
berani menyambut tantangan duel Amr bin Abdul Wudd selain Ali. Ali maju duelpun
terjadi dan dalam waktu tak seberapa lama Ali berhasil memisahkan kepala jago
tanding kuraisy itu dari badannya.14

12

Hamid Al Husaini, Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib, (Jakarta: Lembaga Penyelidikan
Islam1981), h. 7-8
13

Ali Audah, op. cit., h. 48

14

Ibid., h. 108

Selain pemberani Ali bin abi Thalib juga dikenal dengan akhlaknya yang
sangat terpuji, ia rendah hati, lapang dada, tidak pendendam, selalu memelihara
silaturahmi. Ia seorang yang zuhud15 serta wara16. Dia adalah orang yang sarat
dengan ilmu, tempat para sahabat terkemuka bertanya dalam masalah hukum-hukumhukum agama yang musykil atau tentang makna sebuah ayat dalam al-Quran atau
tafsirnya.
Ia dikenal sebagai orang alim dan cerdas, ketika Abu Bakar menjadi khalifah,
tidak pernah meninggalkan Ali bin Abi Thalib di dalam musyawara penting.
Demikian pula halnya ketika Umar bin Khattab menjadi Khalifah yang kedua, Ali bin
Abi Thalib tetap memperoleh kemuliaan dan penghormatan dari Umar bin Khattab
sebagaimana semasa pemerintahan Abu Bakar, Walaupun diketahui bahawa Umar bin
Khattab terkenal sebagai sahabat yang sangat ahli dan bijak dalam bidang hukum,
namun baginda sering minta bantuan kepada Ali bin Abi Thalib di dalam
menyelesaikan beberapa hal yang sulit bahkan dalam riwayat disebutkan bahwa
Umar bin Khattab tidak suka merundingkan soal-soal yang sulit tanpa dihadiri oleh
Ali Bin Abu Talib.17

Pemerintahan Ali bin Abi Thalib


15

Zuhud ialah orang yang menjauhi segala kesenangan dan kemegahan duniawi.

16

wara ialah orang yang menjauhi segala macam dosa dan syubhat.

17

Suyuti Pulungan, op. cit., h. 151

Dalam kondisi genting pasca terbunuhnya Khalifah Usman bin Affan, kaum
Muhajirin dan Anshar berkumpul di Masjid Nabawi Madinah. Dengan harap-harap
cemas mereka menunggu berita tentang siapa yang akan menjadi Khalifah baru.
Masjid yang menurut ukuran masa itu sudah cukup besar, penuh sesak dibanjiri
orang. Di antara tokoh-tokoh muslimin yang menonjol tampak hadir Ammar bin
Yasir, Abul Haitsam bin At Thaihan, Malik bin 'Ijlan dan Abu Ayub bin Yazid.
Mereka bulat berpendapat, bahwa hanya Ali bin Abi Thalib r.a. lah tokoh yang paling
mustahak dibai'at. Diantara mereka yang paling gigih berjuang agar Imam Ali r.a.
dibai'at ialah Ammar bin Yasir. Dalam mengutarakan usulnya, pertama-tama Ammar
mengemukakan rasa syukur karena kaum

Muhajirin tidak terlibat dalam

pembunuhan Khalifah Usman.18


Kepada kaum Anshar, Ammar menyatakan, jika kaum Anshar hendak
mengkesampingkan kepentingan mereka sendiri, maka yang paling baik ialah
membai'at Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah. Ali bin Abi Thalib, kata Ammar,
mempunyai keutamaan dan ia pun orang yang paling dini memeluk Islam. Kepada
kaum Muhajirin, Ammar mengatakan: kalian sudah mengenal betul siapa Ali bin Abi
Thalib. Oleh karena itu aku tak perlu menguraikan kelebihan-kelebihannya lebih
panjang lebar lagi. Kita tidak melihat ada orang lain yang lebih tepat dan lebih baik
untuk diserahi tugas itu.19

18

Hamid Al Husaini,op. cit., h. 84


Ibid

19

Usul Ammar secara spontan disambut hangat dan didukung oleh yang hadir.
Malahan kaum Muhajirin mengatakan: "Bagi kami, ia memang satu-satunya orang
yang paling afdhal" Setelah tercapai kata sepakat, semua yang hadir berdiri serentak,
kemudian berangkat bersama-sama ke rumah Ali bin Abi Thalib, Di depan rumahnya
mereka beramai-ramai minta dan mendesak agar Imam Ali keluar. Setelah Ali bin
Abi Thalib keluar, semua orang berteriak agar ia bersedia mengulurkan tangan
sebagai tanda persetujuan dibai'at menjadi Amirul Mukminin. Pada mulanya Ali
menolak dibai'at sebagai Khalifah. Dengan terus terang ia menyatakan : "Aku lebih
baik menjadi wazir yang membantu daripada menjadi seorang Amir yang berkuasa.
Siapa pun yang kalian bai'at sebagai Khalifah, akan kuterima dengan rela. Ingatlah,
kita akan menghadapi banyak hal yang menggoncangkan hati dan fikiran." Serta
mengusulkan agar mereka memilih dari senior yang lain seperti Talhah dan Zubair.
Jawaban Ali yang seperti itu, tak dapat diterima sebagai alasan oleh banyak
kaum muslimin yang waktu itu datang berkerumun di rumahnya. Mereka tetap
mendesak atau setengah memaksa, supaya Ali bin Abi Thalib bersedia dibai'at oleh
mereka sebagai Khalifah. Dengan mantap mereka menegaskan pendirian: "Tidak ada
orang lain yang dapat menegakkan pemerintahan dan hukum-hukum Islam selain
anda. Kami khawatir terhadap ummat Islam, jika kekhalifahan jatuh ketangan orang
lain." Beberapa saat lamanya terjadi saling-tolak dan saling tukar pendapat antara Ali
dengan mereka. Para sahabat Nabi Muhammad s.a.w. dan para pemuka kaum

Muhajirin dan Anshar mengemukakan alasannya masing-masing tentang apa


sebabnya mereka mempercayakan kepemimpinan tertinggi kepada Ali.20
Ali

tetap menyadari, jika ia menerima pembai'atan mereka pasti akan

menghadapi berbagai macam tantangan dan kesulitan gawat. Namun karena mereka
terus menyakinkan Ali

bahwa kaum muslimin memang sangat menginginkan

pimpinannya, dengan perasaaan berat ia menyatakan kesediaannya untuk menerima


pembai'atan mereka. Satu-satunya alasan yang mendorong Imam Ali r.a. bersedia
dibai'at, ialah demi kejayaan Islam, keutuhan persatuan dan kepentingan kaum
muslimin. Rasa tanggung jawabnya yang besar atas terpeliharanya nilai-nilai
peninggalan Rasul Allah saw membuatnya siap menerima tanggung jawab berat di
atas pundaknya. Sungguh pun demikian, ia tidak pernah lengah, bahwa situasi yang
ditinggalkan oleh Khalifah Usman benar-benar merupakan tantangan besar yang
harus ditanggulangi.
Keputusan

Ali bin Abi Thalib untuk bersedia dibai'at sebagai Amirul

Mukminin disambut dengan perasaan lega dan gembira oleh sebagian besar kaum
muslimin. Kepada mereka Ali . meminta supaya pembai'atan dilakukan di masjid agar
dapat disaksikan oleh umum. lalu ramai-ramai pergi menuju masjid, Ali akhirnya
dibaiat menjadi Khalifah menggantikan usman bin Affan oleh mayoritas rakyat dari
Muhajirin dan Ansar serta para tokoh sahabat seperti Talhah dan Zubair di Masjid

