Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia adalah makluh Allah yang paling sempurna dalam
penciptan-Nya mereka dibekali semuanya untuk bisa hidup di dunia.
Mereka pun diberi tugas yang mulia dan berat oleh Allah Swt yaitu
sebagai Khalifah di muka bumi.
Menjadi manusia meruapakan tugas yang sangat berat,
karena dengan segala kelemahan dan kelebihannya manusia harus
mampu menjalankan amanah yang luar biasa besarnya. Maka dari
itu manusia harus sering mencari informasi dan belajar setiap hari,
sehingga potensi dalam diri bisa berkembang dan bisa menjadi apa
yang diinginkan Allah dalam penciptannya. Manusia diberi potensi
yang sangat luar biasa dalam hidupnya yaitu akal, dan dengan
potensi akalanya lah manusia mampu menjadi khalifah yang
diinginkan oleh Allah swt di muka bumi ini.
Al-Quran adalah petunjuk mereka untuk bisa hidup di muka
bumi ini. Didalam Al-Quran terdapat pesan-pesan yang secara
tekstual maupun kontekstual yang menjawab semua persoalan
mereka dalam kehidupan sehari hari. Namun dalam memahami
ayat Al-quran sangat sulit terlebih banyak ayat yang mutasyabihat
nya. maka dari itu tafsir menjadi alternatif dalam memahami isi
kandungan dari ayat-ayat Al-Quran yang kurang dimengerti. Dan
tidak sembarang orang

bisa menafsirkan Al-Quran, hanya orang-

orang teretntu yang memenuhi syarat secara ke ilmuan maupun


yang lainnya yang bisa menafsirkan Al-Quran.

B. Rumusan Masalah
1. Apa Arti Tafsir Menurut Para Ahli?
2. Bagaimana Ilmu Tafsir Pada Masa Rasulullah Saw?
3. Bagaimana Ilmu Tafsir Pada Masa Sahabat?
4. Bagaimana Ilmu Tafsir Pada Masa Tabiin?
5. Bagaiman Perekmbangan Tafsir Pada Masa Pembukuan?
6. Bagaimana Syarat Dan Adab Bagi Seorang Mufassir?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui Bagaimana Arti Tafsir Menurut Para Ahli
2. Mengetahui Bagaimana Tafsir Pada Masa Rasulullah Saw
3. Mengetahui Bagaimana Tafsir Pada Masa Sahabat
4. Mengetahui Tafsir Pada Masa Tabiin
5. Mengetahui Tafsir Pada Masa Tadwin (Pembukuan)
6. Mengetahui Syarat Dan Adab Bagi Seorang Mufassir

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Tafsir an Tawil
1. Pengertian tafsir dan tawil
Al-quran adalah sumber hidayah bagi maunusia. Ia menjadi
pusat kebahagiaan abadi manusia. Ia merupakan sumber pertama
hukum bagi umta manusia. Darinya umat ini mencari bimbingan
dalam menenmpuh kehidupan

dunia dan akherat. Deenagnnya

mereka mencari petunjuk. Di atas hidayahnya mereka berka


behjalan. Dengannya mereka selamat dari berbegai kerusakan dan
mendapatkan hidayah menuju jalan yang lurus.
Sebagai kitab suci terakhir, Al-Quran bagaikan miniatur alam
raya

yang

memuat

segala

disiplin

ilmu

pengetahuan,

serta

merupakan saran penyelesaian segala permasalahan sepanjang


hidup manusia. Al-quran merupakan wahyu Allah yang maha Agung
dan bacaan mulia serta dapat dituntut kebenarannya oelh siapa
saja,

sekalipun

kan

menghadapi

tantangan

kemajuan

ilmu

pengetahuan yang semakin canggih dan rumit1.


Selain memiliki kekuatan dalam segi kebahasaan dan pemberitaan,
Al-Quran juga memperlihatkan keistimewaannya melalui ilustrasiilustrasi ajarannya yang memberi isyarat ke arah pengembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi. 2
Kebanyakan kalangan muslim sekarang meyakini bahwa Al-quran
telah mengantisipasi ilmu ilmu pengetahuan modern. Keyakinana
1 Inu Kencana Syafiie, 1996, Al-Quran dan Ilmu Politik, Jakarta: PT
Rineka Cipta. hlm 1
2 M. Quraish Shihab, 2001, Sejarah & Ulumul Al-Quran, Jakarta: Pustaka
Firdaus. Hlm: 128

ini mendorong bangkitnya suatu aspek penafsiran Al-quran yang


telah terlupakan, yakni apa yang di maksud dengan tafsir ilmi dan
tafsir

ilmiah

pengetahuan

yang

mencoba

kemanusiaan

memindahkan
yang

semua

memungkinkan

bidang
kedalam

penafsiran Al-quran.3
Kata tafsir hanya disebut sekali saja dalam Al-quran, yaitu pada
surat Al-furqon ayat 33 yang artinya tidaklah orang-orang kafir itu
datang kepadamu (membawa sesuatu yang ganjil, melainkan kami
datangkan

