Anda di halaman 1dari 71

1

TINGKAT PERSEPSI DAN ADOPSI PETANI PADI TERHADAP


PENERAPAN SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION (SRI)
DI DESA SIMARASOK, SUMATERA BARAT

AGUS HARIANTO

DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER


INFORMASI PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Tingkat Persepsi dan
Adopsi Petani Padi terhadap Penerapan System of Rice Intensification (SRI) di
Desa Simarasok, Sumatera Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari
dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, November 2014


Agus Harianto
NIM H34100007

ABSTRAK
AGUS HARIANTO. Tingkat Persepsi dan Adopsi Petani Padi terhadap
Penerapan System of Rice Intensification (SRI) di Desa Simarasok, Sumatera
Barat. Dibimbing oleh SITI JAHROH
System of Rice Intensification atau metode SRI merupakan salah satu
metode dalam teknik budidaya padi yang lebih memperhatikan kondisi
pertumbuhan tanaman yang lebih baik terutama di zona perakaran jika
dibandingkan dengan teknik budidaya tradisional. Tujuan penelitian ini adalah
mengidentifikasi tingkat persepsi dan adopsi petani terhadap penerapan metode
SRI dalam budidaya padi serta mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi
tingkat adopsi petani terhadap penerapan metode SRI. Penelitian ini dilakukan di
Desa Simarasok, Kecamatan Baso, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Data
diperoleh dengan pengambilan sampel dengan metode purposive sampling
sebanyak 35 orang responden. Selanjutnya, data diolah dengan menggunakan
analisis regresi logistik. Data hasil penelitian menunjukkan 57.1 persen responden
yang memiliki persepsi baik terhadap penerapan SRI sisanya sebesar 42.9 persen
responden memiliki persepsi tidak baik terhadap penerapan metode SRI.
Sedangkan tingkat adopsi petani terdapat 51.4 persen responden yang telah
menerapkan metode SRI sesuai dengan pedoman SRI dan terdapat 48.6 persen
petani yang tidak menerapkan sesuai dengan pedoman penerapan budidaya
metode SRI. Berdasarkan analisis regresi logistik, terdapat tiga variabel terbukti
berpengaruh nyata terhadap tingkat adopsi petani terhadap penerapan metode SRI
yaitu lama usahatani, usia dan tingkat persepsi.
Kata kunci: analisis regresi logistik, budidaya padi, purposive sampling

ABSTRACT
AGUS HARIANTO. Perception and Adoption of Rice Farmers in Implementing
System of Rice Intensification (SRI) at Simarasok Village, West Sumatera.
Supervised by SITI JAHROH
System of Rice Intensification or SRI is one of the methods in rice
cultivation techniques. SRI is a rice cultivation practice that gives more attention
to the conditions of better plant growth, especially in the root zone compared to
traditional cultivation techniques. The aims of this study are to identify the
perception and adoption level of farmers adoption in implementing SRI method
and to analyze the factors that influence the adoption of SRI method. A
questionnaire survey was conducted at Simarasok Village, Baso Sub-district,
Agam District, West Sumatera to 35 farmers by purposive sampling. The data
were processed by using logistic regression. The results showed that 57.1 percent
of respondents had a good perception of the adoption of SRI while the remaining
42.9 percent had a bad perception. Meanwhile, the adoption rate of farmers was
51.4 percent of respondents have implemented the method in accordance with the
guidelines of SRI and the remaining 48.6 percent have not yet. Logistic regression
analysis showed that there were three variables that significantly affect the rate of
SRI adoption which are farming experience, age and level of perception.
Keywords: logistic regression analysis, rice cultivation, purposive sampling

TINGKAT PERSEPSI DAN ADOPSI PETANI PADI TERHADAP


PENERAPAN SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION (SRI)
DI DESA SIMARASOK, SUMATERA BARAT

AGUS HARIANTO

Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Agribisnis

DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi

Nama
NIM

: Tingkat Persepsi dan Adopsi Petani Padi terhadap Penerapan


System of Rice Intensification (SRI) di Desa Simarasok,
Sumatera Barat
: Agus Harianto
: H34100007

Disetujui oleh

Siti Jahroh, PhD


Pembimbing Skripsi

Diketahui oleh

Dr Ir Dwi Rachmina, MSi


Ketua Departemen

Tanggal Lulus :

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih
dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret sampai April 2014 ini
adalah usahatani, dengan judul Tingkat Persepsi dan Adopsi Petani Padi terhadap
Penerapan System of Rice Intensification (SRI) di Desa Simarasok, Sumatera
Barat.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Siti Jahroh, Ph.D selaku dosen
pembimbing yang telah memberikan saran dan masukan kepada penulis dalam
upaya penyempurnaan skripsi ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan
kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga atas doa dan dukungan kepada penulis.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Drs. John Ismedi selaku kepala
Unit Pelayanan Pertanian Kecamatan Baso Provinsi Sumatera Barat beserta rekan
kerja yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah membantu dalam proses
pengambilan data. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Dr. Megawati
Simanjuntak, SP, M.Si dan Rico Juni Artanto, S.KH yang telah memberikan
semangat dan arahan kepada penulis. Rasa terimakasih juga penulis sampaikan
kepada Beasiswa Bidikmisi yang telah membantu penulis dalam pembiayaan
kuliah dari semester satu hingga semester delapan sehingga penulis dapat
menyelesaikan karya ilmiah ini. Tak lupa penulis juga mengucapkan terima kasih
atas dukungan sahabat seperjuangan Ade Nurjaman, Mohammad Rizal Izzati,
Laras Lestari, Munawaroh, Ali Mahmudin, Azmal Gusri Berliansyah, Irvan
Afikri, Jaka Rahmaddan serta rekan-rekan agribisnis angkatan 47 semasa
perkuliahan yang telah menorehkan cerita dan memberikan warna indah di
kampus tercinta ini serta kepada seluruh pihak yang tidak dapat diucapkan satu
per satu.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, November 2014


Agus Harianto

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Rumusan Masalah
Tujuan
Manfaat
Ruang Lingkup
TINJAUAN PUSTAKA
Perkembangan System of Rice Intensification
Metode System of Rice Intensification
Penggunaan Teori Persepsi dan Adopsi Rogers
Penelitian Adopsi dan Persepsi Masyarakat terhadap Metode SRI
KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teoritis
Kerangka Pemikiran Operasional
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Jenis dan Sumber Data
Populasi dan Sampel
Metode Pengolahan dan Analisis Data
GAMBARAN UMUM DESA SIMARASOK
Lokasi dan Kondisi Geografis Desa Simarasok
Keadaan Penduduk dan Mata Pencaharian
Karakteristik Responden
HASIL DAN PEMBAHASAN
Persepsi terhadap SRI
Adopsi terhadap Metode SRI
Penilaian Model Tingkat Adopsi Metode SRI
Faktor-faktor yang Memengaruhi Tingkat Adopsi Petani terhadap
Metode SRI
SIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

vii
viii
viii
1
1
2
4
4
4
4
4
5
12
13
16
16
21
23
23
23
23
23
27
27
28
30
33
33
34
39
41
45
46
49
55

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
18
20
21
22
23
24
25
26

Teori-teori prinsip dasar penerepan metode SRI


Pola pengaturan air metode SRI
Prinsip dasar penerapan metode SRI berdasarkan Dinas Pertanian Provinsi
Sumatera Barat
Data jumlah penduduk wilayah Desa Simarasok
Data jumlah penduduk berdasarkan mata pencaharian (petani dan non petani)
wilayah Desa Simarasok
Data luas penggunaan lahan usahatani wilayah Desa Simarasok
Penyebaran kategori usia pada responden
Penyebaran 4 kategori lama pendidikan pada responden
Penyebaran kategori lama pelatihan pertanian yang diterima pada responden
Penyebaran kategori lama pengalaman usahatani responden
Penyebaran kategori luas lahan responden
Persentase tingkat persepsi petani terhadap penerapan metode SRI
Tingkat adopsi responden terhadap penerapan metode SRI
Tingkat adopsi responden terhadap penerapan metode SRI seleksi benih
Tingkat adopsi responden terhadap penerapan metode SRI pemindahan bibit
ke lahan
Tingkat adopsi responden terhadap penerapan metode SRI jumlah
penanaman bibit perlubang
Tingkat adopsi responden terhadap penerapan metode SRI jarak tanam
Tingkat adopsi responden terhadap penerapan metode SRI penggunaan
pupuk organik
Tingkat adopsi responden terhadap penerapan metode SRI pengaturan air
macak-macak
Tingkat adopsi responden terhadap penerapan metode SRI pengendalian
hama secara alami
Tingkat adopsi responden terhadap penerapan metode SRI pengendalian
gulma
Tingkat adopsi responden terhadap penerapan metode SRI pengendalian
gulma sebanyak dua kali
Dugaan parameter regresi logistik biner berdasarkan omnibus test of model
coefficient dengan metode enter
Dugaan parameter regresi logistik biner berdasarkan hosmer dan lemeshow
test
Dugaan parameter regresi logistik biner berdasarkan negelkerke R square
Dugaan parameter regresi logistik biner berdasarkan variables in the
equation

6
11
16
28
29
30
31
31
32
32
33
34
34
35
35
36
36
37
37
38
38
38
39

39
40
40

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7

Benih hampa dan benih bernas pada perendaman air garam


Benih muda yang siap dipindahkan ke lahan sawah
Jarak tanam dan tanam tunggal pada metode SRI
Pola pengaturan macak-macak pada metode SRI
Bagan kerangka berpikir penelitian persepsi dan tingkat adopsi petani
terhadap metode SRI
Peta Kecamatan Baso
Sebaran umur penduduk Desa Simarasok

8
9
10
10
22
27
29

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4

Produksi, luas panen, produktivitas, dan persentase produktivitas padi di


Provinsi Sumatera Barat tahun 2013
Tabulasi hasil perhitungan tingkat persepsi petani terhadap penerapan
metode SRI
Tabulasi hasil perhitungan tingkat adopsi petani terhadap penerapan metode
SRI
Output regresi logistik olahan SPSS

49
50
52
54

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pemenuhan pangan merupakan kebutuhan primer manusia. Namun, dalam
proses pemenuhan pangan tersebut seringkali terjadi kendala karena adanya
ketidaksesuaian antara pangan yang tersedia dan kebutuhan bahan pangan.
Rendahnya produktivitas hasil pertanian dan masih banyaknya petani yang
kehilangan hasil pertanian saat melakukan panen menjadi kendala tercapainya
ketahanan pangan.
Pada tahun 1960-an, sebagai tanggapan atas kekhawatiran terhadap
masalah ketahanan pangan, pemerintah meluncurkan sebuah program nasional
yang sekarang kita kenal dengan nama revolusi hijau. Revolusi hijau merupakan
usaha pengembangan teknologi pertanian untuk meningkatkan produksi pangan.
Revolusi hijau mengubah metode usahatani dari pertanian yang menggunakan
teknologi tradisional menjadi pertanian yang menggunakan teknologi yang lebih
maju atau modern. Hasilnya, secara signifikan produktivitas padi meningkat lebih
dari dua kali lipat. Keberhasilan peningkatan produktivitas padi erat kaitannya
dengan dinamika intensifikasi yang didukung oleh pendekatan dan teknologi
revolusi hijau dengan andalan utama Varietas Unggul Baru (VUB) yang didukung
oleh sarana irigasi, teknologi pemupukan, dan pengendalian organisme
pengganggu tumbuhan (OPT), dukungan penggunaan benih bermutu, pergantian
varietas unggul, dan pemupukan berimbang (Las 2009).
Hingga tahun 1990-an, pendekatan dan penerapan teknologi revolusi hijau
mampu meningkatkan produksi padi di Asia dengan indeks kenaikan yang lebih
tinggi dari indeks kenaikan jumlah penduduk. Kenaikan produksi padi di Asia
Tenggara secara signifikan dialami oleh Indonesia, Vietnam, dan Myanmar,
sedangkan di Asia Selatan dan Asia Timur terjadi di India dan Cina. Namun,
dalam 15 tahun terakhir, laju kenaikan produksi padi melandai (leveling off). Hal
ini terkait dengan lambatnya laju kenaikan hasil padi per satuan luas dalam
periode tersebut. Produksi padi dengan teknologi revolusi hijau ternyata telah
mencapai batas maksimal dan tidak dapat ditingkatkan lagi. Bahkan pada tahuntahun tertentu, produksi menurun akibat kemarau panjang (El Nino) dan
dampaknya berupa ledakan hama dan penyakit. Pada tahun 1999, pemerintah
kembali membuka sebuah metode baru untuk diterapkan di Indonesia demi
menjawab tantangan ketahanan pangan. Metode ini kemudian dikenal dengan
System of Rice Intensification (SRI).
System of Rice Intensification (SRI) merupakan salah satu metode dalam
teknik budidaya padi. SRI merupakan praktik pengelolaan padi yang lebih
memperhatikan kondisi pertumbuhan tanaman yang lebih baik dibandingkan
dengan teknik budidaya secara tradisional terutama di zona perakaran. SRI
dikembangkan di Madagaskar pada awal tahun 1980 oleh Henri de Lauline.
Tahun 1990 dibentuk Association Tefy Sains (ATS), sebuah Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) Madagaskar untuk memperkenalkan SRI. Empat tahun
kemudian, Cornell International Institution for Food, Agriculture and
Development (CIIFAD) mulai bekerja sama dengan Association Tefy Sains untuk
memperkenalkan SRI di sekitar Ranomafana National Park, Madagaskar Timur

yang didukung oleh US Agency for International Development. SRI telah diuji di
Cina, India, Indonesia, Filipina, Sri Langka dan Bangladesh dengan hasil yang
positif (Berkelaar 2001).
Beberapa penelitian telah membuktikan hasil yang signifikan dari metode
SRI. Percobaan-percobaan di lapangan juga telah memperlihatkan hasil yang
memuaskan. Hasil percobaan pertama dilakukan di Sukamandi Jawa Barat pada
musim kemarau tahun 1999. Berdasarkan hasil penelitian, produktivitas padi
dengan metode SRI mencapai 6.2 ton/ha, sedangkan untuk tanah kontrol hanya
mencapai 4.1 ton/ha. Pada musim penghujan produktivitas padi dengan metode
SRI mencapai 8.2 ton/ha. Penelitian serupa juga dilakukan di wilayah bagian
timur Jawa Barat pada tahun 2002 oleh Lembaga Swadaya Masyarakat Adventist
Development and Relief Agency (LSM ADRA) yang bekerja sama dengan tujuh
petani yang menggunakan metode SRI. Hasil yang didapatkan sebelum
menggunakan metode SRI produktivitasnya hanya mencapai 4.4 ton/ha, setelah
menerapkan metode SRI produktivitas meningkat hingga 7-11 ton/ha sedangkan
di Lampung produktivitas rata-rata mencapai 8.5 ton/ha yang awalnya hanya 3
ton/ha (Wardana et al. 2005).
Seiring dengan adanya peningkatan produksi maka penerapan metode SRI
juga dapat meningkatkan pendapatan petani. Penelitian yang dilakukan oleh
Kurniadiningsih dan Legowo (2011) tentang perbandingan pendapatan budidaya
padi dengan metode konvensional dan metode SRI menunjukkan penerimaan
usahatani dengan menggunakan metode konvensional sebesar Rp7 342 200 per
hektar per musim sedangkan dengan menggunakan metode SRI pendapatan petani
meningkat menjadi Rp12 277 800. Kesimpulan dari hasil penelitian yang
dilakukan, ternyata metode SRI mampu meningkatkan pendapatan hingga 59.8
persen.
Meskipun penerapan budidaya padi menggunakan metode SRI dapat
meningkatkan produksi dan pendapatan petani tetapi di beberapa daerah belum
memperlihatkan hasil yang signifikan. Tidak semua daerah menerapkan metode
SRI sesuai dengan anjuran. Kasus di Sumatera Barat, penerapan SRI masih sedikit
meskipun sudah disosialisasikan dari tahun 2000. Demikian halnya di Desa
Simarasok, Kabupaten Agam saat ini banyak petani yang mengadopsi metode SRI
tidak sesuai dengan anjuran penerapan SRI. Oleh karena itu, perlu diketahui
alasan yang mendasari masyarakat tidak menerapkan metode SRI sesuai dengan
anjuran dan lebih lanjut mengetahui tingkat persepsi dan adopsi petani terhadap
metode SRI. Tingkat persepsi petani merupakan pandangan petani terhadap
metode SRI. Sedangkan adopsi merupakan tingkat penyerapan metode baru pada
usahatani padi. Kedua hal ini diduga berhubungan. Adopsi petani diduga
dipengaruhi oleh tingkat persepsi petani. Selanjutnya, perlu juga diteliti faktorfaktor yang memengaruhi tingkat adopsi petani terhadap metode SRI.
Perumusan Masalah
Metode SRI pertama kali dikembangkan di Indonesia pada tahun 1999 ke
sentra-sentra tanaman padi di Indonesia yang salah satunya adalah Sumatera
Barat. Metode ini pertama diperkenalkan oleh rektor Universitas Andalas yaitu
Bapak Musliar Kasim. Hingga saat ini, metode SRI dikembangkan melalui
penelitian-penelitian. Dalam penerapannya, Universitas Andalas bekerja sama

dengan Pemerintah Sumatera Barat khususnya Dinas Pertanian Sumatera Barat


dalam mengupayakan sosialisasi metode SRI. Nama dari SRI diubah menjadi
Padi Tanam Sabatang yang dikenal dengan nama PTS. Nama ini lebih lazim
digunakan masyarakat Sumatera Barat (Agustamar dan Syarif 2007). Program
PTS diterapkan di sentra-sentra produksi padi Sumatera Barat salah satunya
adalah di Kabupaten Agam yang merupakan penghasil padi terbanyak kedua yaitu
sebanyak 12.61 persen dari total produksi padi di Sumatera Barat (Produksi padi
di Sumatera Barat lihat Lampiran 1).
Tantangan utama bagi pengembang SRI adalah sulitnya meyakinkan para
petani bahwa metode yang telah digunakan selama bertahun-tahun (membanjiri
tanah pertanian, menaruh beberapa bibit per lubang, dan membajak tanah dengan
dalam) benar-benar menghambat dan bukan menghasilkan tanaman yang sehat
serta meningkatkan hasil tinggi. Sulitnya meyakinkan para petani menimbulkan
masalah rendahnya tingkat adopsi petani terhadap metode SRI. Asumsi bahwa
metode baru yang dibawa adalah metode yang berbelit-belit merupakan faktor
utama menjadi ketidakberkembangan metode SRI. Adopsi yang rendah dari petani
secara otomatis memengaruhi tingkat penerapan petani dalam menggunakan
metode SRI.
Pada kenyataannya, tidak semua daerah dapat menerima dan menerapkan
metode SRI pada sawah mereka. Banyak kendala dan faktor penyebab yang harus
ditemukan dan dikaji lebih lanjut. Hal ini menjadikan setiap daerah memiliki
karakteristik persepsi dan kecenderungan adopsi metode SRI yang berbeda-beda.
Salah satu daerah yang telah menerapkan metode SRI adalah Desa Simarasok,
Kecamatan Baso, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Daerah ini merupakan salah
satu lumbung padi di Sumatera Barat. Namun, penerapan metode SRI masih
belum sesuai dengan cara dan ketentuan sebenarnya sehingga perlu dilakukan
penelitian untuk menganalisis tingkat persepsi masyarakat terhadap SRI dan
korelasi antara karakteristik petani terhadap peluang menerapkan metode SRI
sesuai anjuran.
Tingkat adopsi SRI diduga dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal
petani. Faktor tersebut dapat disebabkan oleh faktor sosial, karakter petani,
topografi daerah, dan kondisi politik daerah setempat. Dalam penelitian ini akan
diteliti faktor karakteristik petani yang terdiri atas umur, lama pelatihan,
pendidikan, luas penguasaan lahan, persepsi, dan pengalaman usahatani.
Sehingga, pada penelitian ini fokus menjawab beberapa pertanyaan terkait tingkat
adopsi dan persepsi petani, yaitu:
1. Bagaimana persepsi petani Desa Simarasok terhadap penerapan metode
SRI?
2. Bagaimana tingkat adopsi petani Desa Simarasok terhadap penerapan
metode SRI?
3. Apakah karakteristik dan persepsi petani memengaruhi tingkat adopsi
petani terhadap metode SRI?
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Mengidentifikasi persepsi petani terhadap metode SRI.