20

Ibid, h. 85 lihat pula Suyuti Pulungan, op. cit., h. 151-152

Madinah

21

Sesuai dengan tradisi pada masa itu, sesaat setelah dibai'at Amirul

Mukminin Ali bin Abi Thalib menyampaikan amanatnya yang pertama. Antara lain
mengatakan: "Sebenarnya aku ini adalah seorang yang sama saja seperti kalian.
Tidak ada perbedaan dengan kalian dalam masalah hak dan kewajiban. Hendaknya
kalian menyadari, bahwa ujian telah datang dari Allah s.w.t. Berbagai cobaan dan
fitnah telah datang mendekati kita seperti datangnya malam yang gelap-gulita. Tidak
ada seorang pun yang sanggup mengelak dan menahan datangnya cobaan dan fitnah
itu, kecuali mereka yang sabar dan berpandangan jauh. Semoga Allah memberikan
bantuan dan perlindungan. "Hati-hatilah kalian sebagaimana yang telah
diperintahkan oleh Allah s.w.t. kepada kalian, dan berhentilah pada apa yang
menjadi larangan-Nya. Dalam hal itu janganlah kalian bertindak tergesa-gesa,
sebelum kalian menerima penjelasan yang akan kuberikan. "Ketahuilah bahwa Allah
s.w.t. di atas 'Arsy-Nya Maha Mengetahui, bahwa sebenarnya aku ini tidak merasa
senang dengan kedudukan yang kalian berikan kepadaku. Sebab aku pernah
mendengar sendiri Rasul Allah s.a.w. berkata: "Setiap waliy (penguasa atau
pimpinan) sesudahku, yang diserahi pimpinan atas kaum muslimin, pada hari
kiyamat kelak akan diberdirikan pada ujung jembatan dan para Malaikat akan
membawa lembaran riwayat hidupnya. Jika wali itu seorang yang adil, Allah akan
menyelamatkannya karena keadilannya. Jika wali itu seorang yang dzalim, jembatan

21

M. Abdul Karim, Sejarah Pemikian dan Peradaban Islam, (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Book
Publisher, 2007), h. 106

itu akan goncang, lemah dan kemudian lenyaplah kekuatannya. Akhirnya orang itu
akan jatuh ke dalam api neraka"22
Ali dibaiat oleh mayoritas kaum Muhajirin dan Anshar serta para tokoh
sahabat seperti Talhah dan Zubair, Ali dibaiat di mesjid Madinah.23 Salah seorang
tokoh yang menolak untuk membaiat Ali dan menunjukkan sikap konfrontatif adalah
Muawiyah bin Abi Sufyan, keluarga Usman dan gubernur Syam dengan alasan
karena menurutnya Ali bertanggung jawab atas terbunuhnya Usman, karena itu Ali
harus mencari para pelakunya dan mengadilinya.
Setelah resmi memegang jabatan khalifah, Ali segera mengambil kebijakan
politik untuk memperbaiki managemen pemerintahan yang pada masa sebelumnya
terutama enam tahun paruh kedua dari pemerintahan khalifah Usman bin Affan
terjadi praktek nepotisme. Khalifah Ali bin Abi Thalib secara drastis mengambil dua
keputusan yang secara politis sangat beresiko yaitu:
1. Memecat semua gubernur

yang diangkat Usman. Dia yakin bahwa

pemberontakan-pemberontakan yang terjadi karena keteledoran mereka. Dam


menggantikannya dengan pejabat-pejabat yang baru.
2.

Menarik kembali tanah yang dihadiakan usman kepada penduduk dengan


menyerahkan hasil pendapatannya kepada negara, dan memakai kembali
22

Hamid Al Husaini, op. cit., h. 84-85

23

Barnaby Rogerson, The Heirs of The prophet Muhammad, Terj. Ahmad Asnawi, Para
Pewaris Muhammad, (Cet. I; Yogyakarta: Diglossia Media, 2007), h. 23-24

sistem distribusi pajak tahunan diantara orang-orang Islam sebagaimana perna


diterapkan umar.24
Selain itu Khalifah Ali membenahi dan menyusun arsip negara untuk
mengamankan dan menyelamatkan dokumen-dokumen khalifah, membentuk kantor
hajib (bendaharawan) dan kantor sahib ushshurtah (pasukan pengawal), serta
mengorganisir polisi dan menetapkan tugas tugas mereka.
Pemerintahan Ali juga berhasil memperluas wilayah kekuasaan. Setelah
pemberontakan di Kabul dan Sistan ditumpas, tentaranya mengadakan serangan di
atas Koukan (Bombaay). Ia juga mendirikan pemukiman pemukiman militer di
perbatasan Syiria dan membangun benteng-benteng yang kuat di utara perbatasan
Parsi.
Dalam pengelolahan uang negara khalifah Ali mengikuti prinsip prinsip yang
ditetapkan oleh khalifah Umar yaitu harta rakyat dikembalikan kepada rakyat. Dalam
pengawasan terhadap tindakan para gubernur , Ali bertindak keras dan tidak pilih
kasih serta memantau mereka secara terus-menerus. Suatu ketika Ibn Abbas,
Gubernur Bashrah keluarga Ali diketahui mengambil uang Baitul Mal untuk
keperluan pribadi, Ali langsung menegurnya.25

24

Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Cet. I; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998), h.

39
25

Suyuthi Pulungan, op. cit., h. 158-159

Dalam persoalan hukum Khalifah Ali mempunyai prinsip persamaam semua


lapisan sosial dan etnik di depan hukum. Suatu ketika beliau diajukan kepengadilan
atas tuntutan seseorang Yahudi yang menuntut baju besi khalifah. Si penuntut
membawa beberapa saksi untuk memperkuat tuntutannya. Pengadilan yang dipimpin
oleh qadhi Madinah bertanya kepada khalifah Ali, apa ia ingin menyampaikan
sesuatu untuk membela diri. Ali menjawab Tidak, setelah mendengarkan kedua
belah pihak, qadhi memutuskan orang Yahudi sebagai pihak yang memenangkan
perkara. Karena itu Ali menyerahkan baju besi itu kepada si Yahudi. Si Yahudi
tersebut terkejut dengan keputusan qadhi, yang tidak memihak itu. Rupanya orang
Yahudi itu menggugat untuk menguji kebesaran jiwa khalifah yang ternyata tahan uji.
Lalu si Yahudi itu mengembalikan baju besi itu kepada khalifah sambil mengakui
bahwa sesungguhnya ia telah menjualnya kepada Ali.26
Khalifah Ali bin Abi Thalib dalam menjalankan kebijakan pertamanya
menolak usulan kerabatnya termasuk Ibn Abbas yang berkonsultasi dengannya untuk
menunda pelaksanaan kebijaksanaan politiknya untuk memberhentikan Muawiyah
dan para pejabat lain dari Keluarga Bani Umayyah sampai situasi masyarakat tenang
dan stabil. Ali menolak dengan mengatakan aku tidak berpura-pura dalam agamaku
dan aku tidak akan memberi noda dala urusanku. Ia juga menambahkan ia tida akan
mempekerjakan para pejabat Usman satu hari pun, dan ia tidak ragu bahwa
tindakannya itu baik dan benar untuk memperbaiki keadaan.27
26

Ibid.

