H14aha PDF
H14aha PDF
AGUS HARIANTO
DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2014
ABSTRAK
AGUS HARIANTO. Tingkat Persepsi dan Adopsi Petani Padi terhadap
Penerapan System of Rice Intensification (SRI) di Desa Simarasok, Sumatera
Barat. Dibimbing oleh SITI JAHROH
System of Rice Intensification atau metode SRI merupakan salah satu
metode dalam teknik budidaya padi yang lebih memperhatikan kondisi
pertumbuhan tanaman yang lebih baik terutama di zona perakaran jika
dibandingkan dengan teknik budidaya tradisional. Tujuan penelitian ini adalah
mengidentifikasi tingkat persepsi dan adopsi petani terhadap penerapan metode
SRI dalam budidaya padi serta mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi
tingkat adopsi petani terhadap penerapan metode SRI. Penelitian ini dilakukan di
Desa Simarasok, Kecamatan Baso, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Data
diperoleh dengan pengambilan sampel dengan metode purposive sampling
sebanyak 35 orang responden. Selanjutnya, data diolah dengan menggunakan
analisis regresi logistik. Data hasil penelitian menunjukkan 57.1 persen responden
yang memiliki persepsi baik terhadap penerapan SRI sisanya sebesar 42.9 persen
responden memiliki persepsi tidak baik terhadap penerapan metode SRI.
Sedangkan tingkat adopsi petani terdapat 51.4 persen responden yang telah
menerapkan metode SRI sesuai dengan pedoman SRI dan terdapat 48.6 persen
petani yang tidak menerapkan sesuai dengan pedoman penerapan budidaya
metode SRI. Berdasarkan analisis regresi logistik, terdapat tiga variabel terbukti
berpengaruh nyata terhadap tingkat adopsi petani terhadap penerapan metode SRI
yaitu lama usahatani, usia dan tingkat persepsi.
Kata kunci: analisis regresi logistik, budidaya padi, purposive sampling
ABSTRACT
AGUS HARIANTO. Perception and Adoption of Rice Farmers in Implementing
System of Rice Intensification (SRI) at Simarasok Village, West Sumatera.
Supervised by SITI JAHROH
System of Rice Intensification or SRI is one of the methods in rice
cultivation techniques. SRI is a rice cultivation practice that gives more attention
to the conditions of better plant growth, especially in the root zone compared to
traditional cultivation techniques. The aims of this study are to identify the
perception and adoption level of farmers adoption in implementing SRI method
and to analyze the factors that influence the adoption of SRI method. A
questionnaire survey was conducted at Simarasok Village, Baso Sub-district,
Agam District, West Sumatera to 35 farmers by purposive sampling. The data
were processed by using logistic regression. The results showed that 57.1 percent
of respondents had a good perception of the adoption of SRI while the remaining
42.9 percent had a bad perception. Meanwhile, the adoption rate of farmers was
51.4 percent of respondents have implemented the method in accordance with the
guidelines of SRI and the remaining 48.6 percent have not yet. Logistic regression
analysis showed that there were three variables that significantly affect the rate of
SRI adoption which are farming experience, age and level of perception.
Keywords: logistic regression analysis, rice cultivation, purposive sampling
AGUS HARIANTO
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Agribisnis
DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Judul Skripsi
Nama
NIM
Disetujui oleh
Diketahui oleh
Tanggal Lulus :
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih
dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret sampai April 2014 ini
adalah usahatani, dengan judul Tingkat Persepsi dan Adopsi Petani Padi terhadap
Penerapan System of Rice Intensification (SRI) di Desa Simarasok, Sumatera
Barat.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Siti Jahroh, Ph.D selaku dosen
pembimbing yang telah memberikan saran dan masukan kepada penulis dalam
upaya penyempurnaan skripsi ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan
kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga atas doa dan dukungan kepada penulis.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Drs. John Ismedi selaku kepala
Unit Pelayanan Pertanian Kecamatan Baso Provinsi Sumatera Barat beserta rekan
kerja yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah membantu dalam proses
pengambilan data. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Dr. Megawati
Simanjuntak, SP, M.Si dan Rico Juni Artanto, S.KH yang telah memberikan
semangat dan arahan kepada penulis. Rasa terimakasih juga penulis sampaikan
kepada Beasiswa Bidikmisi yang telah membantu penulis dalam pembiayaan
kuliah dari semester satu hingga semester delapan sehingga penulis dapat
menyelesaikan karya ilmiah ini. Tak lupa penulis juga mengucapkan terima kasih
atas dukungan sahabat seperjuangan Ade Nurjaman, Mohammad Rizal Izzati,
Laras Lestari, Munawaroh, Ali Mahmudin, Azmal Gusri Berliansyah, Irvan
Afikri, Jaka Rahmaddan serta rekan-rekan agribisnis angkatan 47 semasa
perkuliahan yang telah menorehkan cerita dan memberikan warna indah di
kampus tercinta ini serta kepada seluruh pihak yang tidak dapat diucapkan satu
per satu.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Rumusan Masalah
Tujuan
Manfaat
Ruang Lingkup
TINJAUAN PUSTAKA
Perkembangan System of Rice Intensification
Metode System of Rice Intensification
Penggunaan Teori Persepsi dan Adopsi Rogers
Penelitian Adopsi dan Persepsi Masyarakat terhadap Metode SRI
KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teoritis
Kerangka Pemikiran Operasional
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Jenis dan Sumber Data
Populasi dan Sampel
Metode Pengolahan dan Analisis Data
GAMBARAN UMUM DESA SIMARASOK
Lokasi dan Kondisi Geografis Desa Simarasok
Keadaan Penduduk dan Mata Pencaharian
Karakteristik Responden
HASIL DAN PEMBAHASAN
Persepsi terhadap SRI
Adopsi terhadap Metode SRI
Penilaian Model Tingkat Adopsi Metode SRI
Faktor-faktor yang Memengaruhi Tingkat Adopsi Petani terhadap
Metode SRI
SIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
vii
viii
viii
1
1
2
4
4
4
4
4
5
12
13
16
16
21
23
23
23
23
23
27
27
28
30
33
33
34
39
41
45
46
49
55
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
18
20
21
22
23
24
25
26
6
11
16
28
29
30
31
31
32
32
33
34
34
35
35
36
36
37
37
38
38
38
39
39
40
40
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
10
22
27
29
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
49
50
52
54
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pemenuhan pangan merupakan kebutuhan primer manusia. Namun, dalam
proses pemenuhan pangan tersebut seringkali terjadi kendala karena adanya
ketidaksesuaian antara pangan yang tersedia dan kebutuhan bahan pangan.
Rendahnya produktivitas hasil pertanian dan masih banyaknya petani yang
kehilangan hasil pertanian saat melakukan panen menjadi kendala tercapainya
ketahanan pangan.
Pada tahun 1960-an, sebagai tanggapan atas kekhawatiran terhadap
masalah ketahanan pangan, pemerintah meluncurkan sebuah program nasional
yang sekarang kita kenal dengan nama revolusi hijau. Revolusi hijau merupakan
usaha pengembangan teknologi pertanian untuk meningkatkan produksi pangan.
Revolusi hijau mengubah metode usahatani dari pertanian yang menggunakan
teknologi tradisional menjadi pertanian yang menggunakan teknologi yang lebih
maju atau modern. Hasilnya, secara signifikan produktivitas padi meningkat lebih
dari dua kali lipat. Keberhasilan peningkatan produktivitas padi erat kaitannya
dengan dinamika intensifikasi yang didukung oleh pendekatan dan teknologi
revolusi hijau dengan andalan utama Varietas Unggul Baru (VUB) yang didukung
oleh sarana irigasi, teknologi pemupukan, dan pengendalian organisme
pengganggu tumbuhan (OPT), dukungan penggunaan benih bermutu, pergantian
varietas unggul, dan pemupukan berimbang (Las 2009).
Hingga tahun 1990-an, pendekatan dan penerapan teknologi revolusi hijau
mampu meningkatkan produksi padi di Asia dengan indeks kenaikan yang lebih
tinggi dari indeks kenaikan jumlah penduduk. Kenaikan produksi padi di Asia
Tenggara secara signifikan dialami oleh Indonesia, Vietnam, dan Myanmar,
sedangkan di Asia Selatan dan Asia Timur terjadi di India dan Cina. Namun,
dalam 15 tahun terakhir, laju kenaikan produksi padi melandai (leveling off). Hal
ini terkait dengan lambatnya laju kenaikan hasil padi per satuan luas dalam
periode tersebut. Produksi padi dengan teknologi revolusi hijau ternyata telah
mencapai batas maksimal dan tidak dapat ditingkatkan lagi. Bahkan pada tahuntahun tertentu, produksi menurun akibat kemarau panjang (El Nino) dan
dampaknya berupa ledakan hama dan penyakit. Pada tahun 1999, pemerintah
kembali membuka sebuah metode baru untuk diterapkan di Indonesia demi
menjawab tantangan ketahanan pangan. Metode ini kemudian dikenal dengan
System of Rice Intensification (SRI).
System of Rice Intensification (SRI) merupakan salah satu metode dalam
teknik budidaya padi. SRI merupakan praktik pengelolaan padi yang lebih
memperhatikan kondisi pertumbuhan tanaman yang lebih baik dibandingkan
dengan teknik budidaya secara tradisional terutama di zona perakaran. SRI
dikembangkan di Madagaskar pada awal tahun 1980 oleh Henri de Lauline.
Tahun 1990 dibentuk Association Tefy Sains (ATS), sebuah Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) Madagaskar untuk memperkenalkan SRI. Empat tahun
kemudian, Cornell International Institution for Food, Agriculture and
Development (CIIFAD) mulai bekerja sama dengan Association Tefy Sains untuk
memperkenalkan SRI di sekitar Ranomafana National Park, Madagaskar Timur
yang didukung oleh US Agency for International Development. SRI telah diuji di
Cina, India, Indonesia, Filipina, Sri Langka dan Bangladesh dengan hasil yang
positif (Berkelaar 2001).