2. Mengidentifikasi tingkat adopsi petani Desa Simarasok terhadap


penerapan SRI.
3. Menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi tingkat adopsi petani
terhadap metode SRI.

Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Dapat mengetahui tingkat persepsi dan adopsi petani terhadap penerapan
metode SRI dan faktor-faktor yang memengaruhinya.
2. Memberikan alternatif, saran, dan masukan terhadap permasalahan tingkat
adopsi metode SRI di Desa Simarasok khususnya dan Sumatera Barat
umumnya.

Ruang Lingkup
Penelitian ini dilakukan di Desa Simarasok, Kecamatan Baso, Kabupaten
Agam, Sumatera Barat dengan target responden adalah petani padi yang telah
menerapkan metode penanaman padi secara SRI. Kabupaten Agam adalah salah
satu sentra padi di Sumatera Barat. Metode SRI juga telah diterapkan di daerah
ini. Sedangkan lingkup kajian yang akan diteliti adalah mengenai persepsi dan
tingkat adopsi petani padi terhadap metode SRI.

TINJAUAN PUSTAKA
Perkembangan System of Rice Intensification
SRI atau System of Rice Intensification atau Le Systme de Riziculture
Intensive bukan merupakan varietas padi baru ataupun padi hibrida, namun suatu
metode atau cara penanaman dan perawatan padi (Suitna dan Utju 2010). Dalam
istilah lain SRI (System of Rice Intensification) diartikan sebagai salah satu
pendekatan dalam praktik budidaya padi yang menekankan pada manajemen
pengelolaan tanah, tanaman, dan air melalui pemberdayaan kelompok dan
kearifan lokal yang berbasis pada kegiatan ramah lingkungan (Deptan dalam
Tarbiah 2010). Berdasarkan kedua penjelasan ini dapat diambil kesimpulan bahwa
SRI merupakan sebuah terobosan baru dalam budidaya tanaman padi dengan cara
mengefisienkan input untuk memperoleh hasil output yang maksimal dan ramah
ligkungan.
Secara historis, metode SRI pertama kali ditemukan secara tidak sengaja di
Madagaskar antara tahun 1983 sampai 1984 oleh biarawan Yeswit asal Perancis
bernama FR. Henri de Laulani, S.J. Metode ini selanjutnya dalam bahasa Perancis
dinamakan Le Systme de Riziculture Intensive dan bahasa Inggris dengan nama
System of Rice Intensification atau disingkat SRI. Kemudian pada tahun 1990

dibentuk Association Tefy Sains (ATS), sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat


(LSM) Madagaskar untuk memperkenalkan SRI. Empat tahun kemudian, Cornell
International Institute for Food, Agriculture and Development (CIIFAD), mulai
bekerjasama dengan Tefy Sains untuk memperkenalkan SRI di sekitar
Ranomafama National Park di Madagaskar Timur yang didukung oleh US Agency
for International Development. Metode SRI juga telah diuji di berbagai Negara di
Kawasan Asia, termasuk Asia Selatan seperti, India, Bangladesh, dan Srilangka,
serta di negara kawasan Asia Tenggara seperti, Filipina dan Vietnam serta di Cina
Daratan dengan hasil yang positif (Berkelaar 2001).
Pada tahun 1999, kerjasama Nanjing Agricultural University di China dan
AARD (Agency for Agriculture Research and Development) di Indonesia
melakukan percobaan pertama di luar Madagaskar. SRI menjadi terkenal di dunia
melalui upaya dari Norman Uphoff (Director of Cornell International Institute
for Food, Agriculture and Development). Pada tahun 1997 Uphoff mengadakan
presentasi di Indonesia yang merupakan kesempatan pertama SRI dilaksanakan
diluar Madagaskar. Sampai dengan tahun 2006, SRI telah berkembang di
beberapa negara, yaitu Indonesia, Kamboja, Laos, Myanmar, Philipina, Thailand,
Vietnam, Banglades, Cina, India, Nepal, Srilangka, Gandia, Afganistan, Irak, Iran,
Pakistan, Burkina Faso, Ethiopia, Guinea, Mali, Zambia, Kolombia dan Republik
Dominika. Di Indonesia, uji coba teknik SRI pertama dilaksanakan oleh Lembaga
Penelitian dan Pengembangan Pertanian di Sukamandi Jawa Barat pada musim
kemarau 1999 dengan hasil 6.2 ton/ha dan pada musim hujan 1999/2000
menghasilkan padi rata-rata 8.2 ton/ha. SRI juga telah diterapkan di beberapa
kabupaten di Jawa, Sumatera, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara
Timur yang sebagian besar dipromosikan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat
(Wardana et al. 2005).
Metode System of Rice Intensification
Penerapan budidaya padi dengan menggunakan metode SRI memberikan
beberapa keunggulan. Adapun keunggulan tersebut menurut Mutakin (2005),
yaitu:
1. Tanaman hemat air, selama pertumbuhan mulai dari tanam sampai panen
digenangi air maksimal 2 cm, paling baik macak-macak sekitar 5 mm dan
ada periode pengeringan sampai tanah retak (irigasi terputus).
2. Hemat biaya karena hanya membutuhkan benih 5 kg/ha. Metode SRI tidak
memerlukan biaya pencabutan bibit, biaya pindah bibit, dan tenaga untuk
proses penanaman kurang.
3. Hemat waktu, ditanam bibit muda 5 - 12 hari setelah tanam sehingga
waktu panen akan lebih awal.
4. Produksi meningkat, di beberapa tempat mencapai 11 ton/ha.
5. Ramah lingkungan, tidak menggunaan bahan kimia dan digantikan dengan
menggunakan pupuk organik (pupuk kompos, pupuk kandang, dan mikroorganisme lokal).
Teknik budidaya tanaman padi dengan metode SRI berbeda dengan teknik
yang biasa dilakukan dengan cara konvensional. Teknik budidaya yang diterapkan
harus mengikuti prinsip SRI agar mendapatkan hasil yang maksimal. Hal ini

disampaikan oleh Berkelaar (2001), Mutakin (2005), LSK Bina Bakat Surakarta
(2011), dan Dinas Pertanian Sumatera Barat (2008) yang menjelaskan beberapa
prinsip penerapan metode SRI dalam Tabel 1 berikut:
Tabel 1 Teori-teori prinsip dasar penerapan metode SRI
Prinsip Dasar Teori
Teori LSK Bina Teori Jaenal
Berkelaar
Bakas
Mutakin
Surakarta
Pemilihan
Tidak
Tidak
Tidak
bibit
dilakukan
dilakukan
dilakukan
pemilihan
pemilihan bibit pemilihan
bibit
bibit

Teori Dinas
Pertanian
Sumatera Barat
Dilakukan
dengan
perendaman air
garam

Umur
pemindahan
bibit

8-15 hari

5-15 hari

kurang dari 12 5-15 hari


hari setelah
semai atau
ketika bibit
masih
berdaun 2
helai

Jumlah
tanam bibit
per lubang

Satu bibit
per lubang

Satu bibit per


lubang

Satu bibit per


lubang

1-3 bibit per


lubang

Jarak tanam

(25x25) cm

(35x35) cm
hingga (40 x40)
cm

(30x30) cm
hingga
(35x35) cm

(25x25) cm

Penggunaan
pupuk
organik

Menggunakan

Menggunakan

Menggunakan

Menggunakan

Pengaturan
air

Macakmacak
(5mm)

Macak-macak
(5mm) kecuali
pada umur 741 hari setelah
semai tinggi air
3cm

Pemberian air
maksimal 2
cm (macakmacak/5mm)
dan periode
tertentu
dikeringkan
sampai pecah
(irigasi
berselang/terp
utus)

Macak-macak
(5mm) kecuali
pada umur 741 hari setelah
semai tinggi air
3cm

Pengendalian
hama secara
alami

Dilakukan
Dilakukan
dengan
dengan musuh
musuh alami alami hama dan

Dilakukan
Dilakukan
dengan musuh dengan musuh
alami hama
alami hama dan

Prinsip Dasar

Teori
Berkelaar
hama dan
perangkap

Teori LSK Bina Teori Jaenal


Bakas
Mutakin
Surakarta
perangkap
dan
perangkap

Teori Dinas
Pertanian
Sumatera Barat
perangkap

Pengendalian
gulma

Dilakukan
dengan
manual (kuil
dan gasrok)

Dilakukan
dengan manual
(kuil dan
gasrok)

Dilakukan
dengan
manual (kuil
dan gasrok)

Dilakukan
dengan manual
(kuil dan
gasrok)

Pengendalian
gulma dua
kali

Dilakukan

Dilakukan

Dilakukan

Dilakukan

Kekurangan

Tidak ada
perendaman
dengan air
garam,
jumlah bibit
untuk satu
lubang satu
bibit
sehingga
tingkat
kerentanan
terhadap
hama tinggi

Tidak ada
perendaman
dengan air
garam, jumlah
bibit untuk satu
lubang satu
bibit sehingga
tingkat
kerentanan
terhadap hama
tinggi, jarak
tanam terlalu
jarang jika
dibandingkan
dengan teori
lain

Tidak ada
perendaman
dengan air
garam, jumlah
bibit untuk
satu lubang
satu bibit
sehingga
tingkat
kerentanan
terhadap
hama tinggi,
jarak tanam
terlalu jarang
jika
dibandingkan
dengan teori
lain

Kelebihan

Jarak tanam sedang


(tidak terlalu
rapat dan
tidak terlalu
jarang)

Dilakukan
penyeleksian
benih yaitu
prendaman
dengan air
garam, jarak
tanam sedang
(tidak terlalu
rapat dan tidak
terlalu jarang

Teori-teori penerapan metode SRI pada Tabel 1 menjelaskan batasan


batasan dalam penerapan metode SRI. Secara umum prinsip-prinsip dasar
penerapan SRI hampir sama. Perbedaan antara prinsip dasar yang dijelaskan oleh

Dinas Pertanian Sumatera Barat dadalah adanya penyeleksian benih dengan


perendaman air garam. Berikut dijelaskan prinsip-prinsip dasar yang diterpkan
oleh Dinas Pertanian Provinsi Sumatera Barat.
1. Perendaman dengan Air Garam
Persemaian SRI dilakukan dengan cara kering (tidak digenang).
Persemaian bisa dilakukan dilahan sawah/darat, pekarangan, atau di media buatan
seperti nampan. Media tumbuh persemaian berupa campuran tanah dengan bahan
organik dengan perbandingan 1:1. Sebelum benih disemai perlu dilakukan uji
benih bermutu/bernas dengan menggunakan larutan garam. Benih diuji dengan
melakukan perendaman dengan air garam. Benih yang dianggap bernas adalah
benih yang terendam, sedangkan benih yang terapung dianggap tidak bernas
sehingga tidak baik untuk disemai. Berikut gambar perendaman benih dengan air
garam.

Benih Hampa
(tidak bernas)

Benih Bernas
Gambar 1. Benih hampa dan benih bernas pada perendaman air garam
Sumber: Dinas Pertanian Provinsi Sumatera Barat (2008)
2. Bibit Umur Muda
Demikian halnya dengan metode konvensional, sebelum melakukan
pembenihan terlebih dahulu dilakukan pemilihan benih yang unggul dan baik.
Pada implementasi metode budidaya padi secara konvensional, sebagian besar
petani cenderung menggunakan bibit yang relatif tua yaitu sekitar 25 hingga 30
hari. Kecendrungan ini didasari pada kemudahan dalam pencabutan benih, asumsi
ketahanan terhadap hama dan penyakit, kemudahan pada penanaman, dan asumsi
akan lebih cepat hidup. Kenyataannya, penggunaan bibit berumur tua berakibat
pada jumlah anakan yang tidak maksimal dan pertumbuhan yang terhambat
karena terjadinya stagnansi akibat tidak tercabutnya semua daya jelajah akar.
Dalam praktiknya, menanam bibit padi yang berumur 515 hari menghasilkan
pertumbuhan tanaman lebih cepat karena pada saat pemindahan bibit akar tercabut
semua. Bahkan, ketika tanaman padi telah berumur 13 hari setelah tanam, jumlah
anakan sudah mencapai ratarata 5 batang. Jumlah anakan ini berpotensi untuk
terus bertambah sesuai dengan perkembangan umur tanaman. Praktik yang sudah
dilakukan dengan menggunakan bibit tanaman umur 10 hari, menghasilkan
jumlah anakan maksimal 30 sampai 50 batang dalam setiap rumpunnya.

Gambar 2. Benih muda yang siap dipindahkan ke lahan sawah


Sumber: Dinas Pertanian Provinsi Sumatera Barat (2008)
3. Tanam Tunggal
Pada metode konvensional, petani menggunakan bibit rata-rata 3 hingga 5
batang per lubang, bahkan sebagian petani menggunakan 6 hingga 12 bibit per
lubang. Asumsi petani terhadap jumlah penanaman padi ini adalah semakin
banyaknya padi yang ditanam maka akan menghasilkan malai dan bulir yang
lebih banyak. Selain itu, dengan banyaknya batang yang ditanam maka dapat
mengantisipasi serangan hama. Kenyatannya, dengan menanam jumlah yang
banyak setiap lubang maka terjadi kompetisi hara dan matahari. Akibatnya padi
yang tumbuh tidak akan menghasilkan malai yang banyak bahkan anakan tidak
berkembang secara cepat. Dengan metode SRI penanaman bibit hanya 1 hingga 3
bibit per lubang maka proses pertumbuhan bibit akan cepat dan malai yang
dihasilkan pun lebih banyak.
4. Jarak Tanam
Jarak tanam yang umumnya diterapkan oleh petani adalah 20 x 20 cm
bahkan sebagian lainnya ada yang menanam dengan jarak 15 x 15 cm. Jarak
tanam yang rapat ini disebabkan adanya kekhawatiran petani terhadap lahan yang
sempit. Selain itu asumsi petani konvensional apabila menanam padi dengan jarak
tanam yang rapat bahkan sebagian tidak beraturan maka produksi yang dihasilkan
akan banyak dengan asumsi jumlah rumpun lebih banyak. Padahal, belum tentu
hanya dengan rumpun padi yang banyak akan menghasilkan bulir padi lebih
banyak. Praktiknya, dengan jarak tanam yang rapat menyebabkan lingkungan
sekitar rumpun gelap dan lembab. Hal ini tentu disukai hama seperti tikus dan
wereng. Selain itu, tanaman yang rapat berpotensi berkembang pesatnya jamur.
Metode SRI memberikan cara baru menanam dengan jarak yang lebih jarang yaitu
25 x 25 cm atau lebih. Jarak tanam yang renggang akan memaksimalkan
penyebaran cahaya matahari dan mempercepat tumbuh perakaran karena bidang
tanah untuk akar lebih luas.

10

Jarak tanam 25 cm

Jarak tanam 25 cm

Gambar 3. Jarak tanam dan tanam tunggal pada metode SRI


Sumber: Dinas Pertanian Provinsi Sumatera Barat (2008)
5. Penggunaan Pupuk Organik
Tanaman akan tumbuh dengan baik jika berada dalam lahan yang
memiliki kualitas baik. Lahan yang berkualitas baik adalah lahan yang memiliki
unsur hara mencukupi bagi tanaman, memiliki keanekaragaman mikroorganisme
yang mampu menjaga kesuburan tanah, dan terbebas dari pencemaran.
Penggunaan pupuk kimia dan pestisida (buatan pabrik) dalam jumlah yang tinggi,
terbukti telah memberikan dampak atas turunnya kualitas tanah. Untuk itu
diperlukan perbaikanperbaikan penggunaan bahan organik atau pupuk organik
sebagai syarat mutlak yang harus dilakukan dalam memperbaiki kualitas tanah
tersebut. Penggunaan bahan organik telah terbukti mampu memperbaiki struktur
tanah dan menyediakan unsur hara yang dibutuhkan bagi tanaman (Barkelaar
2001).
6. Pengaturan Air
Padi telah lama diyakini sebagai tanaman air. Sejumlah ahli menyatakan
bahw padi merupakan hasil evolusi dari tanaman moyang yang hidup di rawa.
Pendapat ini berdasarkan pada adanya tipe padi yang hidup di rawarawa (dapat
ditemukan di sejumlah tempat di Pulau Kalimantan).

Gambar 4. Pola pengaturan macak-macak pada metode SRI


Sumber: Dinas Pertanian Provinsi Sumatera Barat (2008)

11

Tanaman padi memang membutuhkan air pada sebagian tahap kehidupannya,


sehingga dalam praktik budidaya, tanaman padi selalu diupayakan dalam
genangan. Padi menyukai tanah yang lembab dan becek sebagai syarat tumbuh.
Untuk itu, tanaman padi sebenarnya tidak perlu air yang melimpah
(penggenangan), namun juga tidak dalam situasi tanah kering. Dengan demikian,
diperlukan pengaturan air dengan bijaksana. Dalam praktiknya, air yang
diperlukan adalah macakmacak (becek). Dengan pengaturan air yang baik, akan
terjaga aerasi tanah yang baik pula. Aerasi yang baik adalah syarat tumbuh yang
baik bagi tanaman padi. Jika sawah selalu digenangi air maka aerasi (siklus udara
dalam tanah) tidak maksimal sehingga tanah menjadi asam, tanaman menjadi
mengkrek (jawa; keasaman) yang akhirnya dibutuhkan pengapuran dan
pengeringan. Berikut disajikan pola pengaturan air dengan metode SRI:
Tabel 2 Pola pengaturan air metode SRI
Umur (hst)
Keadaan tanaman
0-7
Saat tanaman pindah
7-41
Anakan aktif sampai mejelang
anakan maksimum

Pengaturan air
Air macak-macak
Pemberian air berselang 5
hari digenangi maksimal
3 cm
41-90
Primordia, pembuangan,
Digenangi air maksimal 3
pengisian gabah hingga sepuluh
cm, paling tidak macakhari sebelum panen
macak
90-100
10 hari sebelum panen
Lahan dikeringkan
Sumber: Dinas Pertanian Provinsi Sumatera Barat (2008)

7. Pengendalian hama
Pengendalian hama dalam metode SRI harus menerapkan cara organik
dengan konsep PHT (Pengendalian Hama Terpadu) yaitu pada dasarnya menjaga
kesehatan tanaman mengendalikan hama dengan memperhatikan sisi ekonomi
serta melestarikan sumber daya hayati. Penggunaan pestisida harus dibatasi agar
tidak terjadi kekebalan hama.
8. Pengendalian gulma dengan metode organik
Pengendalian gulma dilakukan secara manual seperti wangkil dan landak
dengan cara dicabut menggunakan tangan merupakan cara yang bijak. Teknologi
PHT akan lebih efektif dengan menggunakan sistem jajar legowo karena padi
akan mendapatkan udara yang cukup dan memudahkan dalam perawatan
tanaman.
9. Pengendalian gulma 2 kali
Penyiangan pada metode SRI menganjurkan dengan menggunakan Gasrok
atau Lalandak sebanyak 2-3 kali. Tujuannya adalah untuk membersihkan gulma
dan memperbaiki struktur tanah serta meningkatkan aerasi tanah.