kepadamu

yang

benar

dan

yang

paling

baik

penjelasannya. 4
Dalam bahasa inggris kegiatan menafsir di istilahkan dengan kata
exegesis yang memiliki arti membawa keluar atau mengeluarkan.
Apabila dikenakan pada tulisan-tulisan maka kata tersebut berarti
membaca atau menggali arti tulisan tersebut. Jadi pada waktu
kita membaca sebuah tulisan atau mendengar suatu pernyataan
yang kita coba pahamidan tafsirkan. Maka kita sebenarnya sedang
melakukan penafsiran. 5
Secara etimologi, tafsir berarti menjelaskan dan mengungkapkan.
Sedangkan menurut istilah, tafsir ialah ilmu yang membahas
tentang cara mengucapkan lafadz-lafadz Al-Quran, makna-makna
yang ditunjukannya dan hukum hukum, baik ketika berdiri sendiri
ataupun tersusun, serta makna-makna yang dimungkinkannya
3 Jansen, J.J.G,1997, Diskursus Tafsir Al-Quran Modern, Yogyakarta: PT
Tiara wacana Yogya. Diterjemahkan oleh Hairussalim. Hlm: 55
4 Ishom El saha, 2005, Sketsa Al-quran,Jakarta: Lista Fariska Putra.
Hlm:715
5 Syibli Syarjaya, 2008, Tafsir Ayat-Ayat Ahkam, Jakarta: PT Raja
Grafindo persada. hlm : 4

ketika dalam keadaan tersusun.sedangkan takwil berasal dari kata


awl yang berati kembali. 6
Para ulama berbeda pendapat tentang perbedaan antara tafsir dan
takwil. Abu Ubaidah berkata: keduannya memiliki pengertian yang
sama. Sedangkan menurut Al-Raghib al Ishfahany berkata: Tafsir
memiliki pengertian lebih umum dan lebih banyak digunakan pada
lafadz-lafadz dan kosa kata-kos kata dalam kitab-kitab yang
diturunkan oleh Allah dan kitab-kitab lainnya, sedangkan takwil
lebih banyak di pergunakan pada makna-makna dan kalimatkalimat dalam kitab-kitab yang diturunkan oleh Allah saja. AlMaturidy mengatakan: Tafsir berarti memastikan bahwa yang
dikehendaki oleh Allah itu adalah demikian sedangkan takwil berarti
mentarjihkan satu diantara makna-makna yang dimungkinkan oleh
suatu lafadz dengan tanpa memastikan.
Menurut Abu Hayan, tafsir adalah ilmu menagnani cara
pengucapan lafadz-lafadz Al-quran serta mengungkapkan petunjuk,
kandungan-kandungan hukum, dan makna-makna yang terkandung
di

dalamnya.

Sedangkan

Taawil

menurut

Al-jurjanzi

adalah

memalingkan suatu lafadz dari makna lahirnya terhadap makna


yang dikandungnya, apabila makna alternatif yang di pandangnya
sesuai dengan ketentuan al kitab dan As-sunah 7. Sementara pakar
menyebutkan bahwa tawil terdiri dari empat unsur yang menyatu
yaitu: 1). Nash/teks dengan makna Syariyahnya, 2). Makashid asy-

6 Ali Hasan, 1992, Sejarah dn metodelogi Tafsir, Jakarta: PT Raja


Grafindo Persada. hlm: 3
7 Rosihon Anwar, 2007, Ulumul Al-quran Bandung: Pustaka Setia. Hlm:
210-211

Syariah yang dikandung Nash, 3). Kondisi atau kenyatan yang


dibicaran oleh Nash, 4). Wawasan luas pentawilnya8
Sedangkan menurut sebagian ahli tafsir ada yeng mendefinisikan
bahwa tafsir adalah ilmu yang membahas tentang Al-quran dari
segi

pengertiannya

terhadap

maksud

Allah

sesuai

dengan

kemampuan manusia. Sedangkan takwil menurut sebagian para


ulama

ada

yang

berpendapat

bahwa

takwil

adalah murodif

(Sinonim) kata tafsir. Seorang pengarang kamus mengatakan


Mentawilkan ucapan dengan suatu tawil artinya merenungkan,
memperkirakan, atau menafsirkan. 9
Jadi secara sederhannya perbedaan antara tafsir dengan tawil ialah
bahwa tafsir adalah menerangkan maksud yang ada pada suatu
lafadz

yang

menghilangkan

kesamaran

arti

daripada

lafadz

tersebut, sedangkan tawil menerangkan maksud yang ada pada


makna yang tidak ditujukannya secara zhahir, tetapi terkandung
dalam ayat tersebut berdasarkan dalil yang mendukungnya. Jadi
kalau digunakan kata tafsir adalah yang menjelaskan ayat-ayat Alquran. 10
Tafsir adalah

kunci

yang

membuka

gudang

simpanan

yang

tertimbun di dalam Al-quran. Tanpa adanaya tafsir orang tidak akan


bisa membuka gudang simpanan tersebut untuk me4ndapatkan
mutiara dan permata yang ada di dalamnya, sekalipun orang-orang
8 M Quraish Shihab, 2013, Kaidah Tafsir. Tangerang: Lentera Hati. Hlm:
225
9 Asy-Shubuny, 1987, Pengantar Studi Al-Quran (At-Tibyan). Bandung:
Al-Maarif. Diterjemahkan oleh: Chudrulori Umar. hlm 203
10 Adian Husaini, 2008, Hermeneutika dan tafsir Al-quran Jakarta: Gema
Insani. Hlm 47

berualang kali mengucapkan lafadz Al-quran dan membacanya di


sepanjang pagi dan petang.
2. Fungsi dan manfaat ilmu tafsir
Ilmu tafsir berfungsi sebagai kunci utama untuk memahami
Al-quran dari berbagai aspeknya. Tanpa ilmu tafsir tentu dalam
konteksnya yang sangat luas, mustahil Al-quran bisa dipahami
dengan benar dan baik. Tanpa ilmu tafsir pupa pemahaman
terhadap

kandungan

dalam

Al-quran

tidak

mungkin

bisa

dikembangkan. Dan tanpat ilmu tafsir juga tidak akan terjadi


sosialisasi pemahaman Al-quran. Pendeknya ilmu tafsir memilki
fungsi yang sangat pentingdan strategis dalam memahami Alquran.ringkasnya ilmu tafsir adalah roh dari ilmu-ilmu Al-quran yang
sangat umum dan luas.
Syeikh Muhammad Abduh mengatakan, bahwa acap kali
mereka yang ingin menyelami pengetahuan-pengetahuan yang
tinggi dalam Al-quran, mengalami kesukaran dan kehebatan., yang
terpancar dari nur illahi kandungannya, hingga terkadang gagal
dalam

mencapaidan

meringankan

maksud

kesukaran

itu

yang
bagi

sebenarnya.