Beberapa penelitian telah membuktikan hasil yang signifikan dari metode
SRI. Percobaan-percobaan di lapangan juga telah memperlihatkan hasil yang
memuaskan. Hasil percobaan pertama dilakukan di Sukamandi Jawa Barat pada
musim kemarau tahun 1999. Berdasarkan hasil penelitian, produktivitas padi
dengan metode SRI mencapai 6.2 ton/ha, sedangkan untuk tanah kontrol hanya
mencapai 4.1 ton/ha. Pada musim penghujan produktivitas padi dengan metode
SRI mencapai 8.2 ton/ha. Penelitian serupa juga dilakukan di wilayah bagian
timur Jawa Barat pada tahun 2002 oleh Lembaga Swadaya Masyarakat Adventist
Development and Relief Agency (LSM ADRA) yang bekerja sama dengan tujuh
petani yang menggunakan metode SRI. Hasil yang didapatkan sebelum
menggunakan metode SRI produktivitasnya hanya mencapai 4.4 ton/ha, setelah
menerapkan metode SRI produktivitas meningkat hingga 7-11 ton/ha sedangkan
di Lampung produktivitas rata-rata mencapai 8.5 ton/ha yang awalnya hanya 3
ton/ha (Wardana et al. 2005).
Seiring dengan adanya peningkatan produksi maka penerapan metode SRI
juga dapat meningkatkan pendapatan petani. Penelitian yang dilakukan oleh
Kurniadiningsih dan Legowo (2011) tentang perbandingan pendapatan budidaya
padi dengan metode konvensional dan metode SRI menunjukkan penerimaan
usahatani dengan menggunakan metode konvensional sebesar Rp7 342 200 per
hektar per musim sedangkan dengan menggunakan metode SRI pendapatan petani
meningkat menjadi Rp12 277 800. Kesimpulan dari hasil penelitian yang
dilakukan, ternyata metode SRI mampu meningkatkan pendapatan hingga 59.8
persen.
Meskipun penerapan budidaya padi menggunakan metode SRI dapat
meningkatkan produksi dan pendapatan petani tetapi di beberapa daerah belum
memperlihatkan hasil yang signifikan. Tidak semua daerah menerapkan metode
SRI sesuai dengan anjuran. Kasus di Sumatera Barat, penerapan SRI masih sedikit
meskipun sudah disosialisasikan dari tahun 2000. Demikian halnya di Desa
Simarasok, Kabupaten Agam saat ini banyak petani yang mengadopsi metode SRI
tidak sesuai dengan anjuran penerapan SRI. Oleh karena itu, perlu diketahui
alasan yang mendasari masyarakat tidak menerapkan metode SRI sesuai dengan
anjuran dan lebih lanjut mengetahui tingkat persepsi dan adopsi petani terhadap
metode SRI. Tingkat persepsi petani merupakan pandangan petani terhadap
metode SRI. Sedangkan adopsi merupakan tingkat penyerapan metode baru pada
usahatani padi. Kedua hal ini diduga berhubungan. Adopsi petani diduga
dipengaruhi oleh tingkat persepsi petani. Selanjutnya, perlu juga diteliti faktorfaktor yang memengaruhi tingkat adopsi petani terhadap metode SRI.
Perumusan Masalah
Metode SRI pertama kali dikembangkan di Indonesia pada tahun 1999 ke
sentra-sentra tanaman padi di Indonesia yang salah satunya adalah Sumatera
Barat. Metode ini pertama diperkenalkan oleh rektor Universitas Andalas yaitu
Bapak Musliar Kasim. Hingga saat ini, metode SRI dikembangkan melalui
penelitian-penelitian. Dalam penerapannya, Universitas Andalas bekerja sama
Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Dapat mengetahui tingkat persepsi dan adopsi petani terhadap penerapan
metode SRI dan faktor-faktor yang memengaruhinya.
2. Memberikan alternatif, saran, dan masukan terhadap permasalahan tingkat
adopsi metode SRI di Desa Simarasok khususnya dan Sumatera Barat
umumnya.
Ruang Lingkup
Penelitian ini dilakukan di Desa Simarasok, Kecamatan Baso, Kabupaten
Agam, Sumatera Barat dengan target responden adalah petani padi yang telah
menerapkan metode penanaman padi secara SRI. Kabupaten Agam adalah salah
satu sentra padi di Sumatera Barat. Metode SRI juga telah diterapkan di daerah
ini. Sedangkan lingkup kajian yang akan diteliti adalah mengenai persepsi dan
tingkat adopsi petani padi terhadap metode SRI.
TINJAUAN PUSTAKA
Perkembangan System of Rice Intensification
SRI atau System of Rice Intensification atau Le Systme de Riziculture
Intensive bukan merupakan varietas padi baru ataupun padi hibrida, namun suatu
metode atau cara penanaman dan perawatan padi (Suitna dan Utju 2010). Dalam
istilah lain SRI (System of Rice Intensification) diartikan sebagai salah satu
pendekatan dalam praktik budidaya padi yang menekankan pada manajemen
pengelolaan tanah, tanaman, dan air melalui pemberdayaan kelompok dan
kearifan lokal yang berbasis pada kegiatan ramah lingkungan (Deptan dalam
Tarbiah 2010). Berdasarkan kedua penjelasan ini dapat diambil kesimpulan bahwa
SRI merupakan sebuah terobosan baru dalam budidaya tanaman padi dengan cara
mengefisienkan input untuk memperoleh hasil output yang maksimal dan ramah
ligkungan.
Secara historis, metode SRI pertama kali ditemukan secara tidak sengaja di
Madagaskar antara tahun 1983 sampai 1984 oleh biarawan Yeswit asal Perancis
bernama FR. Henri de Laulani, S.J. Metode ini selanjutnya dalam bahasa Perancis
dinamakan Le Systme de Riziculture Intensive dan bahasa Inggris dengan nama
System of Rice Intensification atau disingkat SRI. Kemudian pada tahun 1990
disampaikan oleh Berkelaar (2001), Mutakin (2005), LSK Bina Bakat Surakarta
(2011), dan Dinas Pertanian Sumatera Barat (2008) yang menjelaskan beberapa
prinsip penerapan metode SRI dalam Tabel 1 berikut:
Tabel 1 Teori-teori prinsip dasar penerapan metode SRI
Prinsip Dasar Teori
Teori LSK Bina Teori Jaenal
Berkelaar
Bakas
Mutakin
Surakarta
Pemilihan
Tidak
Tidak
Tidak
bibit
dilakukan
dilakukan
dilakukan
pemilihan
pemilihan bibit pemilihan
bibit
bibit
Teori Dinas
Pertanian
Sumatera Barat
Dilakukan
dengan
perendaman air
garam
Umur
pemindahan
bibit
8-15 hari
5-15 hari
Jumlah
tanam bibit
per lubang
Satu bibit
per lubang
Jarak tanam
(25x25) cm
(35x35) cm
hingga (40 x40)
cm
(30x30) cm
hingga
(35x35) cm
(25x25) cm
Penggunaan
pupuk
organik
Menggunakan
Menggunakan
Menggunakan
Menggunakan
Pengaturan
air
Macakmacak
(5mm)
Macak-macak
(5mm) kecuali
pada umur 741 hari setelah
semai tinggi air
3cm
Pemberian air
maksimal 2
cm (macakmacak/5mm)
dan periode
tertentu
dikeringkan
sampai pecah
(irigasi
berselang/terp
utus)
Macak-macak
(5mm) kecuali
pada umur 741 hari setelah
semai tinggi air
3cm
Pengendalian
hama secara
alami
Dilakukan
Dilakukan
dengan
dengan musuh
musuh alami alami hama dan
Dilakukan
Dilakukan
dengan musuh dengan musuh
alami hama
alami hama dan
Prinsip Dasar
Teori
Berkelaar
hama dan
perangkap
Teori Dinas
Pertanian
Sumatera Barat
perangkap
Pengendalian
gulma
Dilakukan
dengan
manual (kuil
dan gasrok)
Dilakukan
dengan manual
(kuil dan
gasrok)
Dilakukan
dengan
manual (kuil
dan gasrok)
Dilakukan
dengan manual
(kuil dan
gasrok)
Pengendalian
gulma dua
kali
Dilakukan
Dilakukan
Dilakukan
Dilakukan
Kekurangan
Tidak ada
perendaman
dengan air
garam,
jumlah bibit
untuk satu
lubang satu
bibit
sehingga
tingkat
kerentanan
terhadap
hama tinggi
Tidak ada
perendaman
dengan air
garam, jumlah
bibit untuk satu
lubang satu
bibit sehingga
tingkat
kerentanan
terhadap hama
tinggi, jarak
tanam terlalu
jarang jika
dibandingkan
dengan teori
lain
Tidak ada
perendaman
dengan air
garam, jumlah
bibit untuk
satu lubang
satu bibit
sehingga
tingkat
kerentanan
terhadap
hama tinggi,
jarak tanam
terlalu jarang
jika
dibandingkan
dengan teori
lain
Kelebihan
Dilakukan
penyeleksian
benih yaitu
prendaman
dengan air
garam, jarak
tanam sedang
(tidak terlalu
rapat dan tidak
terlalu jarang
Benih Hampa
(tidak bernas)
Benih Bernas
Gambar 1. Benih hampa dan benih bernas pada perendaman air garam
Sumber: Dinas Pertanian Provinsi Sumatera Barat (2008)
2. Bibit Umur Muda
Demikian halnya dengan metode konvensional, sebelum melakukan
pembenihan terlebih dahulu dilakukan pemilihan benih yang unggul dan baik.
Pada implementasi metode budidaya padi secara konvensional, sebagian besar
petani cenderung menggunakan bibit yang relatif tua yaitu sekitar 25 hingga 30
hari. Kecendrungan ini didasari pada kemudahan dalam pencabutan benih, asumsi
ketahanan terhadap hama dan penyakit, kemudahan pada penanaman, dan asumsi
akan lebih cepat hidup. Kenyataannya, penggunaan bibit berumur tua berakibat
pada jumlah anakan yang tidak maksimal dan pertumbuhan yang terhambat
karena terjadinya stagnansi akibat tidak tercabutnya semua daya jelajah akar.