12

Penggunaan Teori Persepsi dan Adopsi Rogers


Beberapa peneliti seperti Putri (2011), Pamungkas (2013), dan Nurfitri
(2014) menggunakan teori Rogers dalam mengkaji persepsi dan adopsi petani
terhadap suatu inovasi. Putri (2011) menggunakan acuan tahapan proses adopsi
teori Rogers yaitu 5 tahapan pengambilan keputusan inovasi. Pengambilan
keputusan oleh petani, baik berupa penolakan maupun penerimaan suatu inovasi
tidak terlepas dari berbagai pertimbangan menguntungkan atau tidak
menguntungkan suatu teknologi bagi pengusahanya (petani). Terdapat beberapa
tahapan dalam proses pengambilan keputusan inovasi menurut Rogers (1983),
yaitu terdiri dari (1) knowledge, yaitu individu mulai mengenal adanya inovasi
dan memperoleh berbagai pengertian tentang bagaimana fungsi/kegunaan dari
inovasi tersebut; (2) persuasion, yaitu individu mulai membentuk sikap suka-tidak
suka terhadap inovasi; (3) decision, yaitu individu melakukan aktivitas yang akan
membawanya kepada pembuatan suatu pilihan untuk memutuskan menerima atau
menolak inovasi; (4) implementation, yaitu individu menggunakan inovasi yang
telah ia putuskan untuk digunakan; dan (5) confirmation, yaitu individu mencari
penguatan atas keputusan yang telah ia ambil, atau dapat menolak inovasi tersebut
apabila bertentangan dengan pengalaman sebelumnya.
Putri (2011) meneliti hubungan antara persepsi petani terhadap penerapan
padi organik yang dilihat dari lima aspek karakteristik inovasi. Adapun kelima
aspek persepsi tersebut meliputi aspek keuntungan relatif (relative advantage),
kesesuaian (compatibility), kerumitan (complexity), kemungkinan untuk dicoba
dalam skala yang lebih kecil (trialability), serta kemungkinan hasilnya dapat
diamati (observability). Pengkategorian persepsi dilihat dari dua kategori, yaitu
persepsi yang netral dan persepsi yang positif.
Hasil penelitian menunjukkan, sebesar 100 persen petani menilai bahwa
inovasi pertanian padi organik menguntungkan, sehingga tergolong ke dalam
tingkat persepsi petani yang positif. Sebagian besar para petani tergolong ke
dalam kategori tingkat persepsi terhadap karakteristik inovasi pertanian padi
organik yang positif dengan persentase sebesar 86 persen dan sebanyak 14 persen
petani lainnya tergolong ke dalam persepsi yang netral/sedang pada aspek
karakteristik kesesuaian (compatibility). Aspek kerumitan (complexity)
menunjukkan bahwa para petani di Kampung Ciburuy sebagian besar tergolong
ke dalam tingkat persepsi yang positif dengan persentase sebesar 95 persen dan 5
persen petani lainnya tergolong ke dalam tingkat persepsi yang netral tentang
karakteristik inovasi pertanian padi organik. Aspek karakteristik inovasi pertanian
padi organik pada kemungkinan untuk dicoba dalam skala kecil (trialability)
menunjukkan sebagian besar petani tergolong ke dalam tingkat persepsi yang
positif dengan persentase sebesar 95 persen dan 5 persen petani lainnya tergolong
ke dalam kategori persepsi yang netral/sedang tentang karakteristik inovasi
pertanian padi organik. Semua petani di Kampung Ciburuy tergolong ke dalam
kategori persepsi yang postif tentang karakteristik inovasi pertanian padi organik
dengan persentase sebesar 100 persen pada aspek kemungkinan hasilnya dapat
diamati (observability).
Teori Rogers digunakan oleh Pamungkas (2013) terkait hubungan antara
karakteristik inovasi terhadap tingkat adopsi metode SRI di Desa Purwasari
Bogor. Pamungkas (2013) menggunakan teori persepsi Rogers berdasarkan 5

13

aspek karakteristik inovasi sama halnya dengan penelitian Putri (2011). Setiap
prinsip dasar penerapan SRI dikaji berdaraskan karakteristik inovasi secara
deskriptif. Pengkategorian aspek karakteristik inovasi berdasarkan atas dua
kelompok yaitu aspek karakteristik tergolong rendah dan tinggi.
Selanjutnya, karakteristik inovasi dikorelasikan dengan tingkat adopsi
petani terhadap penerapan metode SRI. Berdasarkan penelitian, sebanyak 60
persen petani telah mengadopsi teknik satu bibit per rumpun. Dengan teknik SRI
ini produktivitas hasil usahatani meningkat 80 persen dan penggunaan pupuk
menurun hingga 33 persen. Sifat inovasi (keuntungan relatif, kesesuaian,
kompleksitas, triabilitas, dan observabilitas) berhubungan positif dengan
keputusan adopsi teknik satu bibit per rumpun. Hal tersebut menunjukan bahwa
petani di Desa Purwasari sudah berfikir secara rasional dalam mengadopsi inovasi
pertanian. Keputusan adopsi inovasi oleh petani didasarkan pada penilaian secara
obyektif dari sifat-sifat yang dimiliki inovasi.
Nurfitri (2014) mengkaji hubungan antara karakteristik petani terhadap
tingkat adopsi pada penerapan budidaya sayur organik di Desa Cikarawang
Bogor. Teori yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan pada teori Rogers
dan Shoemaker (1971) yang mengatakan bahwa karakteristik seseorang akan ikut
memengaruhi persepsi dan selanjutnya akan memengaruhi tindakan atau perilaku.
Karakterisitik personal menurut Rogers (1983) meliputi status sosial-ekonomi, ciri
kepribadian, dan perilaku komunikasi. Secara lebih rinci karakteristik personal
tersebut dijabarkan lagi ke dalam umur, pendidikan formal, pendidikan non formal,
jumlah keluarga, pengalaman berusahatani, usaha keluarga, penghasilan keluarga,
kekosmopolitan, partisipasi, kelembagaan masyarakat, partisipasi dalam kelompok,
dan kontak media. Karakteristik adopter diduga kuat memiliki hubungan dengan
persepsi seseorang dalam kaitannya dengan proses adopsi inovasi, menyangkut
pencaharian terhadap ide-ide baru. Nurfitri (2011) menduga terdapat tujuh
karakteristik petani yang berpengaruh terhadap tingkat adopsi petani yaitu umur,
pendidikan formal, luas penguasaan lahan, pengalaman usahatani, lama bermitra,
status pekerjaan, dan status lahan yang diusahakan. Hasil penelitian menunjukkan
terdapat dua karakteristik petani berpengaruh nyata terhadap penerapan budidaya
sayur organik yaitu tingkat pendidikan dan pengalaman usahatani.
Teori-teori Rogers yang digunakan oleh para peneliti tentang adopsi dan
inovasi merupakan proses adopsi yang terdiri dari tahapan-tahapan adopsi, teori
persepsi yang disebut sebagai lima karakteristik inovasi, dan keterkaitan antara
karakteristik adopter terhadap tingkat adopsi. Teori-teori ini kemudian
dikembangkan dalam sudut pandang yang berbeda untuk mengidentifikasi
permasalahan terkait adopsi inovasi.
Penelitian Adopsi dan Persepsi Masyarakat terhadap Metode SRI
Kajian tentang System of Rice Intensification (SRI) merupakan kajian yang
selalu menjadi trend topik untuk dibicarakan terbukti dengan banyaknya tulisan
jurnal yang membahas tentang SRI. Banyak penelitian yang mengkaji dan
meneliti tentang segala aspek terkait metode SRI. Kajian tersebut diantaranya
tingkat pendapatan, efesiensi metode SRI, keunggulan, dan tingkat penerimaan
masyarakat tertentu terhadap metode SRI.
Secara logis, salah satu penyebab petani akan menerapkan atau menerima
sebuah teknologi termasuk metode SRI adalah ketika teknologi tersebut

14

memberikan keuntungan lebih kepada petani. Dengan demikian, hal ini akan
memengaruhi persepsi dan adopsi petani terhadap teknologi tersebut. Penelitian
Kurniadiningsih dan Legowo (2011) tentang perbandingan keuntungan yang
diperoleh ketika seorang petani menerapkan metode SRI dengan metode
konvensional terlihat perbedaan penerimaan antara keduanya. Metode yang
digunakan adalah survei dan wawancara, dengan membandingkan hasil data
sebelum menggunakan SRI dan setelah menggunakan SRI di desa yang sama.
Berdasarkan analisis usahatani penggunaan biaya ternyata dengan menggunakan
metode SRI mengeluarkan biaya lebih banyak dibanding metode konvensional
yaitu Rp 4 160 000 dengan metode SRI dan Rp 3 825 000 untuk metode
konvensional. Hasil penerimaan usahatani dengan menggunakan metode SRI
pendapatan petani meningkat menjadi Rp 12 277 800 sedangkan dengan metode
konvensional penerimaan hanya sebesar Rp 7 342 200 per hektar per musim.
Kurniadiningsih dan Legowo (2011) juga menganalisis faktor eksternal
pendorong dalam percepatan adopsi metode SRI oleh petani. Data dianalisis
dengan metode kualitatif deskripsi. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh
beberapa hal yang menjadi kunci utama penerimaan petani untuk menerapkan
metode SRI. Adapun hal tersebut adalah sistem penyuluhan yang mudah
dimengerti petani, frekuensi penyuluhan yang intensif setiap minggu, lokakarya
petani yang dilakukan setiap dua bulan secara bergilir oleh petani sendiri di tiap
Koperasi Simpan Pinjam (KSP), dan orientasi pembelajaran petani yang
menekankan perubahan pola pikir dan perilaku yang ramah lingkungan.
Penelitian lain dijelaskan Richardson (2010) tentang kemampuan petanipetani Indonesia menerima metode SRI untuk diterapkan sebagai sebuah
terobosan baru dalam budidaya tanaman padi. Richardson menggunakan metode
kualitatif dalam mengolah dan menyajikan data hasil penelitian tentang adopsi
SRI di Jawa Timur. Berdasarkan hasil penelitian diketahui faktor-faktor eksternal
responden yang paling berpengaruh terhadap tingkat adopsi petani terhadap
metode SRI adalah peranan penyuluh. Petani diyakinkan untuk menerapkan
metode SRI oleh penyuluh pertanian yang mengerti tentang situasi petani di
Indonesia. Penyuluh mengajarkan petani di sekolah lapangan dalam bahasa yang
sederhana. Hal terpenting adalah petani merasa nyaman dan memercayai orang
yang mengajari mereka. Petani lebih mungkin mengubah metode penanaman padi
yang penuh dengan resiko, jika resiko untuk mencoba metode baru lebih rendah
atau jika dapat berbagi resiko pada kelompok petani. Oleh karena itu, petanipetani dan keluarganya sangat puas dengan metode SRI. Berdasarkan petani yang
diwawancarai, semuanya percaya bahwa prospek usahatani berhasil di masa
depan dengan metode SRI bahkan mereka ingin terus memakai metode SRI dan
melakukan lebih banyak dengan prinsip setiap tahun.
Penelitian lain terkait tingkat persepsi petani dan tingkat adopsi petani
terhadap penggunaan teknologi Varietas Unggul Baru (VUB) yang dilakukan oleh
Sugandi dan Astuti (2011). Penelitian ini dilakukan di tiga kabupaten yaitu
Kabupaten Rejang Lebong, Kabupaten Bengkulu Utara, dan Kabupaten Bengkulu
Tengah. Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara survei dengan
menyebar kuesioner. Sampel diambil berdasarkan target yang telah ditentukan
yaitu petani yang telah menerapkan teknologi VUB yaitu sebanyak 61 responden
di tiga kabupaten. Kuesioner persepsi disusun berdasarkan skala likert. Variabel
penyusun persepsi terhadap VUB adalah umur, tingkat pendidikan, pengalaman

15

usahatani, luas lahan, status kepemilikan lahan, dan status keanggotaan kelompok
tani. Sedangkan pertanyaan terhadap persepsi disusun berdasarkan atas 10
pernyataan terkait pendapat responden terhadap produktivitas VUB, keuntungan
yang dapat diperoleh, kemudahan teknis budaya, resiko kegagalan, kebiasaan,
kesesuaian agroekosistem, harga gabah, rasa nasi, dan kesesuaian permintaan
pasar. Untuk mengetahui hubungan tingkat adopsi dengan variabel bebas tersebut
Sugandi dan Astuti (2011) menggunakan analisis regresi logistik yang kemudian
diolah dengan software SPSS versi 17. Berdasarkan hasil penelitian, persepsi
petani terhadap VUB diolah secara deskriptif diperoleh 53 responden. Sebanyak
86.89 persen memiliki persepsi yang baik terhadap VUB, sedangkan yang lainnya
sebanyak 13.11 persen memiliki persepsi yang kurang baik. Selanjutnya, setelah
dilakukan pengolahan data dengan SPSS untuk melihat pengaruh variabel bebas
terhadap persepsi petani terhadap VUB. Berdasarkan enam variabel bebas yang
diasumsikan berpengaruh nyata terhadap persepsi petani hanya variabel
pengalaman berusahatani yang berpengaruh nyata terhadap usahatani dengan nilai
p-value 0.059 dan taraf nyata =10 persen sedangkan variabel lain berpengaruh
tidak nyata. Saat dilakukan uji likelihood secara keseluruhan variabel bebas
mampu menjelaskan ketepatan persepsi sebesar 33.9 persen sedangkan 66.10
persen dijelaskan oleh faktor lain.
Selanjutnya, minat adopsi petani terhadap penerapan teknologi VUB
dianalisis secara deskriptif. Berdasarkan hasil survei, dari 53 orang petani yang
memiliki persepsi baik terhadap VUB hanya 39 petani yang menggunakan VUB
di lahan sawah mereka. Kendala yang dihadapi petani adalah harga VUB yang
relatif masih mahal dan biaya produksi pupuk yang tinggi untuk menghasilkan
produktivitas yang tinggi.
Penelitian lainnya terkait pembahasan tingkat penerimaan petani terhadap
metode SRI adalah penelitian yang dilakukan oleh Ishak dan Afrizon (2011).
Penelitian ini dilakukan di Desa Bukit Peninjauan I Kecamatan Sukaraja
Kabupaten Seluma. Penelitian dilaksankan dari bulan Maret sampai bulan April
2011 dengan cara sensus terhadap 65 orang anggota Gapoktan Bumi. Secara garis
besar metode penelitian hampir sama dengan penelitian yang dilakukan oleh
Sugandi dan Astuti (2011). Perbedaannya, dalam menganalisis tingkat adopsi
petani terhadap metode SRI, Ishak dan Afrizon (2011) menggunakan metode
kuantitatif dengan mengkaji hubungan antara variabel bebas karakteristik petani
terhadap kemungkinan mengadopsi teknologi. Sedangkan untuk tingkat persepsi
menggunakan metode kualitatif dengan mendeskripsikan hasil wawancara saja
dan tidak memasukkan variabel pengalaman usahatani sebagai salah satu variabel
yang berpengaruh terhadap tingkat adopsi petani. Alat analisis yang digunakan
untuk mengetahui faktor yang berpengaruh terhadap tingkat adopsi masyarakat
adalah regresi logistik. Alat ini dinilai baik karena bertujuan untuk mengetahui
pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat yang akan diambil dua alternatif
hasil yaitu menerapkan sesuai anjuran atau tidak. Berdasarkan hasil penelitian,
diperoleh 100 persen petani memiliki persepsi yang baik terhadap penerapan
metode SRI. Sedangkan variabel bebas karakteristik internal petani terhadap
tingkat adopsi petani dipengaruhi oleh empat faktor yaitu umur, tingkat
pendidikan, luas lahan, dan besar pendapatan. Cara untuk mengetahui variabel
mana yang paling berpengaruh dengan menggunakan uji Wald. Berdasarkan hasil
analisis diperoleh tidak ada satu pun variabel bebas yang berpengaruh nyata

16

terhadap tingkat adopsi petani. Hasil perhitungan diperoleh bahwa nilai


Negelkerke R2 yang mampu menjelaskan variabel ketepatan adopsi sebesar 13.40
persen sedangkan sisanya sebesar 86.60 persen dijelaskan oleh faktor lain.
Berdasarkan penelitian ini terlihat bahwa faktor-faktor yang telah ditetapkan
sebenarnya tidak berpengaruh nyata terhadap penerimaan petani dalam penerapan
metode SRI.
Beberapa peneliti telah melakukan penelitian tentang penerapan metode
SRI baik terkait tingkat adopsi, keuntungan dan kerugian, bahkan analisis
usahatani. Secara keseluruhan menunjukkan penerapan metode SRI pada
hakikatnya menguntungkan petani hal ini dilihat dari jumlah pendapatan yang
diterima oleh petani. Selain itu, keuntungan dari metode ini dapat menghindari
lingkungan dari kerusakan karena dalam proses penerapan metode tidak
menggunakan bahan-bahan perusak lingkungan. Namun untuk tingkat adopsi,
berbagai penelitian menunjukkan hasil yang berbeda-beda. Tidak semua daerah
yang menerapkan sebagian penelitian menunjukkan hasil yang tinggi terkait
tingkat adopsi. Namun, pada kenyataannya masih banyak daerah yang belum
menerapkan metode SRI sebagaimana mestinya. Tingkat adopsi ini dipengaruhi
oleh faktor-faktor terutama karakteristik petani. Dengan demikian, setiap daerah
memiliki tingkat adopsi dan persepsi yang berbeda-beda terhadap penerapan SRI.

KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teoritis
Metode System of Rice Intensification
Teknik budidaya padi dengan metode SRI sebetulnya tidak memiliki
standar baku. Namun, berdasarkan pendapat para ahli seperti telah dijelaskan pada
bab sebelumnya terdapat beberapa prinsip dalam penerapan metode SRI. Adapun
prinsip tersebut dirangkum pada Tabel 3 sebagai berikut:
Tabel 3 Prinsip dasar penerapan metode SRI berdasarkan Dinas Pertanian
Provinsi Sumatera Barat
Prinsip Pelaksanaan
No
Keterangan
Metode SRI
1
Perendaman dengan air
Benih yang disemai adalah benih yang
garam
terendam oleh air garam
2
Umur benih
Umur benih yang akan dipindahkan ke lahan
sawah berkisar umur 5-15 hari
3
Jumlah bibit per lubang
Jumlah bibit perlubang 1 hingga 3 bibit
4
Jarak Tanam
Jarak tanam metode SRI 25x25 cm hingga
30x30 cm
5
Asupan pupuk
Pupuk yang digunakan adalah pupuk organik
6
Pengaturan air
Air pada penerapan metode SRI adalah air
macak-macak (becek; antara ada air dan tidak)
7
Pengendalian hama
Pengendalian hama dilakukan tanpa bahan

17

No

Prinsip Pelaksanaan
Metode SRI

Pengendalian gulma

Pengendalian gulma
sebanyak 2 kali

Keterangan
kimia, biasanya menggunakan musuh alami
Pengendalian gulma menggunakan tangan atau
kuil/gasrok
Pengendalian gulma dilakukan minimal
sebanyak 2 kali dari pemindahan benih hingga
panen

Persepsi dan Adopsi Inovasi


Suprapto dan Fahrianoor (2004) menyatakan bahwa adopsi, adalah
keputusan untuk menggunakan sepenuhnya ide baru sebagai cara bertindak yang
paling baik. Keputusan inovasi merupakan proses mental sejak seseorang
mengetahui adanya inovasi sampai mengambil keputusan untuk menerima atau
menolaknya kemudian mengukuhkannya. Adopsi petani terhadap suatu teknologi
pertanian sangat ditentukan oleh kebutuhan mereka terhadap teknologi tersebut
dan kesesuaian teknologi dengan kondisi biofisik dan sosial budaya. Oleh karena
itu, introduksi suatu inovasi teknologi baru harus disesuaikan dengan kondisi
spesifik lokasi.
Proses terjadinya adopsi tidak dapat berlangsung secara serta merta.
Terdapat proses dan tahapan dalam mencapai adopsi. Rogers (1983)
mengemukakan lima tahap proses adopsi yaitu:
1. Knowledge, yaitu individu mulai mengenal adanya inovasi dan
memperoleh berbagai pengertian tentang bagaimana fungsi/kegunaan dari
inovasi tersebut.
2. Persuasion, yaitu individu mulai membentuk sikap suka-tidak suka
terhadap inovasi.
3. Decision, yaitu individu melakukan aktivitas yang akan membawanya
kepada pembuatan suatu pilihan untuk memutuskan menerima atau
menolak inovasi.
4. Implementation, yaitu individu menggunakan inovasi yang telah ia
putuskan untuk digunakan.
5. Confirmation, yaitu individu mencari penguatan atas keputusan yang telah
ia ambil, atau dapat menolak inovasi tersebut apabila bertentangan dengan
pengalaman sebelumnya.
Lima tahap inovasi ini bukan merupakan pola kaku yang pasti diikuti oleh
petani, tetapi hanya untuk menunjukkan adanya lima urutan yang sering
ditemukan oleh peneliti maupun penyuluh. Peneliti menunjukkan perlunya waktu
yang lama antara saat pertama kali petani mendengar suatu inovasi dengan saat
melakukan adopsi.
Selanjutnya, Lionberger (1962) mengemukakan beberapa faktor yang
dapat memengaruhi kecepatan seseorang dalam mengadopsi suatu teknologi.
Adapun faktor-faktor tersebut yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor
internal terdiri atas umur dan tingkat pendidikan. Umur, kecenderungan usia tua
biasanya semakin lambat mengadopsi inovasi dan melakukan kegiatan-kegiatan
yang sudah biasa diterapkan oleh masyarakat. Tingkat pendidikan petani adalah
tingkat pendidikan formal yang pernah ditempuh petani sampai saat dilakukan

18

penelitian ini. Faktor eksternal terdiri atas metode penyuluhan dan peran
penyuluh. Metode penyuluhan adalah cara yang digunakan oleh penyuluh dalam
penyampaian pesan. Peran penyuluh adalah penyampai pesan dalam sebuah
program. Sedangkan, dalam penelitian yang dilakukan Ishak dan Afrizon (2011)
menambahkan faktor internal yang diduga memengaruhi tingkat adopsi petani
terhadap metode SRI yaitu luas penguasaan lahan dan tingkat pendapatan. Kedua
hal ini diduga memengaruhi tingkat adopsi petani terhadap penerapan metode
SRI.
Pengertian persepsi menurut Rahmat (2005) merupakan pengalaman
tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan
menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi ialah memberikan
makna pada stimuli inderawi (sensory stimuli). Persepsi diduga akan menentukan
masyarakat mengadopsi atau tidak suatu teknologi. Keberhasilan dari metode SRI
tidak terlepas dari penerimaan petani terhadap teknologi baru. Penerimaan
tersebut akan dapat berjalan dengan baik ketika persepsi masyarakat terhadap
suatu teknologi baik. Persepsi adalah cara seseorang menginterpretasikan atau
mengerti pesan yang telah diproses oleh sistem indrawi. Dengan kata lain,
persepsi adalah proses memberi makna pada sensasi. Proses persepsi didahului
oleh proses sensasi. Sensasi merupakan tahap awal dalam penerimaan informasi.
Sensasi berasal dari kata sense, yang artinya alat indera yang menghubungkan
organisme dengan lingkungannya. Sensasi adalah proses menangkap stimulus
melalui alat indra. Proses sensasi terjadi saat alat indera mengubah informasi
menjadi impuls saraf yang dimengerti oleh otak. Dengan melakukan persepsi,
manusia memperoleh pengetahuan baru. Persepsi mengubah sensasi menjadi
informasi (Mutmainnah 1997). Dengan kata lain persepsi dapat juga dikatakan
sebagai tanggapan terhadap perubahan yang terjadi pada lingkungan sehingga
memunculkan aksi tertentu. Jika dihubungkan dengan persepsi petani terhadap
metode SRI, maka secara harfiah dapat diartikan bahwa persepsi petani terhadap
metode SRI merupakan pandangan yang dimiliki petani dalam melihat manfaat
yang diperoleh dari penerapan metode SRI yang mereka lakukan.
Selanjutnya, menurut Lionberger (1962) terdapat lima atribut yang
mendukung penjelasan tingkat adopsi dari suatu inovasi, meliputi keuntungan
relatif, kecocokan, kompleksitas, triabilitas, dan observabilitas:
1. Keuntungan relatif, menjelaskan bahwa teknologi yang baru dapat
menciptakan sesuatu hal yang lebih menguntungkan jika dibandingkan
dengan teknologi yang lama. Dalam hal penerapan SRI keuntungan relatif
dapat dilihat dari efesiensi input dan output yang lebih tinggi dibandingkan
dengan metode konvensional.
2. Kecocokan, menjelaskan tingkat suatu inovasi dirasa konsisten dengan
nilai-nilai yang ada, pengalaman masa lalu, dan potensi kebutuhan
adopter. Penerapan metode SRI sangat ditentukan oleh faktor sosial,
budaya, dan politik setempat.
3. Kompleksitas, merupakan tingkatan suatu inovasi dirasa relatif sulit untuk
dipahami dan digunakan dengan kata lain tingkat kesukaran suatu
teknologi untuk diterapkan. Kecendrungan petani adalah menerapkan
metode penanaman padi yang mudah dan meninggalkan metode yang
sudah serta berbelit-belit.

19

4. Triabilitas, merupakan tingkatan suatu inovasi mungkin dicoba pada suatu


basis terbatas. Triabilitas penerapan metode SRI belum tentu sama antara
satu wilayah dengan wilayah lainnya. Hal ini disebabkan oleh faktor fisik
alam, budaya, dan politik setempat.
5. Observabilitas, adalah tingkat dimana hasil-hasil suatu inovasi dapat
dilihat oleh orang lain. Petani akan mengadopsi suatu teknologi jika
teknologi itu sudah pernah dicoba dan terbukti berhasil.
Tingkat adopsi petani terhadap metode SRI disebabkan berbagai faktor
salah satunya adalah faktor karakteristik petani. Faktor tersebut meliputi umur,
tingkat pendidikan, luas penguasaan lahan, tingkat pendapatan, dan pengalaman
usahatani. Umur, kecenderungan semakin tua usia biasanya semakin lambat
mengadopsi inovasi dan melakukan kegiatan-kegiatan yang sudah biasa
diterapkan oleh masyarakat. Tingkat pendidikan petani adalah tingkat pendidikan
formal yang pernah ditempuh petani sampai saat dilakukan penelitian. Semakin
tinggi tingkat pendidikan diduga akan semakin mudah seorang petani untuk
menerima teknologi baru karena dimungkinkan pola pikir petani akan semakin
terbuka. Sedangkan luas penguasaan lahan akan memengaruhi tingkat kemudahan
dalam penerapan SRI. Semakin luas lahan yang digunakan maka akan semakin
susah untuk menerapkan SRI. Dugaan ini muncul karena metode SRI
menggunakan pupuk organik dalam penerapannya yang dibutuhkan dalam jumlah
besar. Pengalaman usahatani juga diduga memengaruhi tingkat adopsi petani padi
terhadap penerapan metode SRI. Petani yang sudah berpengalaman akan lebih
mudah menerapkan metode SRI karena lebih mengetahui teknik-teknik dalam
budidaya padi sehingga dengan cepat dapat mempelajari gejala-gejala
perkembangan dan permasalahan budidaya padi.
Analisis Regresi Logistik
Regresi logistik adalah sebuah pendekatan model matematik yang dapat
digunakan untuk menggambarkan hubungan beberapa variabel independent (X)
dengan variabel dependent (Y) yang dikotomus/politomus (Kleinbaum & Klein
2002). Model analisis ini digunakan untuk pemodelan masalah yang
menggunakan variabel respon berupa kategorik dan dipengaruhi oleh lebih dari
satu variabel independent, yang mencapai ukuran metrik ataupun gabungan metrik
dan nonmetrik.
Model analisis regresi logistik diformulasikan sebagai berikut;
Pi =
Keterangan;
e
= bilangan natural = 2.71828
0
= intercept
1
= koefisien model
Pi
= peluang terjadinya Yi sukses
Xi
= veriabel independen X observasi ke-i
Model tersebut dapat ditransformasikan ke dalam bantuk nilai odds dan
model logit (pi), yang dimaksudkan untuk memudahkan proses dan interpretasi.
Nilai odds secara manual dapat dihitung dengan formula;
Nilai Odds =

20

Sedangkan untuk model logitnya dapat diformulasikan sebagai berikut;


Logit (pi ) = ln (

) = 1 + 2X1 + 2X2 + + iXi

Pengujian model regresi logistik dilakukan secara overall dan secara


parsial. Pengujian secara overall ditujukan untuk mengetahui apakah model
signifikan dapat menjelaskan variabel dependent, maka digunakan uji likelihood
sedangkan secara parsial ditujukan untuk mengetahui variabel independent yang
paling berpengaruh terhadap variabel dependent, maka digunakan uji Wald.
H0: i = 0 (variabel Xi tidak berpengaruh signifikan terhadap variabel respon)
H1: i 0 (variabel Xi berpengaruh signifikan terhadap variabel respon)
Statistik uji Wald di bawah ini digunakan untuk menguji hipotesa tersebut.
Wi =*

Keterangan;
bi
= Koefisien model dugaan untuk variabel independen Xi
SE Coef (bi) = Simpangan baku koefisien Xi
Statistik Wi menyebar mengikuti sebaran normal baku (Z). Pada output komputer
disajikan nilai P, P = Peluang (Z>Wi ). Apabila P < Z/2 maka disimpulkan
tolak H0 pada taraf nyata . Sebaliknya, apabila P Z/2 maka disimpulkan terima
H0 pada taraf nyata .
Uji likelihood ratio dilakukan melalui uji hipotesis, yang dinyatakan
sebagai berikut;
H0 : 1 = 2= 3 = 4 = 5 = 0 (model dugaan tidak signifikan)
H1 : minimal ada satu i 0 (model dugaan signifikan)
Untuk menguji hipotesa tersebut, digunakan statistik uji likelihood ratio sebagai
berikut:
G = -2ln (

Keterangan; ln adalah logaritma dengan basis bilangan natural (e).


Pada output SPSS disajikan nilai P, dimana P = Peluang (X2df = k > G).
Apabila P < atau G >X2(df = k)a maka disimpulkan tolak H0 pada taraf nyata .
Interpretasi model logistik dimaksudkan untuk mendeskripsikan seberapa
besar perubahan variabel respon jika ada perubahan pada variabel independent.
Nilai odds ratio digunakan untuk keperluan tersebut. Nilai odds ratio berkisar
antara nol hingga tak hingga. Adapun nilai odds ratio dapat dikategorikan
menjadi tiga kategori sebagai berikut:
a) Jika bi bertanda positif, maka odds ratio akan bernilai lebih dari satu, yang
artinya xi berpengaruh positif terhadap variabel respon sukses.
b) Jika bi bertanda negatif, maka odds ratio akan bernilai antara nol dan satu,
yang artinya xi berpengaruh negatif terhadap variabel respon sukses.
c) Jika bi bernilai nol, maka odds ratio akan bernilai satu, yang artinya xi
tidak berpengaruh terhadap variabel respon sukses.

21

Kerangka Pemikiran Operasional


Penelitian ini mengkaji tentang tingkat persepsi masyarakat terhadap
penerapan SRI pada budidaya padi. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa
persepsi dengan sendirinya akan memengaruhi tingkat adopsi masyarakat
terhadap penerapan suatu teknologi, maka pada penelitian ini juga akan meneliti
tentang tingkat adopsi masyarakat untuk menerapkan teknologi tersebut.
Persepsi terhadap SRI merupakan pandangan yang diperoleh terhadap
manfaat dari metode SRI (Ishak dan Afrizon 2011) sedangkan adopsi merupakan
penerapan suatu ide, alat-alat, dan teknologi baru melalui proses penyuluhan
(Mardikanto, Totok, dan Sutarni 1982). Kedua hal ini adalah sebuah kesatuan
yang saling berhubungan satu sama lain. Dalam penelitian ini, persepsi
masyarakat akan diukur secara kualitatif dengan menyebar kuesioner yang
disusun dengan pengukuran interval skala likert. Pada kuesioner ini, terdapat lima
kategori yang menjadi skala untuk mengetahui tingkat persepsi masyarakat
terhadap penerapan metode SRI. Lima skala tersebut meliputi sangat setuju,
setuju, ragu-ragu, tidak setuju, dan sangat tidak setuju. Persepsi petani dikatakan
baik jika dalam data ditemukan skor yang diperoleh responden lebih besar dari
kuartil III keseluruhan data, dan dikatakan tidak baik ketika skor responden lebih
kecil dari kuartil III.
Sedangkan untuk tingkat adopsi dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif.
Secara kualitatif akan dilakukan interpretasi terhadap hasil survei sedangkan
secara kuantitatif akan dikaji dengan regresi logistik faktor-faktor internal
karakteristik petani terhadap tingkat adopsi metode SRI. Tingkat adopsi petani
terhadap SRI dapat diketahui dengan memberikan pernyataan dan diberi tingkat
skala nilai variabel selalu, sering, kadang-kadang, jarang, dan tidak pernah.
Terdapat 5 variabel asumsi yang memengaruhi tingkat adopsi masyarakat, yaitu
tingkat pendidikan, lama pelatihan, usia, pengalaman usahatani, dan luas lahan.
Semua faktor ini selanjutnya akan dianalisis dengan menggunakan uji Wald untuk
mengetahui faktor yang paling dominan berpengaruh terhadap tingkat adopsi
masyarakat. Akhirnya, akan diketahui persepsi masyarakat, tingkat adopsi dan
pengaruh faktor karakteristik petani terhadap tingkat adopsi, pada metode SRI di
Desa Simarasok sehingga dapat memberikan saran dan masukan atas strategi
penerapan metode SRI.

22

Penerapan sistem penanaman padi dengan SRI di Desa Simarasok

Masalah: Sulitnya meyakinkan petani beralih ke metode SRI, adopsi


metode SRI rendah, tidak semua daerah mau menerapkan SRI

1. Bagaimana persepsi petani terhadap metode SRI?


2. Apakah metode SRI sudah diadopsi sesuai anjuran?
3. Apakah hal-hal yang memengaruhi tingkat adopsi masyarakat
Desa Simarasok terhadap metode SRI?

Interval dengan
skala likert (sangat
setuju, setuju, raguragu, tidak setuju,
sangat tidak setuju)
pembahasan
kualitatif deskriptif

Persepsi petani

Baik

Tidak baik

Tingkat adopsi petani terhadap metode SRI

Kualitatif

Kuantitatif

Deskripsi hasil penelitian

Regresi logistik

Data gambaran persepsi, tingkat adopsi, dan faktorfaktor (lama pelatihan, luas lahan, lama usahatani,
usia, tingkat pendidikan, persepsi) yang berkolerasi
terhadap penerapan SRI di Desa Simarasok

Saran kepada pemerintah terkait tingkat adopsi petani


terhadap penerapan metode SRI

Gambar 5 Bagan kerangka berpikir penelitian persepsi dan tingkat adopsi petani
terhadap metode SRI

23

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilakukan di Desa Simarasok, Kecamatan Baso, Kabupaten
Agam, Sumatera Barat. Waktu penelitian dilakukan selama empat minggu, mulai
dari 28 Maret hingga 28 April 2014.

Jenis dan Sumber Data


Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas data primer dan
data sekunder. Data primer diperoleh melalui survei dengan responden dan
pengamatan langsung ke daerah penelitian. Adapun data primer yang dibutuhkan
dalam penelitian ini adalah menjawab tentang persepsi masyarakat terhadap
metode SRI, tingkat adopsi masyarakat terhadap metode SRI, dan faktor-faktor
yang berkemungkinan berkolerasi terhadap tingkat adopsi metode SRI. Sedangkan
data sekunder dilakukan dengan studi literatur.

Populasi dan Sampel


Populasi dalam penelitian ini adalah semua petani padi yang menerapkan
metode SRI di Desa Simarasok, Kecamatan Baso, Kabupaten Agam, Sumatera
Barat. Adapun populasi setelah dilakukan pembatasan sebanyak 65 responden.
Selanjutnya, diambil sebanyak 35 sampel dengan metode purposive sampling 35
dengan kriteria telah menerapkan SRI lebih dari satu tahun, tergabung dalam
kelompok tani, dan sampai saat dilakukan wawancara masih menerapkan metode
SRI. Jumlah sampel sebanyak 35 sudah memenuhi syarat cukup untuk menyebar
normal.
Metode Pengolahan dan Alat Analisis Data
Analisis data dapat dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif. Metode
kualitatif dilakukan dengan pendekatan deskriptif hasil penelitian tanpa
melakukan generalisasi data. Metode ini dilakukan untuk memperoleh data dari
wawancara. Selain itu, metode ini dilakukan dengan menginterpretasikan hasil
wawancara tersebut secara deskriptif. Metode kuantitaif akan membahas dan
mengolah data kuantitatif yang diperoleh setelah melakukan penelitian.
Metode deskriptif menjelaskan hasil data likert yang diterapkan terkait
data persepsi dan tingkat adopsi petani terhadap metode SRI. Kuesioner disusun
berdasarkan skala interval dengan tipe likert. Variabel digali melalui beberapa
pernyataan yang mempunyai 5 alternatif jawaban yaitu:

24

Sangat setuju
= skor 4
Setuju
= skor 3
Ragu-ragu
= skor 2
Tidak setuju
= skor 1
Sangat tidak setuju = skor 0
Adapun interpretasi dari masing-masing skala di atas adalah sebagai
berikut:
Sangat setuju
= Jika responden sependapat dengan pernyataan,
selalu mengalami kejadian sesuai pernyataan,
dan tetap mau menerapkan metode SRI.
Setuju
= Jika responden sependapat dengan pernyataan,
namun tidak selalu mengalami kejadian sesuai
pernyataan, tetapi tetap mau menerapkan
metode SRI.
Ragu-ragu
= Jika responden sependapat dengan pernyataan,
namun tidak selalu mengalami kejadian sesuai
pernyataan, lebih cendrung tidak mengalami
kejadian sesuai pernyataan, tetapi tetap mau
menerapkannya.
Tidak setuju
= Jika responden tidak sependapat dengan
pernyataan, pernah mengalami kejadian sesuai
pernyataan, dan tidak mau mendukung dan
menerapkan metode SRI kedepannya.
Sangat tidak setuju
= Jika responden tidak sependapat dengan
pernyataan, tidak pernah mengalami kejadian
sesuai pernyataan, dan tidak mau mendukung
dan menerapkan metode SRI.
Tingkat persepsi petani dihitung berdasarkan skor total persepsi dari
karakteristik inovasi yang diturunkan dari teori Rogers. Adapun hasil turunan dari
karakteristik inovasi Rogers pada penerapan metode SRI yaitu menguntungkan
atau tidaknya SRI dari segi ekonomis, meningkat atau tidaknya hasil panen
dengan metode SRI, efesiensi modal dengan metode SRI, tingkat kerumitan
metode SRI, dan tingkat kecocokan SRI untuk diterapkan oleh petani. Skor setiap
karakteristik inovasi mengikuti skala likert dengan lima alterntif jawaban (sangat
setuju, setuju, ragu-ragu, tidak setuju, dan sangat tidak setuju) kemudian
dijumlahkan dan dikelompokkan berdasarkan asumsi sebagai berikut:
1. Persepsi petani baik terhadap SRI, diasumsikan ketika total skor responden >
skor kuartil III (QIII).
2. Persepsi petani tidak baik terhadap SRI, diasumsikan ketika total skor
responden skor kuartil III (QIII).
Pengelompokkan persepsi petani terhadap penerapan metode SRI di Desa
Simarasok menggunakan analisis pemusatan kuartil III (QIII). Nilai QIII
merupakan nilai kuartil dari total skor maksimal untuk 5 pernyataan karakteristik
inovasi yaitu sebesar 20. Dengan demikian nilai QIII diperoleh sebesar 15.
Suprapto dan Fahrianoor (2004) menyatakan bahwa adopsi merupakan
keputusan untuk menggunakan sepenuhnya ide baru sebagai cara bertindak yang
paling baik. Skor variabel adopsi petani terhadap metode SRI akan diperoleh