Tetapi

hambanyadengan

Allah

perintah

mencari paham perkatanya sekuat pikiran kita, agar kita dapat


penerangan dan petunjuk tentang aturan-aturan dan hukumhukum-Nya.

Dengan

terjemah

dan

tafsir

dapatlah

manusia

mengikuti arti Al-quran yang menerangkan kepadanya apa-apa


yang menyenangkan mereka baik di dunia maupun di kaherat,
kaena inilah maksud Al-quran yang paling tinggi. 11
Terkait erat dengan fungsi ilmu tafsir, yakni sebagia alat atau
sarana untuk memahami Al-quran, ilmu tafsir juga memilki manfaat
11 Aboebakar Aceh, 1989, sejarah Al-Quran, Solo: CV Rhamadani. Hlm:
50

yang sangat besar bagi masyarakat luas. Ilmu tafsir sangat berguna
bagi kaum muslimin untuk melahirkan berbagai penafsiran yang
benar dan baik, serta menghindarkan mereka dari kemungkinan
terjebak

dalam

penafsiran-penafsiran yang salah dan buruk.

Manfaat dari ilmu tafsir adalah untuk mempertahankan originalisasi


dan kelestarian Al-quarn dari kemungkinan usaha-usaha banyak
pihak yang berusaha mengaburkan atau bahkan menghilangkan ALquran.
Berkaitan dengan keistimewaan ilmu tafsir dan kebutuhan
terhadapnya, Muhammad Abd al-Azhim al-Zarqoniantara laian
berkomentar:

kemajuan

masyarakat

muslim

dalam

konteks

perorangan maupun keumatan mustahil bis terbebaskan dari ikhtiar


untuk mewujudkannya dari kemudahan yang tidak ada gangguan
dari

hal-hal

yang

membingungkan

kecuali

harus

melibatkan

berbagai petunjuk dari Allah dengan mempelajari Al-quran berikut


rangkaian

susunan

kata-katanya

yang

sangat

bijaksana

dan

menghidarkan semua unsur kebahagiaan untuk umat manusia.


Di dalam muqoddimah kitab Ruhul Maani karangan mufasiir
besar al-alusi, terdapat pernyataan yang menerangkan alasan di
butuhkannya tafsir dan pentingnya mempelajari ilmunya: Adapun
keterangan tentang alasan dibutuhkannya tafsir adalah karena
pemahaman atas kitab suci Al-quran yang mencakup semua
hukum-hukum

syariatyang

menjadi

poros

kebahagiaan

yang

abdiyang meruoakan tali pegangan yang kauttak terputuskan dan


di jalan yang lurus, adalah perkara yang sulit yang tidak bisa
diketahui jalannyakecuali dengan curahan taufik dari Alla swt.12

12 Mahmud Basumi fuadah, 1978, Tafsir-tafsir al-Quran (perkenalan


dengan metodologi tafsir). Bandung. Pustaka. Hlm 8

Kewajiban mempelajari ilmu tafsir bisa didukung dengan kaidah


ushul fikih yang artinya perintah terhadap sesuatu, perintah pula
terhadap wasilah dan sarannya. Dihubugkan dengan tafsir Al-quran
dan ilmu tafsir, jika memahami Al-quran itu perintah wajib, maka
mempelajarai ilmu tafsirnya juga merupakan perintah wajib. Sebab
mustahil bisa memahami Al-quran yang hukumnya wajib itu tanpa
ilmu tafsir. Tafsir adalah alat bedah untuk mengetahui isi perut Alquran.13
Ringkasnya, para ulama telah bersepakat bahwa mempelajarai
tafsir itu termasuk fardhu kifayah dan ini termasuk salah satu dari
sekian banyak ilmu agama14.
B. Perkembangan Ilmu Tafsir Pada Masa Rasulullah Saw
Ilmu tafsir memiliki tahap-tahap yang dilalui, sejak pertumbuhan
pengkodifikasian sampai masa skarang kita ini. Masyarakat Qurasyi
sejak masa pra islam telah menggunakan bahsa Arab dengan fasih
untuk

berkomunikasi,

baik

dalam

aktifitas

formal

maupun

nonformal. Kemudian pada mas islam, bahasa Arab dipilih sebagai


bahasa Al-Quran selain terdapat kisa kata baru dalam Al-Quran,
yang sebelumnya tidak dikenal masyarakat Arab, juga terjadi proses
generalisasi

leksem

dari

kata

sebelumnya.

Misalnya,

dahulu

masyarakat Arab memaknai kata Ad-dabbah, dengan arti binatang


berkai empat. Lebih khusunya lagi dengan arti al-fars (kuda). Dalam
perkembngana selanjutnya, ad-dabbah dalam Al-Quran diartikan
dengan nama untuk setiap nama binatang yangmemiliki ruh, yang
hidup di darat, laut dan di gunung.
13 Muhammad Amin Suma, 2013, Ulumul Al-quran, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada. hlm 317-318
14 Al-Hayy Al-Farmawi,1994, Metode Tafsir Mawdhuiy Jakarta. PT Raja
Grafindo Persada. hlm: 6

Secara

umum

metode

tafsir

Nabi

Muhammad

dapat

dikelompokan sebagai berikut:


a. Al-Quran dengan Al-quran
Nabi Muhammad saw menggagas penafsiran suatu ayat AlQuran dengan ayat Al-Quran lainnya meskipun hanya sedidkit
riwayat yang menjelasan tentang metode ini.