Dalam praktiknya, menanam bibit padi yang berumur 515 hari menghasilkan
pertumbuhan tanaman lebih cepat karena pada saat pemindahan bibit akar tercabut
semua. Bahkan, ketika tanaman padi telah berumur 13 hari setelah tanam, jumlah
anakan sudah mencapai ratarata 5 batang. Jumlah anakan ini berpotensi untuk
terus bertambah sesuai dengan perkembangan umur tanaman. Praktik yang sudah
dilakukan dengan menggunakan bibit tanaman umur 10 hari, menghasilkan
jumlah anakan maksimal 30 sampai 50 batang dalam setiap rumpunnya.
10
Jarak tanam 25 cm
Jarak tanam 25 cm
11
Pengaturan air
Air macak-macak
Pemberian air berselang 5
hari digenangi maksimal
3 cm
41-90
Primordia, pembuangan,
Digenangi air maksimal 3
pengisian gabah hingga sepuluh
cm, paling tidak macakhari sebelum panen
macak
90-100
10 hari sebelum panen
Lahan dikeringkan
Sumber: Dinas Pertanian Provinsi Sumatera Barat (2008)
7. Pengendalian hama
Pengendalian hama dalam metode SRI harus menerapkan cara organik
dengan konsep PHT (Pengendalian Hama Terpadu) yaitu pada dasarnya menjaga
kesehatan tanaman mengendalikan hama dengan memperhatikan sisi ekonomi
serta melestarikan sumber daya hayati. Penggunaan pestisida harus dibatasi agar
tidak terjadi kekebalan hama.
8. Pengendalian gulma dengan metode organik
Pengendalian gulma dilakukan secara manual seperti wangkil dan landak
dengan cara dicabut menggunakan tangan merupakan cara yang bijak. Teknologi
PHT akan lebih efektif dengan menggunakan sistem jajar legowo karena padi
akan mendapatkan udara yang cukup dan memudahkan dalam perawatan
tanaman.
9. Pengendalian gulma 2 kali
Penyiangan pada metode SRI menganjurkan dengan menggunakan Gasrok
atau Lalandak sebanyak 2-3 kali. Tujuannya adalah untuk membersihkan gulma
dan memperbaiki struktur tanah serta meningkatkan aerasi tanah.
12
13
aspek karakteristik inovasi sama halnya dengan penelitian Putri (2011). Setiap
prinsip dasar penerapan SRI dikaji berdaraskan karakteristik inovasi secara
deskriptif. Pengkategorian aspek karakteristik inovasi berdasarkan atas dua
kelompok yaitu aspek karakteristik tergolong rendah dan tinggi.
Selanjutnya, karakteristik inovasi dikorelasikan dengan tingkat adopsi
petani terhadap penerapan metode SRI. Berdasarkan penelitian, sebanyak 60
persen petani telah mengadopsi teknik satu bibit per rumpun. Dengan teknik SRI
ini produktivitas hasil usahatani meningkat 80 persen dan penggunaan pupuk
menurun hingga 33 persen. Sifat inovasi (keuntungan relatif, kesesuaian,
kompleksitas, triabilitas, dan observabilitas) berhubungan positif dengan
keputusan adopsi teknik satu bibit per rumpun. Hal tersebut menunjukan bahwa
petani di Desa Purwasari sudah berfikir secara rasional dalam mengadopsi inovasi
pertanian. Keputusan adopsi inovasi oleh petani didasarkan pada penilaian secara
obyektif dari sifat-sifat yang dimiliki inovasi.
Nurfitri (2014) mengkaji hubungan antara karakteristik petani terhadap
tingkat adopsi pada penerapan budidaya sayur organik di Desa Cikarawang
Bogor. Teori yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan pada teori Rogers
dan Shoemaker (1971) yang mengatakan bahwa karakteristik seseorang akan ikut
memengaruhi persepsi dan selanjutnya akan memengaruhi tindakan atau perilaku.
Karakterisitik personal menurut Rogers (1983) meliputi status sosial-ekonomi, ciri
kepribadian, dan perilaku komunikasi. Secara lebih rinci karakteristik personal
tersebut dijabarkan lagi ke dalam umur, pendidikan formal, pendidikan non formal,
jumlah keluarga, pengalaman berusahatani, usaha keluarga, penghasilan keluarga,
kekosmopolitan, partisipasi, kelembagaan masyarakat, partisipasi dalam kelompok,
dan kontak media. Karakteristik adopter diduga kuat memiliki hubungan dengan
persepsi seseorang dalam kaitannya dengan proses adopsi inovasi, menyangkut
pencaharian terhadap ide-ide baru. Nurfitri (2011) menduga terdapat tujuh
karakteristik petani yang berpengaruh terhadap tingkat adopsi petani yaitu umur,
pendidikan formal, luas penguasaan lahan, pengalaman usahatani, lama bermitra,
status pekerjaan, dan status lahan yang diusahakan. Hasil penelitian menunjukkan
terdapat dua karakteristik petani berpengaruh nyata terhadap penerapan budidaya
sayur organik yaitu tingkat pendidikan dan pengalaman usahatani.
Teori-teori Rogers yang digunakan oleh para peneliti tentang adopsi dan
inovasi merupakan proses adopsi yang terdiri dari tahapan-tahapan adopsi, teori
persepsi yang disebut sebagai lima karakteristik inovasi, dan keterkaitan antara
karakteristik adopter terhadap tingkat adopsi. Teori-teori ini kemudian
dikembangkan dalam sudut pandang yang berbeda untuk mengidentifikasi
permasalahan terkait adopsi inovasi.
Penelitian Adopsi dan Persepsi Masyarakat terhadap Metode SRI
Kajian tentang System of Rice Intensification (SRI) merupakan kajian yang
selalu menjadi trend topik untuk dibicarakan terbukti dengan banyaknya tulisan
jurnal yang membahas tentang SRI. Banyak penelitian yang mengkaji dan
meneliti tentang segala aspek terkait metode SRI. Kajian tersebut diantaranya
tingkat pendapatan, efesiensi metode SRI, keunggulan, dan tingkat penerimaan
masyarakat tertentu terhadap metode SRI.
Secara logis, salah satu penyebab petani akan menerapkan atau menerima
sebuah teknologi termasuk metode SRI adalah ketika teknologi tersebut
14
memberikan keuntungan lebih kepada petani. Dengan demikian, hal ini akan
memengaruhi persepsi dan adopsi petani terhadap teknologi tersebut. Penelitian
Kurniadiningsih dan Legowo (2011) tentang perbandingan keuntungan yang
diperoleh ketika seorang petani menerapkan metode SRI dengan metode
konvensional terlihat perbedaan penerimaan antara keduanya. Metode yang
digunakan adalah survei dan wawancara, dengan membandingkan hasil data
sebelum menggunakan SRI dan setelah menggunakan SRI di desa yang sama.
Berdasarkan analisis usahatani penggunaan biaya ternyata dengan menggunakan
metode SRI mengeluarkan biaya lebih banyak dibanding metode konvensional
yaitu Rp 4 160 000 dengan metode SRI dan Rp 3 825 000 untuk metode
konvensional. Hasil penerimaan usahatani dengan menggunakan metode SRI
pendapatan petani meningkat menjadi Rp 12 277 800 sedangkan dengan metode
konvensional penerimaan hanya sebesar Rp 7 342 200 per hektar per musim.
Kurniadiningsih dan Legowo (2011) juga menganalisis faktor eksternal
pendorong dalam percepatan adopsi metode SRI oleh petani. Data dianalisis
dengan metode kualitatif deskripsi. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh
beberapa hal yang menjadi kunci utama penerimaan petani untuk menerapkan
metode SRI. Adapun hal tersebut adalah sistem penyuluhan yang mudah
dimengerti petani, frekuensi penyuluhan yang intensif setiap minggu, lokakarya
petani yang dilakukan setiap dua bulan secara bergilir oleh petani sendiri di tiap
Koperasi Simpan Pinjam (KSP), dan orientasi pembelajaran petani yang
menekankan perubahan pola pikir dan perilaku yang ramah lingkungan.
Penelitian lain dijelaskan Richardson (2010) tentang kemampuan petanipetani Indonesia menerima metode SRI untuk diterapkan sebagai sebuah
terobosan baru dalam budidaya tanaman padi. Richardson menggunakan metode
kualitatif dalam mengolah dan menyajikan data hasil penelitian tentang adopsi
SRI di Jawa Timur. Berdasarkan hasil penelitian diketahui faktor-faktor eksternal
responden yang paling berpengaruh terhadap tingkat adopsi petani terhadap
metode SRI adalah peranan penyuluh. Petani diyakinkan untuk menerapkan
metode SRI oleh penyuluh pertanian yang mengerti tentang situasi petani di
Indonesia. Penyuluh mengajarkan petani di sekolah lapangan dalam bahasa yang
sederhana. Hal terpenting adalah petani merasa nyaman dan memercayai orang
yang mengajari mereka. Petani lebih mungkin mengubah metode penanaman padi
yang penuh dengan resiko, jika resiko untuk mencoba metode baru lebih rendah
atau jika dapat berbagi resiko pada kelompok petani. Oleh karena itu, petanipetani dan keluarganya sangat puas dengan metode SRI. Berdasarkan petani yang
diwawancarai, semuanya percaya bahwa prospek usahatani berhasil di masa
depan dengan metode SRI bahkan mereka ingin terus memakai metode SRI dan
melakukan lebih banyak dengan prinsip setiap tahun.