25

melalui beberapa pernyataan yang diberi nilai dengan 5 tingkatan berdasarkan


penerapan komponen SRI, yaitu:
Selalu
= skor 4
Sering
= skor 3
Kadang-kadang
= skor 2
Jarang
= skor 1
Tidak pernah
= skor 0
Adapun interpretasi dari skala di atas adalah sebagai berikut:
Selalu
= Jika responden menerapkan sesuai pernyataan
setiap masa panen padi.
Sering
= Jika responden menerapkan minimal kali dari
total budidaya padi sesuai pernyataan selama
menerapkan metode SRI.
Kadang-kadang
= Jika responden menerapkan minimal kali dari
total selama budidaya padi sesuai pernyataan
selama menerapkan metode SRI.
Jarang
= Jika responden menerapkan minimal kali dari
total selama budidaya padi sesuai pernyataan
selama menerapkan metode SRI.
Tidak pernah
= Jika responden tidak menerapkan sama sekali
sesuai pernyataan.
Tingkat adopsi petani dihitung berdasarkan total skor penerapan setiap
prinsip dasar metode SRI. Berdasarkan prinsip dasar SRI, petani memilih skala
penerapan yang sesuai dengan kondisi petani bersangkutan yang terdiri atas skala
selalu, sering, kadang-kadang, jarang, dan tidak pernah. Pengelompokkan skala
ini berdasarkan kepada interpretasi skala dengan asumsi jumlah panen setiap
tahun sebanyak tiga kali panen. Adapun prinsip metode SRI meluputi:
1. Perendaman dengan air garam
2. Bibit dipindah pada umur muda kisaran 10 hingga 15 hari
3. Tanam tunggal (1-3 bibit satu lubang tanam)
4. Jarak tanam lebar ( 25-30 cm)
5. Penggunaan Pupuk Organik
6. Pengaturan air
7. Pengendalian hama
8. Pengendalian gulma dengan metode organik
9. Pengendalian gulma sebanyak dua kali
Jumlah skor dari responden dikategorikan menjadi 2 kelompok yaitu
adopsi sesuai dengan anjuran dan adopsi yang tidak sesuai dengan anjuran.
Berbeda dengan metode yang digunakan oleh Ishak dan Afrizon (2011), pada
penelitian ini pengelompokkan didasarkan atas skor kuartil III data responden
dengan pertimbangan dan asumi bahwa kuartil III dapat menjelaskan data dengan
krtieria lebih baik dibandingkan dengan penggunaan median, sehingga
pengelompokkannya sebagai berikut:
1. Adopsi petani terhadap penerapan metode SRI sesuai anjuran, diasumsikan
ketika total skor responden > skor kuartil III (QIII).
2. Adopsi petani terhadap penerapan metode SRI tidak sesuai anjuran,
diasumsikan ketika total skor responden skor kuartil III (QIII).

26

Nilai QIII diperoleh dari total skor maksimal yaitu 36 sehingga diperoleh QIII
sebesar 27. Nilai QIII (27) digunakan dalam asumsi tingkat adopsi metode SRI.
Selanjutnya untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi petani
untuk mengadopsi SRI digunakan metode kuantitatif. Alat analisis yang
digunakan untuk mengetahui hubungan variabel tidak bebas (Y) yaitu adopsi
petani terhadap metode SRI dan empat asumsi variabel bebas yang merupakan
karakteristik pribadi dari responden, yaitu lama pelatihan (X1), luas lahan (X2),
lama usahatani (X3), usia (X4), tingkat pendidikan (X5), dan persepsi (X6) adalah
regresi logistik dengan tools pengolahan data menggunakan software SPSS 2010.
Rancangan model yang akan terbentuk adalah;
Yi= Ln (
Keterangan:
Yi

X1
X2
X3
X4
X5
X6
1 , 2, 3, 4, 5,
6

:
:
:
:
:
:
:

Peluang adopsi (1 = sesuai dengan anjuran;


0 = tidak sesuai anjuran)
lama pelatihan (tahun)
luas lahan (ha)
lama usahatani (ha)
usia (tahun)
tingkat pendidikan (tahun)
Persepsi (1= baik, 2=tidak baik)
parameter dugaan (koefisien)

Selanjutnya untuk melakukan pengujian parameter secara parsial dan


overall dan memeriksa peranan koefisien regresi antara setiap variabel bebas
terhadap variabel terikat (tingkat adopsi petani) maka akan digunakan uji Wald
dan uji likelihood ratio yang diolah menggunakan SPSS 2010. Secara teoritis
penghitungan manual, hipotesis yang akan digunakan dalam uji Wald;
H0: i = 0 (variabel Xi tidak berpengaruh signifikan terhadap variabel respon)
H1 : i 0 (variabel Xi berpengaruh signifikan terhadap variabel respon)
Statistik uji Wald di bawah ini, digunakan untuk menguji hipotesa
tersebut.
Wi =*
+
Keterangan:
bi
= Koefisien model dugaan untuk variabel independen Xi
SE Coef (bi) = Simpangan baku koefisien Xi
Statistik Wi menyebar mengikuti sebaran normal baku (Z). Pada output komputer
disajikan nilai P, P = Peluang (Z>Wi ). Apabila P < Z/2 maka disimpulkan
tolak H0 pada taraf nyata . Sebaliknya, apabila P Z/2 maka disimpulkan terima
H0 pada taraf nyata .
Uji likelihood ratio dilakukan melalui uji hipotesis, yang dinyatakan
sebagai berikut;
H0 : 1 = 2= 3 = 4 = 5 = 6 = 0 (model dugaan tidak signifikan)
H1 : minimal ada satu i 0 (model dugaan signifikan)

27

Untuk menguji hipotesa tersebut, digunakan statistik uji likelihood ratio sebagai
berikut:
G = -2ln (
)
Keterangan; ln adalah logaritma dengan basis bilangan natural (e). Pada output
SPSS tersaji nilai P, P = Peluang (X2df = k > G). Apabila P < atau G >X2(df = k)a
maka disimpulkan tolak H0 pada taraf nyata .

GAMBARAN UMUM DESA SIMARASOK


Lokasi dan Kondisi Geografis Desa Simarasok
Desa Simarasok terbagi ke dalam 4 wilayah bagian yang disebut Jorong.
Adapun keempat Jorong tersebut yaitu Jorong Sungai Angek, Jorong Koto Tuo,
Jorong Kampeh, dan Jorong Simarasok. Keempat jorong ini terbagi lagi menjadi 2
wilayah binaan pertanian. Jorong Sungai Angek dan Jorong Koto Tuo merupakan
daerah binaan Simarasok I, sedangkan Jorong Kampeh dan Jorong Simarasok
termasuk ke dalam daerah binaan Simarasok II. Luas wilayah Simarasok adalah
16.52 km2 sedangkan luas Kecamatan Baso adalah 70.30 km2 atau luas Desa
Simarasok 23.49 persen luas total Kecamatan Baso. Berikut disajikan peta
Kecamatan Baso:

Desa Simarasok
(Lokasi Penelitian)

Gambar 6 Peta Kecamatan Baso

28

Adapun batas wilayah Desa Simarasok, sebelah utara berbatasan dengan


Desa Tabek Panjang, sebelah Timur Berbatasan dengan Desa Padang Tarok,
sebelah selatan berbatasan dengan Desa Tabek Panjang, dan sebelah barat
berbatasan dengan Desa Salo. Jarak tempuh Desa Simarasok ke Ibu Kota Provinsi
(Padang) adalah 104 km, jarak ke Ibu Kota Kabupaten (Lubuk Basung) 80 km,
dan jarak ke Ibu Kota Kecamatan (Baso) 3 km.
Bentuk tanah yang terdapat di Desa Simarasok adalah merah, kuning,
hitam dengan jenis tanah latosol dan andosol, pH tanah berkisar antara 57
terletak pada ketinggian 700800 mdpl dengan kelembaban yang tinggi. Suhu
berkisar antara 1920 C dengan penyinaran rata-rata per hari 6 8 jam. Curah
hujan rata-rata per tahun 3 185 mm dan rata-rata hari hujan 266 hari.
Keadaan Penduduk dan Mata Pencaharian
Berdasarkan data yang diperoleh dari Kantor Unit Pelayanan Pertanian
Kecamatan Baso, jumlah masyarakat Desa Simarasok adalah sebanyak 6 393
orang dengan penyebarannya dapat dilihat pada Tabel 4. Berdasarkan Tabel 4,
terlihat jumlah laki-laki secara keseluruhan lebih banyak dibandingkan dengan
jumlah perempuan yaitu sebanyak 3 243 orang sedangkan perempuan berjumlah
3 150 orang. Hal ini memungkinkan kecenderungan masyarakat untuk melakukan
usahatani, karena sebagian besar desa seperti di daerah Sumatera Barat, petani
didominasi oleh laki-laki. Jumlah laki-laki terbanyak terdapat di Jorong Sungai
Angek yaitu sebanyak 990 orang. Ini menandakan di daerah sungai angek jumlah
petani pun lebih banyak dibandingkan dengan jorong lain. Sedangkan jumlah
laki-laki paling sedikit adalah di Jorong Koto Tuo yaitu sejumlah 655 orang. Hal
ini mengindikasikan jumlah petani pun lebih sedikit di daerah ini.
Tabel 4 Data jumlah penduduk wilayah Desa Simarasok
Jorong
Laki-Laki
Perempuan
Jumlah
Sungai Angek
990
863
1 853
Koto Tuo
655
772
1 427
Simarasok
823
793
1 616
Kampeh
775
722
1 497
Jumlah
3 243
3 150
6 393
Sumber: Unit Pelayanan Pertanian Kecamatan Baso (2014)

Jumlah KK
376
345
312
336
1 369

Selain sebaran jenis kelamin, sebaran umur penduduk desa juga


memengaruhi petani di Desa Simarasok. Berdasarkan Gambar 7, sebaran umur
masyarakat Desa Simarasok didominasi oleh kisaran umur 25-45 tahun yang
merupakan umur produktif yaitu sejumlah 2 010 orang. Selanjutnya, diikuti oleh
kisaran umur 13-24 tahun yang dikategorikan sebagai remaja yaitu sejumlah
1 244 orang. Jumlah ini hampir sama dengan penduduk dengan kisaran umur 0-12
tahun yaitu sejumlah 1 115 orang. Sedangkan jumlah penduduk dengan kisaran
umur paling sedikit pada usia diatas 60 tahun sejumlah 824 orang dan diikuti oleh
penduduk dengan kisaran umur 46-60 tahun sejumlah 1200 orang. Jumlah
penduduk ini mengindikasikan sebagaian besar penduduk Simarasok masih dalam

29

usia produktif. Pelaku usahatani di Desa Siamrasok tidak hanya pada usia 25-45
tahun akan tetapi juga pada usia 46-60 tahun, bahkan diatas usia 60 tahun
penduduk Desa Simarasok masih melakukan usahatani.
2500
2010
2000

Jumlah
(orang)

1500
1115

1244

1200

1000

824

500
0
0-12

13-24
25-45
46-60
Kategori Umur (tahun)

>60

Gambar 7 Sebaran umur penduduk Desa Simarasok


Sumber: Unit Pelayanan Pertanian
Kecamatan Baso (2014)
Pekerjaan utama dari masyarakat Desa Simarasok adalah usahatani. Dari
total 1 771 masyarakat angkatan kerja terdapat sebanyak 1 570 yang bekerja
sebagai petani dan hanya 207 bekerja non petani. Berikut dijelaskan rincian
perbandingan jumlah penduduk yang memiliki mata pencaharian sebagai petani
dan non petani. Berdasarkan Tabel 5, sebagian besar penduduk bermata
pencaharian sebagai petani. Jumlah petani terbanyak terdapat di Jorong Koto Tuo
yaitu sebanyak 445 orang sedangkan jumlah paling sedikit di Jorong Simarasok
yaitu 348. Hal ini dikarenakan di Koto Tuo lahan pertanian lebih luas
dibandingkan dengan jorong lainnya di Desa Simarasok sehingga petani bisa
memanfaatkan lahan tersebut sebagai lahan pertanian. Sedangkan lahan petani
paling sedikit terdapat pada Jorong Simarasok. Hal ini dikarenakan lahan
pertanian yang relatif lebih sempit dibandingkan jorong lainnya.
Tabel 5 Data jumlah penduduk berdasarkan mata pencaharian (petani dan non
petani) wilayah Desa Simarasok
Jorong
Petani
Non Petani
Sungai Angek
364
120
Koto Tuo
445
26
Simarasok
348
27
Kampeh
413
34
Sumber: Unit Pelayanan Pertanian Kecamatan Baso (2014)

Jumlah
484
471
375
447

Desa Simarasok sebagai daerah dengan mata pencaharian utama sebagai petani
memiliki keberagaman penggunaan lahan. Masyarakat menggunakan lahan utama
sebagai sawah dan sebagian lainnya mamanfaatkan pertanian di lahan kering.

30

Berdasarkan Tabel 6 diketahui sebagian besar lahan sawah merupakan jenis lahan tadah
hujan yaitu mencapai 195 ha, sedangkan jenis sawah teknis mencapai 22 ha dan lahan
sederhana seluas 28 ha. Lahan tadah hujan merupakan lahan dengan sumber pengairan
utama berasal dari air hujan. Pada penerapan metode SRI sawah tadah hujan
menyebabkan tingkat kesulitan penerapan metode SRI semakin tinggi. Hal ini
dikarenakan petani mengalami kesulitan dalam mengontrol air sawah. Ketika musim
hujan air sawah akan melimpah, sedangkan ketika musim kemarau air sawah akan
habis. Sawah teknis adalah sawah dengan sumber pengairan dengan irigasi yang telah
tertata dengan baik. Sumber air teknis memiliki sarana yang lengkap dan sumber
pengairan yang tidak akan pernah habis. Pengairan selalu ada sepanjang tahun. Sawah
jenis ini memudahkan petani untuk melakukan pengontrolan air. Sawah sederhana
merupakan sawah dengan sumber air berasal dari air sungai tanpa fasilitas irigasi yang
lengkap. Sumber pengairan jenis ini hampir sama dengan sawah teknis hanya saja
fasilitas irigasi pada sawah sederhana tidak memadai seperti sawah teknis.
Perbedaannya adalah sawah sederhana masih tergantung kepada musim, jika musim
hujan terus-menerus maka air tidak akan dapat dikontrol sehingga air akan melimpah
dan tidak dapat dikontrol. Hal ini akan menyulitkan petani menerapakan metode SRI.
Tabel 6 Data luas penggunaan lahan usahatani wilayah Desa Simarasok
Sawah (Ha)
Lahan Kering
Jorong
b
c
d
e
f
T
S
TH
Jmlh Pkr
Tg
Klg HRh HNi
Sungai Angek
5
7
48
60
5.5
13
5
44
0
Koto Tuo
6
7
51
64
5.0
21
3
64
0
Simarasok
5
7
48
60
5.5
13
5
44
0
Kampeh
6
7
51
64
5.0
21
3
64
0
Jumlah
22
28 195
296
21.0
68 16 216
0
Sumber: Unit Pelayanan Pertanian Kecamatan Baso (2014)
Keterangan:
b
f
Teknis
Tegalan
c
g
Sederhana
Kolam
d
h
Tadah Hujan
Hutan Rakyat
e
i
Pekarangan
Hutan Negara

Jmlh
67.5
93.0
67.5
93.0
321.0

Karakteristik Responden
Usia
Usia diduga memengaruhi tingkat adopsi metode SRI. Semakin tinggi usia
seseorang diduga akan semakin banyak pengalaman orang tersebut sehingga
kecendrungan untuk mengadopsi suatu teknologi akan lebih tinggi. Hal ini juga
disebabkan oleh tingkat pengalaman hidup yang semakin tinggi akan membuat
daya penerimaan seseorang akan lebih besar dikarenakan pengetahuan tentang
suatu hal yang baru semakin banyak. Pengalaman hidup dapat menjadikan petani
memiliki cara pandang dan pertimbangan yang lebih baik dibanding mereka yang
kurang berpengalaman.
Karakteristik usia dalam penelitian ini dikelompokkan kedalam lima
kategori usia sesuai dengan tertulis pada Tabel 7. Berdasarkan Tabel 7, usia
responden pada umumnya berkisar pada rentang 40-49 tahun yaitu sebesar 34.3

31

persen, selanjutnya diikuti oleh usia responden yang lebih dari 60 tahun yaitu
sebesar 31.4 persen. Sedangkan usia responden paling sedikit adalah usia 25-29
tahun yaitu sebanyak 1 orang atau 2.9 persen dari total 35 responden.
Tabel 7 Penyebaran kategori usia pada responden
Kategori Usia (tahun)
Jumlah (orang)
25-29
1
30-39
4
40-49
12
50-59
7
60
11
Total
35

Persentase (persen)
2.9
11.4
34.3
20.0
31.4
100.0

Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan diduga memengaruhi tingkat adopsi petani terhadap
metode SRI. Diduga semakin tinggi tingkat pendidikan responden maka tingkat
penerimaan petani terhadap suatu teknologi juga akan semakin tinggi. Hal ini
diduga karena petani yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi dapat
menganalisis secara ilmiah kebenaran suatu teknologi dengan benar. Sehingga,
ketika dihadapkan pada teknologi baru dengan penjelasan yang ilmiah petani
dapat menimbang dan menalar dengan baik dan jelas.
Berdasarkan Tabel 8, tingkat pendidikan dibagi ke dalam 4 golongan yaitu
berdasarkan tahun yang terdiri dari tingkat pendidikan SD, SMP, SMA, dan D3.
Berdasarkan sebaran data pada umumnya responden cendrung memiliki tingkat
pendidikanSekolah Dasar (SD) yaitu sebesar 48.6 persen, selanjutnya tingkat
Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) yaitu sebesar 31.4 persen.
Tabel 8 Penyebaran 4 kategori lama pendidikan pada responden
Tingkat Lama Pendidikan
Jumlah (orang)
Persentase ( persen)
SD
17
48.6
SMP
6
17.1
SMA
11
31.4
D3
1
2.9
Total
35
100.0
Pelatihan
Pelatihan yang dimaksudkan berupa penyuluhan dan sekolah lapang yang
diterima petani dari Dinas Pertanian Kecamatan Baso. Petani yang menerima
pelatihan tentu akan memiliki pengalaman, motivasi, dan pengetahuan yang
berbeda jika dibandingkan dengan petani yang tidak pernah mendapatkan
pelatihan. Berdasarkan Tabel 9, semua petani responden telah menerima
pelatihan. Lama pelatihan yang diterima kisaran dari 1 hingga 10 tahun. Lama
pelatihan dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu lama pelatihan rendah ( 3
tahun), sedang (4-7 tahun), dan tinggi (8-10 tahun). Berdasarkan data, sebagian
besar responden berada pada kategori sedang dalam hal lama pelatihan yaitu
sebesar 51.4 persen dan hanya 5.7 persen yang berada pada kategori tinggi dalam
lama pelatihan. Pelatihan diduga akan memengaruhi tingkat adopsi petani

