Anda di halaman 1dari 2

Menulis Ijazah, Stres pun Datang

Beberapa hari terakhir ini, saya dan beberapa teman guru disibukkan dengan aktivitas menulis
ijazah, yang sebentar lagi harus diterimakan kepada para peserta didik yang berhak menerima.
Menulis ijazah, berdasarkan pengalaman yang saya temukan, (ternyata) selalu menjadi
persoalan dari tahun ke tahun. Menjadi persoalan karena tak setiap guru yang diberi tugas mau
(melaksanakan tugas) menulis ijazah itu dengan tanpa menolak terlebih dahulu, meskipun
gaya menolak masing-masing guru berbeda.
Ada yang menolak dengan dalih tulisannya jelak. Ada juga yang menolak karena tak dapat
berkonsentrasi penuh, yang memungkinkan (nanti) salah dalam menulis. Ada pula yang menolak
karena takut kalau ada kesalahan. Dan, tak sedikit yang menolak karena antara beban yang
harus ditanggung dengan honor yang diterimakan tak seimbang. Mungkin masih ada seabrek
alasan lain mengapa banyak guru yang menolak menulis ijazah.
Memang harus diakui bahwa ijazah adalah sesuatu yang sangat berharga bagi peserta didik
yang telah dinyatakan lulus dari jenjang pendididkan tertentu. Peserta didik untuk mendapatkan
ijazah itu harus menempuh pembelajaran beberapa tahun, dan harus melampaui tingkat-tingkat
kelas yang memerlukan energi tak sedikit. Apalagi jika peserta didik itu tingkat penerimaan
materinya termasuk lamban, jelas perlu waktu yang sedikit agak panjang. Ada banyak rintangan
yang harus dilalui, baik rintangan yang bersifat internal maupun eksternal. Anak-anak usia
pelajar, yang notabene masa mencari jati diri itu, memang penuh dengan godaan. Kalau
termakan godaan, berarti kurang mulus dalam belajar; sementara itu, dapat melewati godaan,
yang berefek pada mulusnya menjalani pendidikan, jelas memerlukan benteng yang tangguh.
Intinya, untuk memperoleh ijazah perlu perjuangan. Di samping itu, berharganya (selembar)
ijazah karena peruntukannya memang mutlak sebagai sarana menjalani keberlangsungan
pendidikan khususnya dan hidup pada umumnya.
Keberlangsungan pendidikan jelas memerlukan ijazah. Untuk dapat meneruskan ke jenjang SMP
atau yang sederajat harus memiliki ijazah SD atau yang sederajat. Untuk melanjutkan ke jenjang
SMA atau yang sederajat perlu memiliki ijazah SMP atau yang sederajat. Demikian juga, jika
masuk ke PT, ijazah SMA atau yang sederajat mutlak diperlukan. Dan seterusnya dan
seterusnya. Hingga, pada ketika seseorang mencari pekerjaan, ijazah pun rupanya (tetap)
menjadi syarat mutlak. Seolah-olah ijazah menjadi penyambung napas hidup.
Ijazah agaknya tak hanya berharga di mata peserta didik yang berhak menerima, tapi juga di
mata orang tua. Bagaimanapun juga kelahiran ijazah di tangan anak, orang tua sangat
berperan. Orang tua tak hanya menjadi promotor, tapi juga memotivasi anaknya agar sekolah
dengan sungguh-sungguh. Perjuangan orang tua di belakang anak tak dapat diabaikan. Setiap
orang tua (juga) selalu mengidamkan anaknya hidup sukses di masa depan. Meskipun
kesuksesan orang tak selalu terkait dengan ijazah, tapi tak dapat dipungkiri (hingga di masa
sekarang ini, di Indonesia) ijazah masih menjadi modal penting untuk meraih harapan.
Gambaran di atas itulah yang mungkin mengharuskan ijazah itu ditulis secara khusus. Khusus,
bukan berarti dimantra-mantrai terlebih dahulu, atau diselamati terlebih dulu. Bukan. Tapi,
(umumnya) perlu ditulis oleh guru yang tulisannya bagus, indah, dan rapi. Ditulis dengan tinta
yang harganya agak sedikit mahal. Tentu di samping agar tak mudah mblobor, juga ketebalan

dan keawetannya terjamin.