27

Ibid, h. 157

B. Tantangan Dari Aisyah, Talhah dan zubair (Perang Jamal)


Ali dibaiat menjadi Khalifah pada pertengahan bulan Dzulhijjah tahun 35
H.28 ditengah-tengah kekacauan dan kerusuhan akibat kematian Khalifah Usman.
Tuntutan untuk menangkap dan menghukum para pembunuh Usman dialamatkan
kepadanya, padahal tugas pokok yang juga mendesak untuk diselesaikan adalah
masalah keamanan dan ketertiban umum akibat kaum pemberontak..Menurutnya, jika
tidak ada keamanan dan ketertiban akan lebih sulit menyelesaikan masalah kriminal
seperti pembunuhan Usman. Lagi pula kaidah hukum Islam, kepentingan umum
didahulukan dari pada kepentingan khusus.29
Kebijakan yang diambil Ali bin Abi Thalib mendapatkan tantangan dari dua
kelompok besar pada saat itu. Damsyik dan Makkah menuduh Imam Ali r.a. sebagai
orang yang setidak-tidaknya ikut bertanggungjawab atas terbunuhnya Khalifah
Utsman Dalam periode itu praktis ummat Islam terpecah dalam tiga kelompok besar:
1. Kelompok Madinah di bawah pimpinan Imam Ali r.a.
2. Kelompok Damsyik di bawah pimpinan Muawiyah bin Abi Sufyan.
3. Kelompok Makkah di bawah pimpinan trio Thalhah, Zubair dan Aisyah

28

Muhammad Saad Ramadhan al-Buthy, Fiqhu Shirah, Dirasat Minhajiahilmiyah li Shiratin


Mustafa Alaihi Shalatu wa Salam, Diterjemahkan oleh Aunur Rafiq Shaleh Tahmid, Sirah
Nabawiyah Analisis Ilmiyah Manhajiah Sejarah Pergerakan Islam di Masa Rasulullah saw, Cet. II,
(Jakarta: Robbani Press, 2000), h. 501
29

Ali Audah, op. cit., h. 215

Masing-masing kelompok ditunjang oleh kekuatan bersenjata yang cukup


tangguh dan berpengalaman. Kelompok Madinah menghadapi kelompok Mekah dan
Damsyik karena seakan-akan kelompok Damsyik berdiri dibelakang kelompok
Makkah. Dua tantangan besar yang sedang dihadapi Ali r.a. mewarnai kehidupan
kaum muslimin pada tahun empat-puluhan Hijriyah.
Untuk pertama kalinya dalam sejarah Islam, terjadi satu krisis politik sangat
gawat yang mengarah kepada peperangan besar antara sesama kaum muslimin. Inilah
gejala nyata dari apa yang pernah dikemukakan Rasul Allah s.a.w. semasa hidupnya,
bahwa pada satu ketika akan terjadi fitnah besar di kalangan ummatnya, laksana
datangnya malam gelap-gulita yang berlangsung dari awal sampai akhir.
Pada musim haji itu istri-istri Nabi diantarnya: Aisyah, Hafsah, dan Ummuh
Salamah sedang menunaikan ibadah haji. Aisyah mendengar berita kematian
Khalifah Usman di Mekah dan dibaiatnya Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah
pengganti Usman. Ia terlihat marah sekali, tidak menerima dan menuntut bela atas
kematian Usman.30 Setelah menunaikan ibadah haji ia kembali ke medinah, namun
30

Adapula yang memahami bahwa kemarahan Aisyah itu lantaran Ia kurang senang terhadap
Ali terlebih lagi adanya isu bahwa Ali ikut bertanggung jawab terhadap kematian Khalifah Usman bin
Affan, Sudah menjadi rahasia umum, bahwa sejak terjadinya peristiwa yang dalam sejarah dikenal
dengan nama Haditsul ifk, Aisyah sukar berbaik-baik kembali dengan Ali bin Abi thalib. Peristiwa itu
terjadi ketika Rasul Allah s.a.w. melancarkan ekspedisi terhadap kaum kafir dari Banu Musthaliq.
Dalam ekspedisi itu beliau mengajak isterinya, Sitti Aisyah. Dalam perjalanan pulang ke Madinah,
Sitti Aisyah ketinggalan dari rombongan, gara-gara mencari barang perhiasannya yang hilang di
perjalanan. Untunglah ketika itu ia dijumpai oleh Shafwan bin Mu'atthal, yang berangkat pulang lebih
belakangan. Bukan main terkejutnya Shafwan melihat Ummul Mukminin seorang diri di tengahtengah
padang pasir. Isteri Rasul Allah s.a.w. itu dipersilakan naik ke atas unta, sedangkan Shafwan sendiri
berjalan kaki sambil menuntun. Siang hari mereka berdua baru memasuki kota Madinah dengan
disaksikan oleh orang banyak. Semuanya heran mengapa Ummul Mukminin mengendarai unta
seorang pemuda yang tampan itu. Mengenai kejadian itu Rasul Allah s.a.w. pada mulanya tidak pernah

ditengah perjalanan terpaksa dibatalkan dan berbelok ke Bashrah atas usulan Talhah
dan Zubair dan beberapa anggota rombongnnya. Pada mulanya Aisyah menolak jika
maksudnya ialah untuk berperang, tetapi mereka mengatakan bahwa mereka ingin
Aisyah dapat mengajak orang untuk menuntut pembunuh Usman bukan untuk
perang.31
Berkumpullah orang-orang yang berpendapat agar segera melaksanakan
qishash di Bashrah agar dapat menjadi peringatan bagi penduduk Bashrah akan
perlunya kerjasama dalam mengepung para pembunuh Utsman dan menuntut darah
dari mereka. Diantara yang berpendapat demikian adalah Aisyah, Thalhah, Zubair
dan sebagian shahabat.32
Saat itu pasukan Ali berangkat ke sana guna melakukan ishlah dan
menyatukan kalimat. Al-Qaqa bin Amr sebagai utusan dari pihak Ali ra menemui
berfikir lebih jauh. Akan tetapi secara diam-diam peristiwa itu menjadi pembicaraan orang ramai dan
menjadi buah bibir yang dibisik-bisikkan orang dalam tiap kesempatan. Desas-desus itu akhirnya
sampai ke telinga Rasul Allah s.a.w. Berita santer tentang hal itu sangat menggelisahkan hati beliau.
Kemudian beliau minta pendapat para sahabat mengenai hal itu. Konon Usamah bin Zaid sama sekali
tidak dapat mempercayai benarnya desas-desus itu. Sedang Ali waktu itu mengatakan: Ya Rasul
Allah, masih banyak wanita lain! Ucapan itu hanya sekedar untuk berusaha menenangkan perasaan
Rasulullah s.a.w. yang tampak gelisah. Namun ucapan itulah yang kemudian menjadi sebab retaknya
hubungan baik antara Sitti Aisyah dengan Imam Ali r.a. Ucapan tersebut oleh Aisyah dirasakan sangat
menusuk hati, sedang Ali sendiri selama itu tidak pernah berubah sikap terhadap Aisyah, Ia senantiasa
hormat kepada Ummul Mukminin. Lebih-lebih setelah peristiwa Ifk itu terselesaikan dengan tuntas
berdasarkan turunnya firman Allah s.w.t. yang menegaskan, bahwa Sitti Aisyah bersih dari perbuatan
nista seperti yang dituduhkan orang. Gara-gara Haditsul Ifk itulah, Aisyah sangat kecewa mendengar
Ali bin Abi Thalib dibai'at sebagai Khalifah oleh penduduk Madinah. Lihat Hamid Al Husaini, op.
cit., h, 94
31

32

Ali Audah, op. cit., h. 221

Asy-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, diterjemahkan oleh Asywadie Syukur, al-Milal wa


al-Nihal Aliran-Aliran Teologi Islam Sejarah Umat Manusia, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2005), h. 19