Perkembngan

selanjutnya metode ini diesbut dengan metode tematik (maudhui).


b. Al-Quran dengan Hadis
Baik hadis Qudsi maupun Nabawi merupakan pendamping AlQuran yang dianugrahkan oleh Alla swt kpeda Nabi Muhammad saw
sebagaimana telah dimaklumi bahwa salah satu fungsi hadis adalah
penafsir Al-Quran.
c. Metode Tikrar
Metode tikrar (pengulangan) ini betujuan agar membekas
dihati para pendengar. Mialanya Huraim bin Fatik Al-Asasi , Nabi
Muhammad saw pada suatu ketika sholat shubuh , setelah selesai
memberi salam, beliau berdiri dan menghadap kepada orang-orang
dan bersabda:
Persaksian palsu

sama

beratnya

dengan

memperserikatkan

seseauatu dengan Allah, persaksian palsu sama beratnya dengan


memperserikatka sesuatu dengan Allah swt, persaksian palsu sama
beratnya dengan memperserikatkan sesuatu dengan Allah. (HR.
Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah, dan Thabrani)
d. Metode Sual
Metode sual (tanya jawab) bertujuan untuk merangsang
minat para sahabat dalam menambah ilmundan mengatsi kesulitan
persoalan yang dihadapinya dalam metode ini kadang-kadang
Rosulullah yang bertanya kepada Sahabat atau kadang-kadang juga
Nabi Muhammad yang ditanya oleh Sahabat.
e. Pendekatan makna

10

Dalam menjelaskan makna Siratul Muntaha (QS. An-Najm:


14) Nabi Muhammad saw menjelaskannya secara deskrifitf sesuai
dengan pengalaman sepiritualnya yaitu:
akau melihat sidratul muntaha dilangit ketujuh,. Buahnya
seperti kemdi daerah hajar, dan daunnya seperti telingan
gajah. Dari akarnya kelauardua sungai luar dan dua sungai
dalam.

Kemudian

aku

beratnya,

wahai

Jibril,

apakah

keduanya ini? Dia menjawab, Adapun dua yang didalam itu


ada di surga, sedangkan dua yang di lauar itu adalah Nil dan
Eufrat (HR. Bukhari)
Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa
secara praktis ilmu tafsir telah digunakan oleh Nabi Muammad saw
dalam kegiatnnya menafsirkan Al-Quran. Akan tetapi, secara teoritis
belum menjadi sebuah disiplin ilmu yang matang. Dari penafsirsn
Nabi ini masih dapat dikembangakan untuk penafsiran-penafsiran
selanjutnya, terutama yang berdasarkan konteks ruang dan waktu.
15

C. Perkembangan Ilmu Tafsir Pada Masa Sahabat


Menurut Musthafa muslim, kebutuhan terhadap penafsiran Al-Quran
pada masa sahabat dosebabkan oleh beberapa faktor, anatar laian:
a. Orang-orang asing (non Arab) banyak yang masuk islam.
Mereka sangat antusias untuk mengetahui persoalan agama
dan syarat syarat islam serta keinginan mempelajari AlQuran. Akan tetapi mereka tidak memiliki kemampuan bahasa
yang

memungkinkan

untuk

mengetahui

makna

dan

maksudnya.
15 Rosihon Anwar, 2015, Ilmu Tafsir, Bandung: Pustaka Setia. Hlm 2535

11

b. Lahirnya genersi baru, baik putra sahabat maupun selainnya,


yang tidak menyaksikan peristiwa turunnya wahyu dan sebab
turunnya ayat. Tentu mereka merujuk kepada para sahabat
yang mengetahuinya.
c. Ekspansi wilayah dakwah islam yang semakain meluas
samapai ke wilayah perbatasan India , Wilayah timur,
Armeiniya, Azerbaijan, dan wilayah lainnya.
d. Terjadinya akulturasi budaya. Terutama dengan ahli kitab dan
filsafat

timur

dari

majusi.

Untuk

itu,

orang

orang

membutuhkan penafsiiran yang shohih dan dapat dipercaya.16


Para sahabat memberika perhatian maksimal kepada Al-quran
mereka membaca ayat-ayatnya, memahami kandungan hukumya
dan merenungkan isinya. Mereka adalah orang yang sangat
mengenal kitabullah. Ada yang ahli dalam qiroah, ada yang ahli
dalam tafsir dan maknanya, dan ada yang ahli dalam halal dan
haram. Rosulullah saw menjadi rujukan pertama mereka dalam
berbagai hal, ketika beliau wafat sebagian dari mereka merujuk
kepada sebagian yang lainnya. Mereka saling bertanya mengenai
berbagai masalah yang tidak mereka ketahui. Jadilah pada masa
sahabat penuh dengan sinar iman dan bingbingan Rasulullah saw
yang senantiasa hadir dihati mereka dan terpelihara di dalam
ingatan mereka. Para sahabat belum bertumpu pada tulisan dan
kodifikasi. Masa mereka berlalu tanpa ada pembukuan tafsir
sedikitpun. Semua tafsir tersimpan dalam hafalan tertanam dalam
jiwa dan muncul tokoh tokoh seperti khulafaurrasydin, ibnu Abbas,
Ibn Masud, Ubai Ibn Kab, dan lain-lain. Kemudian datang masa
tabiin, banyak terjadi pembukaan wilayah. Orang-orang non arab
masuk islam berbondong-bondong. Kebutuhan akan tafsir semakin
16 Ibid:, hlm: 36