Penelitian lain terkait tingkat persepsi petani dan tingkat adopsi petani
terhadap penggunaan teknologi Varietas Unggul Baru (VUB) yang dilakukan oleh
Sugandi dan Astuti (2011). Penelitian ini dilakukan di tiga kabupaten yaitu
Kabupaten Rejang Lebong, Kabupaten Bengkulu Utara, dan Kabupaten Bengkulu
Tengah. Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara survei dengan
menyebar kuesioner. Sampel diambil berdasarkan target yang telah ditentukan
yaitu petani yang telah menerapkan teknologi VUB yaitu sebanyak 61 responden
di tiga kabupaten. Kuesioner persepsi disusun berdasarkan skala likert. Variabel
penyusun persepsi terhadap VUB adalah umur, tingkat pendidikan, pengalaman
15
usahatani, luas lahan, status kepemilikan lahan, dan status keanggotaan kelompok
tani. Sedangkan pertanyaan terhadap persepsi disusun berdasarkan atas 10
pernyataan terkait pendapat responden terhadap produktivitas VUB, keuntungan
yang dapat diperoleh, kemudahan teknis budaya, resiko kegagalan, kebiasaan,
kesesuaian agroekosistem, harga gabah, rasa nasi, dan kesesuaian permintaan
pasar. Untuk mengetahui hubungan tingkat adopsi dengan variabel bebas tersebut
Sugandi dan Astuti (2011) menggunakan analisis regresi logistik yang kemudian
diolah dengan software SPSS versi 17. Berdasarkan hasil penelitian, persepsi
petani terhadap VUB diolah secara deskriptif diperoleh 53 responden. Sebanyak
86.89 persen memiliki persepsi yang baik terhadap VUB, sedangkan yang lainnya
sebanyak 13.11 persen memiliki persepsi yang kurang baik. Selanjutnya, setelah
dilakukan pengolahan data dengan SPSS untuk melihat pengaruh variabel bebas
terhadap persepsi petani terhadap VUB. Berdasarkan enam variabel bebas yang
diasumsikan berpengaruh nyata terhadap persepsi petani hanya variabel
pengalaman berusahatani yang berpengaruh nyata terhadap usahatani dengan nilai
p-value 0.059 dan taraf nyata =10 persen sedangkan variabel lain berpengaruh
tidak nyata. Saat dilakukan uji likelihood secara keseluruhan variabel bebas
mampu menjelaskan ketepatan persepsi sebesar 33.9 persen sedangkan 66.10
persen dijelaskan oleh faktor lain.
Selanjutnya, minat adopsi petani terhadap penerapan teknologi VUB
dianalisis secara deskriptif. Berdasarkan hasil survei, dari 53 orang petani yang
memiliki persepsi baik terhadap VUB hanya 39 petani yang menggunakan VUB
di lahan sawah mereka. Kendala yang dihadapi petani adalah harga VUB yang
relatif masih mahal dan biaya produksi pupuk yang tinggi untuk menghasilkan
produktivitas yang tinggi.
Penelitian lainnya terkait pembahasan tingkat penerimaan petani terhadap
metode SRI adalah penelitian yang dilakukan oleh Ishak dan Afrizon (2011).
Penelitian ini dilakukan di Desa Bukit Peninjauan I Kecamatan Sukaraja
Kabupaten Seluma. Penelitian dilaksankan dari bulan Maret sampai bulan April
2011 dengan cara sensus terhadap 65 orang anggota Gapoktan Bumi. Secara garis
besar metode penelitian hampir sama dengan penelitian yang dilakukan oleh
Sugandi dan Astuti (2011). Perbedaannya, dalam menganalisis tingkat adopsi
petani terhadap metode SRI, Ishak dan Afrizon (2011) menggunakan metode
kuantitatif dengan mengkaji hubungan antara variabel bebas karakteristik petani
terhadap kemungkinan mengadopsi teknologi. Sedangkan untuk tingkat persepsi
menggunakan metode kualitatif dengan mendeskripsikan hasil wawancara saja
dan tidak memasukkan variabel pengalaman usahatani sebagai salah satu variabel
yang berpengaruh terhadap tingkat adopsi petani. Alat analisis yang digunakan
untuk mengetahui faktor yang berpengaruh terhadap tingkat adopsi masyarakat
adalah regresi logistik. Alat ini dinilai baik karena bertujuan untuk mengetahui
pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat yang akan diambil dua alternatif
hasil yaitu menerapkan sesuai anjuran atau tidak. Berdasarkan hasil penelitian,
diperoleh 100 persen petani memiliki persepsi yang baik terhadap penerapan
metode SRI. Sedangkan variabel bebas karakteristik internal petani terhadap
tingkat adopsi petani dipengaruhi oleh empat faktor yaitu umur, tingkat
pendidikan, luas lahan, dan besar pendapatan. Cara untuk mengetahui variabel
mana yang paling berpengaruh dengan menggunakan uji Wald. Berdasarkan hasil
analisis diperoleh tidak ada satu pun variabel bebas yang berpengaruh nyata
16
KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teoritis
Metode System of Rice Intensification
Teknik budidaya padi dengan metode SRI sebetulnya tidak memiliki
standar baku. Namun, berdasarkan pendapat para ahli seperti telah dijelaskan pada
bab sebelumnya terdapat beberapa prinsip dalam penerapan metode SRI. Adapun
prinsip tersebut dirangkum pada Tabel 3 sebagai berikut:
Tabel 3 Prinsip dasar penerapan metode SRI berdasarkan Dinas Pertanian
Provinsi Sumatera Barat
Prinsip Pelaksanaan
No
Keterangan
Metode SRI
1
Perendaman dengan air
Benih yang disemai adalah benih yang
garam
terendam oleh air garam
2
Umur benih
Umur benih yang akan dipindahkan ke lahan
sawah berkisar umur 5-15 hari
3
Jumlah bibit per lubang
Jumlah bibit perlubang 1 hingga 3 bibit
4
Jarak Tanam
Jarak tanam metode SRI 25x25 cm hingga
30x30 cm
5
Asupan pupuk
Pupuk yang digunakan adalah pupuk organik
6
Pengaturan air
Air pada penerapan metode SRI adalah air
macak-macak (becek; antara ada air dan tidak)
7
Pengendalian hama
Pengendalian hama dilakukan tanpa bahan
17
No
Prinsip Pelaksanaan
Metode SRI
Pengendalian gulma
Pengendalian gulma
sebanyak 2 kali
Keterangan
kimia, biasanya menggunakan musuh alami
Pengendalian gulma menggunakan tangan atau
kuil/gasrok
Pengendalian gulma dilakukan minimal
sebanyak 2 kali dari pemindahan benih hingga
panen
18
penelitian ini. Faktor eksternal terdiri atas metode penyuluhan dan peran
penyuluh. Metode penyuluhan adalah cara yang digunakan oleh penyuluh dalam
penyampaian pesan. Peran penyuluh adalah penyampai pesan dalam sebuah
program. Sedangkan, dalam penelitian yang dilakukan Ishak dan Afrizon (2011)
menambahkan faktor internal yang diduga memengaruhi tingkat adopsi petani
terhadap metode SRI yaitu luas penguasaan lahan dan tingkat pendapatan. Kedua
hal ini diduga memengaruhi tingkat adopsi petani terhadap penerapan metode
SRI.
Pengertian persepsi menurut Rahmat (2005) merupakan pengalaman
tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan
menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi ialah memberikan
makna pada stimuli inderawi (sensory stimuli). Persepsi diduga akan menentukan
masyarakat mengadopsi atau tidak suatu teknologi. Keberhasilan dari metode SRI
tidak terlepas dari penerimaan petani terhadap teknologi baru. Penerimaan
tersebut akan dapat berjalan dengan baik ketika persepsi masyarakat terhadap
suatu teknologi baik. Persepsi adalah cara seseorang menginterpretasikan atau
mengerti pesan yang telah diproses oleh sistem indrawi. Dengan kata lain,
persepsi adalah proses memberi makna pada sensasi. Proses persepsi didahului
oleh proses sensasi. Sensasi merupakan tahap awal dalam penerimaan informasi.
Sensasi berasal dari kata sense, yang artinya alat indera yang menghubungkan
organisme dengan lingkungannya. Sensasi adalah proses menangkap stimulus
melalui alat indra. Proses sensasi terjadi saat alat indera mengubah informasi
menjadi impuls saraf yang dimengerti oleh otak. Dengan melakukan persepsi,
manusia memperoleh pengetahuan baru. Persepsi mengubah sensasi menjadi
informasi (Mutmainnah 1997). Dengan kata lain persepsi dapat juga dikatakan
sebagai tanggapan terhadap perubahan yang terjadi pada lingkungan sehingga
memunculkan aksi tertentu. Jika dihubungkan dengan persepsi petani terhadap
metode SRI, maka secara harfiah dapat diartikan bahwa persepsi petani terhadap
metode SRI merupakan pandangan yang dimiliki petani dalam melihat manfaat
yang diperoleh dari penerapan metode SRI yang mereka lakukan.
Selanjutnya, menurut Lionberger (1962) terdapat lima atribut yang
mendukung penjelasan tingkat adopsi dari suatu inovasi, meliputi keuntungan
relatif, kecocokan, kompleksitas, triabilitas, dan observabilitas:
1. Keuntungan relatif, menjelaskan bahwa teknologi yang baru dapat
menciptakan sesuatu hal yang lebih menguntungkan jika dibandingkan
dengan teknologi yang lama. Dalam hal penerapan SRI keuntungan relatif
dapat dilihat dari efesiensi input dan output yang lebih tinggi dibandingkan
dengan metode konvensional.
2. Kecocokan, menjelaskan tingkat suatu inovasi dirasa konsisten dengan
nilai-nilai yang ada, pengalaman masa lalu, dan potensi kebutuhan
adopter. Penerapan metode SRI sangat ditentukan oleh faktor sosial,
budaya, dan politik setempat.
3. Kompleksitas, merupakan tingkatan suatu inovasi dirasa relatif sulit untuk
dipahami dan digunakan dengan kata lain tingkat kesukaran suatu
teknologi untuk diterapkan. Kecendrungan petani adalah menerapkan
metode penanaman padi yang mudah dan meninggalkan metode yang
sudah serta berbelit-belit.
19
20
Keterangan;
bi
= Koefisien model dugaan untuk variabel independen Xi
SE Coef (bi) = Simpangan baku koefisien Xi
Statistik Wi menyebar mengikuti sebaran normal baku (Z). Pada output komputer
disajikan nilai P, P = Peluang (Z>Wi ). Apabila P < Z/2 maka disimpulkan
tolak H0 pada taraf nyata . Sebaliknya, apabila P Z/2 maka disimpulkan terima
H0 pada taraf nyata .