Aisyah seraya berkata, Wahai ibunda, apakah yang mendorong kedatangan ibunda
ke negeri ini? Aisyah menjawab, Ishlah diantara manusia. Kemudian Al-Qaqa
menemui Thalhah dan Zubair dan menanyakan hal yang sama. Keduanya menjawab,
Kami juga demikian. Kemudian semua pihak berbicara dan berunding yang
akhirnya sepakat untuk menyerahkan urusan ini kepada Ali dengan syarat supaya ia
tidak segan-segan mengerahkan seluruh upaya untuk menegakkan hukum Allah atas
para pembunuh Utsman jika ia telah dapat melakukannya. Akhirnya al-Qaqa kembali
kepada Ali menyampaikan kesepakatan yang telah dicapai. Ali berpidato di depan
khalayak ramai seraya memuji Allah atas nimat perdamaian dan kesepakatan yang
telah tercapai.33
Tetapi Abdullah bin Saba dan kawan-kawannya merencanakan untuk
mengadu kedua belah pihak. Orang-orang yang melakukan konspirasi jahat ini
bergerak sebelum fajar. Jumlah mereka hampir 2000 orang. Mereka melakukan
serangan mendadak. Akhirnya orang-orang bangun dari tidurnya dan membawa
pedang seraya berkata, Para penduduk Kufah menyerang kita pada malam hari dan
berkhianat kepada kita. Mereka mengira bahwa tindakan tersebut adalah rencana
busuk dari Ali. Setelah mendengar berita ini Ali berkata, Apa yang terjadi pada
masyarakat? Orang-orang yang berada di sekitarnya berteriak, Orang-orang
Bashrah menyerang kami di malam hari dan berkhianat terhadap kita. Kemudian
masing-masing pihak mengambil pedang dan baju perangnya tanpa mengetahui
Ibn Katsir, al-Bida>yah wa Niha>yah, Jilid VII (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.th), h.

33

239

hakikat yang sebenarnya. Terjadilah peperangan di antara mereka. Pasukan Ali sekitar
20.000 orang, adapun pasukan Aisyah berjumlah sekitar 30.000 orang. Aisyah ikut
maju dengan mengendarai onta.34
Ketika pasukan Ali mendekati pasukan Thalhah dan Zubair, maka keluarlah
Ali dengan menunggang baghal Rasulullah saw, kemudian memanggil Zubair dan
berkata:Wahai Zubair, demi Allah, apakah engkau ingat ketika Rasulullah bertanya
kepadamu: Wahai Zubair apakah kamu mencintai Ali? Lalu kamu menjawab:
Mengapa aku tidak mencintai anak bibiku dan anak pamanku bahkan seagama
denganku? Kemudian Nabi saw bersabda: Wahai Zubair, demi Allah, satu saat
engkau pasti akan memeranginya dan menzhaliminya. Zubair menjawab, Demi
Allah, aku telah lupa akan hal itu. Tetapi sekarang aku telah teringat lagi. Demi
Allah, aku tidak akan memerangimu untuk selama-lamanya. Kemudian Zubair
meninggalkan peperangan dan kembali ke Medinah, ditengah perjalanan ia berhenti
disebuah lembah Wadi Suba untuk melaksanakan shalat, ketika sedang khusyu
shalat ia dibunuh oleh Amr bin Jurmuz.35
Namun Pasukan Abdullah bin Saba` tidak henti-hentinya melakukan
pembunuhan dan tidak peduli terhadap penyeru dari pihak Ali yang menyerukan
kepada mereka semua untuk berhenti. Beberapa anak panah terus menghujani pihak
Ali, buat Khalifah Ali bin Abi Thalib memang serba salah: kalau dibiarkan korban
34

Muhammad Saad Ramadhan al-Buthy, op. cit., h. 503

35

Ibid h. 505 lihat pula Ali Audah, op. cit., h. 232-233

dipihaknya akan terus bertambah banyak, kalau ditinggalkan pengikut-pengikutnya di


Bashrah akan menjadi korban pembantaian. Ia akhirnya menyerahkan panji perang
kepada anaknya Muhammad al-Hanafiyah dan perangpun tak terelakkan lagi. Jalan
lain rupanya memang sudah tak ada

dan korban dari kedua belah pihak pun

berjatuhan . ketika Talhah terkepung, Ali mengingatkan pengikut-pengikutnya untuk


tidak membunuhnya. Ali berteriak sekuat-kuatnya: jangan bunuh orang yang
memakai burnus36 itu. Talhah tersentak, Ali yang ia perangi justru berteriak untuk
menyelamatkannya. Namun dalam suasana peperangan yang serba tak terkendali,
tiba-tiba sebatang anak panah meluncur menembus lehernya dan ia langsung roboh.
Mengenai Aisyah, ketika ontanya roboh. Ia diselamatkan dari pelangkin onta
oleh adiknya, Muhammad bin Abu Bakar dan Ammar bin Yasir. Ali kemudian
memerintahkan Muhammad bin Abu Bakar membawah Aisyah kerumah keluarga
Abdullah bin Khalaf di Bashrah untuk beristirahat sambil menunggu kepulangannya
ke medinah. Akhirnya perang tersebut berakhir dan kedua belah pihak pun kembali
berdamai. Ali tinggal di Bashrah selama 15 hari kemudian kembali ke kufah. Perang
Jamal terjadi pada tanggal 10 Jumada ats-Tsaniayah 36 H. korbannya mencapai
10.000 orang37
C. Masalah Muawiyah dan Perang Shiffin

36

Burnus ialah sejenis mantel bersambung dengan tutup kepala

37

Abdul Hakim al-Afifi, op. cit., h. 94

Konsekuensi politik terpenting dari Perang Jamal adalah menjadi kuatnya


posisi Muawiyah bin Abi Sufyan, baik dari materi maupun dukungan moral walaupun
ia sendiri tidak turut terlibat dalam perang tersebut. Ia mampu mengontrol wilayah
Syam dan memiliki pasukan besar yang disiagakan untuk berperang. Selain itu ia juga
berhasil menyakinkan penduduk syam, setelah tersebar isu bahwa Ali bin Abi Thalib
menyembunyikan para pembunuh khalifah Usman bin Affan, karena Ali bin Abi
Thalib sendiri terlibat dalam pembunuhan khalifah Usmam bin Affan. Dengan
demikian seluruh penduduk Syam memusuhi Ali bin Abi Thalib, suatu hal yang
menyebabkan Muawiyah berani menolak keputusan khalifah Ali bin abi Thalib 38
meninggalkan jabatan gubernur Syam untuk digantikan oleh Sahl bin Hunaif.39
Ali kembali ke Kufah yang telah dijadikan sebagai pusat khilafah.
Sesampainya di Kufah, Ali segera mengirim Jarir bin Abdullah Al-Bajli kepada
Muawiyah di Syam dengan membawa sepucuk surat guna mengajak bergabung
untuk membaiat Ali. Akan tetapi Muawiyah menolak kecuali jika pembunuh
Utsman telah diqishash. Ali menganggap hal ini sebagai pemberontakan. Maka Ali

38

Setelah menjadi Khalifah, salah satu kebijakan Ali bin Abi Thalib, mengganti seluruh
gubernur yang diangkat oleh Usman bin Affan diantaranya: Pertama, mengganti gubernur Bashrah
Abdullah bin Amr dan digantikan oleh Usman bin Hunaif. Kedua, mengganti gubernur Syam
Muawiyah bi Abi Sufyan dan mengankat Suhail bin Hunaif sebagai gubernur Syam, namun ketika
Suhail bin Hunaif sampai di pos perbatasan Syuriah, ia sudah ditahan oleh pasukan muawiyah lalu
disuruh pulang. Ketiga, memecat Abdullah bin Said lalu sebagai gubernur Mesir dan mengankat Qais
bin Sad bin Ubadah. Keempat, memecat Yala bin Umayyah sebagai gubernur Yaman dan mengankat
Ubaidillah bin Abbas. Lihat Ali Audah, op. cit., h. 202-203
39