12

meningkat, maka munculah sekolah-sekolah tafsir dan meluaslah


tafsir-tafsir

yang sebelumnya belum begitu dibutuhkan karena

kedekatan meraka sumber risalah dan pelita kenabian. Kemudian


munculah sekolah Ibn Abbasdi Mekkah, sekolah Abdullah Ibn Masud
di kuffahdan juga sekolah Ubai Ibn Kab di Madinah. Semua
penafsiran itu sangat berpengaruh di kalangan sahabt dan tabiin.
Penafsiran juga merambah ke ayat-ayat yang sebelumnya belum
ditafsirkan, meski belum semuanya , dengan metode yang isa
disebut tafsir bil matsur.ketiga sekolah teresbut dengan berbagai
tokohnya baik dari kalangan sahabat ataupun tabiin bisa di sebut
sebagai peletak dasarbagi ilmu tafsir. Demikian pula ilmu-ilmu Alquran

mereka

berpegang

teguh

kepada

periwayatan

dan

pengajaran, bukan penulisan dan pembukuan. 17


D. Perkembangan Ilmu Tafsir Pada Masa Tabiin
Kalau dikalangan sahabat banyak yang dikenal pakar dalam bidang
tafsir, dikalangana tabiin yang nota benenya menjadi murid mereka
pun, banyak pakar dibidang tafsir . dalam penafsiran tabiin
berpegang pada sumber-sumber yang ada pada masa para
pendahuluya disamping ijtighad dan pertimbangan nalar mereka
sendiri.
Menurut Adz-Dzahabi, dalam memahami Kitabullah, para
mufassir dari kalangan tabiin berpegang pada Al-Quran itu,
keterangan yang mereka riwayatkan dari para Sahabat yang
berasal dari Rasulullah saw, penafsiran para Sahabat, ada juga yang
mengambil dari Ahli Kitab yang bersumber dari isi kitab mereka. Di
sampinng itu mereka berijtihad atau menggunakan pertimbangana
nalar sebagaimana yang telah dianugrahkan Allah kepada mereka.
17 Yunus Hasan Abidu, 2007, Tafsir Al-Quran (sejarah tafsir dan metode
para mufassir), Jakarta: PT Gaya Media Pratama. Hlm: 11-12

13

Ketika penaklukan islam semakin luas, tokoh-tokoh Sahabat


terdorong berpindah berpindah kedaerah-daerah taklukan. Mereka
membawa ilmu masing-masing. Dari tangan mereka inilah tabiin,
murid mereka itu, belajar dan menimba ilmu, sehingga selanjutnya
tumbuhlah berbagai madzhab dan perguruan tinggi.
Di Makkah misalnya, berdiri perguruan Ibnu Abbas. Di anatar
muridnya yang terkenal adalah Said bin Jubair, Mujahid, Ikrimah,
Ibnu Abbas dan lain-lain. Mereka itu semuanya dari golongan maula
(sahaya yang dibebaskan). Periwayatan tafsir Ibnu Abbas yang
sampai ke tangan murid-muridnyaitu tidak sama, ada yang sedikit
ada juga yang banyak, sebagaimana para ualama pun berbeda
pendapat

menganai

kadar

keterpercayaan

dan

kredibilitas

mereka. Dan yang mempunyai kelebihan diantara mereka tetapi


mendapat sorotan adalah Ikrimah. Para ulama berbeda pandangan
disekitar

penilaian

trehadap

kredibilitasnya

meskipun

mereka

mengakui keilmuan dan keutamannya.


Di Madinah Ubay bin Kaab terkenal dibidang tafsir dari orang
lain.

Pendapat-pendapatnya

menganai

tafsir

banyak

dinukil

generasi sesudahnya. Diantara murid-muridnya dikalangan tabiin


ialah Zaid bin Aslam, Abu Aliyah, dan Muhammad bin Kaab AlQurazhi.
Di Irak berdiri perguruan Ibnu Masud yang dipandang oleh
para ulama sebagai cikal bakal madzhab ahli rayi. Dan banyak para
tabiin di Irak dikenal dalam bidang tafsir. Yang mahsyur diantaranya
ialah Al-Qamah binQais, Masruq, Al-Aswad bin Yazid, Murrah AlHazani, Amir Asy-Syabi, Hasan Al Basri dan lain-lain.
Para ualama berbeda pendapat tentang kualitas tafsir tabiin. Jika
tafsir

tersebut

bersifat

independen,

tidak

diriwayatkan

oleh

14

Rasulullah atau para Sahabat , apakah pendapat mereka itu dapat


di pegang atau tidak?
Sebagaian ulama berpendapat, tafsir mereka tidak harus
dijadikan pegangan, sebab mereka tidak menyaksikan peristiwaperistiwa, situasi atau kondisi yang berkenaan dengan turunnya
ayat-ayat Al-Quran, sehingga mereka dapat saja berbuat salah
dalam memahami apa yang dimaksud. Sebaliknya, banyak mufassir
yang berpendapat, tafsir mereka dapat dipegang, sebab umunya
mereka menerimanya dari para sahabat. Pendapat yang kuat ialah
jika para tabiin sepakat atas sesuatu pendapat, maka bagi kita
wajib

menerimanya,

tidak

boleh

meninggalkannya

untuk

mengambil jalan yang lain.


Ibnu Taimiah menukil pendapat, Shubah bin Al-Hujjaj katanya,
pendapat para tabiin itu bukan bujjah, maka bagaiaman pula
pendapat

teresebut

dapat

menjadi

hujjah

di

bidang

tafsir?