Uji likelihood ratio dilakukan melalui uji hipotesis, yang dinyatakan
sebagai berikut;
H0 : 1 = 2= 3 = 4 = 5 = 0 (model dugaan tidak signifikan)
H1 : minimal ada satu i 0 (model dugaan signifikan)
Untuk menguji hipotesa tersebut, digunakan statistik uji likelihood ratio sebagai
berikut:
G = -2ln (
21
22
Interval dengan
skala likert (sangat
setuju, setuju, raguragu, tidak setuju,
sangat tidak setuju)
pembahasan
kualitatif deskriptif
Persepsi petani
Baik
Tidak baik
Kualitatif
Kuantitatif
Regresi logistik
Data gambaran persepsi, tingkat adopsi, dan faktorfaktor (lama pelatihan, luas lahan, lama usahatani,
usia, tingkat pendidikan, persepsi) yang berkolerasi
terhadap penerapan SRI di Desa Simarasok
Gambar 5 Bagan kerangka berpikir penelitian persepsi dan tingkat adopsi petani
terhadap metode SRI
23
METODE PENELITIAN
24
Sangat setuju
= skor 4
Setuju
= skor 3
Ragu-ragu
= skor 2
Tidak setuju
= skor 1
Sangat tidak setuju = skor 0
Adapun interpretasi dari masing-masing skala di atas adalah sebagai
berikut:
Sangat setuju
= Jika responden sependapat dengan pernyataan,
selalu mengalami kejadian sesuai pernyataan,
dan tetap mau menerapkan metode SRI.
Setuju
= Jika responden sependapat dengan pernyataan,
namun tidak selalu mengalami kejadian sesuai
pernyataan, tetapi tetap mau menerapkan
metode SRI.
Ragu-ragu
= Jika responden sependapat dengan pernyataan,
namun tidak selalu mengalami kejadian sesuai
pernyataan, lebih cendrung tidak mengalami
kejadian sesuai pernyataan, tetapi tetap mau
menerapkannya.
Tidak setuju
= Jika responden tidak sependapat dengan
pernyataan, pernah mengalami kejadian sesuai
pernyataan, dan tidak mau mendukung dan
menerapkan metode SRI kedepannya.
Sangat tidak setuju
= Jika responden tidak sependapat dengan
pernyataan, tidak pernah mengalami kejadian
sesuai pernyataan, dan tidak mau mendukung
dan menerapkan metode SRI.
Tingkat persepsi petani dihitung berdasarkan skor total persepsi dari
karakteristik inovasi yang diturunkan dari teori Rogers. Adapun hasil turunan dari
karakteristik inovasi Rogers pada penerapan metode SRI yaitu menguntungkan
atau tidaknya SRI dari segi ekonomis, meningkat atau tidaknya hasil panen
dengan metode SRI, efesiensi modal dengan metode SRI, tingkat kerumitan
metode SRI, dan tingkat kecocokan SRI untuk diterapkan oleh petani. Skor setiap
karakteristik inovasi mengikuti skala likert dengan lima alterntif jawaban (sangat
setuju, setuju, ragu-ragu, tidak setuju, dan sangat tidak setuju) kemudian
dijumlahkan dan dikelompokkan berdasarkan asumsi sebagai berikut:
1. Persepsi petani baik terhadap SRI, diasumsikan ketika total skor responden >
skor kuartil III (QIII).
2. Persepsi petani tidak baik terhadap SRI, diasumsikan ketika total skor
responden skor kuartil III (QIII).
Pengelompokkan persepsi petani terhadap penerapan metode SRI di Desa
Simarasok menggunakan analisis pemusatan kuartil III (QIII). Nilai QIII
merupakan nilai kuartil dari total skor maksimal untuk 5 pernyataan karakteristik
inovasi yaitu sebesar 20. Dengan demikian nilai QIII diperoleh sebesar 15.
Suprapto dan Fahrianoor (2004) menyatakan bahwa adopsi merupakan
keputusan untuk menggunakan sepenuhnya ide baru sebagai cara bertindak yang
paling baik. Skor variabel adopsi petani terhadap metode SRI akan diperoleh
25
26
Nilai QIII diperoleh dari total skor maksimal yaitu 36 sehingga diperoleh QIII
sebesar 27. Nilai QIII (27) digunakan dalam asumsi tingkat adopsi metode SRI.
Selanjutnya untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi petani
untuk mengadopsi SRI digunakan metode kuantitatif. Alat analisis yang
digunakan untuk mengetahui hubungan variabel tidak bebas (Y) yaitu adopsi
petani terhadap metode SRI dan empat asumsi variabel bebas yang merupakan
karakteristik pribadi dari responden, yaitu lama pelatihan (X1), luas lahan (X2),
lama usahatani (X3), usia (X4), tingkat pendidikan (X5), dan persepsi (X6) adalah
regresi logistik dengan tools pengolahan data menggunakan software SPSS 2010.
Rancangan model yang akan terbentuk adalah;
Yi= Ln (
Keterangan:
Yi
X1
X2
X3
X4
X5
X6
1 , 2, 3, 4, 5,
6
:
:
:
:
:
:
:
27
Untuk menguji hipotesa tersebut, digunakan statistik uji likelihood ratio sebagai
berikut:
G = -2ln (
)
Keterangan; ln adalah logaritma dengan basis bilangan natural (e). Pada output
SPSS tersaji nilai P, P = Peluang (X2df = k > G). Apabila P < atau G >X2(df = k)a
maka disimpulkan tolak H0 pada taraf nyata .
Desa Simarasok
(Lokasi Penelitian)
28
Jumlah KK
376
345
312
336
1 369
29
usia produktif. Pelaku usahatani di Desa Siamrasok tidak hanya pada usia 25-45
tahun akan tetapi juga pada usia 46-60 tahun, bahkan diatas usia 60 tahun
penduduk Desa Simarasok masih melakukan usahatani.
2500
2010
2000
Jumlah
(orang)
1500
1115
1244
1200
1000
824
500
0
0-12
13-24
25-45
46-60
Kategori Umur (tahun)
>60
Jumlah
484
471
375
447
Desa Simarasok sebagai daerah dengan mata pencaharian utama sebagai petani
memiliki keberagaman penggunaan lahan. Masyarakat menggunakan lahan utama
sebagai sawah dan sebagian lainnya mamanfaatkan pertanian di lahan kering.
30
Berdasarkan Tabel 6 diketahui sebagian besar lahan sawah merupakan jenis lahan tadah
hujan yaitu mencapai 195 ha, sedangkan jenis sawah teknis mencapai 22 ha dan lahan
sederhana seluas 28 ha. Lahan tadah hujan merupakan lahan dengan sumber pengairan
utama berasal dari air hujan. Pada penerapan metode SRI sawah tadah hujan
menyebabkan tingkat kesulitan penerapan metode SRI semakin tinggi. Hal ini
dikarenakan petani mengalami kesulitan dalam mengontrol air sawah. Ketika musim
hujan air sawah akan melimpah, sedangkan ketika musim kemarau air sawah akan
habis. Sawah teknis adalah sawah dengan sumber pengairan dengan irigasi yang telah
tertata dengan baik. Sumber air teknis memiliki sarana yang lengkap dan sumber
pengairan yang tidak akan pernah habis. Pengairan selalu ada sepanjang tahun. Sawah
jenis ini memudahkan petani untuk melakukan pengontrolan air. Sawah sederhana
merupakan sawah dengan sumber air berasal dari air sungai tanpa fasilitas irigasi yang
lengkap. Sumber pengairan jenis ini hampir sama dengan sawah teknis hanya saja
fasilitas irigasi pada sawah sederhana tidak memadai seperti sawah teknis.
Perbedaannya adalah sawah sederhana masih tergantung kepada musim, jika musim
hujan terus-menerus maka air tidak akan dapat dikontrol sehingga air akan melimpah
dan tidak dapat dikontrol. Hal ini akan menyulitkan petani menerapakan metode SRI.
Tabel 6 Data luas penggunaan lahan usahatani wilayah Desa Simarasok
Sawah (Ha)
Lahan Kering
Jorong
b
c
d
e
f
T
S
TH
Jmlh Pkr
Tg
Klg HRh HNi
Sungai Angek
5
7
48
60
5.5
13
5
44
0
Koto Tuo
6
7
51
64
5.0
21
3
64
0
Simarasok
5
7
48
60
5.5
13
5
44
0
Kampeh
6
7
51
64
5.0
21
3
64
0
Jumlah
22
28 195
296
21.0
68 16 216
0
Sumber: Unit Pelayanan Pertanian Kecamatan Baso (2014)
Keterangan:
b
f
Teknis
Tegalan
c
g
Sederhana
Kolam
d
h
Tadah Hujan
Hutan Rakyat
e
i
Pekarangan
Hutan Negara
Jmlh
67.5
93.0
67.5
93.0
321.0
Karakteristik Responden
Usia
Usia diduga memengaruhi tingkat adopsi metode SRI. Semakin tinggi usia
seseorang diduga akan semakin banyak pengalaman orang tersebut sehingga
kecendrungan untuk mengadopsi suatu teknologi akan lebih tinggi. Hal ini juga
disebabkan oleh tingkat pengalaman hidup yang semakin tinggi akan membuat
daya penerimaan seseorang akan lebih besar dikarenakan pengetahuan tentang
suatu hal yang baru semakin banyak. Pengalaman hidup dapat menjadikan petani
memiliki cara pandang dan pertimbangan yang lebih baik dibanding mereka yang
kurang berpengalaman.
Karakteristik usia dalam penelitian ini dikelompokkan kedalam lima
kategori usia sesuai dengan tertulis pada Tabel 7. Berdasarkan Tabel 7, usia
responden pada umumnya berkisar pada rentang 40-49 tahun yaitu sebesar 34.3
31
persen, selanjutnya diikuti oleh usia responden yang lebih dari 60 tahun yaitu
sebesar 31.4 persen. Sedangkan usia responden paling sedikit adalah usia 25-29
tahun yaitu sebanyak 1 orang atau 2.9 persen dari total 35 responden.