Abdul Hakim al-Afifi, op. cit., h. 95

mengirim pasukannya ke Syam pada 12 Rajab 36H. Muawiyah pun segera


memberangkatkan pasukannya hingga kedua pasukan itu bertemu di Shiffin.40
Selama dua bulan lebih Ali bin Abi Thalib mengirimkan utusan demi utusan
mengajak Muawiyah untuk membaiat. Namun Muawiyah tidak mau membaaitnya
dan terus mendesak

Ali agar segera mengqishash pembunuh Utsman sebelum

melakukan urusan lain. Perundingan demi perundingan memang berlangsung cukup


alot bahkan sempat terjadi pertempuran kecil namun sebagian besar waktu dua bulan
itu dihabiskan di meja perundingan yang tak diketahui kemana arahnya. Keadaan ini
terus berlanjut hingga bulan Muharram 37 H. 41
Pada bulan berikutnya Safar ketika segala usaha damai terasa sia-sia. Lalu Ali
memerintahkan seorang petugas untuk mengumumkan demikian: Wahai penduduk
Syam, Amirul Mu`minin menyatakan kepada kalian bahwa aku telah memberi waktu
yang cukup kepada kalian untuk kembali kepada kebenaran, tetapi kalian tetap tidak
mau berhenti dari pembangkangan dan tidak mau kembali kepada kebenaran.
Karena itu, kini aku kembalikan perjanjian ini kepada kalian dengan penuh
kejujuran. Sesungguhnya Allah tidak mencintai para pengkhianat. Akhirnya
terjadilah pertempuran kedua pasukan bertemu di Siffin. Pertempuran berlangsung

40

Siffin adalah sebuah tempat tak jauh dari sebelah barat pantai sungai Furat, selatan Riqqah,
timir laut Suriah di dekat perbatasan Suriah, Irak. Kawasan bekas jajahan Romawi dan Persia. Lihat
Ali Audah, op. cit., h. 257
41

Shaban, Islamic History, diterjemahkan oleh Machnum Husein, Sejarah Islam;Penafsiran


Baru, (Jakarta: Citra Niaga Rajawali Press, 1993), h. 107

sengit, sehingga bumi bergelimang darah dan tertutup mayat-mayat korban,


pertempuran itu berlangsung selama tujuh hari.42
Muawiyah dan pasukannya terdesak. Saat itulah Muawiyah dan Amr bin
Ash berunding. Amr mengusulkan agar Muawiyah mengajak penduduk Iraq untuk
berhukum kepada Kitab Allah dan menyarangkan agar pasukan Muawiyah yang
digaris paling depan mengikatkan mushaf Quran keujung tombak sebagai tanda
perang harus dihentikan dan diadakan perundingan. Lalu Muawiyah memerintahkan
seorang petugas supaya mengangkat Mushaf di ujung tombak dan menyerukan, Ini
adalah Kitab Allah diantara kami dan kalian. Ketika pasukan Ali melihat hal ini
terjadilah perselisihan diantara mereka, ada yang setuju untuk berhukum kepada
Allah dan melaksanakan qishash dengan segera dan ada yang meninginkan
peperangan terus berlanjut sebab menduga bahwa hal itu hanyalah tipu daya. Maka
Ali mengutus Al-Asyats bin Qais kepada Muawiyah untuk menanyakan apa
sebenarnya yang dikehendakinya. Muawiyah menjelaskan, Mari kita kembali
kepada Kitab Allah. Kami pilih seorang wakil yang kami setujui dan kalian pilih pula
seorang wakil yang kalian setujui. Kemudian kita semua menyumpah kedua wakil
tersebut untuk memutuskan sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah. Apa pun
keputusan kedua wakil tersebut wajib kita ikuti.43

42

Khalid Muhammad Khalid, Khulafa al-Rasul, diterjemahkan oleh Zaid Husein, Kehidupan
Para Khalifah Teladan, cet. I (Jakarta: Pustaka Amani, 1995), h. 417-418
43

Ibid

Ali bin Abi Thalib tahu bahwa ajakan damai untuk bertahkim hannya tipu
muslihat dari Muawiyah dan Amr bin al-Ash yang sudah berada diambang kekalahan.
Ali memerintahkan al-Asytar, panglima perangnya

untuk melanjutkan perang,

namun ada sekelompok dari pihak Ali yang dipimpin oleh al-Asyat ibn Qais, Musir
ibn Fikdi al-Tamim, dan zaid ibn Husein al-Thai untuk menghentikan perang dan
mendesak Ali bin Abi Thalib untuk menerima tawaran itu, bahkan mereka
mengancam akan melakukan tindakan bersenjata jika Ali menolak. Akhirnya Ali
menyetujui tawaran untuk bertahkim, perang pun dihentikan dan pasukan kedua belah
pihak ditarik mundur. Panglima perang Ali yakni al-Asytar pulang dengan penuh
kekecewaan melepas kemenangan yang sudah berada didepan mata dan hampir
dirahnya.44
Ali awalnya mencalongkan Abdullah bin Abbas karena dia mampu
menghadapi kelihaian Amr bin Ash. Namun mereka yang menginginkan untuk
tahkim itu menolak, karena ia dianggap terlalu keras sehingga dikhatirkan tidak
tercapai perdamaian juga karena masih kerabat dekat dengan Ali bin Abi Tahlib.
Calon lain yang juga mereka tolak ialah al-Asytar (Malik bin Haris) karena ambisinya
berperang sangat besar dikhawatirkan ia akan merintangi usaha perdamaian. Mereka
menginginkan orang yang lebih lunak agar dapat mencapai perdamaian sedapat

44

Abdul Hakim al-Afifi, op. cit., h. 96 lihat pula Khalid Muhammad Khalid, op. cit., h. 419-

420

mungkin. Oleh karenanya pilihan jatuh pada Abdullah bin Qais yang lebih dikenal
dengan Abu Musa al-Asyari.45
Ahirnya penduduk Syam memilih Amr bin Ash, sedangkan penduduk Iraq
memilih Abu Musa al-Asyari. Perundingan pertama antara Abu Musa al-Asyari dan
Amr bin Ash pada 13 safar 37 H telah tercapai, diperoleh kesepakatan untuk tidak
melakukan gencatan senjata hingga ada keputusan dari kedua hakim yang akan
melakukan pertemuan di Daumatul Jandal pada bulan Ramadhan 37 H.46
Pada bulan Ramadhan 37 H, dua hakim melakukan pertemuan di Daumatul
Jandal. Bagaimana pun juga mereka tidak mencapai kata sepakat untuk memilih
orang yang paling tepat yang mereka setujui menjadi khalifah. Lalu kedua hakim itu,
yaitu Amr bin Ash dan Abu Musa Al-Asyari, memutuskan untuk mencopot Ali dan
Muawiyah kemudian menyerahkan urusan ini kepada syura kaum Muslimin untuk
menentukan pilihan mereka sendiri. Mereka berdua menemui khalayak dan Amr bin
Ash mempersilahkan Abu Musa untuk berbicara terlebih dahulu dengan
pertimbangan bahwa ia lebih tua, lebih dulu masuk Islam dan lebih dulu persama
rasulullah, melihat tipu muslihat Amr bin Ash itu Abdullah bin Abbas merasa risau
sekali, ia mengisyaratkan agar kepada Abu Musa agar membiarkan Amr bin Ash yang
berbicara lebih dahulu baru kemudian dia, namun tampaknya Abu Musa kurang
memperhatikan hasehat Ibn Abbas itu. Maka Abu Musa berkata, Wahai manusia,
45