Maksudnya, pendapat-pendapat itu tidak menjadi hujjah bagi orang


yang tidak sependapat dari mereka. Inilah pendapat yang benar.
Namun ketika mereka sependapat atas sesuatu maka tidak
diragukan lagi bahwa kesepakatan itu merupakan hujja. Sebaliknya
jika mereka berbeda pendapat maka pendapat sebagian dari
mereka tidak menjadi hujjah, baik bagi kalangan tabiin ataupun
bagi kalangan sesudahnya. Dalam keadaan demikian, persoalannya
dikembalikan kepada bahas Al-Quran, Sunnah keumuman bahasa
Arab dan pendapat para Sahabat tentang hal tersebut. 18
E. Tafsir Pada Masa Tadwin (Pembukuan Tafsir)
Pembukuan (tadwin) tafsir terjadi pada masa akhir pemerintahan
Daulat bani Umayah atau pada masa permualaan pemerintahan
18 Manna kahlil al-qattan, 2006, Pengantar Studi Ilmu Al-Quran,
Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. Hlm: 425-426

15

Daulat

Bani

Abasiah.

Pada

msa

itu

ulama-ulama

baru

mengumpulkan hadist-hadist tafsir yang diterima dari sahabat dan


tabiin. mereka menyusun tafsir dengan cara menyebut sesuatu
ayat, lalu menyebut nukilan-nukilan yang mengenai tafsir ayat dari
sahabat

dan

Pembukuan

tabiin.

tafsir

Ini

trejadi

apada

dimaksudkanagar

abad

Al-quran

kedua
dapat

hijriah.

dipahami

maknanya oleh mereka yang tidak memiliki saliqah bahasa arab


lagi.
Pada permulaan masa Bani Abbasiyah itu terjadi usaha-usaha
untuk mengumpulkan hadist-hadist tafsir dari umumnya hadist.
Karenanya hadist tafsir merupakan bagian dari hadist. Banyak
ulama yang berusah mengumpulkan hadist-hadist tafsir dengan
melewat ke berbagai kota seperti yang dilakukan oleh:
Yazid bin bin harus as Sulamy (wafat 117 H)
Syubah bin Al-Hajjaj (wafat 160 H)
Wakiin bin Al-Jarah (wafat 197 H)
Sufyan bin Uyainah (wafat 198 H)
Rauh bin Ubadah Al-bishri (wafat 205 H)
Abdur Razzaq bin Hammmm (wafat 211 H)
Adam bin Abi Ilyas (Wafat 220)
Abdun bin Humaid (wafat 249)
a. Adapun tafsir-tafsir yang terkenal pada abad kedua hijriah
adalah:
Tafsir As-Suddy (127), menerangkan riwayat-riwayat
yang disandarkan kepada Ibn Masud Ibn Abbas. Tetapi
dia

ini

adalah

orang

yang

diperselisihkan,

yang

meriwayatkan riwayat-riwayatnya, yaitu bath bin Nashr.


Tafsir ibnu juraijj (150 H), Ibnu Juraij meriwayatkan
segala riwayat yang mengenai ayat sahih ataupun dhaif
Tafsir Muqatir (150 H), Muqatil banyak sekali belajar
kepada orang-orang yahudi, oleh karena itu orang

16

yahudi

menuduhnya

sebagai

orang

yang

dusta,

begitupula Ibn Mubarok tidak mempercayainya.


Tafsir Muhammad Ibn ishaq, beliau ini banyak menerima
riwayat dari Ka-bul Ahbar
Tafsir Ibn Uyainah
Tafsir Waki Ibnu Jarah
Semua tafsir-tafsir ini telah hilang dibawa arus mata, tak ada
yang

sampai

kepada

kita.

Dalam

pada

itu

kebanyakan

isi

kandungannya telah ditampung oleh tafsir Ibnu jarir Ath-Thabary


(320 H). 19
Tafsir Al-quran paling awal dan penting, yang masih ada dan dapat
diperoleh

dengan

mudah,

adalah

karya

Muhammad Ibnu Jarir al-Tabari (w.923).

agung

sejarawan

Karya agung ini dicetak

pertama kali di kairo pada 1903 dalam 3 jilid, dan kemudian dicetak
berulang kali. Seperti yang dikesankan judulnya, Jami al-Bayan an
Tawil al-Quran, karya ini merupakan suatu ikhtisar segala jenis
penafsiran terbaik dan tafsir tradisional yang awal.20
F. Syarat Dan Adab Seorang Mufassir
Barang siapa yang bermaksud menafsirkan Al-quran

maka

hendaklah ia mencarinya dulu dari Al-quran. Sebab apa yang


disebutkan secara global di dalam suatu ayat mungkin telah
ditafsikandi dalam ayat yang lain, atau apa yang disebutkan secara
ringkas dalam suatu ayat mungkin telah dirinci di tempat yang lain.
Jika tidak di dapatkannya maka hendaklah ia mencarinya dari
sunnah.

Apabila

tidak

juga

ditemukan

dalam

sunnah

maka

19 Mashuri Sirojuddin Iqbal, 2009, Pengantar Ilmu Tafsir, Bandung:


Angkasa. Hlm 109-110
20 Richard Bell,1995, Pengantar Studi Al-quran, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada. Diterjemahkan oleh Taufik Adnan Amat. Hlm 265

17

hendaklah kembali kepada pendapat para sahabat. Apabila terjadi


pertentangan antara pendapat sahabat itu sendiri maka diambil
yang lebih kuat dalam segi argumentasinya, misalkan perbedaan
meraka dalam persoalan huruf-huruf hija (potongan) di awal surat,
dikuatkan pendapat yang mengatakan bahwa ia adalah sumpah.
Di dalam Al-Burhan, Al Zarkasy menyebutkan empat
pengambilan

bagi

seorang

mufassir,

pertama

riwayat

dari

Rosulullah saw; kedua, pendapat dari para Sahabat; ketiga,


keumuman bahasa sebab, sebab Al-quran diturunkan dengan
menggunakan bahasa arab; keempat, penafsiran dengan apa yang
menajdi tuntutan (konskwensi) makna kalimta dan tujuan syariat. 21
Tidak boleh menafsirkan Al-quran dengan rayu (pemikiran) dan
hawa nafsutanpa dalil syari, sabda Raulullah saw:
Barang siapa berbicara tentang Al-quran dengan pemikirannya
semata kemudian benar maka itu pun tetap dinilai salah.
(dikeluarkan oleh Abu daud, Turmudzi an Nasai).
Ulama kita terdahulu mensyaratkan bagi seseorang

yang

menafsirkan Al-quran bebrpa syarat ilmiah (disamping syarat yang


berdimensi

agama

dan

moral).