32

terhadap penerapan metode SRI dikarenakan dengan adanya pelatihan akan ada
penyampaian informasi dan pencerdasan kepada masyarakat.
Tabel 9 Penyebaran kategori lama pelatihan pertanian yang diterima responden
Lama Pelatihan (Tahun)
Jumlah (orang)
Persentase ( persen)
Rendah ( 3)
15
42.9
Sedang (4-7)
18
51.4
Tinggi (8-10)
2
5.7
Total
35
100.0
Pengalaman sebagai Petani
Pengalaman petani diduga memengaruhi tingkat adopsi petani terhadap
penerapan metode SRI. Semakin lama pengalaman usahatani maka akan semakin
mudah petani menerapkan cara-cara budidaya dengan metode SRI. Pengalaman
usahatani dikelompokkan menjadi 3 kelompok yaitu pengalaman 1-17 tahun
kebawah, pengalaman antara 18-34 tahun, dan pengalaman 35-50 tahun.
Berdasarkan Tabel 10, diketahui jumlah petani yang memiliki pengalaman
terbanyak berada pada kisaran 1-17 tahun ke bawah yaitu sebesar 40.0 persen
sedangkan paling sedikit pada kisaran pengalaman 18-34 tahun yaitu sebesar 25.7
persen. Hal ini menunjukkan responden yang diambil cukup beragam yang berarti
petani yang diteliti pun cukup beragam. Secara garis besar 3 responden yang
diambil menyebar secara rata tiap karakteristik pengalaman usahataninya tidak
jauh berbeda antara satu dengan yang lainnya. Namun, di sisi lain hasil ini
menunjukkan petani didominasi oleh golongan remaja dan golongan tua.
Tabel 10 Penyebaran kategori lama pengalaman usahatani responden
Kategori Lama Pengalaman Usahatani
Jumlah (orang)
Persentase
(persen)
1-17 tahun
14
40.0
18-34 tahun
9
25.7
35-50 tahun
12
34.3
Total
35
100.0
Luas Lahan Usahatani
Luas lahan diduga memengarui tingkat adopsi petani terhadap penerapan
metode SRI. Semakain luas lahan usahatani maka akan semakin sulit untuk
mengerjakannya, sehingga kemungkinan melakukan budidaya dengan metode SRI
juga akan kecil. Dalam penelitian ini, luas lahan responden dikelompokan menjadi
3 kategori. Berdasarkan Tabel 11, dapat diketahui sebagian besar responden
memiliki lahan seluas dibawah 0.23 ha yaitu sebanyak 48.6 persen. ini
menunjukkan karaktersitik petani yang masih tradisional dan menerapkan usaha
tani berskala gurem. Selanjutnya, hanya terdapat 8.5 persen petani yang memiliki
sawah diantara 0.46-0.68 ha. Hal ini menunjukkan kemungkinan petani untuk
menerapkan metode SRI sangat tinggi karena sebagian besar lahan yang dimiliki
petani lebih kecil dari 0.25 ha dengan asumsi semakin sempit lahan maka tingkat
adopsi petani terhadap penerapan metode SRI akan semakin tinggi karena akan
semakin mudah dalam implementasinya.

33

Tabel 11 Penyebaran kategori luas lahan responden


Kategori Luas Lahan
Jumlah (orang)
Sempit (0.23) ha
17
Sedang (0.24-0.46) ha
15
Luas (0.46-0.68) ha
3
Total
35

Persentase ( persen)
48.6
42.9
8.5
100.0

HASIL DAN PEMBAHASAN


Ada 2 kriteria utama yang menjadi hasil bahasan pada penelitian ini.
Pertama, hasil mengenai persepsi petani terhadap penerapan metode SRI dengan
atribut yang digunakan berupa pertanyaan mengenai menguntungkan atau
tidaknya metode SRI, perbedaan hasil panen konvensional dan SRI, tingkat
penggunaan modal metode SRI, kerumitan penerapannya, dan aspek keramahan
terhadap lingkungan. Petani responden memberikan pandangan dan pengalaman
secara subyektif yang didasari pada pengalaman untuk memberikan keterangan
mengenai penelitian ini. Kedua, tingkat adopsi petani terhadap penerapan metode
SRI dengan atribut yang digunakan adalah Standar Operasional Pelaksanaan
(SOP) dasar pada metode SRI. Terdapat sembilan SOP yang menjadi acuan dalam
penererapan SRI meliputi seleksi benih dengan air garam, umur pemindahan bibit
dari persemaian, jumlah penanaman bibit, jarak tanam, penggunaan pupuk
organik, pengaturan air yang macak-macak, pengendalian hama, pengendalian
gulma, serta pengendalian gulma sebanyak dua kali. Hasil dari tingkat adopsi ini
akan menggambarkan tingkat penerapan metode SRI pada petani.

Persepsi terhadap SRI


Persepsi petani menggambarkan pandangan responden terhadap penerapan
metode SRI. Terdapat 5 kategori yang menjadi atribut dalam penelitian yang
diambil berdasarkan perihal perihal yang menjadi pembeda antara metode
konvensional dan metode SRI. Adapun atribut itu dilihat dari segi keuntungan
secara finansial, hasil panen, modal, kerumitan dalam penerapan, dan dampak
terhadap lingkungan.
Berdasarkan Tabel 12 terdapat 42.9 persen responden yang memiliki
persepsi baik terhadap penerapan SRI sisanya sebesar 57.1 persen responden
memiliki persepsi tidak baik terhadap penerapan metode SRI. Hasil ini
menunjukkan bahwa persepsi dominan terhadap penerapan metode SRI adalah
persepsi tidak baik. Hal ini disebabkan karena manfaat dan perbedaan hasil yang
diperoleh dari petani belum sesuai dengan harapan petani sehingga hasil
menunjukkan kecenderungan petani menganggap metode SRI bukanlah metode
yang baik.

34

Tabel 12 Persentase tingkat persepsi petani terhadap penerapan metode SRI


Frekuensi
Persentase (persen)
Tidak Baik
20
57.1
Baik
15
42.9
Total
35
100.0
Berdasarkan lima aspek parameter persepsi, terdapat empat aspek yang
menggambarkan tingkat persepsi masyarakat dinilai baik terhadap penerapan
metode SRI. Aspek tersebut meliputi keuntungan, tingkat penggunaan modal, dan
keramahan terhadap lingkungan/keterimaan lingkungan sedangkan aspek
kerumitan menggambarkan persepsi masyarakat yang tidak baik terhadap
penerapan metode SRI. Perhitungan aspek ini dilakukan dengan melakukan
penjumlahan skor terhadap masing masing responden. Skor setiap responden yang
telah dijumlah lalu dibandingkan dengan batas kuartil III (QIII) (Cara perhitungan
lihat di Lampiran 2).
Masyarakat menganggap penerapan metode SRI merupakan metode yang
berbelit-belit dan susah untuk diterapkan. Sebelum menerapkan metode SRI
petani telah terbiasa dan nyaman dengan penerapan metode lama. Berdasarkan
segi keprakstisan dan kemudahan dalam penerapan, metode lama dinilai lebih
mudah dan tidak membutuhkan pengawasan yang tinggi. Contohnya, petani tidak
perlu mengawasi tanaman padi secara intensif dari gangguan hama seperti pada
metode SRI. Sehingga, lebih memudahkan petani dalam pelaksanaannya.

Adopsi terhadap Metode SRI


Tingkat adopsi petani yang telah dibahas adalah mengkaji tingkat
penerapan petani terhadap metode-metode dasar dalam metode SRI. Berdasarkan
skor kuartil III, terdapat 48.6 persen responden yang telah menerapkan metode
SRI sesuai dengan pedoman SRI dan terdapat 51.4 persen petani yang tidak
menerapkan sesuai dengan anjuran (Cara perhitungan lihat di Lampiran 3).
Berikut tabulasi tingkat adopsi petani terhadap metode SRI:
Tabel 13 Tingkat adopsi responden terhadap penerapan metode SRI
Adopsi Terhadap Metode SRI
Jumlah (orang)
Persentase (persen)
tidak sesuai anjuran
18
51.4
sesuai anjuran
17
48.6
Total
35
100.0
Tingkat adopsi petani menggambarkan intensitas petani menerapkan
metode SRI sesuai anjuran. Pada kenyataannya, meskipun petani telah
menyatakan telah menerapkan metode SRI tidak semua petani menerapkan sesuai
anjuran. Maka, pada atribut atribut berikut akan digambarkan tingkat adopsi
metode SRI tersebut.
Seleksi Benih
Atribut ini menggambarkan tingkat intensitas petani menerapkan metode
seleksi dengan melakukan perendaman air garam. Perendaman air garam

35

bertujuan untuk menyeleksi benih yang bernas (berisi), benih yang tidak bernas
akan terapung sedangkan benih yang bernas akan tenggelam saat direndam. Benih
yang dipilih adalah benih yang tenggelam. Tabel 14 menjelaskan jumlah terbesar
petani sudah menerapkan metode perendaman benih dengan air garam yaitu
sebesar 37.1 persen, selanjutnya petani yang dikategorikan sering menerapkan
perendaman air garam sebesar 20.0 persen petani. Angka ini menunjukkan
sebagian besar petani telah menerapkan metode ini. Hal ini mengindikasikan
bahwa petani telah menerima informasi tentang penggunaan metode ini pada SRI.
Namun, masih terdapat sebesar 22.9 persen petani yang tidak menerapkan metode
ini sama sekali. Alasan yang dijelaskan responden untuk memilih tidak mengikuti
metode ini diantaranya karena perbedaan hasil yang tidak jauh berbeda, pekerjaan
yang rumit menghabiskan waktu, dan ketidaktahuan terhadap penggunaan metode
ini.
Tabel 14 Tingkat adopsi responden terhadap penerapan metode SRI seleksi benih
Tidak pernah
Jarang
Kadang-kadang
Sering
Selalu
Total

Frekuensi
8
6
1
7
13
35

Persentase (persen)
22.9
17.1
2.9
20.0
37.1
100.0

Pemindahan Bibit Padi dari Persemaian ke Lahan Tanah


Pemindahan bibit sesuai dengan SOP metode SRI adalah pada umur 5-15
hari. Pada atribut ini menggambarkan jumlah petani yang melakukan pemindahan
pada umur tersebut. Berdasarkan Tabel 15, diketahui hampir setengah responden
dikategorikan sering telah menerapkan metode ini yaitu sebesar 45.7 persen,
selanjutnya terdapat sebesar 22.9 persen responden yang dikategorikan jarang
dalam penerapan metode ini, dan sebesar 17.1 persen yang selalu menerapkan
metode ini. Hal ini menunjukkan sebagian besar responden telah menyerap
metode ini, hanya saja belum diterapkan sepenuhnya dalam praktek budidaya
padi. Sebagian petani yang tidak menerapkan terkendala pada masalah kerumitan
dan adanya kendala cuaca sehingga petani harus menunggu air yang cukup untuk
memulai persemaian. Namun, secara keseluruhan petani sudah mendapatkan
informasi dari penyuluhan terkait teknik pemindahan bibit.
Tabel 15 Tingkat adopsi responden terhadap penerapan metode SRI pemindahan
bibit ke lahan
Frekuensi
Persentase (persen)
Tidak pernah
1
2.9
Jarang
8
22.9
Kadang-kadang
4
11.4
Sering
16
45.7
Selalu
6
17.1
Total
35
100.0

36

Jumlah Bibit Perlubang


Jumlah bibit perlubang sesuai anjuran metode SRI adalah 1-3 bibit.
Penanaman bibit dengan jumlah ini bertujuan agar anakan yang akan dihasilkan
lebih cepat berkembang biak sehingga anakan padi akan lebih banyak. Pada Tabel
15, diketahui responden dengan angka terbesar yaitu responden dengan golongan
jarang dalam penerapan metode ini yaitu sebesar 28.6 persen, sedangkan kategori
sering dan selalu sebesar 9 persen. Data Tabel 16 menjelaskan masih banyak
petani yang belum menerapkan metode sesuai anjuran SOP SRI. Responden
merasa keberatan untuk menerapkan metode ini dikarenakan benih memerlukan
perawatan yang lebih rumit untuk bibit yang ditanam hanya terdiri dari 1-3
batang. Benih rentan patah, mati, dan dimakan hama. Sehingga, petani cenderung
menanam dengan jumlah yang lebih banyak.
Tabel 16 Tingkat adopsi responden terhadap penerapan
penanaman bibit perlubang
Frekuensi
Tidak pernah
1
Jarang
10
Kadang-Kadang
6
Sering
9
Selalu
9
Total
35

metode SRI jumlah


Persentase (persen)
2.9
28.6
17.1
25.7
25.7
100.0

Jarak Tanam
Jarak tanam yang digunakan sesuai dengan SOP metode SRI adalah 25x25
cm. Penanaman dengan jarak seperti ini bertujuan agar penyebaran cahaya lebih
merata. Metode konvensional petani menerapkan jarak tanam 10-15 cm.
Berdasarkan Tabel 17, diketahui bahwa responden yang selalu menerapkan
metode ini mencapai 77.1 persen responden dari total 35 responden. Sebagian
masyarakat telah menilai bahwa metode ini memberikan pengaruh yang nyata
terhadap perubahan hasil sehingga tingkat penerimaan masyarakat juga semakin
besar. Sebagian masyarakat yang masih tidak sepenuhnya menerapkan metode ini
dikarenakan pertimbangan responden jika penanaman dilakukan terlalu jarang
(25x25 cm) hasil yang akan diperoleh akan rendah. Dugaan ini muncul karena
masyarakat mengestimasi berdasarkan jumlah rumpun yang ditanam per satuan
luas, semakin lebar jarak tanam maka jumlah rumpun padi yang ditanam juga
akan semakin sedikit sehingga diestimasikan padi yang dihasilkan juga akan
semakin sedikit.
Tabel 17 Tingkat adopsi responden terhadap penerapan metode SRI jarak tanam
Frekuensi
Persentase (persen)
Tidak pernah
0
0.0
Jarang
1
2.9
Kadang-Kadang
2
5.7
Sering
5
14.3
Selalu
27
77.1
Total
35
100.0

37

Penggunaan Pupuk Organik


Penggunaan pupuk organik merupakan kunci dari penerapan metode SRI.
Pupuk organik yang digunakan sebagian besar responden adalah pupuk kandang
dan pupuk kompos. Berdasarkan Tabel 18, terdapat 48.6 persen responden yang
dikategorikan sering menerapkan metode ini. Alasan utama responden tidak
menerapkan penggunaan pupuk organik sepenuhnya adalah karena susahnya
mendapatkan pupuk organik.
Tabel 18 Tingkat adopsi responden terhadap penerapan metode SRI penggunaan
pupuk organik
Frekuensi
Persentase (persen)
Tidak pernah
0
0.0
Jarang
5
14.3
Kadang-kadang
6
17.1
Sering
17
48.6
Selalu
7
20.0
Total
35
100.0
Pengaturan Air Macak-macak
Pengaturan air macak-macak yang dimaksud di sini adalah metode
penggunaan air hanya maksimal setinggi 2 cm. berdasarkan hasil wawancara
dengan responden persentase terbesar masyarakat menerapkan metode ini pada
tahapan sering yaitu terdapat 37.1 persen responden. Hal ini disebabkan karena
pengaturan air hanya bisa dilakukan di sawah irigasi, sedangkan sawah yang
hanya mengandalkan air hujan sebagi sumber pengairan relatif sulit untuk
melakukan pengaturan air. Berikut ditampilkan persentase hasil penerapan metode
pengaturan air pada responden:
Tabel 19 Tingkat adopsi responden terhadap penerapan metode SRI pengaturan
air macak-macak
Frekuensi
Persentase (persen)
Tidak pernah
0
0.0
Jarang
5
14.3
Kadang-Kadang
8
22.9
Sering
37.1
13
Selalu
9
25.7
Total
35
100.0
Pengendalian Hama Secara Alami
Pengendalian hama secara alami yang dimaksud di sini adalah tanpa
menggunakan bahan kimia, pengendalian yang pernah dilakukan oleh responden
adalah dengan manual, obat tradisional, dan menggunakan musuh alami hama.
Berikut tabulasi hasil wawancara dengan responden:

38

Tabel 20 Tingkat adopsi responden terhadap penerapan metode SRI pengendalian


hama secara alami
Frekuensi
Persentase ( persen)
Tidak pernah
0
0.0
Jarang
3
8.6
Kadang-kadang
4
11.4
Sering
5
14.3
Selalu
23
65.7
Total
35
100.0
Berdasarkan hasil wawancara dengan responden terdapat 65.7 persen
responden selalu menerapkan metode ini. Secara teknis tidak ada kesulitian untuk
menerapkan metode ini. Namun, satu satunya kendala responden dalam
menerapkan metode ini adalah karena adanya pilihan yang lebih mudah dan
efektif yaitu mengguanakan pembasmi hama buatan yang ada pasaran.
Pengendalian Gulma Menggunakan Kuil dan Cangkul
Pengendalian gulma metode konvensional menggunakan bahan kimia
pembunuh tanaman sedangkan metode SRI menganjurkan menggunakan kuil dan
cangkul secara manual. Perbedaan metode ini terletak diantara kepraktisan dan
kecepatan dalam bekerja. Alasan 97.1 persen responden memilih menggunakan
metode ini adalah karena murah atau tidak membutuhkan biaya yang mahal
meskipun pengerjaan relatif lama. Berikut tabulasi penerapan metode
pengendalian gulma dengan Kuil dan Cangkul oleh responden:
Tabel 21 Tingkat adopsi responden terhadap penerapan metode SRI pengendalian
gulma
Frekuensi
Persentase ( persen)
Tidak pernah
0
0.0
Jarang
0
0.0
Kadang-kadang
0
0.0
Sering
1
2.9
Selalu
34
97.1
Total
35
100.0
Pengendalian Gulma Sebanyak Dua Kali
Atribut terakhir dalam pedoman penerapan metode SRI adalah kuantitas
pengendalian gulma yang dilakukan sebanyak dua kali selama waktu dari masa
tanam hingga panen. Dalam penerapannya terdapat 100 persen responden
menerapkan metode ini.
Tabel 22 Tingkat adopsi responden terhadap penerapan metode SRI pengendalian
gulma sebanyak dua kali
Frekuensi
Persentase ( persen)
Tidak pernah
0
0.0
Jarang
0
0.0
Kadang-kadang
0
0.0
Sering
0
0.0

39

Selalu
Total

Frekuensi
100
100

Persentase ( persen)
0.0
100.0

Berdasarkan lima tahapan adopsi inovasi teori Rogers (knowledge,


persuasion, decision, implementation, dan confirmation) hanya terdapat dua orang
responden yang mencapai tahapan confirmation. Pada tahapan ini responden
memutuskan untuk mengadopsi metode SRI secara keseluruhan yang terdiri dari
sembilan prinsip dasar penerapan metode SRI. Pengadopsian ini dilakukan
responden setelah melakukan tahap-tahap adopsi inovasi dan melakukan
pembandingan dengan pengalaman-pengalaman budidaya padi dengan metode
konvensional.
Penilaian Model Tingkat Adopsi Metode SRI
Faktor-faktor yang diduga memengaruhi tingkat adopsi petani terhadap
metode SRI adalah lama pelatihan, luas lahan usahatani, lama usahatani
(pengalaman usahatani), usia, tingkat pendidikan, dan tingkat persepsi. Variabelvariabel ini dilihat dari dua kemungkinan yaitu peluang responden mengadopsi
metode SRI sesuai anjuran (Y=1) atau peluang responden tidak menerapkan
metode SRI sesuai anjuran (Y=0). Pengujian digunakan pada tingkat kepercayaan
90 persen dengan taraf nyata () sebesar 10 persen.
Berdasarkan Tabel 23, dapat dilihat bahwa hasil omnibus test of model
coefficient, nilai signifikansi model lebih kecil dari taraf nyata = 0.10 (0.000 <
0.10). Hal ini menunjukkan bahwa model signifikan, sehingga dapat dikatakan
bahwa minimal ada satu variabel independent yang berpengaruh nyata terhadap
variabel dependent.
Tabel 23 Dugaan parameter regresi logistik biner berdasarkan omnibus test of
model coefficient dengan metode enter
Omnibus Tests of Model Coefficients
Chi-square
Df
Sig.
Step 1
Step
24.178
6
0.000
Block
24.178
6
0.000
Model
24.178
6
0.000
Berdasarkan Tabel 24, terlihat bahwa H0 dapat diterima karena memiliki
signifikansi model lebih besar dari taraf nyata 0.10 (0.668>0.10). Dengan
demikian, dapat dinyatakan bahwa model tersebut layak untuk digunakan dalam
analisis. Untuk melihat variabel independent yang berpengaruh nyata terhadap
variabel dependent maka dapat dilihat berdasarakan Tabel 23.