46

Ali Audah, op. cit., h. 262

Imam al-Suyuthi, Tarikh khulafa, diterjemahkan oleh Samson Rahman, Tarikh khulafa
sejarah Para Penguasa Islam, cet. I (Jakarta: Pustaka al-Kausar, 2001), h. 202

setelah membahas urusan ummat ini, kami berkesimpulan bahwa tidak ada sesuatu
yang lebih baik dan lebih dapat mewujudkan persatuan selain dari apa yang telah
aku dan Amr sepakati. Yaitu kami mencopot Ali dan Muawiyah. Setelah
menyampaikan kalimatnya, Abu Musa mundur, kemudian giliran Amr untuk
berbicara. Maka Amr bin Ash berbicara, Sesungguhnya Abu Musa telah menyatakan
apa yang kalian dengar. Ia telah mencopot kawannya dan aku pun telah
mencopotnya sebagaimana dia. Tetapi aku mengukuhkan kawanku Muawiyah
karena sesungguhnya ia adalah putra mahkota Utsman bin Affan penuntut
daranya dan orang yang paling berhak menggantikannya .
Setelah peristiwa ini orang-orang pun bubar dengan rasa kecewa dan tertip,
kemudian ia kembali ke negerinya masing-masing. Amer bin Ash dan kawankawannya menemui Muawiyah guna menyerahkan khilafah kepadanya. Sedangkan
Abu Musa pergi ke mekah karena malu kepada Ali. Ibn Abbas dan Syuraih bin Hani
kembali kepada Ali dan menceritakan peristiwa tersebut.47
D. Masalah Khawarij dan Terbunuhnya Ali
Dalam perang Siffin, ketika Muawiyah dan pasukannya terdesak, Muawiyah
mengajak penduduk Iraq untuk bertahkim, perang dihentikan dan diadakan
perundingan. Pihak Ali tidak semuanya setuju, diantara mereka ada yang
menginginkan agar perang tidak dihentikan sampai Muawiyah pemberontak itu

Ibn Katsir, al-Bida>yah wa Niha>yah, op. cit., h. 260

47

dikalahkan. Namun Ali karena desakan sebagian besar pengikutnya terpaksa


menerima tahkim tersebut. Akhinya mereka yang tidak setuju dengan sikap Ali, yang
dahulunya menjadi pengikut Ali, tidak lagi menganggap Ali sebagai khalifah bahkan
menganggap Ali, Muawiyah, Abu Musa al-Asyari dan Amru bin Ash dan semua
yang menyetujui tahkim dihukumi sesat dan kafir.48 Mereka berjumlah 12.000 orang
dan berhimpun di Harura`. Mereka inilah yang disebut kaum Khawarij.49
Mereka mengirim delegasi kepada Ali dengan pesan agar perang dengan
Syam dilanjutkan, sekali lagi Ali menegaskan bahwa ia sejak semula sudah menolak
tahkim untuk menghentikan pertempuran tetapi suara terbanyak mendesaknya untuk
menerimanya. Sekarang sesudah perjanjian dengan pihak Muawiyah sudah samasama disepakati bagaimana pun ia tidak dapat menarik kembali atau membatalkan
perjanjian itu secara sepihak. Namun lagi-lagi sebelum Ali menjelaskan lebih jauh
mereka sudah cepat-cepat meninggalkan tempat. Ali kemudian mengutus Abdullah
bin Abbas untuk ke Harura untuk menjelaskan bahwa keputusan Imam Ali itu tidak
menyalahi ketentuan al-Quran. Selama tiga hari Abdullah ibn Abbas di Harura
beradu argumen dengan pihak Khawarij, banyak diantara mereka yang puas dan
memilih bersama dengan Ibn Abbas kembali bergabung dengan Ali.50

48
Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta:
Universitas Indonesia Press, 2008) h. 7-8
49

Kaum Khawarij pada umumnya terdiri dari orang-orang Arab Badwi, hidup di padang pasir
yang serba tandus membuat mereka bersikap sederhana dalam cara hidup dan pemikiran, Ibid, h. 15
50

Ali Audah, op. cit., h. 283

Mereka yang masih bertahan di Harura menuduh kafir semua semua pihak
yang menerima tahkim dan menempuh cara-cara kekerasan, teror dan pembunuhan
terhadap siapa saja yang tidak sejalan dengan paham mereka. Tidak sedikit orang
awam, Badwi Pedalaman yang ikut bergabung dengan mereka.
Pada bulan Ramadhan 37 H setelah Abu Musa al-Asyari dan Amr bin Ash
mengumumkan hasil perundingan. Dimana Amr bin Ash menyalahi hasil perundingan
dengan mengumumkan bahwa sepakat mencopot kedudukan Ali bin Abi Thalib
sebagai khalifah dan mengukuhkan Muawiyah sebagai Khalifah menggantikan Ali
bin Abi Thalib. Ali bin Abi Thalib menolak keputusan tersebut yang merupakan
rekayasa dari pihak Muawiyah, Ali bin Abi Thalib sempat mengirim surat kepada
pimpinan khawarij (Abdullah bin Wahb ar-Rasidi) dan memintah mereka untuk
bergabung memerangi Muawiyah di Syam sebagaimana keinginan mereka semula.
Namun kaum Khawarij menolak menurutnya Ali marah bukan karena Allah dan ia
sudah kafir, Allah tidak menyukai para pengkhianat.51
Ali berangkat memimpin pasukan besar ke Syam untuk memerangi
Muawiyah. Tetapi dalam perjalanan itu tersiar kabar bahwa kaum Khawarij telah
melakukan kerusakan sedemikian rupa, mereka menghalalkan darah orang yang
dianggap kafir dan murtad, sikap keras mereka telah diwujudkan diluar hukum,
mereka membuat kekacauan dan tindakan anarkis. Abdullah bin Khabbab berserta
51

Ibid, h. 291

istrinya yang sedang hamil ia bunuh karena membenarkan tahkim dan tidak
menganggap Ali kafir. Maka Ali bersama pasukan memutar arah untuk memerangi
kaum Khawarij terlebih dahulu.52
Sebelum mengambil tindakan lebih lanjut, Ali bin Abi Thalib mengutus Haris
bin Murrah untuk meminta penjelasan namun baru saja utusan itu mendekat mereka
langsung membunuhnya. Mendengar hal itu pihak Ali sudah kehilangan kesabaran
namun Ali masih berusaha mendekati mereka dengan mengirim Abu Ayyub alAnshari53 untuk berdialog dengan mereka dan meminta kejelasan tentang
pembunuhan yang mereka lakukan, Abu Ayyub bisa dikatakan berhasil karena dari
10.000 yang ikut bergabung dengan Khawarij sekitar 7000an orang memilih untuk
keluar dari Nahrawan meninggalkan kawan-kawanya yang lain. Ada yang ke Kufah,
Bashrah, Madain bahkan ada pula yang memilih bergabung dengan Ali bin Abi
Thalib54
Ali bin Abi Thalib memintah pembunuh Abdullah bin Khabbab berserta
istrinya, mereka enggang mematuhinya dan melakukan perlawanan. Kaum Khawarij
yang tetap di Nahrawan, melakukan penyerangan sehingga terjadilah pertempuran di
sungai Nahrawan dan kaum khawarij menderita kekalahan.
52

Ibid
53
Abu Ayyub adalah orang Madinah. Abu Ayyub punya tempat tersendiri di hati para kaum
Khawarij dan mereka sangat menghormatinya, mereka tahu bahwa ketika Rasulullah sampai ke
Madinah Rasullah tinggal di rumah Abu Ayyub sampai masjid Madinah selesai dibangun. Lihat Ali
Audah, op. cit., h. 293
54

Ibid, h. 294

Sekelompok orang-orang Khawarij berkumpul memperbincangkan nasib


sanak famili dan teman-teman mereka yang telah mati terbunuh dalam berbagai
peperangan.