Diantara

syarat

ini

adalah

kemampuan bahas Arab sehingga ai daoat mengetahui maksdu


(dilalah) kata dan kalimat. Macam-macam dilalah antar hakikat dan
majas , sharih dan kinayah. Demikian juga mengetahui ilmu nahwu
dan sharaf, ilmu asal kata (etimologi) dan dilmu Balaghah sehingga
tidak tergelincir dalam memahami Al-quran22
21 Zainal Abidin, 1992, Seluk-Beluk Al-quran, Jakarta: PT Rineka Cipta.
Hlm :192
22 Yusuf Qardhawi, 1999, Berinteraksi dengan Al-quran, Jakarta: Gema Insani
Press. Diterjemahkan oleh: Abdul Hayyie al-kattani. Hlm 518

18

Dalam bukunya Mana Khalil al-Qattan yang diterjemahkan oleh Drs


Mudzakir A.S, diterangkan bahwa syarat-syarat sebagai seorang
mufasiir adalah sebagai berikut:
1. Aqidah yang benar, sebab aqidah sangat berpengaruh
terhadap jiwa pemiliknya dan sering kali mendorongnya
untuk

mengubah

nas-nas

dan

berkhianat

dalam

penyampaian berita.
2. Bersih dari hawa nafsu, sebab hawa nafsu akan mendorong
pemiliknya

untuk

membela

kepentingan

madzhabnya

sehingga ia menipu mereka denga kat-kata yang halus dan


keterangan menarik seperti dilakukan golongan Qadariah,
Syiah Rafidah, Mutazilah dan para pendukung fanatik
madzhab yang lainnya.
3. Menafsirkan lebih dahulu Quran dengan Quran, karena
sesuatu yang masih global pada suatu tempat telah diperinci
ditempat lain, dan sesuatu yang dikemukakan secara ringkas
disuatu tempat telah di uraian di tempat lain.
4. Mencari penafsira dari Sunnah, karena sunnah berfungsi
sebagai penyarah Quran dan penjelasnya.
5. Apabila tidak didapatkan penafsiran dari sunnah maka
hendaklah meninjau pendapat para sahabat karena mereka
lebih mengathui tentang tafsir Al-quran.
6. Apabila tidak ditemukan juga dari pendapat para sahabat
maka sebagia ulama dalam hal ini memeriksa pendapat
Tabiin seperti, Mujahid bin Jabr, Said bin Jubair, Ikrimah
Maula daln lain-lain.
7. Pengetahuan bahasa arab dengan segala cabangnya
8. Pengetahuan tentang pokok-pokok ilmu yang berkaita
dengan Al-quran, seperti ilmu Qiroah, karena dengan ilmu ini
akan diketahui cara pengcapan alafdz-lzfadznya.

19

9. Pemahaman

yang

mengukuhkan

cermat

sesuatu

sehingga

makna

mufassir

atas

yang

dapat

lain

atau

menyimpulkan makan yang sejalan dengan nas-nas syariat.


Adapun adab seorang mufassir anatar lain adalah:
1. Berniat baik dan bertujuan benar, sebab amal perbuatan
bergantung pada niat.
2. Berakhlak baik, karena

mufassir

bagaikan

seorang

pendidik yang didikannya itu tidak akan berpengaruh ke


dalam jiwa tanpa ia menjadi panutan yang diikuti dalam
hal akahlak dan perbuatan mulia.
3. Taat dan beramal. Ilmu akan lebih dapat diterima oleh

4.
5.
6.
7.
8.

kahalayak

melalui

ketimbang

mereka

orang
yang

yang
hanya

mengamalkannya
memiiki

ketinggian

pengetahuan dan kecermatan kajiannya.


Berlaku jujur dan teliti dala penukilan
Tawadhu an lemah lembut
Berjiwa mulia
Vokal dalam menyampaikan kebenaran
Berpenampilan baik yang dapat menjadikan mufassir

berwibawa
9. Bersikap tenang dan mantap
10. Mendahulukan orang yang
Hendaknya

seorang

mufassir

lebih

utama

darinya.

tidak

gegabah

untuk

menafsirkan dihadapan orang yang lebih pandai ketika


mereka masih hidup mdan tidak merendahkan mereka
ketika mereka sudah wafat.
11. Mempersiapakan
dan

menempuh

langkah-

langkahpenafsiran secara baik, seperti memulai dengan


menyebutkan

asbabul

nuzul,

arti

kosa

kata,

menerangakan susunan kaliamat, menerangkan segi-sgi

20

balagah dan irab yang padanya bergantung penentuan


makna.23

BAB III
23 Manna Khalil al-khatan, 1973, Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran, Surabaya: PT
Ramsa Putra. Diterjemahkan oleh Mudzakir AS. Hlm 462-466