40

Tabel 24 Dugaan parameter regresi logistik biner berdasarkan hosmer dan


lemeshow test
Hosmer and Lemeshow Test
Step
1

Chi-square

Df

Sig.

5.760

0.568

Berdasarkan Tabel 25, diperoleh Negelkerke R Squre sebesar 0.665,


artinya variabel-variabel yang digunakan dalam model regresi logistik ini mampu
menjelaskan variasi keputusan petani sebesar 66.5 persen. Sedangkan lainnya
sebesar 43.5 persen dijelaskan oleh unsur galat.
Tabel 25 Dugaan parameter regresi logistik biner berdasarkan negelkerke R
square
Model Summary
Cox & Snell R
Nagelkerke R
-2 Log likelihood
Step
Square
Square
a
1
24.314
0.499
0.665
a. Estimation terminated at iteration number 6 because parameter estimates
changed by less than .001.
Berdasarkan Tabel 26, variabel independent yang berpengaruh nyata
terhadap variabel dependent yaitu lama usahatani, usia, dan tingkat persepsi petani
karena koefisien signifikan lebih kecil dari taraf nyata 0.10. Untuk variabel lama
usahatani (X3) nilai signifikasnsinya 0.044<0.10, variabel usia signifikansinya
0.098<0.1, dan variabel persepsi nilai signifikansinya 0.064<0.10. Sedangkan
untuk variabel lama mengikuti pelatihan (X1), luas lahan usahatani (X2), dan
tingkat pendidikan (X5) tidak berpengaruh nyata terhadap variabel dependen
karena signifikansinya lebih besar dari 0.10 (Output SPSS dapat juga dilihat pada
Lampiran 4).
Tabel 26 Dugaan parameter regresi logistik biner berdasarkan variabels in the
equation
B
S.E.
Wald
df
Sig.
Exp(B)
Lama Pelatihan
1.002
0.898
1.246
1 0.264
2.724
Luas Lahan
-0.170
1.197
0.020
1 0.887
0.844
Lama Usahatani*
1.849
0.918
4.059
1 0.044
6.354
Step 1a Usia**
1.240
0.749
2.745
1 0.098
3.457
Pendidikan
0.148
1.227
0.014
1 0.904
1.159
Persepsi**
2.536
1.369
3.433
1 0.064 12.634
Constant
-11.982
5.174
5.363
1 0.021
0.000
Keterangan: * = signifikan pada taraf nyata 5%
** = signifikan pada taraf nyata 10%
Berdasarkan Tabel 26, maka dapat diketahui, model dari persamaan peluang
tingkat adopsi masyarakat terhadap penerapan metode SRI adalah:

41

Yi= Ln (
Persamaan ini menunjukkan bahwa tingkat adopsi berbanding lurus dengan lama
usahatani, usia, pendidikan, persepsi, dan berbanding terbalik dengan luas lahan
garapan. Interpretasi dan kesginifikanan setiap variabel dijelaskan pada sub bab
berikutnya.

Faktor-faktor yang Memengaruhi Tingkat Adopsi


Petani terhadap Metode SRI
Persepsi
Persepsi diduga memengaruhi petani untuk mengadopsi suatu inovasi
termasuk mengadopsi metode SRI dalam budidaya pertanian. Petani yang
memiliki persepsi baik terhadap metode SRI maka diduga akan mengadopsi
metode SRI sedangkan petani yang memiliki persepsi tidak baik terhadap metode
SRI diduga tidak akan menerapkan metode SRI sesuai anjuran.
Berdasarkan hasil analisis regeresi logistik biner, nilai koefisien variabel
ini adalah positif (2.536), yang mengindikasikan dugaan awal sesuai dengan hasil
penelitian. Tanda positif menunjukkan semakin baik tingkat persepsi petani
terhadap penerapan metode SRI maka akan semakin tinggi tingkat adopsi petani
terhadap metode SRI tersebut.
Variabel tingkat persepsi petani berpengaruh nyata terhadap tingkat adopsi
petani terhadap penerapan metode SRI karena nilai signifikansi variabel ini lebih
kecil dari taraf nyata 0.10 (0.064<0.10). Artinya, semakin baik tingkat persepsi
petani terhadap penerapan metode SRI maka akan semakin tinggi tingkat adopsi
petani terhadap metode SRI.
Berdasarkan perbandingan nilai peluang variabel tingkat persepsi (Odds
ratio) yaitu sebesar 12.634 maka dapat diketahui peluang petani yang memiliki
persepsi baik menerapkan metode SRI 12.634 kali lebih tinggi daripada petani
yang memiliki tingkat persepsi yang tidak baik. Sehingga, variabel tingkat
persepsi tepat digunakan untuk penentu tingkat adopsi petani karena berpengaruh
nyata terhadap penerapan metode SRI.
Persepsi signifikan dikarenakan adanya pandangan pada petani bahwa
metode SRI memberikan manfaat yang lebih kepada mereka dibandingkan dengan
cara konvensional. Pandangan ini memberikan tindakan yang berlanjut untuk
menerapkan metode SRI tersebut. Petani cenderung mempertahankan cara baru
yang dirasa lebih memberi manfaat daripada cara lama yang kurang memberikan
manfaat. Jika dilihat dari jumlah petani yang memiliki persepsi baik terhadap
penerapan metode SRI yaitu 42.9 persen, hasilnya tidak sebanding dengan tingkat
adopsi SRI yaitu mencapai 48.6 persen. Hal ini menunjukkan tidak semua
responden yang mengadopsi metode SRI memiliki persepsi yang baik terhadap
metode SRI. Hal ini dikarenakan terdapat faktor lingkungan yang membuat petani
mengadopsi metode SRI. Faktor ini dapat disebabkan oleh status sosial dalam
masyarakat, politik, dan budaya. Sebagian petani yang menjabat sebagai kepala
kelompok tani mengadopsi metode SRI meskipun menurut mereka metode SRI
bukanlah metode yang dirasa baik. Hal ini sejalan dengan penelitian yang

42

dilakukan oleh Sugandi dan Astuti (2010) yang meneliti tentang persepsi dan
adopsi petani terhadap penerapan Variates Unggul Baru (VUB) padi sawah di
Bengkulu. Berdasarkan hasil penelitian, terdapat 63.9 persen petani mengadopsi
teknologi VUB sedangkan terdapat 86.89 persen petani memiliki persepsi yang
baik terhadap penerapan teknologi VUB. Hal ini menunjukkan ketidaksamaan
antara adopsi dan persepsi. Namun, pada penelitian yang dilakukan oleh Sugandi
dan Astuti (2010), terlihat tidak semua petani yang memiliki persepsi baik
terhadap VUB menerapkan teknologi VUB. Perbedaan ini disebabkan karena
harga benih yang lebih mahal dibandingkan dengan varietas lokal. Sehingga,
meskipun petani memiliki persepsi yang baik terhadap penerapan metode SRI tapi
kendala yang dihadapi lebih besar dari persepsi mereka terhadap keinginan untuk
mengadopsi.
Lama Usahatani
Lama usahatani menggambarkan pengalaman petani terhadap budidaya
tani. Lama usahatani yang dimaksud di sini bukan lama usahatani dengan metode
SRI saja akan tetapi lama melakukan budidaya padi. Diduga semakin lama
melakukan usahatani maka tingkat adopsi akan semakin tinggi. Hal ini karena
semakin berpengalaman seseorang dalam menerapkan budidaya padi maka akan
semakin mudah melakukan praktek budidaya padi, untuk menerapkan metode
baru meskipun secara teknis lebih sulit pun akan menjadi lebih mudah karena
sudah memiliki pengalaman dalam usahatani.
Hasil analisis regeresi logisitik menunjukkan nilai yang positif (1.849).
Hal ini menunjukkan dugaan awal sesuai dengan hasil penelitian. Nilai yang
positif menunjukkan semakin lama pengalaman petani menerapkan usahatani padi
maka akan semakin tinggi tingkat pengadopsian petani dalam menerapkan metode
SRI.
Variabel lama usahatani berpengaruh nyata terhadap keputusan untuk
menerapkan metode sesuai atau tidak sesuai anjuran, karena nilai signifikansinya
di bawah taraf nyata 0.10 (0.044<0.10). Artinya, semakin lama seorang petani
menerapkan usahatani atau semakin lama pengalaman petani alam budidaya padi
maka akan semakin tinggi tingkat adopsi petani tersebut terhadap penerapan
metode SRI.
Berdasarkan perbandingan peluang variabel lama usahatani dengan nilai
6.354 menunjukkan bahwa petani yang memiliki lama usahatani lebih lama satu
tahun maka peluang tingkat adopsi untuk menerapkan metode SRI sesuai anjuran
6.354 kali lebih baik. Karena itu, variabel lama usahatani tepat untuk menjadi
penentu tingkat adopsi petani terhadap penerapan metode SRI.
Pengaruh lama usahatani terlihat dari tingkat keahlian dalam menerapkan
usahatani. Petani dengan pengalaman yang lebih lama akan lebih mudah
menerapkan usahatani. Sehingga metode SRI yang dianggap sulit dapat
diterapkan dengan mudah oleh petani yang memiliki pengalaman yang lebih lama.
Hal ini erat kaitannya dalam pengetahuan teknis yang dimiliki petani terhadap
penerapan metode baru dalam pertanian. Hal ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Nurfitri (2014) dimana variabel lama usahatani memiliki pengaruh
dan berhubungan positif dengan tingkat adopsi petani. Nurfitri meneliti tentang
faktor faktor yang memengaruhi petani dalam mengadopsi budidaya sayur

43

organik. Hasil penelitian menunjukkan angka signifikan pada tingkat kepercayaan


90 persen. Dijelaskan bahwa seseorang dengan pengalaman usahatani yang lebih
banyak memiliki bekal pengalaman teknis yang lebih baik dibandingkan dengan
petani yang kurang memiliki pengalaman dalam penerapan usahatani. Sehingga,
ketika dihadapkan dengan SOP budidaya usahatani yang baru petani dapat
membandingkan dengan metode usahatani yang sudah dilakoni sebelumnya.
Soekartawi (2005) mengatakan hal yang serupa, bahwa petani yang memiliki
pengalaman akan lebih matang dalam pelaksanaan kegiatan usahatani.
Usia
Semakin lama usia petani diduga semakin tinggi tingkat penerapan petani
terhadap metode SRI. Hal ini diduga dengan semakin tua usia petani maka
pengalaman seorang petani akan semakin banyak tidak hanya dalam budidaya
padi akan tetapi dalam budidaya tanaman lainnya.
Berdasarkan hasil analisis dengan regresi logistik, variabel usia
menunjukkan nilai koefisien yang positif (1.240) sehingga dugaan awal sesuai
dengan hasil penelitian. Tanda positif menunjukkan semakin lama usia seorang
petani maka akan semakin tinggi tingkat pengadopsian petani tersebut terhadap
metode SRI.
Variabel usia berpengaruh nyata terhadap tingkat adopsi petani terhadap
penerapan metode SRI, karena nilai signifikansi variabelnya lebih kecil dari 0.10
(0.904<0.10). Artinya, semakin tinggi usia petani maka akan semakin tinggi
tingkat adopsi terhadap penerapan metode SRI.
Berdasarkan perbandingan peluang variabel usia (odds ratio) sebesar
3.457 yang menandakan petani yang memiliki usia 1 tahun lebih tua maka
peluang untuk mengadopsi metode SRI sesuai anjuran 3.457 kali lebih tinggi.
Pengaruh usia dikarenakan semakin tinggi usia petani maka akan semakin banyak
pengalaman petani. Sehingga petani tersebut dapat membandingkan penerapan
metode SRI dengan metode konvensional. Selain itu, petani juga akan memiliki
pengalaman menerapkan metode SRI lebih lama, sehingga terdapat kemudahan
dalam menerapkan metode SRI karena telah memiliki pengalaman dalam praktek
lapang. Bertambahnya usia tidak hanya menjadikan petani memiliki pengalaman
usahatani, akan tetapi pengalaman hidup yang lebih luas dan kompleks. Dengan
kata lain, usia berbanding lurus terhadap pengalaman usahatani yang signifikan
terhadap peluang adopsi metode SRI. Kecenderungan dengan bertambahnya usia
maka akan bertambahnya pengalaman usahatani. Semakin banyak pengalaman
yang dimiliki oleh petani maka akan semakin terbuka petani terhadap suatu
inovasi karena petani dapat membandingkan antar metode lama dan metode baru.
Soekartawi (2005) menjelaskan bahwa umur memengaruhi seseorang dalam
mengadopsi suatu inovasi. Akan tetapi, berbeda dengan hasil penelitian ini,
Soekartawi menjelaskan nilai umur berbanding terbalik dengan tingkat adopsi.
Makin muda petani biasanya mempunyai semangat untuk ingin tahu apa yang
belum mereka ketahui, sehingga dengan demikian mereka berusaha untuk lebih
cepat melakukan adopsi inovasi walaupun sebenarnya mereka masih belum
berpengalaman dalam soal adopsi inovasi tersebut.

44

Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan diduga berpengaruh positif terhadap tingkat adopsi
petani terhadap penerapan metode SRI. Petani dengan tingkat pendidikan yang
lebih tinggi diduga akan mengadopsi metode SRI sesuai anjuran dan sebaliknya
petani yang memiliki tingkat pendidikan yang rendah maka tidak akan
mengadopsi metode SRI sesuai anjuran. Tingkat pendidikan akan memengaruhi
pola pikir petani hal ini dikarenakan petani yang menempuh pendidikan yang
lebih tinggi akan terbiasa dengan pengetahuan sehingga lebih mudah untuk
menerima masukan inovasi baru.
Berdasarkan hasil analisis regresi logistik biner, nilai koefisien variabel
tingkat pendidikan bernilai positif (0.148). Nilai positif pada koefisien regresi
menunjukkan dugaan awal sesuai dengan hasil penelitian. Artinya, semakin tinggi
tingkat pendidikan seorang petani maka akan semakin tinggi tingkat adopsi
terhadap penarapan metode SRI.
Namun, variabel tingkat pendidikan tidak berpengaruh nyata terhadap
tingkat adopsi petani terhadap metode SRI karena nilai signifikansi variabel lebih
besar dari 0.1 (0.904>0.10). Ini berarti setinggi apapun tingkat pendidikan petani
tidak akan memengaruhi peluang petani untuk mengadopsi metode SRI.
Katidaksignifikanan ini disebabkan perbedaan tingkat pendidikan petani
yang menerapkan metode SRI tidak berbeda jauh dengan petani yang tidak
menerapkan metode SRI sesuai anjuran. Jika dirata ratakan petani yang
menerapkan sesuai anjuran memiliki tingkat pendidikan 9.5 tahun, sedangkan
petani yang menerapkan metode SRI tidak sesuai anjuran sebesar 7.8 tahun (1.7
tahun), sehingga seolah hampir tidak ada perbedaan tingkat pendidikan antara
keduanya.
Lama Pelatihan
Lama pelatihan diduga berpengaruh positif pada tingkat adopsi petani
terhadap metode SRI. Semakin lama masa pelatihan maka tingkat penerimaan atas
teknologi atau inovasi baru akan lebih terbuka karena pelatihan berfungsi
menjalankan fungsi pendidikan dan penyuluhan. Pelatihan pelatihan yang diterima
dan pengetahuan tentang metode SRI akan membentuk pola pikir petani dan citra
positif pada penerapan metode SRI. Petani akan lebih terbuka karena mengetahui
lebih banyak tentang penerapan metode SRI. Selain itu, dengan pelatihan petani
dapat berkonsultasi sehingga petani dapat mengatasi masalah-masalah yang
ditemui dalam lapangan.
Berdasarkan hasil analasis regresi logistik biner menunjukkan nilai
koefisien yang positif yaitu 1.002. Hal ini menujukkan dugaan sebelumnya adalah
benar. Koefisien yang positif menunjukkan bahwa semakin lama petani menerima
pelatihan maka akan semakin tinggi tingkat adopsi petani terhadap metode SRI.
Namun variabel lama pelatihan tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat
adopsi petani. Hal ini terlihat dari nilai signifikansi yang lebih dari 0.10
(0.264>0.10). Ini berarti berapapun lama petani mendapatkan pelatihan tidak akan
memengaruhi peluang petani tersebut mengadopsi metode SRI.

45

Ketidaksignifikanan variabel tingkat pendidikan dikarenakan pelatihan


bukanlah menjadi sebuah kebutuhan yang benar-benar diinginkan oleh patani.
Berdasarkan wawancara dengan responden, pelatihan yang diikuti adalah sebagai
sebuah keharusan sebagai anggota kelompok tani. Bahkan sebagian lainnya petani
mengharapkan adanya uang saku dan konsumsi dari pelatihan tersebut. Sehingga,
lama pelatihan tidak cocok untuk dijadikan variabel penentu seorang petani
mengadopsi metode SRI.
Luas Lahan
Luas lahan diduga memengaruhi tingkat kesulitan dalam mengolola
usahatani. Semakin luas akan semakin sulit untuk mengola dan merawat tanaman
terutama pada budidaya tani dengan menggunakan metode SRI. Sebaliknya petani
dengan lahan yang tidak luas akan cenderung mengadopsi metode SRI karena
dalam menerapkannya akan menjadi lebih mudah.
Hasil analisis analisis regresi logistik biner menunjukkan nilai koefisien yang
negatif (-0.170) ini menunjukkan dugaan sesuai dengan hasil penelitian. Koefisien
yang negatif menunjukkan semakin luas lahan seorang petani maka tingkat adopsi
terhadap metode SRI akan semakin rendah.
Namun variabel luas lahan tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat adopsi
petani terhadap metode SRI karena nilai signifikansi variabel ini lebih besar dari
0.10 (0.887 < 0.10). Ini berarti seluas apapun lahan seorang petani tidak akan
memengaruhi keputusan petani itu untuk mengadopsi metode SRI.
Ketidaksignifikanan variabel luas lahan dikarenakan pada responden yang
diteliti, luas lahan respoden yang diteliti yang mengadopsi metode SRI sesuai
anjuran tidak jauh berbeda dengan luas lahan responden yang mengalopsi metode
SRI tidak sesuai anjuran. Hal ini terlihat dari perbedaan antara rata-rata luas lahan
yang mengadopsi sesuai anjuran yaitu 0.25 ha dengan yang mengadopsi tidak
seusai anjuran yaitu 0.23 ha. Perbedaan antara keduanya sebesar 0.02 ha yang
tidak terlalu jauh sehingga variabel tidak signifikan.