Mereka

berpendapat,

bahwa

tanggung-jawab

atas

terjadinya

pertumpahan darah selama ini harus dipikul oleh tiga orang: Ali bin Abi Thalib,
Muawiyah bin Abi Sufyan dan Amr bin Al Ash. Tiga orang itu oleh mereka disebut
dengan istilah "pemimpin-pemimpin yang sesat". Salah seorang di antara yang
sedang berkumpul itu, bernama Albarak bin Abdullah. Ia bangkit berdiri sambil
berkata: "Akulah yang akan membereskan Muawiyah bin Abi Sufyan!" Teriakan
Albarak itu diikuti oleh Amr bin Bakr dengan kata-kata: "Aku yang membikin beres
Amr bin Al Ash!" Abdurrahman bin Muljam tak mau ketinggalan. Ia berteriak:
"Akulah yang akan membereskan Ali bin Abi Thalib!". Tiga orang tersebut kemudian
bersepakat untuk melaksanakan pembunuhan dalam satu malam terhadap tiga orang
calon korban: Imam Ali r.a., Muawiyah bin Abi Sufyan dan Amr bin Al Ash.55
Terdorong oleh kekacauan aqidah dan semangat balas dendam, tiga orang
Khawrij

itu

bertekad

hendak

cepat-cepat

melaksanakan

rencana

mereka.

Berangkatlah Abdurrahman bin Muljam meninggalkan Makkah menuju Kufah.


Setibanya di Kufah, ia singgah di rumah salah seorang teman-lamanya. Di situ ia
bertemu dengan seorang gadis bernama Qitham binti Al Akhdar. Paras gadis ini elok
dan cantik. Tidak ada gadis lain di daerah itu yang mengungguli kecantikan parasnya.
Ayah dan saudara lelaki Qitham adalah orang-orang Khawarij yang mati terbunuh
55

Imam al-Suyuthi, op. cit., h. 203

dalam perang Nehrawan. Waktu melihat kecantikan gadis itu, Abdurrahman bin
Muljam sangat terpesona dan tergiur hatinya. Dengan terus terang ia bertanya kepada
Qitham, bagaimana pendapat gadis jelita itu kalau ia mengajukan lamaran untuk
dijadikan isteri. Qitham ketika itu menyahut: "Maskawin apa yang dapat kauberikan
kepadaku?" "Terserah kepadamu, apa yang kauinginkan," jawab Abdurrahman bin
Muljam. "Aku hanya minta supaya engkau sanggup memberi empat macam," sahut
gadis itu menjelaskan: "Uang sebesar 3.000 dirham, seorang budak lelaki dan seorang
budak perempuan dan kesanggupanmu membunuh Ali bin Abi Thalib!" Mengenai
permintaanmu yang berupa uang 3.000 dirham, seorang budak lelaki dan seorang
budak perempuan, aku pasti dapat memenuhinya," jawab Abdurrahman, "tetapi
tentang membunuh Ali bin Abi Thalib, bagaimana aku bisa menjamin?" "Engkau
harus bisa mengintai kelengahannya," ujar Qitham. "Jika engkau berhasil membunuh
dia, aku dan engkau akan bersama-sama merasa lega dan engkau akan dapat hidup
disampingku selama-lamanya!"56
Sebenarnya, sebelum Abdurrahman bertemu dengan Qitham binti Al Akhdar,
ia sudah mulai bimbang melaksanakan niat membunuh Ali bin Abi Thalib Sebab,
tidaklah mudah bagi dirinya melaksanakan pembunuhan itu. Perbuatan itu merupakan
tindakan petualangan yang berbahaya bagi keselamatan jiwanya. Tetapi suratan takdir
rupanya mengendaki supaya Abdurrahman lebih bertambah berani, hilang
keraguannya dan nekad berbuat dosa yang amat jahat. Tampaknya takdir membiarkan

56

Hamid Al Husaini, op. cit., h. 139

tangan Abdurrahman nyelonong bagaikan anak-panah terlepas dari busurnya. Secara


kebetulan ia seolah-olah digiring singgah ke rumah teman lamanya dan dipertemukan
dengan seorang gadis bernama Qitham. Setelah terjadi pembicaraan tentang
maskawin, akhirnya Abdurrahman mernberikan jawaban terakhir: "Permintaanmu
tentang pembunuhan Ali bin Abi Thalib akan kupenuhi." Sebagaimana tersebut di atas
tadi Al-Barak bin Abdullah, Amr bin Bakr dan Abdurrahman bin Muljam, telah
sepakat hendak melasanakan pembunuhan serentak dalam satu malam, pada waktu
subuh. Tetapi terjadi satu kebetulan yang agak aneh juga, karena tragedi yang
ditimbulkan oleh tiga orang komplotan tersebut ternyata berakhir dengan akibat yang
berlainan.
Amr bin Al-Ash secara kebetulan tidak mengalami nasib seperti yang dialami
temannya. Cerita tentang peristiwanya itu sebagai berikut: "Pada malam terjadinya
peristiwa itu, Amr bin Al-Ash merasa terganggu kesehatannya. Ia tidak keluar
bersembahyang di masjid dan tidak juga untuk keperluan lainnya. Ia memerintahkan
seorang petugas keamanan, bernama Kharijah bin Hudzafah, supaya mengimami
shalat subuh jama'ah sebagai penggantinya. Amr bin Bakr menduga, bahwa Kharijah
itu adalah Amr bin Al-Ash. Amr bin Bakr segera menyelinap

dan mendekat,

kemudian Kharijah ditikam dengan senjata tajam. Seketika itu juga Kharijah
meninggal dan Amr bin Bakr sendiri tertangkap basah. Waktu dihadapkan kepada
Amr bin Al- Ash, ia (Amr bin Al Ash) berkata kepadanya : 'Engkau menghendaki

nyawaku, tetapi Allah ternyata menghendaki nyawa Kharijah bin Hudzafah!' Setelah
itu ia memerintahkan supaya Amr bin Bakr segera dibunuh.57
Adapun Muawiyah yang menjadi sasaran Al-Barak bin Abdullah, pada saat ia
sedang lengah, ditikam oleh Al-Barak. Mujur , Ia tidak mati, sebab tikaman itu hanya
mengenai samping pantatnya. Hal itu dimungkinkan karena sejak terbukanya
permusuhan antara Imam Ali r.a. dengan dirinya, Muawiyah selalu mengenakan baju
berlapis besi. Al-Barak tertangkap dan ia dihadapkan kepada Muawiyah.
Pada malam Jumat tanggal 17 Ramadhan tahun 40 H, Abdur Rahman bin
Muljam mengincar Ali di depan pintu yang biasa dilewatinya. Seperti biasa Ali keluar
membangunkan orang untuk shalat shubuh, tetapi ia dikejutkan oleh Ibnu muljam
yang memukul kepalanya dengan pedang sehingga darahnya mengalir di
jenggotnya58. Ali sempat bertahan selama dua hari, Jumat dan Sabtu, ia meninggal
pada malam Ahad. Ketika sakaratul maut, Ali tidak mengucapkan kalimat apa pun
selain La ilaha illallah. Beliau wafat pada usia 60 tahun. Khilafahnya berlangsung
selama 5 tahun kurang 3 bulan. Sedangkan Ibnu Muljam, pelaksanaan qishashnya
dilakukan oleh Hasan bin Abi Thalib kemudian jasadnya dibakar dengan api.

