Anda di halaman 1dari 3

MENGUJI PENDEKATAN MILITER DI PAPUA

by: Hipolitus Yolisandry Ringgi Wangge


Papua kembali bergejolak dalam 2 minggu terakhir ini. Tiga aksi kekerasan utama yang
mendapat perhatian publik baik dalam maupun luar negeri adalah penembakan terhadap para
pekerja PT. Freeport yang dilakukan oleh sejumlah pihak tidak dikenal dan yang terjadi pada
Rabu (19/10) di Abepura, Jayapura, terkait Konggres Rakyat Papua III (KGP). Terakhir,
meninggalnya kapolsek Mulia, Kabupaten Puncak Jaya, AKP Dominggus Oktavianus Awes
(24/10).
Tulisan ini akan lebih terfokus pada perlakuan aparat terhadap pembubaran paksa para
anggota pertemuan massal KGP III. Pembubaran paksa tersebut, mengakibatkan meninggalnya 6
orang peserta konggres dan sejumlah lainnya yang menderita luka-luka akibat menghidari
rentetan tembakan dari aparat.
Pembubaran paksa yang dilakukan aparat keamanan terhadap pertemuan akbar tersebut,
dilakukan dengan alasan aksi makar yang muncul dengan mendeklarasikan pembentukan Negara
Federal Papua Barat di dalam kedaulatan NKRI. Hal tersebut dianggap tindakan makar yang
berpotensi mengganggu stabilitas Papua pada khususnya dan Indonesia pada umumnya. Alasan
inilah yang mendorong TNI untuk terlibat mempertahankan kedaulatan NKRI melawan setiap
bentuk upaya dan tindakan makar, khususnya separatisme di wilayah Indonesia. Perlawanan
terhadap separatism merupakan bagian dari Operasi Militer Selain Perang (OMSP) yang tertera
dalam Undang-Undang nomor 34 tahun 2004 tentang TNI.
Namun, tindakan penembakan aparat TNI bersama polisi yang disinyalir membabi-buta
di Lapangan Zakeus kemarin, menimbulkan pertanyaan besar terkait konsistensi pendekatan
militer terhadap masalah-masalah di Papua. Beberapa bulan sebelumnya, ketika terjadi
kerusuhan pasca aksi demonstrasi besar-besaran menuntut pertanggungjawaban pemerintah pusat
terkait ketimpangan pembangunan di seluruh tanah Papua, Panglima TNI Agus Suhartono
menyatakan tidak akan ada penambahan pasukan TNI ke Papua untuk membantu mengamankan
situasi di Papua, khususnya di Jayapura dan sejumlah daerah konflik lainnya. Keberadaan
sejumlah TNI pasukan organik di bawah koordinasi Kodam XVII/Cendrawasih dinilai sudah
cukup.
Pernyataan tersebut memiliki dua pengertian, yakni pertama, pendekatan represif militer
yang dinilai keliru dan hanya akan menambah daftar panjang pelanggaran ham yang dilakukan