Maka, ketika surat keputusan (SK) Kepala Sekolah diturunkan, tercantumlah nama-nama guru
yang (mungkin) tulisannya dianggap lebih baik daripada yang lain. Akan tetapi, nyatanya, seperti
tadi yang telah disebut di atas, dengan berbagai alasan tak setiap guru yang diberi tugas itu mau
melaksanakan secara legawa, ikhlas, dan enjoy.
Menulis ijazah yang memiliki nilai tinggi itu memang tak mungkin ditulis dengan kadar
konsentrasi yang biasa-biasa saja, seperti misalnya ketika menulis karya tulis, surat, memo, atau
yang lain. Sebab, kertas ijazah tak mudah begitu rupa untuk minta ganti jika dalam penulisan ada
yang salah. Harus melalui proses yang agak panjang. Pihak sekolah pun (akan)
merasa sungkan, malu, dan tak enak hati kalau jumlah yang salah itu relatif banyak. Oleh
instansi atasan, (tentu) sekolah dinilai kurang hati-hati. Meski secara kelembagaan sekolah yang
dianggap tledhor, kurang hati-hati, guru yang menulis ijazah pasti memiliki beban tersendiri.
Beban yang sebenarnya sebelum memulai menulis ijazah (saja) sudah muncul itu, bahkan
membiakkan stres. Kami berempat mengakui bahwa saat menulis ijazah sangat stres. Ada
perasaan takut, khawatir, dan cemas. Saya menulis di tempat yang udaranya cukup dingin saja
(meski tak ber-AC), masih berkeringat dan harus menyiapkan sapu tangan untuk melap keringat.
Hal yang sama ternyata dialami juga oleh teman saya (malah pakai handuk kecil!). Karena,
jangan-jangan, butir-butir keringat akan jatuh di kertas ijazah yang ditulisi kalau tak dilap dan
merusakkannya. Perlu (juga) konsentrasi yang penuh. Lelah sedikit saja perlu segera istirahat
sebab jika dipaksakan dilanjutkan boleh jadi mengalami kesalahan.
Pengalaman menulis ijazah kali ini menarik untuk direnungkan. Ada teman yang mengalami
kesalahan. Tiga lembar kertas ijazah harus dimintakan ganti. Setelah kertas ijazah pengganti
ada, teman saya itu tak mau menulis (lagi). Benar-benar terlihat ada beban berat. Ada perasaan
takut yang tak dapat terkatakan. Bagimana pun juga dipaksa, ia tak (bakal) mau menulis.
Kesalahan pertama yang tak sengaja dibuat (malah) menjadi semacam monster yang
menakutkan sehingga ia benar-benar menolak saat disuruh menulis (lagi). Benar-benar trauma.
Akhirnya, saya harus menolongnya meski sebetulnya beban itu pun memberat pada diri saya.
Bahkan, karena beban semacam itu, beberapa di antara kami ada yang berucap tahun depan
harus diganti. Harus diganti! Ketakutan yang berlebihan (yang dialami beberapa guru) itu semoga
tak membuat stres berkelanjutan.
Oleh karenanya, bagi saya, menulis ijazah itu tak harus indah dan bagus. Sebab, tulisan indah
dan bagus itu cenderung (hanya) dipunyai guru-guru seni rupa, di samping mereka diyakini (juga)
lebih memiliki tingkat ketelitian dan kehati-hatian serta kesabaran yang dapat diandalkan.
Sayang, guru seni rupa tak banyak jumlahnya. Bahkan, jika kita mau jujur, tak setiap sekolah
memiliki guru seni rupa. Ini masalahnya. Maka, menulis ijazah itu yang penting adalah jelas
dibaca dan rapi. Waktu yang relatif lama disediakan untuk menulis ijazah agaknya akan sangat
membantu mengurangi beban pikiran. Dan, jelas hal ini terkait dengan harus cepatnya distribusi
blangko ijazah ke sekolah-sekolah.

Anda mungkin juga menyukai