57

Ibid, h. 140
Muhammad Yusuf al-Kandahlawiy, Hayatu Shahabah, Juz III (Beirut; Dar al-Kutub
al-Ilmiyah, 1995), h. 428
58

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
1. Ali bin Abi Thalib dikenal pemberani, Selain pemberani Ali bin Abi Thalib juga
dikenal dengan akhlaknya yang sangat terpuji, ia rendah hati, lapang dada, tidak
pendendam, selalu memelihara silaturahmi. Ia seorang yang zuhud serta wara
Dia adalah orang yang sarat dengan ilmu, tempat para sahabat terkemuka
bertanya dalam masalah hukum-hukum-hukum agama yang musykil atau tentang
makna sebuah ayat dalam al-Quran atau tafsirnya.
Dalam kondisi genting pasca terbunuhnya Khalifah Usman bin Affan. Ali
akhirnya dibaiat menjadi Khalifah menggantikan usman bin Affan oleh
mayoritas rakyat dari Muhajirin dan Ansar serta para tokoh sahabat seperti
Talhah dan Zubair di Masjid Madinah. Setelah menjadi khalifah Ali bin Abi
Thalib mengeluarkan kebijakan untuk Memecat semua gubernur yang diangkat
Usman. Dia yakin bahwa pemberontakan-pemberontakan yang terjadi karena
keteledoran mereka. Dam menggantikannya dengan pejabat-pejabat yang baru.
Serta Menarik kembali tanah yang dihadiakan usman kepada penduduk dengan
menyerahkan hasil pendapatannya kepada negara, dan memakai kembali sistem
distribusi pajak tahunan diantara orang-orang Islam sebagaimana perna
diterapkan umar. Sedangkan Dalam persoalan hukum Khalifah Ali mempunyai
prinsip persamaam semua lapisan sosial dan etnik di depan hukum. Dalam

pengelolahan uang negara khalifah Ali mengikuti prinsip prinsip yang ditetapkan
oleh khalifah Umar yaitu harta rakyat dikembalikan kepada rakyat. Dalam
pengawasan terhadap tindakan para gubernur , Ali bertindak keras dan tidak pilih
kasih serta memantau mereka secara terus-menerus.
2. Ali bin Abi Thalib diangkat sebagai khalifah, setelah Usman terbunuih oleh kaum
pemberontak. Talhah, Zubair dan Aisyah menuntut agar para pembunuh Usman
segera ditangkap dan diqishas. Mereka bersama rombongnnya berkumpul di
Basrah, akhirnya terjadi pertempuran antara pihak Ali dan pihak Talhah, Zubair
dan Aisyah. Talhah tewas dalam pertempuran sedangkan Zubair meniggalkan
peperangan setelah dinasehati oleh Ali namun ia mati terbunuh dalam perjalanan
pulang ke Medinah, sedangkan Aisyah dipulangkan oleh Ali ke medinah
3. Muawiyah tidak mau membaait Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah dan terus
mendesak Ali agar segera mengqishash pembunuh Utsman sebelum melakukan
urusan lain, ia membangkan dan menolak untuk meninggalkan posisi gubernur
Syam. Akhirnya terjadi pertempuran di Siffin, pertempuran berakhir dengan
kesepakatan untuk melakukan tahkim, namun wakil Muawiyah, Amr bin Ash
meyalahi kesepakatan perundingan dan mengumumkan dijatuhkannya Ali sebagai
khalifah dan mengukuhkan Muawiyah sebagai khalifah.
4. kaum Khawarij tidak setuju dengan tahkim, mereka dahulunya menjadi pengikut
Ali, namun kemudian berbalik menjadi musuh Ali. Mereka berjumlah 12.000

orang dan berhimpun di Harura. Ali bin Abi Thalib memerangi Khawarij hingga
terjadi pertempuran di sungai Nahrawan

dan

kaum khawarij menderita

kekalahan. Namun Pada malam Jumat tanggal 17 Ramadhan tahun 40 H Abdur


Rahman bin Muljam yang selamat berhasil membunuh Ali bin Abi Thalib. Ali bin
Abi Thalib wafat pada usia 60 tahun. Khilafahnya berlangsung selama 5 tahun
kurang 3 bulan.

DAFTAR PUSTAKA
al-Afifi, Abdul Hakim. Mausuah Alf Huduts Islami. diterjemahkan oleh Irwan
Kurniawan. 1000 Peristiwa dalam Islam. Cet. I Bandung: Pustaka Hidayah,
2002.
Amin, Ahmad. Islam dari Masa Kemasa. cet. III; Bandung: Rosdakarya, 1993.
Audah, Ali. Ali bin Abi Thalib Sampai Kepada Hasan Husain. Cet. V. Bogor: Pustaka
Litera Antar Nusa, 2008.
al-Buthy, Muhammad Saad Ramadhan. Fiqhu Shirah, Dirasat Minhajiahilmiyah li
Shiratin Mustafa Alaihi Shalatu wa Salam. Diterjemahkan oleh Aunur Rafiq
Shaleh Tahmid. Sirah Nabawiyah Analisis Ilmiyah Manhajiah Sejarah
Pergerakan Islam di Masa Rasulullah saw. Cet. II. Jakarta: Robbani Press,
2000.
Al Husaini, Hamid. Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib, Jakarta: Lembaga
Penyelidikan Islam, 1981.
al-Kandahlawiy, Muhammad Yusuf. Hayatu Shahabah. Juz III. Beirut; Dar al-Kutub
al-Ilmiyah, 1995.
Karim, M. Abdul. Sejarah Pemikian dan Peradaban Islam, Cet. I; Yogyakarta:
Pustaka Book Publisher, 2007
Katsir, Ibn. al-Bida>yah wa Niha>yah, Jilid VII Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah,
t.th.
Khalid, Khalid Muhammad. Khulafa al-Rasul. diterjemahkan oleh Zaid Husein.
Kehidupan Para Khalifah Teladan, Cet. I. Jakarta: Pustaka Amani, 1995.
Nasution, Harun. Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta:
Universitas Indonesia Press, 2008.
Pulungan, Suyuti. Fiqh Siyasah Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Cet. V. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2002.
Ridha, Muhammad. Ali bin Abi Thalib Karramallahu Wajha. Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyah, 1995.

Rogerson, Barnaby. The Heirs of The prophet Muhammad, Terj. Ahmad Asnawi,
Para Pewaris Muhammad, Cet. I; Yogyakarta: Diglossia Media, 2007.
Shaban. Islamic History. diterjemahkan oleh Machnum Husein.
Islam;Penafsiran Baru. Jakarta: Citra Niaga Rajawali Press, 1993.

Sejarah

al-Suyuthi, Jalaluddin. Tarikh Khulafau, Cet. I; Beirut: Dar al-Kutub al-ilmyah, 1988
al-Suyuthi, Imam. Tarikh khulafa. diterjemahkan oleh Samson Rahman. Tarikh
khulafa sejarah Para Penguasa Islam. Cet. I. Jakarta: Pustaka al-Kausar,
2001.
Asy-Syahrastani. al-Milal wa al-Nihal. diterjemahkan oleh Asywadie Syukur. alMilal wa al-Nihal Aliran-Aliran Teologi Islam Sejarah Umat Manusia.
Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2005.
Syalabi, A. Sejarah dan Kebudayaan Islam. cet. IX; Jakarta :al-Husnah Zikrah, 1997
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Cet. I; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
1998.

Anda mungkin juga menyukai