aparat TNI di bumi Cendrawasih, dan kedua inkonsistensi kebijakan di tingkatan elit dan
pelaksana tugas di tingkatan lapangan.
Sejak Papua terintegrasi ke dalam pangkuan NKRI pada tahun 1969, persoalan
ketimpangan pembangunan menjadi katalisator tuntutan pemisahan diri dari NKRI. Ironisnya,
sejak dari awal pula, pendekatan represif pemerintah pusat menjadi instrumen utama dalam
menanggapi persoalan tersebut. Kebijakan pembangunan diimbangi dengan represifitas aparat
TNI di seluruh wilayah Papua. Kehadiran gerakan separatis melegitimasi kehadiran dan
pendekatan represif militer di tanah Papua. Hal tersebut membuat masyarakat Papua mengalami
ketakutan.
Peristiwa demonstrasi besar-besaran di Jayapura dan kerusuhan pilkada di Puncak Jaya
pada awal Agustus kemarin, dinilai sebagai era baru pendekatan pemerintah Pusat terhadap
masayarakat Papua. Pernyataan Panglima TNI Jend. Agus Suhartono bahwa tidak akan ada
penambahan jumlah pasukan TNI di Papua, dilihat sebagai angin segar terhadap karateristik
militer di dua propinsi paling timur tersebut. Makna yang tersirat dari pernyataan tersebut, adalah
kesadaran dari institusi militer terhadap cara yang digunakan selama ini guna merespon setiap
bentuk ekspresi masyarakat Papua. Demonstrasi besar-besaran di Jayapura, merupakan bentuk
aspirasi masyarakat Papua terhadap sejumlah persoalan di tanah Papua yang belum terselesaikan.
Sedangkan, konflik pilkada di kabupaten Puncak Jaya, dinilai sebagai konflik internal yang
cukup diselesaikan secara damai tanpa melibatkan aparat TNI dalam menyelesaikannya. Stigma
separatis yang disematkan pada setiap bentuk ekspresi masayarakat Papua, mulai dieliminir
seiring dengan pernyataan panglima tersebut.
Dalam ranah demokrasi seperti sekarang, penyelesaian konflik atau pengamanan berbagai
aksi demonstrasi menjadi tugas dan wewenang polisi, sebagai alat negara yang
bertanggungjawab terhadap keamanan dalam negeri, secar professional dan proporsional.
Sedangkan peran TNI diperlukan, ketika penangangan keamanan dalam negeri tidak mampu lagi
dilaksanakan oleh pihak kepolisian, dengan catatan melalui persetujuan Presiden sesuai undangundang yang berlaku.
Namun, peristiwa pembubaran paksa yang terjadi di Abepura, Jayapura pada Rabu
kemarin, merubah penilaian di atas. KGP III merupakan lanjutan dari dua konggres sebelumnya,
yakni Konggres Rakyat Papua I pada Desember tahun 1961 dan Konggres Rakyat Papua II pada
Mei tahun 2000. Agenda KGP III adalah pembentukan negara Papua merdeka dalam bentuk
federal. Hal tersebut merupakan upaya makar dan bertentangan dengan UUD 1945. Hal tersebut

merupakan ancaman terhadap kedaulatan NKRI, sehingga TNI wajib menindak upaya makar
tersebut. Pada tahap ini, kehadiran TNI di lapangan Zakheus tepat. Namun, menjadi sangat tidak
tepat, ketika instrumen pembubaran konggres tersebut adalah penembakan secara langsung
kepada para peserta konggres.
Penembakan tersebut menunjukkan ketidaksesuaian antara instruksi pimpinan dan
pelaksanaan di lapangan. Pernyataan panglima TNI terkait pendekatan militer yang berusaha
dikurangi ternyata tidak dilaksanakan secara efektif. Terdapat indikasi pengabaian instruksi
pimpinan. Pengerahan pasukan TNI tanpa adanya perintah Presiden sesuai ketetapan undangundang. Apalagi penembakan secara sporadis terhadap para peserta konggres merupakan bentuk
penyimpangan dari ketetapan institusi TNI. Konggres tersebut merupakan upaya makar, namun
cara-cara yang dipakai untuk membubarkan konggres tersebut melalui penembakan sporadis
yang mengakibatkan meninggalnya sejumlah orang dinilai menyimpang dari instruksi awal dan
ketetapan regulasi nasional.
Berdasarkan Peraturan Presiden nomor 52 tahun 1959 tentang Penetapan Keadaan
Bahaya, pengerahan pasukan TNI hanya didasarkan pada keadaan darurat, baik darurat sipil,
darurat militer, maupun darurat perang. Papua sendiri tidak pernah dideklarasikan sebagai
wilayah yang termasuk dalam kategorisasi keadaan bahaya. Tanpa adanya prakondisi-prakondisi
dan persejutuan presiden, pengerahan pasukan dan penembakan terhadap masyarakat sipil
merupakan bentuk pelanggaran sesuai ketetapan undang-undang.
Berdasarkan cara-cara kekerasan yang masih dipakai aparat, khususnya TNI di Papua,
pertanyaan yang selalu akan muncul adalah sampai berapa lama, pendekatan represif terhadap
masyarakat di Papua dipertahankan, di tengah semangat perubahan institusi TNI di era reformasi.

Anda mungkin juga menyukai