Tabel 7 Penyebaran kategori usia pada responden
Kategori Usia (tahun)
Jumlah (orang)
25-29
1
30-39
4
40-49
12
50-59
7
60
11
Total
35
Persentase (persen)
2.9
11.4
34.3
20.0
31.4
100.0
Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan diduga memengaruhi tingkat adopsi petani terhadap
metode SRI. Diduga semakin tinggi tingkat pendidikan responden maka tingkat
penerimaan petani terhadap suatu teknologi juga akan semakin tinggi. Hal ini
diduga karena petani yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi dapat
menganalisis secara ilmiah kebenaran suatu teknologi dengan benar. Sehingga,
ketika dihadapkan pada teknologi baru dengan penjelasan yang ilmiah petani
dapat menimbang dan menalar dengan baik dan jelas.
Berdasarkan Tabel 8, tingkat pendidikan dibagi ke dalam 4 golongan yaitu
berdasarkan tahun yang terdiri dari tingkat pendidikan SD, SMP, SMA, dan D3.
Berdasarkan sebaran data pada umumnya responden cendrung memiliki tingkat
pendidikanSekolah Dasar (SD) yaitu sebesar 48.6 persen, selanjutnya tingkat
Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) yaitu sebesar 31.4 persen.
Tabel 8 Penyebaran 4 kategori lama pendidikan pada responden
Tingkat Lama Pendidikan
Jumlah (orang)
Persentase ( persen)
SD
17
48.6
SMP
6
17.1
SMA
11
31.4
D3
1
2.9
Total
35
100.0
Pelatihan
Pelatihan yang dimaksudkan berupa penyuluhan dan sekolah lapang yang
diterima petani dari Dinas Pertanian Kecamatan Baso. Petani yang menerima
pelatihan tentu akan memiliki pengalaman, motivasi, dan pengetahuan yang
berbeda jika dibandingkan dengan petani yang tidak pernah mendapatkan
pelatihan. Berdasarkan Tabel 9, semua petani responden telah menerima
pelatihan. Lama pelatihan yang diterima kisaran dari 1 hingga 10 tahun. Lama
pelatihan dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu lama pelatihan rendah ( 3
tahun), sedang (4-7 tahun), dan tinggi (8-10 tahun). Berdasarkan data, sebagian
besar responden berada pada kategori sedang dalam hal lama pelatihan yaitu
sebesar 51.4 persen dan hanya 5.7 persen yang berada pada kategori tinggi dalam
lama pelatihan. Pelatihan diduga akan memengaruhi tingkat adopsi petani
32
terhadap penerapan metode SRI dikarenakan dengan adanya pelatihan akan ada
penyampaian informasi dan pencerdasan kepada masyarakat.
Tabel 9 Penyebaran kategori lama pelatihan pertanian yang diterima responden
Lama Pelatihan (Tahun)
Jumlah (orang)
Persentase ( persen)
Rendah ( 3)
15
42.9
Sedang (4-7)
18
51.4
Tinggi (8-10)
2
5.7
Total
35
100.0
Pengalaman sebagai Petani
Pengalaman petani diduga memengaruhi tingkat adopsi petani terhadap
penerapan metode SRI. Semakin lama pengalaman usahatani maka akan semakin
mudah petani menerapkan cara-cara budidaya dengan metode SRI. Pengalaman
usahatani dikelompokkan menjadi 3 kelompok yaitu pengalaman 1-17 tahun
kebawah, pengalaman antara 18-34 tahun, dan pengalaman 35-50 tahun.
Berdasarkan Tabel 10, diketahui jumlah petani yang memiliki pengalaman
terbanyak berada pada kisaran 1-17 tahun ke bawah yaitu sebesar 40.0 persen
sedangkan paling sedikit pada kisaran pengalaman 18-34 tahun yaitu sebesar 25.7
persen. Hal ini menunjukkan responden yang diambil cukup beragam yang berarti
petani yang diteliti pun cukup beragam. Secara garis besar 3 responden yang
diambil menyebar secara rata tiap karakteristik pengalaman usahataninya tidak
jauh berbeda antara satu dengan yang lainnya. Namun, di sisi lain hasil ini
menunjukkan petani didominasi oleh golongan remaja dan golongan tua.
Tabel 10 Penyebaran kategori lama pengalaman usahatani responden
Kategori Lama Pengalaman Usahatani
Jumlah (orang)
Persentase
(persen)
1-17 tahun
14
40.0
18-34 tahun
9
25.7
35-50 tahun
12
34.3
Total
35
100.0
Luas Lahan Usahatani
Luas lahan diduga memengarui tingkat adopsi petani terhadap penerapan
metode SRI. Semakain luas lahan usahatani maka akan semakin sulit untuk
mengerjakannya, sehingga kemungkinan melakukan budidaya dengan metode SRI
juga akan kecil. Dalam penelitian ini, luas lahan responden dikelompokan menjadi
3 kategori. Berdasarkan Tabel 11, dapat diketahui sebagian besar responden
memiliki lahan seluas dibawah 0.23 ha yaitu sebanyak 48.6 persen. ini
menunjukkan karaktersitik petani yang masih tradisional dan menerapkan usaha
tani berskala gurem. Selanjutnya, hanya terdapat 8.5 persen petani yang memiliki
sawah diantara 0.46-0.68 ha. Hal ini menunjukkan kemungkinan petani untuk
menerapkan metode SRI sangat tinggi karena sebagian besar lahan yang dimiliki
petani lebih kecil dari 0.25 ha dengan asumsi semakin sempit lahan maka tingkat
adopsi petani terhadap penerapan metode SRI akan semakin tinggi karena akan
semakin mudah dalam implementasinya.
33
Persentase ( persen)
48.6
42.9
8.5
100.0
34
35
bertujuan untuk menyeleksi benih yang bernas (berisi), benih yang tidak bernas
akan terapung sedangkan benih yang bernas akan tenggelam saat direndam. Benih
yang dipilih adalah benih yang tenggelam. Tabel 14 menjelaskan jumlah terbesar
petani sudah menerapkan metode perendaman benih dengan air garam yaitu
sebesar 37.1 persen, selanjutnya petani yang dikategorikan sering menerapkan
perendaman air garam sebesar 20.0 persen petani. Angka ini menunjukkan
sebagian besar petani telah menerapkan metode ini. Hal ini mengindikasikan
bahwa petani telah menerima informasi tentang penggunaan metode ini pada SRI.
Namun, masih terdapat sebesar 22.9 persen petani yang tidak menerapkan metode
ini sama sekali. Alasan yang dijelaskan responden untuk memilih tidak mengikuti
metode ini diantaranya karena perbedaan hasil yang tidak jauh berbeda, pekerjaan
yang rumit menghabiskan waktu, dan ketidaktahuan terhadap penggunaan metode
ini.
Tabel 14 Tingkat adopsi responden terhadap penerapan metode SRI seleksi benih
Tidak pernah
Jarang
Kadang-kadang
Sering
Selalu
Total
Frekuensi
8
6
1
7
13
35
Persentase (persen)
22.9
17.1
2.9
20.0
37.1
100.0
36
Jarak Tanam
Jarak tanam yang digunakan sesuai dengan SOP metode SRI adalah 25x25
cm. Penanaman dengan jarak seperti ini bertujuan agar penyebaran cahaya lebih
merata. Metode konvensional petani menerapkan jarak tanam 10-15 cm.
Berdasarkan Tabel 17, diketahui bahwa responden yang selalu menerapkan
metode ini mencapai 77.1 persen responden dari total 35 responden. Sebagian
masyarakat telah menilai bahwa metode ini memberikan pengaruh yang nyata
terhadap perubahan hasil sehingga tingkat penerimaan masyarakat juga semakin
besar. Sebagian masyarakat yang masih tidak sepenuhnya menerapkan metode ini
dikarenakan pertimbangan responden jika penanaman dilakukan terlalu jarang
(25x25 cm) hasil yang akan diperoleh akan rendah. Dugaan ini muncul karena
masyarakat mengestimasi berdasarkan jumlah rumpun yang ditanam per satuan
luas, semakin lebar jarak tanam maka jumlah rumpun padi yang ditanam juga
akan semakin sedikit sehingga diestimasikan padi yang dihasilkan juga akan
semakin sedikit.
Tabel 17 Tingkat adopsi responden terhadap penerapan metode SRI jarak tanam
Frekuensi
Persentase (persen)
Tidak pernah
0
0.0
Jarang
1
2.9
Kadang-Kadang
2
5.7
Sering
5
14.3
Selalu
27
77.1
Total
35
100.0
37
38
39
Selalu
Total
Frekuensi
100
100
Persentase ( persen)
0.0
100.0
40
Chi-square
Df
Sig.
5.760
0.568
41
Yi= Ln (
Persamaan ini menunjukkan bahwa tingkat adopsi berbanding lurus dengan lama
usahatani, usia, pendidikan, persepsi, dan berbanding terbalik dengan luas lahan
garapan. Interpretasi dan kesginifikanan setiap variabel dijelaskan pada sub bab
berikutnya.
42
dilakukan oleh Sugandi dan Astuti (2010) yang meneliti tentang persepsi dan
adopsi petani terhadap penerapan Variates Unggul Baru (VUB) padi sawah di
Bengkulu. Berdasarkan hasil penelitian, terdapat 63.9 persen petani mengadopsi
teknologi VUB sedangkan terdapat 86.89 persen petani memiliki persepsi yang
baik terhadap penerapan teknologi VUB. Hal ini menunjukkan ketidaksamaan
antara adopsi dan persepsi. Namun, pada penelitian yang dilakukan oleh Sugandi
dan Astuti (2010), terlihat tidak semua petani yang memiliki persepsi baik
terhadap VUB menerapkan teknologi VUB. Perbedaan ini disebabkan karena
harga benih yang lebih mahal dibandingkan dengan varietas lokal. Sehingga,
meskipun petani memiliki persepsi yang baik terhadap penerapan metode SRI tapi
kendala yang dihadapi lebih besar dari persepsi mereka terhadap keinginan untuk
mengadopsi.