SIMPULAN DAN SARAN


Simpulan
Hasil penelitian yang diambil dari 35 orang sampel menunjukkan terdapat
42.9 persen responden yang memiliki persepsi baik terhadap penerapan SRI
sisanya sebesar 57.1 persen responden memiliki persepsi tidak baik terhadap
penerapan metode SRI. Tingginya tingkat persepsi yang tidak baik terhadap
penerapan metode SRI karena responden merasa metode SRI memiliki tingkat
kerumitan yang tinggi. Petani telah terbiasa dengan penerapan metode
konvensional yang lebih praktis dan tidak membutuhkan pengawasan yang lebih
intensif. Sedangkan pada tingkat adopsi petani, terdapat 48.6 persen responden
yang telah menerapkan metode SRI sesuai dengan pedoman SRI dan terdapat 51.4
persen petani yang tidak menerapkan sesuai dengan pedoman penerapan budidaya

46

metode SRI. Hal ini menunjukkan sebagian besar petani menerapkan metode SRI
tidak sesuai dengan anjuran. Hal ini karena sebagian besar petani masih
berpegang pada kebaiasan lama yaitu metode konvensional. Selanjutnya, variabel
independent yang berpengaruh nyata terhadap variabel dependent yaitu lama
usahatani, usia, dan tingkat persepsi petani karena koefisien signifikansi lebih
kecil dari taraf nyata 0.10. Ketiga variabel ini berbanding lurus terhadap tingkat
adopsi petani pada penerapan metode SRI. Artinya, petani yang memiliki persepsi
baik, usia lebih tua, dan lebih berpengalaman dalam usahatani maka peluang
untuk mengadopsi metode SRI lebih tinggi dibanding petani yang memiliki
persepsi tidak baik, usia yang lebih muda, dan lama pengalaman usahatani yang
rendah.

Saran
Berdasarkan penelitian maka saran yang dapat diberikan adalah sebagai
berikut:
1. Sebaiknya pemerintah melalui dinas pertanian dalam hal ini penyuluh
memberikan pengetahuan dan pemahaman lebih mendalam mengenai
alasan mengadopsi metode SRI yang sesuai anjuran, karena sebagian besar
petani di Desa Simarasok menerapkan metode SRI tidak sesuai anjuran.
2. Sebaiknya dinas pertanian ketika membuat panduan yang akan dipakai
sebagai rujukan penerapan metode SRI dapat disesuaikan dengan kondisi
di lapang karena kondisi di setiap daerah pertanian berbeda-beda.
3. Penyuluh petanian hendaknya menjadikan tingkat persepsi, usia, dan lama
usahatani menjadi pertimbangan sebelum melakukan pendampingan
kelompok tani.
4. Bagi peneliti selanjutnya, perlu dilakukan penelitian tentang pengaruh
karakteristik eksternal petani terhadap penerapan metode SRI.

DAFTAR PUSTAKA
Agustamar S. 2007. Perbandingan Metode SRI (System of Rice Intensification)
dengan Cara Konvensional pada Padi Sawah dan Pengaruhnya terhadap
Hasil Padi. Jurnal Dinamika Pertanian Universitas Islam Riau. 22 (1):1-7 .
Berkelaar D. 2001. Sistem Intensifikasi Padi (The System of Rice IntensificationSRI): Sedikit Dapat Memberi Lebih Banyak. Bulletin ECHO (terjemahan)
BPS Sumbar. 2013. Produksi Tanaman Padi dan Palawija (Production of Paddy
and Secondary Foods Crops). Sumatera Barat:bps.go.id. [diunduh pada 25
Maret 2013]
Dinas Pertanian Provinsi Sumatera Barat. 2008. Petunjuk Lapangan Sekolah
Lapang padi Tanam Sabatang (PETLAP SL-PTS). Padang: Dinas
Pertanian Provinsi Sumatera Barat
Ishak A, Afrizon. 2011. Persepsi dan Tingkat Adopsi Petani Padi Terhadap
Penerapan System of Rice Intensification (SRI) di Desa Bukit Peninjauan

47

I, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Seluma. Jurnal Informatika Pertanian


Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, Vol. 20 No.2, Desember
2011 : 76 80.
Kleinbaum DG, Klein M. 2002. Logistic Regression A Self-Learning Text, 2nd
Edition, Springerverlag. New York : Jurnal Inc.
Kurniadiningsih Y, Sri L. 2011. Evaluasi Untung Rugi Penerapan Metode Sri
(Sistem Of Rice Intensification) Di D.I. Cihea Kabupaten Cianjur Jawa
Barat. Intstitut Teknologi Bandung.
Las I. 2009. Revolusi Hijau Lestari untuk Ketahanan Pangan ke Depan. Badan
Litbang Pertanian: Tabloid Sinar Tani.
LSK Bina Bakat Surakarta. 2011. Manual Pembelajaran Penerapan SRI (System
of Rice Intensification) di Lahan Tadah Hujan. Surakarta: LSK Bina Bakat
Nusantara.
Lionberger HF. 1962. Adoption of News and Practices. The Lwce State University
Press. A mes.
Mardikanto, Totok, Sri S.1982. Pengantar Penyuluhan Pertanian dalam Teori
dan Praktek. Surakarta: Hapsara.
Mutakin J. 2005. Budidaya dan Keunggulan Padi Organik Metode SRI (System of
Rice Intensification). Bandung: Unpad Pr.
Mutmainnah N. 1997. Psikologi Komunikasi. Jakarta: Jurnal Universitas Terbuka
Pr.
Nurfitri S. 2014. Tingkat Adopsi Teknologi Budidaya sayuran Organik oleh
Petani Mitra ADS-UF IPB Serta Faktor-faktor yang Memengaruhinya.
[skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Pamungkas A. 2013. Adopsi Program System of Rice Intensification Teknik Satu
Bibit Per Rumpun. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Putri NI. 2011. Penerapan Teknologi Pertanian Padi Organik di Kampung
Ciburuy, Desa Ciburuy, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor.
[skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Richardson MN. 2010. SRIDIJAWA: Salah Satu Penyelidikan Mengenai
Keadaan System Rice Intensification (SRI) di Jawa Timur. Jurnal
Australian Consortium for In-Country Indonesian Studies (ACICIS)
Angkatan ke-30 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas
Muhammadiyah Malang, Indonesia.
Rahmat J. 2005. Psikologi Komunikasi. Edisi Revisi, Cetakan ke-23. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.
Rogers EM. 1983.Diffusion of Innovation . NewYork: The Free Pr.
Rogers EM, Shoemaker FE. 1971. Communication of Innovation. New York
(US): Free Pr.
Soekartawi. 2005. Prinsip Dasar Komunikasi Pertanian. UI Press. Jakarta.
Sugandi D, Umu PA. 2011. Persepsi dan Minat Adopsi Petani terhadap VUB
Padi Sawah Irigasi di Provinsi Bengkulu. Bengkulu: Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian.
Suitna R, Utju. 2010. Pola Tanam SRI. www.infoorganik.com. [diunduh pada 25
Maret 2013].
Suprapto T, Fahrianoor. 2004. Komunikasi Penyuluhan dalam Teori dan Praktek.
Yogyakarta: Arti Bumi Intaran Pr.

48

Tarbiah S, Sapta R, Budi P. 2010. Kajian Tingkat Pendapatan Petani Sawah


Irigasi dengan Diversifikasi Pola Tanam di Kabupaten Karawang, Jawa
Barat. Jurnal Institut Pertanian Bogor. Volume 5 No 2:101-120.
Wardana P I, Juliardi, Sumedi, Iwan S. 2005. Kajian Perkembangan System of
Rice Intensification (SRI) di Indonesia. Jakarta: Kerjasama Yayasan Padi
Indonesia dengan Badan Litbang Pertanian.

49

Lampiran 1 Produksi, luas panen, produktivitas, dan persentase produktivitas padi


di Provinsi Sumatera Barat tahun 2013

Kabupaten/Kota

Produksi
(ton)

Luas
Panen
(ha)
61.23
57.95
54.83
52.17
44.41
47.05
45.75
30.45
27.63
15.67
17.58
12.68

332.46
Kabupaten Solok
306.41
Kabupaten Agam
272.50
Kabupaten Pesisir Selatan
264.82
Kabupaten Padang Pariaman
251.34
Kabupaten Tanah Datar
222.46
Kabupaten Limapuluh Kota
203.56
Kabupaten Pasaman
127.24
Kabupaten Solok Selatan
122.13
Kabupaten Pasaman Barat
86.58
Kota Padang
80.23
Kabupaten Sijunjung
54.94
Kabupaten Dharmasraya
Kabupaten Kota
33.12
6.51
Payakumbuh
29.78
5.48
Kota Pariaman
17.54
3.54
Kota Sawahlunto
11.23
2.11
Kota Solok
8.63
1.69
Kota Padang Panjang
4.41
0.72
Kota Bukittinggi
Kabupaten Kepulauan
1.02
0.38
Mentawai
Total
2430.38
487.82
Sumber: BPS Sumatera Barat tahun 2013 (diolah)

Hasil
(ton/ha)

Persentase
(%)

5.43
5.29
4.97
5.08
5.66
4.73
4.45
4.18
4.42
5.53
4.57
4.33

13.68
12.61
11.21
10.90
10.34
9.15
8.38
5.24
5.03
3.56
3.30
2.26

5.09

1.36

5.44
4.96
5.31
5.09
6.15

1.23
0.72
0.46
0.36
0.18

2.71

0.04

93.38

100.00

50

50

Lampiran 2 Tabulasi hasil perhitungan tingkat persepsi petani terhadap penerapan metode SRI

No

Nama
Responden

1 Responden 1
2 Responden 2
3 Responden 3
4 Responden 4
5 Responden 5
6 Responden 6
7 Responden 7
8 Responden 8
9 Responden 9
10 Responden 10
11 Responden 11
12 Responden 12
13 Responden 13
14 Responden 14
15 Responden 15
16 Responden 16
17 Responden 17
18 Responden 18

PTS
Menguntungkan
(Keuntungan
Relatif)

PTS
Meningkatkan
Hasil Panen

4
3
2
3
4
3
3
4
4
3
3
3
3
3
3
3
4
3

3
2
2
3
3
3
3
3
2
3
3
3
3
3
3
3
3
3

Ramah
PTS Lebih Rumit
Lingkungan/Bisa
Modal Lebih
Namun Tetap
Diterima
Sedikit
Dapat Diterapkan
Lingkungan
(Kerumitan)
(Kecocokan)
4
3
3
3
4
3
3
3
2
3
3
3
2
3
3
3
3
3

3
3
3
2
3
3
2
0
4
3
2
2
3
3
1
3
3
3

4
3
3
3
3
3
3
3
4
3
3
3
3
4
3
3
3
3

Skor

Batas QIII
(SkorQIII=B;
Skor<QIII=B)

Persepsi
(B=Baik;
TB=Tidak
Baik)

18
14
13
14
17
15
14
13
16
15
14
14
14
16
13
15
16
15

15
15
15
15
15
15
15
15
15
15
15
15
15
15
15
15
15
15

B
TB
TB
TB
B
TB
TB
TB
B
TB
TB
TB
TB
B
TB
TB
B
TB

51

Lanjutan Lampiran 2

No

Nama
Responden

19 Responden 19
20 Responden 20
21 Responden 21
22 Responden 22
23 Responden 23
24 Responden 24
25 Responden 25
26 Responden 26
27 Responden 27
28 Responden 28
29 Responden 29
30 Responden 30
31 Responden 31
32 Responden 32
33 Responden 33
34 Responden 34
35 Responden 35

Ramah
PTS Lebih Rumit
Lingkungan/Bisa
Modal Lebih
Namun Tetap
Diterima
Sedikit
Dapat Diterapkan
Lingkungan
(Kerumitan)
(Kecocokan)

PTS
Menguntungkan
(Keuntungan
Relatif)

PTS
Meningkatkan
Hasil Panen

3
3
3
3
4
4
3
3
3
3
3
3
3
4

4
3
3
3
4
3
3
3
3
3
4
3
3
4

3
4
3
1
4
4
4
3
3
3
3
3
3
4

3
2
3
3
4
4
3
3
3
3
3
3
4
4

3
3
3
3
4
4
3
3
3
3
3
3
3
4

4
4
4

4
4
4

4
4
4

4
4
2

4
4
3

Skor

Batas QIII
(SkorQIII=B;
Skor<QIII=B)

Persepsi
(B=Baik;
TB=Tidak
Baik)

16
15
15
13
20
19
16
15
15
15
16
15
16
20
20
20
17

15
15
15
15
15
15
15
15
15
15
15
15
15
15
15
15
15

B
TB
TB
TB
B
B
B
TB
TB
TB
B
TB
B
B
B
B
B

51

52

52

Lampiran 3 Tabulasi hasil perhitungan tingkat adopsi petani terhadap penerapan metode SRI
Kriteria SOP Penerapan Metode SRI
No

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18

Nama
Responden

Responden 1
Responden 2
Responden 3
Responden 4
Responden 5
Responden 6
Responden 7
Responden 8
Responden 9
Responden 10
Responden 11
Responden 12
Responden 13
Responden 14
Responden 15
Responden 16
Responden 17
Responden 18

Seleksi
Benih

Pindah
Bibit

Jmlh
Bibit

Jarak
Tanam

pupuk
organik

Pengaturan
Air

Pengendalian
Hama

Pengend
-alian
gulma

Pendangiran
2 kali

Skor

Batas
QIII
(SkorQ
III=1;
Skor<QI
II=0)

1
1
0
0
1
0
0
0
1
0
1
4
3
1
2
4
0
0

2
1
1
1
1
1
0
2
2
1
3
1
3
3
2
1
3
3

1
1
1
0
1
1
2
2
1
1
3
2
1
2
4
3
3
3

1
4
4
4
2
4
4
4
4
4
4
4
3
2
4
4
3
4

2
1
3
2
2
3
2
2
1
3
1
1
1
3
2
3
3
3

1
1
2
2
3
1
2
2
2
2
1
1
3
2
2
3
3
3

4
3
1
4
4
4
4
2
3
4
2
4
2
4
2
1
4
3

4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
3
4
4
4
4
4
4

4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4

20
20
20
21
22
22
22
22
22
23
23
24
24
25
26
27
27
27

27
27
27
27
27
27
27
27
27
27
27
27
27
27
27
27
27
27

Adopsi
(1=
sesuaai
anjuran;
0=tidak
sesuai
anjuran)
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0

53

Lanjutan Lampiran 3
Kriteria SOP Penerapan Metode SRI
No

19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35

Nama
Responden

Responden 19
Responden 20
Responden 21
Responden 22
Responden 23
Responden 24
Responden 25
Responden 26
Responden 27
Responden 28
Responden 29
Responden 30
Responden 31
Responden 32
Responden 33
Responden 34
Responden 35

Seleksi
Benih

Pindah
Bibit

Jmlh
Bibit

Jarak
Tanam

pupuk
organik

Pengaturan
Air

Pengendalian
Hama

Pengend
-alian
gulma

Pendangiran
2 kali

Skor

Batas
QIII
(SkorQ
III=1;
Skor<QI
II=0)

3
3
3
4
4
4
4
4
3
4
3
4
3
4

3
3
3
3
3
4
3
3
3
3
3
3
4
4

1
3
3
3
2
1
2
3
3
4
4
4
4
4

4
4
3
4
3
4
4
4
4
4
4
4
4
3

3
3
3
3
3
4
4
3
3
3
4
4
3
4

3
4
3
3
4
3
3
3
4
3
4
3
4
4

3
1
4
3
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4

4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4

4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4

4
4
4

4
4
4

4
4
4

4
4
4

3
4
4

4
4
4

4
4
4

4
4
4

4
4
4

28
29
30
31
31
32
32
32
32
33
34
34
34
35
35
36
36

27
27
27
27
27
27
27
27
27
27
27
27
27
27
27
27
27

Adopsi
(1=
sesuaai
anjuran;
0=tidak
sesuai
anjuran)
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1

53

54

54

Lampiran 4 Output regresi logistik olahan SPSS

Step 0 Constant

Variables in the Equation


B
S.E.
Wald
Df
-.057
.338
.029
1

Sig.
.866

Exp(B)
.944

Model Summary
Cox &
-2 Log
Nagelkerke
Step
Snell R
likelihood
R Square
Square
1
24.314a
.499
.665
a. Estimation terminated at iteration
number 6 because parameter estimates
changed by less than .001.
Hosmer and Lemeshow Test
ChiStep
Df
Sig.
square
1
5.760
7
.568
Variables in the Equation
B
S.E.
Wald

df

Sig. Exp(B)

Lama
pelatihan

1.002

.898

1.246

.264

2.724

Luas lahan

-.170

1.197

.020

.887

.844

1.849

.918

4.059

.044

6.354

1.240
.148

.749
1.227

2.745
.014

1
1

.098
.904

3.457
1.159

2.536

1.369

3.433

.064

12.634

Lama
Step usahatani
1a Usia
Pendidikan
Persepsi

5.174
5.363
1
.021
.000
11.982
a. Variable(s) entered on step 1: kat_lamalatih, kat_luaslahan, katlamatani,
kat_usia, katppdk, kspersepsi.
Constant

55

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Batam pada tanggal 13 Agustus 1992 dari Ayah
Andarzen dan Ibu Asrina. Penulis adalah bungsu dari empat bersaudara. Pada
tahun 2004, penulis lulus dari Sekolah Dasar Negeri 22 Padangtarok dan
kemudian melanjukan sekolah di SMP Negeri 1 Baso. Pada tahun 2007, penulis
lulus dari SMP 1 Baso. Pada tahun 2010, penulis lulus dari SMA Negeri 1 Baso
dan pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor
melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis diterima di
Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen dan salah satu
penerima bantuan Bidikmisi angkatan pertama.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif mengikuti organisasi,
kepanitiaan, dan kegiatan magang. Pada tahun 2010, penulis aktif dalam
kepengurusan Paguyuban Bidikmisi sebagai kepala departemen kewirausahaan.
Selain itu, pada tahun yang sama penulis juga menjadi salah satu anggota pada
komunitas pecinta perkusi hingga tahun 2013. Pada tahun 2011, penulis masih
aktif di kepengurusan Paguyuban Bidikmisi sebagai kepala departemen
pengabdian masyarakat. Pada tahun 2012 hingga 2014, selain aktif sebagai
pengurus Paguyuban Bidikmisi, penulis juga aktif sebagai senior resident asrama
bidikmisi IPB. Penulis juga aktif dalam kegiatan ekstra non kampus. Penulis
merupakan penggagas terbentuknya lembaga bimbingan belajar Bidikmisi
Learning Centre yang merupakan lembaga bimbingan belajar dengan tenaga
pengajar adalah mahasiswa bidikmisi kompeten. Penulis juga aktif dalam kegiatan
magang di Direktorat Kemahasiswaan Institut Pertanian Bogor bagian beasiswa.
Selama aktif menjadi mahasiswa, penulis juga aktif dalam kegiatan pengabdian
masyarakat yang meliputi pemberdayaan waria menuju sumber daya manusia
yang unggul dan berjiwa entreprenurship di Kota Bogor dan pemberdayaan
masyarakat pengrajin bilik bambu di Desa Gunung Bunder sebagai inisiasi
menuju desa wisata. Kedua pengabdian ini telah dibukukan dalam sebuah buku
panduan yaitu Life Skill Achieve Your Personal Best dan Profil Desa Wisata Bilik
Bambu. Selama menjadi mahasiswa, penulis juga aktif dalam berbagai
kepanitiaan baik tingkat IPB maupun tingkat nasional.

Anda mungkin juga menyukai