21

PENUTUP
A. Simpulan
Tafsir adalah alat bagi kita selaku umat islam untuk bisa memahmi
Al-Quran secara tekstual terlebih kontekstual. Perekmbangan tafsir
dari masa ke masa mengalami perubahan yang sangat sginifikan.
Pada masa Rasulullah saw kegiatan menafsirkan sudah ada namun
belum dijadikan sebgai disiplin ilmu. Setelah Rasulullah wafat maka
para Sahabat lah yang melanjutkan tingkat estapet perjuangan
Rasulullah begitupun dalam hal menafsirkan ayat Al-Quran. Ketika
mereka menemukan masalah maka mereka saling bertanya satu
sama lain untuk menyelesaikan masalahnya termasuk masalah
tafsir. Masa mereka berlalu tanpa ada pembukuan tafsir sedikitpun.
Semua tafsir tersimpan dalam hafalan tertanam dalam jiwa dan
muncul tokoh tokoh seperti khulafaurrasydin, ibnu Abbas, Ibn
Masud, Ubai Ibn Kab, dan lain-lain. Selanjutnya masa Tabiin yang
mana banyak para ahli tafsir pada masa ini diantaranya: Zaid bin
Aslam, Abu Aliyah, dan Muhammad bin Kaab Al-Qurazhi dan lainlain. Sebagaian ulama berpendapat bahwa tafsir mereka tidak harus
dijadikan pegangan, sebab mereka tidak menyaksikan peristiwaperistiwa, situasi atau kondisi yang berkenaan dengan turunnya
ayat-ayat

Al-Quran.

Tapi

sebaliknya,

banyak

mufassir

yang

berpendapat, tafsir mereka dapat dipegang, sebab umumya mereka


menerimanya dari para sahabat. Pendapat yang kuat ialah jika para
tabiin sepakat atas sesuatu pendapat, maka bagi kita wajib
menerimanya, tidak boleh meninggalkannya untuk mengambil jalan
yang lain. Pada masa Tadwin (pembukuan) inlah mulai terpikir untuk
membukukan

hadist

dan

tafsir-tafasir

yaitu

pada

akhir

pemerintahan Daulat bani Umayah atau pada masa permualaan

22

pemerintahan Daulat Bani Abasiah. Tokohnya adalah Yazid bin bin


harus as Sulam, Syubah bin Al-Hajjaj dan lain-lain. Dan salah satu
karyanya adalah tafsir Tafsir As-Suddy, Tafsir ibnu juraijj dan lainlain. Meskipun karya-karya itu tidak bisa sampa ke tangan kita
sekarang kita namun semuanya telah terangkum dalam tafsir tafsir
Ibnu jarir Ath-Thabary. Terakhir adalah ketika seoarang mufasiir
ingin menafsirkan Al-quran harus mengikuti syarat dan adab yang
harus di kuasai oleh seoarang mfasiir sehingga penafsirannya bisa
menjadi penrang bagi umat muslim, dan bukan menjadi pemecah
belah umat muslim dengan penadapat-pendapat yang jauh dari
esensi Al-Quran itu sendiri.

23

DAFTAR PUSTAKA
Jansen, J.J.G,1997, Diskursus Tafsir Al-Quran Modern, Yogyakarta: PT
Tiara wacana Yogya. Diterjemahkan oleh Hairussalim
Syafiie, Kencana Inu, 1996, Al-Quran dan Ilmu Politik, Jakarta: PT
Rineka Cipta.
El saha, Ishom 2005, Sketsa Al-quran, Jakarta: Lista Fariska Putra.
Syarjaya, Syibli 2008, Tafsir Ayat-Ayat Ahkam, Jakarta: PT Raja
Grafindo persada.
Hasan, Ali 1992, Sejarah dan metodelogi Tafsir, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Anwar, Rosihon, 2007, Ulumul Al-quran Bandung: Pustaka Setia.
Asy-Shubuny,

1987,

Bandung: Al-Maarif.

Pengantar

Studi

Al-Quran

(At-Tibyan).

Diterjemahkan oleh: Chudrulori Umar.

24

Husaini, Adian, 2008, Hermeneutika dan tafsir Al-quran Jakarta:


Gema Insani.
Aceh, Aboebakar, 1989, sejarah Al-Quran, Solo: CV Rhamadani.
Fuadah, Mahmud Basumi 1978, Tafsir-tafsir al-Quran (perkenalan
dengan

metodologi tafsir). Bandung. Pustaka.

Suma, Muhammad Amin, 2013, Ulumul Al-quran, Jakarta: PT Raja


Grafindo

Persada.

Al-Hayy Al-Farmawi,1994, Metode Tafsir Mawdhuiy Jakarta. PT


Raja Grafindo

Persada.

Rosihon Anwar, 2015, Ilmu Tafsir, Bandung: Pustaka Setia. Hlm


25-35
Abidu,Yunus Hasan 2007, Tafsir Al-Quran (sejarah tafsir dan
metode para

mufassir), Jakarta: PT Gaya Media Pratama.

Manna kahlil al-qattan, 1973. Studi Ilmu Quran, Surabaya: PT


Ramsa Putra,

diterjemahkan oleh Mudzakir AS.

Iqbal, Mashuri Sirojuddin 2009, Pengantar Ilmu Tafsir, Bandung:


Angkasa.
Richard Bell,1995, Pengantar Studi Al-quran, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.

Diterjemahkan oleh Taufik Adnan Amat

Abidin, Zainal 1992,

Seluk-Beluk Al-quran, Jakarta: PT Rineka

Cipta.

25

Qardhawi, Yusuf 1999, Berinteraksi dengan Al-quran, Jakarta:


Gema Insani Press.

Diterjemahkan

oleh:

Abdul

Hayyie

al-

kattani.
Shihab , M Quraish, 2013, Kaidah Tafsir. Tangerang: Lentera Hati.
Shihab, Quraish, dkk, 2001, Sejarah & Ulumul Al-Quran, Jakarta:
Pustaka Firdaus.

26

Anda mungkin juga menyukai