Lama Usahatani
Lama usahatani menggambarkan pengalaman petani terhadap budidaya
tani. Lama usahatani yang dimaksud di sini bukan lama usahatani dengan metode
SRI saja akan tetapi lama melakukan budidaya padi. Diduga semakin lama
melakukan usahatani maka tingkat adopsi akan semakin tinggi. Hal ini karena
semakin berpengalaman seseorang dalam menerapkan budidaya padi maka akan
semakin mudah melakukan praktek budidaya padi, untuk menerapkan metode
baru meskipun secara teknis lebih sulit pun akan menjadi lebih mudah karena
sudah memiliki pengalaman dalam usahatani.
Hasil analisis regeresi logisitik menunjukkan nilai yang positif (1.849).
Hal ini menunjukkan dugaan awal sesuai dengan hasil penelitian. Nilai yang
positif menunjukkan semakin lama pengalaman petani menerapkan usahatani padi
maka akan semakin tinggi tingkat pengadopsian petani dalam menerapkan metode
SRI.
Variabel lama usahatani berpengaruh nyata terhadap keputusan untuk
menerapkan metode sesuai atau tidak sesuai anjuran, karena nilai signifikansinya
di bawah taraf nyata 0.10 (0.044<0.10). Artinya, semakin lama seorang petani
menerapkan usahatani atau semakin lama pengalaman petani alam budidaya padi
maka akan semakin tinggi tingkat adopsi petani tersebut terhadap penerapan
metode SRI.
Berdasarkan perbandingan peluang variabel lama usahatani dengan nilai
6.354 menunjukkan bahwa petani yang memiliki lama usahatani lebih lama satu
tahun maka peluang tingkat adopsi untuk menerapkan metode SRI sesuai anjuran
6.354 kali lebih baik. Karena itu, variabel lama usahatani tepat untuk menjadi
penentu tingkat adopsi petani terhadap penerapan metode SRI.
Pengaruh lama usahatani terlihat dari tingkat keahlian dalam menerapkan
usahatani. Petani dengan pengalaman yang lebih lama akan lebih mudah
menerapkan usahatani. Sehingga metode SRI yang dianggap sulit dapat
diterapkan dengan mudah oleh petani yang memiliki pengalaman yang lebih lama.
Hal ini erat kaitannya dalam pengetahuan teknis yang dimiliki petani terhadap
penerapan metode baru dalam pertanian. Hal ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Nurfitri (2014) dimana variabel lama usahatani memiliki pengaruh
dan berhubungan positif dengan tingkat adopsi petani. Nurfitri meneliti tentang
faktor faktor yang memengaruhi petani dalam mengadopsi budidaya sayur
43
44
Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan diduga berpengaruh positif terhadap tingkat adopsi
petani terhadap penerapan metode SRI. Petani dengan tingkat pendidikan yang
lebih tinggi diduga akan mengadopsi metode SRI sesuai anjuran dan sebaliknya
petani yang memiliki tingkat pendidikan yang rendah maka tidak akan
mengadopsi metode SRI sesuai anjuran. Tingkat pendidikan akan memengaruhi
pola pikir petani hal ini dikarenakan petani yang menempuh pendidikan yang
lebih tinggi akan terbiasa dengan pengetahuan sehingga lebih mudah untuk
menerima masukan inovasi baru.
Berdasarkan hasil analisis regresi logistik biner, nilai koefisien variabel
tingkat pendidikan bernilai positif (0.148). Nilai positif pada koefisien regresi
menunjukkan dugaan awal sesuai dengan hasil penelitian. Artinya, semakin tinggi
tingkat pendidikan seorang petani maka akan semakin tinggi tingkat adopsi
terhadap penarapan metode SRI.
Namun, variabel tingkat pendidikan tidak berpengaruh nyata terhadap
tingkat adopsi petani terhadap metode SRI karena nilai signifikansi variabel lebih
besar dari 0.1 (0.904>0.10). Ini berarti setinggi apapun tingkat pendidikan petani
tidak akan memengaruhi peluang petani untuk mengadopsi metode SRI.
Katidaksignifikanan ini disebabkan perbedaan tingkat pendidikan petani
yang menerapkan metode SRI tidak berbeda jauh dengan petani yang tidak
menerapkan metode SRI sesuai anjuran. Jika dirata ratakan petani yang
menerapkan sesuai anjuran memiliki tingkat pendidikan 9.5 tahun, sedangkan
petani yang menerapkan metode SRI tidak sesuai anjuran sebesar 7.8 tahun (1.7
tahun), sehingga seolah hampir tidak ada perbedaan tingkat pendidikan antara
keduanya.
Lama Pelatihan
Lama pelatihan diduga berpengaruh positif pada tingkat adopsi petani
terhadap metode SRI. Semakin lama masa pelatihan maka tingkat penerimaan atas
teknologi atau inovasi baru akan lebih terbuka karena pelatihan berfungsi
menjalankan fungsi pendidikan dan penyuluhan. Pelatihan pelatihan yang diterima
dan pengetahuan tentang metode SRI akan membentuk pola pikir petani dan citra
positif pada penerapan metode SRI. Petani akan lebih terbuka karena mengetahui
lebih banyak tentang penerapan metode SRI. Selain itu, dengan pelatihan petani
dapat berkonsultasi sehingga petani dapat mengatasi masalah-masalah yang
ditemui dalam lapangan.
Berdasarkan hasil analasis regresi logistik biner menunjukkan nilai
koefisien yang positif yaitu 1.002. Hal ini menujukkan dugaan sebelumnya adalah
benar. Koefisien yang positif menunjukkan bahwa semakin lama petani menerima
pelatihan maka akan semakin tinggi tingkat adopsi petani terhadap metode SRI.
Namun variabel lama pelatihan tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat
adopsi petani. Hal ini terlihat dari nilai signifikansi yang lebih dari 0.10
(0.264>0.10). Ini berarti berapapun lama petani mendapatkan pelatihan tidak akan
memengaruhi peluang petani tersebut mengadopsi metode SRI.
45
46
metode SRI. Hal ini menunjukkan sebagian besar petani menerapkan metode SRI
tidak sesuai dengan anjuran. Hal ini karena sebagian besar petani masih
berpegang pada kebaiasan lama yaitu metode konvensional. Selanjutnya, variabel
independent yang berpengaruh nyata terhadap variabel dependent yaitu lama
usahatani, usia, dan tingkat persepsi petani karena koefisien signifikansi lebih
kecil dari taraf nyata 0.10. Ketiga variabel ini berbanding lurus terhadap tingkat
adopsi petani pada penerapan metode SRI. Artinya, petani yang memiliki persepsi
baik, usia lebih tua, dan lebih berpengalaman dalam usahatani maka peluang
untuk mengadopsi metode SRI lebih tinggi dibanding petani yang memiliki
persepsi tidak baik, usia yang lebih muda, dan lama pengalaman usahatani yang
rendah.
Saran
Berdasarkan penelitian maka saran yang dapat diberikan adalah sebagai
berikut:
1. Sebaiknya pemerintah melalui dinas pertanian dalam hal ini penyuluh
memberikan pengetahuan dan pemahaman lebih mendalam mengenai
alasan mengadopsi metode SRI yang sesuai anjuran, karena sebagian besar
petani di Desa Simarasok menerapkan metode SRI tidak sesuai anjuran.
2. Sebaiknya dinas pertanian ketika membuat panduan yang akan dipakai
sebagai rujukan penerapan metode SRI dapat disesuaikan dengan kondisi
di lapang karena kondisi di setiap daerah pertanian berbeda-beda.
3. Penyuluh petanian hendaknya menjadikan tingkat persepsi, usia, dan lama
usahatani menjadi pertimbangan sebelum melakukan pendampingan
kelompok tani.
4. Bagi peneliti selanjutnya, perlu dilakukan penelitian tentang pengaruh
karakteristik eksternal petani terhadap penerapan metode SRI.
DAFTAR PUSTAKA
Agustamar S. 2007. Perbandingan Metode SRI (System of Rice Intensification)
dengan Cara Konvensional pada Padi Sawah dan Pengaruhnya terhadap
Hasil Padi. Jurnal Dinamika Pertanian Universitas Islam Riau. 22 (1):1-7 .
Berkelaar D. 2001. Sistem Intensifikasi Padi (The System of Rice IntensificationSRI): Sedikit Dapat Memberi Lebih Banyak. Bulletin ECHO (terjemahan)
BPS Sumbar. 2013. Produksi Tanaman Padi dan Palawija (Production of Paddy
and Secondary Foods Crops). Sumatera Barat:bps.go.id. [diunduh pada 25
Maret 2013]
Dinas Pertanian Provinsi Sumatera Barat. 2008. Petunjuk Lapangan Sekolah
Lapang padi Tanam Sabatang (PETLAP SL-PTS). Padang: Dinas
Pertanian Provinsi Sumatera Barat
Ishak A, Afrizon. 2011. Persepsi dan Tingkat Adopsi Petani Padi Terhadap
Penerapan System of Rice Intensification (SRI) di Desa Bukit Peninjauan
47
48
49
Kabupaten/Kota
Produksi
(ton)
Luas
Panen
(ha)
61.23
57.95
54.83
52.17
44.41
47.05
45.75
30.45
27.63
15.67
17.58
12.68
332.46
Kabupaten Solok
306.41
Kabupaten Agam
272.50
Kabupaten Pesisir Selatan
264.82
Kabupaten Padang Pariaman
251.34
Kabupaten Tanah Datar
222.46
Kabupaten Limapuluh Kota
203.56
Kabupaten Pasaman
127.24
Kabupaten Solok Selatan
122.13
Kabupaten Pasaman Barat
86.58
Kota Padang
80.23
Kabupaten Sijunjung
54.94
Kabupaten Dharmasraya
Kabupaten Kota
33.12
6.51
Payakumbuh
29.78
5.48
Kota Pariaman
17.54
3.54
Kota Sawahlunto
11.23
2.11
Kota Solok
8.63
1.69
Kota Padang Panjang
4.41
0.72
Kota Bukittinggi
Kabupaten Kepulauan
1.02
0.38
Mentawai
Total
2430.38
487.82
Sumber: BPS Sumatera Barat tahun 2013 (diolah)
Hasil
(ton/ha)
Persentase
(%)
5.43
5.29
4.97
5.08
5.66
4.73
4.45
4.18
4.42
5.53
4.57
4.33
13.68
12.61
11.21
10.90
10.34
9.15
8.38
5.24
5.03
3.56
3.30
2.26
5.09
1.36
5.44
4.96
5.31
5.09
6.15
1.23
0.72
0.46
0.36
0.18
2.71
0.04
93.38
100.00
50
50
Lampiran 2 Tabulasi hasil perhitungan tingkat persepsi petani terhadap penerapan metode SRI
No
Nama
Responden
1 Responden 1
2 Responden 2
3 Responden 3
4 Responden 4
5 Responden 5
6 Responden 6
7 Responden 7
8 Responden 8
9 Responden 9
10 Responden 10
11 Responden 11
12 Responden 12
13 Responden 13
14 Responden 14
15 Responden 15
16 Responden 16
17 Responden 17
18 Responden 18
PTS
Menguntungkan
(Keuntungan
Relatif)
PTS
Meningkatkan
Hasil Panen
4
3
2
3
4
3
3
4
4
3
3
3
3
3
3
3
4
3
3
2
2
3
3
3
3
3
2
3
3
3
3
3
3
3
3
3
Ramah
PTS Lebih Rumit
Lingkungan/Bisa
Modal Lebih
Namun Tetap
Diterima
Sedikit
Dapat Diterapkan
Lingkungan
(Kerumitan)
(Kecocokan)
4
3
3
3
4
3
3
3
2
3
3
3
2
3
3
3
3
3
3
3
3
2
3
3
2
0
4
3
2
2
3
3
1
3
3
3
4
3
3
3
3
3
3
3
4
3
3
3
3
4
3
3
3
3
Skor
Batas QIII
(SkorQIII=B;
Skor<QIII=B)
Persepsi
(B=Baik;
TB=Tidak
Baik)
18
14
13
14
17
15
14
13
16
15
14
14
14
16
13
15
16
15
15
15
15
15
15
15
15
15
15
15
15
15
15
15
15
15
15
15
B
TB
TB
TB
B
TB
TB
TB
B
TB
TB
TB
TB
B
TB
TB
B
TB
51
Lanjutan Lampiran 2
No
Nama
Responden
19 Responden 19
20 Responden 20
21 Responden 21
22 Responden 22
23 Responden 23
24 Responden 24
25 Responden 25
26 Responden 26
27 Responden 27
28 Responden 28
29 Responden 29
30 Responden 30
31 Responden 31
32 Responden 32
33 Responden 33
34 Responden 34
35 Responden 35
Ramah
PTS Lebih Rumit
Lingkungan/Bisa
Modal Lebih
Namun Tetap
Diterima
Sedikit
Dapat Diterapkan
Lingkungan
(Kerumitan)
(Kecocokan)
PTS
Menguntungkan
(Keuntungan
Relatif)
PTS
Meningkatkan
Hasil Panen
3
3
3
3
4
4
3
3
3
3
3
3
3
4
4
3
3
3
4
3
3
3
3
3
4
3
3
4
3
4
3
1
4
4
4
3
3
3
3
3
3
4
3
2
3
3
4
4
3
3
3
3
3
3
4
4
3
3
3
3
4
4
3
3
3
3
3
3
3
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
2
4
4
3
Skor
Batas QIII
(SkorQIII=B;
Skor<QIII=B)
Persepsi
(B=Baik;
TB=Tidak
Baik)
16
15
15
13
20
19
16
15
15
15
16
15
16
20
20
20
17
15
15
15
15
15
15
15
15
15
15
15
15
15
15
15
15
15
B
TB
TB
TB
B
B
B
TB
TB
TB
B
TB
B
B
B
B
B
51
52
52
Lampiran 3 Tabulasi hasil perhitungan tingkat adopsi petani terhadap penerapan metode SRI
Kriteria SOP Penerapan Metode SRI
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
Nama
Responden
Responden 1
Responden 2
Responden 3
Responden 4
Responden 5
Responden 6
Responden 7
Responden 8
Responden 9
Responden 10
Responden 11
Responden 12
Responden 13
Responden 14
Responden 15
Responden 16
Responden 17
Responden 18
Seleksi
Benih
Pindah
Bibit
Jmlh
Bibit
Jarak
Tanam
pupuk
organik
Pengaturan
Air
Pengendalian
Hama
Pengend
-alian
gulma
Pendangiran
2 kali
Skor
Batas
QIII
(SkorQ
III=1;
Skor<QI
II=0)
1
1
0
0
1
0
0
0
1
0
1
4
3
1
2
4
0
0
2
1
1
1
1
1
0
2
2
1
3
1
3
3
2
1
3
3
1
1
1
0
1
1
2
2
1
1
3
2
1
2
4
3
3
3
1
4
4
4
2
4
4
4
4
4
4
4
3
2
4
4
3
4
2
1
3
2
2
3
2
2
1
3
1
1
1
3
2
3
3
3
1
1
2
2
3
1
2
2
2
2
1
1
3
2
2
3
3
3
4
3
1
4
4
4
4
2
3
4
2
4
2
4
2
1
4
3
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
3
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
20
20
20
21
22
22
22
22
22
23
23
24
24
25
26
27
27
27
27
27
27
27
27
27
27
27
27
27
27
27
27
27
27
27
27
27
Adopsi
(1=
sesuaai
anjuran;
0=tidak
sesuai
anjuran)
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
53
Lanjutan Lampiran 3
Kriteria SOP Penerapan Metode SRI
No
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
Nama
Responden
Responden 19
Responden 20
Responden 21
Responden 22
Responden 23
Responden 24
Responden 25
Responden 26
Responden 27
Responden 28
Responden 29
Responden 30
Responden 31
Responden 32
Responden 33
Responden 34
Responden 35
Seleksi
Benih
Pindah
Bibit
Jmlh
Bibit
Jarak
Tanam
pupuk
organik
Pengaturan
Air
Pengendalian
Hama
Pengend
-alian
gulma
Pendangiran
2 kali
Skor
Batas
QIII
(SkorQ
III=1;
Skor<QI
II=0)
3
3
3
4
4
4
4
4
3
4
3
4
3
4
3
3
3
3
3
4
3
3
3
3
3
3
4
4
1
3
3
3
2
1
2
3
3
4
4
4
4
4
4
4
3
4
3
4
4
4
4
4
4
4
4
3
3
3
3
3
3
4
4
3
3
3
4
4
3
4
3
4
3
3
4
3
3
3
4
3
4
3
4
4
3
1
4
3
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
3
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
28
29
30
31
31
32
32
32
32
33
34
34
34
35
35
36
36
27
27
27
27
27
27
27
27
27
27
27
27
27
27
27
27
27
Adopsi
(1=
sesuaai
anjuran;
0=tidak
sesuai
anjuran)
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
53
54
54
Step 0 Constant
Sig.
.866
Exp(B)
.944
Model Summary
Cox &
-2 Log
Nagelkerke
Step
Snell R
likelihood
R Square
Square
1
24.314a
.499
.665
a. Estimation terminated at iteration
number 6 because parameter estimates
changed by less than .001.
Hosmer and Lemeshow Test
ChiStep
Df
Sig.
square
1
5.760
7
.568
Variables in the Equation
B
S.E.
Wald
df
Sig. Exp(B)
Lama
pelatihan
1.002
.898
1.246
.264
2.724
Luas lahan
-.170
1.197
.020
.887
.844
1.849
.918
4.059
.044
6.354
1.240
.148
.749
1.227
2.745
.014
1
1
.098
.904
3.457
1.159
2.536
1.369
3.433
.064
12.634
Lama
Step usahatani
1a Usia
Pendidikan
Persepsi
5.174
5.363
1
.021
.000
11.982
a. Variable(s) entered on step 1: kat_lamalatih, kat_luaslahan, katlamatani,
kat_usia, katppdk, kspersepsi.
Constant
55
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Batam pada tanggal 13 Agustus 1992 dari Ayah
Andarzen dan Ibu Asrina. Penulis adalah bungsu dari empat bersaudara. Pada
tahun 2004, penulis lulus dari Sekolah Dasar Negeri 22 Padangtarok dan
kemudian melanjukan sekolah di SMP Negeri 1 Baso. Pada tahun 2007, penulis
lulus dari SMP 1 Baso. Pada tahun 2010, penulis lulus dari SMA Negeri 1 Baso
dan pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor
melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis diterima di
Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen dan salah satu
penerima bantuan Bidikmisi angkatan pertama.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif mengikuti organisasi,
kepanitiaan, dan kegiatan magang. Pada tahun 2010, penulis aktif dalam
kepengurusan Paguyuban Bidikmisi sebagai kepala departemen kewirausahaan.
Selain itu, pada tahun yang sama penulis juga menjadi salah satu anggota pada
komunitas pecinta perkusi hingga tahun 2013. Pada tahun 2011, penulis masih
aktif di kepengurusan Paguyuban Bidikmisi sebagai kepala departemen
pengabdian masyarakat. Pada tahun 2012 hingga 2014, selain aktif sebagai
pengurus Paguyuban Bidikmisi, penulis juga aktif sebagai senior resident asrama
bidikmisi IPB. Penulis juga aktif dalam kegiatan ekstra non kampus. Penulis
merupakan penggagas terbentuknya lembaga bimbingan belajar Bidikmisi
Learning Centre yang merupakan lembaga bimbingan belajar dengan tenaga
pengajar adalah mahasiswa bidikmisi kompeten. Penulis juga aktif dalam kegiatan
magang di Direktorat Kemahasiswaan Institut Pertanian Bogor bagian beasiswa.
Selama aktif menjadi mahasiswa, penulis juga aktif dalam kegiatan pengabdian
masyarakat yang meliputi pemberdayaan waria menuju sumber daya manusia
yang unggul dan berjiwa entreprenurship di Kota Bogor dan pemberdayaan
masyarakat pengrajin bilik bambu di Desa Gunung Bunder sebagai inisiasi
menuju desa wisata. Kedua pengabdian ini telah dibukukan dalam sebuah buku
panduan yaitu Life Skill Achieve Your Personal Best dan Profil Desa Wisata Bilik
Bambu. Selama menjadi mahasiswa, penulis juga aktif dalam berbagai
kepanitiaan baik tingkat IPB maupun tingkat nasional.